Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis peritoneal merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi


Mycobacterium tuberkulosis yang berasal dari peritoneum, penyakit ini jarang berdiri
sendiri dan biasanya merupakan kelanjutan dari proses tuberkulosis di tempat lain
terutama dari tuberkulosis paru, namun sering ditemukan bahwa pada waktu diagnosa
ditegakkan proses tuberkulosis di paru sudah tidak terlihat lagi. Hal ini bisa terjadi
karena proses tuberkulosis di paru mungkin sudah menyembuh sedangkan
penyebarannya masih berlangsung ditempat lain.1
Tuberkulosis peritoneal jarang di jumpai dan sangat jarang ditemukan di negara
maju, tetapi tidak jarang ditemukan di negara dengan prevalensi tuberkulosis tinggi,
termasuk di negara-negara berkembang dan terbelakang, terutama di negara dengan
pandemi HIV dan peningkatan imigrasi. Di Amerika Serikat, tuberkulosis mempunyai
prevalensi yang relatif rendah, dan kebanyakan pasien yang baru di diagnosis adalah
mereka yang berasal dari luar Amerika Serikat (imigran). Pada negara-negara
industri, tuberkulosis meningkat pada populasi imigran dan pada pasien yang
menderita AIDS dan mereka yang sedang menjalani terapi immunosupresan.2
Tuberkulosis peritoneal diperkirakan terjadi pada 0,1% sampai 3,5% dari
mereka dengan TB paru aktif dan mewakili 4% sampai 10% dari semua TB ekstra
paru. Kasus tuberkulosis peritoneal sering pada individu kurang dari 40 tahun dan
sering terjadi pada perempuan berumur 40 tahun. Individu dengan penyakit HIV,
sirosis, diabetes, keganasan, dan mereka yang terus menerus menjalani dialisis
merupakan kelompok resiko tinggi menderita tuberkulosis peritoneal.3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1
2.1 Definisi
Tuberkulosis peritoneal merupakan suatu peradangan pada peritoneum
parietal atau viseral yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis, dan
terlihat pada penyakit ini sering mengenai seluruh peritoneum, alat-alat sistem
gastrointestinial, mesenterium, dan organ genitalia interna.1

2.2 Epidemiologi
Tuberkulosis peritoneal lebih sering dijumpai pada Wanita dibanding Pria
dengan perbandingan 1,5:1 dan lebih sering decade ke 3 dan 4. Tuberkulosis
peritoneal dijumpai 2% dari seluruh tuberkulosis paru dan 59,8% dari tuberkulosis
abdominal. Di Amerika Serikat penyakit ini adalah keenam terbanyak diantara
penyakit extra paru sedangkan peneliti lain menemukan hanya 5-20% dari penderita
tuberkulosis peritoneal yang mempunyai TB paru yang aktif. 2

Pada saat ini dilaporkan bahwa kasus tuberkulosis peritoneal di negara maju
semakin meningkat dan peningkatan ini sesuai dengan meningkatnya insidensi AIDS
di negara maju. 1

Di Asia dan Afrika dimana tuberculosis masih banyak dijumpai, tuberkulosis


peritoneal masih merupakan masalah yang penting. Manohar dkk melaporkan di
Rumah Sakit King Edward III Durban Afrika Selatan menemukan 145 kasus
tuberkulosis peritoneal selama periode 5 tahun (1984-1988) sedangkan dengan cara
peritonoskopi. Daldiono menemukan sebanyak 15 kasus di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo Jakarta selama periode 1975-1979 menemukan sebanyak 30 kasus
tuberkulosa peritoneal. Begitu juga Sibuea dkk melaporkan ada 11 kasus tuberkulosis
peritoneal di Rumah Sakit Tjikini Jakarta untuk periode 1975-1977. Sedangkan di
Medan Zain LH melaporkan ada 8 kasus selama periode 1993-1955. 1
2.3 Patogenesis
Patogenesis Tuberkulosis peritoneal didahului oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis yang menyebar secara hematogen ke organ-organ di luar paru termasuk

