Anda di halaman 1dari 32

BAGIAN ILMU RADIOLOGI Referat dan Laporan Kasus

FAKULTAS KEDOKTERAN
JANUARI 2011
UNIVERSITAS HASANUDDIN

SPONDILITIS TUBERKULOSA

OLEH
dr. Paulina H. H. P.

PEMBIMBING
dr. Mirna Muis, Sp. Rad
Prof.Dr.dr.Muhammad Ilyas, Sp.Rad(K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS


PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS RADIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
2011
SPONDILITIS TUBERKULOSA
Paulina H. H. P. / Mirna Muis / Muhammad Ilyas
(Divisi Sistem Muskuloskletal Bagian Radiologi FK Unhas/ RS.Wahidin Sudirohusodo, Makassar)

I. PENDAHULUAN
Spondilitis tuberkulosa (Pott’s disease, paraplegi Pott) adalah infeksi granulomatosa
pada tulang vertebra dan jaringan lunak disekitarnya yang disebabkan oleh basil
tuberkulosis yang menyebar secara hematogen dari focus jauh, dan hampir selalu berasal
dari paru-paru. Penyebaran basil ini dapat terjadi pada waktu infeksi primer atau pasca
primer. Meskipun manifestasi tuberkulosa biasanya terbatas pada paru-paru, panyakit ini
juga dapat melibatkan sistem organ extrapulmonar seperti tulang, genitourinarius,
gastrointestinal, dan nervus sentral. Basil tuberkulosis biasanya menyangkut dalam
spongiosa tulang. Proses infeksi dapat melibatkan korpus vertebra atau diskus
intervertebra, dimana lokasi infeksi yang sering terjadi pada vertebra bagian lower thoracic
dan upper lumbar. Spondilitis tuberkulosa merupakan 25% - 50% dari seluruh kasus
(1, 2, 3)
tuberkulosis pada tulang.
Penyakit ini pertama kali dideskripsikan oleh Percival Pott pada tahun1779 yang
menemukan adanya hubungan antara kelemahan alat gerak bawah dengan kurvatura tulang
belakang, tetapi hal tersebut tidak dihubungkan dengan basil tuberkulosa hingga
ditemukannya basil tersebut oleh Koch tahun 1882, sehingga etiologi untuk kejadian
tersebut menjadi jelas. (4,5)
Tuberkulosis yang mengenai vertebra memiliki angka kesakitan yang tinggi karena
dapat menyebabkan defisit neurologis dan deformitas berat. Penatalaksanaan konservatif
dan operatif yang adekuat memberikan prognosis yang baik. (4)

II. INSIDEN DAN EPIDEMIOLOGI


Infeksi tuberkulosis ekstrapulmoner paling sering melibatkan tulang, dan tuberkulosis
pada vertebra terdapat pada 50% kasus tuberkulosis tulang. Kasus tuberkulosis paru aktif
yang terjadi bersamaan dengan tuberkulosis tulang ditemukan kurang dari 50% kasus. Pada
negara yang sedang berkembang, sekitar 60% kasus terjadi pada usia dibawah usia 20
tahun sedangkan pada negara maju, lebih sering mengenai pada usia yang lebih tua.

1
Meskipun perbandingan antara pria dan wanita hampir sama, namun biasanya pria lebih
sering terkena dibanding wanita yaitu 2,1:1,5. (6,7)
Di Ujung Pandang spondilitis tuberkulosa ditemukan sebanyak 70% dari seluruh
tuberkulosis tulang dan sendi. Umumnya penyakit ini menyerang orang-orang yang berada
dalam keadaan sosial ekonomi rendah.(6)
Sedangkan di Amerika Serikat, spondilitis tuberkulosa biasanya ditemukan pada orang
dewasa. Faktor resiko terjadinya spondilitis tuberkulosa yaitu kondisi sosial ekonomi dan
endemik tuberculosis. (5)
Faktor usia 5 % pada umur 5-7 tahun dan meningkat sampai 6-7 % pada umur 18
tahun.Sedangkan prevalensi spondilitis dilihat dari faktor suku maka bangsa kulit putih 6,4
% dibandingkan kulit hitam 2,8 %.(5)

III. ETIOLOGI
Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat
lain dalam tubuh, 90-95% disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik (2/3 dari tipe
human dan 1/3 dari tipe bovin) dan 5-10% oleh mikobakterium tuberkulosa atipik. Basil
tipe bovin berada dalam susu sapi yang menderita mastitis tuberkulosis dan bila diminum
akan menyebabkan tuberkulosis usus. Basil tipe human berada dalam bercak ludah
(droplet) orang yang terinfeksi tuberkulosis..(8,9,10)
Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada
pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Dalam jaringan
tubuh kuman ini dapat dorman, tertidur lama selama beberapa tahun. (10)
Sarang primernya biasanya di dalam paru dimana Micobacterium Tuberkulosis dapat
sampai di dalam tulang belakang melalui penyebaran hematogen dan sebagian kecil secara
limfogen.(8,9)

IV. ANATOMI
Tulang belakang adalah pilar utama tubuh yang melindungi medulla spinalis dan
menunjang berat kepala serta batang tubuh yang diteruskan ke tulang-tulang paha dan
tungkai bawah. Struktur ini fleksibel, dibentuk oleh tulang-tulang vertebra. Tulang
belakang berjumlah 33 segmen vertebra yang terdiri atas 7 vertebra cervicalis, 12 vertebra

