Anda di halaman 1dari 24

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar  Belakang

Klien dalam perspektif keperawatan merupakan individu, keluarga


atau masyarakat yang memiliki masalah kesehatan dan membutuhkan bantuan
untuk dapat memelihara, mempertahankan dan meningkatkan status
kesehatannya dalam kondisi optimal. Sebagai seorang manusia, klien memiliki
beberapa peran dan fungsi seperti sebagai makhluk individu, makhluk sosial,
dan makhluk Tuhan. Berdasarkan hakikat tersebut, maka keperawatan
memandang manusia sebagai makhluk yang holistik yang terdiri atas aspek
fisiologis, psikologis, sosiologis, kultural dan spiritual.

Keyakinan spiritual sangat penting bagi perawat karena dapat


mempengaruhi tingkat kesehatan dan prilaku klien. Beberapa pengaruh yang
perlu dipahami adalah menuntun kebiasaan sehari-hari Praktik tertentu pada
umumnya yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan mungkin
mempunyai makna keagamaan bagi klien, sebagai contoh: ada agama yang
menetapkan diet makanan yang boleh dan tidak boleh dimakan; sumber
dukungan pada saat stress, individu akan mencari dukungan dari keyakinan
agamanya.  sumber kekuatan sangat diperlukan untuk dapat menerima
keadaan  sakitnya khususnya jika penyakit tersebut membutuhkan waktu
penyembuhan yang lama; sumber konflik pada suatu situasi bisa terjadi
konflik antara keyakinan agama dengan praktik kesehatan. Misalnya: ada yang
menganggap penyakitnya adalah cobaan dari Tuhan.

Terapi terhadap orang sakit seharusnya dilaksanakan secara holistic


(menyeluruh) yang meliputi biologis, psikologis, sosial tanpa
mengesampingkan spiritual. Menurut Dadang Hawari, pendekatan spiritual
dikalangan rumah sakit memang perlu dimasyarakatkan, dimana harus ada
rohaniawan yang datang ke rumah sakit secara berkala dan mendoakan

1
kesembuhan atau mempersiapkan kematian pasien agar meninggal dunia
dengan damai. Tidak terpenuhinya kebutuhan manusia pada salah satu
diantara dimensi di atas akan menyebabkan ketidaksejahteraan atau keadaan
tidak sehat. Kondisi tersebut dapat dipahami mengingat dimensi fisik,
psikologis, sosial, spiritual, dan kultural merupakan satu kesatuan yang saling
berhubungan. Tiap bagian dari individu tersebut tidaklah akan mencapai
kesejahteraan tanpa keseluruhan bagian tersebut sejahtera.

Kesadaran akan pemahaman tersebut melahirkan keyakinan dalam


keperawatan bahwa pemberian asuhan keperawatan hendaknya bersifat
komprehensif atau holistik, yang tidak saja memenuhi kebutuhan fisik,
psikologis, sosial, dan kultural tetapi juga kebutuhan spiritual klien. Sehingga,
pada nantinya klien akan dapat merasakan kesejahteraan yang tidak hanya
terfokus pada fisik maupun psikologis saja, tetapi juga kesejateraan dalam
aspek spiritual.

B. TUJUAN

1. Mendiskusikan pengaruh praktik spiritual pada status kesehatan klien


2. Menggambarkan hubungan antara kepercayaan harapan, dan kesejahteraan
spiritual
3. Membandingkan dan membedakan antara konsep agama dan spiritual
4. Melakukan pengkajian spiritualitas klien
5. Menjelaskan pentingnya membangun suatu hubungan perawatan dengan
klien untuk mendapatkan pemahaman tentang spiritual
6. Mendiskusikan intervensi keperawatan yang dibuat untuk mempromosikan
kesehatan spiritual
7. Membangun kebersamaan dengan klien
8. Mengevaluasi bagaimana klien mencapai kesehatan spiritual

BAB II

2
TINJAUAN TEORI

A. DEFINISI

Kata Spiritualitas berasal dari bahasa Latin “spiritus” yang berarti


bernapas atau angin. Jiwa memberikan kehidupan bagi sescorang. Ini berarti
segala sesuatu yang menjadi pusat semua aspek dari kehidupan seseorang
(McEwan, 2005).

Menurut Florence Nightingale, spritualitas adalah suatu dorongan yang


menyediakan energi yang dibutuhkan untuk mempromosikan lingkungan
rumah sakit yang sehat dan melayani kebutuhan spiritual sama pentingnya
dengan melayani kebutuhan fisik (Delgado, 2005; Kelly, 2004).

Spirituality adalah suatu yang dipengaruhi oleh budaya,


perkembangan, pengalaman hidup kepercayaan dan nilai kehidupan.
Spiritualitas mampu menghadirkan cinta, kepercayaan, dan harapan, melihat
arti dari kehidupan dan memelihara hubungan dengan sesama. (Perry Potter,
2003).

Spiritual adalah suatu kepercayaan dalam hubungan antar manusia


dengan beberapa kekuatan diatasnya, kreatif, kemuliaan atau sumber energi
serta spiritual juga merupakan pencarian arti dalam kehidupan dan
pengembangan dari nilai-nilai dan sistem kepercayaan seseorang yang mana
akan terjadi konflik bila pemahamannya dibatasi. (Hanafi, djuariah. 2005).

