Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
A.

LATAR BELAKANG
Mycobacterium Tuberculosis telah menginfeksi sepertiga penduduk
dunia. Pada tahun 1995 diperkirakan setiap tahun terjadi sekitar 9 juta
penderita baru TBC dengan kematian 3 juta orang (WHO, Treatment of
Tuberculosis, Guidelines of National Programme 1997).Penyakit TBC di
Indonesia merupakan masalah utama kesehatan masyarakat, tahun 1995
hasil survei menunjukkan bahwa penyakit TBC merupakan penyebab
kematian nomer 3 setelah penyakit kardiovaskuler.(6) Penyakit ini paling
sering menyerang korpus vertebra terutama torakal tengah bawah dan
menyebabkan korpus vertebra rusak. Penyakit ini dikenal juga sebagai
penyakit paraplegia Pott. Nama Pott merupakan penghargaan bagi Pervical
Pott, seorang ahli bedah berkebangsaan Inggris, yang pada tahun 1879
menulis mengenai penyakit tersebut. Dalam studi Hudgson dkk (1964) pada
100 penderita penyakit Pott, 54 % sembuh dalam tempo 6 bulan.
Dokter spesialis bedah ortopedi dari Universitas Indonesia (UI), dr
Tjuk Risantoso Sp.B Sp BO menyatakan, penyakit TBC tulang belakang
(spondylitis tuberculosa) sebenarnya cukup banyak dijumpai di masyarakat.
Penyakit

tersebut

sering

diderita

anak-anak

atau

dewasa

muda.

Penyebarannya, kata dia, bisa melalui berbagai cara, antara lain melalui
aliran darah misalnya yang menyerang saluran kencing seperti TBC ginjal
yang menyebar ke tulang belakang (vertebra). Basil tuberkulosis masuk
melalui traktus respiratorius. Kuman dapat bersarang di korpus vertebra
(dormant). Bila keadaan umum buruk, dapat terjadi reaktivasi bila ada faktor
pemicu (trauma, defisiensi imun).(8)
B. TUJUAN PENULISAN
1. Penulisan referat ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami tentang
diagnosis serta penatalaksanaan spondilitis TBC.
2. Memenuhi sebagian syarat mengikuti ujian program pendidikan profesi di
bagian Ilmu Penyakit Saraf RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto.
1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.

DEFINISI
Spondilitis TBC atau nama lainnya Potts disease adalah TBC yang
mengenai tulang belakang, terutama sering mengenai korpus vertebra dan
menyebabkan korpus vertebra rusak sehingga diskus intervetebralis
mengalami sekuesterisasi. Penyakit ini merupakan penyebab paraplegia
terbanyak setelah trauma.

B.

EPIDEMIOLOGI
Dokter sub-bagian Pulmonologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK
Unsri dan RSMH Palembang, dr Zen Ahmad SpPd, mengatakan hampir 30
juta penduduk dunia saat ini menderita tuberkulosis, tiga persennya adalah
penderita TB Muskuloskletal. Sedangkan TB tulang punggung (spondilitis
TB) 50 persen dari TB Muskuloskletal atau 450 ribu sampai 500 ribu
penderita. Kurun waktu 1980 hingga 1994 di Prancis spondilitis TB
mencakup tiga sampai lima persen dari seluru kasus TB. Di USA kejadian
spondilitis tahun 1986-1995 mencakup 1,8 persen dari seluruh kasus TB,
ungkap Zen Ahmad.(8)

C.

ETIOLOGI (5)
Penyebab penyakit spondilitis TBC adalah kuman Mycobacterium
tuberculosae, sejenis kuman berbentuk batang gram negatif, dengan
ukuran panjang 1-4/Um dan tebal 0,3-0,6/Um. Sebagian besar kuman
terdiri atas asam lemak (lipid), kemudian peptidoglikan dan arabinomanan.
Lipid inilah yang membuat kuman menjadi tahan asam, sehingga disebut
bakteri tahan asam (BTA) dan dia juga lebih tahan terhadapgangguan
kimia dan fisis. Kuman dapat tahan hidup pada udara kering maupun
dalam keadaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal
ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant

ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan tuberkulosis aktif


kembali.
Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraseluler yakni
dalam sitoplasma makrofag. Makrofag yang semula memfagositasi malah
kemudian disenanginya karena banyak mengandung lipid. Sifat lain
kuman ini adalah aerob.
D.