2
thoracalis, 5 vertebra lumbalis, 5 sacralis yang menyatu membentuk sacrum dan 4
coccygeae (3 terbawah biasanya menyatu). Morfologi vertebra pada umumnya terdiri atas
corpus, arcus, processus spinosus dan processus transversus. Di tengah setiap vertebra
terdapat lubang yang disebut foramen vertebrale, yang berada di antara corpus dan arcus
vertebrae. Di bagian cranial dan caudal dari arcus vertebrae terdapat incisura vertebralis
superior dan incisura vertebralis inferior. Di sebelah cranial dari incisura vertebralis
superior dan incisura vertebralis inferior membentuk lubang yang dinamakan foramen
intervertebrale, dilalui oleh nervus spinalis. Foramen vertebrale dari ruas-ruas tulang
belakang bersama-sama membentuk suatu saluran yang disebut canalis vertebralis yang
berisikan medulla spinalis. Arcus vertebrae dibagian kiri dan kanan mempunyai taji yang
menuju ke superior dan inferior untuk berhubungan dengan vertebra di cranialis dan
caudalisnya. Taji tersebut adalah processus articularis superior dan processus articularis
inferior. Setiap processus articularis mempunyai facies articularis untuk membentuk
persendian dengan processus articularis dari vertebra di cranial dan di caudalisnya. Di
antara corpus vertebra dengan corpus vertebra lainnya terdapat diskus intervertebralis.
Setiap diskus terdiri atas bagian tepi yaitu anulus fibrosus dan bagian pusat yaitu nukleus
pulposus. Anulus fibrosus terdiri atas jaringan fibrokartilago dengan serat kolagen yang
tersusun sebagai lamel-lamel konsentris. Nukleus pulposus merupakan massa mirip gel
berbentuk lonjong yang mengandung air, sedikit serat kolagen dan sedikit tulang rawan.
(5,10,11,13)

Ligamentum longitudinal anterior dan posterior berjalan turun sebagai suatu pita utuh
menyusuri permukaan anterior dan posterior tulang belakang, dari cranium sampai sacrum.
Ligamentum anterior lebar dan menempel kuat pada tepi depan, sisi corpus vertebra dan
pada diskus intervertebralis. Ligamentum posterior lemah dan sempit, melekat pada tepi
posterior diskus. Ligamentum supraspinalis menghubungkan ujung-ujung processus
spinosus vertebra dan berjalan di antara processus spinosus yang berdekatan. Ligamentum
flava menghubungkan 2 lamina berdekatan. Di daerah cervical ligamentum ini sangat tebal
membentuk ligamentum nuchae. (12)

3
Gambar 1. Anatomi bagian-bagian vertebra dan discus intervertebralis dilihat dari superior.
Dikutip dari kepustakaan 12

Gambar 2 : Gambaran anatomi diskus intervertebralis yang menghubungkan 2 buah vertebra yang
berdekatan serta ligamentum-ligamentum yang terdapat pada vertebra.
Dikutip dari kepustakaan 12.

Gambar 3. Anatomi lengkungan yang normal pada kolumna vertebralis serta corpus vertebra dilihat dari
lateral. Dikutip dari kepustakaan 12

4
V. PATOFISIOLOGI
Micobakterium tuberkulosis merupakan organisme yang bertanggungjawab atas destruksi
tulang dan sendi. Awalnya, droplet infeksi dihirup dan menginfeksi paru, kemudian menyebar
secara hematogen melalui paru atau jalur pembuangan limfatik ke tulang. Kuman dapat
bersifat dorman dalam waktu yang lama sebelum dideteksi. Karena keadaan umum yang buruk
maka dapat terjadi bakteremia. Basil TB dapat tersangkut di paru, hati, limpa, ginjal dan
tulang. 6 sampai 8 minggu kemudian, respon imunologik timbul dan fokus tadi dapat
mengalami reaksi selular yang kemudian menjadi tidak aktif atau mungkin sembuh
sempurna.(4,6,11,14,15)
Vertebra merupakan tempat yang sering terjangkit tuberkulosis tulang. Penyakit ini pada
umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi berawal dari bagian sentral, bagian
anterior atau bagian superior maupun inferior corpus vertebra. Kemudian terjadi hiperemi dan
eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan perlunakan corpus. Corpus vertebra yang rusak
menyebabkan diskus intervertebralis mengalami sekuesterisasi. Infeksi menyebar melibatkan
ruang diskus intervertebralis melalui :
a. Perluasan dibawah ligamentum longitudinal anterior atau posterior, atau
b. Penetrasi pada subchondral bone plate
Keterlibatan diskus intervertebralis ditunjukkan dengan adanya kolaps dari ruang diskus
intervertebralis. Demineralisasi end plate terjadi dengan resorbsi dan hilangnya densitas dari
end plate. Bersamaan dengan progresifitas penyakit, terjadi pula progresifitas perkembangan
dari kolaps vertebra dengan anterior wedging yang mengacu pada bentuk karakteristik dari
angulasi dan gibbus. Berbeda dengan infeksi lain yang cenderung menetap pada vertebra yang
bersangkutan, tuberkulosis akan terus menghancurkan vertebra di dekatnya. Perluasan
subligamentous dari abses tuberculosis dapat memberikan gambaran erosi pada permukaan
anterior corpus vertebra yang jauh dari lesi awal tempat terjadinya. Perluasan tuberculosis dari
vertebra dan diskus ke ligamentum dan jaringan lunak didekatnya sering ditemukan dan
biasanya terjadi anterolateral.(4,6,15,16)

5
Gambar 4. Tahap proses infeksi yang melibatkan corpus vertebra dan diskus intervertebralis.
Dikutip dari kepustakaan 3

Menurut Gilroy dan Meyer (1979), abses tuberkulosis biasanya terdapat pada daerah
vertebra torakalis atas dan tengah, tetapi menurut Bedbrook (1981) paling sering pada vertebra
torakalis 12. Bila dipisahkan antara yang menderita paraplegia dan nonparaplegia maka
paraplegia biasanya pada vertebra torakalis 10 sedangkan yang non paraplegia biasanya pada
vertebra lumbalis.(15)
Abses pada vertebra torakalis biasanya tetap tinggal pada daerah toraks setempat menempati
daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses pada daerah ini dapat
menekan medulla spinalis sehingga timbul paraplegia.(6)
Abses dingin (cold abscess) pada daerah lumbal dapat turun ke psoas sampai daerah
trigonum femur dan pada akhirnya mengiritasi dan menembus ke belakang dan berada di
bawah kulit di sebelah belakang. Abses tersebut dapat menembus kulit dan menyebabkan
timbulnya fistel yang bertahun-tahun. (9,17,18)`
Berdasarkan lokasi permulaan infeksi tuberkulosis pada vertebra, spondilitis corpus
vertebra dibagi menjadi tiga tipe, yaitu : (1,5)
1. Tipe marginal atau peridiscal (33%), lesi destruktif biasanya terdapat di bagian depan
korpus vertebra dan cepat merusak diskus. Proses dapat terjadi pada dua atau lebih
vertebra yang berdekatan dengan cara menyebar dibawah ligamentum longitudinal
anterior. Karena bagian depan korpus vertebra paling banyak mengalami destruksi
disertai adanya kolaps, maka korpus vertebra akan berbentuk baji dan pada tempat
tersebut timbul gibbus.