Sedangkan menurut Andrews & Boyle (1999) dalam buku Buku Ajar
Keperawatan Jiwa tahun 2012, diuraikan bahwa agama memiliki makna
system keyakinan yang terorganisasi tentang satu atau lebih kekuatan yang
maha kuasa dan maha mengetahui yang mengatur alam semesta dan sesama.
Keyakinan agama dankeyakinan spiritual biasanya didukungolehindividu lain
dengankeyakinan yang sama dan mengikuti aturan dan ritual yang sama dalam
kehidupan sehari-hari.

3
Dari pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Aspek spiritual
meliputi 3 komponen dasar yaitu: spiritual (keyakinan spiritual), kepercayaan
dan agama. Spiritual, merupakan keyakinan dalam hubungannya dengan yang
Maha Kuasa dan maha pencipta dan percaya pada Allah atau Tuhan yang
Maha Pencipta. Kepercayaan, mempercayai atau mempunyai komitmen
terhadap sesuatu atau seseorang, juga dapat dikatakan upaya seseorang untuk
memahami tempat seseorang dalam kehidupan atau dapat dikatakan bagai
mana seseorang melihat dirinya dalam hubungannya dengan lingkungan.

Agama, merupakan suatu system ibadah yang terorganisir atau teratur,


mempunyai keyakinan sentral, ritual dan praktik yang biasanya berhubungan
dengan kemaflan, perkawinan dan keselamatan dan mempunyai aturan-aturan
tertentu yang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari dalam memberikan
keputusan bagi yang menjankannya.

Karakteristik Spiritualitas

Dalam memberikan asuhan keperawatan dengan memperhatikan


kebutuhan spiritual, perawat perlu memiliki kemampuan mengidentifikasi atau
mengenal karakteristik spiritual, yaitu:

Hubungan dengan diri sendiri (selfreliance):

1. Pengetahuan diri (siapa dirinya, apa yang dapat dilakukannya);


2. Sikap (percaya pada diri sendiri, percaya pada kehidupan/masa depan,
ketenangan pikiran, harmoni/keselarasan dengan diri sendiri).
3. Hubungan dengan alam harmonis:
4. Mengetahui tentang tanaman, pohon, margasatwa, dan iklim;
5. Berkomunikasi dengan alam (bertanam dan berjalan kaki), mengabadikan,
dan melindungi alam.
6. Hubungan dengan orang lain harmonis/suportif:
7. Berbagi waktu, pengetahuan, dan sumber secara timbal balik;
8. Mengasuh anak, orang tua, dan orang sakit;
9. Meyakini kehidupan dan kematian (mengunjungi, melayat, dan lain lain).
10. Bila tidak harmonis akan terjadi:

4
11. Konflik dengan orang lain;
12. Resolusi yang menimbulkan ketidakharmonisan dan friksi.
13. Hubungan dengan ketuhanan. Agamis atau tidak agamis:
14. Sembahyang/berdoa/meditasi;
15. Perlengkapan keagamaan;
16. Bersatu dengan alam.

Seseorang terpenuhi kebutuhan spiritualnya jika mampu:

1. Merumuskan arti personal yang positif tentang tujuan keberadaannya di


dunia/kehidupan;
2. Mengembangkan arti penderitaan dan meyakini hikmah dari suatu
kejadian atau penderitaan;
3. Menjalin hubungan positif dan dinamis melalui keyakinan, rasa percaya,
dan cinta;
4. Membina integritas personal dan merasa diri berharga;
5. Merasakan kehidupan yang terarah terlihat melalui harapan;
Mengembangkan hubungan antar-manusia yang positif.

Tahap Perkembangan Spiritual

Tahap perkembangan spiritual meliputi:

1. Bayi dan toddler (0-2 Tahun)

Tahap awal perkembangan spiritual adalah rasa percaya kepada yang


mengasuh yang sejalan dengan perkembangan rasa aman dan dalam hubungan
interpersonal, karena sejak awal kehidupan manusia mengenal dunia melalui
hubungannya dengan lingkungan, khususnya orang tua. Bayi dan toddler
belum memiliki rasa salah dan benar, serta keyakinan spiritual. Mereka mulai
meniru kegiatan ritual tanpa menegrti arti kegiatan tersebut serta ikut ke
tempat ibadah yang mempengaruhi citra diri mereka.

5
2. Pra sekolah

Sikap orang tua tentang kode moral dan agama mengajarkan kepada anak
tentang apa yang dianggap baik dan buruk. Anak prasekolah meniru apa yang
mereka lihat bukan yang dikatakan orang lain. Permasalahan akan timbul apabila
tidak ada kesesuaian atau bertolak belakang antara apa yang dilihat dan yang
dikatakan kepada mereka. Anak prasekolah sering bertanya tentang moralitas dan
agama, seperti perkataan atau tindakan tertentu dianggap salah. Juga bertanya
“apa itu surga”? mereka meyakini bahwa orang tua mereka seperti Tuhan.

Menurut Koizer, Erb,Blais, dan Wilkinson (1995), pada usia ini metode
pendidikan spiritual yang paling efektif adalah memberi indoktrinasi dan memberi
kesempatan kepada mereka untuk memilih caranya. Agama merupakan bagian
dari kehidupan sehari-hari. Mereka percaya bahwa tuhan yang membuat hujan dan
angin; hujan dianggap sebagai air mata tuhan.

3. Usia sekolah

Anak usia sekolah mengharapkan Tuhan menjawab doanya, yang salah akan
di hukum dan yang baik akan diberi hadiah. Pada masa prapubertas, anak sering
mengalami kekecewaan karena mereka mulai menyadari bahwa doanya tidak
selalu dijawab menggunakan cara mereka dan mulai mencari alasan tanpa mau
menerima keyakinan begitu saja.

