Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

MATI BATANG OTAK


Diajukan untuk mencapai persyaratan Pendidikan Dokter Stase Saraf
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing :
dr. Hj. Mutia Sinta, Sp.S

dr. Dwi Kusumaningsih, Sp.S

Diajukan Oleh:
Anggun Dewi Monika, S.ked J510155026
Dzaky Haidar Afif, S.ked J510155058
Muhammad Fadhil Ilhami, S.ked J510155065
Okky Wellianasari B, S.ked J510155038
Umi Yuliani, S.ked J510155057
Rr. Anggraeni I. E, S.Ked J510145027

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016

1
REFERAT
MATI BATANG OTAK

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Pendidikan Dokter Umum


Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Diajukan Oleh:
Anggun Dewi Monika, S.ked J510155026
Dzaky Haidar Afif, S.ked J510155058
Muhammad Fadhil Ilhami, S.ked J510155065
Okky Wellianasari B, S.ked J510155038
Umi Yuliani, S.ked J510155057
Rr. Anggraeni I. E, S.Ked J510145027

Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari , Februari 2016

Pembimbing : dr. Hj. Mutia Sinta, Sp.S (................................)

Pembimbing : dr. Dwi Kusumaningsih, Sp.S (................................)

Dipresentasikan dihadapan
dr. Hj. Mutia Sinta, Sp.S (................................)

dr. Dwi Kusumaningsih, Sp.S (................................)

Disahkan Ketua Program Profesi


Nama : dr Dona Dewi Nirlawati (..............................)

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebelum sekitar tahun 1950, definisi atas kematian cukup jelas, yakni

saat detak jantung dan pernapasan berhenti terjadi. Namun kemudian berbagai

teknik ditemukan untuk mempertahankan detak jantung dan pernapasan

walaupun pasien telah mati, sehingga muncul persepsi baru. Kematian

didefinisikan sebagai hilangnya fungsi otak dan bukan fungsi jantung dan

paru. Ilmuwan, pemuka agama, pekerja kesehatan, bahkan masyarakat umum

secara luas telah menyetujui bahwa seseorang dapat dikatakan meninggal

apabila terjadi kematian otak. Di Amerika Serikat, kematian dapat ditentukan

berdasarkan kriteria neurologis (Wijdicks, 2001).

Menurut Peraturan Pemerintah RI No.18 tahun 1981 tentang bedah

mayat klinis dan bedah mayat anatomis serta transplantasi alat atau organ

tubuh manusia, meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh

ahli-ahli kedokteran yang berwenang bahwa fungsi otak, pernapasan dan

denyut jantung seseorang telah berhenti. Batasan mati mengandung 2

kelemahan yang pertama pada henti jantung (cardiac arrest) , fungsi otak,

pernapasan dan jantung telah berhenti namun sebetulnya kita belum dapat

menyatakan mati karena pasien masih mungkin hidup kembali bila dilakukan

resusitasi. yang kedua dengan adanya kata-kata denyut jantung telah

berhenti maka ini justru kurang menguntungkan untuk transplantasi, karena

perfusi ke organ-organ telah berhenti pula, yang tentunya akan mengurangi

3
viabilitas jaringan atau organ. Diagnosis mati batang otak (MBO) dan

petunjuknya dapat dilihat pada fatwa IDI tentang MBO. Diagnosa MBO

mempunyai 2 komponen utama. Komponen pertama terdiri dari pemenuhan

prasyarat-prasyarat dan komponen kedua adalah tes klinis fungsi batang otak

(SK IDI NO231/PB.A.4/07/90).

B. Tujuan

Mengingat pentingnya pengetahuan tentang hal tersebut maka penulis

mencoba memaparkan tentang mati batang otak yang penulis dapatkan dari

berbagai sumber. Penulisan referat ini bertujuan untuk memberikan informasi

mengenai mati batang otak secara singkat.

C. Manfaat

Pada penulisan referat ini penulis berharap dapat memberikan

pengetahuan pada pembaca mengenai mati batang otak secara lebih

mendalam.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Mati

Mati klinis adalah henti napas (tidak ada gerakan napas spontan)
ditambah henti sirkulasi (jantung) total dengan semua aktivitas otak terhenti,
tetapi tidak ireversibel. Pada masa sekarang kematian inilah, permulaan
resusitasi dapat diikuti dengan pemulihan semua fungsi organ vital termasuk
fungsi otak nomal, asal diberikan terapi yang optimal (Wijidicks, 2001).

Mati biologis (kematian semua organ) selalu mengikuti mati klinis bila
tidak dilakukan resusitasi jantung paru (RJP) atau bila upaya resusitasi
dihentikan. Mati biologis merupakan proses nekrotisasi semua jaringan,
dimulai dengan neuron otak yang menjadi nekrotik setelah kira-kira 1 jam
tanpa sikulasi, diikuti oleh jantung, ginjal, paru, dan hati yang menjadi
nekrotik selama beberapa jam atau hari. Mati serebral (kematian korteks)
adalah kerusakan ireversibel serebrum, terutama neokorteks. Mati otak (MO,
kematian otak total) adalah mati serebral ditambah dengan nekrosis sisa otak
lainnya, termasuk serebelum, otak tengah, dan batang otak (Wijidicks, 2001).