6
2. Tipe sentral (11,6%), lesi timbul pada bagian tengah korpus vertebra dan diskus
lambat terkena proses. Bila lesi meluas ke tepi tulang, maka proses selanjutnya adalah
seperti pada tipe marginal.
3. Tipe anterior atau subperiosteal (2,1%), proses berlangsung dibawah periost dan
meluas dibawah ligamentum longitudinal anterior dan melibatkan beberapa level.
Kerusakan pada diskus terjadi lambat. Pada x-ray terlihat scalloping pada corpus
vertebra bagian anterior.

Gambar 5. Lokasi permulaan infeksi tuberkulosis pada vertebra. Dikutip dari kepustakaan 1

Kumar membagi perjalanan penyakit spondilitis tuberkulosa dalam 5 stadium, yaitu (10):
1. Stadium implantasi
Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita menurun,
bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6-8 minggu.
Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskal dan pada anak-anak umumnya
pada daerah sentral vertebra.
2. Stadium destruksi awal
Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi corpus vertebra serta
penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3-6 minggu.
3. Stadium destruksi lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang masif, kolaps vertebra dan terbentuk massa
kaseosa serta pus yang berbentuk cold abscess (abses dingin), yang terjadi 2-3 bulan
setelah destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum serta kerusakan diskus
intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di sebelah depan (wedging
anterior) akibat kerusakan corpus vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau
gibus.

7
4. Stadium gangguan neurologis
Tuberkulosa dapat pula memberikan komplikasi paraplegia, umumnya disebut Pott’s
Paraplegia. Komplikasi ini disebabkan karena adanya tekanan pada medulla spinalis.
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi, tetapi
terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini ditemukan
10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa. Vertebra torakalis mempunyai
kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi
pada daerah ini. Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat derajat kerusakan
paraplegia, yaitu :
Derajat I : Kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan
aktivitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi
gangguan saraf sensoris.
Derajat II : Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tetapi penderita masih
dapat melakukan pekerjaannya.
Derajat III : Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak
atau aktivitas penderita serta hipoastesia/anesthesia.
Derajat IV : Terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan defekasi
dan miksi. Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi secara
dini atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya.
Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan ekstradural dari
abses paravertebral atau akibat kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh
adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak aktif/sembuh
terjadi oleh karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau oleh
pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa.
Tuberkulosis paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat terjadi destruksi tulang
disertai angulasi dan gangguan vaskuler vertebra. Derajat I-III disebut sebagai
paraparesis dan derajat IV disebut sebagai paraplegia.
5. Stadium deformitas residual
Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah timbulnya stadium implantasi.
Kifosis atau gibus bersifat permanen. Oleh karena kerusakan vertebra yang massif di
sebelah depan.

8
VI. DIAGNOSIS
Standar pemeriksaan pada penderita tuberkulosis tulang dan sendi, yaitu :
a. Pemeriksaan klinis dan neurologis yang lengkap
b. Laboratorium terutama biakan sputum dan pus untuk menemukan basil tuberkulosa dan
tes-tes khusus ( PA dan punksi lumbal)
c. Foto toraks
d. Foto tulang belakang, CT scan dan MRI (9,19)

A. Gambaran Klinik
Secara klinik gejala tuberkulosis tulang belakang hampir sama dengan gejala tuberkulosis
pada umumnya, yaitu badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, suhu
badan sedikit meningkat (subfebril) dan berkeringat terutama pada malam hari serta sakit
pada punggung. Gejala ini sering tidak menonjol. Pada anak-anak sering disertai dengan
menangis pada malam hari (night cries).(5,11)
Onset penyakit dapat gradual atau mendadak (akibat kolaps vertebra dan kifosis). Pada
awalnya terjadi nyeri radikuler yang mengelilingi dada atau perut, kemudian diikuti
paraparesis yang lambat laun makin memberat yaitu paraplegia, spastisitas, klonus,
hiperrefleksia, dan refleks Babinsky bilateral. Dapat ditemukan deformitas dan nyeri ketok
tulang vertebra. Penekanan mulai bagian anterior sehingga gejala klinis yang muncul terutama
gangguan motorik.(15,20)
Secara umun gejala klinis yang timbul berupa : (5,11)
 nyeri pinggang atau punggung
 nyeri tekan lokal disertai spasme otot
 abses paravertebra dan abses psoas yang merupakan abses dingin
 gibbus bila ada kompresi vertebra
 parestesi dan kelemahan pada ekstremitas inferior

B. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium rutin mungkin dapat ditemukan peningkatan laju endap darah
(LED), tetapi tidak dapat digunakan sebagai indikator aktivitas penyakit. Dapat pula ditemukan
penurunan jumlah hemoglobin sebagai akibat peradangan kronik. Selain itu didapatkan rivalta

9
positif dan terdapatnya limfosit pada hitung sel yang menunjukkan adanya eksudat dengan
peradangan kronik.
Sekitar 90-95 pasien memiliki reaksi positif terhadap tes tuberkulin yang menggunakan
derivat protein murni, dan pada pemeriksaan mikrobiologi menggunakan apusan dari aspirasi
paraspinal didapatkan hasil positif terhadap basil tahan asam sekitar 60%. (5,10)

C. Pemeriksaan Radiologi
1. Foto toraks untuk melihat adanya tuberkulosis paru
2. Foto polos vertebra
Ditemukan osteoporosis, osteolitik dan destruksi corpus vertebra, osteolisis dan
ireguleritas pada end plate, disertai penyempitan diskus intervertebralis yang berada di
antara corpus tersebut dan mungkin dapat ditemukan adanya massa abses paravertebral.
Pada foto AP, abses paravertebral di daerah servikal berbentuk sarang burung (bird’s net),
di daerah torakal berbentuk bulbus dan pada daerah lumbal abses terlihat berbentuk
fusiform. Pada stadium lanjut terjadi destruksi vertebra yang hebat sehingga timbul
kifosis. (17)

Gambar 6. Spondilitis TB. Foto lateral


menunjukkan penyempitan ruang diskus
intervertebralis (panah lurus) dengan
destruksi end plate (panah kurva) dan
anterior wedging. Dikutip dari
kepustakaan 15

