Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

TKP dan BARANG BUKTI

Diajukan Sebagai Salah Satu DalamMendalami KepanitraanKlinik Senior


Bagian Ilmu Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Abulyatama
Di RumahSakit Umum Langsa

OLEH :
M. MIRZAN RAMADHAN ( 17174118)
WARDATUL NANDA FAUZA ZEIN (17174101)
NURUL AULIA (16174278)

PEMBIMBING:
dr. Netty Herawati, M.Ked (For) Sp.F

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN SMF ILMU FORENSIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABULYATAMA
RSUD DATU LANGSA

i
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Segala puja dan puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, yang
telah memberikan rahmat dan hidayat-Nya, Shalawat serta salam semoga tetap
berlimpah kepada junjungan baginda Nabi Besar Muhammad SAW yang telah
membawa kita dari zaman yang penuh dengan kejahiliyahan hingga zaman yang
penuh dengan ilmu pengetahuan.
Dengan rahmat-Nya pula penulis dapat menyelesaikan Referat yang
berjudul “TKP dan Barang Bukti”.
Adapun tujuan penulisan Referat ini adalah untuk melengkapi tugas-tugas
menjalani Kepaniteraan Klinik Senoir (KKS) di bagian Ilmu Forensik RSUD
Langsa.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang tak
terhingga kepada dr. Netty Herawati,M.Ked (For) Sp.F selaku pembimbing
yang telah meluangkan waktunya untuk selalu membimbing dan member nasehat
kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak
yang telah banyak membantu dalam penyelesaian Referat ini.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa dalam penulisan
Referat ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran untuk Referat ini.
Akhir kata penulis berharap Referat ini dapat berguna bagi kita semua.

Langsa, 18Februari 2019

Penulis

ii
Daftar Isi

Kata Pengantar ................................................................................................. ii


Daftar Isi........................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
BAB II ISI
2.1 Tempat Kejadian Perkara
2.1.1 Pengertian TKP ........................................................ 3
2.1.2 Dasar Hukum TKP ................................................... 3
2.1.3 Tindakan pertama di TKP ........................................ 4
2.1.4 Pengolahan TKP ...................................................... 5
2.1.5 Pentingnya Penetapan TKP...................................... 5
1.2 Pembuktian
1.2.1 Pengertian Pembuktian ............................................ 7
1.2.2 Sistem Pembuktian................................................... 7
1.2.3 Alat Bukti pada Proses Pembuktian ......................... 10
1.2.4 Bukti Fisik dalam Ilmu Forensik ............................. 14
1.2.5 Macam-macam Bukti Fisik ...................................... 15
1.2.6 Penyelidikan Bukti Fisik di TKP ............................. 15
1.2.7 Teknik Pengumpulan Bukti Fisik ............................ 17

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan ............................................................................ 20

Daftar Pustaka .................................................................................................. 22

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Forensik biasanya selalu dikaitkan dengan tindak pidana (tindak
melawan hukum). Dalam buku-buku ilmu forensik pada umumnya ilmu
forensik diartikan sebagai penerapan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan
tertentu untuk kepentingan penegakan hukum dan keadilan. Dalam
penyidikan suatu kasus kejahatan, observasi terhadap bukti fisik dan
interpretasi dari hasil analisis (pengujian) barang bukti merupakan alat utama
dalam penyidikan tersebut.
Saferstein dalam bukunya “Criminalistics an Introduction to Forensic
Science”berpendapat bahwa ilmu forensik ”forensic science“ secara umum
adalah “theapplication of science to law”.
Dewasa ini dalam penyidikan suatu tindak kriminal merupakan suatu
keharusanmenerapkan pembuktian dan pemeriksaan bukti fisik secara ilmiah.
Sehinggadiharapkan tujuan dari hukum acara pidana, yang menjadi landasan
proses peradilan pidana, dapat tercapai yaitu mencari kebenaran materiil.
Tujuan ini tertuang dalam Keputusan Menteri Kehakiman
No.M.01.PW.07.03 tahun 1983 yaitu: untuk mencari danmendapatkan atau
setidak-tidaknya mendekati kebanaran materiil, ialah kebenaranyang
selengkap-lengkapnya dari sutau perkara pidana dengan menerapkan
ketentuanhukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk
mencari siapakahpelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu
pelanggaran hukum, dan selanjutnyameminta pemeriksaan dan putusan dari
pengadilan guna menemukan apakah terbuktibahwa suatu tindak pidana
telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapatdipersalahkan.
Adanya pembuktian ilmiah diharapkan polisi, jaksa, dan hakim tidaklah
mengandalkan pengakuan dari tersangka atau saksi hidup dalam penyidikan
dan menyelesaikan suatu perkara. Karena saksi hidup dapat berbohong atau
disuruh berbohong, maka dengan hanya berdasarkan keterangan saksi

