Anda di halaman 1dari 16

KONSEP KESEHATAN SPIRITUAL

Kelompok IV

Nama Anggota:

1. Andi Ratulangi
2. Andi Setianto
3. Arvi Iftiyanti
4. Didik Eko Prasetyo
5. Diventy Yusti Sundari
6. Ferawati

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MAHARANI MALANG

2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Spiritual adalah sesuatu yang berhubungan dengan spirit, semangat untuk mendapatkan
keyakinan, harapan dan makna hidup. Spiritualitas merupakan suatu kecenderungan untuk
membuat makna hidup melalui hubungan intrapersonal, interpersonal dan transpersonal dalam
mengatasi berbagai masalah kehidupan. Manusia adalah mahluk Tuhan yang paling
sempurna. Tidak hanya terdiri dari seonggok daging dan tulang, tetapi terdiri dari komponen
menyeluruh biologis, psikologis, sosial, spiritual dan kultural. Tuntutan keadaan,
perkembangan, persaingan dalam berbagai aspek kehidupan dapat menyebabkan kekecewaan,
keputusasaan, ketidak berdayaan pada manusia baik yang sehat maupun sakit. Selama dalam
kondisi sehat wal-afiat, dimana setiap komponen biologis, psikologis, sosial, kultural dan
spiritual dapat berfungsi dengan baik, sering manusia menjadi lupa, seolah hidup memang
seharusnya seperti itu. Tetapi ketika salah satu fungsi komponen tubuh terganggu, maka
tejadilah stresor, menuntut setiap orang mampu beradaptasi, pulih kembali dengan berbagai
upaya, sehingga kehidupan dapat berlanjut dengan baik. Ketika gangguan itu sampai
menghentikan salah satu fungsi dan upaya mencari pemulihan tidak membuahkan hasil,
disitulah seseorang akan mencari kekuatan lain diluar dirinya, yaitu kekuatan spiritual.(Yusuf,
Ah, Nihayati, Hanik Endang Iswari, Miranti Florencia Okviasanti 2016)
Perawat sebagai tenaga kesehatan yang paling lama berada disamping klien, tugas
utamanya adalah mempelajari bentuk dan sebab tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia.
Memberikan bantuan asuhan keperawatan mulai dari tingkat sistem organ fungsional sampai
molekuler, untuk memenuhi kebutuhan dan kemandirian klien dalam merawat dirinya.
Idealnya, seluruh komponen kebutuhan dasar manusia menjadi fokus kajian utama dalam
menentukan ruang lingkup pekerjaan profesi (Yusuf, 2015).
Hasil analisis situasi menunjukan, asuhan keperawatan untuk memenuhi kebutuhan
spiritual belum diberikan oleh perawat secara optimal. Hasil survey Kementerian Kesehatan
terhadap Rumah Sakit di Indonesia tahun 2014 (Puskom Depkes) diketahui sekitar 54 – 74 %
perawat melaksanakan instruksi medis, 26 % perawat melaksanakan pekerjaan administrasi
rumah sakit, 20 % melaksanakan praktik keperawatan yang belum dikelola dengan baik, dan
68 % tugas keperawatan dasar yang seharusnya dikerjakan perawat dilakukan oleh keluarga
pasien. Keadaan ini memacu seluruh pilar kehidupan profesi keperawatan untuk bahu-
membahu, secara bersama membangun kembali profesi keperawatan sesuai kaedah profesi.
Berbagai pilar itu terdiri dari institusi pendidikan, pelayanan, dan organisasi profesi. Institusi
pendidikan difokuskan pada penataan struktur kurikulum sesuai kompetensi pada level
program pendidikan dan penyelenggaraan proses pembelajaran untuk menyiapkan lulusan
yang handal. Intitusi pelayanan keperawatan (rumah sakit atau puskesmas) difokuskan pada
pengembangan sistem penugasan keperawatan, fasilitasi jenjang karier keperawatan, dan
menjadi sarana proses sosialisasi profesi bagi para peserta didik melalui pembelajaran klinik.
Organisasi profesi bertugas menetapkan, mengembangkan standar profesi keperawatan dan
mengevaluasi untuk menjamin agar setiap perawat bekerja sesuai standar profesi. Berdasar
latar belakang inilah penulis ingin menyajikan lebih banyak tentang pemenuhan kebutuhan
spiritual klien berdasarkan berbagai penelitian yang telah dilakukan. (Yusuf, Ah, Nihayati,
Hanik Endang Iswari, Miranti Florencia Okviasanti 2016)