B. Definisi Mati Batang Otak

Walaupun mudah dimengerti sebagai suatu konsep, namun


mendefinisikan kematian otak dalam kata-kata adalah sulit. Pada panduan
Australian and New Zealand Intensive Care Society (ANZICS) yang
dipublikasikan pada tahun 1993, kematian otak didefinisikan sebagai berikut:
Istilah kematian otak harus digunakan untuk merujuk pada berhentinya
semua fungsi otak secara ireversibel. Kematian otak terjadi saat terjadi
hilangnya kesadaran yang ireversibel, dan hilangnya respon refleks batang

5
otak dan fungsi pernapasan pusat secara ireversibel, atau berhentinya aliran
darah intrakranial secara ireversibel (Hing-Yu, 2004).

Menurut kriteria komite ad hoc Harvard tahun 1968, kematian otak


didefinisikan oleh beberapa hal. Yang pertama, adanya otak yang tidak
berfungsi lagi secara permanen, yang ditentukan dengan tidak adanya resepsi
dan respon terhadap rangsang, tidak adanya pergerakan napas, dan tidak
adanya refleks-refleks, yakni respon pupil terhadap cahaya terang, pergerakan
okuler pada uji penggelengan kepala dan uji kalori, refleks berkedip, aktivitas
postural (misalnya deserebrasi), refleks menelan, menguap, dan bersuara,
refleks kornea, refleks faring, refleks tendon dalam, dan respon terhadap
rangsang plantar. Yang kedua adalah data konfirmasi yakni EEG yang
isoelektris. Kedua tes tersebut diulang 24 jam setelah tes pertama, tanpa
adanya hipotermia (suhu < 32,2o C) atau pemberian depresan sistem saraf
pusat seperti barbiturat. Penentuan tersebut harus dilakukan oleh seorang
dokter (Hing-Yu, 2004).
Menurut Uniform Determination of Death Act, yang dikembangkan
oleh National Conference of Commissioners on Uniform State Laws,
Presidents Commission for the Study of Ethical Problems in Medicine and
Biomedical and Behavioral Research, seseorang dinyatakan mati otak apabila
mengalami (1) terhentinya fungsi sirkulasi dan respirasi secara ireversibel, dan
(2) terhentinya semua fungsi otak secara keseluruhan, termasuk batang otak,
secara ireversibel. Terhentinya fungsi sirkulasi dan respirasi dinilai dari tidak
adanya denyut jantung dan usaha napas, serta pemeriksaan EKG dan uji
apnea. Terhentinya fungsi otak dinilai dari adanya keadaan koma serta
hilangnya fungsi batang otak berupa absennya refleks reflex (Lazar, 2001).
Menurut panduan yang digunakan di Amerika Serikat, kematian otak
didefinisikan sebagai hilangnya semua fungsi otak secara ireversibel, termasuk
batang otak. Tiga temuan penting dalam kematian otak adalah koma,
hilangnya refleks batang otak, dan apnea (Sidharta & Mardjono, 2004).

6
Diagnosis kematian batang otak merupakan diagnosis klinis. Tidak
diperlukan pemeriksaan lain apabila pemeriksaan klinis (termasuk
pemeriksaan refleks batang otak dan tes apnea) dapat dilaksanakan secara
adekuat. Apabila temuan klinis yang sesuai dengan kriteria kematian
batang otak atau pemeriksaan konfirmatif yang mendukung diagnosis
kematian batang otak tidak dapat diperoleh, diagnosis kematian batang otak
tidak dapat ditegakkan (Guyton, 2008).
C.Etiologi
Kematian otak ditandai dengan koma, apneu dan hilangnya semua
refleks batang otak. Diagnosis klinis ini pertama kali disampaikan dalam
kepustakaan kedokteran pada tahun 1959 dan kemudian digunakan dalam
praktik kedokteran pada dekade berikutnya pada bidang trauma klinis yang
spesifik. Kebanyakan kasus kematian dapat didiagnosis di tempat tidur pasien
(Wilson, 1994).
Penyebab umum kematian otak termasuk trauma, perdarahan
intrakranial, hipoksia, overdosis obat, tenggelam, tumor otak primer,
meningitis, pembunuhan dan bunuh diri. Dalam kepustakaan lain,
hipoglikemia jangka panjang disebut sebagai penyebab kematian otak
(Wilson, 1994).
D. Patofisiologi
Patofisiologi penting terjadinya kematian otak adalah peningkatan
hebat tekanan intrakranial (TIK) yang disebabkan perdarahan atau edema
otak. Jika TIK meningkat mendekati tekanan darah arterial, kemudian tekanan
perfusi serebral (TPS) mendekati nol, maka perfusi serebral akan terhenti dan
kematian otak terjadi (Walshe, 2001).
Aliran darah normal yang melalui jaringan otak pada orang dewasa
rata-rata sekitar 50 sampai 60 mililiter per 100 gram otak per menit. Untuk
seluruh otak, yang kira-kira beratnya 1200 1400 gram terdapat 700 sampai
840 ml/menit. Penghentian aliran darah ke otak secara total akan
menyebabkan hilangnya kesadaran dalam waktu 5 sampai 10 detik. Hal ini
dapat terjadi karena tidak ada pengiriman oksigen ke sel-sel otak yang

