Anda di halaman 1dari 16

Laporan Pendahuluan

Cholingitis

1. DEFINISI
Kolangitis adalah peradangan akut dinding saluran empedu, hampir selalu
disebabkan infeksi bakteri pada lumen steril.

Cholangitis merupakan infeksi bakteri dari sistem duktus bilier, yang


bervariasi tingkat keparahannya dari ringan dan dapat sembuh sendiri
sampai berat dan dapat mengancam nyawa.

Kolangitis akut merupakan superimposa infeksi bakteri yang terjadi pada


obstruksi saluran bilier, terutama yang ditimbulkan oleh batu empedu,
namun dapat pula ditimbulkan oleh neoplasma ataupun striktur.

Kolangitis adalah suatu infeksi bakteri akut pada sistem saluran empedu.
Charcot ditahun 1877 menjelaskan tentang keadaan klinis dari kolangitis,
sebagai trias, yaitu demam, ikterus dan nyeri abdomen kuadran kanan atas,
yang dikenal dengan ’’Charcot triad’’. Charcot mendalilkan bahwa
’’empedu stagnan’’ karena obstruksi saluran empedu menyebabkan
perkembangan kolangitis.

Kolangitis adalah infeksi bakterial yang akut dari saluran empedu yang
tersumbat baik secara parsial atau total; sumbatan dapat disebabkan oleh
penyebab dari dalam lumen saluran empedu misalnya batu koledokus,
askaris yang memasuki duktus koledokus atau dari luar lumen misalnya
karsinoma caput pankreas yang menekan duktus koledokus, atau dari
dinding saluran empedu misalnya kolangio-karsinoma atau striktur saluran
empedu.

2. ANATOMI FISIOLOGI
Kandung empedu merupakan kantong berbentuk alpukat yang terletak
tepat dibawah lobus kanan hati. Kandung empedu mempunyai fundus,
korpus, infundibulum, dan kolum. Fundus bentuknya bulat, ujung nya
buntu dari kandung empedu. Korpus merupakan bagian terbesar dari
kandung empedu. Kolum adalah bagian yang sempit dari kandung empedu
(Brunicardi, 2010).
Empedu yang di sekresi secara terus menerus oleh hati masuk ke saluran
empedu yang kecil dalam hati. Saluran empedu yang kecil bersatu
membentuk dua saluran yang lebih besar yang keluar dari permukaan hati
sebagai duktus hepatikus komunis. Duktus hepatikus bergabung dengan
duktus sistikus membentuk duktus koledokus.

 DUKTUS SISTIKUS
Duktus sistikus merupakan lanjutan dari vesika fellea, terletak pada
porta hepatis yang mempunyai panjang kira-kira 3-4 cm. Pada
porta hepatis duktus sistikus mulai dari kollum vesika fellea,
kemudian berjalan ke postero-kaudal di sebelah kiri kollum vesika
fellea. Lalu bersatu dengan duktus hepatikus kommunis
membentuk duktus koledokus. Mukosa duktus ini berlipat-lipat
terdiri dari 3-12 lipatan, berbentuk spiral yang pada penampang
longitudinal terlihat sebagai valvula disebut valvula spiralis
(Heisteri).
 DUKTUS HEPATIKUS
Duktus hepatikus berasal dari lobus dexter dan lobus sinister yang
bersatu membentuk duktus hepatikus komunis pada porta hepatis
dekat pada processus papillaris lobus kaudatus. Panjang duktus
hepatikus kommunis kurang lebih 3 cm terletak disebelah ventral
arteri hepatika propria dexter dan ramus dexter vena portae.
Bersatu dengan duktus sistikus menjadi duktus koledokus
 DUKTUS KOLEDOKUS
Duktus koledokus mempunyai panjang kira – kira 7 cm dibentuk
oleh persatuan duktus sistikus dengan duktus hepatikus kommunis
pada porta hepatis, dimana dalam perjalanannya dapat dibagi
menjadi tiga bagian.
Pada kaput pankreas duktus koledokus bersatu dengan duktus
pankreatikus wirsungi membentuk ampulla, kemudian bermuara
pada dinding posterior pars desenden duodeni membentuk suatu
benjolan ke dalam lumen disebut papilla duodeni major.