2
peritoneum. Dengan perjalanan waktu dan menurunnya daya tahan tubuh dapat
mengakibatkan terjadinya Tuberkulosis peritonitis. Cara lain adalah dengan
penjalaran langsung dari kelenjar mesenterika atau dari tuberkulosis usus. Pada
peritoneum terjadi tuberkel dengan massa perkijuan yang dapat membentuk satu
kesatuan (konfluen). Pada perkembangan selanjutnya dapat terjadi penggumpalan
atau pembentukan nodul tuberkulosis pada omentum di daerah epigastrium dan
melekat pada organ-organ abdomen dan lapisan viseral maupun parietal sehingga
dapat menyebabkan obstruksi usus dan pada akhirnya dapat mengakibatkan
tuberkulosis peritoneal. Selain itu, kelenjar limfe yang terinfeksi dapat membesar
yang menyebabkan penekanan pada vena porta yang mengakibatkan pelebaran vena
dinding abdomen dan asites. Terjadinya tuberkulosis peritoneal melalui beberapa
cara, yaitu :4
 Melalui penyebaran hematogen terutama dari paru-paru
 Melalui dinding usus yang terinfeksi
 Dari kelenjar limfe mesenterium
 Melalui tuba fallopi yang terinfeksi
Pada kebanyakan kasus tuberkulosis peritoneal terjadi bukan sebagai akibat
penyebaran perkontinuitatum tapi sering karena reaktivasi proses laten yang terjadi
pada peritonieum yang diperoleh melalui penyebaran hematogen proses primer
terdahulu (infeksi laten “dorman infection”). Seperti diketahui lesi tuberkulosa bisa
mengalami supresi dan menyembuh. Infeksi masih dalam fase laten dimana ia bisa
menetap laten selama hidup namun infeksi tadi bisa berkembang menjadi tuberkulosa
pada setiap saat. Jika organisme interseluler tadi mulai bermultiplikasi secara cepat.
Terdapat 3 bentuk peritonitis tuberkulosa, yaitu: 5
1. Bentuk eksudatif
Bentuk ini dikenal juga sebagai bentuk yang basah atau bentuk asites yang
banyak, gejala menonjol ialah perut membesar dan berisi cairan (asites). Pada
bentuk ini perlengketan tidak banyak dijumpai. Tuberkel sering dijumpai kecil-
kecil berwarna putih kekuning-kuningan milier, nampak tersebar di peritoneum
atau pada alat-alat tubuh yang berada di rongga peritoneum. Disamping partikel
yang kecil-kecil yang dijumpai tuberkel yang lebih besar sampai sebesar kacang
tanah. Disekitar tuberkel terdapat reaksi jaringan peritoneum berupa kongesti

3
pembuluh darah. Eksudat dapat terbentuk cukup banyak, menutupi tuberkel dan
peritoneum sehingga merubah dinding perut menjadi tegang, Cairan asites
kadang-kadang bercampur darah dan terlihat kemerahan sehingga mencurigakan
kemungkinan adanya keganasan. Omentum dapat terkena sehingga terjadi
penebalan dan teraba seperti benjolan tumor.
2. Bentuk adhesive
Disebut juga sebagai bentuk kering atau plastik dimana cairan tidak
banyak dibentuk. Pada jenis ini lebih banyak terjadi perlengketan. Perlengketan
yang luas antara usus dan peritoneum sering memberikan gambaran seperti tumor,
kadangkadang terbentuk fistel. Hal ini disebabkan karena adanya
perlengketanperlengketan. Kadang-kadang terbentuk fistel, hal ini disebabkan
karena perlengketan dinding usus dan peritoneum parintel kemudian timbul
proses nekrosis. Bentuk ini sering menimbulkan keadaan ileus obstruksi.
Tuberkel-tuberkel biasanya lebih besar.
3. Bentuk campuran
Bentuk ini kadang-kaadang disebut juga kista, pembengkakan kista terjadi
melalui proses eksudasi bersama-sama dengan adhesi sehingga terbentuk cairan
dalam kantong-kantong perlengketan tersebut. Beberapa penulis menganggap
bahwa pembagian ini lebih bersifat untuk melihat tingkat penyakit, dimana pada
mulanya terjadi bentuk exudatif dan kemudian bentuk adhesive. Pemberian
hispatologi jaringan biopsi peritoneum akan memperlihatkan jaringan granulasi
tuberkulosa yang terdiri dari sel-sel epitel dan sel datia langerhans, dan
pengkejutan umumnya ditemukan.