Pada usia ini, anak mulai mengambil keputusan akan melepaskan atau
meneruskan agama yang dianutnya karena ketergantungannya kepada orang tua.
Pada masa remaja, mereka membandingkan standar orang tua mereka dengan
orang tua lain dan menetapkan standar apa yang akan diintegrasikan dalam
perilakunya. Remaja juga membandingkan pandangan ilmiah dengan pandangan
agama serta mencoba untuk menyatukannya. Pada masa ini, remaja yang
mempunyai orang tua berbeda agama, akan memutuskan pilihan agama yang akan
dianutnya atau tidak memilih satupun dari kedua agama orang tuanya.

4. Dewasa

6
Kelompok usia dewasa muda yang dihadapkan pada pertanyaan bersifat
keagamaan dari anaknya akan menyadari apa yang pernah diajarkan kepadanya
pada masa kanak-kanak dahulu, lebih dapat diterima pada masa dewasa daripada
waktu remaja dan masukan dari orang tua tersebut dipakai untuk mendidik
anaknya.

5. Usia pertengahan

Kelompok usia pertengahan dan lansia mempunyai lebih banyak waktu


untuk kegiatan agama dan berusaha untuk mengerti nilai agama yang diyakini
oleh generasi muda. Perasaan kehilangan karena pensiun dan tidak aktif serta
menghadapi kematian orang lain (saudara, sahabat) menimbulkan rasa kesepian
dan mawas diri. Perkembangan fisiologis agama yang lebih matang sering dapat
membantu orang tua untuk menghadapi kenyataan, berperan aktif dalam
kehidupan, dan merasa berharga, serta lebih dapat menerima kematian sebagai
sesuatu yang tidak dapat ditolak atau dihindarkan.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Spiritual

Menurut Taylor, Lillis dan Le Mone ( 1997) dan Craven & Himle, faktor-
faktor penting tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

Tahap perkembangan, meliputi:

1. Gambaran tentang Tuhan yang bekerja melalui kedekatan dengan manusia


dan saling keterikatan dengan kehidupan.
2. Mempercayai bahwa Tuhan terlibat dalam perubahan dan pertumbuhan
diri serta transformasi yang membuat dunia tetap segar, penuh kehidupan,
dan berarti.
3. Meyakini Tuhan mempunyai kekuatan dan selanjutnya merasa takut
menghadapi kekuasaan Tuhan.
4. Gambaran cahaya atau sinar.
5. Tahap keluarga, peran orang tua sangat menentukan perkembangan
spiritualitas anak.

7
6. Latar belakang etnik dan budaya, yaitu sikap keyakinan dan nilai
dipengaruhi oleh latar belakang etnik dan sosial budaya.
7. Pengalaman hidup sebelumnya, yaitu pengalaman hidup baik yang positif
maupun tindakan negatif dapat mempengaruhi spiritualitas seseorang.
8. Krisis dan perubahan, yaitu perubahan dalam kehidupan dan krisis yang
dihadapi tersebut merupakan pengalaman spiritual selain juga pengalaman
yang bersifat fisik dan emosional.

Terpisah dari ikatan spiritual, yaitu terpisahnya klien dari ikatan


spiritual dapat beresiko terjadinya perubahan fungsi spiritualnya. Isu moral
terkait dengan terapi, yaitu pada kebanyakan agama, proses penyembuhan
dianggap sebagai cara Tuhan untuk menunjukkan kebesaran-Nya walaupun
ada juga yang menolak intervensi pengobatan. Asuhan keperawatan yang
kurang sesuai, yaitu ketika memberikan asuhan keperawatan kepada klien,
perawat diharapkan peka terhadap kebutuhan spiritual klien tetapi dengan
berbagai alasan ada kemungkinan perawat justru menghindar untuk
memberikan asuhan keperawatan spiritual.

Lima isu nilai yang mungkin timbul antara perawat dan klien adalah
sebagai berikut:

Pluralisme.

Perawat dan klien menganut kepercayaan iman dengan spectrum yang luas.

Fear.

Berhubungan dengan ketidakmampuan mangatasi situasi, melanggar


privasi klien, atau merasa tidak pasti dengan sistem kepercayaan dan nilai diri
sendiri.

Kesadaran tentang pertanyaan spiritual. Apa yang memberi arti dalam


kehidupan, tujuan, harapan, dan merasakan cinta dalam kehidupan pribadi
perawat. Bingung terjadi karena adanya perbedaan anatara agama dan konsep
spiritual.

8
Keterkaitan Antara Spiritualitas, Kesehatan, dan Sakit

Keyakinan spiritual sangat penting bagi perawat karena dapat


mempengaruhi tingkat kesehatan dan perilaku Selfcare klien. Beberapa
pengaruh dari keyakinan spiritual, meliputi:

Menentukan kebiasaan hidup sehari-hari

Praktik tertentu pada umumnya yang berhubungan dengan


pelayanan kesehatan mungkin mempunyai makna keagamaan bagi klien.
Sebagai contoh, ada agama yang menetapkan makanan diet yang boleh
dan tidak boleh dimakan. Begitu pula metode keluarga berencana, ada
agama yang melarang cara tertentu untuk mencegah kehamilan, termasuk
terapi medik atau pengobatan.