10
Gambar 7. Menunjukkan
penampakan yang umum dari
penyakit Spondilitis TB disertai abses
paravertebral yang luas menyerupai
laba-laba (Spider Like Appearance)
yang mengindikasikan awal
terjadinya kolaps vertebra. Dikutip
dari kepustakaan 13

Perubahan-perubahan karakteristik yang terjadi pada spondilitis tuberkulosis, yaitu : (10,18)


 Destruksi litik pada bagian anterior corpus vertebra
 Peningkatan anterior wedging (baji)
 Kolaps vertebra
 Sklerosis reaktif pada proses litik yang progresif
 Bayangan psoas yang membesar dengan atau tanpa kalsifikasi
Temuan lainnya :
 Osteoporosis vertebral end plates
 Kerusakan diskus intervertebralis
 Corpus vertebra menunjukkan derajat destruksi
 Paravertebral fusiform memberi kesan bentuk abses
 Lesi tulang mungkin terjadi lebih dari satu level.

Gambar 8. Penyebaran subligamentous dari


spondylitis TB. Foto lateral memperlihatkan erosi
pada tepi anterior dari corpus vertebra (tanda
panah) akibat adanya suatu abses jaringan lunak
disekatnya. Dikutip dari kepustakaan 16

11
3. CT Scan
 CT scan dapat memberi gambaran tulang secara lebih detail dari lesi litik yang irregular,
kolaps diskus dan gangguan sirkumferensi tulang
 CT scan dengan kontras memberikan penilaian yang lebih baik terhadap jaringan lunak,
terutama pada daerah epidural dan paraspinal
 Dapat menunjukkan lesi awal dan lebih efektif untuk menggambarkan bentuk dan
kalsifikasi dari abses jaringan lunak
 NECT : kalsifikasi pada abses paravertebra kronik. CECT : difus atau enhancement perifer
pada jaringan lunak paraspinal dan epidural.
 CT tulang : destruksi difus pada tulang dan adanya sequestrasi tulang. (2)

Gambar 9. Pada CT Scan Axial memperlihatkan


destruksi litik pada corpus vertebra (panah hitam)
dengan abses jaringan lunak yang ada
disampingnya Dikutip dari kepustakaan 16

A. B.
Gambar 10. A. Abses psoas dengan kalsifikasi. CT scan potongan axial menunjukkan abses TB psoas bilateral
dengan kalsifikasi perifer (panah). B. Abses iliopsoas. CT scan potongan axial menunjukkan abses iliopsoas
bilateral yang besar dan multiloculated (kepala panah). Tampak pula abses presakral (panah solid) disertai erosi
pada bagian anterior os sacrum (panah terbuka). Dikutip dari kepustakan 16

12
4. MRI
 MRI merupakan kriteria standar untuk mengevaluasi infeksi ruang diskus dan
osteomielitis vertebra serta sangat efektif untuk melihat penyebaran penyakit ke jaringan
lunak dan penyebaran debris tuberkulosa di bawah ligamentum longitudinal anterior dan
posterior. MRI juga sangat baik untuk menilai respon terhadap pengobatan.
 MRI juga efektif untuk melihat adanya kompresi saraf.
 T1WI :
- hipointens pada bone marrow didekatnya
- hipointens pada intraosseous, extradural, abses paraspinal
 T1WI dengan kontras :
- Enhancement pada bone marrow, subligament, diskus dan dural
- Diffuse enhancement atau enhancement perifer pada jaringan lunak
 T2WI : hiperintens pada bone marrow, diskus dan jaringan lunak yang infeksi
 STIR : hiperintens pada bone marrow, diskus dan abses
 Pergeseran atau penekanan pada saraf dari abses epidural. (2,5,18,19)

Gambar 11. A. T1WI potongan sagital menunjukkan lesi pada corpus vertebra L3 bagian posteroinferior dengan
batas yang tegas. B. Pada potongan axial, slight sklerotik, batas superior tampak jelas (panah). Tepi yang
sklerotik merupakan tanda proses inflamasi yang kronik misalnya pada tuberculosis. C. Penyangatan post
pemberian kontras menunjukkan infeksi telah menyeberang ke corpus vertebra L4. Penyebaran secara
subligamentous sangat klasik untuk spondilitis tuberkulosa. Dikutip dari kepustakaan 21.

13
Gambar 12. MRI potongan sagital pada pasien TS . Kiri : T1WI menunjukkan lesi intraosseus yang
berbatas tegas pada CV L5, slightly hipointens dibandingkan dengan bone marrow, dengan edema yang
mengelilinginya. Tampak penyebaran ventral subligamentous (panah). Kanan : T2WI mnunjukkan lesi
intraosseus yang hiperintens. Bagian anterior CV L5 mengalami erosi. Dikutip dari kepustakaan 2.

a. b.

Gambar 13. Gibbus pada spondilitis tuberkulosa. MRIpotongan sagital T1WI (a) dan T2WI (b) menunjukkan
kolaps vertebra disertai lesi hiperintens pada corpus vertebra didekatnya. Kolaps vertebra menyebabkan gibbus
dan penekanan pada saraf spinal. Dikutip dari kepustakaan 16

14
Gambar 14. Coronal dan sagittal MRI memperlihatkan adanya destruksi dari discus intervertebralis dan adanya
abses paravertebralis.Dikutip dari kepustakaan 17

D. Patologi Anatomi
Pada gambaran mikroskopis spondilitis tuberkulosa terdapat nekrosis koagulasi sentral
yang dikelilingi oleh sel-sel epiteloid, Langhans giant cells (pada gambar ditunjukkan dengan
panah), sel-sel limfosit, serta plasma sel. Kadang-kadang terdapat lesi satelit infiltrasi
perivaskuler.(22)

Gambar 15. Langhans giant cells


(ditunjukkan dengan panah).
Dikutip dari kepustakaan 22.

VII. DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis banding dari spondilitis tuberkulosa adalah sebagai berikut:
1. Fraktur kompresi vertebra
Uraian Spondilitis Fraktur Kompressi
Jumlah vertebra yang terlibat Biasanya >1 Hanya 1
Discusnya Ikut terkena Masih utuh
Aspek lateral Busur/ arcus Sudut (Angulasi)
Paravertebral abses Biasanya (+) (-)
Tabel 1. Dikutip dari kepustakaan 4

15
Gambar16. Fraktur kompresi pada corpus vertebra L2. Dikutip dari kepustakaan 23

Gambar 17. Trauma akut. Fraktur disertai


dislokasi pada CV T11 bagian posterior yang
menyebabkan kompresi pada saraf spinal.
.Dikutip dari kepustakaan 2.

