DI SUSUN OLEH :
MAKASSAR
2018
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Spiritual adalah sesuatu yang berhubungan dengan spirit, semangat
untuk mendapatkan keyakinan, harapan dan makna hidup. Spiritualitas
merupakan suatu kecenderungan untuk membuat makna hidup melalui
hubungan intrapersonal, interpersonal dan transpersonal dalam mengatasi
berbagai masalah kehidupan. Manusia adalah mahluk Tuhan yang paling
sempurna. Tidak hanya terdiri dari seonggok daging dan tulang, tetapi terdiri
dari komponen menyeluruh biologis, psikologis, sosial, spiritual dan kultural.
Tuntutan keadaan, perkembangan, persaingan dalam berbagai aspek
kehidupan dapat menyebabkan kekecewaan, keputusasaan, ketidak berdayaan
pada manusia baik yang sehat maupun sakit. Selama dalam kondisi sehat wal-
afiat, dimana setiap komponen biologis, psikologis, sosial, kultural dan
spiritual dapat berfungsi dengan baik, sering manusia menjadi lupa, seolah
hidup memang seharusnya seperti itu. Tetapi ketika salah satu fungsi
komponen tubuh terganggu, maka tejadilah stresor, menuntut setiap orang
mampu beradaptasi, pulih kembali dengan berbagai upaya, sehingga
kehidupan dapat berlanjut dengan baik. Ketika gangguan itu sampai
menghentikan salah satu fungsi dan upaya mencari pemulihan tidak
membuahkan hasil, disitulah seseorang akan mencari kekuatan lain diluar
dirinya, yaitu kekuatan spiritual.
Perawat sebagai tenaga kesehatan yang paling lama berada disamping
klien, tugas utamanya adalah mempelajari bentuk dan sebab tidak
terpenuhinya kebutuhan dasar manusia. Memberikan bantuan asuhan
keperawatan mulai dari tingkat sistem organ fungsional sampai molekuler,
untuk memenuhi kebutuhan dan kemandirian klien dalam merawat dirinya.
Idealnya, seluruh komponen kebutuhan dasar manusia menjadi fokus kajian
utama dalam menentukan ruang lingkup pekerjaan profesi (Yusuf, 2015).
Hasil analisis situasi menunjukan, asuhan keperawatan untuk
memenuhi kebutuhan spiritual belum diberikan oleh perawat secara optimal.
Hasil survey Kementerian Kesehatan terhadap Rumah Sakit di Indonesia
tahun 2014 (Puskom Depkes) diketahui sekitar 54 – 74 % perawat
melaksanakan instruksi medis, 26 % perawat melaksanakan pekerjaan
administrasi rumah sakit, 20 % melaksanakan praktik keperawatan yang
belum dikelola dengan baik, dan 68 % tugas keperawatan dasar yang
seharusnya dikerjakan perawat dilakukan oleh keluarga pasien. Keadaan ini
memacu seluruh pilar kehidupan profesi keperawatan untuk bahu-membahu,
secara bersama membangun kembali profesi keperawatan sesuai kaedah
profesi. Berbagai pilar itu terdiri dari institusi pendidikan, pelayanan, dan
organisasi profesi. Institusi pendidikan difokuskan pada penataan struktur
kurikulum sesuai kompetensi pada level program pendidikan dan
penyelenggaraan proses pembelajaran untuk menyiapkan lulusan yang
handal. Intitusi pelayanan keperawatan (rumah sakit atau puskesmas)
difokuskan pada pengembangan sistem penugasan keperawatan, fasilitasi
jenjang karier keperawatan, dan menjadi sarana proses sosialisasi profesi bagi
para peserta didik melalui pembelajaran klinik. Organisasi profesi bertugas
menetapkan, mengembangkan standar profesi keperawatan dan
mengevaluasi untuk menjamin agar setiap perawat bekerja sesuai standar
profesi.
BAB 2
PEMBAHASAN
C. PERKEMBANGAN SPIRITUAL
1. Bayi dan Todler (0-2 Tahun)
Tahap awal perkembangan spiritual adalah rasa percaya kepada
yang mengasuh yang sejalan dengan perkembangan rasa aman dan
dalam hubungan interpersonal, karena sejak awal kehidupan manusia
mengenal dunia melalui hubungannya dengan lingkungan, khususnya
orang tua. Bayi dan toddler belum memiliki rasa salah dan benar, serta
keyakinan spiritual. Mereka mulai meniru kegiatan ritual tanpa
mengerti arti kegiatan tersebut serta ikut ke tempat ibadah yang
memengaruhi citra diri mereka.
2. Prasekolah
Sikap orang tua tentang kode moral dan agama mengajrkan kepada
anak tentang apa yang dianggap baik dan buruk. Anak prasekolah
meniru apa yang mereka lihat bukan yang dikatakan orang lain.