1
dimaksud, tidak dapat dijamin tercapainya tujuan penegakan kebenaran dalam
proses perkara pidana dimaksud.
Dalam pembuktian dan pemeriksaan secara ilmiah, kita mengenal istilah
ilmu forensik dan kriminologi. Pada umumnya suatu laboratorium
kriminalistik mencangkup bidang ilmu kedokteran forensik, kimia forensik
dan ilmu fisika forensik. Bidang kimia forensik mencangkup juga analisa
racun (toksikologi forensik), sedangkan ilmu fisika forensik mempunyai
cabang yang amat luas termasuk: balistik forensik, ilmu sidik jari, fotografi
forensik.
Apabila terjadi suatu kasus kejahatan, maka pada umumnya timbul
pertanyaan-pertanyaan seperti:
− Peristiwa apa yang terjadi?
− Di mana terjadinya?
− Bilamana terjadinya?
− Dengan alat apa dilakukannya?
− Bagaimana melakukannya?
− Mengapa perbuatan tersebut dilakukan?
− Siapa yang melakukan?
Pertanyaan peristiwa apa yang terjadi adalah mencari jenis kejahatan
yang terjadi, misalnya pembunuhan atau bunuh diri. Dengan bantuan ilmu
kedokteran forensik atau bidang ilmu lainnya, dapat disimpulkan
penyebabnya adalah bunuh diri. Oleh sebab itu penyidik tidak perlu
melakukan penyidikan selanjutnya guna mencari siapa pelaku dari peristiwa
tersebut, karena kematian diakibatkan oleh perbuatannya sendiri.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Tempat Kejadian Perkara (TKP)

2.1.1 Pengertian TKP


Apabila telah terjadi suatu tindak pidana maka dengan segera
petugas yang berwenang menangani suatu tindak pidana,
berkewajiban untuk melakukan pemeriksaan di tempat kejadian
perkara (TKP), yaitu tempat dimana tersangka dan atau korban dan
atau barang-barang bukti yang berhubungan dengan tindak pidana
tersebut dapat ditemukan. (Afiah,1989:23).
Pengertian tempat kejadian perkara dalam petunjuk lapangan
No.Pol. Skep/1205/IX/2000 tentang Penanganan Tempat Kejadian
Perkara terbagi menjadi 2 (dua) :
a. Tempat dimana suatu tindak pidana dilakukan/terjadi atau akibat
yang ditimbulkan olehnya.
b. Tempat-tempat lain yang berhubungan dengan tindak pidana
tersebut dimana barang-barang bukti, tersangka, atau korban
ditemukan.
Adapun pengertian dari penanganan tempat kejadian perkara,
yaitu tindakan penyidik atau penyidik pembantu berupa tindakan
kepolisian yang dilakukan di TKP yang dapat dibedakan ke dalam dua
bagian. (Afiah,1989:27)

2.1.2 Dasar Hukum TKP


Adapun kegiatan-kegiatan dalam pengolahan TKP itu meliputi
(Pasal 24 huruf a Perkapolri 14/2012):
a. Mencari dan mengumpulkan keterangan, petunjuk, barang bukti,
identitas tersangka, dan saksi/korban untuk kepentingan
penyelidikan selanjutnya;

3
b. Mencari hubungan antara saksi/korban, tersangka, dan barang
bukti; dan
c. Memperoleh gambaran modus operandi tindak pidana yang
terjadi;
Ketentuan lain yang mengatur tentang Pengolahan TKP adalah
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6
Tahun 2010 Tentang Manajemen Penyidikan Oleh Penyidik Pegawai
Negeri Sipil (“Perkapolri 6/2010”). Dari peraturan ini diketahui bahwa
pihak yang berwenang melakukan pengolahan TKP bukan hanya Polri
melainkan juga Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
Dalam rangka pengolahan TKP, tindakan yang dilakukan oleh
PPNS sebagai berikut [Pasal 20 ayat (1) Perkapolri 6/2010]:
a. Mencari keterangan, petunjuk, barang bukti serta identitas
tersangka dan korban maupun saksi untuk kepentingan
penyelidikan selanjutnya; dan
b. Pencarian, pengambilan, pengumpulan, dan pengamanan barang
bukti, yang dilakukan dengan metode tertentu atau bantuan teknis
penyidikan seperti laboratorium forensik, identifikasi, kedokteran
forensik, dan bidang ahli lainnya.
Selanjutnya dalam Pasal 20 ayat (2) Perkapolri 6/2010 dikatakan
bahwa tindakan yang dilakukan oleh PPNS dalam pengolahan TKP
dituangkan dalam berita acara pemeriksaan di TKP.

2.1.3 Tindakan Pertama di TKP


Tindakan pertama di TKP (tempat kejadian perkara), yaitu
tindakan penyidik/penyidik pembantu TKP untuk:
a. Memberikan perlindungan dan pertolongan pertama dalam hal
situasi tempat kejadian tindak pidana masih membahayakan
keamanan terhadap korban maupun masyarakat disekitarnya,
dalam hal korban luka berat, dalam hal korban dalam keadaan
kritis, dalam hal korban mati.

