Anda di halaman 1dari 34

2

BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diabetes melitus (DM) merupakan masalah kesehatan yang perlu ditangani
dengan seksama. Prevalensi DM meningkat setiap tahun, terutama dikelompok
resiko tinggi. DM yang tidak terkendali dapat menyebabkan komplikasi
metabolik ataupun komplikasi vaskuler jangka panjang, yaitu mikroangiopati,
sehingga rentan terhadap infeksi kaki luka yang kemudian dapat berkembang
menjadi gangren sehingga menimbulkan masalah gangguan integritas jaringan
kulit yang apabila tidak segera ditangani akan menimbulkan komplikasi dan hal
ini akan meningkatkan kasus amputasi (Kartika, 2017).
Menurut International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2015 jumlah
orang yang menderita Diabetes Mellitus di dunia mencapai 415 juta orang. Pada
tahun 2040 ini akan meningkat menjadi 2152 juta. Ada 10 juta kasus diabetes di
Indonesia pada tahun 2015. World Health Organization (WHO) pada tahun
2012 disebutkan bahwa angka kematian akibat Diabetes Mellitus mencapai 1,5
juta kematian. Indonesia menduduki peringkat ke 7 (7,6 juta penderita) dari 10
peringkat negara dengan kasus Diabetes Mellitus terbanyak di Dunia.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdes) 2013, prevalensi penderita
penyakit Diabetes Mellitus berdasarkan diagnosa dokter di Indonesia adalah
2,4%. Prevalensi penderita ulkus diabetik di Indonesia sekitar 15% dengan risiko
amputasi sebesar 30%, angka mortalitas 32% dan ulkus diabetik merupakan
penyebab terbesar perawatan di rumah sakit yakni sebanyak 80%, berdasarkan
data RSD dr Soebandi Jember angka prevalensi Diabetes Mellitus 11% pada
tahun 2013 (Agustin,2014), pada 6 bulan terakhir sejak bulan Januari sampai
bulan Juni tahun 2017 jumlah kasus Diabetes Mellitus sebanyak 73 pasien.
Faktor resiko tinggi terjadinya Diabetes Mellitus antara lain dislipedemia,
hipertensi, stres, rokok, obesitas, kurang olahraga, usia, riwayat keluarga serta
kebiasaan makan yang tidak sehat (Amu, 2014). Diabetes Mellitus terjadi ketika
sel beta tidak dapat memproduksi insulin (DM tipe 1) atau memproduksi dalam
jumlah yang tidak cukup (DM tipe 2). Salah satu komplikasi kronik yang
biasanya ditemukan pada penderita DM adalah adanya ulkus pada kaki yang

2
3

sering disebut dengan kaki diabetik, ulkus pada kaki penderita diabetes
disebabkan tiga faktor yang sering disebut trias, yaitu iskemi, neuropati, dan
infeksi. DM yang tidak terkendali akan menyebabkan penebalan tunika intima
(hiperplasia membran basalis arteri) pembuluh darah besar dan kapiler, sehingga
aliran darah jaringan tepi ke kaki terganggu dan nekrosis yang mengakibatkan
ulkus diabetikum sehingga menimbulkan masalah gangguan integritas jaringan
kulit (Kartika, 2017).
Pengelolaan holistic ulkus/gangren diabetic membutuhkan kerjasama
multidisipliner. Perawatan ulkus diabetes pada dasarnya terdiri dari 3 komponen
utama yaitu debridement, pengurangan beban tekanan pada kaki, dan
penanganan infeksi. Bentuk pencegahan ulkus yang dapat dilakukan adalah
dengan perawatan kaki. Perawatan kaki merupakan aktivitas sehari-hari pasien
diabetes melitus yang terdiri dari memeriksa kondisi kaki setiap hari, menjaga
kebersihan kaki, memotong kuku, memilih alas kaki yang baik, pencegahan
cedera pada kaki. Perawatan kaki yang baik dapat mencegah dan mengurangi
komplikasi diabetik hingga 50% (American Diabetic Association, 2012).
Manajemen diabetes melitus meliputi edukasi, diit perencanaan makan, latihan
jasmani, intervensi farmakologis dan monitoring keton dan gula darah (Perkeni,
2011).
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik mengambil studi kasus
dengan judul Asuhan keperawatan klien yang mengalami diabetes mellitus (kaki
diabetik) dengan gangguan kerusakan integritas jaringan kulit di Ruang Instalasi
Bedah Sentral RSUP Persahabatan.
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah asuhan keperawatan pada klien yang mengalami diabetes
mellitus (kaki diabetik) dengan gangguan kerusakan integritas jaringan kulit?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Melaksanakan asuhan keperawatan pada klien yang mengalami Diabetes
Melitus (kaki diabetik) dengan gangguan kerusakan integritas jaringan kulit di
Ruang Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Persahabatan.

3
4

2. Tujuan khusus
a. Melakukan pengkajian keperawatan pada klien yang mengalami Diabetes
Mellitus (kaki diabetik) dengan gangguan kerusakan integritas jaringan
kulit di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Persahabatan.
b. Menetapkan diagnosis keperawatan pada klien yang mengalami Diabetes
Mellitus (kaki diabetik) dengan gangguan kerusakan integritas jaringan
kulit di Instalasi Bedah Sentral RSUP Persahabatan.
c. Menyusun perencanaan keperawatan pada klien yang mengalami
Diabetes Mellitus (kaki diabetik) dengan gangguan kerusakan integritas
jaringan kulit di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Persahabatan.
d. Melaksanakan tindakan keperawatan pada klien yang mengalami
Diabetes Mellitus (kaki diabetik) dengan gangguan kerusakan integritas
jaringan kulit di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Persahabatan.
e. Melakukan evaluasi pada klien yang mengalami Diabetes Mellitus (kaki
diabetik) dengan gangguan kerusakan integritas jaringan kulit di Ruang
Instalasi Bedah Sentral RSUP Persahabatan.
1.4 .Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambahkan ilmu
pengetahuan tentang asuhan keperawatan terutama pada klien yang
mengalami Diabetes Mellitus (kaki diabetik) dengan gangguan
kerusakan integritas jaringan kulit di Ruang Adenium RSD
dr.Soebandi Jember, sehingga penulis dapat memperkaya ilmu
keperawatan secara umum.

4
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Penyakit Diabetes Mellitus


1. Definisi
Diabetes mellitus merupakan sekumpulan gangguan metabolik yang
ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) akibat
kerusakan pada sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya
(Brunner&Suddart, 2011).
Diabetes melitus adalah keadaan hiperglikemi kronik yang disertai
berbagai kelainaan metabolik akibat gangguan hormonal yang menimbulkan
berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah
(Rendy, 2012)
Ulkus kaki diabetik merupakan sebagian (partial thickness) atau
keseluruhan (full thickness) pada kulit yang dapat meluas ke jaringan bawah
kulit, tendon, otot, tulang atau persendian yang terjadi pada seseorang yang
menderita penyakit Diabetes Mellitus (Tarwoto, 2008).
2. Etiologi
Proses terjadinya kaki diabetik diawali oleh angiopati, neuropati, dan
infeksi. Gangguan motorik menyebabkan atrofi otot tungkai sehinggaa
mengubah titik tumpu yang menyebabkan ulserasi kaki. Angiopati akan
mengganggu aliran daraah ke kaki, penderita dapat merasa nyeri tungkai
sesudah berjalan dengan jarak tertentu. Infeksi sering merupakan komplikasi
akibat berkurangnya aliran darah atau neuropati. Ulkus diabetik bisa
menjadi gangren kaki diabetik. Penyebab timbulnya gangren pada
penderitaa DM adalah bakteri anaerob, yang tersering Clostridium. Bakteri
ini akan menghasilkan gas, yang disebut dengan gas gangren (Kartika,
2017)
Identifikasi faktor resiko penting, biasanya diabetes lebih dari 10
tahun, laki-laki, kontrol gula darah buruk, ada komplikasi kardiovaskuler,
retina, dan ginjal. Hal-hal yang meningkatkan resiko antara lain neuropati
perifer dengan hilangnya sensasi protektif, perubahan biomekanik,