7
kemudian langsung menghentikan sebagian metabolismenya. Aliran darah ke
otak yang terhenti untuk tiga menit dapat menimbulkan perubahan-perubahan
yang bersifat irreversibel. Sedikitnya terdapat tiga faktor metabolik yang
memberi pengaruh kuat terhadap pengaturan aliran darah serebral. Ketiga
faktor tersebut adalah konsentrasi karbon dioksida, konsentrasi ion hidrogen
dan konsentrasi oksigen. Peningkatan konsentrasi karbon dioksida maupun ion
hidrogen akan meningkatkan aliran darah serebral, sedangkan penurunan
konsentrasi oksigen akan meningkatkan aliran (Suh et al., 2007).
Faktor-faktor iskemia dan nekrotik pada otak oleh karena kurangnya
aliran oksigen ke otak menyebabkan terganggunya fungsi dan struktur otak,
baik itu secara reversible dan ireversibel. Percobaan pada binatang
menunjukkan aliran darah otak dikatakan kritis apabila aliran darah otak
23/ml/100mg/menit (normal 55 ml/100mg/menit). Jika dalam waktu singkat
aliran darah otak ditambahkan di atas 23 ml, maka kerusakan fungsi otak
dapat diperbaiki. Pengurangan aliran darah otak di bawah 8 - 9 ml/100
mg/menit akan menyebabkan infark, tergantung lamanya. Dikatakan
hipoperfusi jika aliran darah otak di antara 8 - 23 ml/100 mg/menit (Eelco &
Wijdicks, 2001).
Jika jumlah darah yang mengalir ke dalam otak tersumbat secara
parsial, maka daerah yang bersangkutan langsung menderita karena
kekurangan oksigen. Daerah tersebut dinamakan daerah iskemik. Di wilayah
itu didapati: 1) tekanan perfusi yang rendah, 2) PO2 turun, 3) CO2 dan asam
laktat tertimbun. Autoregulasi dan pengaturan vasomotor dalam daerah
tersebut bekerja sama untuk menanggulangi keadaan iskemik itu dengan
mengadakan vasodilatasi maksimal. Pada umumnya, hanya pada perbatasan
daerah iskemik saja bisa dihasilkan vasodilatasi kolateral, sehingga daerah
perbatasan tersebut dapat diselamatkan dari kematian. Tetapi pusat dari daerah
iskemik tersebut tidak dapat teratasi oleh mekanisme autoregulasi dan
pengaturan vasomotor. Di situ akan berkembang proses degenerasi yang
ireversibel. Semua pembuluh darah di bagian pusat daerah iskemik itu
kehilangan tonus, sehinga berada dalam keadaan vasoparalisis. Keadaan ini

8
masih bisa diperbaiki, oleh karena sel-sel otot polos pembuluh darah bisa
bertahan dalam keadaan anoksik yang cukup lama. Tetapi sel-sel saraf daerah
iskemik itu tidak bisa tahan lama. Pembengkakan sel dengan pembengkakan
serabut saraf dan selubung mielinnya (edema serebri) merupakan reaksi
degeneratif dini. Kemudian disusul dengan diapedesis eritosit dan leukosit.
Akhirnya sel-sel saraf akan musnah. Yang pertama adalah gambaran yang
sesuai dengan keadaan iskemik dan yang terakhir adalah gambaran infark
(Eelco & Wijdicks, 2001).
Adapun pada hipoglikemia, mekanisme yang terjadi sifatnya umum.
Hipoglikemia jangka panjang menyebabkan kegagalan fungsi otak. Berbagai
mekanisme dikatakan terlibat dalam patogenesisnya, termasuk pelepasan
glutamat dan aktivasi reseptor glutamat neuron, produksi spesies oksigen
reaktif, pelepasan Zinc neuron, aktivasi poli (ADP-ribose) polymerase dan
transisi permeabilitas mitokondria (Christopher, 2003).

E.Kriteria Mati Batang Otak


Pada tahun 1959 Mollaret dan Goulon memperkenalkan istilah coma
de pass (koma irreversibel) dalam menggambarkan 23 pasien koma dengan
hilangnya kesadaran, refleks batang otak, respirasi dan dengan hasil
elektroensefalogram (EEG) yang mendatar. Pada tahun 1968, sebuah komite
Ad hoc pada Fakultas Kedokteran Harvard meninjau kembali defenisi
kematian otak dan kemudian diartikan sebagai koma ireversibel atau kematian
otak adalah tidak adanya respon terhadap stimulus, tidak ada gerakan napas,
tidak adanya refleks batang otak dan koma yang penyebabnya sudah
diketahui, kondisi tersebut menetap sekurang-kurangnya 6 sampai 24 jam
(Sunatrio, 2006).
Pada tahun 1971 Mohandas dan Chou menggambarkan kerusakan
batang otak sebagai komponen penting dari kerusakan otak yang berat.
Konferensi perguruan tinggi Medical Royal dan fakultas-fakultas yang ada di
dalamnya di Kerajaan Inggris pada tahun 1976, menerbitkan sebuah
pernyataan mengenai diagnosis kematian otak dimana kematian otak diartikan
sebagai hilangnya fungsi batang otak secara lengkap dan ireversibel.

9
Pernyataan ini memberikan pedoman yang termasuk di dalamnya perbaikan
dalam uji apnea dan memusatkan perhatian pada batang otak sebagai pusat
dari fungsi otak. Tanpa batang otak ini, tidak ada kehidupan. Pada tahun 1981
komisi presiden untuk studi masalah etik dalam kedokteran biomedis juga
penelitian tentang perilaku menerbitkan pedomannya. Dokumen tersebut
merekomendasikan kegunaan tes konfirmasi untuk mengurangi durasi waktu
yang dibutuhkan untuk observasi dan merekomendasikan periode 24 jam bagi
pasien dengan gangguan anoksia dan kemudian menyingkirkan syok sebagai
syarat untuk menentukan kematian otak. Akhir-akhir ini, Akademi Neurologi
Amerika memberikan kasus berdasarkan bukti dan menyarankan adanya
pemeriksaan-pemeriksaan dalam praktek. Laporan ini secara spesifik
mengarah kepada adanya peralatan-peralatan pemeriksaan klinis dan tes
konfirmasi validitas serta adanya deskripsi tentang uji apnea dalam praktek.
Sehubungan dengan dibutuhkannya konsep kematian otak, maupun metode
terstruktur suatu diagnosis, beragam kriteria telah diterbitkan. Beberapa
diantaranya (Leonard, 2006).
a. Kriteria Harvard
Kunci perkembangan diagnosis kematian otak diterbitkan Kriteria
Harvard, kunci diagnosis tersebut adalah (Guyton, 2008).
Tidak bereaksi terhadap stimulus noksius yang intensif (unresponsive
coma).
Hilangnya kemampuan bernapas spontan.
Hilangnya refleks batang otakdan spinal.
Hilangnya aktivitas postural seperti deserebrasi.
EEG datar.
Hipotermia dan pemakaian depresan seperti barbiturat harus disingkirkan.
Kemudian, temuan klinis dan EEG harus tetap saat evaluasi sekurang
kurangnya 24 jam kemudian.
b. Kriteria Minnesota
Pengalaman klinis dengan menggunakan kriteria Harvard yang disarankan
mungkin sangat terbatas. Hal ini menyebabkan Mohandes dan Chou