4
b. Segera menutup dan mengamankan TKP dengan membuat batas
di TKP dengan tali atau alat lain, memerintahkan orang yang
berada di TKP pada saat terjadi tindak pidana untuk tidak
meninggalkan TKP, melarang setiap orang yang tidak
berkepentingan masuk ke TKP, berusaha menangkap pelaku yang
diperkirakan masih berada di TKP, minta partisipasi warga untuk
mengamankan kerumunan massa, dan tidak menambah atau
mengurangi barang bukti yang ada di TKP.
c. Segera menghubungi/memberitaukan kepada kesatuan polri
terdekat atau PAMAPTA dengan mempergunakan alat
komunikasi yang ada tanpa mengabaikan segala sesuatu yang
telah dikerjakan.

2.1.4 Pengolahan TKP


Pengolahan di tempat kejadian perkara (crime scene processing)
adalah tindakan atau kegiatan-kegiatan setelah dilakukannya tindakan
pertama di TKP yang dilakukan untuk mencari, mengumpulkan,
menganalisa, mengevaluasi petunjuk-petunjuk, keterangan dan bukti
serta identitas tersangka menurut teori “segi tiga” guna memberi arah
terhadap penyidikan selanjutnya.
Pada dasarnya tindakan-tindakan yang dilakukan oleh penyidik di
TKP meliputi: (Afiah, 1989: 33-34)
a. Pengamatan umum (general observation)
b. Pemotretan dan pembuatan sketsa
c. Penanganan korban, saksi dan pelaku
d. Penanganan barang bukti

2.1.5 Pentingnya Penetapan TKP


Untuk menuntut seseorang ke pengadilan karena melakukan suatu
tindak pidana, maka harus mengetahui secara pasti dimana tempat
terjadinya tindak pidana itu (locus delicti). Hal ini diperlukan untuk

5
menetapkan kewenangan Pengadilan Negeri manakah yang berhak
dalam memeriksa suatu perkara tindak pidana (kompetensi relatif).
Adapun teori untuk menetapkan locus delicti, yaitu: (Sudarto,
1990:37)
a. Teori perbuatan materiil (perbuatan jasmaniah) adalah penentuan
tempat terjadinya tindak pidana ditentukan oleh perbuatan badan
dari pelaku yang dilakukan untuk mewujudkan tindak pidana itu.
b. Teori instrumen (alat) adalah penentuan tempat terjadinya tindak
pidana berdasarkan dimana bekerjanya alat yang digunakan oleh
pembuat. Alat dalam hal ini dapat berupa benda atau orang yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan.
c. Teori akibat adalah penentuan tempat terjadinya tindak pidana
berdasarkan dari akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana.
Berkaitan dengan penuntutan, penentuan locus delicti dalam
membuat surat dakwaan dalam proses penuntutan mempunyai peranan
yang sangat penting. Dalam surat dakwaan yang dibuat oleh jaksa
penuntut umum harus memenuhi syarat formil dan syarat materiil
sesuai dengan ketentuan Pasal 143 Ayat (2) KUHAP.
Syarat formil berisikan mengenai identitas pelaku, sedangkan
syarat materiil berisikan uraian secara cermat, jelas, dan lengkap
mengenai tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa dengan
menyebut waktu dan tempat dimana tindak pidana itu dilakukan.
Apabila dalam penyebutan tempat dalam surat dakwaan tidak tepat
dengan keterangan yang diberikan oleh terdakwa, maka hal tersebut
dapat digunakan terdakwa untuk melakukan pembelaan dengan
mengungkapkan apa yang dinamakan dengan alibi.(Sutarto, 1991:73-
75) Alibi ini haruslah dibuktikan dengan bukti-bukti yang dapat
meyakinkan hakim. Apabila hakim dapat membenarkan alibi tersebut,
maka terdakwa akan dibebaskan. Untuk dapat membuktikan ini, ia
harus dapat mengetahui di mana dan kapan menurut surat dakwaan
tersebut perbuatan ini dilakukan.(Sutarto, 1991:75).

6
2.2 Pembuktian

2.2.1 Pengertian Pembuktian


Pembuktian merupakan hal yang sangat prinsipil dalam suatu
perkara, apakah itu perkara perdata, pidana, perkara dalam bidang
kewenangan administratif pemerintahan, sengketa pajak, dan lain-lain.
Baik yang diselesaikan melalui lembaga peradilan maupun melalui
lembaga non litigasi seperti arbitrase, mediasi, rekonsiliasi, dan lain-
lain.
Hukum pembuktian adalah sebagian dari hukum acara pidana
yang mengatur mengenai macam-macam alat bukti yang sah menurut
hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata
cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk
menerima, menolak, dan menilai suatu pembuktian. (Sasangka dan
Rosita, 2003:10)
Dalam proses pembuktian perkara pidana yang diatur dalam
KUHAP, pengakuan tidak melenyapkan kewajiban pembuktian.
Menurut Pasal 189 Ayat 4 KUHAP keterangan terdakwa saja tidak
cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa tersebut bersalah
melakukan perbuatan yang didakwakan, kecuali disertai dengan alat
bukti yang lain.
Dalam Pasal 189 Ayat 4 KUHAP, pengakuan bukan merupakan
alat bukti yang sempurna atau bukan volledig bewijs kracht, tapi juga
bukan merupakan alat bukti yang menentukan atau bukan beslissende
bewijskracht. Oleh karena itu jaksa penuntut umum dan persidangan
tetap mempunyai kewajiban untuk membuktikan kesalahan terdakwa
dengan alat bukti yang lain. (Harahap, 1988:795) .