5
6

peningkatan tekanan pada kaki. Penyakit vaskular perifer (penurunan


pulsasi arteri dorsalis pedis), riwayat ulkus atau amputasi serta kelainan
kuku berat (Kartika, 2017)
3. Manifestasi klinis
Menurut Brunner&Suddart (2011) manifestasi klinis DM antara lain:
a. Poliuri, polidipsi, dan polifagia
b. Keletihan dan kelemahan, perubahan pandangan secara mendadak, sensasi
kesemutan atau kebas di tangan atau kaki, kulit kering, lesi kulit atau luka
yang lambat sembuh, atau infeksi berulang
c. Awitan diabetes tipe 1 dapat disertai dengan penurunan berat badan
mendadak atau mual, muntah atau nyeri lambung
d. Diabetes tipe 2 disebabkan oleh intoleransi glukosa yang progresif dan
berlangsung perlahan (bertahun-tahun) dan mengakibatkaan komplikasi
jangka panjang apabila diabetes tidk terdeteksi selama bertahun-tahun (mis,
penyakit mataa, neuropati perifer, penyakit vaskuler perifer). Komplikasi
dapat muncul sebelum diaagnosa yang sebenarnya ditegakkan
e. Tanda dan gejala ketoasidosis diabetes (DKA) mencakup nyeri abdomen,
mual, muntah, hiperventilasi, dan napas berbau buah. DKA yang tidak
tertangani dapat menyebabkan perubahan tingkat kesadaran, koma dan
kematian
4. Patofisiologi
Pada keadaan normal kurang lebih 50% glukosa yang dimakan
mengalami metabolisme sempurna menjadi CO2 dan air, 10% menjadi
glikogen dan 20% sampai 40% diubah menjadi lemak. Pada diabetes
mellitus semua proses tersebut terganggu karena terdapat defisiensi insulin.
Penyerapan glukosa kedalam sel macet dan proses metabolisme yang
terjadi menjadi terganggu. Keadaan ini menyebabkan sebagian besar
glukosa tetap berada dalam sirkulasi darah sehingga terjadi hiperglikemia
(Rendy, 2012).
Penyakit diabetes mellitus disebabkan oleh karena gagalnya hormon
insulin. Akibat kekurangan insulin maka glukosa tidak dapat diubah
menjadi glikogen sehingga kadar gula darah meningkat dan terjadi

6
7

hiperglikemia. Saat kadar glukosa darah meningkat, jumlah yang difiltrasi


oleh glomelurus ginjal melampaui kemampuan tubulus untuk melakukan
reabsorbsi glukosa. Akibatnya terjadi ekskresi glukosa kedalam urine yang
disebut glikosuria. Kandungan glukosa yang tinggi juga menimbulkan
tekanan osmotik yang tinggi secara abnormal dalam filtrat ginjal sehingga
terjadi diuresis osmotik, yang menyebabkan ekskresi air dan elektrolit
secara berlebihan. Produksi insulin yang kurang juga dapat menyebabkan
menurunnya transport glukosa ke sel-sel sehingga sel-sel kekurangan
makanan dan simpanan karbohidrat, lemak dan protein menjadi menipis.
Karena digunakan untuk melakukaan pembakaran dalam tubuh, maka klien
akan merasa lapar sehingga menyebabkan banyak makan yang disebut
poliphagia. Terlau banyak lemak yang dibakar maka akan terjadi
penumpukan asetat dalam darah yang menyebabkan keasaman darah
meningkat atau asidosis (Casanova, 2014).
Penderita diabetes juga menderita kelainan vaskular berupa iskemi.
Hal ini disebabkan proses makroangiopati dan menurunnya sirkulasi
jaringan yang ditandai oleh hilang atau berkurangnya denyut nadi artri
dorsalis pedis, arteri tibialis, dan arteri poplitea; menyebabkan kaki menjadi
atrofi, dingin dan kuku menebal. Selanjutnya terjadi nekrosis jaringan
sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki atau tungkai
(Kartika, 2017)

5. Klasifikasi
Menurut Tarwoto (2012) klasifikasi dari Diabetes Mellitus antara lain:
1. Klasifikasi klinis
a. Diabetes mellitus

7
8

1) Tipe tergantung insulin (DM Tipe 1): IDDM (insulin-dependent


diabetes mellitus)
Diabetes tipe 1 disebabkan karena kerusakan sel beta pangkreas
yang menghasilkan insulin. Ketidakmampuan sel beta
menghasilkan insulin mengakibatkan glukosa yang berasal
makanan dan tidak dapat disimpan dalam hati dan tetap berada
dalam darah sehingga menimbulkan hiperglikemia.
2) Tipe tak tergantung insulin (DM Tipe 2): NIDDM (non-insulin-
dependent diabetes mellitus)
DM tipe 2 terjadi akibat penurunan sensitivitas terhadap insulin
(resistensi insulin) atau akibat penurunan produksi insulin.
Normalnya insulin terikat oleh reseptor khusus pada permukaan
sel dan mulai terjadi rangkaian reaksi termasuk metabolisme
glukosa. Pada diabetes tipe 2 reaksi dalam sel kurang efektif
karena kurangnya insulin yang berperan dalam menstimulasi
glukosa masuk ke jaringan dan pengaturan pelepasan glukosa
dihati. Adanya insulin juga dapat mencegah pemecahan lemak
yang menghasilkan badan keton.
b. Diabetes karena malnutrisi
Golongan diabetes ini terjadi akibat malnutrisi, biasanya pada
penduduk yang miskin. Diabetes tipe ini dapat ditegakkan jika ada
gejala dari 3 gejala yang mungkin yaitu: adanya gejala malnutrisi
seperti badan kurus, berat badan kurang dari 80% berat badan ideal,
adanya tanda-tanda malabsorbsi makanan, usia antara 15-40 tahun,
memerlukan insulin untuk regulasi DM dan menaikkan berat badan,
nyeri perut berulang.
c. Dibaetes mellitus gestasional (Diabetes kehamilan)
Diabetes mellitus gestasional yaitu DM yang terjadi pada masa
kehamilan, dapat didiagnosa dengan menggunakan test toleran
glukosa, terjadi pada kira-kira 24 minggu kehamilan. Individu
dengan DM gestasional 25% akan berkembang menjadi DM.
2. Klasifikasi risiko statistik

8
9

Klasifikasi risiko statistik menurut Rendy (2012) antara lain:


a. Sebelumnya pernah menderita kelainan toleransi glukosa
b. Berpotensi menderita kelainan toleransi glukosa
Pada diabetes mellitus tipe1 sel-sel β pangkreas yang secara normal
menghasilkan hormon insulin dihancurkan oleh proses autoimun,
sebagai akibatnya penyuntikan insulin diperlukan untuk
mengendalikan kadar glukosa darah. Diabetes melitus tipe 1 ditandai
oleh awitan mendadak yang biasanya terjadi pada usia 30 tahun.
Diabetes melitus tipe 2 terjadi akibat penuruna sensitivitas terhadap
insulin (resistensi insulin) atau akibat penurunan jumlah produksi
insulin.
3. Klasifikasi kaki diabetes
Klasifikasi Wagner-Meggit dikembangkan pada tahun 1970-an,
digunakan secara luas untuk mengklasifikasi lesi pada kaki diabetes.
Tabel 2.1 KlasifikasiKaki Diabetes
Derajat Klasifikasi
0 Simptom pada kaki seperti nyeri
1 Ulkus superfisial
2 Ulkus dalam
3 Ulkus sampai mengenai tulang
4 Gangren telapak kaki
5 Gangren seluruh kaki
Sumber : Kartika (2017)

