Anda di halaman 1dari 29

PATOFISIOLOGI SISTEM PENCERNAAN (DIARE, DEMAM

TYPHOID, HEPATITIS, KOLESISTITIS, GASTRITIS,


ULKUS PEPTIKUM, KOLESTASIS, CA COLON)

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019

0
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Penyakit diare masih menjadi penyebab kematian balita (bayi dibawah 5
tahun) terbesar didunia. Menurut catatan UNICEF, setiap detik 1 balita meninggal
karena diare. Diare sering kali dianggap sebagai penyakit sepele, padahal di
tingkat global dan nasional fakta menunjukkan sebaliknya. Menurut catatan
WHO, diare membunuh 2 juta anak didunia setiap tahun, sedangkan di Indonesia,
menurut Surkesnas (2001) diare merupakan salah satu penyebab kematian ke 2
terbesar pada balita.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2007 dari Kementerian Kesehatan,
tingkat kematian bayi berusia 29 hari hingga 11 bulan akibat diare mencapai 31,4
persen. Adapun pada bayi usia 1-4 tahun sebanyak 25,2 persen. Bayi meninggal
karena kekurangan cairan tubuh. Diare masih merupakan masalah kesehatan di
Indonesia. Walaupun angka mortalitasnya telah menurun tajam, tetapi angka
morbiditas masih cukup tinggi. Kematian akibat penyakit diare di Indonesia juga
terukur lebih tinggi dari pneumonia (radang paru akut) yang selama ini
didengungkan sebagai penyebab tipikal kematian bayi.
Sistem pencernaan makanan berhubungan dengan penerimaan makanan dan
mempersiapkannya untuk di proses oleh tubuh. Makanan adalah tiap zat atau
bahan yang dapat digunakan dalam metabolisme guna memperoleh bahan-bahan
untuk memperoleh tenaga atau energi. Selama dalam proses pencernaan makanan
dihancurkan menjadi zat-zat sederhana dan dapat diserap oleh usus, kemudian
digunakan oleh jaringan tubuh. (Anggita, 2012).
Sistem pencernaan adalah organ yang seringkali mudah terkena gangguan
sehingga timbul berbagai masalah penyakit pencernaan. Penyakit pencernaan
adalah semua penyakit yang terjadi pada saluran pencernaan. Penyakit ini

1
merupakan golongan besar dari penyakit pada organ esofagus, lambung,
duodenum bagian pertama, kedua dan ketiga, jejunum, ileum, kolon, kolon
sigmoid, dan rektum. Penyakit pencernaan yang mulanya ringan dapat berdampak
fatal apabila kita tidak mengerti diagnosa penyakit dan cara penanganan yang
tepat. Oleh karena itu sangat penting bagi kita untuk mengetahui berbagai seluk
beluk hingga penanganan penyakit pencernaan.
B. TUJUAN
1. Untuk menambah pengetahuan tentang patofisiologi diare.
2. Untuk menambah pengetahuan tentang patofisiologi demam typoid
3. Untuk menambah pengetahuan tentang patofisiologi hepatitis.
4. Untuk menambah pengetahuan tentang patofisiologi kolesistitis.
5. Untuk menambah pengetahuan tentang patofisiologi gastritis
6. Untuk menambah pengetahuan tentang patofisiologi ulkus peptikum
7. Untuk menambah pengetahuan tentang patofisiologi kolestasis.
8. Untuk menambah pengetahuan tentang patofisiologi Ca. kolon

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. DIARE
1. Defenisi
Diare adalah keadaan dimana fases kehilangan konsistensi normalnya
yang padat dengan frekwensi bab >2x/hari (Silbernagl, Lang, Gay, &
Rothenburger, 2016).
Diare terjadi akibat gerakan cepat feses melalui usus besar. Beberapa
penyebab diare dengan gejala sisa fisiologis yang penting adalah sebagai
berikut (Guyton & Hall, 2006).
Diare adalah seringnya buang air besar. Diare bisa akut atau kronis.
Diare dianggap kronis ketika gejala bertahan selama 3 minggu pada anak-anak
atau orang dewasa dan 4 minggu pada bayi (Porth, 2010).
2. Penyebab dan patofisiologi Diare

Penyebabkan terlalu banyaknya cairan berkumpul pada ujung usus besar


adalah karena sekresi yang berlebiban , penurunan absorpsi atau

3
keberadaan substansi tertentu yang meningkatkan osmolaritas isi
kolon. (Silbernagl et al., 2016).