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi Spiritual ?
2. Apa sajakah faktor yang mempengaruhi Spiritual?
3. Bagaiman Perawat Sebagai Model Peran

C. Tujuan
1. Mengetahui Definisi Spiritual
2. Mengetahui faktor yang mempengaruhi Spiritual
3. Mengetahui Perawat Sebagai Model Peran
BAB II
PEMBAHASAN

A. TINJAUAN TEORITIS
1. Definisi
Spritualiti adalah keyakinan dalam hubungan dengan yang Maha Kuasa dan Maha
Pencipta. Sevagai contoh seorang yang percaya kepada Allah sebagai Pencipta atau
sebagai Maha Kuasa. Menurut Burkhardt (1993), Spritual meliputi aspek berikut:
a. Berhugungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau ketidak pastian dalam
kehidupan.
b. Menentukan arti dan tujuan hidup.
c. Menyadari kemampuan untuk mengunakan sumber dan kekuatan dalam diri sendiri.
d. Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan Yang Maha Tinggi.
Dimensi spiritual berupaya untuk mempertahankan keharmonisan atau keselarasan
dengan dunia luar, berjuang untuk menjawab atau mendapatkan kekuatan ketika sedang
mengahadapi stress emosional, penyakit fisik, atau kematian. Kekuatan yang timbul
diluar kekuatan manusia (kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995; Murray & Zentner,
1993).
Mickley at al (1992) menguraikan spritualitas sebagai suatu yang multi dimensi,
yaitu dimensi eksistensial dan dimensi agama. Dimensi eksistensial berfokus pada tujuan
dan arti kehidupan, sedangkan dimensi agama lebih berfokus pada hubungan seseorang
dengan Tuhan Yang Maha Penguasa. Selanjutnya Stoll (1989) menguraikan bahwa
spiritual sebagai konsep dua dimensi vertical dan horizontal. Dimensi vertical adalah
hubungan dengan Tuhan Yang Maha Tinggi yang menuntun kehidupan seseorang.
Sedangkan dimensi horizontal adalah hubungan seseorang dengan diri sendiri, dengan
orang lain, dan dengan lingkungan. Terdapat hubungan terus - menerus antara dua
dimensi tersebut.
Karakteristik spritualitas
Dalam upaya memudahkan pemberian Asuhan Keperawatan dengan
memperhatikan kebutuhan spiritual penerima pelayan keperawatan, perawat mutlak perlu
memiliki kemampuan mengidentifikasi atau mengenal karakteristik spiritualitas yang
disajikan sebagai berikut :
a. Hubungan dengan diri sendiri.
1) Pengetahuan diri (siapa dirinya, apa yang dapat dilakukanya)
2) Sikap (percaya pada diri sendiri, percaya pada kehidupan/ masa depan,
ketenangan pikiran, harmoni/ keselarasan dengan diri sendiri)
b. Hubungan dengan alam (harmonis)
1) Mengetahui tentang tanaman, pohon, margasatwa, dan iklim
2) Berkomunikasi dengan alam (bertanaman dan berjalan kaki), mengabadikan,
dan melindungi alam.
c. Hubungan dengan orang lain (harmonis/suportif)
1) Berbagi waktu, pengalaman, dan sumber secara timbal balik.
2) Mengasuh anak, orang tua, dan orang sakit.
3) Meyakini kehidupan dan kematian (mengunjungi, melayat, dan lain-lain).
Bila tidak harmonis akan terjadi :
1) Konflik dengan orang lain.
2) Resolusi yang menimbulkan ketidak harmonisan dan friksi.
d. Hubungan dengan Ketuhanan. Agamis atau tidak agamis
1) Sembahyang/berdoa/meditasi
2) Perlengkapan keagamaan
3) Bersatu dengan alam