2.2.2 Sistem Pembuktian


Sistem pembuktian adalah ketentuan tentang bagaimana cara
dalam membuktikan dan sandaran dalam menarik kesimpulan tentang
terbuktinya apa yang dibuktikan. Pengertian dalam sistem pembuktian

7
yang mengandung isi demikian, dapat pula disebut dengan teori atau
ajaran pembuktian. (Chazawi, 2008:24-25) Ada beberapa sistem
pembuktian yang telah dikenal dalam hukum acara pidana :
a. Sistem keyakinan belaka (Conviction in time)
Menurut sistem ini, hakim dapat menyatakan telah terbukti
kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan
jaksa penuntut umum dengan didasarkan pada keyakinannya saja,
dan tidak perlu mempertimbangkan dari mana dia memperoleh
alat buktinya dan alasan-alasan yang dipergunakan serta
bagaimana caranya dalam membentuk keyakinannya tersebut.
Juga tidak perlu mempertimbangkan apakah keyakinan yang
dibentuknya itu logis ataukah tidak logis. Bekerjanya sistem ini
benar-benar bergantung kepada hati nurani hakim. (chazawi,
2008:25)
Kelemahan dalam sistem ini adalah sebagaimana manusia biasa,
hakim dapat salah keyakinan, karena tidak ada kriteria dan syarat
serta cara-cara bagaimana seorang hakim dalam membentuk
keyakinannya.
Disamping itu, pada sistem ini terbuka peluang untuk terjadi
praktik penegakan hukum yang sewenang-wenang, dengan
bertumpu pada alasan hakim telah yakin. (chazawi, 2008:25)
b. Sistem keyakinan dengan alasan logis (Laconviction in Raisonne)
Dalam sistem ini peranan hakim tetap mempunyai peranan yang
penting dalam menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa.
Akan tetapi dalam sistem ini faktor keyakinan hakim dibatasi.
Maksudnya hakim dalam membentuk keyakinannya harus disertai
dengan alasan-alasan yang jelas, logis, dan dapat diterima oleh
akal. (Harahap, 1988:798)
c. Sistem melulu berdasarkan Undang-undang (Positief Wettelijk
Bewijstheorie)
Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian yang ditentukan
oleh undang-undang. Undang-undang mengatur jenis alat-alat

8
bukti dan cara mempergunakan atau menentukan kekuatan
pembuktian. Jadi apabila sudah dipenuhi syarat dan ketentuan
pembuktian yang sah menurut undang-undang maka hakim wajib
menetapkan bahwa tindak pidana yang dilakukan terdakwa itu
sudah terbukti. (Marpaung, 2009:27)
Kelemahan dalam sistem ini adalah keyakinan hakim sama sekali
tidak penting dan bukan menjadi bahan yang boleh
dipertimbangkan dalam menarik kesimpulan mengenai kesalahan
terdakwa. Hakim seolah-olah robot pelaksana undang-undang
yang tak memiliki hati nurani. Sistem pembuktian demikian pada
saat ini sudah tidak dipakai, karena bertentangan dengan hak-hak
asasi manusia yang pada zaman sekarang sangat diperhatikan
dalam pemeriksaan tersangka dan terdakwa. (Chazawi, 2008:28)
d. Sistem menurut Undang-undang secara terbatas (Negatief
Wettelijk Bewijstheorie)
Sistem pembuktian ini merupakan penggabungan dari sistem
yang saling bertolak belakang secara ekstrim yaitu teori
“conviction in time” dan teori “positief wettelijk bewijstheorie”.
Dari penggabungan tersebut terwujudlah suatu sistem pembuktian
menurut undang-undang secara negatif yang rumusannya
berbunyi bahwa salah tidaknya seseorang terdakwa ditentukan
oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan
alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. (Harahap,
1988:799)
Jadi sistem ini disebut dengan sistem menurut undang-undang,
karena dalam pembuktian harus menurut ketentuan undang-
undang baik alat-alat bukti yang dipergunakan maupun cara
mempergunakannya serta syarat-syarat yang harus dipenuhi
tentang terbuktinya kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana
yang didakwakan. Disebut dengan terbatas, karena dalam
melakukan pembuktian untuk menarik kesimpulan tentang
terbuktinya kesalahan terdakwa disamping dengan menggunakan