PATOGENESIS
Basil

tuberkulosis

sebagian

besar

masuk

melalui

traktus

respiratorius pada saat terjadi infeksi primer, karena keadaan umum yang
buruk dapat terjadi basilemia.Basil TB dapat tersangkut di paru, limpa,
hati, ginjal, dan tulang.(7) Vertebra merupakan tempat yang sering terjangkit
tuberkulosis tulang. Dari proses di tulang belakang sendiri akan terjadi
perusakan dari segmen tulang belakang bagian depan juga pada korpus
tulang belakang sampai ke jaringan lunak di antara tulang belakang, dan
kadang-kadang ke bagian belakang segmen vertebra.(2)
Penyakit ini paling sering menyerang korpus vertebra terutama
torakal tengah bawah dan menyebabkan korpus vertebra rusak sehingga
diskus intervertebralis mengalami sekuesterisasi. Dapat terbentuk abses
paravertebralis di sekitar korpus vertebra. Abses ini mengandung fragmen
tulang, diskus, jaringan granulasi, dan febris perkijuan. Rusaknya korpus
vertebra menyebabkan kolumna anterior tulang belakang kolaps sehingga
terbentuklah kifosis yang khas disebut gibus. Berbeda dengan infeksi lain
yang cenderung menetap pada vertebra yang bersangkutan, tuberkulsis
akan terus menghancurkan vertebra di dekatnya. Penyakit ini akan terus
merusak vertebra di sekitarnya. Bentuk produk hasil kerusakan bisa berupa
tulang yang rusak (sequester), jaringan keju (necrosis pengejuan), abses
dingin, dan pembentukan jaringan granulasi, sehingga dalam perjalanan
penyakit selanjutnya bisa terjadi banyak hal. Beberapa di antaranya,
perusakan bagian depan yang berakibat penonjolan bagian belakang
segmen.Pus dan abses dapat mengalir sepanjang ligamentum longitudinale
anterior dan mendesak aliran darah vertebra di dekatnya, dengan demikian
3

infeksi dapat ditularkan dan menimbulkan nekrosis avaskular, sehingga


lebih banyak vertebra yang berdekatan (di atasnya/di bawahnya) dengan
asal infeksi menjadi kolaps dan menjadi bagian isi abses. Selain itu,
penekanan dan penjalaran abses yang berakibat penekanan pada saraf
(sumsum tulang belakang), penekanan tulang yang mati pada susunan
tulang belakang, dan penekanan oleh necrosis pengejuan. Akibat peristiwa
itu, lambat laun akan terjadi gangguan saraf (defisit neurologik).(7)
Menurut Gilroy dan Meyer, abses teberkulosis biasanya terdapat
pada daerah vertebra torakalis atas dan tengah, tetapi menurut Bedbrook
paling sering pada vertebra torakalis 12 dan bila dipisahkan antara yang
menderita paraplegia dan non paraplegia maka paraplegia biasanya pada
vertebra torakalis 10 sedang yang non paraplegia pada vertebra lumbalis.
Penjelasannya, arteri induk yang mempengaruhi medula spinalis segmen
torakal paling sering terdapat pada vertebra torakal 8-lumbal 1 sisi kiri.
Trombosis arteri yang vital ini akan menyebabkan paraplegia. Bila hal ini
merupakan faktor utama, maka banyak diantara kasus-kasus tersebut yang
ireversibel, meskipun demikian telah di buktikan bahwa dekompresiyang
tepat waktu akan memberikan perbaikan. Faktor lain yang perlu
diperhitungkan adalah diameter relatif antara medula spinalis dengan
kanalis vertebralisnya. Intumesensia lumbalis mulai melebar kira-kira
setinggi vertebra torakalis 10, sedang kanalis vertebralis di daerah tersebut
relatif kecil. Pada vertebra lumbalis 1, kanalis vertebralisnya jelas lebih
besar oleh karena itu lebih memberikan ruang gerak bila ada kompresi dari
bagian anterior. Hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa paraplegia
lebih sering terjadi pada lesi setinggi vertebra torakal 10. Kerusakan
medula spinalis akibat penyakit Pott terjadi melalui kombinasi 4 faktor: (2)
1.

Penekanan oleh abses dingin

2.

