OLEH :
Ikramullah (17174103)
PEMBIMBING :
Dr. Iftahuddin,Sp.An
FAKULTAS KEDOKTERAN
MAKASSAR
2018
1
BAB I
PENDAHULUAN
Tumor sekum merupakan salah satu dari keganasan pada kolon dan rektum
yang khusus menyerang bagian sekum yang terjadi akibat gangguan proliferasi sel
epitel yang tidak terkendali. Beberapa faktor resiko yang menyebabkan tumor sekum
adalah kebiasaan diet rendah serat, colitis ulseratif dan deversi colitis.1
Tumor pada sekum dan kolon ascendens merupakan lesi yang pada umumnya
berkembang dari polip yang meluas ke lumen, kemudian menembus dinding kolon dan
jaringan sekitarnya. Penyebaran tumor terjadi secara limfogenik, hematogenik atau
anak sebar.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Tumor sekum merupakan salah satu dari keganasan pada kolon dan rektum yang
khusus menyerang bagian sekum yang terjadi akibat gangguan proliferasi sel epitel
yang tidak terkendali. Karsinoma cecum merupakan salah satu dari keganasan pada
kolon dan rektum yang khusus menyerang bagian cecum yang terjadi akibat gangguan
proliferasi sel epitel yang tidak terkendali.
Selama periode sepuluh tahun sebuah penelitian retrospektif, 66 dari 1.451 pasien
dengan kanker kolon dan rektum memiliki karsinoma cecum. Gejala yang paling sering
adalah spesifik dan disebabkan oleh anemia yang, dalam beberapa kasus.
2. Epidemiologi
Di dunia, lebih dari 1 juta orang menderita kanker usus setiap tahunnya,yang
mengakibatkan kematian sekitar setengah juta orang.
Di Indonesia, rata-rata angka penderita kanker usus mencapai 19,1 per 100.000
populasi laki-laki di Indonesia, dan 15,6 per 100.000 populasi perempuan di Indonesia.
Di (Amerika Serikat), berdasarkan data tahun 2007-2009 4,96% pria dan wanita
yang lahir sekarang didiagnosa akan menderita kanker usus di masa depan mereka.
Diseluruh dunia dilaporkan lebih dari 940,000 kasus baru dan terjadi kematian
pada hampir 500,000 kasus tiap tahunnya. (World Health Organization, 2003).
Menurut data di RS Kanker Dharmais pada tahun 1995-2002, kanker rektal menempati
urutan keenam dari 10 jenis kanker dari pasien yang dirawat di sana.
3. Anatomi dan Histologi
Usus besar terdiri dari cecum, appendix, kolon ascendens, kolon transversum,
kolon descendens, kolon sigmoideum dan rektum serta anus. Mukosa usus besar terdiri
dari epitel selapis silindris dengan sel goblet dan kelenjar dengan banyak sel goblet,
pada lapisan submukosa tidak mempunyai kelenjar. Otot bagian sebelah dalam sirkuler
dan sebelah luar longitudinal yang terkumpul pada tiga tempat membentuk taenia koli.