Sumber dukungan

Pada saat mengalami stress, individu akan mencari dukungan dari


keyakinan agamanya. Dukungan ini sangat diperlukan untuk dapat
menerima keadaan sakit yang dialami, khususnya jika penyakit tersebut
memerlukan proses penyembuhan yang lama dengan hasil yang belum
pasti. Sembahyang atau berdoa, membaca kitab suci, dan praktik
keagamaan lainnya sering membantu memenuhi kebutuhan spiritual yang
juga merupakan suatu perlindungan terhadap tubuh.

Sumber kekuatan dan penyembuhan

Nilai dari keyakinan agama tidak dapat dengan mudah dievaluasi.


Walaupun demikian, pengaruh keyakinan tersebut dapat diamati oleh
tenaga kesehatan dengan mengetahui bahwa individu cenderung dapat
menahan distress fisik yang luar biasa karena mempunyai keyakinan yang
kuat. Keluarga klien akan mengikuti semua proses penyembuhan yang
memerlukan upaya luar biasa karena keyakinan bahwa semua upaya
tersebut akan berhasil.

Sumber konflik

9
Pada situasi tertentu dapat terjadi konflik antara keyakinan agama
dengan praktik kesehatan. Misalnya, ada orang yang memandang penyakit
sebagai suatu bentuk hukuman karena pernah berdosa. Ada agama tertentu
yang menganggap manusia sebagai makhluk yang tidak berdaya dalam
mengendalikan lingkungannya sehingga penyakit diterima sebagai takdir,
bukan sebagai sesuatu yang harus disembuhkan.

Masalah Spiritual

Masalah yang sering terjadi pada pemenuhan kebutuhan spiritual


adalah distress spiritual, yang merupakan suatu keadaan ketika individu
atau kelompok mengalami atau berisiko mengalami ganguan dalam
kepercayaan atau  sistem  yang  memberikannya kekuatan,  harapan, dan
arti kehidupan, yang ditandai dengan pasien meminta pertolongan
spiritual, mengungkapakan adanya keraguan dalam system kepercayaan,
adanya gangguan yang berlebih dalam mengartikan hidup,
mengungkapkan perhatian yang lebih pada kematian dan sesudah hidup,
adanya keputusasaan, menolak kegiatan ritual, dan terdapat tanda-tanda
seperti menangis, menarik diri, cemas, dan marah, kemudian ditunjang
dengan tanda fisik seperti nafsu maakan terganggu, kesulitan tidur, dan
tekanan darah meningkat.

Distres spiritual terdiri dari atas :

1. Spiritual yang sakit, yaitu kesulitan menerima kehilangan dari orang yang
dicintai atau dari penderitaan yang berat.
2. Spiritual yang khawatir, yatitu terjadi pertentangan kepercayaan dan
sistem nilai seperti adanya aborsi.
3. Spiritual yang hilang, yaitu adanya kesulitan menemukan ketenangan
dalam kegiatan keagamaan.

10
Perawat Sebagai Model Peran

Setiap manusia mempunyai tiga kebutuhan spiritual yang sama, yaitu


kebutuhan akan arti dan tujuan hidup, kebutuhan untuk mencintai dan
berhubungan, serta kebutuhan untuk mendapatkan pengampunan. Kebutuhan
klien tersebut sering ditemui oleh perawat dalam menjalankan perannya
sebagai pemberi pelayanan/ asuhan keperawatan. Ketika perawat menyusun
perencanaan untuk menjadi contoh peran spiritual bagi kliennya, perawat juga
menyusun tujuan bagi dirinya sendiri.

Menurut Taylor, Lilis, dan Le Mone (1997), dalam hal ini perawat akan:

Mempunyai pegangan tentang keyakinan spiritual yang memenuhi


kebutuhannya untuk mendapatkan arti dan tujuan hidup, mencintai
berhubungan dan pengampunan. Bertolak dari kekuatan spiritual dalam
kehidupan sehari-hari, terutama ketika menghadapi nyeri, penderitaan, dan
kematian dalam melakukan praktek professional.Meluangkan waktu untuk
memupuk kekuatan spiritual diri sendiri. Menunjukkan perasaan damai,
kekuatan batin, kehangatan, keceriaan, caring, dan kreativitas dalam
interaksinya dengan orang lain. Menghargai keyakinan dan praktik spiritual
orang lain walaupun berbeda dengan keyakinan spiritual
perawat.Meningkatkan pengetahuan perawat tentang bagaimana keyakinan
spiritual klien mempengaruhi gaya hidup mereka, berespons terhadap
penyakit, pilihan pelayanan kesehatan dan pilihan terapi. Menunjukkan
kepekaan terhadap kebutuhan spiritual klien. Menyusun strategi asuhan
keperawatan yang paling sesuai untuk membantu klien yang sedang
mengalami distress spiritual.

Proses Keperawatan Spiritual

Pengkajian

Ketepatan waktu pengkajian merupakan hal yang penting, yaitu sebaiknya


dilakukan setelah pengkajian aspek psikososial klien. Selanjutnya, jika klien
menanyakan tentang aspek psikososial ini, perawat langsung dapat

11
menjelaskan bahwa keyakinan spiritual seseorang juga merupakan bagian
penting untuk memelihara kesehatan.