2.4 Gejala Klinis


Sebagian besar gejala klinis tuberkulosis peritoneal memperlihatkan gejala
yang non-spesifik dan perjalanan klinis yang lambat, dan sulit dibedakan dengan
penyakit intraabdominal lainnya sehingga cukup rumit untuk menegakkan diagnosis.
Gejala klinis sangat bervariasi, pada umumnya keluhan dan gejala timbul perlahan-
lahan sampai berbulan-bulan sehingga sering penderita tidak menyadari keadaan ini.6

4
Keluhan dan gejala yang didapatkan seperti: sakit perut, pembengkakan perut,
asites, penurunan berat badan, anoreksia, demam, diare, konstipasi, batuk dan
keringat malam.7
Keadaan umum pasien bisa masih cukup baik sampai keadaan kurus dan
kahexia, pada wanita sering dijumpai tuberkulosa peritoneum disertai oleh proses
tuberkulosis pada ovarium atau tuba, sehingga pada alat genitalia bisa ditemukan
tanda-tanda peradangan yang sering sukar dibedakan dengan kista ovarium.8
Tabel 1. Pemeriksaan Fisik pada 30 pasien Tuberkulosis Peritonitis di RS. Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 1975-1979.1

Gejala Persentase
Pembengkakan perut dan nyeri 51%
Asites 43%
Hepatomegali 43%
ronkhi pada kedua paru 33%
efusi pleura 27%
Splenomegali 30%
tumor intraabdomen 20%
fenomena papan catur 13%
Limfadenopati 13%
terlibatnya paru dan pleura 63%

Pada pemeriksaan fisik gejala yang sering dijumpai adalah asites, demam,
pembengkakan perut dan nyeri perut, hepatomegali dan terlibatnya paru dan pleura
(atas dasar foto thoraks). Fenomena papan catur yang selalu dikatakan karakteristik
pada penderita Tuberkulosis peritonitis ternyata tidak sering dijumpai fenomena
papan catur yaitu pada perabaan didapatkan adanya massa yang diselingi perabaan
lunak, kadang-kadang didapatkan pada obstruksi usus. 9
2.5 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda yang didapatkan,
pemeriksaan fisik, laboratorium, dan pemeriksaan penunjang. Adapun dari
pemeriksaan fisik ditemukan adanya gejala seperti pembengkakan perut dan nyeri,
asites, hepatomegaly, rhonki pada kedua paru, efusi pleura, splenomegaly, tumor
intraabdomen, fenomena papan catur, limfatenopati dan terlibatnya paru maupun
pleura.

5
Pemeriksaan Laboratorium.

Pada Pemeriksaan Laboratorium yaitu pemeriksaan darah rutin sering dijumpai
adanya anemia penyakit kronis, leukositosis ringan ataupun leukopenia,
trombositosis, gangguan faal hati dan sering dijumpai laju endap darah (LED)
yang meningkat. Pada pemeriksaan tes tuberkulin hasilnya sering negatif. 1

Pada pemeriksaan analisa cairan asites umumnya memperlihatkan eksudat dengan
protein > 3 gr/dl, dengan jumlah sel diatas 100-3000sel/ml. Biasanya lebih dari
90% adalah limfosit LDH biasanya meningkat. Cairan asites yang perulen dapat
ditemukan begitu juga cairan asites yang bercampur darah (serosanguinous).
Hasil kultur cairan asites dapat diperoleh dalam waktu 4-8 minggu.
Perbandingan serum asites albumin (SAAG) pada tuberkulosis peritoneal
ditemukan rasionya < 1,1 gr/dl, namun hal ini juga bisa dijumpai pada keadaan
keganasan, sindroma nefrotik, penyakit pankreas, kandung empedu atau jaringan
ikat sedangkan bila ditemukan >1,1 gr/dl ini merupakan cairan asites akibat portal
hipertensi. Perbandingan glukosa cairan asites dengan darah pada tuberculosis
peritoneal <0,96 sedangkan pada asites dengan penyebab lain rationya >0,96.
Penurunan Ph cairan asites dan peningkatan kadar laktat dapat dijumpai pada
tuberculosis peritoneal dan dijumpai signifikan berbeda dengan cairan asites pada
sirosis hati yang steril, namun pemeriksaan PH dan kadar laktat cairan asites ini
kurang spesifik dan belum merupakan suatu kepastian karena hal ini juga
dijumpai pada kasus asites oleh karena keganasan atau spontaneous bacterial
peritonitis.1
Tabel 5. Perbandingan serum asites albumin pada Tuberkulosis Peritonial dan Penyakit lainnya.
1
Keganasan,
Tuberkulosis Hipertensi Sindrom Nefrotik,
Pemeriksaan
Peritonial, Portal Penyakit pancreas
& Empedu
SAAG (serum <1,1 gr/dl >1,1 gr/dl <1,1 gr/dl
asites albumin
serum)

6

Pemeriksaan basil tahan asam (BTA) didapatkan hasil kurang dari 5 % yang
menunjukkan hasil positif dan dengan kultur cairan ditemukan kurang dari 20%
hasilnya positif.