10
mengusulkan Kriteria Minnesota untuk kematian otak. Yang dihilangkan dari
kriteria ini adalah tidak dimasukkannya refleks spinalis dan aktivitas EEG
karena masih dipandang sebagai sebuah pilihan pemeriksaan untuk konfirmasi,
elemen kunci kriteria Minnesota adalah (Guyton, 2008) :
Hilangnya respirasi spontan setelah masa 4 menit pemeriksaan.
Hilangnya refleks otak yang ditandai dengan: pupil dilatasi, hilangnya
refleks batuk, refleks kornea dan siliospinalis, hilangnya dolls eye
movement, hilangnya respon terhadap stimulus kalori dan hilangnya
refleks tonus leher.
Status penderita tidak berubah sekurang-kurangnya dalam 12 jam
Proses patologis yang berperan dan dianggap tidak dapat diperbaiki.
Pertimbangan utama dalam mendiagnosis kematian otak adalah sebagai
berikut:
1) Hilangnya fungsi serebral
2) Hilangnya fungsi batang otak termasuk respirasi spontan
3) Bersifat ireversibel.
Hilangnya fungsi serebral ditandai dengan berkurangnya pergerakan spontan dan
berkurangnya respon motorik dan vokal terhadap seluruh rangsang visual,
pendengaran dan kutaneus. Refleks-refleks spinalis mungkin saja ada.
EEG merupakan indikator berharga dalam kematian serebral dan banyak
lembaga kesehatan yang memerlukan pembuktian Electro Cerebral Silence (ECS),
yang juga disebut EEG datar atau isoelektrik. Dikatakan EEG datar apabila tidak
ada perubahan potensial listrik melebihi 2 mikroVolt selama dua kali 30 menit
yang direkam setiap 6 jam. Perlu ditekankan bahwa tidak adanya respon serebral
dan EEG datar tidak selalu berarti kematian otak. Akan tetapi, keduanya dapat
terjadi dan bersifat reversible pada keadaan hipotermia dan intoksikasi obat-
obatan hipnotik-sedatif (Bryan Young et al., 2006).
Fungsi-fungsi batang otak dianggap tidak ada jika tidak terdapat reaksi
pupil terhadap cahaya, tidak terdapat refleks kornea, vestibulo-ocular, orofaringeal
atau trakea. Tidak ada respon deserebrasi terhadap stimulus noksius dan tidak ada
pernapasan spontan. Untuk kepentingan dalam praktek, apnea absolut dikatakan

11
terjadi pada pasien, jika pasien tersebut tidak melakukan usaha untuk menolak
penggunaan alat respirasi setidaknya selama 15 menit. Sebagai tes akhir, pasien
dapat dilepaskan dari respirator lebih lama beberapa menit untuk memastikan
bahwa PCO2 arteri meningkat di atas ambang untuk merangsang pernapasan
spontan (Leonard, 2006).
Jika hasil pemeriksaan memperlihatkan bahwa semua fungsi otak hilang,
maka pemeriksaan harus diulang dalam waktu 6 jam untuk memastikan bahwa
keadaan pasien bersifat ireversibel. Jika riwayat dan pengamatan komprehensif
yang sesuai terhadap prosedur penggunaan obat-obatan tidak ada, maka observasi
selama periode 72 jam mungkin dibutuhkan untuk memperoleh reversibilitas
walaupun jarang terjadi dalam praktek, studi perfusi serebral menunjukkan
terhentinya sirkulasi intrakranial secara sempurna menyebabkan terjadinya
kematian otak (Christhopher, 2003).

F. Langkah Penetapan Diagnosis Kematian Batang Otak

Pemeriksaan neurologis klinis tetap menjadi standar untuk penentuan


kematian otak dan telah diadopsi oleh sebagian besar negara-negara di dunia.
Pemeriksaan pasien yang diduga telah mengalami kematian otak harus dilakukan
dengan teliti. Deklarasi tentang kematian otak tidak hanya menuntut dilakukannya
tes neurologis namun juga identifikasi penyebab koma, keyakinan akan kondisi
ireversibel, penyingkiran tanda neurologis yang salah ataupun faktor-faktor yang
dapat menyebabkan kebingungan, interpretasi hasil pencitraan neurologis, dan
dilakukannya tes laboratorium tambahan yang dianggap perlu (Sunatrio, 2006).