3
Lapisan serosa membentuk tonjolan tonjolan kecil yang sering terisi lemak yang
disebut appendices epiploicae. Didalam mukosa dan submukosa banyak terdapat
kelenjar limfa, terdapat lipatan-lipatan yaitu plica semilunaris dimana kecuali lapisan
mukosa dan lapisan submukosa ikut pula lapisan otot sirkuler. Diantara dua plica
semilunares terdapat saku yang disebut haustra coli, yang mungkin disebabkan oleh
adanya taenia coli atau kontraksi otot sirkuler. Letak haustra in vivo dapat berpindah
pindah atau menghilang. (Guyton A. C, et.al, 2008)
Diantara dua plica semilunares terdapat saku yang disebut haustra coli, yang
mungkin disebabkan oleh adanya taenia coli atau kontraksi otot sirkuler. Letak haustra
in vivo dapat berpindah pindah atau menghilang. (Guyton A. C, et.al, 2008)
Vaskularisasi kolon dipelihara oleh cabang-cabang arteri mesenterica superior
dan arteri mesenterica inferior, membentuk marginal arteri seperti periarcaden, yang
memberi cabang-cabang vasa recta pada dinding usus. Yang membentuk marginal
arteri adalah arteri ileocolica, arteri colica dextra, arteri colica media, arteri colica
sinistra dan arteri sigmoidae. Hanya arteri ciloca sinistra dan arteri sigmoideum yang
merupakan cabang dari arteri mesenterica inferior, sedangkan yang lain dari arteri
mesenterica superior. Pada umumnya pembuluh darah berjalan retroperitoneal kecuali
arteri colica media dan arteri sigmoidae yang terdapat didalam mesocolon transversum
dan mesosigmoid. Seringkali arteri colica dextra membentuk pangkal yang sama
dengan arteri colica media atau dengan arteri ileocolica. Pembuluh darah vena
mengikuti pembuluh darah arteri untuk menuju ke vena mesenterica superior dan arteri
mesenterica inferior yang bermuara ke dalam vena porta. Aliran limfe mengalir menuju
ke nn. ileocolica, nn. colica dextra, nn. colica media, nn. colica sinistra dan nn.
mesenterica inferior. Kemudian mengikuti pembuluh darah menuju truncus
intestinalis. (Guyton A. C, et.al, 2008)
4
Gambar 3. Anatomi Cecum
Cecum adalah bagian pertama intestinum crassumdan beralih menjadi colon
ascendens. Panjang dan lebarnya kurang lebih 6cm dan 7,5 cm.
Cecum terletak pada fossa iliaca kanan di atas setengah bagian lateralis
ligamentum inguinale.
5
Gambar 4. Anatomi Colon
6
terhadap air dan elektrolit terutama dilakukan di kolon sebelah kanan yaitu di cecum
dan kolon ascenden dan sebagian kecil dibagikan kolon lainnya. (Gray’s Anatomy,
2008)
Fungsi cecumpada titik persatuan ileum dan cecum, terdapat katup atau otot
sfingter yang membuka dan mendorong makanan dari ileum ke dalam perluasan
cecum. Cecum dari usus besar menerima makanan yang dicerna dari usus kecil dan
mendorong ke arah kolon asendens. Serat makanan tidak tercerna diterima dari
makanan yang dikonsumsi, air, vitamin, mineral dan garam. (Gray’s Anatomy, 2008)
3. Fisiologi colon
Pertukaran air dan elektrolit
Kolon ialah tempat utama bagi absorpsi air dan pertukaran elektrolit. Sebanyak
90 % kandungan air diserap di kolon yaitu sekitar 1-2 L per hari. Natrium
diabsorpsi secara aktif melalui NA-K-ATPase. Kolon dapat mengabsorpsi
sebanyak 400 mEq perhari. Air diserap secara pasif mengikuti dengan natrium
melalui perbedaan osmotik. Kalium secara aktif disekresikan ke dalam lumen
usus dan diabsorpsi secara pasif. Klorida diabsoprsi secara aktif melalui
pertukaran klorida-bikarbonat.
Asam lemak rantai pendek
Asam lemak rantai pendek seperti asetat, butirat dan propionat diproduksi oleh
fermentasi bakterial yang berasal dari karbohidrat. Asam lemak rantai pendek ini
berguna sebagai sumber energi bagi mukosa kolon dan metabolisme usus seperti
transportasi natrium.
Mikroflora kolon dan gas intestinal
Sebanyak kurang lebih 30% dari berat feses terdiri dari bakteri. Mikroorganisme
yang terbanyak ialah anaerob dan spesies terbanyak ialah Bacteroides.