Sebagai contoh, pasien intoleransi Iaktosa tidak memiliki enzim


laktase dalam jumlah yang memadai. Jadi, Iaktosa yang harus diuraikan
dan diserap dalam usus halus tetap utuh dalam usus besar. Karena keadaan
ini meningkatkan kadar solut dalam cairan intralumen bila dibandingkan
cairan sei di sekitarnya, maka air secara wajar akan tertarik ke dalam lumen
usus. (Porth, 2010).
E. coli dapat pula memproduksi toksin yang mem pengaruhi berbagai
transporter sehingga terjadi penurunan absorpsi Na+ dan/atau peningkatan
sekresi K+ serta Cl- . Bakteri lainnya (misalnya Shigella, Salmonella,
Campylobacter, Bacillus) dan beberapa jenis virus (misalnya rotavirus,
virus Norwalk) menyebabkan diare lewat kerusakan langsung pada dinding
intestinal. Kerusakan tersebut juga mempengaruhi transporter ini sehingga
terjadi over-sekresi dan/atau penurunan absorpsi. (Porth, 2010).
Selain itu yang menyebabkan sekresi yang berlebihan atau penurunan
absorpsi adalah bakteri Vibrio cholerae mengeluarkan toksin yang
mengaktifkan enzim adenilat siklase. Keadaan ini akan mengaktifkan
transporter yang meningkatkan sekresi CT dan Kr (ke dalam lumen dari
sel-sel usus) dan inhibisi salah satu transporter elektrolit luminal yang
bertanggung jawab atas absorpsi Na+(dari lumen ke dalam sel). Kadar Na+,
K+ dan Cl- yang berlebihan di dalam lumen usus akan meningkatkan
osmolaritas luminal sehingga terjadi suatu gradien osmotik yang menarik
air dan menyebabkan diare. (Guyton & Hall, 2006).
Enteritis atau peradangan pada usus berarti peradangan biasanya
disebabkan oleh virus atau oleh bakteri di saluran usus. Pada diare infeksi
yang umum, infeksi paling luas di usus besar dan ujung distal ileum. Di
mana pun infeksi hadir, mukosa menjadi sangat teriritasi, dan tingkat

4
sekresinya menjadi sangat meningkat. Selain itu, motilitas dinding usus
biasanya meningkat banyak kali lipat. Akibatnya, sejumlah besar cairan
tersedia untuk mencuci agen infeksius ke arah anus, dan pada saat yang
sama gerakan mendorong yang kuat mendorong cairan ini ke depan. Ini
adalah mekanisme penting untuk membersihkan saluran usus dari infeksi
yang melemahkan (Guyton & Hall, 2006).
Setiap orang akrab dengan diare yang menyertai periode ketegangan
saraf, seperti selama waktu pemeriksaan atau ketika seorang tentara akan
pergi ke medan perang. Jenis diare ini, yang disebut diare emosional
psikogenik, disebabkan oleh stimulasi berlebihan dari sistem saraf
parasimpatis, yang sangat menggairahkan baik motilitas dan kelebihan
sekresi lendir di kolon distal. Kedua efek yang ditambahkan bersama-sama
dapat menyebabkan tanda diare (Guyton & Hall, 2006).
Kolitis ulserativa adalah penyakit di mana area yang luas dari dinding
usus besar menjadi meradang dan mengalami ulserasi. Motilitas dari kolon
ulserasi sering begitu hebat sehingga gerakan-gerakan massa terjadi lebih
sering daripada pada hari biasanya 10 hingga 30 menit. Selain itu, sekresi
usus sangat meningkat. Akibatnya, pasien mengalami diare berulang kali
(Guyton & Hall, 2006).
Penyebab kolitis ulserativa tidak diketahui. Beberapa dokter percaya
bahwa hasil dari alergi atau efek merusak kekebalan, tetapi juga bisa hasil
dari infeksi bakteri kronis belum dipahami. Apa pun penyebabnya, ada
kecenderungan herediter yang kuat untuk kerentanan terhadap kolitis
ulseratif. Setelah kondisi telah berkembang sangat jauh, ulkus jarang akan
sembuh sampai ileostomy dilakukan untuk memungkinkan isi usus kecil
mengalir ke luar daripada melewati usus besar. Bahkan kemudian bisul
kadang gagal untuk sembuh, dan satu-satunya solusi adalah pengangkatan
seluruh kolon secara bedah (Guyton & Hall, 2006).

5
3. Patofisiologi Diare

Infeksi makanan Psikologi

Berkembang di usus Toksik tak dapat diserap Ansietas

Patofisiologi
Hipersekresi Diare
air dan elektrolit hiperperistaltik
Malabsorbsi KH, lemak,
protein

Usus halus Penyerapan makanan


diusus menurun Mening tekanan osmotik

Pergeseran air dan


elektrolit ke usus

Diare

Frekuensi BAB meningkat Distensi abdomen

Hilang cairan dan elektrolit Kerusakan integritas Mual muntah


berlebihan kulit

Nafsu makan menurun

Gagguan keseimbangan Asidosis metabolik


cairan dan elektrolit Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan
Sesak
tubuh
Dehidrasi Gangguan pertukaran
gas