9
alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang juga dibatasi
atau diperlukan pula keyakinan hakim. Artinya, bila tidak ada
keyakinan hakim maka tidak boleh menyatakan suatu objek yang
dibuktikan adalah telah terbukti, walaupun yang dibuktikan telah
memenuhi syarat minimal bukti. (Chazawi, 2008:28-29)
Dari isi yang terkandung dalam Pasal 183 KUHAP, pembuat
undang-undang telah menentukan pilihan bahwa sistem pembuktian
yang paling tepat dalam proses penegakan hukum di Indonesia adalah
sistem pembuktian menurut undang-undang secara terbatas. Hal itu
dikarenakan apabila cuma menganut sistem pembuktian “conviction
intime” saja bisa terjadi praktik penegakan hukum yang sewenang-
wenang dengan bertumpu pada alasan hakim telah yakin. Lalu apabila
cuma menganut sistem “positiefwettelijk bewijstheorie” saja
cenderung mengejar dan mewujudkan kebenaran formil belaka,
sedikit banyak agak jauh dari arti kebenaran materiil.
Menurut buku pedoman pelaksanaan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana disebutkan kebenaran materiil ialah kebenaran
yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan
menerapkan ketentuan-ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan
tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat
didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum yang selanjutnya
meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan
apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah
orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. (Hamzah, 1990:18).

2.2.3 Alat Bukti pada Proses Pembuktian


Menurut Lilik Mulyadi kata “bukti” berarti suatu peristiwa yang
cukup untuk memperlihatkan kebenaran suatu peristiwa tersebut.
Secara terminologi dalam hukum pidana bukti adalah hal yang dapat
menunjukan kebenaran, yang diajukan oleh penuntut umum, atau
terdakwa untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan. Kata

10
bukti sering digabungkan dengan istilah/kata lain seperti: barang bukti
dan alat bukti. (Dirgantara, 2011: 15-16)
Barang bukti merupakan benda yang untuk sementara oleh
pejabat yang berwenang diambil alih dan atau disimpan di
bawah penguasaannya, karena diduga terkait dalam suatu
tindak pidana. Tujuan penguasaan sementara benda tersebut adalah
untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pembuktian di sidang
pengadilan.
Meskipun barang bukti mempunyai peranan yang sangat penting
dalam proses pidana, namun jika kita perhatikan tidak ada peraturan
perundang-undangan yang memberikan definisi tentang barang bukti.
Akan tetapi bila dihubungkan dengan pasal-pasal yang ada kaitannya
dengan barang bukti maka secara tersirat akan dipahami apa
sebenarnya barang bukti itu.
Pengertian alat bukti juga tidak diatur dalam KUHAP, yang diatur
hanyalah macam-macamnya. Sehingga bentuk maupun sifatnya alat
bukti telah ditentukan secara limitatif. Akan tetapi barang bukti
ataupun alat bukti keduanya sama-sama dipergunakan pada waktu
pembuktian di persidangan, yang membedakan antara alat bukti dan
barang bukti adalah:
a. Alat bukti merupakan bukti yang sah dalam persidangan,
sedangkan barang bukti tidak.
b. Kehadiran alat bukti mutlak harus ada dalam persidangan,
sedangkan barang bukti tidak.
c. Barang bukti merupakan sebuah benda atau barang, sedangkan
alat bukti tidak selalu berupa benda atau barang.
Sebagaimana yang telah diatur pada Pasal 184 Ayat (1) KUHAP,
alat-alat bukti yang sah dalam persidangan, yaitu:
1) Keterangan saksi.
Pengertian keterangan saksi menurut KUHAP adalah salah
satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan
dari saksi mengenai suatu peristiwa yang didengar, dilihat

11
sendiri, dan dia alami sendiri oleh saksi dan dengan
menyebutkan alasan dari pengetahuannya tersebut.
Keterangan saksi tidak boleh berupa pendapat atau hasil
rekaan saksi, ataupun keterangan dari orang lain (KUHAP
pasal 185).
Ketentuan keterangan saksi diatur dalam pasal 168, 170, 171
dan 185 KUHAP. Dalam pasal-pasal tersebut mengatur
ketentuan keterangan saksi siapa-siapa yang berhak, tidak
berhak, atau berkompeten menjadi saksi pada suatu tindak
pidana. Keterangan saksi dianggap sah apabila diajukan oleh
sedikitnya dua orang saksi. Bila berasal dari satu orang saja,
harus didukung oleh alat bukti sah lain. Keterangan saksi
juga harus diberikan oleh orang yang berkompeten, yaitu
orang yang mampu secara hukum. Orang disebut
berkompeten apabila tidak di bawah umur dan tidak di dalam
pengampuan, misal sakit jiwa.
2) Keterangan ahli.
Pengertian umum keterangan ahli, sesuai dengan pasal 1 butir
28 KUHAP adalah keterangan yang diberikan oleh seorang
yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlakukan
untuk membuat terang suatu perkara pidana guna
kepentingan pemeriksaan.
Pasal 186 KUHAP menjelaskan bahwa: keterangan ahli dapat
diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau jaksa
penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan
dan dibuat dengan mengingat sumpah diwaktu menerima
jabatan atau pekerjaan. Jika hal tersebut diberikan pada waktu
pemeriksaan oleh tim penyidik atau jaksa penuntut umum,
maka pada pemeriksaan di sidang, diminta keterangan dan
dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut
diberikan sebelum mengucapkan sumpah janji di depan
hakim.