Secara ringkas, dapat dinyatakan bahwa seseorang terpenuhi kebutuhan spritualnya


jika mampu:
a. Merumuskan arti personal yang positif tentang tujuan keberadaannya di dunia/
kehidupan.
b. Mengembangkan arti penderitaan dan meyakini hikma dari suatu kejadian atau
penderitaan.
c. Menjalin hubungan positif dan dinamis melalui keyakinan, rasa percaya, dan cinta.
d. Membina integritas personal dan merasa diri berharga.
e. Merasakan kehidupan yang terarah terlihan melalui harapan.
f. Mengembangkan hubungan antar-manusia yang positif.

2. Perkembangan Spiritual
a. Bayi dan Todler (0-2 Tahun)
Tahap awal perkembangan spiritual rasa percaya kepada yang mengasuh yang sejalan
dengan perkembangan rasa aman dan dalam hubungan interpersonal, karena sejak
awal kehidupan munusia mengenal dunia melalui hubungan denga lingkungan,
khususnya orang tua. Bayi dan Todler belum memiliki rasa salah dan benar, serta
keyakinan spiritual. Mereka mulai meniru kegiatan ritual tanpa mengerti arti kegiatan
tersebut serta ikut ke tempat ibadah yang memengaruhi citra diri mereka.
b. Prasekolah
Sikap orang tua tentang kode moral dan agama mengajarkan kepada anak tentang apa
yang diangap anak baik dan buruk. Anak prasekolah meniru apa yang mereka liat
bukan yang dikatakan orang lain. Permasalahan akan timbul apabila tidak ada
kesesuaian atau bertolak belakang antara apa yang dilihat dan yang dikatakan kepada
mereka. Anak prasekolah sering bertanya tentang moralitas dan agama, seperti
perkataan atau tindakan tertentu diangap salah. Juga bertanya “apa itu surga” mereka
meyakini bahwa orang tua mereka seperti tuhan.
c. Usia Sekolah/ Remaja
Anak usia sekolah mengharapkan tuhan menjawab doanya, yang salah akan dihukum
dan yang baik akan diberikan hadia. Pada masa prapubertas, anak sering mengalami
kekecewaan karena karena mualai menyadari bahwa doanya tidak selalu dijawab
menggunakan cara mereka dan mulai mencari alasan tanpa mau menerima keyakinan
begitu saja.
Pada masa ini, anak mulai mengambil keputusan akan melepaskan atau meneruskan
agama yang dianutnya karena ketergantungannya kepada orang tua. Pada masa
remaja, mereka memperbandingkan standar orang tua mereka dengan orang tua lain
dan menetapkan standar apa yang akan diitegritasikan dalam perilakunya. Remaja
juga memperbandingkan pandangan ilmiah dengan pandangan agama serta mencoba
untuk menyatukanya. Pada masa ini, remaja yang mempunyai orang tua berbeda
agama, akan memutuskan pilihan agama yang akan dianutnya atau tidak memilih
satupun dari kedua agama orang tuanya.
d. Dewasa
Kelompok usia dewasa muda yang diharapkan pada pertanyaan bersifat keagamaan
dari anaknya akan menyadari apa yang pernah diajarkan padanya pada masa kanak-
kanak dahulu, lebih dapat diterima pada masa dewasa dari pada waktu remaja dan
masukan dari orang tua tersebut dipakai untuk mendidik anaknya.
e. Usia Pertengahan
Kelompok usia pertengahan dan lansia mempunyai lebih banyak waktu untuk
kegiatan agama dan berusaha untuk mengerti nilai agama yang diyakininya oleh
generasi mudah. Perasaan kehilangan karena pensiun dan tidak aktif serta menghadap
kematian orang lain (saudara, sahabat) menimbulkan rasa kesepian dan mawas diri.
Perkembangan filosofi yang lebih matang sering dapat membantu orang tua untuk
menghadapai keyakinan, berperan aktif dalam kehidupan dan merasa berharga, serta
lebih dapat menerima kematian sebagai suatu yang tidak dapat ditolak dan
dihindarkan.
3. Faktor yang mempengaruhi spiritual.
Menurut Taylor, lillis & Le Mone (1997), dan Craven & Himle (1996), factor
penting yang dapat mempengaruhi spritualitas seseorang adalah pertimbangan terhadap
perkembangan, keluarga, latar belakang, etika dan budaya, pengalaman hidup
sebelumnya, krisis, terpisah dari ikatan spiritual, isu moral terkait dengan terapi, serta
asuhan keperawatan yang kurang tepat. Untuk lebih jelas factor-faktor penting tersebut
dapat dijabarkan sebagai berikut.
a. Tahap Perkembangan
Berdasarkan penilitian terhadap anank-anak dengan empat agama yang
berbeda ditemukan bahwa mereka mempunyai persepsi tentang Tuhan dan bentuk