Kekurangan volume cairan Resiko syok (hipovolemi) 6


B. DEMAM TYPHOID
1. Defenisi
Demam tifoid adalah penyakit sistemik  yang akut yang mempunyai
karakteristik demam, sakit kepala dan ketidakenakan abdomen berlangsung
lebih kurang 3 minggu yang juga disertai gejala-gejala perut pembesaran
limpa dan erupsi kulit. Demam tifoid (termasuk para-tifoid) disebabkan oleh
kuman Salmonella typhi, S paratyphi A, S paratyphi B dan S paratyphi C. Jika
penyebabnya adalah S paratyphi, gejalanya lebihringan dibanding dengan
yang disebabkan oleh S typhi. (Muttaqin & Sari, 2013).
Demam tifoid pada masyarakat dengan standar hidup dan kebersihan
rendah, cenderung meningkat dan terjadi secara endemis. Biasanya angka
kejadian tinggi pada daerah tropik dibandingkan daerah berhawa dingin.
Sumber penularan penyakit demam tifoid adalah penderita yang aktif,
penderita dalam fase konvalesen, dan kronik karier. Demam Tifoid juga
dikenali dengan nama lain yaitu Typhus Abdominalis, Typhoid fever atau
Entericfever. Penyakit ini ditandai oleh panas berkepanjangan, ditopang
dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur endothelia atau endokardial dan
invasi bakteri sekaligus multiplikasi kedalam sel fagosit monokular dari hati,
limfa, kelenjar linfe usus dan peyers patch dan dapat menular pada orang lain
melalui makanan atau air yang terkontaminasi. (Muttaqin & Sari, 2013)
2. Penyebab Demam Typhoid
Kuman salmonella typhi yang masuk kesaluran gastrointestinan akan
ditelan oleh sel sel fagosit ketika masuk melewati mukosa dan oleh factor

7
makrofag yang ada didalam laminaprophia. Sebagian dari salmonella typhi
ada yang dapat masuk ke usus halus mengadakan invasi kejaringan limfoid
usus halus dan jaringan limfoid mesenterika. Kemudian salmonella typhi
masuk melalui folikel limfa ke saluran limphatik dan sirkulasi darah sistemik
sehingga terjadi bakterimia. Bakterimia pertama tama menyerang sistem RES
yaitu hati, limpa, dan tulang lalu menyerang seluruh organ dalam tubuh antara
lain sistem saraf pusat, ginjal dan jaringan limfa (Muttaqin & Sari, 2013).
Usus yang terserang salmonella typhi umumnya ileum distal, tetapi
kadang bagian lain usus halus dan kolon proksimal juga di hinggapi. Pada
mulanya, plakatpeyer penuh dengan vagosit, membesar, menonjol dan tampak
seperti infiltrate atau hyperplasia di mukosa usus (Muttaqin & Sari, 2013).
Pada akhir minggu pertama infeksi, terjadi nekrosis dan tukak-tukak ini
lebih besar dari ileum dari pada di kolon sesuai dengan ukuran plakpeyer yang
ada disana. Kebanyakan tukak dangkal, tetapi kadang lebih dalam sampai
menimbulkan perdarahan. Perforasi terjadi pada tukak yang menembus serosa.
Setelah penderita sembuh, biasanya ulkus membaik tampa meninggalkan
jaringan parut dan fibrosis (Muttaqin & Sari, 2013).
3. Patofisiologi Demam Typhoid

Kuman salmonella typhy Lolos dari asam lambung


yang masuk kesaluran Malaise,perasaan tidak enak
gastrointestinal badan
Bakteri masuk usus halus

Pembuluh limfe inflamasi Komplikasi intestinal:


perdarahan usus ,perforasi
usus (bag. Distal ileum),
Masuk retikulo endothelial peritonituis
Peredaran darah (bakteremia
(RES) terutama hati dan
primer)
limfa

Inflamasi pada hati dan limfa empedu Masuk kealiran darah


(bakteremia sekunder

Rongga usus pada kel.


Limfoid halus endotoksin

8
Terjadi kerusakan sel
hepatomegali Pembesaran limfa
Nyeri Tekan Nyeri Akut

splenomegali Merangsang melepas zat


Nyeri Tekan Nyeri Akut epirogen oleh leukosit

Lase plak peyer Penurunan mobilitas usus Mempengaruhi pusat


thermoregulator dihipotalamus

erosi Penurunan peristaltic usus

Ketidak Efektifan
Thermoregulator

Konstipasi Peningkatan asam lambung

Resikokekurangan cairan
Anoreksia mual muntah

Perdarahan masif Nyeri Ketidakseimbangan Nutrisi


Kurang Dari Kebutuhan tubuh
Komplikasi perforasi dan
perdarahan usus

C. HEPATITIS
1. Pengertian
Hepatitis adalah penyakit peradangan hati yang dapat disebabkan oleh
berbagai kausa, termasuk infeksi virus atau pajanan ke bahan-bahan toksik.
Pada hepatitis virus, Peradangan hati yang berkepanjangan atau berulang,
yang biasanya berkaitan dengan alkoholisme kronik, dapat menyebabkan
sirosis, suatu keadaan berupa penggantian hepatosit yang rusak secara
permanen oleh jaringan ikat. Jaringan hati memiliki kemampuan mengalami
regenerasi, dan dalam keadaan normal mengalami pertukaran sel yang