Pengkajian dilakukan untuk mendapatkan data subyektif dan data objektif,


dan melakukan pengkajian secara terapeutik, karena hal tersebut menunjukkan
suatu bentuk pelayanan dan dukungan. Ada beberapa pengkajian sepiritual
yang merupakan dasar pengkajian keperawatan diantaranya yaitu pengkajian
menurut McEevoy, 2003. Alat pengkajian B-E-L-I-E-F dapat mmbantu
pasien anak, serta kebutuhan sepiritual dan keagamaan. Akronim tersebut
mempunyai arti sebagai berikut

B--- beliefe sistem ( sistem kepercayaan)

E--- ethics or values ( etika dan nilai- nilai)

L--- lefestyles ( gaya hidup)

I—involment i a spiritual community ( keterlibatan dalam komunitas


sepiritual)

E--- education ( pendidikan)

F --- future events ( kejadian yang akan datang)

Sekala spiritual Well-Being mempunyai pandangan individu dalam


kehidupan dan hubungan dengan kekuatan tertinggi. ( gray. 2006). The speritual
persepective scale (SPS) untuk mengukur hubungan tertinggi, orang lain, dan diri
sendiri ( Gray, 2006). Menurut Craven and Hirnle (1996), dilengkapi dengan
tulisan Kozier,Blais and Wilkinson (1995), serta Taylor, Lillis and Le Mone
(1997). Pada dasarnya, informasi awal yang perlu di gali secara umum, adalah
sebagai berikut:

Agama: Partisipasi klien dalam kegiatan agama, apakah dilakukan secara aktif
atau tidak aktif. Jenis partisipasi dalam kegiatan agama.

Keyakinan agama atau spiritual, mempengaruhi:

12
1. Praktik kesehatan : diet, mencari dan menerima terapi, ritual atau upacara
agama.
2. Persepsi penyakit: hukuman, cobaan terhadap keyakinan.
3. Strategi koping.
4. Nilai agama atau spiritual, mempengaruhi :
5. Tujuan dan arti hidup
6. Tujuan dan arti kematian
7. Kesehatan dan pemeliharaannya
8. Hubungan dengan Tuhan, diri sendiri, dan orang lain.

Pengkajian data subjektit. Pedoman pengkajian spiritual yang disusun oleh


stoll dalam Craveen and Hirnle (1996): mencakup 4 area yaitu:

1. Konsep tentang Tuhan dan Ketuhanan


2. Sumber harapan dan kekuatan
3. Praktik agama dan ritual

Hubungan antara keyakinan spiritual dan kondisi kesehatan. Pertanyaan


yang dapat di ajukan perawat untuk memperoleh informasi tentang pola fungsi
spiritual klien, antara lain, sebagai berikut:

1. Apakah agama atau Tuhan merupakan hal yang penting dalam kehidupan
anda ?
2. Kepada siapa anda meminta bantuan?
3. Apakah anda merasa kepercayaan (agama) membantu anda? Jika iya,
jelaskan dapat membantu anda?
4. Apakah sakit atau kejadian penting lainnya yang pernah anda alami yang
telah mengubah perasaan anda terhadap Tuhan atau praktik kepercayaan
yang anda anut?

Fish and Shelly dalan Craven and Hirnle (1996) juga menambahkan
beberapa pertanyaan yang bermanfaat untuk mengkaji data subjektif, yaitu:

1. Mengapa anda berada di rumah sakit?

13
2. Apakah kondisi sakit yang anda alami telah mempengaruhi cara anda
memandang kehidupan?
3. Apakah penyakit anda telah mempengaruhi hubungan anda dengan orang
yang paling berarti dalam kehidupan anda?
4. Apakah kondisi sakit yang anda alami telah mempengaruhi cara anda
melihat diri anda sendiri?
5. Apa yang anda paling butuhkan saat ini ?

Pertanyaan juga dapat diajukan untuk mengkaji kebutuhan spiritual anak,


antara lain sebagai beritkut:

1. Bagaimana perasaamu ketika dalam kesulitan?


2. Kepada siapa engkau meminta perlindungan ketika sedang merasa takut
(selain kepada orang tua)?
3. Apakah kegemaran yang di lakukan ketika sedang merasa bahagia/
gembira? Ketika sedang bersedih?
4. Engkau tau siapakah Tuhan itu? Seperti apakah Tuhan itu?

Pengkajian data objektif. Pengkajian data objektif dilakukan melalui


pengkajian klinis yang meliputi pengkajian afek dan sikap, perilaku,
herbalisasi, hubungan inter personal dan lingkungan. Pemgkajian data objektif
terutama di lakukan melalui observasi.

Perawat perlu mengobservasi aspek berikut ini untuk mendapatkan data


objektif atau data klinis.

Afek dan sikap

1. Apakah klien tampak kesepian, depresi, marah, agitasi, cemas, apatis atau
preokupasi?

Perilaku

1. Apakah klien tampak berdoa sebelum makan, membaca kitab suci atau
buku keagamaan?

14
2. Apakah klien seringkali mengeluh tidak dapat tidur,bermimpi buruk dan
berbagai bentuk gangguan tidur lainnya, serta bercanda yang tidak sesuai
atau mengekspresikan kemarahannya terhadap agama?

Verbalisasi

1. Apakah klien menyebut Tuhan, doa, rumah ibadah, atau topic keagamaan
lainnya (walaupun hanya sepintas)?
2. Apakah klien pernah meminta dikunjungi oleh pemuka agama?
3. Apakah klien mengekspresikan rasa takutnya terhadap kematian,
kepedulian dengan arti kehidupan, konflik batin tentang keyakinan agama,
arti penderitaan, atau implikasi terapi terhadap nilai moral/etik?

