SPONDILITIS TB
Kepaniteraan Bedah RSU Haji Surabaya
Pembimbing:
dr. Triarto B.S, Sp.OT
Penyusun:
Yoseph Jappi
2009.04.0.0088
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH
SURABAYA
2015
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT ILMU BEDAH ORTHOPEDI
SPONDILITIS TB
KATA PENGANTAR
dan
pikiran
dalam
membimbing
penulis
sehingga
penulis
dapat
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Tuberkulosis merupakan suatu penyakit infeksi yang diakibatkan oleh spesies
Mycobacterium. Pada tahun 2012, tuberkulosis masih merupakan salah satu
masalah kesehatan yang utama di dunia. Diperkirakan terdapat lebih dari delapan
juta enam ratus ribu kasus di dunia pada tahun tersebut, dengan angka kematian
perkiraan mencapai satu juta tiga ratus ribu kasus. Tuberkulosis sendiri secara garis
besar
dapat
dibagi
menjadi
tuberkulosis
intrapulmonal,
dan
tuberkulosis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Definisi
Tuberkulosa tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis tuberkulosa
Epidemiologi
Pada tahun 2005, World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa
jumlah kasus TB baru terbesar di dunia terdapat di Asia Tenggara (34% dari insiden
global) termasuk di Indonesia. Pada negara maju seperti di Amerika dan Inggris,
insidensi penyakit ini terutama pada populasi imigran, tunawisma lanjut usia dan
pada orang dengan tahap lanjut infeksi HIV. Jumlah pasien TB diperkirakan terus
meningkat seiring bertambahnya pengidap infeksi HIV. Pasien positif HIV diketahui
memiliki resiko 500 kali lebih besar mengidap TB dibandingkan orang normal.
Dari seluruh penderita TB, 1-5% akan mengalami tuberkulosis osteoartikular.
Spondilitis tuberkulosa merupakan 50% dari seluruh tuberkulosis tulang dan sendi
yang terjadi. Setelah tulang belakang, insiden TB tulang berturut-turut dari insiden
tertinggi terendah adalah tulang panggul, lutut dan tulang-tulang lain di kaki,
sedangkan tulang di lengan dan tangan jarang terkena. Area torako-lumbal terutama
torakal bagian bawah (umumnya T 10) dan lumbal bagian atas merupakan tempat
yang paling sering terlibat karena pada area ini pergerakan dan tekanan dari weight
bearing mencapai maksimum, lalu dikuti dengan area servikal dan sakral. Sebagian
ahli menduga lokalisasi spondilitis tuberkulosa yang terutama pada daerah vertebra
torakal bawah dan lumbal atas mungkin disebabkan infeksi sekunder dari suatu
tuberkulosis traktus urinarius yang penyebarannya melalui plexus Batson pada vena
paravetebralis.
Etiologi
Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di
tempat lain di tubuh, 90-95% disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik (2/3
dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovin) dan 5-10% oleh mikobakterium tuberkulosa
atipik. spesies Mycobacterium atipik antara lain Mycobacterium africanum (penyebab
paling sering tuberkulosa di Afrika Barat), bovine tubercle baccilus, ataupun nontuberculous mycobacteria (banyak ditemukan pada penderita HIV). Perbedaan jenis
spesies ini menjadi penting karena sangat mempengaruhi pola resistensi obat.
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang
bersifat tahan asam (acid-fast bacilli), obligate aerobic, non-motile, dan tidak dapat
diwarnai dengan baik melalui cara yang konvensional, sehingga dipergunakan teknik
Ziehl-Nielson untuk memvisualisasikannya. Pada pewarnaan Ziehl-Nielson akan
didapatkan bakteri tahan asam (BTA) berbentuk batang dan berwarna merah atau
disebut BTA positif. Bakteri tumbuh secara lambat dalam media egg-enriched dengan
periode 6-8 minggu. Produksi niasin merupakan karakteristik Mycobacterium
tuberculosis dan dapat membantu untuk membedakannya dengan spesies lain.
