SPIRITUAL
Oleh:
Ns. Yeni Iswari., M.Kep., Sp.
Kep. An
PENDAHULUAN
Spiritualitas
Mickley et al (1992)
Menguraikan spiritualitas sebagai suatu yang multidimensi,
yaitu dimensi ekstensial dan dimensia agama. Dimensi
ekstensial berfokus pada tujuan dan arti kehidupan,
sedangkan dimensi agama lebih berfokus pada hubungan
seseorang dengan Tuhan Yang Maha Penguasa.
SPIRITUALITAS
Stoll (1989)
Spiritualitas sebagai konsep dua dimensi:
1. Dimensi verticalhubungan dengan Tuhan atau
Yang Maha Tinggi yang menuntun kehidupan
seseorang
2. Dimensi horizontalhubungan seseorang dengan
diri sendiri, dengan orang lain dan dengan
lingkungan. Terdapat hubungan yang terus menerus
antara dua dimensi tersebut.
SPIRITUALITAS
Carson, 1989
Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan untuk
mempertahankan atau mengembalikan keyakinan dan
memenuhi kewajiban agama, serta kebutuhan untuk
mendapatkan maaf atau pengampunan, mencintai,
menjalin hubungan penuh rasa percaya dengan Tuhan
KEPERCAYAAN (FAITH)
Tidak harmonis
a. Konflik dengan orang lain.
b. Resolusi yang menimbulkan ketidakharmonisan dan
friksi.
4. Hubungan dengan ketuhanan
Menurut Taylor, Lilis & Le Mone (1997) dan Craven & Hirnle
(1996), faktor penting yang dapat mempengaruhi spiritualitas
seseorang adalah:
1. Pertimbangan tahap Perkembangan
Berdasarkan hasil penelitian terhadap anak-anak dengan
empat agama yang berbeda ditemukan bahwa mereka
mempunyai persepsi tentang Tuhan dan bentuk
sembahyang yang berbeda menurut usia, seks, agama dan
kepribadian anak.
2. Keluarga
Peran orang tua sangat menentukan dalam
perkembangan spiritualitas anak.
Yang penting bukan apa yang diajarkan oleh
orangtua kepada anaknya tentang Tuhan, tetapi apa
yang anak pelajari mengenai Tuhan, kehidupan dan
diri sendiri dari perilaku orang tua mereka.
Keluarga merupakan lingkungan terdekat dan
pengalaman pertama anak dalam mempersepsikan
kehidupan di dunia, maka pandangan anak pada
umumnya diwarnai oleh pengalaman mereka dalam
berhubungan dengan orang tua dan saudaranya.
3. Latar belakang etnik dan budaya
Pada umumnya seseorang akan mengikuti tradisi
agama dan spiritual keluarga.
Anak belajar pentingnya menjalankan kegiatan
agama, termasuk nilai moral dari hubungan
keluarga dan peran serta dalam berbagai bentuk
kegiatan keagamaan.
Perlu diperhatikan apapun tradisi agama atau
sistem kepercayaan yang dianut individu, tetap
saja pengalaman spiritual unik bagi tiap individu.
4. Pengalaman hidup sebelumnya
Pengalaman hidup baik yang positif maupun pengalaman
negatif dapat mempengaruhi spiritualitas seseorang.
Sebaliknya juga dipengaruhi oleh bagaimana seseorang
mengartikan secara spiritual kejadian atau pengalaman
tersebut.
5. Krisis dan perubahan
(Tooth, 1992) dan Craven & Hirnle (1996). Krisis sering
dialami ketika seseorang menghadapi penyakit,
penderitaan, proses penuaan, kehilangan dan bahkan
kematian, khususnya pada klien dengan penyakit
terminal atau dengan prognosis yang buruk.
Perubahan dalam kehidupan dan krisis yang dihadapi
tersebut merupakan pengalaman spiritual selain juga
pengalaman yang bersifat fisik dan emosional.
Krisis dan perubahan dapat menguatkan kedalaman
spiritual seseorang
Krisis
.bisa berhubungan dengan perubahan
patofisiologi, treatment/terapi pengobatan yang
diperlukan, atau situasi yang mempengaruhi
seseorang. Diagnosis penyakit atau penyakit terminal
pada umumnya akan menimbulkan pertanyaan
tentang sistem kepercayaan seseorang. Apabila klien
dihadapkan pada kematian, maka keyakinan spiritual
dan keinginan untuk sembahyang/berdoa lebih tinggi
dibandingkan pada pasien yang berpenyakit tidak
terminal.
6. Terpisah dari ikatan spiritual
Menderita sakit terutama yang bersifat akut,
seringkali membuat individu merasa terisolasi dan
kehilangan kebebasan pribadi dan sistem dukungan
sosial (social support system).
Klien yang dirawat merasa terisolasi dalam ruangan
yang asing baginya dan merasa tidak aman.