Hubungan interpersonal

1. Siapa pengunjung klien?


2. Bagaimana respon klien terhadap pengunjung?
3. Apakah pemuka agama mengunjungi klien?
4. Bagaimana hubungan klien dengan klien yang lain dan dengan tenaga
keperawatan?

Lingkungan

1. Apakah klien membawa kitab suci perlengkapan sembahyang?


2. Apakah klien menerima kiriman tanda simpati dari unsur keagamaan?

Diagnosis keperawatan

Berikut ini adalah yang termasuk diagnosa keperawatan yang potensial untuk
kesehatan spiritual yaitu :

1. Kecemasan
2. Kesedihan yang rumit
3. Keputusasaan
4. Ketidakberdayaan
5. Kesiapan untuk meningkatkan spiritual
6. Tekanan spiritual ( distress spiritual)

15
7. Resiko tekanan spiritual ( resiko ditress spiritual)

Namun ada 3 diagnosa di atas yang di setujui oleh nanda internasional


( 2007) yaitu:

1. Distrees spiritual
2. Resiko distress spiritual
3. Kesiapan untuk meningkatkan kesejahteraan spiritual

Perencanaan

Setelah diagnosis keperawatan dan faktor yang berhubungan


teridentifikasi, selanjutnya perawat menyusun kriteria hasil dan rencana
intervensi.Tujuan asuhan keperawatan pada klien yang mengalami distress
spiritual harus difokuskan pada menciptakan lingkungan yang mendukung praktik
keagamaan dan keyakinan yang biasanya dilakukan. Tujuan ditetapkan secara
individual dengan mempertimbangkan riwayat klien, area berisiko, dan tanda-
tanda disfungsi, serta data objektif yang relevan.

Contoh tujuan untuk klien distress spiritual meliputi, klien akan:

1. Mengidentifikasi keyakinan spiritual yang memenuhi kebutuhan untuk


memperoleh arti dan tujuan, mencintai, keterikatan, dan pengampunan;
2. Menggunakan kekuatan keyakinan, harapan dan rasa nyaman ketika
menghadapi tantangan terhadap penyakit, cedera, atau krisis kehidupan
lain;
3. Mengembangkan praktik spiritual yang memupuk komunikasi dengan diri
sendiri, dengan Tuhan dan dengan dunia luar;
4. Mengekspresikan kepuasan dengan kehidupan sehari-hari.

Hasil yang diperkirakan pada klien dengan distress spiritual harus bersifat
individual dan meliputi kriteria, klien akan:

1. Menggali akar keyakinan dan praktik spiritual


2. Mengidentifikasi faktor dalam kehidupan yang menentang keyakinan
spiritual.

16
3. Menggali alternative :mengingkari, memodifikasi atau menguatkan
keyakinan (mengembangkan keyakinan baru).
4. Mengidentifikasi dukungan spiritual (membaca kitab suci, kelompok
pengajian,dll).
5. Melaporkan atau mendemonstrasikan berkurangnya distress spiritual
setelah keberhasilan intervensi.

Pada dasarnya, perencanaan pada klien dengan distress spiritual dirancang


untuk memenuhi kebutuhan spiritual klien dengan:

1. Membantu klien memenuhi kewajiban agamanya;


2. Membantu klien menggunakan sumber dari dalam dirinya dengan cara
lebih efektif untuk mengatasi situasi yang sedang dialaminya;
3. Membantu klien mempertahankan atau membina hubungan personal yang
dinamik dengan Maha Pencipta ketika sedang menghadapi pristiwa yang
kurang menyenangkan;
4. Membantu klien mencari arti keberadaannya dan situasi yang sedang
dihadapinya;
5. Meningkatkan perasaan penuh harapan;
6. Memberi sumber spiritual atau cara lain yang relevan.

Implementasi

Perawat menerapkan rencana intervensi dengan melakukan prinsip-prinsip


kegiatan asuhan keperawatan sebagai berikut:

1. Periksa keyakinan spiritual pribadi klien


2. Fokuskan perhatian pada persepsi klien terhadap kebutuhan spiritualnya
3. Jangan mengansumsi klien tidak mempunyai kebutuhan spiritual
4. Mengetahui pesan non verbal tentang kebutuhan spiritual klien
5. Berespon secara singkat, spesifik, dan factual.
6. Mendengarkan secara aktif, dan menunjukkan empati yang berarti
menghayati masalah klien.

17
7. Menerapkan teknik komunikasi terapeutik dengan teknik mendukung,
menerima, bertanya, memberi informasi, refleksi, serta menggali perasaan,
dan kekuatan yang dimiliki klien.
8. Meningkatkan kesadaran dengan kepekaan pada ucapan atau pesan verbal
klien.
9. Bersikap empati yang berarti memahami, dan mengalami perasaan klien.
10. Memahami masalah klien tanpa menghukum walaupun tidak berarti
menyetujui klien.
11. Menentukan arti dari situasi klien, bagaimana klien berespon terhadap
penyakit.
12. Apakah klien menganggap penyakit yang dideritanya merupakan
hukuman, cobaan, atau anugrah dari tuhan?
13. Membantu memfasilitasi klien agar dapat memenuhi kewajiban agama.
14. Memberitahu pelayanan spiritual yang tersedia di rumah sakit.