sembahyang yang berbeda menurut usia, seks, agama, dan kepribadian anak. Tema
utama yang diuraikan oleh semua anak tentang Tuhan, mencangkup hal – hal berikut
ini.
1) Gambaran tentang Tuhan yang bekerja memlalui kedekatan dengan manusia dan
saling keterikatan dengan kehidupan.
2) Mempercayai bahwa Tuhan terlibat dalam perubahan dan pertumbuhan diri serta
transformasi yang membuat dunia tetap segar, penuh kehidupan, dan berarti.
3) Meyakini Tuhan mempunyai kekuatan dan serta merasa takut menghadapi
kekuasaan Tuhan.
4) Gambaran cahaya/ sinar
b. Keluarga
Peran orang tua sangat menentukan perkembangan spritualitas anak. Yang
penting bukan apa yang diajarkan oleh orang tua kepada anaknya tentang Tuhan,
tetapi apa yang anak pelajari mengenai Tuhan, kehidupan, dan diri sendiri dari
perilaku orang tua mereka. Oleh karena orang tua merupakan lingkungan terdekat
dengan pengalama pertama anak dala mempresepsikan kehidupan di dunia, padangan
anak pada umumnya diwarnain oleh pengalaman mereka dalam berhubungan dengan
orang tua dan saudaranya.
c. Latar belakang etnik dan budaya.
Sikap, keyakinan dan nilai dipengaruhi oleh latar belakang etnik dan social
budaya. Pada umumnya, seorang akan mengikuti tradisi agamanya dan spiritual
keluarga. Anak belajar pentingnya menjalankan kegiatan agama, termasuk nilai
norma dari hubungan keluarga dan peran serta dalam berbagai bentuk kegiatan
keagamaan. Perlu di perhatikan apapun tradisi agama atau sistem kepercayaan yang
dianut individu, tetap saja pengalaman spiritual adalah hal unik bagi tiap individu.
d. Pengalaman hidup sebelumnya.
Pengalaman hidup, baik yang positif maupun negative dapat mempengaruhi
spiritual seseorang. Sebaliknya, juga dipengaruhi oleh bagaiman seseorang
mengartikan spiritual kejadian atau pangalaman tersebut.
e. Krisis dan perubahan.
Krisis dan perubahan dapat menguatkan keadaan spiritual seseorang (Toth,
1992) dan Craven & Hirlen (1996). Krisis sering dialami ketika seseorang mengalami
penyakit, penderitaan, proses penuaan, kehilangan, dan bahkan kematian, kususnya
pada penderita penyakit terminal atau dengan prognosis yang buruk.
f. Terpisah dari ikatan spiritual.
Menderita sakit terutama yang bersifat akut, sering kali membuat individu
merasa terisolasi dala kehilangn kebebasan pribadi dan sistem dukungan social. Klien
yang dirawat merasa terisolasi dalam ruangan dalam ruangan yang asing baginya dan
merasa tidak aman. Kebiasan hidup sehari – hari juga berubah, antara lain, tidak
dapat menghadiri acara resmi, mrngikuti kegiatan keagamaan atau tidak dapat
berkumpul dengan keluarga atau teman dekat yang biasa membri dukungan setiap
saat yang diinginkan.
g. Isu Morat terkait dedngan terapi
Pada kebanyakan agama, proses penyembuhan dianggap cara tuhan
menunjukan kebesaranya walaupun ada juga yang menolak intervensi pengobatan.
Prosedur medic sering kali dapt dipengaruhi oleh pengajaran agama, misalnya
sirkumsisi, transplantasi organ, pencegahan kehamilan dan sterilisasi.
h. Asuhan keperawatan yang tidak sesuai.
Ketika memberikan asuhan keperawatan pada klien, perawah diharapkan peka
terhadap kebutuhan spiritual klien, tetapi dengan berbagai alasan ada kemungkinan
perawat justru menghindar untuk memberikan asuhan spiritual. Alasan tersebut
antara lain karena perawat merasa kurang nyaman dengan kehidupan spritualnya,
krang menggangp penting kebutuhan spiritual, tidak mendaptkan pendidikan tentang
aspek spiritual dalm keperawatan, atau mersa bukan mennjadi tugasnya, tetapi
tanggung jawab pemuka agama.
4. Perubahan fungsi spiritual.
Berbagai perilaku dan ekspresi yang dimanisfestasikan klien seharusnya
diwaspadai oleh perawat, karena mungkin saja klien sedang mengalami masalah spiritual.
a. Verbalisasi distres
Individu yang mengalami gangguan fungsi spiritual biasanya memverbalisasikan
distress yang dialaminya atau mengekspresikan kebutuhan untuk mendapatkan
bantuan
b. Perubahan Perilaku
Perubahan perilaku juga dapat merupakan manifestasi gangguan fungsi spiritual.
Klien yang merasa cemas dengan hasil pemeriksaan atau menunjukan kemarahan
setelah mendengar hasil pemerilsaan mungkin saja sedang menderita distres spiritual.