Diagnosis kematian otak terutama ditegakkan secara klinis. Tidak ada tes
lain yang perlu dilakukan apabila pemeriksaan klinis yang menyeluruh, meliputi
kedua tes refleks batang otak dan satu tes apnea, memberikan hasil yang jelas.
Apabila tidak ditemukan temuan klinis, atau uji konfirmasi, yang lengkap yang
konsisten dengan kematian otak, maka diagnosis tersebut tidak dapat ditegakkan
(Eelco & Wijdicks, 2001).

12
Pemeriksaan neurologis untuk menentukan apakah seseorang telah
mengalami kematian otak atau tidak dapat dilakukan hanya apabila persyaratan
berikut dipenuhi (Eelco & Wijdicks, 2001) :
1) Penyingkiran kondisi medis yang dapat mengganggu penilaian klinis,
khususnya gangguan elektrolit, asam basa, atau endokrin.
2) Tidak adanya hipotermia parah, didefinisikan sebagai suhu tubuh lebih
kurang atau sama dengan 32oC.
3) Tidak adanya bukti intoksikasi obat, racun, atau agen penyekat
neuromuskuler.
Menurut panduan sertifikasi kematian otak yang diterapkan di Hong Kong, yang
mengacu pada beberapa referensi seperti Medical Royal Colleges in United
Kingdom dan Austalian and New Zealand Intensive Care Society, sebelum
mempertimbangkan diagnosis kematian otak, harus diperiksa kondisi-kondisi
serta kriteria eksklusi (Leonard, 2006).

Pertama-tama, harus ditemukan kondisi cedera otak berat yang konsisten


dengan proses terjadinya kematian otak (yang biasanya dikonfirmasi dengan
pencitraan otak). Tidak boleh ada keraguan bahwa kondisi yang dialami pasien
diakibatkan oleh kerusakan struktural otak yang tidak dapat diperbaiki. Diagnosis
dari kelainan yang dapat menimbulkan kematian otak harus ditegakkan dengan
jelas. Diagnosis tersebut dapat jelas terlihat beberapa jam setelah kejadian
intrakranial primer seperti cedera kepala berat, perdarahan intrakranial spontan,
atau setelah pembedahan otak. Namun, saat kondisi pasien disebabkan oleh henti
jantung, hipoksia, atau insufisiensi sirkulasi yang berat tanpa periode anoksia
serebri yang jelas, atau dicurigai mengalami embolisme udara atau lemak otak
maka penegakan diagnosis akan memakan waktu lebih lama (Suh et al., 2007).
Kondisi kedua yang dapat menjadi pertimbangan untuk menegakkan
diagnosis kematian otak adalah pasien yang apneu dan menggunakan bantuan
ventilator. Pasien tidak responsif dan tidak bernafas secara spontan. Obat penyekat
neuromuskuler atau lainnya harus dieksklusi dari penyebab kondisi tersebut.

13
Penyebab koma lain yang harus dieksklusi adalah obat depresan atau
racun. Riwayat penggunaan obat harus secara hati-hati diperiksa. Periode
observasi tergantung pada farmakokinetik dari obat yang digunakan, dosis yang
digunakan, dan fungsi hepar serta ginjal pasien. Apabila diperlukan, tes darah dan
urin serta level serum dilakukan. Bila ada keraguan tentang adanya efek dari
opioid atau benzodiazepine, maka obat antagonis yang tepat harus diberikan.
Stimulator saraf tepi harus digunakan untuk mengkonfirmasi intak tidaknya
konduksi neuromuskuler apabila pasien menggunakan obat pelemas otot (muscle
relaxant) (Sunatrio, 2006).
Hipotermia primer juga menjadi kriteria eksklusi. Suhu pasien
direkomendasikan harus di atas 35 oC sebelum dilakukan uji diagnostik. Selain
itu, harus disingkirkan juga kondisi gangguan metabolik dan endokrin, serta
hipotensi arteri.
Langkah-langkah penetapan kematian batang otak meliputi hal-hal berikut
(Leonard, 2006) :
1. Evaluasi kasus koma
2. Memberikan penjelasan kepada keluarga mengenai kondisi terkini pasien
3. Penilaian klinis awal refleks batang otak
4. Periode interval observasi

a. Sampai dengan usia 2 bulan, periode interval observasi 48 jam


b. Usia lebih dari 2 bulan - < 1 tahun, periode interval observasi 24 jam
c. Usia lebih dari 1 tahun - < 18 tahun, periode interval observasi 12 jam
d. Usia 18 tahun ke atas, periode interval observasi berkisar 6 jam

5. Penilaian klinis ulang refleks batang otak


6. Tes apnea
7. Pemeriksaan konfirmatif apabila terdapat indikasi
8. Persiapan akomodasi yang sesuai
9. Sertifikasi kematian batang otak
10. Penghentian penyokong kardiorespirasi

14
Evaluasi kasus koma
Penentuan kematian batang otak memerlukan identifikasi kasus koma
ireversibel beserta penyebab koma yang paling mungkin. Cedera kepala
berat, perdarahan intraserebral hipertensif, perdarahan subarachnoid, jejas otak
hipoksik-iskemik, dan kegagalan hepatik fulminan adalah merupakan penyebab
potensial hilangnya fungsi otak yang bersifat ireversibel. Dokter perlu menilai
tingkat dan reversibilitas koma, serta potensi berbagai kerusakan organ
(Bryan Young et al., 2006).
Dokter juga harus menyingkirkan berbagai faktor perancu, seperti intoksikasi
obat, blokade neuromuskular, hipotermia, atau kelainan metabolik lain yang
dapat menyebabkan koma namun masih berpotensi reversible.
Kedalaman koma diuji dengan penilaian adanya respon motorik terhadap stimulus
nyeri yang standar, seperti penekanan nervus supraorbita, sendi
temporomandibuler, atau bantalan kuku pada jari Koma dalam adalah tidak
adanya respon motorik cerebral terhadap rangsang nyeri pada seluruh
ekstremitas (nail-bed pressure) dan penekanan di supraorbital (Leonard, 2006).
Yang harus diperhatikan dalam pengujian ini adalah kemungkinan adanya respon
motorik Lazarus sign yang dapat terjadi secara spontan selama tes apnea,
seringkali pada kondisi hipoksia atau episode hipotensi, dan berasal dari spinal.
Agen penyekat neuromuskuler juga dapat menghasilkan kelemahan motorik yang
cukup lama (Bryan Young et al., 2006).