Gambar. 1. Anatomi saluran empedu

Gambar. 1. Anatomi saluran empedu

3. ETIOLOGI & FAKTOR RISIKO


Kolangitis dapat disebabkan oleh berbagai keadaan patologis yang
semuanya akan berakhir dengan statis aliran empedu dan akhirnya terjadi
infeksi, diantaranya :
ð Choledocholitiasis
ðTerjadi akibat obstruksi saluran empedu, terutama koledokolitiasis, dan
penyebab jarang seperti tumor, kateter, indwelling stents, pancreatitis
akut, dan striktur ringan. Bakteri (E. coli, klebsiella, clostridium,
bacteroides, enterobacter, streptococcus grup D) kemungkinan besar
masuk ke sfingter oddi. Sebagian pula, kolangitis parasit, misal, fasciola
hepatica, skistosomiasis, dll.
ð Striktur bilier sistem
ð Neoplasma pada sistem bilier
ð Parasit cacing Ascaris
ð Pankreatitis kronis
ð Tumor pankreas
ð HIV/AIDS

Penyebab tersering obstruksi biliaris adalah : koledokolitiasis, obstruksi


struktur saluran empedu, dan obstruksi anastomose biliaris. Bagaimanapun
berat penyebab obstruksi, kolangitis tidak akan terjadi tanpa cairan
empedu yang terinfeksi. Kasus obstruksi akibat keganasan hanya 25-40%
yang hasil kultur empedunya positif. Koledokolitiasis menjadi penyebab
tersering kolangitis.

Dalam beberapa tahun terakhir dengan semakin banyaknya pemakaian


manipulasi saluran biliaris invasif seperti kolangiografi, stent biliaris,
untuk terapi penyakit saluran biliaris telah menyebabkan pergeseran
penyebab kolangitis. Selain itu pemakaian jangka panjang stent biliaris
seringkali disertai obstruksi stent oleh cairan biliaris yang kental dan
debris biliaris yang menyebabkan kolangitis.

4. MANIFESTASI KLINIS
 Penyakit ini biasanya dimulai secara bertahap dengan kelelahan
yang amat sangat, gatal-gatal dan jaudince.
 Seringkali didapatkan nyeri hebat di epigastrium atau perut kanan
atas karena adanya batu koledokus. Nyeri ini bersifat kolik,
menjalar ke belakang atau ke skapula kanan, kadang-kadang nyeri
bersifat konstan
 Terdapat pembesaran hati dan limpa, atau gejala-gejala sirosis.
 Bisa juga terjadi hipertensi portal, asites dan kegagalan hati, yang
bisa berakibat fatal.

 Pada sebagian kecil kasus ini tidak didapatkan ikterus, hal ini dapat
diterangkan karena batu di dalam duktus koledokus tersebut masih
mudah bergerak sehingga kadang-kadang aliran cairan empedu
lancar, sehingga bilirubin normal atau sedikit saja meningkat
 Kadang-kadang tidak jelas adanya demam, tetapi ditemukan
lekositosis.
 Fungsi hati menunjukkan tanda-tanda obstruksi yakni peningkatan
yang menyolok dari GGT atau fosfatase alkali. SGOT/SGPT dapat
meningkat, padabeberapa pasien bahkan dapat meningkat secara
menyerupai menyerupaihepatitis virus akut.