Kebiasaan hidup sehari-hari juga berubah, antara
lain tidak dapat menghadiri acara resmi, mengikuti
kegiatan keagamaan atau tidak dapat berkumpul
dengan keluarga atau teman dekat yang biasa
memberikan dukungan setiap saat diinginkan.
Terpisahnya klien dari ikatan spiritual berisiko
terjadinya perubahan fungsi spiritualnya.
7. Asuhan keperawatan yang kurang sesuai
1. Verbalisasi distress
Individu yang mengalami gangguan fungsi spiritual biasanya
memverbalisasikan distress yang dialaminya atau
mengekspresikan kebutuhan untuk mendapatkan bantuan.
Misalnya seorang istri mengatakan: “Saya merasa bersalah
karena saya seharusnya mengetahui lebih awal bahwa suami
saya mengalami serangan jantung”.
Perawat juga perlu peka terhadap keluhan klien tentang
kematian atau merasa tidak berharga dan kehilangan arti
hidup. Kepekaan perawat sangat penting dalam menarik
kesimpulan dari verbalisasi klien tentang distress yang dialami
klien.
2. Perubahan perilaku
– Klien yang merasa cemas dengan hasil pemeriksaan atau
menunjukkan kemarahan setelah mendengar hasil
pemeriksaan mungkin saja sedang menderita distress
spiritual.
– Reaksi:
a. mengintrospeksi diri dan mencari alasan terjadinya suatu
situasi dan berupaya mencari fakta yang dapat
menjelaskan situasi tersebut merupakan manifestasi
gangguan fungsi spiritual,
b. emosional dan mencari informasi serta dukungan dari
keluarga atau teman.
c. Perasaan bersalah, rasa takut, depresi dan ansietas
mungkin menunjukkan perubahan fungsi spiritual.
Taylor, Lilis & Le Mone (1997),
dalam hal ini perawat akan:
1. Mempunyai pegangan tentang keyakinan spiritual yang
memenuhi kebutuhannya untuk mendapatkan arti dan
tujuan hidup, mencintai dan berhubungan serta
pengampunan.
2. Bertolak dari kekuatan spiritual dalam kehidupan sehari-hari
ini, terutama ketika menghadapi nyeri, penderitaan dan
kematian dalam melakukan praktik profesional.
3. Meluangkan waktu untuk memupuk kekuatan spiritual diri
sendiri.
4. Menunjukkan perasaan damai, kekuatan batin, kehangatan,
keceriaan, caring dan kreativitas dalam interaksinya dengan
orang lain.
.
5. Menghargai keyakinan dan praktik spiritual orang
lain walaupun berbeda dengan keyakinan spiritual
perawat.
6. Meningkatkan pengetahuan perawat tentang
bagaimana keyakinan spiritual klien
mempengaruhi gaya hidup mereka, berespon
terhadap penyakit, pilihan pelayanan kesehatan
dan pilihan terapi/treatment.
7. Menunjukkan kepekaan terhadap kebutuhan
spiritual klien.
8. Menyusun strategi asuhan keperawatan yang
paling sesuai untuk membantu klien yang sedang
mengalami distress spiritual.
PROSES KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Afilasi Agama:
a. Partisipasi klien dalam kegiatan agama apakah dilakukan
secara aktif atau tidak aktif.
b. Jenis partisipasi dalam kegiatan agama.
2. Keyakinan agama, spiritual:
a. Praktik kesehatan: diet, mencari dan menerima terapi,
ritual atau upacara agama.
b. Persepsi penyakit: hukuman, cobaan terhadap keyakinan.
c. Strategi koping.
A. Pengkajian
3. Nilai agama atau spiritual, mempengaruhi:
a. Tujuan dan arti hidup.
b. Tujuan dan arti kematian.
c. Kesehatan dan pemeliharaannya.
d. Hubungan dengan Tuhan, diri sendiri dan orang lain.
A. Pengkajian
4. Pengkajian data subjektif
Pedoman Pengkajian Spiritual yang disusun oleh Stoll
dalam Craven & Hirnle (1996) mencakup empat area
yaitu:
a. Konsep tentang Tuhan atau Ketuhanan;
b. Sumber harapan dan kekuatan;
c. Praktik agama dan ritual;
d. Hubungan antara keyakinin spiritual dan kondisi
kesehatan.
5. Pengkajian data objektif
Pengkajian afek dan sikap, perilaku, verbalisasi,
hubungan interpersonal dan lingkungan melalui
observasi.
A. Pengkajian
6. Karakteristik klien yang mengalami distress spiritual :
a. Tampak kesepian dan sedikit pengunjung,
b. Mengekspresikan rasa takut dan cemas,
c. Mengekspresikan keraguan terhadap sistem
kepercayaan/agama,
d. Mengekspresikan rasa takut terhadap kematian,
e. Klien yang akan dioperasi,
f. Penyakit yang berhubungan dengan emosi atau
implikasi sosial dan agama.
g. Mengubah gaya hidup
h. Tidak dpt dikunjungi oleh pemuka agama,
A. Pengkajian