Escherichia coli merupakan bakteri aerob terbanyak. Mikroflora endogen ini
penting dalam pemecahan karbohidrat dan protein di kolon dan berpartisipasi
dalam metabolisne bilirubin, asam empedu, estrogen dan kolesterol. Bakteri ini
juga diperlukan dalam produksi vitamin K dan menghambat pertunbuhan bakteri
7
patogen seperti Clostridium difficle. Tetapi tingginya jumlah bakteri pada colon
dapat menyebabkan sepsis, abses dan infeksi. Gas intestinal dihasilkan dari air
yang tertelan, difusi dari darah dan produksi intraluminal. Komponen utama dari
gas ini ialah nitrogen, oksigen, karbon dioksida, hidrogen dan methan. Nitrogen
dan oksigen dihasilkan dari udara yang tertelan. Karbon dioksida diproduksi
dengan reaksi bikarbonat dan ion hidrogen dan perubahan trigliserid menjadi
asam lemak. Hidrogen dan methane diproduksi oleh bakteri kolon. Gas yang
diproduksi sekitar 100-200 mL dan dikeluarkan melalui flatus.
Motilitas
Tidak seperti usus halus, usus besar tidak menampilkan karaktersistik dari
kompleks migrasi motorik. Usus besar memperlihatkan kontraksi intermiten.
Amplitudo rendah, kontraksi durasi pendek akan meningkatkan waktu transit di
kolon, dan meningkatkan absorpsi air dan perubahan elektrolit. Secara umum,
aktivasi kolinergik meningktkan motilitas kolon.
Defekasi
Defekasi ialah mekanisme yang kompleks dan terkoordinasi melibatkan
pergerakan massa kolon, peningkatan tekanan intra abdominal dan rektal serta
relaksasi lantai pelvis. Distensi dari rektum menyebabkan relaksasi dari sfingter
ani yang menyebabkan kontak dengan kanal anal. Refleks ini menyebabkan
epitel memisahkan feses padat dari gas dan cair. (Guyton A. C, et.al, 2008)
4. Insiden dan Faktor Resiko
A. Polip
Kepentingan utama dari polip bahwa telah diketahui potensial untuk menjadi
kanker kolorektal. Evolusi dari kanker itu sendiri merupakan sebuah proses
yang bertahap, dimana proses dimulai dari hiperplasia sel mukosa, adenoma
formation, perkembangan dari displasia menuju transformasi maligna dan
invasif kanker. Aktifasi onkogen, inaktifasi tumor supresi gen, dan
kromosomal deletion memungkinkan perkembangan dari formasi adenoma,
perkembangan dan peningkatan displasia dan invasif karsinoma.
8
Ada tiga kelompok utama gen yang terlibat dalam regulasi pertumbuhan sel
yaitu proto-onkogen, gen penekan tumor (Tumor Suppresor Gene = TSG),
dan gen gatekeeper. Proto-onkogen menstimulasi dan meregulasi
pertumbuhan dan pembelahan sel. TSG menghambat pertumbuhan sel atau
menginduksi apoptosis (kematian sel yang terprogram). Kelompok gen ini
dikenal sebagai anti-onkogen, karena berfungsi melakukan kontrol negatif
(penekanan) pada pertumbuhan sel. Gen p53 merupakan salah satu dari TSG
yang menyandi protein dengan berat molekul 53 kDa. Gen p53 juga
berfungsi mendeteksi kerusakan DNA, menginduksi reparasi DNA. Gen
gatekeeper berfungsi mempertahankan integritas genomik dengan
mendeteksi kesalahan pada genom dan memperbaikinya. Mutasi pada gen-
gen ini karena berbagai faktor membuka peluang terbentuknya kanker.
Pada keadaan normal, pertumbuhan sel akan terjadi sesuai dengan kebutuhan
melalui siklus sel normal yang dikendalikan secara terpadu oleh fungsi
proto-onkogen, TSG, dan gen gatekeeper secara seimbang. Jika terjadi
ketidakseimbangan fungsi ketiga gen ini, atau salah satu tidak berfungsi
dengan baik karena mutasi, maka keadaan ini akan menyebabkan
penyimpangan siklus sel. Pertumbuhan sel tidak normal pada proses
terbentuknya kanker dapat terjadi melalui tiga mekanisme, yaitu
perpendekan waktu siklus sel, sehingga akan menghasilkan lebih banyak sel
dalam satuan waktu, penurunan jumlah kematian sel akibat gangguan proses
apoptosis, dan masuknya kembali populasi sel yang tidak aktif berproliferasi
ke dalam siklus proliferasi. Gabungan mutasi dari ketiga kelompok gen ini
akan menyebabkan kelainan siklus sel, yang sering terjadi adalah mutasi gen
yang berperan dalam mekanisme kontrol sehingga tidak berfungsi baik,
akibatnya sel akan berkembang tanpa kontrol (yang sering terjadi pada
manusia adalah mutasi gen p53). Akhirnya akan terjadi pertumbuhan sel
yang tidak diperlukan, tanpa kendali dan karsinogenesis dimulai.