6. Komplikasi
Menurut Rendy (2012) komplikasi dari diabetes mellitus adalah
1. Akut
a. Hipoglikemia dan hiperglikemia
b. Penyakit makrovaskuer : mengenai pembuluh darah besar, penyakit
jantung koroner (cerebrovaskuler, penyakit pembuluh darah
kapiler) dan menyebabkan kematian.
c. Penyakit mikrovaskuler, mengenai pembuluh darah kecil,
retinopati, nefropati

9
10

d. Neuropati saraf sensorik (berpengaruh pada ekstremitas), saraaf


otonom berpengaruh pada gastro intestinal, kardiovaskuler
2. Komplikasi menahun diabetes melitus
a. Neuropati diabetik
b. Retinopati diabetik
c. Nefropati diabetik
d. Proteinuria
e. Kelainan koroner
f. Ulkus/gangren
B. DEBRIDEMENT
1. Pengertian Debridement
Debridement adalah proses pengangkatan jaringan avital atau jaringan mati
dari suatu luka. Jaringan avital dapat berwarna lebih pucat, coklat muda atau
hitam dan dapat kering atau basah.
Debridement adalah suatu tindakan untuk membuang jaringan nekrosis,
callus dan jaringan fibrotik. Jaringan mati yang dibuang sekitar 2-3 mm dari tepi
luka ke jaringan sehat. Debridement meningkatkan pengeluaran faktor
pertumbuhan yang membantu proses penyembuhan luka.
Tindakan debridement ini dilakukan untuk membuang jaringan yang mati
serta membantu mempercepat penyembuhan luka. Debridement dapat dilakukan
secara surgical, kimia/ enzimatik, mekanik, atau autolitik. Metode debridement
yang dipilih tergantung pada jumlah jaringan nekrotik, luasnya luka, riwayat
medis pasien, lokasi luka dan penyakit sistemik.
2. Tujuan Debridement
Debridement memiliki tujuan antara lain (Brunner and Suddart, 2001):
a. Menghilangkan jaringan yang terkontaminasi oleh bakteri dan benda asing,
sehingga klien dilindungi terhadap kemungkinan invasi bakteri.
b. Menghilangkan jaringan yang sudah mati atau eskar dalam persiapan bagi
graft dan penyembuhan luka.

3. Jenis Debridement
a. Debridement Autolitik

10
11

Autolisis menggunakan enzim tubuh dan pelembab untuk rehidrasi,


melembutkan dan akhirnya melisiskan jaringan nekrotik. Debridement
Autolitik bersifat selektif, hanya jaringan nekrotik yang dihilangkan. Proses
ini juga tidak nyeri bagi pasien. Debridemen Autolitik dapat dilakukan
dengan menggunakan balutan oklusif atau semioklusif yang
mempertahankan cairan luka kontak dengan jaringan nekrotik. Debridement
Autolitik dapat dilakukan dengan hidrokoloid, hidrogel atau transparent
films.
1) Indikasi
Pada luka stadium III atau IV dengan eksudat sedikit sampai sedang.
2) Keuntungan
a) Sangat selektif, tanpa menyebabkan kerusakan kulit di sekitarnya.
b) Prosesnya aman, menggunakan mekanisme pertahanan tubuh sendiri
untuk membersihkan luka debris nekrotik .
c) Efektif dan mudah
d) Sedikit atau tanpa nyeri.
3) Kerugian
a) Tidak secepat debridement surgikal.
b) Luka harus dimonitor ketat untuk melihat tanda-tanda infeksi.
c) Dapat menyebabkan pertumbuhan anaerob bila hidrokoloid oklusif
digunakan.
b. Debridement Enzymatik
Debridement enzimatik meliputi penggunaan salep topikal untuk
merangsang debridement, seperti kolagenase. Seperti otolisis, debridement
enzimatik dilakukan setelah debridement surgical atau debridement otolitik
dan mekanikal. Debridement enzimatik direkomendasikan untuk luka
kronis.
1) Indikasi
a) Untuk luka kronis
b) Pada luka apapun dengan banyak debris nekrotik.
c) Pembentukan jaringan parut
2) Keuntungan

11
12

a) Kerjanya cepat
b) Minimal atau tanpa kerusakan jaringan sehat dengan penggunaan
yang tepat.
3) Kerugian
a) Mahal
b) Penggunaan harus hati-hati hanya pada jaringan nekrotik.
c) Memerlukan balutan sekunder
d) Dapat terjadi inflamasi dan rasa tidak nyaman.
b. Debridement Mekanik
Dilakukan dengan menggunakan balutan seperti anyaman yang melekat
pada luka. Lapisan luar dari luka mengering dan melekat pada balutan
anyaman. Selama proses pengangkatan, jaringan yang melekat pada
anyaman akan diangkat. Beberapa dari jaringan tersebut non-viable,
sementara beberapa yang lain viable.
Debridement ini nonselektif karena tidak membedakan antara jaringan
sehat dan tidak sehat. Debridement mekanikal memerlukan ganti balutan
yang sering. Proses ini bermanfaat sebagai bentuk awal debridement atau
sebagai persiapan untuk pembedahan. Hidroterapi juga merupakan suatu
tipe debridement mekanik.Keuntungan dan risikonya masih diperdebatkan.

1) Indikasi
Luka dengan debris nekrotik moderat.
2) Keuntungan
Materialnya murah (misalnya tule)
3) Kerugian
a) Non-selective dan dapat menyebabkan trauma jaringan sehat atau
jaringan penyembuhan
b) Proses penyembuhan lambat
c) Nyeri

12
13

d) Hidroterapi dapat menyebabkan maserasi jaringan. Juga penyebaran


melalui air dapat menyebabkan kontaminasi atau infeksi. Disinfeksi
tambahan dapat menjadi sitotoksik.
c. Debridement Surgikal
Debridement surgikal adalah pengangkatan jaringan avital dengan
menggunakan skalpel, gunting atau instrument tajam lain Debridement
surgikal merupakan standar perawatan untuk mengangkat jaringan nekrotik.
Keuntungan debridement surgikal adalah karena bersifat selektif; hanya
bagian avital yang dibuang. Debridement surgikal dengan cepat mengangkat
jaringan mati dan dapat mengurangi waktu. Debridement surgikal dapat
dilakukan di tempat tidur pasien atau di dalam ruang operasi setelah
pemberian anestesi.
Ciri jaringan avital adalah warnanya lebih kusam atau lebih pucat(tahap
awal), bisa juga lebih kehitaman (tahap lanjut), konsistensi lebih lunak dan
jika di insisi tidak/sedikit mengeluarkan darah. Debridement dilakukan
sampai jaringan tadi habis, cirinya adalah kita sudah menemulan jaringan
yang sehat dan perdarahan lebih banyak pada jaringan yang dipotong.
1) Indikasi
a) Luka dengan jaringan nekrotik yang luas
b) Jaringan terinfeksi.
2) Keuntungan
a) Cepat dan selektif
b) Efektif
3) Kerugian
a) Nyeri
b) Mahal, terutama bila perlu dilakukan di kamar operasi

13
14

C. Tinjauan Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Pengkajian pada pasien dengan Diabetes Mellitus bergantung pada berat dan
lamanya ketidakseimbangan metabolik dan pengaruh fungsi pada organ, data
yang perlu dikaji meliputi :
a Identitas penderita
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat,
status perkawinan, suku bangsa, nomor register, tanggal masuk rumah sakit
dan diagnosa medis.
b Keluhan Utama
Adanya rasa kesemutan pada kaki / tungkai bawah, rasa raba yang menurun,
adanya luka yang tidak sembuh – sembuh danberbau, adanya nyeri pada
luka.
c Riwayat kesehatan sekarang
Berisi tentang kapan terjadinya luka, penyebab terjadinya luka serta upaya
yang telah dilakukan oleh penderita untuk mengatasinya.
d Riwayat kesehatan dahulu
Adanya riwayat penyakit DM atau penyakit – penyakitlain yang ada
kaitannya dengan defisiensi insulin misalnya penyakit pankreas. Adanya
riwayat penyakit jantung, obesitas, maupun arterosklerosis, tindakan medis
yang pernah di dapat maupun obat-obatan yang biasa digunakan oleh
penderita.
e Riwayat kesehatan keluarga
Dari genogram keluarga biasanya terdapat salah satuanggota keluarga yang
juga menderita DM atau penyakit keturunan yang dapat menyebabkan
terjadinya defisiensi insulin misal hipertensi, jantung.
f Riwayat psikososial
Meliputi informasi mengenai prilaku, perasaan dan emosi yang dialami
penderita sehubungan dengan penyakitnya serta tanggapan keluarga terhadap
penyakit penderita.