Gambar 1. Tes Rangsang Nyeri


Penilaian klinis refleks batang otak
Pemeriksaan refleks batang otak meliputi pengukuran jalur refleks pada
mesensefalon, pons, dan medula oblongata. Saat terjadi kematian otak, pasien
kehilangan refleks dengan arah rostral ke kaudal, dan medulla oblongata adalah
bagian terakhir dari otak yang berhenti berfungsi. Beberapa jam dibutuhkan untuk
terjadinya kerusakan batang otak secara menyeluruh, dan selama periode tersebut,

15
mungkin masih terdapat fungsi medula. Pada kasus yang jarang dimana terdapat
fungsi medula oblongata yang tetap ada, ditemukan tekanan darah normal, respon
batuk setelah suction trakhea, dan takhikardia setelah pemberian 1 mg atropine
(Bryan Young et al., 2006).
Penentuan kematian batang otak memerlukan penilaian fungsi otak oleh
minimal dua orang klinisi dengan interval waktu pemeriksaan beberapa jam.
Tiga temuan penting pada kematian batang otak adalah koma dalam, hilangnya
seluruh refleks batang otak, dan apnea. Pemeriksaan apnea (tes apnea) secara
khas dilakukan setelah evaluasi refleks batang otak yang kedua (Christhopher,
2003).

Hilangnya refleks batang otak (Leonard, 2006).


Pupil:
a. Tidak terdapat respon terhadap cahaya atau refleks cahaya negatif
b. Ukuran: midposisi (4 mm) sampai dilatasi (9 mm)

Gerakan bola mata /gerakan okular:


a. Refleks oculocephalic negatif
Pengujian dilakukan hanya apabila secara nyata tidak terdapat retak
atau ketidakstabilan vertebrae cervical atau basis kranii.
b. Tidak terdapat penyimpangan atau deviasi gerakan bola mata terhadap
irigasi 50 ml air dingin pada setiap telinga. Membrana timpani harus tetap
utuh; pengamatan 1 menit setelah suntikan, dengan interval tiap telinga
minimal 5 menit.
Respon motorik facial dan sensorik facial:
a. Refleks kornea negatif
b. Jaw reflex negatif (optional)
c. Tidak terdapat respon menyeringai terhadap rangsang tekanan dalam
pada kuku, supraorbita, atau temporomandibular joint.
Refleks trakea dan faring:
a. Tidak terdapat respon terhadap rangsangan di faring bagian posterior

16
b. Tidak terdapat respon terhadap pengisapan trakeobronkial
(tracheobronchial suctioning).

Gambar 2. Pemeriksaan Refleks Batang Otak


Penilaian klinis terhadap refleks batang otak dikerjakan secara menyeluruh. Nervus cranialis
yang diperiksa ditunjukkan dengan angka romawi; garis panah utuh menunjukkan jaras
aferen; garis panah terputus menunjukkan jaras eferen. Hilangnya respon menyeringai atau
mata tidak membuka terhadap rangsang tekanan dalam pada kedua condyles setinggi
temporomandibular joint (afferent n. V dan efferent n. VII), hilangnya refleks kornea terhadap
rangsang sentuhan tepi kornea mata (n. V dan n. VII), hilangnya refleks cahaya (n. II dan n. III),
hilangnya respon oculovestibular ke arah sisi stimulus dingin oleh air es (n. VIII dan n. III dan n.
VI), hilangnya refleks batuk terhadap rangsangan pengisapan yang dalam pada trachea (n. IX dan
n. X).

Tes Apnea
Secara umum, tes apnea dilakukan setelah pemeriksaan refleks batang otak
yang kedua dilakukan. Tes apnea dapat dilakukan apabila kondisi prasyarat
terpenuhi, yaitu (Bryan Young et al., 2006) :

a. Suhu tubuh 36,5 C atau 97,7 F


b. Euvolemia (balans cairan positif dalam 6 jam sebelumnya)
c. PaCO2 normal (PaCO2 arterial 40 mmHg)
d. PaO2 normal (pre-oksigenasi arterial PaO2 arterial 200 mmHg)
Setelah syarat-syarat tersebut terpenuhi, dokter melakukan tes apnea dengan
langkah-langkah sebagai berikut (Bryan Young et al., 2006) :