2. Metastasis tumor pada vertebra


Uraian Spondilitis Metastasis Tumor
Jumlah vertebra yang terlibat Biasanya >1  1
Discusnya Biasanya ikut terkena Masih utuh
Aspek lateral Busur/ arcus Busur/ arcus
Paravertebral abses (+) (-)
Lesi awal Corpus vertebra Pedikel

Tabel 2.Dikutip dari kepustakaan 4

16
Gambar 18. Lesi-lesi metastasis pada tulang belakang. (a) Metastasis osteosklerotik dari carcinoma payudara
melibatkan corpus vertebra dan pedikel. (b) Matastasis osteolitik dari adenocarcinoma ginjal dengan destruksi
pedikel. (c) “ivory” vertebra pada metastasis carcinoma prostat, hanya melibatkan corpus vertebra. Dikutip dari
kepustakaan 24.

Gambar 19. Spinal metastasis. T2WI potongan sagital (A) dan T1WI tanpa kontras (B) dan T2WI dengan
kontras (C). T1WI menunjukkan tumor pada CV T3 yang meluas ke ruang epidural. Beberapa lesi kecil-kecil
pada corpus vertebra lainnya. Dikutip dari kepustakaan 2.

3. Spondylitis piogenik
Uraian Spondilitis TBC Spondilitis Piogenik
Respons Tulang Osteoblastik Kurang Osteoblastik Hebat
Paravertebral Abces Sering Jarang
Perlangsungan Lambat Cepat
Destruksi awal pada corpus pada end plate
Keterlibatan diskus intervertebralis + ++
Lokasi (predileksi) Thoracolumbal Lumbosacral
Tabel 3 Dikutip dari kepustakaan 4

17
Gambar 20. Spondylitis pyogenik.
Penyempitan diskus intervertebralis
dengan irregularitas pada end plate dan
sklerosis.
Dikutip dari kepustakaan 25

Gambar 21. MRI T1WI potongan sagital tampak erosi endplate pada CV C6 dan C7 dengan gambaran
hipointens pada bone marrow dan penyempitan diskus intervertebralis (kanan). T2WI menunjukkan hiperintens
pada CV C6, yang meluas ke ruang diskus dan CV C7. Tampak juga phlegmon prevertebral. Dikutip dari
kepustakaan 2.

VIII. PENGOBATAN
Pada prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus dilakukan sesegera
mungkin untuk menghentikan progresifitas penyakit serta mencegah paraplegia. (10,15)
Pada umumnya prinsip pengobatan adalah : (18)
1. Pemberian obat antituberkulosis
2. Dekompresi medulla spinalis
3. Menghilangkan / menyingkirkan produk infeksi
4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft).

18
1. Terapi konservatif
Berupa tirah baring (bed rest) dilakukan untuk mencegah parapelgia, memperbaiki
keadaan umum pasien disertai pemberian tuberkulostatik. Dilakukan pencegahan untuk
menghindari dekubitus, kesulitan untuk miksi dan defekasi.Pada akhir – akhir ini
dilakukan juga tindakan stabilisasi posterior tulang belakang untuk koreksi deformitas
disamping tindakan debridemen dan anterior fusi. (10,20)
2. Terapi Medikamentosa
Strategi terapi untuk penyakit TB dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed
Treatment Short-course). Strategi terapi ini direkomendasikan oleh WHO pada tahun
1995 sebagai penganggulangan TB. (26)
Jenis-jenis tablet FDC dikelompokkan menjadi 2, yaitu: FDC untuk dewasa dan FDC
untuk anak-anak. Tablet FDC untuk dewasa terdiri tablet 4FDC dan 2FDC. Tablet
4FDC mengandung 4 macam obat yaitu: 75 mg Isoniasid (INH), 150 mg Rifampisin,
400 mg Pirazinamid, dan 275 mg Etambutol. Tablet ini digunakan untuk pengobatan
setiap hari dalam tahap intensif dan untuk sisipan. Tablet 2 FDC mengandung 2 macam
obat yaitu: 150 mg Isoniasid (INH) dan 150 mg Rifampisin. Tablet ini digunakan untuk
pengobatan intermiten 3 kali seminggu dalam tahap lanjutan. Baik tablet 4FDC maupun
tablet 2FDC pemberiannya disesuaikan dengan berat badan pasien. Untuk melengkapi
paduan obat kategori II tersedia obat lain yaitu: tablet etambutol @400 mg dan
streptomisin injeksi (vial @750 mg). (26)
Tablet FDC untu anak-anak terdiri dari tablet 3FDC dan 2FDC. Kedua jenis tablet
diberikan kepada pasien TB anak yang berusia 0 – 14 tahun. Tablet 3FDC mengandung
3 macam obat antara lain: 30 mg INH, 60 mg Rifampisin, dan 150 mg Pirazinamid.
Tablet ini digunakan untuk pengobatan setiap hari dalam tahap intensif. Tablet 2FDC
mengandung 2 macam obat yaitu: 30 mg INH dan 600 mg Rifampisin. Tablet ini
digunakan untuk pengobatan setiap hari dalam tahap lanjutan. Sama halnya dengan
pemberian pada pasien dewasa, pemberian jumlah FDC pada pasien anak juga
disesuaikan dengan berat badan anak. (26)

19
(10,20)
3. Terapi Operatif
Tindakan operatif masih memegang peranan penting dalam beberapa hal, yaitu bila
terdapat cold abses, paraplegia dan kifosis. Pada paraplegia terapi ini dilakukan untuk
dekompresi medulla spinalis.
Indikasi Operasi
- Bila dengan terapi konsevatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah
semakin berat
- Adanya abses besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka
sekaligus debridemen serta bone graft.
-
Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, myelografi ataupun
pemeriksaan CT dan MRI ditemukan adanya penekanan langsung pada medulla
spinalis.
Abses dingin (cold abses)
Cold abses kecil tidak memerlukan tindakan operatif, karena dapat terjadi reabsorpsi
spontan dengan pemberian obat anti tubekulostatik. Abses yang besar dilakukan drainase bedah.
Operasi Kifosis
Operasi ini dilakukan bila terjadi deformitas yang berat. Kifosis mempunyai tendensi
untuk bertambah berat terutuma pada anak-anak.