14
15

2. Pola Kebiasaan
a Aktivitas / istirahat
Gejala : Lemah, letih, sulit bergerak / berjalan, kram otot
Tanda : Penurunan kekuatan otot, latergi, disorientasi, koma
b Sirkulasi
Gejala : Adanya riwayat hipertensi, ulkus pada kaki, IM akut
Tanda : Nadi yang menurun, disritmia, bola mata cekung
c Eliminasi
Gejala : Perubahan pola berkemih ( poliuri ), nyeri tekan abdomen
Tanda : Urine berkabut, bau busuk ( infeksi ), adanya asites.
d Makanan/cairan
Gejala : Hilang nafsu makan, mual / muntah, penurunan BB, haus
Tanda : Turgor kulit jelek dan bersisik, distensi abdomen
e Neurosensori
Gejala : Pusing, sakit kepala, gangguan penglihan
Tanda : Disorientasi, mengantuk, latergi, aktivitas kejang
f Nyeri/kenyamanan
Gejala : Nyeri tekan abdomen
Tanda : Wajah meringis dengan palpitasi
g Pernafasan
Gejala : Merasa kekurangan oksigen, batuk dengan / tanpa sputum
Tanda : Lapar udara, frekuensi pernafasan
h Seksualitas
Gejala : Impoten pada pria, kesulitan orgasme pada wanita
i Penyuluhan / pembelajaran
Gejala : Faktor resiko keluarga DM, penyakit jantung, strok, hipertensi
3. Diagnosa Keperawatan
a. Diagnosa keperawatan pre operasi:
1) Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
2) Nyeri akut berhubugan dengan terputusnya kontinuitas jaringan
3) Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan adanya gangren
pada daerah luka

15
16

b. Diagnosa keperawatan intra operasi :


1) Risiko perdarahan berhubungan dengan proses pembedahan
2) Resiko infeksi area pembedahan berhubungan dengan durasi
pembedahan
c. Diagnosa keperawatan post operasi :
1) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan efek anastesi.
2) Nyeri akut berhubungan dengan diskontinuitas jaringan

16
17

4. Intervensi Keperawatan
DiagnosaKeperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil RencanaTindakan Rasional
Pre Operasi Setelah diberikan asuhan 1. Observasi tanda-tanda vital 1. Tanda-tanda vital dapat
Ansietas berhubungan keperawatan selama…x 24 jam menggambarkan kondisi
dengan kurang diharapkan masalah ansietas kecemasan yang dialami pasien
pengetahuan dengan pasien berkurang dengan 2. Bantu pasien untuk 2. Ekspresi yang dikeluarkan oleh
prosedur pembedahan Kriteria Hasil: mengekspresikan rasa pasien merupakam suatu
1) Pasien mengatakan kecemasan kecemasan pasien
kecemasannya berkurang 3. Jelaskan tentang prosedur 3. Penjelaskan yang diberikan
2) Pasien mampu mengenali pembedahan sesuai jenis operasi sebelum tindakan dilakukan
perasaan ansietasnya yang akan dilakukan sangat penting, sehingga
3) Pasien mampu mengurangi kecemasa pasien
mengidentifikasi penyebab 4. Beri lingkungan yang tenang 4. Kondisi lingkungan dapat
atau faktor yang dan suasana yang aman mengurangi kecemasan yang
mempengaruhi ansietas dialami pasien
4) Pasien koopertif terhadap
tindakan yang akan
dilakukan
5) Wajah pasien tampak rileks
Nyeri akut berhubungan Setelah diberikan asuhan 1. Observasi tanda-tanda vital 1. Tanda-tanda vital dapat

17
18

dengan terputusnya keperawatan selama…x 24 jam membantu menggambarkan


kontinuitas jaringan diharapkan masalah nyeri akut konsdisi umum pasien
pasien berkurang dengan 2. Kaji nyeri menggunakan 2. Pengkajian dari frekuensi,skala,
Kriteria Hasil: PQRST meliputi skala, waktu, dapat dipertimbangkan
1) Skala nyeri berkurang (0-10) frekuensi nyeri untuk tindakan selanjutnya
menjadi 4 3. Pertahankan tirah baring dan 3. Tirah baring dan memberi posisi
2) Pasien terlihat rileks atau posisi yang nyaman yang nyaman akan membantu
nyaman mengurangi nyeri yang dirasakan
3) Pasien mampu mengontrol 4. Ajarkan teknik distraksi dan 4. Teknik distraksi dan relaksasi
nyeri relaksasi memberikan ketenangan sehingga
dapat mengurangi nyeri yang
dirasakan
5. Kolaborasi dalam pemberian 5. Golongan obat pengurang rasa
obat analgetik nyeri

Kerusakan integritas kulit Setelah diberikan asuhan 1. Observasi luka : perkembangan, 1. proses penyembuhan luka dapat

18
19

berhubungan dengan keperawatan selama …x 24 jam tanda – tanda infeksi, terkontrol


faktor mekanik, luka diharapkan masalah kerusakan kemerahan,perdarahan, jaringan
diabetik integritas kulit teratasi dengan nekrotik, jaringan granulasi
Kriteria Hasil: 2. Monitor perkembangan kulit 2. Perkembangan pada kulit / luka
1) Integritas kulit yang baik pada luka post debridement lebih baik
dapat dipertahankan. setiap hari
2) Luka sembuh sesuai kriteria. 3. Lakukan teknik perawatan luka 3. Luka terkontrol dari infeksi
3) Tidak ada luka atau lesi dengan prinsip steril
4) Perfusi jaringan baik 4. Kolaborasi pemberian diit 4. Glukosa darah pasien terkontrol
5) Menunjukkan proses kepada penderita ulkus dm. 1.
penyembuhan luka
Intra Operasi Setelah diberikan asuhan 1. Observasi tanda-tanda vital 1. Tanda-tanda vital dapat
Risiko perdarahan keperawatan selama …x 24 jam menggambarkan kondisi umum
berhubungan dengan diharapkan masalah risiko pasien
proses pembedahan perdarahan tidak terjadi dengan 2. Pantau perdarahan yang keluar 2. Perdarahan yang cukup banyak
Kriteria Hasil: menyebabkan terjadinya
1) Tidak ada hematuria dan perdarahan
hematemesis
2) Tekanan darah dalam batas 3. Lakukan balut tekan pada daerah 3. Teknik balut tekan merupakan

19
20

normal luka salah satu cara untuk mencegah


3) Darah yang keluar <300 cc terjadinya perdarahan
4) Tidak ada tanda-tanda 4. pastikan keamaan elektrikal dan 4. kegagalan persiapan alat dapat
perdarahan alat-alat yang digunakan selama mempengaruhi prosedur
prosedur operasi pembedahan