9
bertahap. Apabila sebagian jaringan hati rusak, jaringan yang rusak tersebut
dapat diganti melalui peningkatan kecepatan pembelahan sel-sel yang sehat.
Tampaknya terdapat suatu faktor dalam darah yang bertanggung jawab
mengatur proliferasi sel hati, walaupun sifat dan mekanisme factor pengatur
ini masih merupakan misteri. Namun, seberapa cepat hepatosit dapat diganti
memiliki batas. Selain hepatosit, di antara lempeng-lempeng hati juga
ditemukan beberapa fibroblast (sel jaringan ikat) yang membentuk jaringan
penunjang bagi hati. Bila hati berulang-ulang terpajan ke bahan-bahan toksik,
misalnya alkohol, sedemikian seringnya, sehingga hepatosit baru tidak dapat
beregenerasi cukup cepat untuk mengganti sel – sel yang rusak, fibroblast
yang kuat akan memanfaatkan situasi dan melakukan proliferasi berlebihan.
Tambahan jaringan ikat ini menyebabkan ruang untuk pertumbuhan kembali
hepatosit berkurang. (Smeltzer & Bare, 2013).
Istilah "Hepatitis" dipakai untuk semua jenis peradangan pada hati (liver).
Penyebabnya dapat berbagai macam, mulai dari virus sampai dengan obat-
obatan, termasuk obat tradisional. Virus hepatitis juga ada beberapa jenis,
hepatitis A, hepatitis B, C, D, E, F dan G. Manifestasi penyakit hepatitis
akibat virus bisa akut (hepatitis A) dapat pula hepatitis kronik (hepatitis B,C)
dan adapula yang kemudian menjadi kanker hati (hepatitis B dan C). hepatitis
yang biasanya disebabkan oleh obat-obatan, alkohol (hepatitis alkoholik), dan
obesitas serta gangguan metabolisme yang menimbulkan nonalkoholik
steatohepatitis (NASH) disebut Hepatitis Nonvirus. Hepatitis merupakan
suatu masalah kesehatan yang dikarenakan infeksi virus dan reaksi toksik
yang disebabkan oleh obat dan bahan kimia yang menimbulkan peradangan
(Padilla, 2013). Sehingga hepatitis virus dapat didefinisikan infeksi sistemik
yang disebabkan oleh virus yang diikuti dengan munculnya nekrosis dan
klinis, biokimia serta seluler yang khas (Smeltzer & Bare, 2013).
Pada hepatitis yang disebabkan oleh virus tersebut dapat
mengakibatkan cedera hepatosit sehingga merangsang munculnya inflamasi

10
yang akan merusak hepatosik. Namun pada situasi tertentu virus-virus tersebut
dapat mencederai sel-sel secara langsung. Dalam proses inflamasi tersebut
melibatkan degranulasi sel mast, histamine dilepas, sitokin dibentuk, aktivasi
komplemen, lisis sel-sel terinfeksi dan sel yang ada disekitarnya serta
munculnya edema pada interstisium (Crowin, 2009).
2. Etiologi
Menurut Padilla (2013) membagi penyebab hepatitis terdiri dari 3 yaitu:
a. Virus

Type A Type B Type C Type D Type E


Metode Fekal oral Parenteral, Parenteral Parenteral Fekal-
transmisi melalu orang seksual, jarang perinatal, oral
lain perinatal seksual, memerlukan
orang koinfeksi
keorang, dengan type
perinatal B
Keparaha Tak ikterik Parah Menyebar Penngkatan Sama
n dan luas, dapat insiden dengan D
asimptomatik berkembang kronis dan
sampai kronis gagal hepar
akut

Sumber Darah, Darah, Terutama Melalui Darah,


virus faeces, saliva saliva, melalui darah darah faeces,
semen, saliva
sekresi,
vagina
b. Alkohol
Minimal alkohol tersebut dapat menyebabkan hepatitisyang
kemudian akan berlanjut menjadi sirosis.
c. Obat-Obatan
Obat-obatan dapat menyebabkan toksik pada hati, karena hal
tesebut biasa disebut dengan hepatitis toksik atau hepatitis akut

11
3. Patofisiologi (Sumber : Padilla (2013)

Pengaruh Alkohol, Virus Inflamasi pada Hepar


dan Toksik

Hepatitis Peregangan Kapsul Hati


Hipertermi

Perubahan Kenyamanan Gangguan Supply Darah Hepatomegali


Normal Pada Sel-Sel Hepar

Gangguan Metabolisme Perasaan Tidak Nyaman di


Karbohidrat, Lemak dan Kerusakan sel Kuadran Kanan Atas
Protein parenkim, sel hati
duktus epmedu
intrahepatik
Nyeri Anorksia

Glikogenesis Glukoneogenesis
Menurun Menurun Kerusakan Sel
Parenkim, Sel Hati dan
Duktuli Empedu
Intrahepatik
Glikogen dalam Hepar
berkurang
Obstruksi Kerusakan Konjugasi
Glikogenolisis menurun

Kerusakan Sel Eksresi Bilirubin Tidak Sempurna di


Glukosa Dalam Darah keluarkan Melalui Duktus
Menurun Hepatikus
Retensi Bilirubin
Cepat Lelah/Keletihan
Regurgitasi pada Bilirubin Direk Meningkat
duktuli Empedu Intra
Hepatik
Ikterus
Bilirubin Direk Meningkat