5. PATOFISIOLOGI
Adanya hambatan dari aliran cairan empedu akan menimbulkan stasis
cairan empedu dan apabila berlangsung lama maka akan terjadi kolonisasi
bakteri dan pertumbuhan kuman yang berlebihan. Bakteri ini berasal dari
flora duodenum yang masuk melalui sfingter Oddi, dapat juga dari
penyebaran limfogen dari kandung empedu yang meradang akut (Nurman,
1999).Mikroorganisme yang menyebabkan infeksi pada kolangitis akut
yang sering dijumpai adalah bakteri gram (-) enterik E. Coli, Klebsiella,
Streptococcus faecalis dan bakteri anaerob. Bakteri seperti
Proteus,Pseudomonas dan Enterobacter enterococci juga tidak jarang
ditemukan (Malet, 2014).Kolangitis terjadi akibat kombinasi dari adanya
hambatan dari aliran cairan empedu yang berlangsung lama dan terjadi
kolonisasi dan proliferasi bakteri.
Adanya tekanan yang tinggi dari saluran empedu yang tersumbat, bakteri
akan kembali (refluks) ke dalam saluran limfe dan aliran darah dan dapat
mengakibatkan sepsis (Nurman, 2014). Selain itu, beberapa dari efek
serius kolangitis dapatdisebabkan oleh endotoksemia yangdihasilkan oleh
produk pemecahan bakterigram negatif. Endotoksin diserap di ususlebih
mudah bila terdapat obstruksi bilier, karena ketiadaan garam empedu yang
biasanya mengeluarkan endotoksin sehingga mencegah penyerapannya.
Selanjutnya kegagalan garam empedu mencapai intestin dapat
menyebabkan perubahan flora usus. Selain itu fungsi sel-sel Kupferyang
jelek dapat menghambat kemampuan hati untuk mengekstraksi endotoksin
daridarah portal.Bilamana kolangitis tidak diobati, dapattimbul bakteremia
sistemik yang dapat menimbulkan abses hati (Malet, 2014).

6. KOMPLIKASI
Beberapa komplikasi dari penyakit kolangitis terutama yang derajat tinggi
(kolangitis supuratif) adalah sebagai berikut:
Abses hati piogenik
Abses hati piogenik merupakan 75% dari semua abses hati. Abses ini pada
anak dan dewasa muda terjadi akibat komplikasi apendisitis, dan pada
orang tua sebagai komplikasi penyakit saluran empedu seperti kolangitis.
Infeksi pada saluran empedu intrahepatik menyebabkan kolangitis yang
menimbulkan kolangiolitis dengan akibat abses multiple.
Bakteremia, sepsis bakteri gram negatif
Bakteremia adalah terdapatnya bakteri di dalam aliran darah (25-40%).
Komplikasi bakteremia pada kolangitis dapat terjadi oleh karena etiologi
utama penyebab terjadinya kolangitis adalah infeksi bakteri. Demam
merupakan keluhan utama sekitar 10-15% (Josh, 2013).