Risiko infeksi area Setelah diberikan asuhan 1. Kaji tanda-tanda infeksi 1. Tanda-tanda infeksi seperti
pembedaahan keperawatan selama …x 24 jam kemerahan, bengkak, panas, dan
berhubungan dengan diharapkan masalah risiko penurunan fungsi harus di kaji
adanya luka debridement infeksi area pembedahan tidak 2. Pertahankan teknik aseptif 2. Teknik aseptif merupakan yang
terjadi dengan paling penting dilakukan dalam
Kriteria Hasil: melakukan tindakan untuk
1) Pasien bebas dari tanda mencegah terjadinya infeksi
gejala infeksi 3. Lakukan cuci tangan sebelum 3. Cuci tangan encegah penyebaran
2) Menunjukkan kemampuan dan sesudah tindakan infeksi
untuk mencegah timbulnya keperawatan
infeksi. 4. Gunakan teknik gauning dengan 4. Teknik gauning yang benar dapat
benar mencegah penularan infeksi
3) Jumlah lekosit dlam batas 5. Lakukan desinfeksi pada area 5. Desinfeksi teknik pembersihan

20
21

normal pembedahan area pembedahan dan mencegah


4) Menunjukkan perilaku hidup penularan infeksi
sehat 6. Lakukan teknik drapping yang 6. teknik drapping memfouskan
benar daerah pembiusan agar tidak
terjadi kontaminasi setalah di
lakukan desinfeksi
Post Operasi Setelah diberikan asuhan 1. Kaji kemampuan pasien dalam 1. Kemampuan mobilisasi pasien
Hambatan mobilitas fisik keperawatan selama …x 24 jam mobilisasi yang baik menunjukkan bahwa
berhubungan dengan efek diharapkan masalah hambatan efek anastesi mulai berkurang
pemberian anastesi mobilitas fisik teratasi dengan 2. Ajarkan pasien menggerakkan 2. Gerakkan jari kaki merupakan
Kriteria Hasil: jari-jari dan kakinya gerakan sederhana yang dapat
1) Pergerakan / aktivitas pasien dilakukan pada pasien dengan
bertambah dan tidak post anastesi
terbatasi. 3. Ajarkan pasien miring kanan 3. Gerakkan mobilitas miring kanan
2) Pasien mampu menggerakan dan miring kiri dan miring kiring biasa dilakukan
jari-jari dan kakinya oleh pasien dengan post anastesi
3) Pasien mampu mengangkat
kedua kakinya
Nyeri akut berhubungan Setelah diberikan asuhan 1. Observasi tanda-tanda vital 1. Tanda-tanda vital dapat
dengan diskontinuitas keperawatn selama …x 24 jam membantu menggambarkan

21
22

jaringan diharapkan masalah nyeri akut konsdisi umum pasien


berkurang dengan 2. Kaji nyeri menggunakan 2. Pengkajian dari frekuensi,skala,
Kriteria Hasil: PQRST meliputi skala, waktu, dapat dipertimbangkan
1) Skala nyeri berkurang (0- frekuensi nyeri untuk tindakan selanjutnya
10) menjadi 4 3. Pertahankan tirah baring dan 3. Tirah baring dan memberi posisi
2) Pasien terlihat rileks atau posisi yang nyaman yang nyaman akan membantu
nyaman mengurangi nyeri yang dirasakan
3) Pasien mampu mengontrol 4. Ajarkan teknik distraksi dan 4. Teknik distraksi dan relaksasi
nyeri relaksasi memberikan ketenangan sehingga
dapat mengurangi nyeri yang
dirasakan
5. Kolaborasi dalam pemberian 5. Golongan obat pengurang rasa
obat analgetik nyeri

DAFTAR PUSTAKA

22
23

Lebrun E, Tomic-Canic M, Kirsner RS. (2010). The Role of Surgical Debridement in Healing of Diabetic Foot Ulcers. Wound
Repai and Regeneration.
Alexiadou K, Doupis J. (2012). Management of Diabetic Foot Ulcers. Diabetes Ther.
Brunner and Sudarth.(2001). Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol. 2. Jakarta: EGC.
Riyadi, Sujono. (2008). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Eksokrin dan Endokrin pada Pankreas.
Yogyakarta : Graha Ilmu.
NANDA.(2018). Diagnosis Keperawatan (Edisi 11). Jakarta: EGC

23
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada bab ini merupakan pembahasan dari asuhan keperawatan pada


pasien dengan post debridement ulkus diabetes mellitus di Ruang Instalasi Bedah
Sentrakl RSUP Persahabatn. Dalam bab ini . penulis akan membahas meliputi
segi pengkajian, diagnosa, perencanaan keperawatan, implementasi keperawatan,
dan evaluasi keperawatan mengenai kasus yang penulis angkat.

A. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap pertama yang penulis lakukan di dalam proses
perawatan. Pengkajian ini melalui pengkajian pola fungsional menurut Gordon,
pemeriksaan fisik dengan metode head to toe, dan pengumpulan informasi atau
data – data ini diperoleh dari wawancara dengan pasien, keluarga pasien,
melakukan observasi, catatan keperawatan, dan pemeriksaan fisik.
Menurut NANDA (2012 - 2014) tanda gejala yang dapat muncul pada
pasien Ulkus Diabetes Melitus yaitu pola eliminasi terutama pada pola BAK
malam hari lebih sering, gula darah di atas normal dengan rentan normal (80 –
100 g/ dL), terdapat perlukaan, panjang x lebar x kedalaman luka tersebut, terjadi
infeksi atau tidak. Berdasarkan hal tersebut penulismelakukan pengkajian tidak
berbeda jauh jika dibandingkan dengan tinjauan teori yang ada. Hanya saja saat
dilakukan pengkajian pola BAK pasien sudah mulai normal dan maksimal hanya
satu kali terbangun untuk BAK pada malam hari.
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan suatu keputusan klinik yang diberikan
kepada pasien mengenai respon individu untuk menjaga penurunan kesehatan,
status, dan mencegah serta merubah. (NANDA,2011). Berdasarkan hal tersebut
penulis dalam kasus asuhan keperawatan pada pasien dengan post debridement
ulkus diabetes melitus menegakkan sebanyak tiga diagnosa dan ada dua diagnose
yang tidak penulis tegakkan.
1. Diagnosa yang muncul
Berdasarkan data pengkajian yang diperoleh, penulis menegakkan diagnosa
yang pertama yaitu nyeri akut berhubungan dengan insisi pembedahan. Menurut
NANDA (2013), nyeri akut merupakan sensasi dan pengalaman yang tidak
menyenangkan serta muncul secara aktual maupun potensial terhadap kerusakan
jaringan, dengan rentang waktu nyeri kurang lebih setengah tahun dengan skala
yang berbeda –beda. Penulis menegakkan diagnosa ini karena pasien post
debridement hari pertama dengan skala nyeri 5 (0 - 10).
Diagnosa kedua yang muncul yaitu kerusakan integritas kulit berhubungan
dengan post debridement ulkus dm. kerusakan integritas kulit merupakan
kerusakan yang terjadi pada jaringan kulit dan dapat meningkat dari epidermis
sampai jaringan subkutan jika tidak dilakukan perawatan secara multidisiplin
(Sunaryo, 2011). Alasan penulis menegakkan kerusakan integritas kulit ini
karena tindakan debridement dilakukan dengan pengangkatan jaringan mati pada
luka ulkus dan otomasi dilakukan berupa sayatan untuk menghilangkan bagian
jaringan mati tersebut dan hal ini sesuai dengan teori yang disampaikan oleh
Sunaryo, 2011.
Diagnosa ketiga yang muncul pada pasien yaitu resiko infeksi berhubungan
dengan post debridement ulkus diabetes melitus. Infeksi merupakan salah satu
penyulit pembedahan yang sering ditemui dalam praktek setiap waktu, diamana
infeksi luka dapat terbatas, menyebar atau sepsis, pada insisi pembedahan.
Diagnosa ketiga ini penulis munculkan karena pasien post debridement hari
pertama dan luka ulkus yang rentang dengan bakteri patologi yang mampu
menyebabkan timbulnya infeksi. (Dexa Media, 2007).