Iskemia akibat penekanan pada arteri spinalis

3.

Terjadinya endarteritis tuberkulosa setinggi blokade spinalnya

4.

Penyempitan kanalis spinalis akibat angulasi korpus vertebra


yang rusak.

Gb. A. Kifosis yang khas pada spondilitis TBC (gibus)

Gb.B. Gambaran radiologi wanita umur 42 tahun dengan diagnosis


spondilitis pada L4-L5.

Gb. C. Gambaran radiologi wanita umur 60 tahun dengan spondilitis TBC


mengenai L2-L3.

E.

GAMBARAN KLINIS
Terdapat gejala klasik tuberkulosis berupa penurunan berat badan ,
keringat malam, demam subfebris, kakeksia.Gejala ini jarang ditemukan.
Nyeri vertebra/lokal pada lokasi infeksi sering dijumpai dan menghilang
bila istirahat. Dapat ditemukan deformitas dan nyeri ketok tulang vertebra.
(7)

Gejala awal paraplegia pada tuberkulosis tulang belakang dimulai


dengan keluhan kaki terasa kaku atau lemah, atau penurunan koordinasi
tungkai. Proses ini dimulai dengan penurunan daya kontraksi otot tungkai,
dan peningkatan tonusnya. Kemudian tejadi spasme otot fleksor dan
akhirnya kontraktur. Penekanan mulai dari bagian anterior sehingga gejala
klinis yang muncul terutama gangguan motorik. Paraplegi kebanyakan
ditemukan di daerah torakal, dan bukan lumbal, karena kanalis lumbalis
agak longgar dan kauda ekuina tidak mudah tertekan. (3) Gejala dan tanda
kompresi radiks atau medula spinalis terjadi pada 20% kasus (akibat abses
dingin). Onset penyakit dapat gradual atau mendadak (akibat kolaps
vertebra dan kifosis).
F.

DIAGNOSIS
Diagnosis spondilitis TBC ditentukan berdasarkan gejala klinis dan
pemeriksaan penunjang. Gejala yang mendukung diagnosis spondilitis
tuberkulosis adalah nyeri yang meningkat pada malam hari makin lama
makin berat terutama pada pergerakan, pada pemeriksaan klinis terdapat
nyeri alih. Bila telah terjadi komplikasi pada awalnya terjadi nyeri
radikuler yang mengelilingi dada atau perut, kemudian diikuti paraparesis
7

yang lambat laun makin memberat, spastisitas, klonus, hiperrefleksia, dan


reflek babinsky bilateral(7), gangguan sensibilitas, yaitu anestesia,
gangguan defekasi, dan miksi.(3) Pada pemeriksaan laboratorium
didapatkan laju endap darah yang meningkat, reaksi tuberkulin positif .
Untuk melakukan pemeriksaan bakteriologis, dapat dilakukan punksi
abses atau dari debris yang di dapat melalui pembedahan. Pada foto
rontgen thorak dan vertebra, belum di dapati kelainan, bila proses berlanjut
akan terjadi destruksi vertebra yang akan terlihat pada foto rontgen,
tampak penyempitan sela diskus dan gambaran abses paravertebral,
osteoporosis dan destruksi hingga dapat terjadi kompresi vertebra. (4)
G.

PENATALAKSANAAN
Tujuan penanganan spondilitis TBC adalah untuk eradikasi infeksi,
untuk mencegah atau mengatasi defisit neurologi, mengoreksi deformitas
spinal, sehingga pasien dapat melakukan aktivitas seperti biasa.Yakni,
mengembalikan bentuk tulang yang bengkok. Pengobatan bisa dengan
cara conservative therapy, yaitu istirahat di tempat tidur untuk mencegah
paraplegia khususnya diterapkan pada penderita dengan gangguan ringan
dan diobati dengan obat anti-TBC.(7) Dilakukan pencegahan untuk
menghindari dekubitus dan kesulitan miksi dan defekasi. Umumnya
penderita akan sembuh dalam waktu terbatas. Bila gangguan neurologik
berubah menjadi lebih baik, penderita dapat di mobilisasi dengan alat
penguat tulang belakang.
Terapi konservatif dengan menggunakan obat anti tuberkulosis
yaitu : (6)
a. Isoniazid (H)
Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh 90%
populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini
sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif yaitu
kuman yang sedang berkembang, Dosis harian yang dianjurkan 5
mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu
diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB.
8