Pemeriksaan cairan asites lain yang sangat membantu, cepat dan non invasive
adalah pemeriksaan ADA (adenosin deminase activity), interferon gama (IFNϒ)
dan PCR. Dengan kadar ADA > 33 u/l mempunyai Sensitifitas 100%. Spesifitas
95%, dan dengan Cutt off > 33 u/l mengurangi false positif dari sirosis hati atau
keganasan. Pada sirosis hati konsentrasi ADA signifikan lebih rendah dari
Tuberculosis Peritoneal (14 ± 10,6 u/l) .1

Pada pasien dengan konsentrasi protein yang rendah dijumpai Nilai ADA yang
sangat rendah sehingga mereka menyimpulkan pada konsentrasi asites dengan
protein yang rendah nilai ADA dapat menjadi false negatif. Untuk itu
pemeriksaan Gama interferon (INFϒ) adalah lebih baik walaupun nilainya dalah
sama dengan pemeriksaan ADA, sedangkan pada pemeriksaan PCR hasilnya
lebih rendah lagi dibanding kedua pemeriksaan tersebut. Angka sensitifitas untuk
pemeriksaan tuberculosis peritoneal terhadap Gamma interferon adalah 90,9 %,
ADA:18,8% dan PCR 36,3% dengan masing-masing spesifitas 100%. 1

Pemeriksaan CA-125. CA-125 (Cancer antigen 125) termasuk tumor associated
glycoprotein yang terdapat pada permukaan sel. CA-125 merupakan antigen yang
terkait karsinoma ovarium, antigen ini tidak ditemukan pada ovarium orang
dewasa normal, namun CA-125 ini dilaporkan, juga meningkat pada keadaan
benigna dan maligna, dimana kira-kira 80% meningkat pada wanita dengan
keganasan ovarium, 26% pada trimester pertama kehamilan, menstruasi,
endometriosis, mIoma uteri dan salpingitis, juga kanker primer ginekologi yang
lain seperti : endometrium, tuba falopi, endocervix, pankreas,ginjal,colon juga
pada kondisi yang bukan keganasan seperti gagal ginjal kronik, penyakit
autoimum, pancreas, sirosis hati, peradangan peritoneum seperti
tuberkulosis,perikardium dan pleura. Beberapa laporan yang telah mendapatkan
peningkatan CA-125 dan menyimpulkan bila dijumpai peninggian serum CA-125
disertai dengan cairan asites yang eksudat, jumlah sel > 350/m3, limfosit yang
dominan maka Tuberkulosis peritoneal dapat dipertimbangkan sebagai diagnosa.1

7
Pemeriksaan Penunjang
 USG (Ultrasonografi)
Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) dapat dilihat adanya cairan dalam
rongga peritoneum yang bebas atau terfiksasi (dalam bentuk kantong-
kantong).Gambaran USG tuberculosis yang sering dijumpai antara lain cairan yang
bebas atau terlokalisasi dalam rongga abdomen, abses dalam rongga abdomen, massa
didaerah ileosaecal dan pembesaran kelenjar limfe retroperitoneal, adanya penebalan
mesenterium, perlengketan lumen usus dan penebalan omentum, mungkin bisa dilihat
dan harus diperiksa secara teliti. 1
 CT Scan
Pemeriksaan CT Scan pada Tuberculosis Peritonitis tidak memberikan
gambaran yang khas, namun secara umum ditemui adanya gambaran peritoneum
yang berpasir dan untuk pembuktiannya perlu dijumpai bersamaan dengan adanya
gejala klinik dari tuberkulosis peritoneal. 1

Gambar 1. CT-Scan dengan kontras menunjukkan omentum caking dan penebalan usus
halus.11