Berdasarkan hal di atas ,diagnosa yang muncul ada tiga dan untuk diagnosa
kedua dan ketiga overlap, dimana hanya memerlukan dignosa yang ketigasaja
karena ketia diagnose ketiga yaitu resiko infeksi berhubungan dengan post
debridement ulkus dm teratasi maka diagnose kedua yang merupakan kerusakan
integritas kulit juga akan teratasi, seharusnya diagnosa yang perlu muncul adalah
kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi mengenai penyakit
kronis yang diderita. Karena hal ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan
kepada pasien supaya mengetahui tanda gejala infesi, keterbukaan dalam
mendapatkan perawatan, dan lain sbagainnya. Namun penulis tidak
memunculkan diagnosa ini dikarenakan data – data yang tidak begitu kuat untuk
menegakkan diagnosa ini.
2. Diagnosa yang tidak muncul
Pada kasus pasien post debridement ulkus diabetes melitus, penulis tidak
memunculkan diagnosa sesuai dengan tinjauan teori dikarenakan data yang
diperoleh tidak menunjukkan adanya tanda – tanda yang mendukung diagnosa
ini dimunculkan. Diagnose yang tidak muncul pada kasus ini antara lain :
a. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri akut pada kaki .
Mobilitas fisik merupakan kemampuan seorang individu dalam menjalani
aktifitas secara maksimal atau keterbatasan pergerakan fisik secara mandiri
oleh sesorang (Carpenito, 2006). Diagnosa ini tidak penulis tegakkan karena
pasien mampu melakukan aktifitas secara normal, mampu berjalan, duduk,
bangun dari tempat tidur secara mandiri terkadang juga dibantu keluarga
untuk memegangi saja.
b. Diagnosa kedua yang tidak penulis munculkan yaitu ketidakstabilan kadar
glukosa dalam darah berhubungan dengan penurunan berat badan (Nanda,
2013). Ketidakstabilan glukosa dalam darah merupakan kenaikan glukosa
dalam darah karena glukosa tidak mampu masuk kedalam sel jadi
mengganggu kestabilan kadar glukosa dalam darah. Untuk mengatasi
ketidakstabilan glukosa dalam darah penulis memberikan terapi insulin
Novorapid. Dalam pemeberian terapi insulin Novorapid harus diperhatikan
5 benarpmberian obat antara lain ; benar obat, benar dosis, benar pasien,
benar waktu, benar
c. Perencanaan
Menurut UU perawat No. 38 Th. 2014, perencanaan merupakan semua
rencana tindakan yang dilakukan untuk mengatasi masalah keperawatan yang
diberikan kepada pasien.
Perencanaan menurut Nanda (2013) pada kasus asuhan debridement
ulkus diabetes melitus dilakukan perdiagnosa. Diagnosa yang pertama yaitu
Nyeri akut berhubungan dengan insisi pembedahan. Perencanaan yang dilakukan
untuk diagnosa pertama ini yaitu mempertahankan tirah baring dan posisi
nyaman, mengkaji nyeri dengan metode PQRST, mengajarkan teknik relaksasi
nafas dalam untuk mengurangi nyeri, memonitor tanda – tanda vital untuk
mengetahui perkembangan kesehatan pasien, melakukan kolaborasi pemberian
analgetik untuk mengurangi nyeri. Berdasarkan perencanaan tersebut penulis
juga melakukan perencanaan yang tidak jauh berbeda dengan tinjauan teori yang
tersebut.
Diagnosa kedua, dalam perencaannya menurut Nanda (2013) adalah
menganjurkan pasien memakai pakaian longgar ntuk mencegah udara supaya
tidak lembab, menghindari kerutan di tempat tidur, menjaga kebersihan kulit,
dan sebagainya. Berdasarkan hal tersebut penulis melakukan perencanaan dalam
diagnosa ini juga sesuai karena untuk memaksimalkan asuhan keperawatan yang
diberikan kepada pasien.
Perencaanaan untuk diagnosa terakhir yaitu resiko infeksi berhubungan
dengan post debridement ulkus diabetes melitu meliputi perawatan luka secara
streril, melakukan pemberian terapi untuk mencegah infeksi, mengobservasi
pasien bebas dari tanda gejala infeksi, serta mnunjukkan perilaku hidup sehat
dimana semua perencanaan tersebut terdapat pada Nanda (2013), dan penulis
melakukannya sesuai dengan anjuran.
Dari ketiga perencanaan keperawatan untuk tiga diagnosa yang
ditegakkan, penulis melakukan perencanaan yang tidak jauh beda dari masing –
masing diagnosa. Dimana dari masing diagnose mempunyai kriteria hasil yang
berbeda – beda. (Sunaryo, 2011).
d. Implementasi Keperawatan
Implementasi merupakan suatu perwujudan dari perencanaan yang sudah
disusun pada tahap perencanaan sebelumnya (Nanda 2012). Berdasarkan hal
tersebut penulis dalam mengelola pasien dalam implementasi dengan masing –
masing diagnosa.