12
Peningkatan garam empedu Ikterus Larut dalam Air
dalam darah

Perubahan
Pruritus Ekskresi Kedalam Kemih
Kenyamanan

Bilirubin dan Kemih berwarna Gelap

D. CHOLESISTITIS
1. Pengertian
Kolesistitis adalah radang dinding kandung empedu yang disertai keluhan
nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Berdasarkan etiologinya,
kolesistitis dapat dibagi menjadi:
a. Kolesistitis kalkulus, yaitu kolesistitis yang disebabkan batu kandung
empedu yang berada di duktus sistikus.
b. Kolesistitis akalkulus, yaitu kolesistits tanpa adanya batu empedu.
Berdasarkan onsetnya, kolesistitis dibagi menjadi kolesistitis akut dan
kolesistitis kronik. Pembagian ini juga berhubungan dengan gejala yang
timbul pada kolesistitis akut dan kronik. Pada kolesistitis akut, terjadi
inflamasi akut pada kandung empedu dengan gejala yang lebih nyata seperti
nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Sedangkan, kolesistitis kronik
merupakan inflamasi pada kandung empedu yang timbul secara perlahan-
lahan dan sangat erat hubugannya dengan litiasis dan gejala yang ditimbulkan
sangat minimal dan tidak menonjol. Kholesistitis adalah suatu peradangan
yang terjadi pada kandung empedu (Smeltzer & Bare, 2013). Definisi lain dari
cholesistitis yaitu suatu peradangan yang terjadi pada dinding kandung
empedu yang diikuti keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri saat ditekan, dan
peningkatan suhu (Naga, 2014).

13
Penyakit ini merupakan penyakit yang paling umum terjadi pada
kandung empedu. Kolesistitis akut ini dapat menimbulkan terjadinya
komplkasi seperti abses (Monica, 2002).
2. Etiologi
Menurut Naga (2014) menyatakan bahwa penyebab utama terjadinya
inflamasi pada kandung empedu adalah adanya batu pada kandung empedu.
Terdapat beberapa factor penyebab yang mempengaruhi kolesistitis yaitu :
a. Cairan empedu yang pekat
b. Kolesterol
c. Rusaknya lapisan mukosa dinding kandung empedu yang disebabkan oleh
lisolesitin dan prostatglandin kemudian terjadi inflamasi dan superasi
d. Kuma-kuman seperti Escherichia coli dan salmonella typhosa
3. Patofisiologi

Obstruksi batu Batu Trauma


empedu pada Empedu abdomen, luka
duktus sistikus bakar, sepsis

Pecahnya
batu Perluasan
Tekanan
empedu perlukaan
intralumen
kandung empedu Infeksi pada duktus
meningkat sistikus
Trauma epitel
kandung empedu
Inflamasi pada
kandung empedu
Sintesis
prostatglandin I2 dan COLESISTITIS Kandung empedu tidak mampu
F2 mengeluarkan cairan empedu
Fibrosis dinding kandung
empedu Infeksi kandung
empedu Gangguan
Komplikasi metabolisme
sepsis Vaskularisasi lemak
meningkat
Peningkatan rasa
mual dan muntah
Permeabilitas pembuluh
darah
Anoreksia
Kebocoran cairan
intravaskuler keintersisiel 14

Ganggren atau Oedema Tekanan intra Penekanan


nekrosis abdomen gaster
E. GASTRITIS
1. Pengertian
Gastritis atau lebih dikenal sebagai maag berasal dari bahasa yunani yaitu
gastro, yang berarti perut/lambung dan itis yang berarti inflamasi/peradangan.
Gastritis bukan merupakan penyakit tunggal, tetapi terbentuk dari beberapa
kondisi yang kesemuanya itu mengakibatkan peradangan pada lambung.
Biasanya, peradangan tersebut merupakan akibat dari infeksi oleh bakteri
yang sama dengan bakteri yang dapat mengakibatkan borok di lambung yaitu
Helicobacter pylori. Tetapi faktor-faktor lain seperti trauma fisik dan
pemakaian secara terus menerus beberapa obat penghilang sakit dapat juga
menyebabkan gastritis. Secara histologis dapat dibuktikan dengan inflamasi
sel-sel radang pada daerah tersebut didasarkan pada manifestasi klinis dapat
dibagi menjadi akut dan kronik (Hirlan, 2001 : 127). Gastritis merupakan
suatu peradangan mukosa lambung yang dapat bersifat akut, kronik, difus,
atau lokal (Price & Wilson, 2015). Secara sederhana dibedakan atas 3 yaitu
(Silbernagl & Lang, 2006):
a. Gastritis hemoragik atau erosive
b. Gastritis aktif kronis
c. Gastritis atrofi
Penggolongan tersebut didasarkan pada faktor etiologi gastritis. Seperti
gastritis hemoragik atau erosive lebih banyak disebabkan karena penggunaan
NSAIDS (Non Steroid Anti Inflamasi Drugs), stress, penyalahgunaan alcohol,
tauma, ataupun trauma radiasi. Berbeda dengan gastritis aktif kronis, jenis ini
disebabkan karena adanya suatu koloni Helicobacter phylor. Sementara
gastritis atrofi lebihvdisebabkan karena proses autoantibodi (Silbernagl &
Lang, 2006).
Manifestasi klinik gastritis terbagi menjadi yaitu gastritis akut dan
gastritis kronik (Price & Wilson, 2015):