5. Perawat Sebagai Modal Peran


Setiap manusia mempunyai tiga kebutuhan spiritual yang sama, yaitu :
a. Kebutuhan akan arti dan tujuan hidup
b. Kebutuhan untuk mencintai dan berhubungan
c. Kebutuhan untuk mendapatkan pengampunan.
Menurut Taylor, Lillis, dan Le More (1997), dalam hal ini perawat akan :
a. Mempunyai pegangan tentang keyakinan spiritual yang memenuhi kebutuhannya
untuk mendapatkan arti dan tujuan hidup, mencintai, berhubungan dan
pengampunan.
b. Bertolak dari kekuatan spiritual dalam kehidupan sehari-hari, terutama ketika
menghadapai nyeri, penderitaan, dan kematian dalam melakukan praktek
professional.
c. Meluangkan waktu untuk memupuk kekuatan spiritual diri sendiri
d. Menunjukan peran damai, kekuatan batian, kehangatan, keceriaan, dan kreativitas
dal interaksi dengan orang lain.
e. Menghargai keyakinan dan praktik spiritual orang lain walaupun berbeda dengan
keyakinan spiritual perawat.
f. Meningkatkan pengetahuan perawt tentang bagaiman keyakinan spiritual klien
memengaruhi gaya hidup mereka, berespon terhadap penyakit, pilihan pelayanan
kesehatan dan pilihan terapi.
g. Menunjukan kepekaan terhadap kebutuhab spiritual klien.
h. Menyusun strategi asuhan keperawatan yang paling sesuai untuk membantu klien
yang sedang mengalami distres spiritual.
B. ASUHAN KEPERAWATAN
Sebagaiman yang telah dipelajari sebelumnya, proses keperawatan sebagai suatu
metode ilmiah untuk menyelesaikan masalah keperawatan dalam pemberian asuhan
keperawatan, dilakukan secara sistemstis diawali dengan pengkajian data, penetapan dignosa
keperawatan, perencanaan, implementasi, dan evaluasi.
1. Ilustrasi Kasus
Tn. I usia 40 tahun, dan Tn. I dirawat dengan infark miokardial, beraga Islam. Tn. I sering
tidak dapat tidur pada malam hari dan berkata kepada perawat yang bertugas dinas malam
“Apakah anda sering mempertanyakan keberadaan tuhan” dan klien terus membahas
tentang tuhan. Ketika harus masuk rumah sakit, Tn. I tidak lagi aktif dalam kegiatan
keagamaan dan mengikuti pengajian rutin seperti biasa. Ia berkata, “ketika saya berpikir
tentang kematian dan tidak tahu apa yang terjadi setelah kematian, saya merasa sangat
takut dan cemas. Tn. I ingin mengali keyakinan agamanya yang selama ini tidak terlalu
dihayatinya dan berkata ingin dikunjungi oleh pemuka agama.
2. Pengkajian
Pengkajian dilakukan untuk mendapatkan data subjektif dan objektif. Dalam hal ini
akan digunakan proses pengkajian keperawatan menurut Craven & Hirnle (1996)
dilengkapi dengan tulisan Kozier, Blais & Wilkinson (1995), serta Taylor, Lillis, dan Le
Mone (!997). Pada dasarnya, informasi awal yang perlu digali secara umum adalah
sebagai berikut.
3. Masalah Keperawatan
Analisa Data
No Data Diagnosa Keperawatan
1 Data Subjektif : Distres Spiritual berhubungan
 Klien mempertanyakan keberadaan tentang dengan ansietas, Perubahan
tuhan. Praktik Spiritual.
 Klien mengatakan berpikir tentang kematian
dan tidak tahu apa yang terjadi setelah
kematian.
 Klien mengatakan merasa takut.
 Klien Ingin dikunjungi oleh pemuka Agama
Data Objektif:
 Klien terlihat tidak bias tidur malam.
 Klien terus membahas tentang tuhan.
 Klien tidak lagi aktif dalam kegiatan
keagamaan dan mengikuti pengajian rutian.
 Klien tampak takut dan cemas.