Nyeri akut berhubungan dengan insisi pembedahan. Pada diagnosa ini


penulis selama 3 kali 24jam melakukan pengkajian nyeri menggunakan metode
PQRST, dan respon pasien secara subyektif yaitu pasien mengatakan nyeri pada
kaki kanannya karena menjalani tindakan debridement ulkus diabetes melitus P :
luka post operasi, Q : seperti ditusuk – tusuk, R : kaki kanan bawah, S : skala 5
( 0 – 10 ),T : hilang timbul, respon obyektifnya adalah ekpresi pasien tampak
menahan nyeri. Tujuan dilakukannya pengkajian nyeri yaitu untuk mengetahui
tindakan perawatan selanjutnya untuk pasien. Dan untuk mengurangi nyeri
penulis memberikan terapi ketorolak 1 ampul karena dalam 1 ml ketorolak
mengandung 10 mg ketorolak tromethamine yang berfungsi untuk meringankan
rasa sakit pasca operasi. Durasi pemberian ketorolak kurang lebih lima hari dan
dimasukkan dengan cara intravena melalui jalur selang infus secara pelan – pelan
serta dioplos dulu menggunakan aquabidest untuk mengurangi nyeri obat saat
dimasukkan (Dexa Medica, 2009), pemberian larutan infuse ringer laktat (RL)
yang berfungsi untuk suplai air karena mengandung 400 kcal/ liter,
dimasukkan dengan cara intravena lewat selang infuse 20 tetes per menit. Untuk
diagnosa pertama penulis juga mengajarkan kepada pasien cara relaksasi napas
dalam dengan respon subyektif pasien mengatakan lebih nyaman setelah
melakukan latihan napas dalam, dan data obyektifnya diperoleh data paien
tampak lebih rileks, pasien antusias saat dilatih teknik relaksasi napas dalam.
Pelaksanaan teknik relaksasi napas dalam bertujuan untuk merelakskan pasien
dalam kondisi yang lebih nyaman dan mengalihkan pikiran pasien dari nyeri
untuk fokus terhadap napas dalamnya (Nanda, 2012 - 2014).
Monitoring tanda – tanda vital pada pasien untuk implementasi diagnosa
pertama , tujuan dilakukannya monitoring tanda – tanda vital ini yaitu untuk
mengetahui tingkat kesehatan dari pasien dan mengetahui perkembangan
kesehatan pasien. Dari tindakan implementasi ini diperoleh data tanda – tanda
vital sebagai berikut TD : 110/ 80 mmHg , Nadi 84 kali / menit, suhu 36, 4oC,
pernapasan 20 kali / menit.
Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan post debridement ulkus
diabetes melitus. Selama 3 kali 24 jam penulis melakukan implementasi untuk
mengatasi masalah kerusakan integritas kulit dari tanggal 15 April 2015 s/d 17
April 2015, tindakan yang dilakukan antara lain melakukan mobilisasi pasien
atau mengubah posisi pasien contohnya miring kana , miring kiri yang bertujuan
untuk menghindari pnekanan pada daerah kulit terlalu lama yang bisa
menimbulkan kemerahan, respon pasien saat dilakukan tindakan pasien
mengatakan biasanya juga melakukan hal itu karena kalau tidak memiringkan
badannya bergantian pinggangnya pegal – pegal sedangkan untuk respon
obyektifnya pasien mandiri saat melakukan mobilisasi tirah baring, implementasi
yang kedua yaitu melakukan pemberian terapi insulin respon pasien secara
subyektif yaitu pasien mengatakan bahwa saat obat dimasukkan tidak begitu
terasa sakit karena sudah terbiasa. Pemberian terapi novorapid sebenarnya lebih
tepat untuk diagnosa ketidakstabilan gula darah berhubungan dengan penurunan
berat badan, akan tetapi pemberian terapi novorapid juga mendukung
kesembuhan kerusakan integritas kulit selain perawatan yang multidisiplin
karena berhubungan dengan gula darah yang normal. Untuk data obyektifnya
pasien mendapatkan terapi Novorapid 6 unit , melalui SC diusap menggunakan
alkohol swab sebelum obat dimasukkan untuk menjaga obat masuk dengan cara
steril.
Pasien diberikan terapi Novorapid, karena dalam novorapid mengandung
insulin aspart yang diindikasikan untuk penderita tipe 1 dan dua sedangkan
pasien pada kasus penulis ini adalah penderita diabetes melitus tipe 2. Biasanya
novorapid ini diberikan segera sebelum pasien makan atau bisa juga setelah
makan. Novorapid merupakan insulin kerja cepat setelah makanan masuk ke
dalam tubuh Fungsi dari pemberian novorapid ini yaitu untuk memperlambat
absorpsi makanan dan untuk meningkatkan kebutuhan insulin yang harus
diimbangi dengan pengurangan aktifitas yang berlebih, pengurangan jadwal
makan. Tindakan selanjutnya yaitu melakukan teknik perawatan luka dengan
prinsip steril, data subyektif yang didapatkan dari pasien yaitu pasien
mengatakan bahwa balutan lukanya rembes, berbau, dan masih nyeri, data
obyektifnya antara lain pasien mengalami post debridement ulkus diabetes
melitus hari kedua, luka rembes ke balutan luka, dilakukan perawatan luka atau
medikasi dengan prinsip steril, menggunakan alat – alat yang sebelumnya sudah
disterilkan, menggunakan larutan NaCl untuk membersihkan luka yang berfungsi
untuk resusitasi dan dibersihkan sampai dengan luka terlihat kemerahan,
pmberian metronidazole 5 ml untuk mencegah terjadinya infeksi kemudian
ditutup kembali menggunakan kassa steril dan dibalut agar kasa mampu menutup
luka dengan rapat, tidak boleh terlalukencang. Saat penutupan luka seluruh
bagian luka harus tertutupi. Berdasarkan hal – hal di atas penulis melakukan
implementasi sesuai dengan tinjauan teori yang ada menurut Nanda (2013).
Resiko infeksi berhubungan dengan post debridement ulkus diabetes
melitus. Pada diagnosa ini penulis melakukan asuhan keperawatan juga selama 3
kali 24 jam untuk mengatasi masalah resiko infeksi. Hal yang pertama penulis
lakukan untuk mencegah infeksi yaitu memberikan terapi dan saat dilakukan
tindkan diperoleh data subyektif antara lain pasien mengatakan jika setelah
diberikan obat badannya lebih enak karena pasien ingin segera sembuh,
sedangkan data obyektifnya pasien tampak meringis sesaat obat dimasukkan,
pasien mendapatkan Injeksi Ceftriaxone 2 gram, infuse metronidazole
500mg/100ml, dan injeksi Omeprazole, 42,6 mg. Kegunaan masing – masing
obat ini secara umum yaitu untuk mengurangi dan mencegah terjadinya infeksi
pada luka insisi pembedahan. Dan kegunaan khususnya yang pertama dalam
ceftriaxone 2 gram, pasien mendapatkan 2 vial ceftriaxone yang berjumlah 2
gram dan diencerkan mengguankan aquabidest 10 ml, ceftriaxone memang
diindikasikan bagi penderita ulkus diabetik, diberikan secara intravena/ IV,
lamanya pengobatan harus selama 24 –
72 jam setelah suhu panas berkurang pada tubuh pasien ( Dexa Medica, 2009).
Selanjutnya untuk pemberian metronidazole, dalam metronidazole 100 ml
terdapat metronidazole 500mg yang berfungsi untuk melawan bakteri udara,
bakteri anaerob, dan bakteri yang hipersensitiv terhadap mtronidazole seperti
fusobakteria, Eubakteria, fungsi yang lain yaitu untuk mencegahinfeksi setelah
pembedahan yang disebabkan oleh kuman anaerob.
Omeprazole pada tiap mlnya mengandung omeprazole sodium 42, 6 mg yang
berfungsi untuk untuk mengurangi asam lambung dengan menghambat secara
spesifik sekresi lambung (Dexa Medica, 2009). Tindakan selanjutnya untuk
diagnosa resiko infeksi berhubungan dengan post debridement ulkus diabetes
melitus yaitu penulis melakukan perawatan luka,dengan respon sunyektid pasien
yaitu pasien mengatakan bahwa luka pada kakinya masih terasa perih, berbau,
tapi selalu dijaga kebersihannya agar tidak dihinggapi hewan seperti lalat, data
obyektif yang diperoleh pasien tampak relaks dengan keadaannya, terkadang
ekpresi menahan nyeri saat dilakukan perawatan luka, dan saat disiram dengan
larutan NaCl, perawatan luka dilakukan secara steril untuk mencegah infeksi dari
bakteri anaerob dan mempercepat penyembuhan. Pada hal ini tindakan
perawatan luka hampir sama dengan tindakan yang dilakukan untuk mengatasi
masalah kerusakan integritas kulit.
Tindakan berikutnya yaitu melakukan inspeksi kondisi luka/ insisi bedah,
data yang didapatkan penulis dari pasien adalah dta obyektif pasien mengatakan
bahwa tidak berani melihat luka pada kakinya karena takut jika setelahnya malah
tidak mau menggerakkan kakinya. Data obyektifnya yaitu luka pada ulkus pasien
tampak kemerahan, luka menyeluruh dipermukaan kaki dan kedalaman luka 2
s/d 3 cm, luka ditimbulkan karena post debridement.tujuan dilakukannya
inspeksi luka yaitu untuk mengetahui perkembangan kondisi luka dan mencegah
tanda gejala infeksi muncul.
d. Evaluasi
Menurut Mareelli, 2007 evaluasi keperawatan merupakan tahap akhir
dari tahap – tahap proses keperawatan untuk mengetahui apakan masalah –
masalah keperawatan yang muncul pada kasus asuhan keperawatan pada pasien
dengan post debridement ulkus diabetes melitus teratasi atau tidak dan untuk
membandingkan antara yang sistematik dengan yang terencana berkaitan dengan
fasilitas yang tersedia.
Berdasarkan hal tersebut penulis melakukan evaluasi keperawatan pada
kasus ini antara lain :
a. Nyeri akut berhubungan dengan insisi pembedahan
Pada diagnosa ini penulis sudah melakukan tindakan keperawatan sesuai
dengan tinjauan teori yang ada dan dilakukan semaksimal mungkin dengan
tujuan masalah nyeri akut dapat teratasi.
Pada proses keperawatan sebelumnya yaitu implementasi keperawatan sudah
dijabarkan bagaimana penulis melakukan asuhan keperawatan pada pasien. Dan
evaluasi keperawatan yang diperoleh penulis dari asuhan keperawatan yang
dilakukan selama 3 kali 24 jam yaitu masalah nyeri akut teratasi sebagian karena
pasien mengatakan masih merasakan nyeri walaupun hilang timbul dan skala
nyeri berkurang menjadi 4 (0 - 10), untuk mengatasi masalah nyeri akut harus
melanjutkan intervensi keperawatan antara lain melakukan pengkajian nyeri,
mengajarkan teknik relaksasi napas dalam, dan pemeberian terapi analgetik,
namun penulis tidak dapat melakukan perawatan secara berlanjut karena
keterbatasan waktu yang telah diberikan. Dalam hal ini belum sesuai dengan
kriteria hasil yang diharapkan oleh penulis dimana pasien terlihat relaks, nyeri
hilang atau berkurang dengan implementasi – implementasi yang dilakukan oleh
penulis.
b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan post debridement ulkus
diabetes melitus.
Evaluasi yang didapatkan untuk diagnosa ini yaitu masalah kerusakan
integritas kulit belum teratasi karena menurut Sunaryo (2011), proses
penyembuhan untuk ulkus diabetes melitus kurang lebih enam bulan. Kondisi
luka pada kaki pasien luka terlihat kemerahan, tidak ada oedem dan pasien masih
harus mendapatkan terapi insulit lagi. Masalah kerusakan integritas kulit blum
teratasi jadi evaluasi tidak sesuai yang diharapkan penulis dimana perkembangan
atau perbaikan kulit pasien lebih baik, luka sembuh dengan kriteria yang
ditentukan, menunjukkan proses penyembuhan luka.