15
a. Gastritis akut
Sindrom dispepsia berupa nyeri epigastrium, mual, kembung,muntah,
merupakan salah satu keluhan yang sering muncul. Ditemukan pula
perdarahan saluran cerna berupa hematemesis dan melena, kemudian
disusul dengan tanda-tanda anemia pasca perdarahan. Biasanya, jika
dilakukan anamnesis lebih dalam, terdapat riwayat penggunaan obat-
obatan atau bahan kimia tertentu.
b. Gastritis kronik
Bagi sebagian orang gastritis kronis tidak menyebabkan gejala apapun.
Hanya sebagian kecil mengeluh nyeri ulu hati, anoreksia, nausea dan pada
pemeriksaan fisik tidak dijumpai kelainan. Gastritis kronis yang
berkembang secara bertahap biasanya menimbulkan gejala seperti sakit
yang tumpul atau ringan (dull pain) pada perut bagian atas dan terasa
penuh atau kehilangan selera setelah makan beberapa gigitan.
2. Patofisiologi

Getah lambung dan plasma


NSAID mengandung Autoantibodi

Penghambatan siklo Helicobacter philory Stimulasi sel parietal


oksigenase
Atrofi sel
Menghancurkan parietal
Menghambat sintesis perlindungan mukosa
prostaglandin lambung

Menurunkan barrier
Menurunkan sekresi lambung terhadap asam
HCO3- dan dan pepsin
menghentikan
penghambatan sekresi
asam

16
↑ Difusi balik ion H+ Merangsang nociceptor
Merangsang
gastrointestinal Dihantarkan serabut tipe A
Sekresi HCL ↑ dan serabut tipe Cla

Mengaktifkan CTZ pada Inflamasi di Medulla spinalis


area postrema di gaster (gastritis)
medulla oblongata
Invasi Mukosa Sel-sel traktus spinothalamic
(neothalamic dan paleospinothalamic)
Mual lambung

Sistem aktivasi Area Grisea


hipersalivasi Pengeluaran zat-zat vasoaktif retikuler Periakueductus
(histamine, bradikinin, sitokinin)

Sekresi pepsin,
↓ tonus korvutura mayor, Thalamus
permeabilitas kapiler ↑
korpus, , dan fundus

Otak (Kortex Somatosensorik)


Antrum dan duodenum Edema lapisan
berkontraksi berulang-ulang mukosa lambung
Nyeri
dipersepsikan

Edema lapisan mukosa Kehilangan getah


lambung lambung dan cairan hipovolemia

Bulbos duodeni
berelaksasi Kehilangan elektrolit
Kalium, Natrium
Refluks cairan abdomen ke
lambung

Nutrient ↓
Kontraksi otot lambung dan
abdomen

malnutrisi
Pylorus dan antrum
berkontraksi

Fundus dan esophagus


membuka

Mulut membuka

muntah
17
F. ULKUS PEPTIKUM
1. Pengertian
Ulkus peptikum merupakan erosi lapisan mukosa biasanya di lambung
atau duodenum. Ulkus peptikum juga didefenisikan sebagai keadaan
terputusnya kontinuitas mukosa yang meluas di bawah epitel atau kerusakan
pada jaringan mukosa, submukosa hingga lapisan otot dari suatu daerah
saluran cerna yang langsung berhubungan dengan cairan lambung
asam/pepsin (Black & Hawks, 2014).
Diketahui ada dua faktor utama penyebab ulkus peptikum, yaitu
infeksi Helicobacter pylori, dan penggunaan NSAID. Berdasarkan hal
tersebut ulkus peptikum pada umumnya didahului gastritis. Karena factor
penyebabnya sama.
Adapun manifestasi dari ulkus peptikum adalah Ulkus biasanya
sembuh sendiri tetapi dapat timbul kembali. Nyeri dapat timbul selama
beberapa hari atau minggu dan kemudian berkurang atau menghilang. Gejala
bervariasi tergantung lokasi ulkus dan usia penderita. Contohnya anak-anak
dan orang tua biasanya tidak memiliki gejala yang sering didapat atau tidak
ada gejala sama sekali. Oleh karena itu, ulkus biasanya diketahui ketika
komplikasi terjadi. Hanya setengah dari penderita ulkus duodenum
mempunyai gejala yang sama seperti perih, rasa seperti terbakar, nyeri, pegal,
dan lapar. Rasa nyeri berlangsung terus-menerus dengan intensitas ringan
sampai berat biasanya terletak di bawah sternum (Smeltzer & Bare, 2013).
Kebanyakan orang yang menderita ulkus duodenum, nyeri biasanya
tidak ada ketika bangun tidur tetapi timbul menjelang siang. Minum susu dan
makan (yang menyangga pH lambung) atau meminum obat antasida
mengurangi nyeri, tapi mulai timbul kembali setelah 2 atau 3 jam kemudian.
Nyeri yang dapat membangunkan orang ketika malam hari juga ditemukan.
Seringkali nyeri timbul sekali atau lebih dalam sehari selama beberapa