Berdasarkan analisa data diatas kami mengangkat diagnosa keperawatan yaitu Distres Spiritual
(Domain 10. Kelas. 3. Kode Diagnosis 00066, Hal 375-376(T. Heather Herdam, PdD, RN and
Shigemi Kamitsuru, PhD, RN 2018)). Definisi Distres Spiritual adalah suatu keadaan menderita
yang berhubungan dengan hambatan kemampuan untuk mengalami makna hidup melalui
hubungan dengan diri sendiri, dunia, atau kekuatan yang Maha Tinggi (T. Heather Herdam, PdD,
RN and Shigemi Kamitsuru, PhD, RN 2018)
4. Intervensi Keperawatan
Diagnosa
NOC NIC
Keperawatan
Distres Spiritual NOC : OUTCOME NIC :
berhubungan dengan 1. Kesehatan Spiritual 1. Fasilitasi pengembangan spiritual
ansietas, Perubahan  Kualitas keyakinan dipertankan pada 2  Tunjukan perhatian melalui (aktivitas)
Praktik Spiritual. ditingkatkan ke 4 menghadirkan (diri) dengan melungkan waktu
 Kemampauan berdoa dipertahankan pada Bersama pasien, keluarga pasien dan orang yang
2 ditingkatkan ke 4 penting bagi pasien
 Pengalaman spiritual dipertahankan pada  Bantu pasien untuk mengeksplorasikan
2 ditingkatkan ke 5 kepercayaan terkait dengan penyembuhan tubuh,
2. Kontrol Kecemasan diri pikiran, dan jiwa.
 Memantau intensitas kecemasan  Rujuk pasien pada perawatan Pastoral atau
dipertahankan pada 2 ditingkatkan ke 4 spiritual Caregiver yang utama sebagai penjamin.
 Mencari informasi untuk mengurangi 2. Dukungan Spiritual
kecemasan dipertahankan pada 2  Gunakan komunikasi terapeutik dalam membina
ditingkatkan ke 4 hubungan saling percaya.
 Menggunakan tehnik relaksasi untuk  Dorong individu untuk meninjau ulang masa lalu
mengurangi kecemasan dipertahankan dan berfokus pada kejadian dan hubungan yang
pada 2 ditingkatkan ke 4 memberikan dukungan dan kekuatan spiritual.
 Mempertahankan hubungan sosial  Dorong partisipasi terkait dengan keterkaitan
dipertahankan pada 2 ditingkatkan ke 5 anggota keluarga, teman, dan orang lain.
 Berikan privasi dan waktu – waktu yang tenang
untuk (dilakukannya) kegiatan spiritual.
3. Tingkat kecemasan  Rujuk pada penasehat spiritual yang dipilih klien
 Tidak dapat beristirahat dipertahankan  Pastikan pada individu bahwa perawat selalu ada
pada 2 ditingkatkan ke 4 untuk mendukung individu melewati masa yang
 Distress dipertahankan pada 2 menyakitkan.
ditingkatkan ke 3 3. Pengurangan kecemasan
 Perasaan gelisa dipertahankan pada 2  Berada disisi klien untuk menungkatkan sara aman
ditingkatkan ke 4 dan mengurangi ketakutan
 Gangguan tidur dipertahankan pada 2  Dorong keluarga untuk mendampingi klien dengan
ditingkatkan ke 4 cara yang tepat.
(Sue Moorhead, PhD et al. 2016)  Dengarkan klien.
 Indentifikasi pada saat terjadi perubahan tingkat
kecemasan.
 Instruksikan klien untuk mengunakan teknik
relaksasi.
(Bulechek et al. 2016)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Kesehatan spiritual berkaitan erat dengan dimensi lain dan dapat dicapai jika terjadi
keseimbangan dengan dimensi lain ( fisiologis, psikologis, sosiologis, kultural). Kesehatan
spiritual sangat berpengaruh terhadap koping yang dimiliki individu. Semakin tinggi
tingkat spiritual individu, maka koping yang dimiliki oleh individu tersebut juga akan
semakin meningkat. Sehingga mampu meningkatkan respon adaptif terhadap berbagai
perubahan yang terjadi pada diri individu tersebut. Peran perawat adalah bagaimana
perawat mampu mendorong klien untuk meningkatkan spiritualitasnya dalam berbagai
kondisi, Sehingga klien mampu menghadapi, menerima dan mempersiapkan diri terhadap
berbagai perubahan yang terjadi pada diri individu tersebut.