2.4
Patofisiologi
Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi berawal
dari bagian sentral, bagian depan, atau daerah epifisial korpus vertebra. Kemudian
terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan perlunakan
2-3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum
serta kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini tulang baji terutama di sebelah
depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus vertebra, yang menyebabkan
terjadinya kifosis dan gibus (gambar 2.1). Besarnya angulasi kifotik yang terjadi
dapat diukur dengan metode Konstam dari hasil X-ray. (gambar 2.2).
Tabel 2.1 : beberapa bentuk infeksi tuberkulosis pada vertebra.
Gambar 2.1 : Gibbus. Tampak penonjolan vertebra ke arah dorsal oleh karena
angulasi kifotik vertebra.
10
destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vaskuler vertebra. Derajat I-III
disebut paraparesis dan derajat IV disebut paraplegia.
Tabel 2.2 : Penyebab terjadinya paraplegia pada spondilitis TB
11
Gambaran klinis
Secara klinik gejala tuberkulosis tulang belakang hampir sama dengan gejala
tuberkulosis pada umumnya yaitu badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat
badan menurun, suhu sedikit meningkat (subfebril) terutama pada malam hari serta
sakit pada punggung. pada anak-anak sering disertai menangis pada malam hari.
Pada tuberkulosis vertebra servikal, dapat ditemukan nyeri di daerah belakang
kepala, gangguan menelan, dan gangguan pernafasan akibat adanya abses
retrofaring. Kadangkala penderita datang dengan gejala abses pada daerah
paravertebral, abdominal, inguinal, poplitea, dan bokong, adanya sinus pada daerah
paravertebral atau penderita datang dengan gejala-gejala paraparesis, gejala
12
Pemeriksaan penunjang
1.
2.
3.
4.
5.
Pemeriksaan radiologis
1. pemeriksaan foto toraks untuk melihat adanya tuberkulosis paru
2. foto polos vertebra, ditemukan osteoporosis, osteolitik, dan destruksi korpus
vertebra disertai penyempitan diskus intervertebralis yang berada di antara
korpus tersebut dan mungkin dapat ditemukan adanya massa abses
paravertebral. (gambar 2.3)
3. pada foto AP abses paravertebral di daerah servikal berbentuk sarang burung,
di daerah torakal berbentuk bulbus, dan pada daerah lumbal abses terlihat
berbentuk fusiform
4. pada stadium lanjut terjadi destruksi vertebra yang hebat sehingga timbul
kifosis
5. pemeriksaan foto dengan zat kontras
6. pemeriksaan mielografi dilakukan bila terdapat gejala-gejala penekanan
sumsum tulang
7. pemeriksan CT scan atau CT scan dengan mielografi (gambar 2.4)
8. pemeriksaan MRI (gambar 2.3)
Dari gambaran klinis dan radiologis, dapat ditarik perkiraan durasi perjalanan
penyakit yang disebut klasifikasi klinikoradiologis (tabel 2.5).
13
Gambar 2.3 : X-ray menunjukkan spondilitis TB pada vertebra C6-C7 dan abses
retrofaringeal (kiri). MRI T1-weight menunjukkan destruksi corpus vertebra C6-C7
disertai kompresi pada medula spinalis pada pasien yang sama.
Gambar 2.4 : CT scan menunjukkan destruksi pedikel kiri vertebra L3 (panah hitam),
edema jaringan perivertebra (kepala panah putih), penjepitan medula spinalis (panah
kecil putih), dan abses psoas (panah putih).
14
Gambar 2.5 : Diagnosis definitif spondilits TB dari sampel biopsi. Tampak granuloma
khas TB (lingkaran kuning) yaitu adanya massa kaseosa (perkejuan) yang dikelilingi
oleh deretan sel mononuklear dan sel raksasa. Pada pembesaran tampak basil
tahan asam (lingkaran merah).