9
Secara histologi polip diklasifikasikan sebagai neoplastik dan non
neoplastik. Non neoplastik polip tidak berpotensi maligna, yang termasuk
polip non neoplastik yaitu polip hiperplastik, mukous retention polip,
hamartoma (juvenile polip), limfoid aggregate dan inflamatory polip.
10
Gambar 5 : Adenomatous Polip
Displasia dapat dikategorikan menjadi low atau high grade. Enam persen
dari adenomatous polip berupa high grade displasia dan 5% didalamnya
berupa invasif karsinoma pada saat terdiagnosa. Potensi malignansi dari
adenoma berkorelasi dengan besarnya polip, tingkat displasia, dan umur.
Polip yang diameternya lebih besar dari 1 cm, berdisplasia berat dan secara
histologi tergolong sebagai villous adenoma dihubungkan dengan risiko
tinggi untuk menjadi kanker kolorektal.
11
kanker sebesar 2,5% pada 5 tahun, 8% pada 10 tahun dan 24% pada 20 tahun.
Waktu yang dibutuhkan untuk menjadi malignansi tergantung beratnya
derajat displasia. Tiga koma lima tahun untuk displasia sedang dan 11,5
tahun untuk atypia ringan.
1. Ulseratif Kolitis
Ulseratif kolitis merupakan faktor risiko yang jelas untuk kanker kolon
sekitar 1% dari pasien yang memiliki riwayat kronik ulseratif kolitis.
Risiko perkembangan kanker pada pasien ini berbanding terbalik pada
usia terkena kolitis dan berbanding lurus dengan keterlibatan dan
12
keaktifan dari ulseratif kolitis. Risiko kumulatif adalah 2% pada 10
tahun, 8% pada 20 tahun, dan 18% pada 30 tahun. Pendekatan yang
direkomendasikan untuk seseorang dengan risiko tinggi dari kanker
kolorektal pada ulseratif kolitis dengan mengunakan kolonoskopi untuk
menentukan kebutuhan akan total proktokolektomi pada pasien dengan
kolitis yang durasinya lebih dari 8 tahun. Strategi yang digunakan
berdasarkan asumsi bahwa lesi displasia bisa dideteksi sebelum
terbentuknya invasif kanker. Sebuah studi prospektif menyimpulkan
bahwa kolektomi yang dilakukan dengan segera sangat esensial untuk
semua pasien yang didiagnosa dengan displasia yang berhubungan
dengan massa atau lesi, yang paling penting dari analisa
mendemonstrasikan bahwa diagnosis displasia tidak menyingkirkan
adanya invasif kanker. Diagnosis dari displasia mempunyai masalah
tersendiri pada pengumpulan sampling spesimen dan variasi perbedaan
pendapat antara para ahli patologi anatomi.
2. Penyakit Crohn’s
Pasien yang menderita penyakit crohn’s mempunyai risiko tinggi untuk
menderita kanker kolorektal tetapi masih kurang jika dibandingkan
dengan ulseratif kolitis.
13
Keseluruhan insiden dari kanker yang muncul pada penyakit crohn’s
sekitar 20%. Pasien dengan striktur kolon mempunyai insiden yang
tinggi dari adenokarsinoma pada tempat yang terjadi fibrosis.
Adenokarsinoma meningkat pada tempat strikturoplasty menjadikan
sebuah biopsy dari dinding intestinal harus dilakukan pada saat
melakukan strikturoplasty. Telah dilaporkan juga bahwa squamous sel
kanker dan adenokarsinoma meningkat pada fistula kronik pasien
dengan crohn’s disease.