B. Saran
Peningkatan spiritualitas dalam diri setiap individu sangat penting untuk
diupayakan. Upaya untuk melakukan peningkatan spiritualitas dapat dilakukan dengan
berbagai cara misalnya dengan latihan yoga dan melakukan meditasi. Penting juga
diperhatikan pemenuhan nutrisi spiritual. Hal tersebut tentunya tidak dapat dilakukan
dalam waktu yang singkat, akan lebih baik jika dilaksanakan secara berkesinambungan.
Dengan meningkatkan spiritualitas dalam diri, maka koping yang kita miliki juga akan
meningkat. Sehingga mampu berperilaku dan mempertahankan kesehatan dalam kondisi
yang optimal.
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, Gloria M., Howard K. Butcher, Joanne M. Dochterman, and Cheryl M. Wangner.
2016. Nursing Intervention Classifikasion (NIC). Edisi Keen. eds. PhD Nurjannah,
Intansari, SKp., Ns., MNSc. and MNurs (Mntl.Hlth) Roxsana Devi Tumanggor, SKep.,
Ns. Indonesia.
Sue Moorhead, PhD, RN, RN Marion Johnson, PhD, FAAN Maridean L. Maas, PhD, RN,
and RN Elizabeth Swanson, PhD. 2016. Nursing Outcomes Classification (NOC). Edisi
Keli. eds. PhD Nurjannah, Intansari, SKp., Ns., MNSc. and MNurs (Mntl.Hlth) Roxsana
Devi Tumanggor, SKep., Ns. Indonesia.
T. Heather Herdam, PdD, RN, FNI, and FNI Shigemi Kamitsuru, PhD, RN. 2018. NANDA-I
Diagnosa Keperawatan Definisi Dan Klasifikasi 2018-2020. Edisi Sebe. eds. M.App.Sc
Prof. Dr. Budi Anna Keliat, S.Kp, PhD Henny Suzana Mediani, BSN, MNg, and PhD
Teuku Tahlil, BSN, MS.
Yusuf, Ah, Nihayati, Hanik Endang Iswari, Miranti Florencia Okviasanti, Fanni. 2016.
KEBUTUHAN SPIRITUAL Konsep Dan Aplikasi Dalam Asuhan Keperawatan. jakarta.

Anda mungkin juga menyukai