IX. PROGNOSIS
1 Prognosis spondilitis tuberkulosis bergantung pada cepatnya dilakukan terapi dan ada
tidaknya komplikasi neurologik. Untuk spondilitis dengan paraplegia awal, prognosis
untuk kesembuhan sarafnya lebih baik, sedangkan spondilitis dengan paraplegia akhir,
prognosis biasanya kurang baik.
2 Modalitas yang mutakhir sangat efektif jika tidak ada komplikasi oleh karena
deformitas hebat atau defisit neurologi.
3 Terapi penuh dan resistensi terhadap obat merupakan faktor tambahan yang sangat
mempengaruhi kesembuhan individu..
4 Jika terapi dengan obat kurang berhasil maka terapi operatif dapat meningkatkan
angka perbaikan.(5)

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Rasad Sjahriar. Infeksi pada tulang. Dalam : Ekayuda Iwan, Sukonto K., Rasad S., editor.
Radiologi diagnostik. Jakarta: FKUI; 1999. Hal 120
2. Ross SJ, Moore RK. Granulomatous osteomyelitis. Dalam : Diagnostic imaging spine. 1st
edition. Canada: Amirsys; 2004. Hal. 10-3
3. Greenspan Adam. Osteomyelitis, infections arthritis and soft tissue infections. Dalam :
Orthopaedic imaging. 4th edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2004.
Hal.800-8
4. Adnan M. Diktat radiologi obstetri dan tulang. Dalam : Diktat radiologi IV. Makassar:
Bagian Radiologi FKUH; 1983. Hal. 21-4
5. Palmer PES. Foto tulang belakang. Dalam : Petunjuk membaca untuk dokter umum. Jakarta:
EGC; 1995. Hal. 148
6. Babinchak TJ, Riley DK, Rotheram EB. Piogenik vertebral osteomylitis of posterior
elements. Dalam : Spinal Infection. Philadelphi : W. B. Saunders company; 1997. Hal. 221-
4
7. Eisenberg LR. Infections of the spine. Dalam : Clinical imaging : an atlas of differential
diagnosis. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2010. Hal.833-4
8. Lauerman WC, Regan M. Spine. Dalam : Miller, editor. Review of orthopaedics. 2nd
edition. Philadelphia: W.B. Saunders; 1996. Hal. 270-91
9. Martini FH, Welch K. The lymphatic system and immunity. Dalam : Fundamentals of
anantomy and physiology. 5th edition. New Jersey: Upper Saddle River; 2001. Hal. 132,
151
10. Rasjad C. Infeksi dan inflamasi. Dalam : Pengantar ilmu bedah ortopedi, Edisi Pertama.
Cetakan Ketiga. Makassar: Bintang Lamumpatue; 2000. Hal. 152.
11. Ombregt L, Bisschop P, Veer HJ, Van de Velde T. Non Mechanica disorders of the lumbar
spine. Dalam : A system orthopaedic medicine. Philadelphia: W.B. Saunders; 1995. Hal.
615-32.
12. Hines Tonya. Anatomy of the spine. Updated : Pebruary, 2010. Cited on : November, 2010.
Available from : www.scoi.com/spianat.htm.
13. Sutton D. Bone and joint infections.. Dalam : Philip Robinson, editor. Textbook of radiology
and imaging. 7th Ed. London: Churchill Livingstone; 2003. Hal. 1167-8
14. Graham JM, Kozak J. Spinal tuberculosis. Dalam : Hochschuler SH, Cotler HB, Guyer RD,
editor. Rehabilitation of the spine. St. Louis: Mosby-Year Book, Inc; 1993. Hal. 387-90.
15. Miller F, Horne N, Crofton SJ. Tuberculosis in bone and joint. Dalam : Clinical
tuberculosis. 2nd ed. London: Macmillan Education Ltd; 1999. Hal. 62-6.
16. Harisinghani, Mukesh G. Tuberculosis from head to toe. Updated : June 21, 1999. Cited on :
November, 2010. Available from : www.RSNA.com.
17. Hidalgo, Jose A. Pott disease (Tuberculous spondylitis). Updated : August 29, 2008. Cited
on : November, 2010. Available from : http://emedicine.medscape.com/article

21
18. Hadinoto S. Spondilitis tuberculosa. Dalam : Harsono. Kapita selekta neurologi. Edisi
kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press; 2005. Hal.195-7
19. Savant C, Rajamani K. Tropical diseases of the spinal cord. Dalam : Critchley E, Eisen A,
editor. Spinal cord disease. London: Basic science diagnosis and management; 1997. Hal.
378-9.
20. Sjamjuhidajat R., Jong de Wim. Sistem muskuloskeletal. Dalam : Buku ajar ilmu bedah.
Edisi 2. Jakarta: EGC; 1996. Hal. 907- 9
21. Haaga RJ, Degra SV. Infections of the spine. Dalam : CT and MRI of the whole body.
Philadelphia: Mosby Elsevier; 2009. Hal. 827-31.
22. Thamburaj VA. Spinal tuberculosis. Updated : January, 2007. Cited on : November, 2010.
Available from : www.thamburaj.com.
23. Salter RB. Tuberculous osteomyelitis. Dalam : Textbook of disorders and injuries of the
musculoskeletal system. 3rd ed. Baltimore: Williams & Wilkins; 1999. Hal. 228-31
24. Burgener FA, Kormano Martti, Pudas Tomi. Bone. Dalam : Differential diagnosis in
conventional radiology. 3rd edition. New York: Thime; 2008. Hal. 281
25. Eisenberg RL, Johnson NM. Skeletal system. Dalam : Comprehensive radiographic
pathology. 4th edition. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2007. Hal.114
26. Ni Putu, Natalia. Terapi FDC (Fixed-Dose Combination) pada pasien TB. Updated :
December 23, 2007. Cited on : November,2010. Available from : www.tbcindonesia.or.id.