3. Faktor Genetik
Sekitar 15% dari seluruh kanker kolon muncul pada pasien dengan
riwayat kanker kolorektal pada keluarga terdekat. Seseorang dengan
keluarga terdekat yang mempunyai kanker kolorektal mempunyai
kemungkinan untuk menderita kanker kolorektal dua kali lebih tinggi
bila dibandingkan dengan seseorang yang tidak memiliki riwayat kanker
kolorektal pada keluarganya.
14
4. Diet
Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging dan diet rendah
serat berkemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal pada
kebanyakan penelitian, meskipun terdapat juga penelitian yang tidak
menunjukkan adanya hubungan antara serat dan kanker kolorektal. Ada
dua hipotesis yang menjelaskan mekanisme hubungan antara diet dan
resiko kanker kolorektal. Teori pertama adalah pengakumulasian bukti
epidemiologi untuk asosiasi antara resistensi insulin dengan adenoma
dan kanker kolorektal. Mekanismenya adalah menkonsumsi diet yang
berenergi tinggi mengakibatkan perkembangan resistensi insulin diikuti
dengan peningkatan level insulin, trigliserida dan asam lemak tak jenuh
pada sirkulasi. Faktor sirkulasi ini mengarah pada sel epitel kolon untuk
menstimulus proliferasi dan juga memperlihatkan interaksi oksigen
reaktif. Pemaparan jangka panjang hal tersebut dapat meningkatkan
pembentukan kanker kolorektal. Hipotesis kedua adalah identifikasi
berkelanjutan dari agen yang secara signifikan menghambat
karsinogenesis kolon secara experimental. Dari pengamatan tersebut
dapat disimpulkan mekanismenya, yaitu hilangnya fungsi pertahanan
lokal epitel disebabkan kegagalan diferensiasi dari daerah yang lemah
akibat terpapar toksin yang tak dapat dikenali dan adanya respon
inflamasi fokal, karakteristik ini didapat dari bukti teraktifasinya enzim
COX-2 dan stres oksidatif dengan lepasnya mediator oksigen reaktif.
Hasil dari proliferasi fokal dan mutagenesis dapat meningkatkan resiko
terjadinya adenoma dan aberrant crypt foci. Proses ini dapat dihambat
dengan (a) demulsi yang dapat memperbaiki permukaan lumen kolon;
(b) agen anti-inflamasi; atau (c) anti-oksidan. Kedua mekanisme
tersebut, misalnya resistensi insulin yang berperan melalui tubuh dan
kegagalan pertahanan fokal epitel yang berperan secara lokal, dapat
menjelaskan hubungan antara diet dan resiko kanker kolorektal.
15
5. Gaya Hidup
Pria dan wanita yang merokok kurang dari 20 tahun mempunyai risiko
tiga kali untuk memiliki adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak untuk
yang besar. Sedangkan merokok lebih dari 20 tahun berhubungan
dengan risiko dua setengah kali untuk menderita adenoma yang
berukuran besar.
6. Usia
Proporsi dari semua kanker pada orang usia lanjut (≥ 65 thn) pria dan
wanita adalah 61% dan 56%. Frekuensi kanker pada pria berusia lanjut
hampir 7 kali (2158 per 100.000 orang per tahun) dan pada wanita
berusia lanjut sekitar 4 kali (1192 per 100.000 orang per tahun) bila
dibandingkan dengan orang yang berusia lebih muda (30-64 thn).
Sekitar setengah dari kanker yang terdiagnosa pada pria yang berusia
lanjut adalah kanker prostat (451 per 100.000), kanker paru-paru (118
16
per 100.000) dan kanker kolon (176 per 100.000). Sekitar 48% kanker
yang terdiagnosa pada wanita yang berusia lanjut adalah kanker
payudara (248 per 100.000), kanker kolon (133 per 100.000), kanker
paru paru (118 per 100.000) dan kanker lambung (75 per 100.000).
17
Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI, 1996-1999) menunjukkan
persentase yang lebih tinggi yakni 35,25%.