2.7
Diagnosis
15
2.8
Diagnosis banding
1.
tuberkulosa
karena
pada
keganasan,
ruang
discusnya
tetap
destruksi
dan
berkurangnya
tinggi
discus
intervertebralis
yang
bagian bawah (lower lumbar spine), dengan arsitektur vertebra yang masih utuh
walaupun didapatkan osteomyelitis vertebra yang difus. Pada brucella spondylitis,
abscess paravertebra jarang terjadi dan kalaupun ada, memiliki ukuran yang lebih
kecil dibandingkan dengan spondilitis tuberkulosa. Karakteristik lainnya pada brucella
spondylitis, didapatkan gas di dalam discus intervertebralis, tidak adanya kyphosis,
16
dan deformitas gibbus jarang terjadi. Pada daerah endemik, dapat dilakukan
pemeriksaan serologis berupa agglutination test dan complement fixation test.
Secara ringkas, perbedaan antara spondilits tuberkulosa dengan diagnosis
banding di atas ditunjukkan oleh tabel 2.6.
2.9
Pengobatan
Pada prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus dilakukan
17
18
Untuk penderita baru BTA + dan BTA -/rontgen +, diberikan dalam dua tahap
yaitu :
- Tahap I diberikan rifampisin 450 mg, etambutol 750 mg, INH 300 mg,
dan pirazinamid 1500 mg. Obat diberikan setiap hari selama 2 bulan
-
2. Terapi operatif
Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama pada
penderita tuberkulosis tulang belakang, namun tindakan operatif masih
memegang peranan penting dalam beberapa hal, yaitu bila terdapat cold abses,
lesi tuberkulosa, paraplegia, dan kifosis.
a. Abses dingin (cold abses)
Cold abses yang kecil tidak memerlukan tindakan operatif oleh karena dapat
terjadi resorpsi spontan dengan pemberian obat tuberkulostatik. Pada abses
yang besar dilakukan drainase bedah. Ada 3 cara menghilangkan lesi
tuberkulosa yaitu :
- Debridemen fokal
- Kosto transversektomi
- Debridemen fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan
b. Paraplegia
19
20
atau
thoracoscopic),
posterior
(transpedicular),
atau
postero-lateral
transversus
terdekat,
dan
nervus
intercostalis
digunakan
untuk
mengidentifikasi tiap foramen (dan pediculus), lalu arteri dan nervus intercostalis
diligasi. Dekompresi komplit pada corda spinalis dicapai dengan mengambil
pediculus dan diseased portions pada satu atau lebih corpus vertebra. Kemudian,
vertebra difusikan dengan costa yang telah direseksi. Laminectomy diperlukan pada
kasus yang langka di mana terdapat keterlibatan isolasi elemen posterior.
3. Dekompresi transthoracic anterior.
21
Costa dieksisi, dan arteri intercostalis diligasi. Lalu, pleura dibuka. Costa
dipisahkan, setelah membiarkan paru untuk kolaps. Abscess yang terletak di
intrapleura, untuk pertama kali dikonfirmasi dengan aspirasi. Lalu, kavitas abscess
dibuka dengan insisi cruciate (dibentuk seperti palang), abscess dievakuasi, jaringan
granulasi dan corpus vertebra dieksisi sampai tampak corda spinalis yang berdenyut.
Lalu, corpus vertebra difusikan dengan costa yang sudah dieksisi.
4. Kombinasi anterior dan posterior.
Sebagai terapi operatif untuk spondilitis tuberkulosa, posterior fusion
diperkenalkan oleh Hibbs pada tahun 1911. Posterior fusion memiliki keuntungan
berupa teknik yang sederhana. Karena bone graft dilakukan di area yang tidak ada
lesinya, operasi ini memiliki hasil fusi yang bagus. Akan tetapi, pada operasi ini, tidak
mungkin dilakukan pengambilan secara langsung penyebab kompresi corda spinalis,
dan oleh karena itu, akan segera terjadi rekurensi inflamasi pada banyak kasus.