18
minggu dan hilang tanpa diobati. Namun, nyeri biasanya timbul kembali 2
tahun kemudian dan terkadang juga dalam beberapa tahun kemudian.
Pasien biasanya akan belajar mengenai pola sakitnya ketika kambuh
(biasanya terjadi ketika stres). Makan bisa meredakan sakit untuk sementara
tetapi bisa juga malah menimbulkan sakit. Ulkus lambung terkadang
membuat jaringan bengkak (edema) yang menjalar ke usus halus, yang bisa
mencegah makanan melewati lambung. Blokade ini bisa menyebabkan
kembung,mual, atau muntah setelah makan (Silbernagl & Lang, 2006).

19
2. Patofisiologi Ulkus Peptikum

NSAID Stress (syok, luka


Infeksi
Helicobacter bakar, operasi)
pylori Komponen psikogenik,
merokok, gastrinoma

merokok Sekresi H= ↑
Sekresi pepsinogen ↑
Mengubah
ureaseCO2 +NH3,
HCO3-- serta NH4+ Sintesis
prostaglandin ↓
gastritis Perfusi
darah ↓
Ion H +
dipertahankan Perlindungan
mukosa ↓

Agregasi bahan kimia ↑

Fungsi Barier terganggu

Kerusakan epitel
Anemia

Transfer O2 ↓
Luka

Kebutuhan O2 tidak terpenuhi


Ulkus

Hipoksi sel dan jaringan


Perdarahan
Hematemesis

Metabolisme anaerob Kehilangan komponen vaskuler Anoreksia

Resistensi vaskuler perifer


↑ Intake berkurang
Pembentukan ATP ↓
dan penumpukan
asam laktat jaringan Syok Hipovolemik Berat Badan ↓
menurun

Obstruksi antara lambung


Fatigue Perasaan Penuh
dan usus halius

Mual/muntah
Distensi Lambung

20
G. CHOLELITIASIS
1. Pengertian
Cholelitiasis merupakan suatu gangguan kesehatan yang terjadi
dimana terbentuknya batu empedu yang terdapat dalam kandung empedu
atau dalam duktus choledocus (Muttakin & Sari, 2011). Batu empedu tidak
hanyaterdapat dalam kandung empedu, namun juga dapat ditemukan pada
kantung empedu, saluran empedu ekstra hepatik, atau saluran empedu intra
hepatic.
Defenisi lain dari cholelitiasis yaitu terbentuknya batu disaluran
empedu yang disebabkan oleh kolesterol, bilirubin, garam empedu, kalsium,
protein, asam lemak, dan fosfolipid yang mengalami endapan (Price &
Wilson, 2015). Batu kandung empedu tersebut dapat menimbulka masalah
kesehatan khusunya ada sumbatan aliran empedu dari kandung empedu.
Dengan proses tersebut dapat minumbulkan nyeri (Naga, 2014)
2. Etiologi
Secara umum penyebab dari cholelithiasis belum diketahui penebabnya
secara pasti. Namun,sepertinya factor predisposisi yaitu gangguan
metabolisme yang dapat meyebabkan terjadinya perubahan komposisi
empedu, statis empedu, dan infeksi kandung empedu (Price & Wilson,
2015).
Terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa resiko
terjadinya kolelitiasis meningkat sejalan dengan peningkatan usia. Dimana
angka kejadian koleltiasis lebih beresiko pada perempuan disbanding
dengan laki-laki. Factor resiko lain meliputi kegemukan, kencing manis,
riwayat keluarga, perokok dan peminum alcohol (Suzanna et al, 2014).

21
3. Patofisiologi

Perubahan
Gangguan Infeksi bakteri
susunan empedu
kontraksi dalam saluran
(kolesterol yang
kandung empedu empedu
berlebihan

Mengendap dalam kandung Statis empedu


Meningkatkan deskuamasi
empedu seluler dan pembentukan
mukus
Supersituasi progresif,
perubahan susunan kimia,
pengendapan Meningkatkan viskositas dan
unsure seluler

Iritas BATU
EMPEDU Memperlambat aliran
keduktus sistikus dan
koledukus
Infeksi ;
Batu bermigrasi ke duktus
nyeri
sistikus dan duktus koledikus Terjadi endapan

Distensi/desakan dalam
Aliran balik Obstruksi
kandung empedu
cairan empedu
ke hepar melalui
darah Penyaluran
getah empedu Epigastriu Rasa
Peningkatan ke duodenum m rasa nyeri
bilirubin dalam terganggu penuh
darah
Mual &
Penumpukan muntah
bilirubin pad a Ikterus Ganggua absorbsi
lapisan bawah lemak
kulit

