Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

SPONDILITIS TB
Kepaniteraan Bedah RSU Haji Surabaya

Pembimbing:
dr. Triarto B.S, Sp.OT
Penyusun:
Yoseph Jappi
2009.04.0.0088

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH
SURABAYA
2015

LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT ILMU BEDAH ORTHOPEDI
SPONDILITIS TB

Judul referat SPONDILITIS TB telah diperiksa dan


disutujui sebagai salah satu tugas kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Bedah Rumah
Sakit Haji Surabaya.

Surabaya, Mei 2015


Mengetahui
dr.Triarto B.S, Sp.OT

KATA PENGANTAR

Syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Kuasa sehingga penulis dapat


menyelesaikan referat yang berjudul SPONDILITIS TB yang merupakan tugas dari
kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Bedah Rumah Sakit Haji Surabaya.

Penulis mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada dr.Triarto


B.S, Sp.OT selaku dokter pembimbing yang telah berkenan meluangkan waktu,
tenaga,

dan

pikiran

dalam

membimbing

penulis

sehingga

penulis

dapat

menyelesaikan referat ini.


Tak ada gading yang tak retak, penulis menyadari bahwa referat ini masih
jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik
yang bersifat membangun agar referat selanjutnya dapat lebih baik lagi. Akhir kata,
semoga referat ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu kedokteran dan bagi
semua pihak yang membutuhkannya.

Surabaya, Mei 2015

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
Tuberkulosis merupakan suatu penyakit infeksi yang diakibatkan oleh spesies
Mycobacterium. Pada tahun 2012, tuberkulosis masih merupakan salah satu
masalah kesehatan yang utama di dunia. Diperkirakan terdapat lebih dari delapan
juta enam ratus ribu kasus di dunia pada tahun tersebut, dengan angka kematian
perkiraan mencapai satu juta tiga ratus ribu kasus. Tuberkulosis sendiri secara garis
besar

dapat

dibagi

menjadi

tuberkulosis

intrapulmonal,

dan

tuberkulosis

ekstrapulmonal. Tuberkulosis ekstrapulmonal merupakan didefinisikan sebagai


3

tuberkulosis yang mengenai jaringan di luar parenkim paru. Diantara tuberkulosis


ekstrapulmonal sendiri, 10 hingga 15 persen diantaranya merupakan tuberkulosis
tulang dan persendian.
Spondilitis Tuberkulosis, juga dikenal sebagai Penyakit Pott, adalah salah satu
penyakit tertua yang pernah diderita umat manusia, yang telah ditemukan pada sisasisa tulang belakang dari Zaman Besi dan pada mumi kuno dari Mesir dan Peru.
Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis tulang belakang adalah peradangan
granulomatous yang bersifat kronis destruktif oleh Mycobacterium Tuberculosis.
Pada 1779, Percivall Pott, yang memberi nama penyakit ini, menyajikan deskripsi
klasik dari tuberkulosis tulang belakang bahwa terdapat hubungan antara penyakit ini
dengan deformitas tulang belakang yang terjadi, sehingga penyakit ini disebut juga
sebagai penyakit Pott.
Secara global, Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi pembunuh nomor dua
di dunia, setelah HIV, dengan lebih dari 95% kasus dan kematian berada di negara
berkembang. WHO memperkirakan sepertiga dari penduduk dunia terinfeksi oleh
Mycobacterium tuberculosis. Berdasarkan WHO Global Tuberculosis Report 2013,
diperkirakan pada tahun 2012, terdapat 8,6 juta kasus baru TB di dunia dan 1,4 juta
penduduk di dunia dilaporkan telah meninggal oleh karena TB, bahkan TB
merupakan salah satu pembunuh perempuan terbanyak di dunia dengan jumlah
kematian mencapai setengah juta. Pada tahun 2011, Indonesia menduduki peringkat
ke-4 (setelah India, China, dan Afrika Selatan) sebagai negara dengan beban TB
(high TB burden country) terbesar di dunia, yaitu dengan penemuan kasus baru
450.000 orang per tahun dan angka kematian 65.000 orang per tahun. Sejak obat
antituberkulosa dikembangkan dan kesehatan masyarakat meningkat, spinal
tuberculosis menjadi menurun di daerah negara industri, meskipun tetap menjadi
penyebab penyakit yang signifikan pada negara yang sedang berkembang.
Mengingat adanya tanda-tanda bahwa dalam beberapa tahun ke depan angka
kejadian infeksi Tuberkulosis masih tetap tinggi dan sulitnya penanganan dari
penyakit infeksi ini, maka penulis merasa perlu untuk membahas lebih dalam
mengenai spondilitis tuberkulosis, yang menjadi salah satu bentuk infeksi
tuberkulosis (ekstrapulmonal) yang seringkali bersifat fatal dengan angka morbiditas
yang besar.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Definisi
Tuberkulosa tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis tuberkulosa

merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronik destruktif oleh


mikobakterium tuberkulosa. Tuberkulosis tulang belakang selalu merupakan infeksi
sekunder dari fokus di tempat lain dalam tubuh. Percivall Pott (1793) yang pertama
kali menulis tentang penyakit ini dan menyatakan bahwa terdapat hubungan antara
penyakit ini dengan deformitas tulang belakang yang terjadi sehingga penyakit ini
disebut juga penyakit Pott.
2.2