Sejak tahun 1934, Ito et al mendeskripsikan pendekatan anterior ke area
vertebra lumbalis dan mendeskripsikan radikal debridement dan bone fusion. Hasil
yang bagus pada debridement dan bone graft melalui pendekatan anterior, mulai
dilaporkan oleh Hodgson dan Stocks pada tahun 1960. Keuntungan dari
debridement dan bone graft melalui pendekatan anterior adalah lesi diambil secara
langsung dan didekompresi, area defek yang disebabkan oleh destruksi tulang
dikoreksi dengan melakukan bone graft. Dengan hasil yang menonjol ini,
debridement dan bone graft melalui pendekatan anterior menjadi standard terapi
operatif untuk spondilitis tuberkulosa. Tapi, ketika 2 atau lebih vertebra terlibat,
debridement dan bone graft melalui pendekatan anterior akan menyebabkan defek
yang besar pada struktur anterior, sehingga mengakibatkan ketidakstabilan vertebra.
Hal ini mungkin berakibat deformitas kyphosis. Oleh karena itu, debridement dan
bone graft melalui pendekatan anterior tidak bisa mencegah kolapsnya corpus
vertebra bila 2 atau lebih vertebra terlibat.
Bailey at al merekomendasikan agar posterior fusion dikombinasikan dengan
pendekatan anterior. Kemp et al melaporkan hasil yang baik bila posterior fusion
dilakukan pada kasus spinal instability yang melibatkan 2 atau lebih corpus vertebra
atau destruksi elemen posterior. Rajasekaran menyarankan second stage posterior
fusion dilakukan 6-12 minggu setelah debridement dan bone graft melalui
22
23
Terapi
operatif
selain
tetap
disertai
pemberian
kemoterapi,
juga
dikombinasikan dengan 6-12 bulan tirah baring dan 18-24 bulan selanjutnya
menggunakan spinal bracing. Pada pasien dengan lesi-lesi yang melibatkan lebih
dari dua vertebra, suatu periode tirah baring diikuti dengan sokongan eksternal
dalam TLSO (Thoraco Lumbar Sacral Orthotic) brace direkomendasikan hingga fusi
menjadi berkonsolidasi.
Operasi pada kondisi tuberculous radiculomyelitis tidak banyak membantu.
Pada pasien dengan intramedullary tuberculoma, operasi hanya diindikasikan jika
ukuran lesi tidak berkurang dengan pemberian kemoterapi dan lesinya bersifat
soliter.
Hodgson dan kawan-kawan menghindari tindakan laminektomi sebagai
prosedur utama terapi Potts paraplegia dengan alasan bahwa eksisi lamina dan
elemen neural posterior akan mengangkat satu-satunya struktur penunjang yang
tersisa dari penyakit yang berjalan di anterior. Laminektomi hanya diindikasikan pada
pasien dengan paraplegia karena penyakit di laminar atau keterlibatan corda spinalis
atau bila paraplegia tetap ada setelah dekompresi anterior dan fusi, serta mielografi
menunjukkan adanya sumbatan
2.10
Pencegahan
Vaksin
Bacillus
Calmette-Guerin
(BCG)
merupakan
suatu
strain
membahayakan.
Vaksinasi
ini
bersifat
aman
tetapi
efektifitas
untuk
24
yang uji tuberkulinnya negatif dan pada seluruh bayi yang baru lahir pada populasi
immigran di Inggris.
Saat ini WHO dan International Union Against Tuberculosis and Lung Disease
tetap menyarankan pemberian BCG pada semua infant sebagai suatu yang rutin
pada negara-negara dengan prevalensi tuberkulosa tinggi (kecuali pada beberapa
kasus seperti pada AIDS aktif). Dosis normal vaksinasi ini 0,05 ml untuk neonatus
dan bayi sedangkan 0,1 ml untuk anak yang lebih besar dan dewasa. Oleh karena
efek utama dari vaksinasi bayi adalah untuk memproteksi anak dan biasanya anak
dengan tuberkulosis primer biasanya tidak infeksius, maka BCG hanya mempunyai
sedikit efek dalam mengurangi jumlah infeksi pada orang dewasa.