17
a. Pasang pulse-oxymeter dan putuskan hubungan ventilator
b. Berikan oksigen 100%, 6 L/menit ke dalam trakea (tempatkan kanul
setinggi carina)
c. Amati dengan seksama adanya gerakan pernafasan (gerakan dinding dada
atau abdomen yang menghasilkan volume tidal adekuat)
d. Ukur PaO2, PaCO2, dan pH setelah kira-kira 8 menit, kemudian ventilator
disambungkan kembali
e. Apabila tidak terdapat gerakan pernafasan, dan PaCO 2 60 mmHg (atau
peningkatan PaCO2 lebih atau sama dengan nilai dasar normal), hasil
tes apnea dinyatakan positif (mendukung kemungkinan klinis kematian
batang otak).
f. Apabila terdapat gerakan pernafasan, tes apnea dinyatakan negatif
(tidak mendukung kemungkinan klinis kematian batang otak) .
g. Hubungkan ventilator selama tes apnea apabila tekanan darah sistolik
turun sampai < 90 mmHg (atau lebih rendah dari batas nilai normal
sesuai usia pada pasien < 18 tahun), atau pulse-oxymeter
mengindikasikan adanya desaturasi oksigen yang bermakna, atau
terjadi aritmia kardial.
Segera ambil sampel darah arterial dan periksa analisis gas darah.
Apabila PaCO2 60 mmHg atau peningkatan PaCO2 20
mmHg di atas nilai dasar normal, tes apnea dinyatakan positif.
Apabila PaCO2 < 60 mmHg atau peningkatan PaCO2 < 20 mHg di
atas nilai dasar normal, hasil pemeriksaan belum dapat dipastikan dan
perlu dilakukan tes konfirmasi

Gambar 3. Tes Apneu

18
Diskoneksi ventilator dan penggunaan oksigenasi apneik difusi (apneic diffusion
oxygenation) memerlukan syarat tertentu. Suhu tubuh harus 36.5 C, tekanan darah
sistolik harus 90 mmHg, dan balans cairan harus positif selama enam jam. Setelah
preoksigenasi (fraksi oksigen insprasi harus 1.0 selama 10 menit), tingkat ventilasi harus
dikurangi. Ventilator harus diputus apabila PaO2 arterial mencapai 200 mmHg, atau apabila
PaCO2 arterial mencapai 40 mmHg. Pipa oksigen harus berada pada carina
(menghantarkan oksigen 6 liter per menit). Dokter harus mengamati dinding dada dan abdomen
untuk mengamati adanya gerakan pernafasan selama 8-10 menit, dan harus mengawasi pasien
terhadap adanya perubahan fungsi vital. Apabila PaO2 arterial 60 mmHg, atau terdapat
peningkatan > 20 mmHg dari nilai dasar yang normal, maka tes apnea dinyatakan positif.

Faktor Perancu
Kondisi-kondisi berikut dapat mempengaruhi diagnosis klinis kematian batang
otak, sedemikian rupa sehingga hasil diagnosis tidak dapat dibuat dengan
pasti hanya berdasarkan pada alasan klinis sendiri. Pada keadaan ini
pemeriksaan konfirmatif direkomendasikan (Eelco & Wijdicks, 2001) :
a. Trauma spinal servikal berat atau trauma fasial berat
b. Kelainan pupil sebelumnya
c. Level toksis beberapa obat sedatif, aminoglikosida, antidepresan
trisiklik, antikolinergik, obat antiepilepsi, agen kemoterapi, atau agen
blokade neuromuskular
d. Sleep apnea atau penyakit paru berat yang mengakibatkan retensi kronis
CO2
Manifestasi berikut terkadang tampak dan tidak boleh diinterpretasikan
sebagai bukti fungsi batang otak (Christhopher, 2003) :
a. Gerakan spontan ekstremitas selain dari respon fleksi atau ekstensi
patologis
b. Gerakan mirip bernafas (elevasi dan aduksi bahu, lengkungan
punggung, ekspansi interkosta tanpa volume tidal yang bermakna)
c. Berkeringat, kemerahan, takikardi
d. Tekanan darah normal tanpa dukungan farmakologis, atau peningkatan
mendadak tekanan darah

19
e. Tidak-adanya diabetes insipidus
f. Refleks tendo dalam, refleks abdominal superfisial, respon fleksi triple
g. Refleks Babinski
Pemeriksaan Konfirmatif Apabila Terdapat Indikasi
Diagnosis kematian batang otak merupakan diagnosis klinis. Tidak diperlukan
pemeriksaan lain apabila pemeriksaan klinis termasuk pemeriksaan refleks batang
otak dan tes apnea dapat dilaksanakan secara adekuat. Beberapa pasien dengan
kondisi tertentu seperti cedera servikal atau kranium, instabilitas
kardiovaskular, atau faktor lain yang menyulitkan dilakukannya pemeriksaan
klinis untuk menegakkan diagnosis kematian batang otak, perlu dilakukan tes
konfirmatif (Leonard, 2006).
Pemilihan tes konfirmatif yang akan dilakukan sangat tergantung pada
pertimbangan praktis, mencakup ketersediaan, kemanfaatan, dan kerugian yang
mungkin terjadi. Beberapa tes konfirmatif yang biasa dilakukan antara lain (Bryan
Young, 2006) :
a. Angiography (conventional, computerized tomographic, magnetic
resonance, dan radionuclide) : kematian batang otak ditegakkan apabila
tidak terdapat pengisian intraserebral (intracerebral filling) setinggi
bifurkasio karotis atau sirkulus Willisi
b. Elektroensefalografi (EEG) : kematian batang otak ditegakkan apabila
tidak terdapat aktivitas elektrik setidaknya selama 30 menit
c. Nuclear brain scanning : kematian batang otak ditegakkan apabila tidak
terdapat ambilan (uptake) isotop pada parenkim otak dan atau vasculature,
bergantung teknik isotop (hollow skull phenomenon)
b. Somatosensory evoked potentials : kematian batang otak ditegakkan
apabila tidak terdapat respon N20-P22 bilateral pada stimulasi nervus
medianus
c. Transcranial doppler ultrasonography : kematian batang otak ditegakkan
oleh adanya puncak sistolik kecil (small systolic peaks) pada awal
sistolik tanpa aliran diastolik (diastolic flow) atau reverberating flow,
mengindikasikan adanya resistensi yang sangat tinggi (very high

20
vascular resistance) terkait adanya peningkatan tekanan intrakranial yang
besar.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

21
Berbagai teknik yang ditemukan untuk mempertahankan detak

jantung dan pernapasan walaupun pasien telah mati telah memunculkan

persepsi baru tentang definisi kematian sebagai hilangnya fungsi otak dan

bukan fungsi jantung dan paru, dimana kematian dapat ditentukan

berdasarkan kriteria neurologis. Kematian otak kebanyakan diakibatkan

oleh cedera kepala berat dan perdarahan intrakranial.