18
umumnya merasa terbiasa dan menganggap enteng saja sehingga penderita biasanya
datang berobat dalam stadium lanjut. (Townsend et.al, 2014)
19
8. Penegakkan Diagnosis Karsinoma Cecum
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan dibantu dengan
pemeriksaan penunjang. (Williams et.al, 2008)
1. Anamnesis
Gejala dari karsinoma cecum sulit untuk dideteksi. Gejala yang paling banyak
ditemukan karsinoma colorectal adalah berupa perasaan penuh dan tidak nyaman
pada rectum, perdarahan per rectal dan urgensi untuk defekasi. Tetapi pada
karsinoma cecum tidak akan ditemukan gejala- gejala tersebut. Inflamasi pada
cecum, tidak seperti inflamasi pada rectum atau kolon sigmoid, tidak ditemukan
perasaan ingin segera buang air besar (urgensi) ataupun menyebabkan defekasi
yang tidak teratur, oleh karena feses yang melewati cecum encer dan dengan mudah
dapat melewati bagian usus.
Pada kenyataannya kebanyakan gejala dari karsinoma cecum terlambat
muncul, sehingga ketika gejala tersebut muncul sudah memasuki fase lanjut dari
karsinoma.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik difokuskan pada region abdomen yang mengalami
ketidaknyamanan, adanya massa yang teraba pada abdomen, pembesaran hepar,
adanya cairan atau pembengkakkan pada abdomen, pembesaran nodus limfe
ditemukan pada karsinoma yang telah mengalami metastasis. Pemeriksaan feses
penting untuk dilakukan untuk mengetahui adanya darah.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Proktosigmoidoskopi
Dilakukan pada setiap pasien yang dicurigai menderita karsinoma usus besar.
Jika tumor terletak di bawah, bisa terlihat langsung. Karsinoma kolon di bagian
proksimal sering berhubungan dengan adanya polip pada daerah rektosigmoid.
b. Endoskopi colon dengan biopsi untuk pemeriksaan histopatologi, double-
contrast bowel enema
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan standar dalam penegakkan diagnosis
karsinoma cecum.
20
c. X- ray photo thorax, ultrasonography (USG), computed tomography (CT) dan
magnetic resonance imaging (MRI)
Pemeriksaan ini dapat dilakukan dalam menentukkan tahapan karsinoma.
d. Virtual colonoscopy (VC)
Merupakan jenis dari CT scan, modalitas diagnotik terbaru dan bersifat non-
invasif. Pemeriksaan dilakukan setelah pembersihan dan pemasukkan udara
atau karbon dioksida kedalam kolon. Virtual colonoscopy ditoleransi dengan
baik oleh pasien pemeriksaan hanya membutuhkan periode waktu yang singkat
dan tidak memerlukan tindakan anastesi.
Tidak adanya atau kehadiran tumor sisa setelah reseksi ditunjuk oleh huruf R
sesuai dengan faktor prognosis AJCC, seperti yang ditunjukkan di bawah ini, dan jika
mungkin harus ditunjukkan dalam laporan operasi:8
Reseksi tumor R0-lengkap dengan semua margin histologis negatif
Reseksi tumor R1-lengkap dengan mikroskopis keterlibatan marjin reseksi bedah
(margin terlalu tidak terlibat)
Reseksi R2-lengkap tumor dengan tumor residu kotor yang tidak direseksi (tumor
primer, kelenjar regional, keterlibatan marjin makroskopik)
21
N1b Metastasis pada 2-3 kelenjar getah
bening regional
N1c Deposito tumor di subserosa,
mesenterium, atau perikolik
nonperitonealized atau jaringan
perirectal tanpa metastasis nodal daerah
N2a Metastasis pada 4-6 kelenjar getah
bening regional
N2b Metastasis pada 7 atau lebih kelenjar
getah bening regional
Jauh metastasis (M)
M0 Tidak ada metastasis jauh
M1a Metastasis terbatas pada 1 organ atau
situs
M1b Metastasis di lebih dari 1 organ / situs
atau peritoneum
22
dipotong. Sepanjang 10 cm ileum terminal juga harus direseksi, yang selanjutnya
dibuat anastomosis antara ileum dan kolon transversum.