b. Rifampisin (R)
Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman semi-Dormant (persisten)
yang tidak dapat dibunuh oleh isoniasid. Dosis 10 mg/kg BB diberikan
sama untuk harian maupun intermiten 3 kali seminggu.
c. Pirasinamid (Z)
Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman yang berada di dalam sel
dengan suasana asam. Dosis yang dianjurkan 25 mg/kg BB, sedangkan
untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis
35 mg/kg BB.
d. Streptomisin (S)
Bersifat bakterisid, dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB
sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan
dosis yang sama. Penderita berumur sampai 60 tahun dosisnya 0,75
g/hari, sedangkan untuk yang berumur 60 tahun atau lebih diberikan
0,50 g/hari.
e. Etambulol (E)
Bersifat sebagai bakteriostatik, dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg
BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu
digunakan dosis 30 mg/kg BB.
Prinsip pengobatan OAT diberikan dalam bentuk kombinasi dari
beberapa jenis, dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan,
supaya semua kuman (termasuk kuman persisten) dapat di bunuh. Dosis
tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal,
sebaiknya pada saat perut kosong.
a. Tahap intensif (awal)
Penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi secara langsung untuk
mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT, terutama
rifampisin. Bila tahap intensif tersebut diberikan secara tepat biasanya
penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu
sebagian besar penderita TBC BTA positif menjadi BTA negatif pada
akhir pengobatan intensif.
b. Tahap lanjutan
9

Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk
membunuh kuman persisten (dormant) sehinga mencegah terjadinya
kekambuhan.
Pada awal paraplegia kadang dianjurkan pembedahan. Bedah
kostotransversektomi yang dilakukan berupa debridemen dan penggantian
korpus vertebra yang rusak dengan tulang spongiosa atau kortikospongiosa. Tulang ini sekaligus berfungsi menjembatani vertebra yang
sehat diatas, dan di bawah yang terkena tuberkulosis. Pada paraplegia
terapi ini dilakukan untuk dekompresi medula spinalis. Keuntungan
tindakan bedah, yaitu dapat menentukan diagnosis dengan pemeriksaan
mikrobiologis dan patologi serta mengintensifkan terapi medis. Untuk
menghindari komplikasi timbulnya tuberkulosis milier sesudah atau
selama pembedahan, masa pra bedah perlu diberi anti tuberkulosis selama
1 sampai 2 minggu.(3)
Prognosis spondilitis tuberkulosis bergantung pada cepatnya
dilakukan terapi dan ada tidaknya komplikasi neurologik. Untuk
spondilitis dengan paraplegia awal, prognosis untuk kesembuhan sarafnya
lebih baik, sedangkan spondilitis dengan paraplegia akhir, prognosis
biasanya kurang baik.

10

Gb. D dan E. Terapi operatif debridemen.

11

BAB III
KESIMPULAN
1.

Spondilitis TBC atau nama lainnya Potts disease adalah TBC yang
mengenai tulang belakang, terutama sering mengenai korpus vertebra dan
menyebabkan korpus vertebra rusak.

2.

Basil TB dapat tersangkut di paru, limpa, hati, ginjal, dan tulang,


vertebra merupakan tempat yang sering terjangkit tuberkulosis tulang.

3.

Penyakit ini paling sering menyerang korpus vertebra terutama torakal


tengah bawah dan menyebabkan korpus vertebra rusak sehingga diskus
intervertebralis mengalami sekuesterisasi.

4.

Terbentuk

abses

paravertebralis

di

sekitar

korpus

vertebra,

menimbulkan penekanan dan penjalaran abses yang berakibat penekanan pada


saraf (sumsum tulang belakang), sehingga lambat laun akan terjadi gangguan
saraf (defisit neurologik).
5.

Rusaknya korpus vertebra menyebabkan kolumna anterior tulang


belakang kolaps sehingga terbentuklah kifosis yang khas disebut gibus.

6.

Terdapat gejala klasik tuberkulosis berupa penurunan berat badan ,


keringat malam, demam subfebris, kakeksia.

7.