Penerapan Intervensi keperawatan perlu disesuaikan dengan tahap


perkembangan dan keyakinan agama tiap individu. Craven & Hirnle (1996)
mengklasifikasikan intervensi berdasarkan kelompok usia

A. Bayi.

Hospitalisasi dan penyakit yang dialami anak akan mempengaruhi rasa


percaya yang mendasar terhadap orang tuanya. Perawat berperan mendukung
kebutuhan spiritual orang tua yang selanjutnya memungkinkan untuk
memenuhi kebutuhan bayi. Pemenuhan kebutuhan spiritual pada orang tua
dengan bayi yang dirawat inap adalah dengan mendengarkan, menawarkan
dukungan, dan meningkatkan stabilitas system dukungan keluarga. Untuk
mencapai hal ini, orang tua harus dianjurkan untuk tetap mempertahankan
kontak dengan bayinya semaksimal mungkin.

B. Toddler dan anak pra sekolah.

Peran perawat teutama mendukung keluarga untuk melakukan ritualitas


keyakinan agama. Jika keluarga tidak dapat melakukannya, perawat
diharapkan untuk membantu melakukannya. Anak-anak pada usia ini sangat

18
peka terhadap isu baik dan buruk. Oleh karena itu jagan sampai mengatakan
kepada anak bahwa rasa sakit atau terapi yang menakutkan merupakan suatu
hukuman baginya walaupun mereka mungkin merasakan demikian. Perlu
ditekankan pada anak bahwa mereka tetap dicintai oleh orang tuanya, perawat,
dan bahkan tuhan, serta yang lainnya yang merupakan sumberkekuatan bagi
anak.

C. Anak dan remaja

Perlu memahami bahwa pada usia ini, anak dan remaja sudah tidak
beranggapan lagi bahwa penyakitnya disebabkan karena pernah berbuat salah
sehingga mendapat hukuman dari Tuhan. Justru pada masa ini, anak dan
remaja merasa takut dan cemas dengan lingkungan sekitarnya. Penerimaan
dan klarifikasi pengalaman merupakan cara yang efektif untuk membantu
menemukan arti dari peristiwa yang dialami. Perkembangan interaksi dengan
teman sebaya tetap merupakan prioritas meskipun remaja sedang sakit. Oleh
karena itu, perawat perlu menjalin hubungan baik dengan temannya dan
menyarankan mereka untuk secara rutin mengunjungi temannya yang sedang
dirawat, kecuali jika kondisi klien tidak memungkinkan. Remaja mempunyai
kemampuan untuk mengkonsepsualisasi hubungan personalnya dengan
Tuhan. Pada saat sakit, remaja mungkin mempertanyakan pengalamannya dan
mencoba untuk mengintegrasikan pengalaman tersebut dalam kehidupan
mereka, sama halnya dengan orang dewasa. Perawat sebaiknya
menindaklanjuti data tentang kebutuhan spiritual yang di peroleh pada saat
pengkajian, dan jika diperlukan, memfasilitasi kunjungan pemuka agama atau
orang yang dekat dengan remaja sebagaimana dengan yang diinginkannya.

D. Dewasa dan lanjut usia.

Klien usia dewasa muda cenderung mengklarifikasi keyakinan, pribadi,


dan komitmennya berdasarkan pengalaman dan hubungannya pada masa lalu.
Pada saat ini, klien membina keyakinan pribadi dan mencari arti dari
kehidupan yang dijalaninya. Dalam hubungan jangka panjang dengan klien
yang dirawat, perawat diharapkan bersedia menjadi pendengar aktif, memberi

19
dukungan, dan membantu memvalidasi perasaan dan pengalaman klien yang
selanjutnya akan memfasilitasi penggalian pengalaman arti kehidupan dan
kematian bagi klien. Pada saat bersamaan, perawat perlu juga tetap menjalin
hubungan dengan keluarga klien karena hubungan ini juga akan memberi arti
tertentu dalam kehidupan klein, Selama masa usia tengah baya, klien lebih
peduli pada pandangan yang lebih luas dan lebih peduli pada perbedaan
pandangan yang memungkinkan mereka lebih terbuka pada perbedaan
spiritualitas. Dalam hal ini, perawat membantu klien untuk lebih membuka
diri dan bukan membuat klien merasa terancam karena terdapat perbedaan
pandangan tersebut. Pada klien lanjut usia, perawat perlu mendengarkan dan
memberikan dukungan kepada klien yang sedang menghadapi situasi sehat
sakit dengan meninjau kembali pengalaman masa lalu pada lansia. Perawat
menberi kesempatan kepada lansia untuk menggali pengalaman masa lalunya
dan memahami pengalaman lansia tersebut. Apabila karena proses penuaan
yang dialami lansia, tidak memungkinkan mereka untuk berhubungan atau
berperan serta dalam kegiatan keagamaan. Perawat perlu memfasilitasi
hubungan klien lansia denagn individu atau kelompok yang ada di
masyarakat. Kelangsungan hubungan lansia dengan lingkungan masayarakat
memberi arti dan harapan bagi meraka. Lansia juga perlu tetap difasilitasi
untuk menjalin hubungan dengan generasi yang lebih muda. Apalagi jika
pasangan hidupnya dan teman seusianya sudah meinggal dunia. Bahkan
perawat perlu membantu klien lansia untuk menghadapi kematiannya sendiri

Evaluasi

Evaluasi perawatan spiritual klien membutuhkan pemikiran kritis perawat


dalama menentukan apakah usaha memperbaiki atau menjaga kesehatan
spiritual klien tersebut berhasil. ( (Potter anfd Perry, 2010).