8
Gambar 2. CT-Scan menunjukkan sejumlah besar cairan asites dengan penebalan peritoneum
dan infiltrasi difus omentum tanpa limfadenopati. 12
Adanya peritoneum yang licin dengan penebalan yang minimal dan
pembesaran yang jelas menunjukkan suatu tuberkulosis peritoneal sedangkan adanya
nodul yang tertanam dan penebalan peritoneum yang teratur menunjukkan suatu
perintoneal karsinoma.1
 Peritonoskopi (Laparoskopi)
Peritonoskopi / laparoskopi merupakan pemeriksaan makroskopi yang sangat
berguna untuk menegakkan diagnosa tuberkulosis peritoneal. Laparaskopi adalah cara
yang relatif aman, mudah, dan terbaik untuk mendiagnosa tuberkulosis peritoneal.
Pada salah satu penelitian dilaporkan bahwa laparoskopi dapat mendiagnosis hingga
94%, tetapi diagnosis ini harus dikonfirmasi oleh pemeriksaan histologi. Laparoskopi
baik digunakan untuk mendapatkan diagnosa pasien-pasien muda dengan gejala sakit
perut yang tidak jelas penyebabnya. Laparoskopi dengan biopsi merupakan gold
standar untuk diagnosis Tuberkulosis Peritoneal. Cara ini dapat mendiagnosa
Tuberkulosis peritoneal 85% - 95% dan dengan biopsi yang terarah dapat dilakukan
pemeriksaan histologi agar bisa menemukan adanya gambaran granuloma sebesar
85% - 90% dari seluruh kasus, dan bila dilakukan kultur bisa ditemui BTA hampir
75%. Hasil histologi yang lebih penting lagi adalah bila didapatkan granuloma yang
lebih spesifik yaitu granuloma dengan perkejuan. 6

Gambar 3. Tuberkulosis Peritonitis pada Laparaskopi.11

Gambaran yang dapat dilihat pada Tuberkulosis peritonitis: 1

9
1. Tuberkel kecil ataupun besar dengan ukuran yang bervariasi yang dijumpai
tersebar luas pada dinding peritoneum dan usus dan dapat pula dijumpai
permukaan hati atau alat lain tuberkel dapat bergabung dan merupakan sebagai
nodul.
2. Perlengketan yang dapat bervariasi, diantaranya pada alat-alat didalam rongga
peritoneum. Sering pada keadaan ini merubah letak anatomi yang normal.
Permukaan hati dapat melengket pada dinding peritoneum dan sulit untuk
dikenali. Perlengketan diantara usus mesenterium dan peritoneum dapat sangat
ekstensif.
3. Peritoneum sering mengalami perubahan dengan permukaan yang sangat kasar
yang kadang-kadang berubah gambarannya menyerupai nodul.
4. Cairan asites sering dujumpai berwarna kuning jernih, kadang-kadang cairan
tidak jernih lagi tetapi menjadi keruh, cairan yang hemoragis juga dapat dijumpai.
Biopsi dapat ditujukan pada tuberkel-tuberkel secara terarah atau pada jaringan
lain yang terbukti mengalami kelainan dengan menggunakan alat biopsi khusus
sekaligus cairan dapat dikeluarkan. Walupun pada umumnya gambaran
peritonoskopi tuberculosis peritoneal dapat dikenal dengan mudah, namun
gambarannya bisa menyerupai penyakit lain seperti peritonitis karsinomatosis,
karena itu biopsi harus selalu diusahakan dan pengobatan sebaiknya diberikan
jika hasil pemeriksaan patologi anatomi mendukung suatu tuberkulosis peritoneal.
Peritonoskopi tidak selalu mudah dikerjakan dan dari 30 kasus, 4 kasus tidak
dilakukan peritonoskopi karena secara teknis dianggap mengandung bahaya dan
sukar dikerjakan. Adanya jaringan perlengketan yang luas merupakan hambatan
dan kesulitan dalam memasukkan alat dan ruangan yang sempit di dalam rongga
abdomen juga menyulitkan pemeriksaan dan tidak jarang alat peritonoskopi
terperangkap didalam suatu rongga yang penuh dengan perlengketan, sehingga
sulit untuk mengenal gambaran anatomi alat-alat yang normal dan dalam keadaan
demikian maka sebaiknya dilakukan laparotomi diagnostik. 12
 Laparatomi
Dahulu laparotomi eksplorasi merupakan tindakan diagnosa yangs erring
dilakukan, namunsaat ini banyak penulis menganggap pembedahan hanya dilakukan

10
jika dengan cara yang lebih sederhana tidak meberikan kepastian diagnosa atau jika
dijumpai indikasi yang mendesak seperti obstruksi usus, perforasi, adanya cairan
asites yang bernanah.1