Gangguan absorbs
Defisiensi vitamin
Gatal-gatal vitamin A, D, E, K
K
pada kulit

Masalah
pembekuan darah

22
H. CA COLON
1. Pengertian
Ca Colon didefenisikan sebagai pertumbuhan sel yang tidak normal di
dinding usus, polip, bisul atau massa jaringan lainnya. bisa bersifat jinak,
namun ada beberapa polip bisa berkembang menjadi tumor ganas dan
menjadi kanker usus.(Smart Patien, 2017).
2. Etiologi
Faktor risiko untuk kanker kolon yaitu herediter yang disebabkan oleh
mutasi genetik yang akan meningkat ketika 90% setelah usia 50 tahun keatas
(Black & Hawks, 2014).
Faktor lingkungan, seperti diet, juga dapat berpengaruh terhadap
karsinogenesis. Diet tinggi lemak, gula, dan daging merah dianggap
menghasilkan zat karsinogenik, terutama jangka panjang.Diet rendah serat
meningkatkan risiko karena memperpanjang waktu kontak mukosa dengan
karsinogen (Gould & Dyer, 2013)
Selain itu termasuk diet tinggi daging merah atau olahanya (>7
porsi/minggu), kegemukan (indeks massa tubuh ≥30 kg / m2), tidak ada
aktivitas fisik, alkohol, merokok jangka panjang danrendahnya asupan buah
dan sayuran. Faktor resiko lain adalah riwayat riwayat kanker payudara,
ovarium, dan endometrium atau IBD terutama kolitis ulseratif.(Black &
Hawks, 2014).
3. Manifestasi Klinis
Tanda-tanda awal kanker kolorektal sangat bergantung pada lokasi
pertumbuhan dan karakteristik feses di lokasi tersebut di kolon. Terdapat
beberapa manifestasi dari kanker kolon yakni perdarahan rektal, perubahan
pola defekasi, nyeri abdomen, penurunan berat badan, anemia dan anoreksia.
(Black & Hawks, 2014)

23
Secara umum tumor pada dan kolon kanan, cenderung menyebabkan
nyeri abdomen, kram, mual dan muntah. Tumor ini bisa menjadi besar dan
dengannekrosis dan ulserasi, berkontribusi pada kehilangan darah dan
anemia yang persisten.Obstruksi tidak biasa karena pertumbuhan tidak
mudah mengelilingi usus besar.
Tumor descending, (kolon distal) mulai sebagai massa yang kecil,
tinggi, seperti tombol. Jenis ini tumbuh secara melingkar, melingkari seluruh
dinding usus, dan akhirnya memburuk di tengah saat tumor menembus suplai
darah. Misalnya, lesi annular di daerah rectosigmoid, di mana massa feses
relatif padat, menyebabkan obstruksi parsial dengan dilatasi kolon proksimal.
Distensi abdomen progresif , Rasa sakit kram yang tidak jelas, muntah,
konstipasi kotoran atau tinja seperti pita yang mengandung darah merah
terang dan mukus, dan perasaan pengosongan yang tidak tuntas (perubahan
pola defekasi) adalah tanda-tanda umum kanker di lokasi ini (Gould & Dyer,
2013; (Black & Hawks, 2014).
4. Gambar Ca Colon

24
25
26
27
DAFTAR PUSTAKA

Black, J. M., & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen


Klinis untuk Hasil yang Diharapkan. (A. Suslia, F. Ganiajri, P. P. Lestari, &
R. W. A. Sari, Eds.) (8th ed.). Singapore: Elsevier Ltd.
Chang, E., Daly, J, & Elliott, D. (2010). Patofisiologi : Aplikasi pada Praktik
Keperawatan (Pathophysiology : Applied to Nursing Practice). Jakarta : AGC

Corwin, E. (2009). Buku Saku Patofisiologi, Ed. 3. Jakarta : EGC


Gould, B., & Dyer, R. (2013). Pathophysiology for the Health Professions (4th
editio). Missouri: Elseiver.
Guyton, A. C., & Hall, J. E. (2006). Text Book of Medical Physiology. Philadelphia,
Pennsylvania: Elsevier Inc
Monica, E. (2002). Keperawatan Medikal Bedah : Pendekatan Sistem
Gastrointestina. Jakarta : EGC
Muttaqin, A., & Sari, K. (2011). Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika
Padilla. (2013). Asuhan Keperawatan Penyakit Dalam. Yogyakarta : Nusa Medika
Porth, C. M. (2010). Essentials of Pathophysiology. Lippincott Williams & Wilkins.

Price, S. A., & Wilson, L. M. (2015). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit. Jakarta: EGC.
Naga, S, S. (2014). Buku Panduan Lengkap Ilmu Penyakit Dalam : Untuk
Mahasiswa Kedokteran dan Peminat ilmu Kesehatan. Jogjakarta : DIVA
Press
Smart Patien. (2017). Kanker Usus Besar. Bowel Cancer, 1–8.
Silbernagl, S., & Lang, F. (2006). Teks dan Atlas Berwana Patofisiologi. Jakarta:
EGC.
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner& Suddarth, E/8, Vol.1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Suzanna Ndraha, dkk., (2014). Profil Kolelitiasis pada Hasil Ultrasonografi di
Rumah Sakit Umum Daerah Koja. Jakarta : Jurnal Kedokteran Meditel Vol.
20 No. 53

28

Anda mungkin juga menyukai