12
3) Surat.
Pasal 187 memuat ketentuan tentang surat sebagaimana
tersebutkan pada pasal 184 hurup c, surat dibuat atas sumpah
jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. Surat dapat berupa :
a) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang
dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang
dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang
kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau
dialami sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan
tegas tetang keterangannya itu.
b) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat
yang menangani hal yang termasuk dalam tatalaksana
yang menjadi tanggung jawabnya dan yang
diperuntukkan bagi pembuktian suatu hal atau suatu
keadaan.
c) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat
pendapat berdasarkan keahliannya yang diminta secara
resmi dari padanya.
d) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada
hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Yang dimaksudkan surat menurut penjelasan diatas
adalah surat yang dibuat oleh pejabat-pejabat resmi yang
berbentuk berita acara, akte, surat keterangan ataupun surat
yang lain yang mempunyai hubungan dengan perkara yang
sedang diadili.
4) Petunjuk.
Petunjuk menurut KUHAP adalah perbuatan, kejadian atau
keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara satu
dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri,
menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan
siapa pelakunya.

13
Petunjuk dapat berupa fotografi, foto kopi, kaset rekaman,
rekaman vidio, atau barang bukti lainnya yang diketemukan
di tempat kejadian perkara (TKP). Barang bukti tersebut
dapat digunakan sebagai rekonstruksi kasus atau penelusuran
identitas pelaku.
5) Keterangan terdakwa.
Alat yang paling terakhir menurut KUHAP adalah keterangan
terdakwa, merupakan keterangan dari terdakwa tentang apa
yang dilakukan, diketahui sendiri, atau dialami sendiri oleh
terdakwa.

2.2.4 Bukti Fisik dalam Ilmu Forensik


Bukti dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu kesaksian berupa
kata atau pernyataan yang diucapkan oleh korban atau saksi dan fisik
berupa bukti nyata seperti rambut, serat, sidik jari, dan bahan biologis.
Konsep yang dikenal sebagai ‘Pertukaran Locard Prinsip’
menyatakan bahwa setiap seseorang memasuki sesuatu lingkungan,
sesuatu hal atau bukti akan ditinggalkan atau dihilangkan di wilayah
itu. Prinsip ini kadang-kadang dinyatakan sebagai ‘setiap kontak
meninggalkan jejak’ dan berlaku untuk menyelidiki antar individu
maupun antar individu dengan lingkungan fisik. Oleh karena itu
peneliti penegak hukum dianjurkan untuk selalu beranggapan bahwa
pasti terdapat bukti fisik disetiap adegan. Jumlah dan sifat bukti yang
dibuat akan sangat bergantung pada keadaan kejahatan.
Sering kali, bukti menceritakan sebuah cerita dan membantu
penyidik menciptakan TKP dan menetapkan urutan kejadian. Bukti
fisik dapat menguatkan laporan dari korban, saksi danatau tersangka.
Jika dianalisis dan diinterpretasikan dengan benar, bukti fisik lebih
dapat diandalkan daripada bukti kesaksian. Presepsi individu dan
ingatan tentang apa yang terjadi bisa tidka lengkap atau tidak akurat.
Bukti fisik adalah tujuan dari pemeriksaan dan ketika
didokumentasikan, dikumpulkan, dan diawetkan dengan baik mungkin

14
menjadi satu-satunya cara pengumpulan bukti yang paling handal
dalam hal menempatkan atau mengubungkan seseorang TKP. Karena
itu bukti fisikdapat dikatakan sebagai ‘saksi bisu’.

2.2.5 Macam-Macam Bukti Fisik


Bukti fisik yang diketemukan di TKP dapat dikelompokkan
menjadi 4 (Sampurna 2000), yaitu:
a. Bukti transient. Bukti ini sesuai dengan sifatnya hanya sementara
dan akan dengan mudah hilang atau berubah. Sebagai contoh
adalah: buah-buahan, suhu, imprints dan indentation (tanda-tanda
yang ditimbulkan akibat tekanan, seperti tanda jejak sepatu, atau
tapak ban mobil pada kasus kecelakaan bermotor), tanda-tanda
seperti lebam mayat, jejak bibir di puntung rokok, bercak darah di
pakaian yang akan dicuci, dll. Bukti seperti ini diketemukan oleh
penyidik di TKP, dan harus segera dicatat dan didokumentasikan.
b. Bukti pola, seperti percikan bercak darah, pola pecahan kaca atau
gelas, pola kebakaran, pola posisi furnitur, trayektori proyektil,
dan posisi mayat, dll.
c. Bukti kondisional, seperti derajat kekakuan mayat, distribusi
lebam mayat, apakah pintu terkunci, apakah lampu menyala,
ketebalan dan arah geraknya asap.
d. Bukti yang dipindahkan (transfer), yang merupakan bukti fisik
yang paling klasik. Bukti transfer terjadi karena kontak antara
orang-orang atau benda-benda, atau antar orang dengan benda.