Epidemiologi
Pada tahun 2005, World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa

jumlah kasus TB baru terbesar di dunia terdapat di Asia Tenggara (34% dari insiden
global) termasuk di Indonesia. Pada negara maju seperti di Amerika dan Inggris,
insidensi penyakit ini terutama pada populasi imigran, tunawisma lanjut usia dan
pada orang dengan tahap lanjut infeksi HIV. Jumlah pasien TB diperkirakan terus
meningkat seiring bertambahnya pengidap infeksi HIV. Pasien positif HIV diketahui
memiliki resiko 500 kali lebih besar mengidap TB dibandingkan orang normal.
Dari seluruh penderita TB, 1-5% akan mengalami tuberkulosis osteoartikular.
Spondilitis tuberkulosa merupakan 50% dari seluruh tuberkulosis tulang dan sendi
yang terjadi. Setelah tulang belakang, insiden TB tulang berturut-turut dari insiden
tertinggi terendah adalah tulang panggul, lutut dan tulang-tulang lain di kaki,
sedangkan tulang di lengan dan tangan jarang terkena. Area torako-lumbal terutama
torakal bagian bawah (umumnya T 10) dan lumbal bagian atas merupakan tempat
yang paling sering terlibat karena pada area ini pergerakan dan tekanan dari weight
bearing mencapai maksimum, lalu dikuti dengan area servikal dan sakral. Sebagian
ahli menduga lokalisasi spondilitis tuberkulosa yang terutama pada daerah vertebra
torakal bawah dan lumbal atas mungkin disebabkan infeksi sekunder dari suatu
tuberkulosis traktus urinarius yang penyebarannya melalui plexus Batson pada vena
paravetebralis.

Di Ujungpandang, insidens spondilitis tuberkulosa ditemukan sebanyak 70%.


Spondilitis tuberkulosa terutama ditemukan pada kelompok umur 2-10 tahun dengan
perbandingan yang hampir sama antara pria dan wanita.
Defisit neurologis muncul pada 10-47% kasus pasien dengan spondilitis
tuberkulosa. Di negara yang sedang berkembang penyakit ini merupakan penyebab
paling sering untuk kondisi paraplegia non traumatik. Insidensi paraplegia, terjadi
lebih tinggi pada orang dewasa dibandingkan dengan anak-anak. Hal ini
berhubungan dengan insidensi usia terjadinya infeksi tuberkulosa pada tulang
belakang, kecuali pada dekade pertama dimana sangat jarang ditemukan keadaan
ini.
2.3

Etiologi
Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di

tempat lain di tubuh, 90-95% disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik (2/3
dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovin) dan 5-10% oleh mikobakterium tuberkulosa
atipik. spesies Mycobacterium atipik antara lain Mycobacterium africanum (penyebab
paling sering tuberkulosa di Afrika Barat), bovine tubercle baccilus, ataupun nontuberculous mycobacteria (banyak ditemukan pada penderita HIV). Perbedaan jenis
spesies ini menjadi penting karena sangat mempengaruhi pola resistensi obat.
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang
bersifat tahan asam (acid-fast bacilli), obligate aerobic, non-motile, dan tidak dapat
diwarnai dengan baik melalui cara yang konvensional, sehingga dipergunakan teknik
Ziehl-Nielson untuk memvisualisasikannya. Pada pewarnaan Ziehl-Nielson akan
didapatkan bakteri tahan asam (BTA) berbentuk batang dan berwarna merah atau
disebut BTA positif. Bakteri tumbuh secara lambat dalam media egg-enriched dengan
periode 6-8 minggu. Produksi niasin merupakan karakteristik Mycobacterium
tuberculosis dan dapat membantu untuk membedakannya dengan spesies lain.
2.4

Patofisiologi
Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi berawal

dari bagian sentral, bagian depan, atau daerah epifisial korpus vertebra. Kemudian
terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan perlunakan

korpus. selanjutnya terjadi kerusakan korteks epifisis, diskus intervertebralis dan


vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan korpus ini akan menyebabkan
terjadinya kifosis.
Kemudian eksudat (yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang
fibrosis, serta basil tuberkulosa) menyebar ke depan, di bawah ligamentum
longitudinal anterior. eksudat ini dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke
berbagai arah di sepanjang garis ligamen yang lemah. Pada daerah servikal,
eksudat terkumpul di belakang fasia paravertebralis dan menyebar ke lateral di
belakang muskulus sternocleidomastoideus. Eksudat dapat mengalami protrusi ke
depan dan menonjol ke dalam faring yang dikenal sebagai abses faringeal. Abses
dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea, esofagus, atau kavum pleura.
Abses pada vertebra torakalis biasanya tetap tinggal pada daerah toraks
setempat menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan
fusiform. Abses pada daerah ini dapat menekan medula spinalis sehingga timbul
paraplegia. Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus
psoas dan muncul di bawah ligamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat
juga dapat menyebar ke daerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti pembuluh
darah femoralis pada trigonum skarpel atau regio glutea.
Terdapat beberapa bentuk infeksi tuberkulosis pada vertebra seperti
ditunjukkan tabel 2.1.
Kumar membagi perjalanan penyakit ini dalam 5 stadium yaitu :
1. Stadium implantasi
Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita
menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung
selama 6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus
dan pada anak-anak umumnya pada daerah sentral vertebra.
2. Stadium destruksi awal
Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra atau
penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung 3-6 minggu.