Peritonitis sistem bilier


Kebocoran empedu dalam ruang peritoneal menyebabkan iritasi dan
peritonitis. Jika empedu terkena infeksi, maka akan menyebabkan
peritonitis dan sepsis yang mempunyai resiko tinggi yang sangat fatal.
Kerusakan duktus empedu
Duktus empedu dapat dengan mudah rusak pada tindakan kolesistektomi
atau pada eksplorasi duktus empedu yang tidak sesuai dengan anatominya.
Kesalahan yang sangat fatal adalah tidak mengetahui cara melakukan
transeksi atau ligasi pada duktus.
7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
 Laboratorium darah
Pada pemeriksaaan laboratorium ditemukan adanya lekositosis pada
sebagian besar pasien. Hitung sel darah putih biasanya melebihi
13.000. Lekopeni atau trombositopenia kadang – kadang dapat
ditemukan, biasanya jika terjadi sepsis parah. Sebagian besar
penderita mengalami hiperbilirubinemia sedang. Peningkatan bilirubin
yang tertinggi terjadi pada obstruksi maligna. Tes fungsi hati termasuk
alkali fosfatase dan transaminase serum juga meningkat yang
menggambarkan proses kolestatik (Shojamanes, 2013)
 Foto polos abdomen
Meskipun sering dilakukan pada evaluasi awal nyeri abdomen , foto
polos abdomen jarang memberikan diagnosis yang signifikan. Hanya
sekitar 15% batu saluran empedu yang terdiri dari kalsium tinggi
dengan gambaran radioopak yang dapat dilihat. Pada peradangan akut
dengan kandung empedu yang membesar hidrops, kandung empedu
kadang juga dapat terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran
kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di
fleksura hepatika
 Ultrasonografi
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang
tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran
empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik. Juga dapat dilihat
kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau edema karena
peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus
koledokus distal kadang sulit dideteksi, karena terhalang udara di
dalam usus. Dengan ultrasonografi lumpur empedu dapat diketahui
karena bergerak sesuai dengan gaya gravitasi (Brunicardi, 2014)
 CT Scan
Ct Scan tidak lebih unggul daripada ultrasonografi untuk
mendiagnosis batu kandung empedu. Cara ini berguna untuk diagnosis
keganasan pada kandung empedu yang mengandung batu, dengan
ketepatan sekitar 70-90 persen.
 ERCP
Endoskopik merupakan selang kecil yang mudah digerakkan yang
menggunakan lensa atau kaca untuk melihat bagaian dari traktus
gastro intestinal. Endoscope Retrograde Cholangiopancreotography
(ERCP) dapat lebih akurat menentukan penyebab dan letak sumbatan
serta keuntungannya juga dapat mengobati penyebab obstruksi dengan
mengeluarkan batu dan melebarkan peyempitan.

 Skintigrafi
Skintigrafi bilier digunakan untuk melihat sistem bilier termasuk
fungsi hati dan kandung empedu serta diagnosa beberapa penyakit
dengan sensitifitas dan spesifitas sekita 90% sampai 97%. Meskipun
test ini paling bagus untuk melihat duktus empedu dan duktus sistikus,
namun skintigrafi bilier tidak dapat mengidentifikasi batu saluran
empedu atau hanya dapat memberikan informasi sesuai dengan letak
anatominya. Agent yang digunakan untuk melakukan test skintigrafi
99m
adalah derivat asam iminodiasetik dengan label Tc.
 Kolesistografi oral
Metode ini dapat digunakan untuk melihat kerja dari sistem bilier
melalui prinsip kerja yang sama dengan skintigrafi tapi dapat
memberikan informasi yang lebih jelas. Pasien diberi pil kontras oral
selama 12-16 jam sebelum dilakukan tes. Kemudian kontras tadi
diabsorbsi oleh usus kecil, lalu dibersihkan oleh hepar dan di ekskresi
ke dalam empedu dan dikirim ke kandung empedu.
 Kolangiografi
Biasanya diindikasikan ada suatu saat dalam penatalaksanaan pasien
dengan kolangitis. Pada sebagian besar kasus, kolangiografi dilakukan
untuk menentukan patologi biliaris dan penyebab obstruksi saluran
empedu sebelum terapi definitif. Jadi, kolangiografi jarang diperlukan
pada awal perjalanan kolangitis dan dengan demikian harus ditunda
sampai menghilangnya sepsi. Kekecualian utama adalah pasien yang
datang dengan kolangitis supuratif, yang tidak berespon terhadap
antibiotik saja. Pada kasus tersebut, kolangiografi segera mungkin
diperlukan untuk menegakkan drainase biliaris. Kolangiografi
retrograd endoskopik ataupun kolangiografi transhepatik perkutan
dapat digunakan untuk menentukan anatomi atau patologi billiaris.
Tetapi, kedua teknik tersebut dapat menyebabkan kolangitis pada
sekitar 5 persen pasien. Dengan demikian perlindungan antibiotik
yang tepat harus diberikan sebelum instrumentasi pada semua kasus.