Kriteria untuk kematian otak sendiri berevolusi seiring waktu.

Kematian otak didefinisikan sebagai hilangnya semua fungsi otak secara

ireversibel, termasuk batang otak. Tiga temuan penting dalam kematian

otak adalah koma, hilangnya refleks batang otak, dan apnea. Pada pasien,

harus diperiksa kondisi-kondisi serta kriteria eksklusi. Harus ditemukan

kondisi cedera otak berat yang konsisten dengan proses terjadinya

kematian otak, tidak bernafas secara spontan, dan hasil yang negatif pada

pemeriksaan refleks-refleks batang otak. Saat ini masih banyak

kontroversi berkaitan dengan penentuan kematian otak, karena masih

kurangnya literatur atau panduan yang berbasis bukti.

Jika kematian otak telah didiagnosis berdasarkan kriteria klinis

dasar di atas, dokter dan keluarga harus sadar bahwa kematian otak sama

dengan kematian pasien. Masalah yang penting dipertimbangkan bagi

keluarga pasien saat itu adalah penyerahan organ, pemeriksaan otopsi dan

pemakaman pasien. Alat bantu hidup harus disingkirkan kecuali donasi

organ telah dipertimbangkan. Jika terjadi perpecahan sehubungan dengan

22
diagnosis kematian otak dan hal tersebut tidak dapat dipecahkan oleh

dokter dan keluarga di tempat tidur pasien, maka petugas yang bertugas

memastikan kematian pasien dapat dipanggil untuk mengevaluasi masalah

tersebut dan mungkin akan melengkapi sertifikat kematian.

B. Saran

Berdasarkan apa yang telah dipaparkan diatas maka kita sebagai

praktisi klinis diharapkan dapat memahami keadaan mati batang otak dan

dapat menegakkan diagnosis mati batang otak secara tepat sehingga

diharapkan nantinya bila kita menemukan kasus ini kita dapat memberikan

penanganan yang tepat kepada penderita.

DAFTAR PUSTAKA

1. Wijdicks. Current Concepts, The Diagnosis of Brain Death, N Engl J Med,


2001, 344 (16)
2. Pernyataan Ikatan Dokter Indonesia tentang mati. Surat Keputusan
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia SK PB IDI
No.231/PB.A.4/07/90

23
3. So Hing-Yu, Fanzca Ficanzcafhkam, Update Article Brain Death, Hong
Kong Practitioner 16 (II) November 1994.
4. Neil M.Lazar. Sham Shemie et al. Bioethics For Clinicians 24. Brain
Death. C MAJ Mar 20,2001;164 (6).
5. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi klinis dasar. Jakarta: Dian Rakyat;
2004.hal.280.
6. Guyton AC, Hall JE. Aliran darah serebral, cairan serebrospinal, dan
metabolisme otak. Dalam: Buku ajar fisiologi kedokteran. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1996.hal.975-83.
7. Wilson LM. Sistem saraf dalam Patofisiologi konsep klinis proses-proses
penyakit edisi kedua. Jakarta: EGC;1994. hal.902.
8. Thomas M Walshe, The diagnosis of brain death. N Engl J Med 2001 ;
344: 1215-1221
9. Suh SW, Gum ET, Hamby AM, Chan PH, Swanson RA. Hypoglycemic
neuronal death is triggered by glucose reperfusion and activation of
neuronal NADPH oxidase [online] 2007 Jan 30, [cited 2007 Apr 30];
Available from URL: http://www.jci.org/cgi/content/full/117/4/910
10. Eelco F. M. Wijdicks, The diagnosis of brain death , review articles, N
Engl J Med 2001;344 (16) : 1 - 10.
11. Christopher James Doig MD, Brain death: resoving inconsistencies in
ethical declaration of death, Can J Anesth 2003;50(7):725-731.
12. Sunatrio S. Penentuan Mati . Bagian Anestesiologi :FKUI/RSCM ,2006.
13. Leonard Baron MD, et al. Neuroanestesia and Intensive Care. Brief
Review: History, Concept And Controversies In The Neurological
Determination Of Death. Can J Anesth 2006;53(6):602-608.
14. G. Bryan Young MD FRCPC. Et al. Brief Review: The Role Of Ancillary
Tests In The Neurological Determination Of Death. Can J Anesth
2006;53(6) : 620-627.

24
DAFTAR ISTILAH

EEG : Elektroensefalografi
MBO : Mati Batang Otak
IDI : Ikatan Dokter Indonesia
RJP : Resusitasi Jantung Paru
MO : Mati Otak

25
ANZICS : Australian and New Zealand Intensive Care Society
EKG : Elektrokardiografi
TIK : Tekanan Intrakranial
TPS : Tekanan Perfusi Cerebral
PO2 : Tekanan Oksigen
CO2 : Karbondioksida
PCO2 : Tekanan Karbondioksida
PaCO2 : Tekana Parsial Karbondioksida
ADP : Adenosin Difosfat
ECS : Elektro Cerebral Silence

26

Anda mungkin juga menyukai