3. Stadium destruksi lanjut


Pada stadium ini terjadi destruksi yang masif, kolaps vertebra dan terbentuk
massa kaseosa serta pus yang berbentuk abses dingin (cold abscess), yang terjadi
8

2-3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum
serta kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini tulang baji terutama di sebelah
depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus vertebra, yang menyebabkan
terjadinya kifosis dan gibus (gambar 2.1). Besarnya angulasi kifotik yang terjadi
dapat diukur dengan metode Konstam dari hasil X-ray. (gambar 2.2).
Tabel 2.1 : beberapa bentuk infeksi tuberkulosis pada vertebra.

Gambar 2.1 : Gibbus. Tampak penonjolan vertebra ke arah dorsal oleh karena
angulasi kifotik vertebra.

Gambar 2.2 : Pengukuran angulasi kifotik metode Konstam. Caranya tarik


garis khayal yang sejajar dengan end plate superior dan end plate inferior dari
vertebra sehat terdekat dari lesi. Kedua garis tersebut diperpanjang ke
anterior hingga berpotongan. Sudut K adalah sudut konstam sebesar 150
pada ilustrasi ini, sedangkan sudut A adalah angulasi aktual yang dihitung.
Pada contoh ini, angulasi kifotik sebesar 30.
4. Stadium gangguan neurologis
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang
terjadi tetapi terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis.
Gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa.
Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga
gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini.
Tuberkulosis paraplegia dapat terjadi secara dini atau lambat
tergantung dari keadaan penyakitnya. Pada penyakit yang masih aktif,
paraplegia terjadi oleh karena tekanan ekstradural dari abses paravertebral
atau akibat kerusakan sumsum tulang belakang oleh adanya granulasi
jaringan. Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak aktif/sembuh terjadi oleh
karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau oleh pembentukan
jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa. Sejumlah
dugaan penyebab terjadinya paraplegia pada Tuberkulosis ditunjukkan oleh
tabel 2.2. Tuberkulosis paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat terjadi

10

destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vaskuler vertebra. Derajat I-III
disebut paraparesis dan derajat IV disebut paraplegia.
Tabel 2.2 : Penyebab terjadinya paraplegia pada spondilitis TB

Potts paraplegia dapat diklasifikasikan menjadi 4 stadium yaitu :


tabel 2.3. : Klasifikasi Potts paraplegia

11

Berat ringannya gangguan neurologis yang terjadi diklasifikasikan


menurut kriteria American Spinal Injury Association (ASIA) seperti pada tabel.
Kriteria ASIA ini menggantikan kriteria Frankel untuk lesi spinal dan dapat
digunakan untuk memantau perbaikan klinis dan menentukan prognosis.
tabel 2.4 :

5. Stadium deformitas residual


Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah timbulnya stadium
implantasi. Kifosis atau gibus bersifat permanen oleh karena kerusakan
vertebra yang masif di sebelah depan.
2.5

Gambaran klinis
Secara klinik gejala tuberkulosis tulang belakang hampir sama dengan gejala

tuberkulosis pada umumnya yaitu badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat
badan menurun, suhu sedikit meningkat (subfebril) terutama pada malam hari serta
sakit pada punggung. pada anak-anak sering disertai menangis pada malam hari.
Pada tuberkulosis vertebra servikal, dapat ditemukan nyeri di daerah belakang
kepala, gangguan menelan, dan gangguan pernafasan akibat adanya abses
retrofaring. Kadangkala penderita datang dengan gejala abses pada daerah
paravertebral, abdominal, inguinal, poplitea, dan bokong, adanya sinus pada daerah
paravertebral atau penderita datang dengan gejala-gejala paraparesis, gejala

12

paraplegia, keluhan gangguan pergerakan tulang belakang akibat spasme atau


gibus.
2.6

Pemeriksaan penunjang
1.
2.
3.
4.
5.

Peningkatan laju endap darah dan mungkin disertai leukositosis


Uji mantoux positif
Pada pemeriksaan biakan kuman mungkin ditemukan mikobakterium
Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfa regional
Pemeriksaan histopatologis ditemukan tuberkel

Pemeriksaan radiologis
1. pemeriksaan foto toraks untuk melihat adanya tuberkulosis paru
2. foto polos vertebra, ditemukan osteoporosis, osteolitik, dan destruksi korpus
vertebra disertai penyempitan diskus intervertebralis yang berada di antara
korpus tersebut dan mungkin dapat ditemukan adanya massa abses
paravertebral. (gambar 2.3)
3. pada foto AP abses paravertebral di daerah servikal berbentuk sarang burung,
di daerah torakal berbentuk bulbus, dan pada daerah lumbal abses terlihat
berbentuk fusiform
4. pada stadium lanjut terjadi destruksi vertebra yang hebat sehingga timbul
kifosis
5. pemeriksaan foto dengan zat kontras
6. pemeriksaan mielografi dilakukan bila terdapat gejala-gejala penekanan
sumsum tulang
7. pemeriksan CT scan atau CT scan dengan mielografi (gambar 2.4)
8. pemeriksaan MRI (gambar 2.3)
Dari gambaran klinis dan radiologis, dapat ditarik perkiraan durasi perjalanan
penyakit yang disebut klasifikasi klinikoradiologis (tabel 2.5).