2.6 Terapi
Pada dasarnya pengobatan sama dengan pengobatan tuberkulosis paru, obat-
obat seperti: streptomisin, INH, Etambutol, Ripamficin dan pirazinamid memberikan
hasil yang baik, dan perbaikan akan terlihat setelah 2 bulan pengobatan dan lamanya
pengobatan biasanya mencapai sembilan bulan sampai 18 bulan atau lebih. 13
Untuk pengobatan Tuberkulosis pada organ lain, seperti TB peritoneal ini,
lama pengobatan dapat diberikan 9-12 bulan. Panduan OAT yang diberikan adalah
2RHZE/7-10 RH.14
Rifampisin dan INH diberikan selama 12 bulan, sedangkan pirazinamid
selama 2 bulan pertama. Kortikosteroid diberikan 1 - 2mg/kgBB selama 1 - 2 minggu
pertama. Pada keadaan obstruksi usus karena perlengketan perlu dilakukan tindakan
operasi. Beberapa penulis berpendapat bahwa kortikosteroid dapat mengurangi
perlengketan peradangan dan mengurangi terjadinya asites. Dan juga terbukti bahwa
kortikosteroid dapat mengurangi angka kesakitan dan kematian, namun pemberian
kortikosteroid ini harus dicegah pada daerah endemis dimana terjadi resistensi
terhadap Mikobakterium tuberculosis. Alrajhi dkk yang mengadakan penelitian secara
retrospektif terhadap 35 pasien dengan tuberculosis peritoneal mendapatkan bahwa
pemberian kortikosteroid sebagai obat tambahan terbukti dapat mengurangi insidensi
sakit perut dan sumbatan pada usus. Pada kasus-kasus yang dilakukan peritonoskopi
sesudah pengobatan terlihat bahwa partikel menghilang namun di beberapa tempat
masih dilihat adanya
perlengketan. 14
Tabel 6. Jenis dan Dosis Obat Anti Tuberkulosis Primer. 14

Obat Dosis (Mg/Kg Dosis yg dianjurkan DosisMaks (mg) Dosis (mg) / berat badan (kg)
BB/Hari)
Harian (mg/ Intermitten < 40 40-60 >60
kgBB / hari) (mg/Kg/
BB/kali)

11
R 8-12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 10 300 150 300 450
Z 20-30 25 35 750 1000 1500
E 15-20 15 30 750 1000 1500
S 15-18 15 15 1000 Sesuai BB 750 1000

Tabel 7. Dosis Obat Anti Tuberkulosis kombinasi dosis tetap.14

BB Fase Intensif Fase Lanjutan


2 bulan 4 bulan Atau 6 bulan
Harian Harian 3x/minggu Harian 3x/minggu Harian
RHZE RHZ RHZ RH RH EH
150/75/400/275 150/75/400 150/150/500 150/75 150/150 400/150
30-37 2 2 2 2 2 1,5
38-54 3 3 3 3 3 2
55-70 4 4 4 4 4 3
>71 5 5 5 5 5 3

Pedoman ISPD tahun 2005 menguraikan secara singkat prinsip-prinsip dasar


dalam manajemen tuberkulosis peritoneal. Protokol pengobatan berdasarkan
pengalaman TB ekstraperitoneal pada pasien End Stage Renal Disease. Pedoman
ISPD merekomendasikan empat obat yaitu: rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan
ofloksasin. Pirazinamid dan ofloksasin harus dihentikan setelah 3 bulan, sedangkan
rifampisin dan isoniazid harus dilanjutkan dengan total 12 bulan. Dosis biasa pada
obat ini adalah rifampisin 10 mg / kg sehari (maksimal 600 mg); isoniazid 3 - 5 mg /
kg sehari; pirazinamid 30 mg / kg 3 kali seminggu, dan ofloksasin 200 mg sehari.6

2.7 Prognosis

Tuberkulosis Peritoneal jika dapat segera ditegakkan dan mendapat


pengobatan umumnya akan menyembuh dengan pengobatan yang adekuat.

12
BAB III
KESIMPULAN

Tuberculosis peritoneal merupakan suatu peradangan pada peritoneum


parietal atau visceral yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosus dan
biasanya merupakan proses kelanjutan tuberkulosa ditempat lain. Oleh karena gejala
klinis yang bervariasi dan timbulnya perlahan-lahan sering didiagnosa terlambat baru
diketahui. Dengan pemeriksaan diagnostik, laboratorium dan pemeriksaan penunjang
lainnya dapat membantu menegakkan diagnosa. Pemberian obat anti tuberkulosa
yang adequate biasanya pasien akan sembuh.

13

Anda mungkin juga menyukai