8. PENATALAKSANAAN
 Konservatif
Jika diagnosis klinis kolangitis telah dibuat, penatalaksanaan awal
adalah konservatif. Keseimbangan cairan dan elektrolit harus
dikoreksi dan perlindungan antiobiok dimulai. Pasien yang sakit
ringan dapat diterapi sebagai pasien rawat dengan antibiotik oral.
Dengan kolangitis supuratif dan syok septik mungkin memerlukan
terapi di unit perawatan insentif dengan monitoring invasif dan
dukungan vasopresor.
Pemilihan awal perlindungan antibiotika empiris harus
mencerminkan bakteriologi yang diduga. Secara historis,
kombinasi aminoglikosida dan penicillin telah dianjurkan.
Kombinasi ini adalah pilihan yang sangat baik untuk melawan
basil gram negatif yang sering ditemukan dan memberikan
antivitas sinergistik melawan enterokokus. Penambahan
metronidazole atau clindamycin memberikan perlindungan
antibakterial terhadap anaerob bakteroides fragilis, jadi
melengkapi perlindungan antibiotik. Perlindungan antibiotik jelas
diubah jika hasil biakan spesifik dan kepekaan telah tersedia.
Satu faktor yang seringkali dipertimbangkan dalam pemilihan
antibiotik untuk terapi kolangitis adalah konsentrasi obat yang
terdapat dalam empedu. Secara teoritis antibiotik saluran biliaris
yang ideal harus merupakan antibiotik yang bukan saja mencakup
organisme yang ditemukan dengan infeksi saluran biliaris, tetapi
juga yang dieksresikan dalam konsentrasi tinggi ke dalam cairan
empedu.
 Dekompresi Biliaris
Sebagian besar pasien (sekitar 70 persen) dengan kolangitis akan
berespon terhadap terapi antibiotik saja. Pada kasus tersebut
demam menghilang dan tes fungsi hati kembali ke normal
seringkali dalam 24 sampai 48 jam. Jika pasien tidak menunjukkan
perbaikan atau malahan memburuk dalam 12 sampai 24 jam
pertama, dekompresi biliaris darurat harus dipertimbangkan. Pada
sebagian besar kasus, dekompresi biliaris segera paling baik
dilakukan secara non operatif baik dengan jalur endoskopik
maupun perkutan. Yaitu:
 Penanggulangan sfingterotomi endoskopik
Apabila setelah tindakan di atas keadaan umum tidak membaik
atau malah semakin buruk, dapat dilakukan sfingterotomi
endoskopik, untuk pengaliran empedu dan nanah serta
membersihkan duktus koledokus dari batu. Kadang dipasang
pipa nasobilier. Apabila batu duktus koledokus besar, yaitu
berdiameter lebih dari 2 cm, sfingterotomi endoskopik
mungkin tidak dapat mengeluarkan batu ini. Pada penderita ini
mungkin dianjurkan litotripsi terlebih dahulu