13

Gambar 2.3 : X-ray menunjukkan spondilitis TB pada vertebra C6-C7 dan abses
retrofaringeal (kiri). MRI T1-weight menunjukkan destruksi corpus vertebra C6-C7
disertai kompresi pada medula spinalis pada pasien yang sama.

Gambar 2.4 : CT scan menunjukkan destruksi pedikel kiri vertebra L3 (panah hitam),
edema jaringan perivertebra (kepala panah putih), penjepitan medula spinalis (panah
kecil putih), dan abses psoas (panah putih).

14

Gambar 2.5 : Diagnosis definitif spondilits TB dari sampel biopsi. Tampak granuloma
khas TB (lingkaran kuning) yaitu adanya massa kaseosa (perkejuan) yang dikelilingi
oleh deretan sel mononuklear dan sel raksasa. Pada pembesaran tampak basil
tahan asam (lingkaran merah).

tabel 2.5 : Klasifikasi klinikoradiologis.

2.7

Diagnosis

15

Diagnosis spondilitis tuberkulosa dapat ditegakkan berdasarkan gambaran


klinis dan pemeriksaan radiologis. Untuk melengkapkan pemeriksaan, maka dibuat
suatu standar pemeriksaan pada penderita tuberkulosis tulang dan sendi yaitu :
1.
2.
3.
4.
5.

pemeriksaan klinik dan neurologis lengkap


foto tulang belakang posisi AP dan lateral
foto polos toraks posisi PA
uji mantoux
biakan sputum dan pus untuk menemukan basil tuberkulosa

2.8

Diagnosis banding

1.

Tumor atau penyakit keganasan (leukemia, Hodgkins disease, eosinophilic

granuloma, aneurysma bone cyst, dan Ewingssarcoma). Metastase dapat


menyebabkan destruksi dan kolapsnya corpus vertebra tetapi berbeda dengan
spondilitis

tuberkulosa

karena

pada

keganasan,

ruang

discusnya

tetap

dipertahankan. Secara radiologis kelainan karena infeksi mempunyai bentuk yang


lebih difus sementara untuk tumor tampak suatu lesi yang berbatas jelas.
2.

Infeksi piogenik (contoh: karena staphylococcal/suppurative spondylitis). Dari

anamnesa, pada infeksi piogenik, didapatkan riwayat penyakit yang singkat


(beberapa hari sampai bulan) tanpa adanya penyakit paru, sedangkan pada
tuberkulosa, didapatkan riwayat penyakit yang lama (beberapa bulan sampai tahun)
dan biasanya disertai dengan penyakit tuberkulosis paru yang aktif (60% kasus).
Gambaran

destruksi

dan

berlangsung dengan cepat,

berkurangnya

tinggi

discus

intervertebralis

yang

sclerosis yang ekstensif, tidak adanya deformitas

gibbus, dan tidak


adanya kalsifikasi abscess paravertebra menunjukkan tanda spondylodiscitis
piogenik. Selain itu, keterlibatan dua atau lebih corpus vertebra yang berdekatan
lebih menunjukkan adanya infeksi tuberkulosa daripada infeksi bakterial lain.
3.

Brucella spondylitis. Penyakit ini memiliki predileksi di regio vertebra lumbalis

bagian bawah (lower lumbar spine), dengan arsitektur vertebra yang masih utuh
walaupun didapatkan osteomyelitis vertebra yang difus. Pada brucella spondylitis,
abscess paravertebra jarang terjadi dan kalaupun ada, memiliki ukuran yang lebih
kecil dibandingkan dengan spondilitis tuberkulosa. Karakteristik lainnya pada brucella
spondylitis, didapatkan gas di dalam discus intervertebralis, tidak adanya kyphosis,

16

dan deformitas gibbus jarang terjadi. Pada daerah endemik, dapat dilakukan
pemeriksaan serologis berupa agglutination test dan complement fixation test.
Secara ringkas, perbedaan antara spondilits tuberkulosa dengan diagnosis
banding di atas ditunjukkan oleh tabel 2.6.
2.9

Pengobatan
Pada prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus dilakukan

sesegera mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit serta mencegah


paraplegia. Pengobatan terdiri atas :
1. Terapi konservatif berupa :
a. Tirah baring
b. Memperbaiki keadaan umum penderita terutama dengan diet tinggi kalori
tinggi protein
c. Pemasangan brace pada penderita baik yang dioperasi ataupun tidak
dioperasi
d. Pemberian obat antituberkulosa
- Isoniazid (INH) dengan dosis oral 5 mg/kgBB per hari dengan dosis
-

maksimal 300 mg. Dosis oral anak-anak 10 mg/kgbb


Asam para amino salisilat. dosis oral 8-12 mg/kgbb
Etambutol. dosis oral 15-25 mg/kgbb/hari
Rifampisin. dosis oral 10 mg/kgbb diberikan pada anak-anak. pada

orang dewasa 300-400 mg/hari


- Streptomisin, pada saat ini tidak digunakan lagi
e. Fisioterapi untuk penderita gangguan neurologik
tabel 2.6 : diagnosis banding spondilits TB

