Setia radiks saraf dibungkus oleh piamater,arachnoidea, dan duramater. Radi anterior dan posterior
bergabung menjadi satu didalam foramina intervertebralis membentuk nervus spinalis. Salah saatu
atau jedua radix nervi spinalis dapat terkena meningitis spinalsifilistik atau meningitis purulenta.
Radices posteriors dapat terkena pada penyakit tabes dorsalis dan herpes zoster. Lokasi
anatomisnya, baik dalam canalis vertebralis amaupoun dla foramina intervertebralis,memaparkan
radiks ini dengan kompresi oleh tumor di kolumna vertebralis serta iritasi oleh unsur0unsur
abnrmalyang terdapat didalam airan serebrospinal, seperti darah yang terdapat pada perdarahan
subarachnoid. Herniasi diskus intervertebralis,tumor vertebra primer atau seunder, deestruksi
vertebra oleh tumor atau infeksi, atau fraktir dislokasi dapat menekan radix nervi spinalis didalam
foramina intervertebralia. Bahkan scoliosis berat dapat menyebabkan kompresi pada radiks saraf.
Sebuah lesi pada radix posterior nervi spinalis dapat meningimbulkan nyeri pada area kulit yang
dipersarafi oleh radiks tersebut. Gerakan columna vertebralis didaerah lesi akan menimbulka rasa
nyeri, batuk dan bersin juga meningkatkan rasa nyeri dengan meningkatkan tekanan didalam
canalis vrtebralis. Sebelum benar-benar terjadi kehilangan sensasi pda dermatom yang dipersarafi,
dapat terjadi hiperalgesia dan hiperestesia.
Lesi pada radix anterior akan mengakibatkan paralissi pada setiap otot yang hanya dipersarafi oleh
radiks tersebut dan paralisis sebagian pad setiap otot yang mendapatkan persarafan s3ebagai radiks
itu. Padakedua kasusu diatas ditemukan fasikulasi dan atrofi.
Kerusakan pada traktus ini menyebabkan kehilanga sensasi suhu dan nyeri disisi kontralateral
dibawah tingkat lesi , oleh karena itu pasien tidaka akan bereaksi terhadap tusukan jarum atau
mengtahui bnda panas ataau dingin yang diletakkan pada kulitnya.
Kerusakan pada kedua traktus ini memutuskan kedua informasi dari otot dan sendi ke
tingkat kesadaran, oleh karena itu, seseorang tidak mengetahui mengenai posisi dan pergerakan
extremitas ipsilateral dibawah tingkat lesi. Dengan mata tertutup, paisen tidak mampu mengatakan
posisi extremitas atau bagian extremitasnya didalam ruangan. Misalnya, jika anda secara pasif
melakukan dorsofleksi ibu jari kaki pasien, ia tidak mampu mengatakan apakah ibu jari
menghadap ke atas atau ke bawah. Pasien mengalami gangguan pengendalian otot dan gerakannya
tersentak-sentak atau ataksia.
Pasien juga mengalami kehilangan rasa getar dibawah lesi pada sisi ipsilateral. Keadaan
ini mudah diuji dengan meletakkan garpu tala yang sedang bergetar pada tonjolan tulang seperti
pada malleolus lateralis fibulae atau processus styloideus radii.
Selain itu juga akan terjadi kehilangan diskrimanasi taktil pada sisi lesi. Keadaan
ini paling mudah diuji dengan memisahkan dua titik jangka secara berangsur-angsur sampai pasien
dapat membedakan sebagai dua titik yang berpisah, tidak sebagai satu titik, seperti pada saat
pertama kali diletakkan pada permukaan kulit. Diskriminasi taktil berbeda anatra bagian tubuh
yang satu dengan bagian tubuh lainnya. Pada individu yang normal, titik-titik harus dipisahkan
sekitar 3 samapi 4 mm sebelum dapat dikenali sebagai titik-titik terpisah pada ujung jari. Namun
pada punggung, titik-titik harus dipisahkan sampai 65 mm atau lebih sebelum dapat dikenali
sebagai titik-titik yang terpisah.
Sensasi raba ringan yang umum mungkin tidak berefek karena implus-implusnya naik
melalui tractus spinothalamici anteriores.
Harus ditekankan bahwa sangat jarang suatu lesi pada medulla spinalis begitu terlokalisir
sehingga hanya mengenai satu traktus saja. Cedera biasanya melibatkan beberapa traktus asendens
dan desendens.
Organ sensorik untuk nyeri somatic adalah ujung-ujung saraf terbuka. Nyeri awal yang
tajam dihantarkan melalui serabut-serabut penghantar cepat dan nyeri terbakar yang mmepunyai
efek lama berjalan melalui serabut-serabut saraf penghantar lambat.