Gejala awal paraplegia pada tuberkulosis tulang belakang dimulai


dengan keluhan kaki terasa kaku atau lemah, paraparesis yang lambat laun
makin memberat, spastisitas, klonus, hiperrefleksia, dan reflek babinsky
bilateral, gangguan sensibilitas, yaitu anestesia, gangguan defekasi, dan miksi.

8.

Pengobatan bisa dengan cara conservative therapy, yaitu istirahat di


tempat tidur untuk mencegah paraplegia khususnya diterapkan pada penderita
dengan gangguan ringan dan diobati dengan obat anti-TBC.
12

9.

Pada

awal

paraplegia

kadang

dianjurkan

pembedahan.Bedah

kostotransversektomi yang dilakukan berupa debridemen dan penggantian


korpus vertebra yang rusak dengan tulang spongiosa atau kortiko-spongiosa.
10.

Prognosis spondilitis tuberkulosis bergantung pada cepatnya dilakukan


terapi dan ada tidaknya komplikasi neurologik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Lumban Tobing, Neurologi Klinik, Pemeriksaan Fisik dan Mental. FKUI:


2004.
2. Harsono (ed), Kapita Selekta Neurologi. Gadjah Mada University Press.
3. R. Sjamsuhidajat, De Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC,
Jakarta, 2005.
4. Staf Pengajar FKUI Bagian Bedah. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Jakarta,
1995
5. Staf Pengajar FKUI Bagian Ilmu Penyakit Dalam. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, Jilid II, Ed. Ketiga. Balai Penerbit FKUI. Jakarta, 2001.
6. Anonim, Spondilitis TBC,
http://www.ppmplp.depkes.go.id/images_data/pedoman%20nasional
%20TB.pdf , download tanggal 20 Desember 2006
7. Anonim, Spondilitis TBC http://search.yahoo.com/search?fr=yttf1mgff&p=spondilitis%20TBC&ei=UTF-8, download tanggal 20 Desember
2006
8. Anonim, Spondilitis TBC, http://www.ispub.com/ostia/index.php?
xmlprinter=true&xmlFilePath=journals/ijs/vol download tanggal 20 Desember
2006

13

REFERAT

STANDAR PELAYANAN MINIMAL


PENATALAKSANAAN SPONDILITIS TBC

Diajukan kepada :
dr. Bambang . S.D, Sp.S

Disusun oleh :
EKA LUSTIKAWATI
201 311 132

SMF ILMU PENYAKIT SYARAF


UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA
RSUD. PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2007
14

LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT

STANDAR PELAYANAN MINIMAL


TATALAKSANA SPONDILITIS TBC

Disusun oleh :
EKA LUSTIKAWATI
201 311 132

Telah disetujui dan dipresentasikan


pada tanggal :

Januari 2007

Dosen pembimbing :

dr. Bambang .S.D, Sp.S

ii
15

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena dengan
rahmat dan hidayah-Nya lah penulis akhirnya dapat menyelesaikan penulisan
referat

yang

berjudul

STANDAR

PELAYANAN

MINIMAL

PENATALAKSANAAN SPONDILITIS TBC.


Referat ini disusun sebagai syarat ujian stase ko-assisten di Bagian Ilmu
Penyakit Saraf, RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.
Penulis menyadari bahwa penyusunan referat ini baik dari segi isi dan
bahasanya sangat jauh dari sempurna. Tanpa bantuan dan bimbingan dari pihak
lain, sulit rasanya bagi penulis untuk menyelesaikan referat ini, oleh karena itu
penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada dr. Bambang S.D,Sp.S, atas
bimbingannya dalam menyelesaikan referat ini.
Akhirnya penulis berharap referat ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Penulis juga berharap mendapatkan kritik dan saran yang membangun untuk
kesempurnaan penyusunan referat ini.

Purwokerto,

Penulis

iii
16

Januari 2007

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN...............................................................................ii
KATA PENGANTAR............................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
BAB I

PENDAHULUAN..................................................................................1
A. Latar Belakang..................................................................................1
B. Tujuan Penulisan...............................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................2


A. Definisi................................................................................................2
B. Epidemiologi.......................................................................................2
C. Etiologi................................................................................................2
D. Patogenesis .........................................................................................3
E. Gambaran Klinis..................................................................................7
F. Diagnosis..7
G. Penatalaksanaan...................................................................................8
BAB III KESIMPULAN..12
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................13

iv

17

Anda mungkin juga menyukai