17

Untuk mendapatkan hasil pengobatan yang efektif dan mencegah terjadinya


kekebalan kuman tuberkulosis terhadap obat yang diberikan maka diberikan
kombinasi beberapa obat tuberkulostatik. Regimen yang digunakan di amerika
adalah INH dan rifampisin selama 9 bulan atau INH + rifampisin + etambutol
diberikan selama 2 bulan dilanjutkan INH + rifampisin selama 7 bulan. Di Korea
diberikan kombinasi antarra INH + rifampisin selama 6-12 bulan atau INH +
etambutol selama 9-18 bulan. Standar pengobatan indonesia berdasarkan program
P2TB paru adalah :
a. Kategori I

18

Untuk penderita baru BTA + dan BTA -/rontgen +, diberikan dalam dua tahap
yaitu :
- Tahap I diberikan rifampisin 450 mg, etambutol 750 mg, INH 300 mg,
dan pirazinamid 1500 mg. Obat diberikan setiap hari selama 2 bulan
-

pertama (60 kali)


Tahap II, diberikan rifampisin 450 mg dan INH 600 mg. Obat diberikan

tiga kali seminggu (intermitent) selama 4 bulan (54 kali)


b. Kategori II
Untuk penderita baru BTA + yang sudah pernah minum obat selama lebih
sebulan termasuk penderita BTA + yang kambuh/gagal yang diberikan dalam
dua tahap, yaitu :
- Tahap I diberikan streptomisin 750 mg injeksi, INH 300 mg, rifampisin
450 mg, pirazinamid 1500 mg, dan etambutol 750 mg. Obat diberikan
setiap hari, streptomisin injeksi hanya dua bulan pertama (60 kali) dan
-

obat lainnya selama 3 bulan (90 kali)


Tahap II, diberikan INH 600 mg, rifampisin 450 mg, dan etambutol 1250
mg. Obat diberikan 3 kali seminggu selama 5 bulan (66 kali)

Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila :


a.
b.
c.
d.

Keadaan umum penderita bertambah baik


Laju endap darah menurun dan menetap
Gejala-gejala klinis berupa nyeri dan spasme berkurang
Gambaran radiologik ditemukan adanya union pada vertebra

2. Terapi operatif
Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama pada
penderita tuberkulosis tulang belakang, namun tindakan operatif masih
memegang peranan penting dalam beberapa hal, yaitu bila terdapat cold abses,
lesi tuberkulosa, paraplegia, dan kifosis.
a. Abses dingin (cold abses)
Cold abses yang kecil tidak memerlukan tindakan operatif oleh karena dapat
terjadi resorpsi spontan dengan pemberian obat tuberkulostatik. Pada abses
yang besar dilakukan drainase bedah. Ada 3 cara menghilangkan lesi
tuberkulosa yaitu :
- Debridemen fokal
- Kosto transversektomi
- Debridemen fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan
b. Paraplegia

19

Penanganan yang dapat dilakukan pada paraplegia yaitu :


-

Pengobatan dengan kemoterapi saja


Laminektomi
Kosto transversektomi
Operasi radikal
Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang

Indikasi operasi yaitu :


a. Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah
semakin berat. Biasanya tiga minggu sebelum tindakan operasi dilakukan,
setiap spondilitis tuberkulosa diberikan obat tuberkulostatik
b. Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka
dan sekaligus debrideman serta bone graft
c. Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi, ataupun
pemeriksaan CT scan dan MRI ditemukan adanya penekanan langsung pada
medula spinalis
Indikasi operasi spondilits TB dapat diringkas pada tabel 2.7.

tabel 2.7 : Indikasi operasi spondilitis TB

Pendekatan bedah spondilits TB


Terdapat berbagai prosedur pembedahan untuk dekompresi, stabilisasi, dan
koreksi deformitas. Pilihan pendekatan operasi dilakukan berdasarkan lokasi lesi

20

(anterior, posterior, atau circumferential), risiko atau adanya deformitas kyphosis,


status neurologis, status penyakit (aktif atau sembuh), pengalaman surgeon, dan
ketersediaan fasilitas lokal.Dekompresi dapat dilakukan melalui pendekatan anterior
(open

atau

thoracoscopic),

posterior

(transpedicular),

atau

postero-lateral

(costotransversectomy atau pendekatan ekstrapleura lateral).