Untuk mengurangi insidensinya di kelompok orang dewasa maka yang lebih
penting adalah terapi yang baik terhadap seluruh pasien dengan sputum berbasil
tahan asam (BTA) positif karena hanya bentuk inilah yang mudah menular.
Diperlukan kontrol yang efektif dari infeksi tuberkulosa di populasi masyarakat
sehingga seluruh kontak tuberkulosa harus diteliti dan diterapi.
Selain BCG, pemberian terapi profilaksis dengan INH berdosis harian
5mg/kg/hari selama 1 tahun juga telah dapat dibuktikan mengurangi resiko infeksi
tuberkulosa.
2.11
Prognosis
Prognosa pasien dengan spondilitis tuberkulosa sangat tergantung dari usia
dan kondisi kesehatan umum pasien, derajat berat dan durasi defisit neurologis serta
terapi yang diberikan.
a. Mortalitas
Mortalitas pasien spondilitis tuberkulosa mengalami penurunan seiring dengan
ditemukannya kemoterapi (menjadi kurang dari 5%, jika pasien didiagnosa dini dan
patuh dengan regimen terapi dan pengawasan ketat).
b. Relaps
Angka kemungkinan kekambuhan pasien yang diterapi antibiotik dengan regimen
medis saat ini dan pengawasan yang ketat hampir mencapai 0%.
c. Kifosis
25
BAB III
KESIMPULAN
Spondilitis tuberkulosa merupakan penyakit yang jarang, namun memiliki
kondisi klinis yang serius yang dapat mengakibatkan deformitas berat dan komplikasi
neurologis. Di Negara barat, spondilitis tuberkulosa adalah masalah kesehatan yang
sebagian besar berhubungan dengan orang tua dan imigran, sedangkan di banyak
Negara berkembang, tuberkulosis masih merupakan sumber masalah klinis dan
sosio-ekonomi, di mana pasien dengan usia muda adalah yang paling banyak
terkena.
Terlepas dari ketersediaan aktual alat diagnostik yang lebih efektif, deteksi dini
spondilitis tuberkulosa tetap sulit dan kecurigaan dengan index tinggi diperlukan
karena sifat kronik dan insidious dari penyakit ini serta manifestasi klinik yang
26
bervariasi. Pasien dengan nyeri punggung kronik dan gejala neurologis, dengan atau
tanpa infeksi tuberkulosis aktif atau riwayat sebelumnya, harus diinvestigasi untuk
menyingkirkan spondilitis tuberkulosa.
Meskipun spondilitis tuberkulosa secara esensial adalah kondisi medis yang
akan mengalami perbaikan dengan pemberian kemoterapi saja, namun pembedahan
memiliki peran penting dalam mengurangi nyeri, mengkoreksi deformitas dan
gangguan neurologis, mengembalikan fungsi, dan diindikasikan untuk pasien
tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
1. Rasjad, C, 2007. Bab 7 : Infeksi dan Inflamasi dalam Pengantar Ilmu Bedah
Ortopedi edisi ketiga. Jakarta; Yarsif Watampone, 2007
2. Lindsay, KW, Bone I, Callander R, 1991. Spinal Cord and Root Compresion.
In: Neurology and Neurosurgery Illustrated, 2nd ed. Edinburgh: Churchill
Livingstone
3. Zuwanda, Janitra Raka. 2013. Diagnosis dan Penatalaksanaan Spondilitis
Tuberkulosis. CDK-208 Vol. 40 (9): 661-673. Diakses 4 Mei 2015 pukul 19.10
WIB
4. Savant C, Rajamani K, 1997. Tropical Diseases of the Spinal Cord. In
Critchley E, Eisen A., editor. Spinal Cord Disease: Basic Science, Diagnosis
and Management. London : Springer-Verlag
27
2009.
TUBERCULOSIS.
28