 Lisis batu
Disolusi batu dengan sediaan garam empedu kolelitolitik
mungkin berhasil pada batu kolesterol. Terapi berhasil pada
separuh penderita dengan pengobatan selama satu sampai dua
tahun. Lisis kontak melalui kateter perkutan kedalam kandung
empedu dengan metil eter berhasil setelah beberapa jam.
Terapi ini merupakan terapi invasif walaupun kerap disertai
dengan penyulit
9. ASUHAN KEPERAWATAN
a. Pengkajian
 Identitas
 Keluhan utama
Pada penderita kolangitis, klien mengeluh nyeri perut kanan atas
nyeri tidak menjalar /menetap, nyeri pada saat menarik nafas dan
nyeri seperti ditusuk tusuk
 Riwayat penyakit
 Riwayat penyakit dahulu
Riwayat medis pasien mungkin dapat membantu contohnya
riwayat dari keadaan berikut dapat meningkatkan resiko
cholangitis, seperti :
- Batu kandung empedu atau batu saluran empedu
- Pasca cholecystectomy
- Manipulasi endoskopik atau ERCP cholangiogram
- Riwayat cholangitis sebelumnya
- Riwayat HIV/AIDS: choalngitis yang berhubungan dengan
aids memliki cirri edema bilier ekstrahepatik ulserasi dan
obstruksi bilier
 Riwayat penyakit sekarang
Banyak pasien yang datang dengan ascending cholangitis tidak
memiliki gejala klasik tersebut. Sebagian besar pasien mengeluh
nyeri abdomen kuadran lateral atas. Gejala lain yang dapat
terjadi meliputi: jaundice, demam, menggigil dan kekakuan,
nyeri abdomen tinja yang acholis.
 Riwayat penyakit keluarga
Perlu dikaji apabila klien mempunyai penyakit keturunan seperti
diabetes mellitus, hipertensi, anemia.
 Pemeriksaan fisik
 System pernafasan
Inspeksi : dada tampak, pernafasan dangkal klien tampak gelisah
Palpasi : vocal vremitus teraba merata
Perkusi : sonor
Auskultasi : tidak terdapat suara tambahan (ronchi, wheezing)
 System kardiovaskuler
Terdapat takikardi dan diaphoresis
 System neurologi
Tidak terdapat gangguan pada system neurologi
 Sistem pencernaan
Inspeksi : tampak ad distensi abdomen diperut kanan atas klien
mengeluh mual muntah
Auskultasi : peristaltic usus 5-12x / menit flatulensi
Perkusi : adanya pembengkakan di abdomen atas/ kuadran
kanan atas nyeri tekan epigastrium
 System eliminasi
Warna urine lebih pekat dan warna feses seperti tanah liat
 System integument
Terdapat ikterik/jaundice dengan kulit berkeringat dan gatal
 System musculoskeletal
Terdapat kelemahan otot karena gangguan produksi ATP

b. Diagnose keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan distensi kandung kemih
2. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses inflamasi
3. Gangguan pemenuhan nutrisi berhubungan dengan mual muntah
4. Gangguan pola tidur berhubungan dengan iritasi lumen
5. Dehidrasi berhubungan dengan mual muntah

c. Intervensi keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan distensi kandung kemih
Tujuan : setalah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24jam
nyeri berkurang
Criteria hasil :
- Keadaan umum normal pasien tampak nyaman
- Nyeri berkurang pasien tampak rileks ditunjukkan dengan
skala nyeri 1-3
- Pasien melakukan managemen nyeri saat nyeri kembali datang
- TTV dalam batas normal
Intervensi :
1. BHSP
R/ dengan hubungan saling percaya mempermudah proses
keperwatan
2. Observasi, catat lokasi dan skala nyeri dan karakter nyeri
R/ membantu membedakan penyebab nyeri dan memberikan
informasi tentang kemajuan / perbaikan penyakit
3. Anjurkan pasien dalam posisi nyaman
R/ pada posisi fowler rendah menurunkan tekanan intra
abdomen
4. Anjurkan managemen nyeri distraksi relaksasi nafas dalam
R/ untuk melakukan koping pasien terhadap nyeri
5. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesic
R/ untuk mengatasi nyeri
6. Observasi tanda tanda vital
R/ untuk mengetahui perkembangan pasien
7. Kaji respon pasien
R/ wajah menunjukkan perasaan yang dirasakan klien

2. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses inflamasi


Tujuan : setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24 jam
suhu tubuh
kembali normal
Criteria hasil :
- Suhu tubuh kembali normal pasien nyaman
- Tanda vital dalam bats normal
- Pasien dapat melakukan tindakan untuk mengurangi suhu
tubuh
Intervensi :
1. BHSP
R/ dengan hubunga saling percaya mempermudah proses
keperawatan
2. Observasi tanda vital
R/ untuk mengetahui perkembangan pasien
3. Anjurkan menggunakan pakaian tipis dan minum air putih
R/ menggunakan pakaian tipis dan minum air putih yang bnaya
dapat
menurunkan panas
4. Anjurkan untuk melakukan kompres dingin pada daerah dada
dan ketiak
R/ kompres dapat membantu menurunkan panas
5. Kolaborasi dalam pemberian antipiretik
R/ antripiretik unutk menurunkan suhu
6. Kaji respon pasien
R/ wajah dapat menggambarkan apa yang dirasakan klien

3. Gangguan pemenuhan nutrisi berhubungan dengan mual muntah


Tujuan : setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24jam
keseimbangan nutrisi terpenuhi
Criteria hasil :
- Asupan nutrisi kembali seimbang
- Pasien menunjukkan energy yang adekuat
- Ttv dalam batas normal
- Mual muntah berkurang
Intervensi :
1. BHSP
R/ dengan hubungan saling percaya mempermudah proses
keperawatan
2. Observasi tanda tanda vital
R/ untuk mengetahui perkembangan pasien
3. Anjurkan untuk makan sedikit tapi sering
R/ untuk mencegah mual muntah
4. Berkolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian program diet
R/ setiap pasien mempunyai diet yang berbeda
5 Monitoring asupan gizi pasien
R/ mengetahui perkembangan nutrisi pasien
6. Kaji respon pasien
R/ menggambarkan apa yang dirasakan pasien

4. Gangguan pola tidur berhubungan dengan iritasi lumen


Tujuan : setalah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24jam
pasien dapat tidur dengan nyaman
Criteria hasil :
- Klien dapat tidur dengan nyaman
- TTV dalam batas normal
- Klien tidak pucat
- Kebutuhan tidur terpenuhi

Intervensi :
1.BHSP
R/ dengan hubungan saling percaya mempermudah proses
keperawatan
2. Observasi tanda vital
R/ untuk mengetahui perkembangan pasien
3. Anjurkan untuk mengatur posisi nyaman
R/ dengan posisi nyaman dapat membantu tidur
4. Anjurkan untuk relaksasi nafas dalam
R/ untuk merilekskan tubuh
5. Kaji respon pasien

DAFTAR PUSTAKA

Luhulima, JW, dr, Prof, Abdomen, Anatomi II, Bagian Antomi FKUH, Makassar,
2010. hal : 28-29

Brunicardi FC et al. Schwartz’s principles of surgery. 8th edition.United


StatesAmerica : McGraw Hill, 2005.826-42.

Price SA, Wilson LM. Kolelitiasis dan Kolesistisis dalam : Patofisiologi. Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit, edisi 4. Jakarta : EGC. 2015. 430-44.
Connors, P.J., and Carr-Locke, D.L. 2013 Endoscopic Retrograde
Cholangiography - Findings and Endoscopic Sphincterotomy for Cholangitis and
Pancreatitis, dari Gastrointestinal Endoscopy Clinics of North America, 1-1: 27-
50, W.B. Saunders, Philadelphia
De Jong, Wim, Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta, 1997 hal : 776-778
Josh, J. Adams, Cholangitus, in http://www.emidiche.com2013, p : 1-11
Cameron L, John, Terapi bedah Mutakhir, Edisi 4, Binarupa Aksaram Jakarta,
2010, hal : 476-479
Shojamanes, Homayoun, Mo, Cholangitis, in : http:/www.emidicine.com7 2013, p
: 1-10
Burkitt G, Quick C, Gatt D. Management of gallstone disease in essensial surgery,
second edition, New York ; Churchill Livingstone, 2013, P : 215-220

Sabiston C, Davidm Textbook of Surgery, WB. Sauders company, 2014, p : 1154


– 1161

Cameron L, John, Terapi bedah Mutakhir, Edisi 4, Binarupa Aksaram Jakarta,


2010, hal : 476-479

Anda mungkin juga menyukai