Permasalahan akan timbul apabila tidak ada kesesuaian atau bertolak
belakang antara apa yang dilihat dan yang dikatakan kepada mereka.
Anak prasekolah sering bertanya tentang moralitas dan agama, seperti
perkataan atau tindakan tertentu dianggap salah. Juga bertanya “apa itu
surge?” Meraka meyakini bahwa orang tua mereka seperti Tuhan.
Menurut Kozier, Erb, Blais, dan Wilkonson (1995), pada usia ini
metode pendidikan spiritual yang paling efektif adalah meberi
indoktrinasi dan memberi kesempatan kepada mereka untuk memilih
caranya. Agama merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari. Mereka
percaya bahwa Tuhan yang membuat hujan dan angin. Hujan dianggap
sebagai air mata Tuhan.
3. Usia Sekolah
Anak usia sekolah mengharapkan Tuhan menjawab doanya, yang
salah akan dihukum dan yang baik akan diberi hadiah. Pada masa
prapubertas, anak sering mengalami kekecewaan karena mereka mulai
menyadari bahwa doanya tidak selalu dijawab menggunakan cara
mereka dan mulai mencari alas an tanpa mau menerima keyakinan
begitu saja.
Pada usia ini, anak mulai mengambil keputusan akan melepaskan
atau meneruskan agama yang dianutnya karena ketergantungannya
kepada orang tua. Pada masa remaja, mereka membandingkan standar
orang tua mereka dengan orang tua lain dan menetapkan standar apa
yang akan diintegrasikan dalam perilakunya. Remaja juga
membandingkan pandangan ilmiah dengan pandangan agama serta
mencoba untuk menyatukannya. Pada masa ini, remaja yang
mempunyai orang tua berbeda agama, akan memustukan pilihan
agama yang akan dianutnya atau tidak memilih satupun dari kedua
gama orang tuanya.
4. Dewasa
Kelompok usia dewasa muda yang dihadapkan pada pertanyaan
bersifat keagamaan dari anaknya akan menyadari apa yang pernah
diajarkan kepadanya pada masa kanak-kanak dahulu, lebih dapat
diterima pada masa dewasa dari pada waktu remaja dan masukan dari
orang tua tersebut dipakai untuk mendidik anaknya.
5. Usia Pertengahan
Kelompok usia pertengahan dan lansia mempunyai lebih banyak
waktu untuk kegiatan agama dan berusaha untuk mengerti nilai agama
yang diyakini oleh generasi mudah. Perasaan kehilangan karena
pensiun dan tidak aktif serta menghadapi kematian orang lain (saudara,
sahabat) menimbulkan rasa kesepian dan mawas diri. Perkembangan
filosofis agama yang lebih matang sering dapat membantu orang tua
untuk menghadapi kenyataan, berperan aktif dalam kehidupan dan
merasa berharga. Serta lebih dapat menerima kematian sebagai sesuatu
yang tidak dapat ditolak atau dihindarkan.
5. Mickley 1992,
mengemukakan bahwa demensi spiritual meliputi: demensi ekstensial
dan agama. Demensi ekstensial berfokus pada tujuan dan arti
kehidupan. Maksudnya hubungan manusia dengan manusia lain,
lingkungan baik eksternal maupun eksternal (hablum minannas),
sedangkan demensi agama berfokus pada hubungan seseorang dengan
tuhannya (hablum minallah).[ CITATION Kho \l 2057 ]
9. Delgado (2002),
mengidentifikasi empat karakteristik spiritualitas yang dianggap
penting :
a. Spiritualitas memerlukan sistem kepercayaan (kemauan untuk
percaya) dan apa yang diyakini sebagai kebenaran ( keyakinan ada
kekuatan yang lebih tinggi atau adanya agama berdasarkan
keyakinan inti).
b. Spiritualitas melibatkan kondisi individu dalam pencarian makna
dan tujuan keterikatan transenden atau misi individu yang
merasakan terpanggil karena takdir atau nasib dan bergeser dari
nilai-nilai material kepada nilai-nilai idealis.
c. Spiritualitas meliputi kesadaran keterikatan dengan orang lain yang
didapatkan melalui instropeksi diri. Dalam konteks non religion,
kondisi ini dapat dijelaskan sebagai rasa kagum, apresiasi dan rasa
hormat. Dalam konteks agama, itu termasuk hubungan yang tinggi
dengan Tuhannya yang di hubungkan dengan doa dan meditasi.
Spiritualitas melibatkan proses rekonsiliasi keyakinan dan praktek
pada saat individu dihadapkan pada kesulitan dan kondisi sakit.
d. Spiritualitas adalah kepercayaan bahwa seseorang dapat
melampaui batas dirinya dalam dimensi yang lebih tinggi, adanya
keinginan untuk sebuah kebenaran dan kesucian dan keyakinan
bahwa seseorang dapat menyelesaikan kesulitan,kerugian dan rasa
sakit dengan kepercayaan tersebut.
PENUTUP