22
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA :
Nama : Tn. M
Umur : 22 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki

II. ANAMNESA
Keluhan Utama : Benjolan di punggung
Anamnesa Terpimpin : Dialami sejak ± 2 bulan terakhir yang muncul tiba-tiba lalu
berangsur-angsur membesar. Sebelumnya penderita sudah merasakan demam yang sering
hilang timbul disertai riwayat batuk lama sejak 8 bulan lalu. Riwayat terapi OAT (-),
penurunan BB (+). Penderita juga mengeluh kelemahan pada tungkai bawah sehingga tidak
dapat berjalan dengan baik tanpa bantuan tongkat. BAB biasa, BAK lancar.

III. PEMERIKSAAN FISIK (13 Januari 2010)


KU : Sakit sedang/gizi cukup/composmentis
Tanda-tanda vital : T : 120/80 mmHg N : 80x/mnt P : 20x/mnt S : 36,70 C
Status Generalis :
Mata : gerakan pupil isokor, anemis -/-, ikterus -/-, Refleks +/+
THT : Pembesaran Kelenjar -/-
Thorax : Paru : Suara nafas bronchovesikuler, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen : H/L ttb, Ascites (-)
Ekstremitas : Superior : tak
Inferior : pergerakan pada kaki kiri dan kanan normal namun
kekuatannya berkurang
Status Lokalis : Lumbal dextra
Inspeksi : Tampak benjolan sebesar bola takraw, warna sama dengan kulit sekitarnya,
edema (-)
Palpasi : Massa tumor (+) ukuran 20 x 17 cm, konsistensi kistik, berbatas tidak tegas,
mobile, permukaan rata

23
Status Neurologis :
 GCS : E4M6V5
 Motorik : N N 5 5 N N N N - -
P K T RF RP
N N 44 N N N N - -
 Sensibilitas : Normal. Hipostesi pada daerah abses (di punggung)

IV. PEMERIKSAAN LAIN


1. Laboratorium :
a. Darah
Hb : 10,1 gr/dl, Leukosit : 12,36 x 103/µL, HCT : 31,4%, PLT : 465 x 103/µL,
LED 40/65 mm/jam
b. Sitologi FNA :
Massa tumor sebesar kepala bayi, aspirasi cairan kental seperti nanah. Pada
hapusan menunjukkan massa nekrosis radang dan sel leukosit PMN.
Kesimpulan : Abses

2. Pemeriksaan Radiologik
a. Foto Thorax PA (21-12-2009) :
- Corakan bronchovasculer dalam batas normal
- Tidak tampak proses spesifik pada kedua paru
- Cor dalam batas normal
- Kedua sinus dan diafragma baik
- Tulang-tulang intak
- Tampak soft tissue mass yang cembung kearah
paru setinggi CV T8-T9 dan silhouette sign
negative dengan batas kanan jantung
Kesan :
- Pulmo dalam batas normal
- Massa medistinum posterior

b. CT Scan (22-12-2009)

24
CT Scan toraks tanpa kontras potongan axial dan reformat :
- Corakan bronkovaskuler kedua paru dalam batas normal
- Cor dan pembuluh darah besar dalam batas normal

25
- Trakea dan carina dalam batas normal
- Tidak tampak pembesaran kelenjar paraaorta thoracalis
- Hepar dan GB yang terscan bentuk, ukuran dan densitas dalam batas normal
- Lien terdesak ke anterior, densitas dalam batas normal
- Ginjal kanan terdesak ke anterior, ukuran dan densitas dalam batas normal
- Ginjal kiri terdesak ke anterolateral, ukuran dan densitas dalam batas normal
- Tampak destruksi corpus vertebra mulai pada # 12 - # 29 yang membentuk angulasi
dan gibbus disertai massa paravertebral daerah thoracolumbal, musculus psoas
bilateral dan meluas ke daerah subkutis bagian posterior sisi kanan.
Kesan: - Pulmo dalam batas normal
- Spondylitis disertai massa paravertebra daerah thoracolumbal,
musculus psoas bilateral dan subkutis sisi kanan, suspek suatu proses
spesifik
Usul : CT Scan Thoracolumbal / MRI Thoracolumbal

c. MRI (19-1-2010)
Potongan sagital T1WI dan T2WI :

Potongan axial T1WI tanpa dan dengan kontras :

26
Pre kontras Post kontras
Potongan axial T2WI :

Potongan coronal dan Myelografi :

27
MRI thoracolumbal potongan sagital, axial dan coronal T1WI tanpa dan dengan kontras, T2WI
dan myelografi :
- Lengkung khypolordotik thoracolumbal berubah, tampak angulasi setinggi level T12
– L1
- Tampak destruksi pada CV T10 – L2 disertai destruksi diskus intervertebralis T11 –
T12 dan T12 – L1 yang menyebabkan penyempitan celah sendi diantaranya, dengan
aspek posteriornya menekan thecal sac centralis dan nerve roots bilateral yang
menyebabkan stenosis canalis spinalis totalis setinggi level tersebut
- Lesi hipointens pada T1WI dan hiperintens pada T2WI yang menyangat pada dinding
(rim enhancement) post pemberian kontras pada daerah soft tissue paravertebra
setinggi CV Th10-L1.
- Lesi hipointens pada T1WI dan hiperintens T2WI yang membentuk rim enhancement
post pemberian kontras pada sisi kanan soft tissue paravertebra setinggi CV T8-T10.
- Lesi hipointens pada T1WI dan hiperintens T2WI yang membentuk rim enhancement
post pemberian kontras pada setinggi CV L1 – S1 yang berasal dari musculus psoas
kiri dan kanan
- Lesi hipointens pada T1WI dan hiperintens T2WI yang membentuk rim enhancement
post pemberian kontras pada setinggi CV T12-L5 yang berasal dari sisi kanan
subkutis
- Corpus vertebra dan diskus intervertebralis lainnya masih dalam batas normal
Kesan :
- Spondylitis TB CV T12 – L1 yang aspek posteriornya menekan thecal sac
sentralis dan nerve roots bilateral, menyebabkan stenosis canalis spinalis totalis
disertai abses paravertebra pada level tersebut
- Abses paravertebralis dextra setinggi CV T8-T10
- Abses paravertebralis setinggi CV T10-L1
- Abses musculus psoas bilateral setinggi CV L1 – S1
- Abses subkutis sisi kanan setinggi CV T12 – L5
V. DIAGNOSIS

28
Diagnosa akhir : Cold abses paralumbal dextra dan psoas bilateral ec spondylitis TB
thoracolumbal.

VI. TERAPI
Medikamentosa
 Tuberkulostatik (INH 300 mg/hr, Rif 600 mg/hr, Etambutol 3 x 500 mg,
Pyrazinamid 3 x 500 mg)
 Vitamin B komplex 3 x 1
 Ranitidin 3 x 150 mg
 Meloxicam 2 x 7,5 mg
 Bisolvon syrup 3 x 1 sdm
Pembedahan :
 Debridemen dan drainage abses
 Thoracotomy
 Lumbotomy
 Posterior fusion

VII.PROGNOSIS
Prognosis pasien ini baik karena kecepatan penanganan terhadap penyakitnya, pasien
diperbolehkan pulang dalam kondisi membaik.