Pendekatan anterior untuk dekompresi (dan bone grafting) dipopulerkan di
Hong Kong pada tahun 1960-an, dan memberikan akses langsung ke patologi
penyakit. Bila terdapat kyphosis berat dengan sudut yang tajam, maka akan sulit
untuk mencapai dekompresi yang adekuat. Pendekatan bone grafting/stabilisasi,
meliputi pendekatan anterior, posterior, anterior dan posterior, serta pendekatan
ekstrapleura lateral. Defek columna vertebra bagian anterior dapat direkonstruksi
menggunakan tulang autogenous (costa, crista iliaca, atau fibula), structural
allografts, atau titanium cage.
Berikut ini beberapa teknik operasi yang umum digunakan untuk terapi spondilitis
tuberkulosa
1. Costo-transversectomy.
Caput costa dan processus transversus diambil dari posterior pada satu level
atau lebih, sehingga memfasilitasi drainase cairan abscess. Akan tetapi, debridement
dan grafting tidak dapat dilakukan.
2. Pendekatan antero-lateral atau ekstrapleura lateral.
Merupakan ekstensi dari prosedur costo-transversectomy, memfasilitasi
dekompresi maupun bone grafting, sambil menghindari masuk ke dalam cavum
thorax. Prosedur operasi ini melibatkan pengambilan 2 atau lebih caput costa dan
processus

transversus

terdekat,

dan

nervus

intercostalis

digunakan

untuk

mengidentifikasi tiap foramen (dan pediculus), lalu arteri dan nervus intercostalis
diligasi. Dekompresi komplit pada corda spinalis dicapai dengan mengambil
pediculus dan diseased portions pada satu atau lebih corpus vertebra. Kemudian,
vertebra difusikan dengan costa yang telah direseksi. Laminectomy diperlukan pada
kasus yang langka di mana terdapat keterlibatan isolasi elemen posterior.
3. Dekompresi transthoracic anterior.

21

Costa dieksisi, dan arteri intercostalis diligasi. Lalu, pleura dibuka. Costa
dipisahkan, setelah membiarkan paru untuk kolaps. Abscess yang terletak di
intrapleura, untuk pertama kali dikonfirmasi dengan aspirasi. Lalu, kavitas abscess
dibuka dengan insisi cruciate (dibentuk seperti palang), abscess dievakuasi, jaringan
granulasi dan corpus vertebra dieksisi sampai tampak corda spinalis yang berdenyut.
Lalu, corpus vertebra difusikan dengan costa yang sudah dieksisi.
4. Kombinasi anterior dan posterior.
Sebagai terapi operatif untuk spondilitis tuberkulosa, posterior fusion
diperkenalkan oleh Hibbs pada tahun 1911. Posterior fusion memiliki keuntungan
berupa teknik yang sederhana. Karena bone graft dilakukan di area yang tidak ada
lesinya, operasi ini memiliki hasil fusi yang bagus. Akan tetapi, pada operasi ini, tidak
mungkin dilakukan pengambilan secara langsung penyebab kompresi corda spinalis,
dan oleh karena itu, akan segera terjadi rekurensi inflamasi pada banyak kasus.
Sejak tahun 1934, Ito et al mendeskripsikan pendekatan anterior ke area
vertebra lumbalis dan mendeskripsikan radikal debridement dan bone fusion. Hasil
yang bagus pada debridement dan bone graft melalui pendekatan anterior, mulai
dilaporkan oleh Hodgson dan Stocks pada tahun 1960. Keuntungan dari
debridement dan bone graft melalui pendekatan anterior adalah lesi diambil secara
langsung dan didekompresi, area defek yang disebabkan oleh destruksi tulang
dikoreksi dengan melakukan bone graft. Dengan hasil yang menonjol ini,
debridement dan bone graft melalui pendekatan anterior menjadi standard terapi
operatif untuk spondilitis tuberkulosa. Tapi, ketika 2 atau lebih vertebra terlibat,
debridement dan bone graft melalui pendekatan anterior akan menyebabkan defek
yang besar pada struktur anterior, sehingga mengakibatkan ketidakstabilan vertebra.
Hal ini mungkin berakibat deformitas kyphosis. Oleh karena itu, debridement dan
bone graft melalui pendekatan anterior tidak bisa mencegah kolapsnya corpus
vertebra bila 2 atau lebih vertebra terlibat.
Bailey at al merekomendasikan agar posterior fusion dikombinasikan dengan
pendekatan anterior. Kemp et al melaporkan hasil yang baik bila posterior fusion
dilakukan pada kasus spinal instability yang melibatkan 2 atau lebih corpus vertebra
atau destruksi elemen posterior. Rajasekaran menyarankan second stage posterior
fusion dilakukan 6-12 minggu setelah debridement dan bone graft melalui

22

pendekatan anterior untuk mencegah peningkatan sudut kyphosis setelah operasi.