2.2.6 Penyelidikan Bukti Fisik di TKP


Barang bukti fisik tidak selalu terlihat dengan mata telanjang dan
dapat dengan mudah terabaikan. Pendekatan disiplin untuk
pengumpulan dan pelestarian bukti sangat penting. Satu pengecualian
mungkin jika integritas bukti yang berisiko, dan dalam situasi seperti
itu adalah penting bahwa keputusan yang cepat dibuat untuk
mencegah degradasi dan atau kerugian. Sangat penting bahwa

15
penyidik memperoleh informasi sebanyak munkin mengenai keadaan
kejahatan sebelum memasuki TKP. Laporan dari saksi, korban atau
responden pertama dapat memberikan pemahaman yang lebih luas.
Penyelidik dapat mengembangkan pendekatan untuk adegan
berdasarkan informasi ini dan sifat kejahatan.
Misalnya di tempat perampokan, perhatian bisa fokus pada titik
masuk. Fragmen dari kayu, logam, atau pecahan kaca dapat
ditemukan, bersama sidik jari, darah dan serat dari pakaian ketika
pelaku memaksa masuk.
Dalam kasus kekerasan seksual perhatian dapat diarahkan pada
pakaian dan pribadi korban serta tersangka. Seorang penyidik
mungkin menemukan cairan tubuh, noda, pakaian robek, sidik jari,
serat, rambut, dan bahan lainnya, jejak di daerah dimana serangan
terjadi. Bukti potensial seperti air liur, bekas gigitan, air mani, rambut,
jaringan kulit di bawah kuku jari, dan bahan lainnya dapat ditemukan
pada korban. Bukti ditransfer seperti kosmetik, cairan vagina, rambut
dari korban, dan darah juga dapat ditemukan pada tersangka.
Setelah bukti potensial ditangani dan didokumentasikan, langkah
berikutnya adalah untuk mengumpulkan dan mengemas barang bukti
dengan cara mencegah kehilangan, kontaminasi, dan perubahan yang
merusak. Bukti biologis membutuhkan perawatan untuk mencegah
dari kontaminasi silang baik oleh penyidik maupun spesimen biologi
lainnya di lokasi kejadian. Jenis peralatan yang digunakan dalam
mencegah kontaminasi silang antara lain adalah :
a. Tyvek kertas putih tubuh setelan
b. Topeng kertas yang mencakup hidung dan mulut
c. Pelindung mata
d. Sarung tangan berbahan lateks atau nitrile
e. Pelindung lengan
f. Sepatu
g. Penutup kepala atau net rambut

16
Penyelidik harus memprioritaskan urutan bukti yang
dikumpulkan. Bukti biologis, bahan jejak, dan bukti yang bersifat
rapuh harus dikumpulkan terlebih dahulu.
Dari TKP bukti fisik tersebut dibawa ke laboratorium forensik,
semua bukti harus diinventariskan dan dijamin untuk menjaga
integritas. Hal ini penting untuk menunjukan bahwa bukti yang
diperkenalkan di pengadilan adalah bukti yang sama yang
dikumpulkan di TKP.
Bahan-bahan yang dikumpulkan dikemas oleh anggota tim.
Kemasan bukti yang tepat meliputi :
a. Kemasan yang sesuai dan diberi label pada setiap item
b. Setiap kemasan disegel dengan benar dan ditandai
c. Informasi yang benar dan konsisten direkam pada label dan dan
dokumentasi prosedural
Bukti diserahkan kepada penyidik untuk diserahkan ke bagian
properti dan bukti pada suatu departemen. Umumnya pengiriman ke
laboratorium forensik mengguanakan sistem barcode untuk menjamin
keamanannya.
Setelah analisis selesai, barang bukti ada yang dikirim kembali ke
suatu lambaga dan didokumentasikan. Laporan penegak hukum,
dokumentasi, laporan analisi di simpandalam bentuk berkas perkara.

2.2.7 Teknik Pengumpulan Bukti Fisik


Metode pengumpulan bukti berbeda tergantung pada jenis bukti
dan substrat yang ditemukan. Akan lebih baik apabila mengumpulkan
bukti di tempat asalnya. Penyelidik harus berkonsultasi dengan
laboratorium forensik lokal dan mengacu pada departemen prosedur
operasi standar terhadap pengumpulan bukti biologis.

1) Darah dan cairan tubuh lainnya


Metode serap basah. Dengan menggunakan kasa steril atau
benang yang dibasahi dengan air suling steril. Dengan cara

17
mengusapkan kasa yang telah dibasahi pada noda hingga noda
terserap pada ujung kasa, kemudian dibiarkan mengering. Akan
lebih baik apabila pengusapan dilakukan dua kali dengan
menggunakan kasa kering pada pengusapan kedua untuk
memastikan sampel terambil secara menyeluruh.
Dengan metode scraping. Dengan menggunakan silet atau
pisau bedah yang bersih. Dengan cara menggores sampel dan
disimpan pada selembar kertas bersihyang dapat dilipat atau
sejenisnya.
Dengan menggunakan tape. Untuk noda darah kering pada
permukaan yang tidak dapat menyerap. Dengan cara
memindahkan noda pada sisi perekat pita.