Evaluasi dilakukan untuk mengetahui setelah dilakukan tindakan untuk


mengatasi kerusakan integritas kulit tersebut tercapai atau tidak dan perlu atau
tidaknya melanjutkan intervensi.
c. Resiko infeksi berhubungan dengan post debridement ulkus diabetes
melitus.
Berdasarkan kriteria evaluasi yang telah dijelskan pada tinjauan teori dimana
pasien bebas dari tanda gejala infeksi, jumlah lkosit dalam batas normal, pasien
menunjukkan perilaku hidup sehat. Dari hal tersebut dapat diperoleh evaluasi
keperawatan untuk diagnose ini bahwa masalah resiko infeksi belum teratasi
sebagian dengan upaya perawatan luka dengan prinsip steril dan pemberian
terapi antibiotik. Dalam hal ini penulis melakukan asuhan keperawatan untuk
mengatasi diagnose ini selama 3 kali 24 jam yang sekirang belum cukup untuk
mencapai kriteria hasil menurut Nanda (2013).
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, 2012. Standar asuhaan keperawatan. Jakarta : CV Trans info medika

Agustin, M.T. (2014). Asuhan keperawatan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh pada pasien dengan diabetes mellitus. Prodi DIII keperawatan
Akademi kesehatan Rustida. Karya Tulis Ilmiah. Tidak dipublikasikan

Bararah. (2013). Asuhan keperawatan: panduan lengkap menjadi perawat profesional,


Jakarta : prestasi pustakarya

Betteng, R., Pangemanan. D., & Mayulu. N. (2014). Analisis faktor resiko peenyebab
terjadinya diabetes mellitus tipe 2 pada wanita usia produktif di puskesmas
wwawonasa. Jurnal e-biomedik, 2(2), 404-412

Brunner & Suddart. (2015). Keperawatan medikal bedah. Jakarta : EGC

Casanova. (2014). Asuhan keperawaatan medikal bedah penyakit dalam. Yogyakarta :


Nuha medika

Daniel, R. (2012). Pengaruh pelayanan informasi obat terhadap keberhasilan terapi


pasien diabetes melitus tipe 2. Jurnal farmasi klinik indonesia, 4(2), 127-135

Doengoes, G. (2014). Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta:


Buku Kedokteran EGC

Gustaviani, Reno. (2007). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Hidayat A.A. (2007) Metode penelitian kebidanan teknik analisis data. Jakarta:
Salemba medika

Joyce, M.B. (2014). Keperawatan medikal bedaah. Jakarta : CV Pantasada medika


edukasi

Jurnal SEL, 2(2), 49-56


Kartika, R.W. (2017). Pengelolaan gangren kaki diabetik. Jurnal CDK-248, 44(1), 18-
22

Kowalak. (2011). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta Pusat: Penerbitan
Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Kuncoro, Benyamin Makes. (2010). Buku Ajar Patologi II (Khusus) Edisi I. Jakarta:
Sagung Seto

Marissa, N.,& Ramadhan, N. (2015). Karakteristik penderita DM tipe 2 berdasarkan


kaadaar HbA1C di puskesmas jaya baru kota banda aceh. Jurnal SEL, 2(2), 49-56

Maryunani, A. (2013). Perawatan luka modern praktis pada wanita dengan luka
diabets. Jakarta: CV.Trans Info Media

Nugroho, P.,dkk. (2015). Pengaruh depresi terhadap perbaikan infeksi ulkus kaki
diabetik. Jurnal penyakit dalam indonesia, 4(2), 212-216

Nurarif. (2012). Hidup secara mandiri dengan diabetes mellitus. Jakarta: FKUI

Padila. (2012). Asuhan keperawatan medikal bedah. Jakarta: Salemba Medika

Perdana, A.A, Ichsan, B, & Rosyidaah, D.U. Agustus (2013). Hubungan tingkat
pengetahuan tentang penyakit DM dengan pengendalian kadar glukosa darah pada
pasien DM tipe 2 di RSU PICU Muhammadiyah Surakarta. Jurnal biomedika,
2(5), 17-21

Purwandari, H. (2014). Hubungan obesitas dengan kaadar gula darah pada karyawan
di RS tingkat Madiun. Jurnal, 25(1), 65-72

Qurratuaeni. (2009). Faktor-faktor yaang berhubungan dengan terkendalinya kaadar


gula daraah pada pasien diabetes mellitus di rumah sakit umum (RSUP)
Fatmawati Jakarta. Program studi ilmu keperawatan fakultas kedokteran indonesia
dan ilmu kesehatan UIN Syarif hidayatullah. Skripsi tidak dipublikasikan

Rendy, M.C. (2012). Asuhan keperawaatan medikal bedah penyakit dalam.


Yogyakarta : Nuha medika
Rosyidah. (2013) Patogenesis Diabetes Tipe 2: Resistensi Insulin dan Defisiensi
Insulin.. Jurnal farmasi klinik indonesia, 4(2), 1-5

Salindeho, A., Mulyadi.,& Rottie. J. (2016). Pengaruh senam DM terhadap kadar gula
darah penderita DM tipe 2 di sanggaar senam persadia kabupaten gorontalo.
Ejournal keperawataan, 1(4), 1-7

Samiadi, A.D. (2016). Epidemiologi, program penanggulangan dan isu mutakhir


diabetes mellitus . Skripsi tidak dipublikasikan. Makassar: Universitas
Hasanuddin.

SDKI DPP PPNI. (2017). Standar diagnosis keperawatan indonesia. Edisi 1. Jakarta :
Dewan Pengurus Pusat PPNI

Sudaryanto, dkk. (2014). Promosi kesehatan dan ilmu perilaku. Jakarta: Rineka Cipta.

Sudoyo, Aru W. (2007). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Suyono, Slamet. (2008). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta Pusat: Penerbitan
Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Tarwoto & Wartonah. (2010). Kebutuhan dasar manusia dan proses keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika

Trisnawati, S.K.,& Setyorogo, S. (2013). Faktor resiko kejadian DM tipe 2 di


puskesmas kecamatan cengkareng jakarta barat tahun 2012. Jurnal ilmiah
kesehatan. 5(1), 1-61

Wijayaningsih, & Kartikasari. (2013). Standar asuhaan keperawatan. Jakarta : CV


Trans info medika

Wilkinson, J.M, & Ahern, N.R. (2015). Buku saku diagnosis keperawatan. Edisi 9.
Jakarta : EGC

Yunita, B & Kurniaawaty, E. (2016). Faktor-faktor yang berhubungan dengan


kejadian diabetes mellitus tipe 2. Jurnal Mojoriti 2(5), 27-30

Anda mungkin juga menyukai