Tapi, pada kasus dengan deformitas berat di mana pada potongan sagittal memiliki
sudut lebih dari 20 derajat, fiksasi posterior harus dilakukan terlebih dahulu sebelum
pembedahan anterior.
Untuk fusi, beberapa jenis materi graft dapat digunakan, seperti costa, crista
iliaca, dan allograft. Pada umumnya, autogenous crista iliaca dan costa digunakan
untuk fusi intervertebral. Bila hanya digunakan graft costa, terutama jika 2 atau lebih
segmen terlibat, komplikasi seperti tidak terkoreksi, non-union, dan stabilitas yang
tidak adekuat dapat lebih sering terjadi dibanding dengan crista iliaca. Tapi, melalui
penambahan instrumentasi posterior dapat mencegah komplikasi ini dengan
menyediakan penunjang struktural.
Pada kasus spondilitis tuberkulosa di regio cervical, abscess di regio C1-C2
normalnya terletak di retropharyngeal dan evakuasi transoral diperlukan. Di bawah
level C2, abscess dievakuasi melalui pendekatan centre di margin posterior dari otot
sternomastoid. Ligasi cabang arteri carotid externa mungkin diperlukan. Trakea dan
oropharynx diidentifikasi, diretraksi ke medial, otot longus colli dan otot vertebra
anterior diidentifikasi setelah fascia cervicalis profundus lapisan prevertebra divisi
longitudinal, dan abscess dievakuasi. Diseased corpus vertebra dieksisi. Setelah
pulsasi corda spinalis dikonfirmasi, lalu vertebra difusikan dengan iliac graft.
Untuk kasus di regio vertebra lumbalis, evakuasi abscess lumbal dilakukan
melalui segitiga Petit atau melalui pendekatan renal atau melalui pendekatan
retroperitoneal sympathectomy. Abscess psoas dievakuasi melalui otot abdominis
externus parallel dengan nervus hypogastric atau ilioinguinal.
Perawatan pasca operasi pada semua kasus harus diberikan protective
plaster jacket atau moulded orthoplast brace selama sekitar 4minggu. Supportive
brace yang adekuat diperlukan sampai terjadi fusi tulang.
Walaupun dipilih tindakan operatif, pemberian kemoterapi antituberkulosa
tetaplah penting. Pemberian kemoterapi tambahan 10 hari sebelum operasi telah
direkomendasikan. Pendapat lain menyatakan bahwa kemoterapi diberikan 4-6
minggu sebelum fokus tuberkulosa dieradikasi secara langsung dengan pendekatan
anterior.

23

Terapi

operatif

selain

tetap

disertai

pemberian

kemoterapi,

juga

dikombinasikan dengan 6-12 bulan tirah baring dan 18-24 bulan selanjutnya
menggunakan spinal bracing. Pada pasien dengan lesi-lesi yang melibatkan lebih
dari dua vertebra, suatu periode tirah baring diikuti dengan sokongan eksternal
dalam TLSO (Thoraco Lumbar Sacral Orthotic) brace direkomendasikan hingga fusi
menjadi berkonsolidasi.
Operasi pada kondisi tuberculous radiculomyelitis tidak banyak membantu.
Pada pasien dengan intramedullary tuberculoma, operasi hanya diindikasikan jika
ukuran lesi tidak berkurang dengan pemberian kemoterapi dan lesinya bersifat
soliter.
Hodgson dan kawan-kawan menghindari tindakan laminektomi sebagai
prosedur utama terapi Potts paraplegia dengan alasan bahwa eksisi lamina dan
elemen neural posterior akan mengangkat satu-satunya struktur penunjang yang
tersisa dari penyakit yang berjalan di anterior. Laminektomi hanya diindikasikan pada
pasien dengan paraplegia karena penyakit di laminar atau keterlibatan corda spinalis
atau bila paraplegia tetap ada setelah dekompresi anterior dan fusi, serta mielografi
menunjukkan adanya sumbatan
2.10

Pencegahan
Vaksin

Bacillus

Calmette-Guerin

(BCG)

merupakan

suatu

strain

Mycobacterium bovis yang dilemahkan sehingga virulensinya berkurang. BCG akan


menstimulasi imunitas, meningkatkan daya tahan tubuh tanpa menimbulkan hal-hal
yang

membahayakan.

Vaksinasi

ini

bersifat

aman

tetapi

efektifitas

untuk

pencegahannya masih kontroversial.


Percobaan terkontrol di beberapa negara Barat, dimana sebagian besar anakanaknya cukup gizi, BCG telah menunjukkan efek proteksi pada sekitar 80% anak
selama 15 tahun setelah pemberian sebelum timbulnya infeksi pertama. Akan tetapi
percobaan lain dengan tipe percobaan yang sama di Amerika dan India telah gagal
menunjukkan keuntungan pemberian BCG. Sejumlah kecil penelitian pada bayi di
negara miskin menunjukkan adanya efek proteksi terutama terhadap kondisi
tuberkulosa milier dan meningitis tuberkulosa. Pada tahun 1978, The Joint
Tuberculosis Committee merekomendasikan vaksinasi BCG pada seluruh orang

24

yang uji tuberkulinnya negatif dan pada seluruh bayi yang baru lahir pada populasi
immigran di Inggris.
Saat ini WHO dan International Union Against Tuberculosis and Lung Disease
tetap menyarankan pemberian BCG pada semua infant sebagai suatu yang rutin
pada negara-negara dengan prevalensi tuberkulosa tinggi (kecuali pada beberapa
kasus seperti pada AIDS aktif). Dosis normal vaksinasi ini 0,05 ml untuk neonatus
dan bayi sedangkan 0,1 ml untuk anak yang lebih besar dan dewasa. Oleh karena
efek utama dari vaksinasi bayi adalah untuk memproteksi anak dan biasanya anak
dengan tuberkulosis primer biasanya tidak infeksius, maka BCG hanya mempunyai
sedikit efek dalam mengurangi jumlah infeksi pada orang dewasa.
Untuk mengurangi insidensinya di kelompok orang dewasa maka yang lebih
penting adalah terapi yang baik terhadap seluruh pasien dengan sputum berbasil
tahan asam (BTA) positif karena hanya bentuk inilah yang mudah menular.
Diperlukan kontrol yang efektif dari infeksi tuberkulosa di populasi masyarakat
sehingga seluruh kontak tuberkulosa harus diteliti dan diterapi.
Selain BCG, pemberian terapi profilaksis dengan INH berdosis harian
5mg/kg/hari selama 1 tahun juga telah dapat dibuktikan mengurangi resiko infeksi
tuberkulosa.
2.11