TABES DORSALIS
Aktivitas otot
Tonus otot
Cedera medula spinalis non traumatik, terjadi ketika kondisi kesehatan seperti penyakit, infeksi
atau tumor mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis, atau kerusakan yang terjadi pada
medula spinalis yang bukan disebabkan oleh gaya fisik eksternal. Faktor penyebab dari cedera
medula spinalis mencakup penyakit motor neuron, myelopati spondilotik, penyakit infeksius dan
inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit vaskuler, kondisi toksik dan metabolik dan gangguan
kongenital dan perkembangan.8
Patofisiologi9
Defisit neurologis yang berkaitan dengan cedera medula spinalis terjadi akibat dari proses cedera
primer dan sekunder. Sejalan dengan kaskade cedera berlanjut, kemungkinan penyembuhan
fungsional semakin menurun. Karena itu, intervensi terapeutik sebaiknya tidak ditunda, pada
kebanyakan kasus, window period untuk intervensi terapeutik dipercaya berkisar antara 6 sampai
24 jam setelah cedera. Mekanisme utama yaitu cedera inisial dan mencakup transfer energi ke
korda spinal, deformasi korda spinal dan kompresi korda paska trauma yang persisten. Mekanisme
ini, yang terjadi dalam hitungan detik dan menit setelah cedera, menyebabkan kematian sel yang
segera, disrupsi aksonal dan perubahan metabolik dan vaskuler yang mempunyai efek yang
berkelanjutan.
Proses cedera sekunder yang bermula dalam hitungan menit dari cedera dan berlangsung selama
berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, melibatkan kaskade yang kompleks dari interaksi
biokimia, reaksi seluler dan gangguan serat traktus yang mana kesemuanya hanya dimengerti
sebagian. Sangat jelas bahwa peningkatan produksi radikal bebas dan opioid endogen, pelepasan
yang berlebihan dari neurotransmitter eksitatori dan reaksi inflamasi sangat berperan penting.
Lebih jauh lagi, profil mRNA (messenger Ribonucleic Acid) menunjukkan beberapa perubahan
ekspresi gen setelah cedera medula spinalis dan perubahan ini ditujukan sebagai target terapeutik.
Beberapa teori telah diusulkan untuk menjelaskan patofisiologi dari cedera sekunder. Teori radikal
bebas menjelaskan bahwa, akibat dari penurunan kadar anti-oksidan yang cepat, oksigen radikal
bebas berakumulasi di jaringan sistem saraf pusat yang cedera dan menyerang membrane lipid,
protein dan asam nukleat. Hal ini berakibat pada dihasilkannya lipid peroxidase yang
menyebabkan rusaknya membran sel.
Teori kalsium menjelaskan bahwa terjadinya cedera sekunder bergantung pada influks dari
kalsium ekstraseluler ke dalam sel saraf. Ion kalsium mengaktivasi phospholipase, protease, dan
phosphatase. Aktivasi dari enzim-enzim ini mengakibatkan interupsi dari aktivitas mitokondria
dan kerusakan membran sel.
Teori opiate receptor mengusulkan bahwa opioid endogen mungkin terlibat dalam proses
terjadinya cedera medula spinalis dan bahwa antagonis opiate (contohnya naloxone) mungkin bisa
memperbaiki penyembuhan neurologis. Teori inflamasi berdasarkan pada hipotesis bahwa zat-zat
inflamasi (seperti prostaglandin, leukotrien, platelet-activating factor, serotonin) berakumulasi
pada jaringan medula spinalis yang cedera dan merupakan mediator dari kerusakan jaringan
sekunder.
Menyusul cedera medula spinalis, penyebab utama kematian sel adalah nekrosis dan
apoptosis. Walaupun mekanisme kematian sel yang utama segera setelah terjadinya cedera primer
adalah nekrosis, kematian sel apoptosis yang terprogram mempunyai efek yang signifikan pada
cedera sekunder sub akut. Kematian sel oligodendrosit yang diinduksi oleh apoptosis berakibat
demyelinasi dan degenerasi aksonal pada lesi dan sekitarnya. Proses cedera sekunder berujung
pada pembentukan jaringan parut glial, yang diperkirakan sebagai penghalang utama regenerasi
aksonal di dalam sistem saraf pusat. Pembentukan jaringan parut glial merupakan proses reaktif
yang melibatkan peningkatan jumlah astrosit. Menyusul terjadinya nekrosis dari materi abu-abu
dari korda sentral dan degenerasi kistik, jaringan parut berkembang dan meluas sepanjang traktus
aksonal. Pola dari pembentukan jaringan parut dan infiltrasi sel inflamatori dipengaruhi oleh jenis
dari lesi medula spinalis. Terdapat tiga jenis lesi : lesi mikro, kontusif dan lesi tusukan yang luas
(large stab)
Pada lesi mikro, sawar darah otak terganggu sedikit, astrosit tetap dalam kesejajaran yang normal
tetapi menghasilkan chondroitin sulfate proteoglycans (CSPGs) dan keratan sulfate proteoglycans
(KSPGs) sepanjang traktus yang cedera dan makrofag menginvasi lesi tersebut. Akson tidak dapat
beregenerasi di luar lesi tersebut. Pada lesi kontusif, sawar darah-otak terganggu, tetapi selaput
otak masih utuh.