23
Pada penderita inoperabel pemberian sitostatika sama dengan kasus operabel
hanya lamanya pemberian tidak terbatas selama obat masih efektif. Selama
pemberian, harus diawasi kadar Hb, leukosit dan trombosit darah.Pada stadium
lanjut obat sitostatika tidak memberikan hasil yang memuaskan.
10. Komplikasi Karsinoma Cecum
Komplikasi yang mungkin terjadi yaitu obstruksi usus parsial atau lengkap,
perforasi, perdarahan, dan penyebaran keorgan lain.
24
BAB III
LAPORAN KASUS
Nama : Tn. B
Usia : 54 thn
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Desa Juluk (Ketol)
Suku Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Status Perkawinan : Menikah
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Pasien dibawa ke RSUD datu beru oleh keluarganya dengan keluhan nyeri
perut bagian kanan bawah sejak ± 2 hari yang lalu. Nyeri yang dirasakan pasien
semakin bertambah ketika bergerak. keluhan juga disertai mual muntah ± 4 x dalam
sehari, mual muntah timbul setelah nyeri perut datang, dan perut terasa kembung.
Dan nafsu makan berkurang.
BAK dalam batas normal. BAB tidak ada ± 2 hari. Pasien juga mengeluhkan
demam sejak ± 2 hari yang lalu.
Riwayat penyakit jantung (-) Hipertensi (+), Diabetes mellitus (+), Asthma (-)
25
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat Alergi
Disangkal
B. Status Generalisata
26
Hidung : Bentuk normal, Nafas cuping hidung (-), Deformitas (-), Septum
deviasi (-)
Mulut : simetris, gingivitis (-), stomatitis (-), sianosis (+) bibir kering (+)
Leher : bentuk normal, TVJ meningkat (-) R+2 cm H2O, pembesaran KGB
(-)
Thorax
Pemeriksaan Kanan Kiri
1. Inspeksi Bentuk Simetris Bentuk Simetris
Jantung
27
Abdomen
Genetalia
Tidak di lakukan pemeriksaan
Ekstremitas
28
Hematokrit 40,8 L: 40-48%
MCV 82,2 80-97 fL
MCH 28,4 26,5-33,5 pg
MCHC 34,6 31,5-35 g/dL
CT 8 6-14
BT 2 1-6
Differential
Neutrofil 12,1 50-70 %
Lymphosit 2,0 20-40 %
Monosit 0,884 2-8 %
Eosinofil 0,133 1-6 %
Basofil 0,135 0-1 %
Urine Rutin
Protein +1 -
Glukosa +3 -
Eritrosit 0-1 1-4/lpb
Leukosit 5-6 1-5/lpb
Silinder - -
Epitel +1 +1
Kristal - -
Billirubin - -
KGD
29
3.5 Diagnosa
Appendicitis Acute
3.6 Penatalaksanaan
- Tirah Baring
- IVFD RL 20 tpm
- Inj. Ceftriaxone vial 1 gram/12 jam
- Inj. Ketorolac amp 30 mg /8 jam
- Inj. Ranitidine 50 mg/ 12 jam
3.7 Laporan Operasi
Status fisik =3
Golongan darah =
Pain Score : 6
30
3. Kembali posisi supine
- Uji ketinggian block dengan cold test atau uji bromage
- Berikan oksigen 100% + sedasi (midazolam 7,5mg) monitoring hemodimak.
Apabila BP ˃20% injeksi vasokonstriktor (ephedrin) secara titrasi. Operasi
mulai.
- (karena ditemukan tumor caecum, maka dilakukan general anastesi + intubasi)
- Premed fentanyl 150 mg
- Induksi propofol 100 mg
- Preoksigenasi + muscle relaxan 40 mg + 20 mg + 10 mg, laringoskopi dan
intubasi orotracheal dengan ett nomor 4 sedalam ? cm, kembangkan balon,
periksa pengembangan paru, bila simetris fiksasi ETT.
- Ventilasi : PCV/
- Maintenance : Oksigen 100% + Isoflurance 2 vol %
- Operasi mulai, monitoring Hemodinamik, Apabila BP ˃20% injeksi
vasokonstriktor (ephedrin) secara titrasi.