VIII.DISKUSI
Seorang laki-laki, usia 22 tahun MRS dengan keluhan benjolan dipunggung yang
dialami sejak ± 2 bulan terakhir sebelum MRS. Riwayat demam yang sering hilang timbul
dan batuk lama sejak 8 bulan lalu, riwayat terapi OAT (-), penurunan berat badan (+). Pada
foto thorax posisi PA didapatkan bahwa paru-paru normal, tidak terdapat proses spesifik
lama maupun aktif. Infeksi tuberkulosis ekstrapulmoner paling sering melibatkan tulang, dan
tuberkulosis pada vertebra terdapat pada 50% kasus tuberkulosis tulang dan paling sering
terjadi pada daerah torakolumbal. Fokus primer dari infeksi berbeda-beda pada beberapa
kelompok umur. Dari laporan kasus Donald E. tow, M.D. dan Amitabha banerjee, M.D.
dikatakan bahwa pada pengamatan serial terhadap 499 pasien, 31% menunjukkan secara

29
radiologik fokus primer pada paru dan 78% ditemukan pada anak-anak. Sedangkan 69%
menunjukkan foto toraks normal dan sebagian besar ditemukan pada orang dewasa. Pada
orang dewasa, silent fokus seperti pada ginjal, usus dan tonsil merupakan fokus primer
infeksi. Pada pasien ini foto toraksnya normal, jadi fokus primer infeksi bukan di paru.
Pada pasien ini tidak dilakukan foto polos vertebra, namun pada foto toraks posisi PA
didapatkan adanya massa pada mediastinum posterior sisi kanan yang konvex kearah paru,
silhouette sign negatif dengan batas kanan jantung setinggi CV T8-T9. Pada foto toraks,
abses paravertebral di daerah torakal berbentuk bulbus dan pada daerah lumbal abses terlihat
berbentuk fusiform.
Dari hasil laboratorium didapatkan adanya tanda-tanda peradangan kronik berupa
peningkatan laju endap darah, penurunan jumlah hemoglobin serta leukosit yang meningkat.
Dari hasil FNA terhadap benjolan di punggung aspirasi cairan kental seperti nanah. Pada
hapusan menunjukkan massa nekrosis radang dan sel leukosit PMN, sesuai gambaran abses.
Pasien juga mengeluh kelemahan pada tungkai bawah sehingga tidak dapat berjalan
dengan baik tanpa bantuan tongkat. Pada pemeriksaan fisik neurologik didapatkan kekuatan
pada ekstremitas bawah berkurang namun sensibilitasnya normal. Didapatkan pula hipostesi
pada benjolan daerah punggung. Dari CT scan thorax tanpa kontras didapatkan pulmo dalam
batas normal dan spondilitis disertai massa paravertebra suspek suatu proses spesifik. Hasil
pemeriksaan MRI didapatkan spondilitis TB CV T12 – L1 yang aspek posteriornya menekan
thecal sac sentralis dan nerve roots bilateral, menyebabkan stenosis canalis spinalis totalis
disertai abses paravertebra pada level tersebut, abses pada paravertebralis dextra setinggi CV
T8-T10, musculus psoas bilateral setinggi CV L1 – S1 dan subkutis sisi dextra setinggi CV
T12 – L5. Perubahan-perubahan karakteristik yang terjadi pada spondilitis tuberkulosis,
yaitu destruksi litik pada bagian anterior corpus vertebra, lesi tulang mungkin terjadi lebih
dari satu level melalui penyebaran secara subligamentous melalui ligamentum longitudinal
anterior; peningkatan anterior wedging (baji) dengan bentuk karakteristik berupa gibbus;
kolaps vertebra; kerusakan diskus intervertebralis; terbentuknya cold abses. Abses pada
vertebra torakalis biasanya tetap tinggal pada daerah toraks setempat menempati daerah
paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses dingin (cold abscess) pada
daerah lumbal dapat turun ke psoas sampai daerah trigonum femur dan pada akhirnya
mengiritasi dan menembus ke belakang dan berada di bawah kulit di bagian posterior.

30
Paraplegia akibat penyakit Pott pada pasien ini disebabkan oleh penyempitan kanalis spinalis
akibat angulasi corpus vertebra yang rusak. MRI merupakan pemeriksaan standar untuk
mengevaluasi infeksi ruang diskus dan osteomielitis vertebra serta sangat efektif untuk
melihat penyebaran penyakit ke jaringan lunak dan penyebaran debris tuberkulosa di bawah
ligamentum longitudinal anterior dan posterior, juga efektif untuk melihat adanya kompresi
saraf. Gambaran radiologik pada pasien ini tipikal dengan karakteristik spondilitis
tuberkulosa (penyakit Poot).
Penanganan pada penyakit Pott adalah dengan terapi konservatif dan operatif bila cold
abses, paraplegia dan kifosis. Pada pasien ini karena telah terjadi paraplegia dan cold abses maka
penanganan yang diberikan berupa pengobatan tuberkulostatik dan operatif dengan debridemen
dan drainage abses, thoracotomy, lumbotomy dan posterior fusion.
Prognosis dari penderita spondilitis TB bergantung pada cepatnya dilakukan terapi dan ada
tidaknya komplikasi neurologik. Untuk spondilitis dengan paraplegia awal, prognosis untuk
kesembuhan sarafnya lebih baik, sedangkan spondilitis dengan paraplegia akhir, prognosis
biasanya kurang baik. Prognosis pasien ini baik karena cepat dilakukan penanganan terhadap
penyakitnya dan pasien diperbolehkan pulang dalam kondisi membaik.

31

Anda mungkin juga menyukai