2) Rambut dan serat


Pada beberapa pemeriksaan rambut dan serat dapat dilihat
dengan mata telanjang. Dengan menggunakan pinset bersih dan
kertas jeja, sampel dapat dilipat dam disimpan dalam amplop
kertas atau kemasan lain yang sesuai.
Dengan metode tape lifting, kaset air atau metanol larut untuk
pengumpulan jejak rambut dan serat. Dengan memberikannya
pada lokasi sampel yang dicurigai dihapus atau dikemas.
Dengan menggunakan vakum yang telah diberikan saringan,
dengan menggunakan alat pada lokasi sampel, kemudian
disimpan pada kertas jejak bersih. Metode ini sangat jarang
digunakan karena rentan terhadap resiko terkontaminasi silang
jika alat tidak dibersihkan dengan baik.

3) Pengemasan dan penyimpanan


Bukti biologis harus dikeringkan sebelum dikemas untuk
meminimalkan degradasi. Kemasan yang paling sering digunakan
adalah kertas, dan menggunakankemasn plastik apabila sampel
benar-benar kering. Pada sampel cair harus didokumentasikan

18
terlebih dahulu dan ditempatkan pada gelas steril atau plastik dan
didinginkan sesegera mungkin.

4) Dokumentasi
Cara dokumentasi yang sering digunakan di TKP adalah
fotografi. Fotografer harus dapat bersaksi bahwa foto itu adalah
representasi yang benar dan akurat dari aegan pada saat foto itu
diambil. Sketsa foto mungkin tidak selalu menggambarkan
hubungan spesial antara objek, sketsa digunakan untuk
melengkapi foto. Sketsa dapat lebih mudah menggambarkan
keseluruhan kejadian dan hubungan antara objek. Penyidik
biasanya membuat sketsa kasar di TKP yang berisi semua
informasi yang diperlukan untuk penyidik menyelesaikan sketsa
secara keseluruhan.

19
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Tempat Kejadian Perkara (TKP), yaitu tempat dimana tersangka dan atau
korban dan atau barang-barang bukti yang berhubungan dengan tindak pidana
tersebut dapat ditemukan.
Adapun dasar hukum mengenai TKP diantaranya adalah :
a. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
b. UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisisan Negara Republik Indonesia;
c. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun
2010 Tentang Manajemen Penyidikan Oleh Penyidik Pegawai Negeri
Sipil.
d. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14
Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana
Tindakan pertama di TKP (tempat kejadian perkara), yaitu tindakan
penyidik/penyidik pembantu TKP untuk Memberikan perlindungan dan
pertolongan pertama, mengamankan TKP dan menghubungi kapolri terdekat.
Pengolahan di tempat kejadian perkara (crime scene processing) adalah
tindakan atau kegiatan-kegiatan setelah dilakukannya tindakan pertama di
TKP yang dilakukan untuk mencari, mengumpulkan, menganalisa,
mengevaluasi petunjuk-petunjuk, keterangan dan bukti serta identitas
tersangka menurut teori “segi tiga” guna memberi arah terhadap penyidikan
selanjutnya.
Pembuktian merupakan hal yang sangat prinsipil dalam suatu perkara,
apakah itu perkara perdata, pidana, perkara dalam bidang kewenangan
administratif pemerintahan, sengketa pajak, dan lain-lain. Baik yang
diselesaikan melalui lembaga peradilan maupun melalui lembaga non litigasi
seperti arbitrase, mediasi, rekonsiliasi, dan lain-lain.
Alat bukti pada pembuktian dapat berupa keterangan saksi, keterangan
ahli, keterangan terdakwa, surt dan petunjuk. Bukti fisik berupa bukti nyata
seperti rambut, serat, sidik jari, dan bahan biologis.

20
Bukti fisik terbagi atas bukti transient, bukti pola, bukti kondisonal dan
bukti transfer. Dalam pengumpulan bukti fisik teknik yang digunakan
berbeda dilihat berdasarkan jenisnya yang berupa darah dan cairan tubuh
lainnya, rambut dan serat, berbeda pula pada pengemasan dan penyimpanan
serta dokumentasi.

21
Daftar Pustaka

 Eckert, W.G., 1980, Introduction to Forensic sciences, The C.V. Mosby


Company,St. Louis, Missori
 Saferstein R., 1995, Criminalistics, an Introduction to Forensic
Science, 5th Ed.,A Simon & Schuster Co., Englewood Cliffs, New Jersey
 Sampurna, B., 2000, Laboratorium Kriminalistik Segabai Sarana
Pembuktian Ilmiah,dalam Tim IBA Kriminalistik, Laporan Kegiatan
Buku II, Proyek PengembanganKewirahusaan Melalui Itegratif
Bahan Ajar Kriminalistik, Lembaga PengabdianKepada Masyarakat
Universitas Indonesia, Jakarta
 Afiah, R.N. 1998. Barang Bukti Dalam Proses Pidana. Jakarta: Sinar
Grafika
 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt52cf2e84378f4/dasar-hukum-
olah-tkp
 http://lib.unnes.ac.id/20032/1/8150408063.pdf
 https://www.scribd.com/mobile/doc/240022709/xxx-txt

22

Anda mungkin juga menyukai