- Operasi selesai berikan analgetik post-operative (ketorolac 30 mg)
- Pasien bernafas spontan dan adekuat, hentikan obat anastesi, suction sisa-sisa
lendir dan darah di jalan nafas, ekstubasi. Berikan oksigen selama 5 menit
dengan face-mask.
- Hemodinamik stabil pidah ke ruang recovery
- Score aldrette ˃ 8 pindah ke ruangan.
Input : RL 1300 cc, NaCl 0,9% 1000 cc, Gelofusal 500cc, Terastarch 500cc, WB 350cc
Total = 3.650 cc
Total = 1.400 cc
31
Lama Operasi : 3 jam 15 menit
Score Aldrette : 8
A- 2
B- 2
C- 1
D- 2
E- 1
Rawat Di ICU.
DAFTAR PUSTAKA
32
1. America Joint committee on Cancer Colon and Rectum Cancer staging 7th
Edition, 2007, USA
2. American Cancer Society, 2006. Cancer Facts and Figures 2006. American
Cancer Society Inc Atlanta
3. American Cancer Society. Cancer Facts & Figures 2016. Atlanta, Ga:
American Cancer
4. Anatomi dan Fisiologi Usus Besar. Available from URL :
www.sridianti.com/anatomi-dan-fisiologi-usus-besar.html
5. AR., Gennaro. Carcinoma of the caecum. Available from URL :
www.ncbi.nih.gov/pubmed/847603
6. Bruce et.al, 2007. The ASCRS Textbook of Colon and Rectal Surgery. Sfinger.
USA
7. Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dun DL, Hunter JG, Pollock RE,
2007. Schwartz’s Principle of Surgery. 9th ed. United Stated of America: The
MacGraw-Hill Companies.
8. Chang., J., George. M.D., etc. Practice Parameters for the Management of Colon
Cancer. 2012. P834
9. David et.al, 2001 ABC of Colorectal Cancer, BMJ Book, UK
10. Gian, 2005 Cecum Cancer- New Frontiers in Diagnosis Treatment and
Rehabilitatio. Sfinger, USA
11. Gray’s Anatomy, 2008. The Anatomical Basis of Clinical Practice, 14th ed
12. Guyton A. C, Hall J. E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta
: EGC
13. Hee sang hwang et.al, 2014. Intestinal Diffuse Large B Cell Lymphoma An
Evaluation of Different Staging Systems. Journal of Korean Medical Science
;29(1);53-60
14. Marinis A, Yiallourou A, Samanides L, Dafnios N, Anastasopoulos G, Vassiliou
S, et al. Intussusception of The Bowel in Adults: a review. World Journal
Gastroenterology. 2009; 15(4):407-11.
33
15. National centre for health statistics, division of health interviewstatistics. 2014,
USA
16. National Comprehensive Cancer Network, 2014. NCCN Guidelines for Patient
Colon Cancer version1, Washington DC
17. Pillitteri, Adele. 2007. Maternal and Child Health Nursing: Care of the
Childbearing and Childrearing Family. Philadelphia: Lippincott Williams and
Wilkins
18. Prassana et.al, 2011. Primary Gastrointestinal Lymphoma, World Journal of
Gastroenterology 14;17(6);697-707
19. Robbins et.al, 2007. Buku Ajar Patologi Edisi 7 Volume 2, Jakarta, EGC
20. Scotish Intercollegiate Guidelines Network, 2015. Diagnosis and Management
of Colorectal Cancer
21. Sjamsuhidajat, R, De jong, Wim. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah edisi 3. EGC,
Juni
22. Townsend, M, Beauchamp, D, Mark, B. 2012. Sabiston Textbook of
Surgery,19th ed,
23. Wilkinson., J., BSN., RN. Cecum Cancer. A Type of Colon Cancer. Available
from URL : www.coloncancer.about.com/od/coloncancerbasics/a/cecum-
cancer.
24. Williams, S, Bulstrode, J, Ronan, O. Bailey and Love’s Short Practice of
Surgery, 25th ed. 2008
34