Prognosis
Prognosa pasien dengan spondilitis tuberkulosa sangat tergantung dari usia

dan kondisi kesehatan umum pasien, derajat berat dan durasi defisit neurologis serta
terapi yang diberikan.
a. Mortalitas
Mortalitas pasien spondilitis tuberkulosa mengalami penurunan seiring dengan
ditemukannya kemoterapi (menjadi kurang dari 5%, jika pasien didiagnosa dini dan
patuh dengan regimen terapi dan pengawasan ketat).
b. Relaps
Angka kemungkinan kekambuhan pasien yang diterapi antibiotik dengan regimen
medis saat ini dan pengawasan yang ketat hampir mencapai 0%.
c. Kifosis

25

Kifosis progresif selain merupakan deformitas yang mempengaruhi kosmetis secara


signifikan, tetapi juga dapat menyebabkan timbulnya defisit neurologis atau
kegagalan pernafasan dan jantung karena keterbatasan fungsi paru. Semakin besar
sudut kifosis, semakin dini operasi koreksi harus dilakukan.
d. Defisit neurologis
Defisit neurologis pada pasien spondilitis tuberkulosa dapat membaik secara spontan
tanpa operasi atau kemoterapi. Tetapi secara umum, prognosis membaik dengan
dilakukannya operasi dini.
e. Usia
Pada anak-anak, prognosis lebih baik dibandingkan dengan orang dewasa

BAB III
KESIMPULAN
Spondilitis tuberkulosa merupakan penyakit yang jarang, namun memiliki
kondisi klinis yang serius yang dapat mengakibatkan deformitas berat dan komplikasi
neurologis. Di Negara barat, spondilitis tuberkulosa adalah masalah kesehatan yang
sebagian besar berhubungan dengan orang tua dan imigran, sedangkan di banyak
Negara berkembang, tuberkulosis masih merupakan sumber masalah klinis dan
sosio-ekonomi, di mana pasien dengan usia muda adalah yang paling banyak
terkena.
Terlepas dari ketersediaan aktual alat diagnostik yang lebih efektif, deteksi dini
spondilitis tuberkulosa tetap sulit dan kecurigaan dengan index tinggi diperlukan
karena sifat kronik dan insidious dari penyakit ini serta manifestasi klinik yang

26

bervariasi. Pasien dengan nyeri punggung kronik dan gejala neurologis, dengan atau
tanpa infeksi tuberkulosis aktif atau riwayat sebelumnya, harus diinvestigasi untuk
menyingkirkan spondilitis tuberkulosa.
Meskipun spondilitis tuberkulosa secara esensial adalah kondisi medis yang
akan mengalami perbaikan dengan pemberian kemoterapi saja, namun pembedahan
memiliki peran penting dalam mengurangi nyeri, mengkoreksi deformitas dan
gangguan neurologis, mengembalikan fungsi, dan diindikasikan untuk pasien
tertentu.

DAFTAR PUSTAKA
1. Rasjad, C, 2007. Bab 7 : Infeksi dan Inflamasi dalam Pengantar Ilmu Bedah
Ortopedi edisi ketiga. Jakarta; Yarsif Watampone, 2007
2. Lindsay, KW, Bone I, Callander R, 1991. Spinal Cord and Root Compresion.
In: Neurology and Neurosurgery Illustrated, 2nd ed. Edinburgh: Churchill
Livingstone
3. Zuwanda, Janitra Raka. 2013. Diagnosis dan Penatalaksanaan Spondilitis
Tuberkulosis. CDK-208 Vol. 40 (9): 661-673. Diakses 4 Mei 2015 pukul 19.10
WIB
4. Savant C, Rajamani K, 1997. Tropical Diseases of the Spinal Cord. In
Critchley E, Eisen A., editor. Spinal Cord Disease: Basic Science, Diagnosis
and Management. London : Springer-Verlag

27

5. Tandiyo DK, 2010. Potts Disease. Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas


Sebelas Maret. Diunduh pada tanggal 15 Mei 2015. Tersedia pada:
http://desy.tandiyo.staff.uns.ac.id/files/2010/07/ potts-disease.pdf.
6. Paramarta I Gede Epi, Purniti Putu Siadi, Subanada Ida Bagus, Astawa Putu.
2008. Spondilitis Tuberkulosis. Sari Pediatri 10 (3): 177-183.
7. Vitriana, 2002. Spondilitis Tuberkulosa. Bandung: Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran. Diunduh pada tanggal 15 Mei 2014. Tersedia
pada:http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/05/spondilitis_tuberkulosa.pdf.
8. Jong De. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Editor Bahasa Indonesia : R.
Sjamsuhidajat. Edisi 3. Jakarta: EGC
9. Schaaf H. Simon, Zumla Alimuddin.

2009.

TUBERCULOSIS.

Comprehensive Clinical Reference. USA: Saunders Elsevier.

28

Anda mungkin juga menyukai