Untuk mengatahui apakah pasien telah mencapai kriteria hasil yang


ditetapkan pada fase perencanaan, perawat perlu mengumpulkan data terkait
dengan pencapaian tujuan asuhan keperawatan. Tujuan asuhan keperawatan
tercapai apabila secara umum pasien mampu:

20
a. Mampu beristirahat dengan tenang

b. Menyatakan penerimaan keputusan moral / etika

c. Mengekspresikan rasa damai berhubungan dengan Tuhan

d. Menunjukkan hubungan yang hangat dan terbuka dengan pemuka agama

e. Mengekspresikan arti positif terhadap situasi dan keberadaannya

f. Menunjukkan afek positif tanpa perasaan marah, rasa bersalah dan

ansietas

g. Menunjukkan perilaku lebih positif

h. Mengekspresikan arti positif terhadap situasi dan keberadaannya.

21
BAB III

KASUS

Tn. FA (50 tahun) sudah perawatan 5 hari peraqwatan icu tergantung


ventilator dan beresiko mengalami henti jantung. Menurut keluarga, pasien masuk
sudah tidak sadar ± 2 jam di rumah, ngorok dan nafas cepat tidak teratur, dan
sampai di UGD langsung RJP, pasien ada riwayat hipertensi merokok 2 bungkus
per hari dan sering mengalami batuk lama. Selama di rawat di icu beberapa kali
mengalami kritis, hemodinamik tidak stabil dan tetap dalam keadaan vegetative,
terapi intensif tidak menunjukkan respon malah cenderung prognosa tidak baik.
Akhirnya tim kesehatan berunding dengan keluarga menginformasikan kondisi
pasien dan disepakati Tn.FA hanya dilakukan paliatif care. Keluarga pasien
membutuhkan informasi disertai dengan dukungan emosional dan spiritual akan
asuhan keperawatan yang baik dan meyakinkan keluarga. Tim kesehatan
mematikan mesin ventilator tidaklah selalu salah secara moral, jika kondisi pasien
tak ada harapan lagi bukan mengakhiri nyawa pasien tetapi hanyalah
menghentikan suatu prosedur sulit yang sia-sia justru karena sadar tidak kuasa
melawan kodrat Allah kita serahkan kepada Allah untuk keputusan akhir.

Pengkajian Keluarga Dalam Aspek Spiritual

1. Primer:

DS: Tn. FA. beberapa kali tidak sadarkan diri, dan sudah dinyatakan dalam
perawatan palliative

DO: Pasien dalam keadaan terminal

2. Data Sekunder:

DS: Mencari keluarga inti yang bertanggung jawab untuk menjelaskan kondisi
pasien saat ini

22
DO:

Tes Mati batang otak oleh tim kesehatan

Pantau kesadaran vegetative atau pernapasan

Tim kesehatan berunding dengan keluarga bahwa pasien sudah terminal

Melakukan informed concent pada keluarga terkait kondisi pasien saat ini

Sehingga apabila tim kesehatan mematikan ventilator, sesuai dengan aspek legal

Ventilator berbunyi sebagai pertanda bahwa pasien membutuhkan spiritual

Memfasilitasi pasien dengan menggunakan headset untuk mendengarkan murathal

Masalah Spiritual Yang Bisa Terjadi Pada Tn.FA (50 tahun) Termasuk Keluarga
Yang Ditinggalkan

Masalah spiritual yang bisa terjadi pada Tn.FA (50 tahun) termasuk keluarga yang
ditinggalkan, yaitu meliputi:

Disstres spiritual

Bersihan jalan nafas karena terpasang ventilator

Rencana Spiritual (mandiri dan kolaborasi) Lengkap Dengan Rasional


Dari Masalah Prioritas

Dekatkan buku keagamaan di dada pasien (Mandiri)

Rasional: supaya pasien merasa nyaman, terutama bila kebiasaan pasien


sehari-hari membaca alkitab. Memberikan ijin kepada keluarga inti untuk berdoa
di dalam ruang ICU secara bergantian dengan waktu yang tidak terlalu lama.
(Mandiri)

23
Rasional: agar pasien merasakan keberadaan keluarganya. Memberikan
murotal atau lagu rohani dengan menggunakan headset (Mandiri)

Rasional: agar pasien selalu mengingat Sang Pencipta

Kolaborasi dengan rohaniawan untuk mendoakan pasien di ruang ICU

Rasional: agar pasien merasa banyak orang yang mendoakan untuk


kondisi pasien saat ini.

Beberapa perawat yang mengamati pasien menjelang ajal diruang tersebut,


didapatkan mereka memeluk buku doa di dadanya dengan kesadaran
vegetative menggerakkan bibirnya seperti sedang berdoa khusuk, atau
ventilator berbunyi terus, pasien gelisah padahal perawat mengamati fisik
pasien vital sign relatif normal. Rumuskan rencana keperawatan untuk
memberikan dukungan spiritual pada pasien ini.?

1. Mengisolasikan pasien dengan cara , jauhkan pasien dari pasien dengan


penyakit MCI
2. Memfasilitasi kebutuhan spiritual (Mentaqlinkan untuk beragama muslim)
3. Memfasilitasi memberikan murathal dengan menggunakan headset
4. Memfasilitiasi keluarga besar yang ingin melihat kondisi pasien di ruang
ICU dengan video call, CCTV (TV), dengan sebelumnya mengisi
informed concernt

24

Anda mungkin juga menyukai