Kavitasi terjadi di episentrum dari lesi tersebut. Kesejajaran astrosit terganggu pada lesi.
Astrosit menghasilkan CSPGs dan KSPGs pada gradien yang meningkat dari penumbra menuju
pusat lesi. Tidak dijumpai invasi fibroblast pada inti lesi, dan karena itu, tidak dijumpai inhibitor
yang mengekspresikan fibroblast. Makrofag menginvasi lesi tersebut dan intinya dan akson
distrofik mendekati lesi tersebut sebelum pertumbuhan berhenti. Pada lesi tusukan yang luas,
sawar darah otak rusak, dan kavitasi terjadi pada pusat lesi.
Klasifikasi
Penilaian neurologis pada cedera medula spinalis meliputi penilaian berikut seperti:
Sensasi pada tusukan (traktus spinotalamikus)
Sensasi pada sentuhan halus dan sensasi posisi sendi (kolum posterior)
Fungsi saraf kranial (bisa dipengaruhi oleh cedera servikal tinggi, seperti disfagia)10
Dengan memeriksa dermatom dan miotom dengan cara demikian, level dan completeness dari
cedera medula spinalis dan keberadaan kerusakan neurologis lainnya seperti cedera pleksus
brakialis dapat dinilai. Segmen terakhir dari fungsi saraf spinal yang normal, seperti yang diketahui
dari pemeriksaan klinis, disebut sebagai level neurologis dari lesi tersebut. Hal ini tidak harus
sesuai dengan level fraktur, karena itu diagnosa neurologis dan fraktur harus dicatat. 10
Cedera inkomplit didefinisikan sebagai cedera yang berkaitan dengan adanya preservasi dari
fungsi motor dan sensorik di bawah level neurologis, termasuk pada segmen sakral yang paling
rendah. 10
Penilaian tingkat dan komplit atau tidaknya suatu cedera medula spinalis memungkinkan prognosa
untuk dibuat. Jika lesi yang terjadi adalah komplit, kemungkinan penyembuhan jauh lebih kecil
dibandingkan dengan lesi inkomplit. Menyusul terjadinya cedera medula spinalis, terdapat
beberapa pola cedera yang dikenal, antara lain: Sindroma korda anterior Terjadi akibat gaya
fleksi dan rotasi pada vertebra menyebabkan dislokasi ke anterior atau akibat fraktur kompresi dari
corpus vertebra dengan penonjolan tulang ke kanalis vertebra. Sindroma korda sentralis
Biasanya dijumpai pada orang tua dengan spondilosis servikal. Cedera hiperekstensi menyebabkan
kompresi medula spinalis antara osteofit ireguler dari corpus vertebra di anterior dengan
ligamentum flavum yang menebal di posterior. Sindroma korda posterior Sindroma ini
umumnya dijumpai pada hiperekstensi dengan fraktur pada elemen posterior dari vertebra.
Sindroma Brown-sequard
Secara klasik terjadi akibat cedera tusukan tetapi juga sering dijumpai pada fraktur massa lateral
dari vertebra. Tanda dari sindroma ini sesuai dengan hemiseksi dari medula spinalis.
Sindroma konus medularis
Sindroma kauda ekuina6
Gambar 3. Potongan melintang dari korda spinalis, menunjukkan sindroma cedera medula
spinalis
Derajat keparahan cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi beberapa grade menurut Frankel.
6
Frankel A; kehilangan fungsi motorik dan sensorik
Frankel B; ada fungsi sensorik, motorik tidak ada
Frankel C; fungsi motorik ada tetapi tidak berfungsi
Frankel D; fungsi motorik ada tetapi tidak sempurna
Frankel E; fungsi sensorik dan motorik baik, hanya ada refleks abnormal
II.1.5 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pasca cedera medula spinalis antara lain yaitu instabilitas dan
deformitas tulang vertebra, fraktur patologis, syringomyelia pasca trauma, nyeri dan gangguan
fungsi seksual.6
II.1.6 Penatalaksanaan
Mayoritas pasien dengan cedera medula spinalis disertai dengan cedera bersamaan pada kepala,
dada, abdomen, pelvis dan ekstremitas hanya sekitar 40% cedera medula spinalis yang terisolasi.
Penatalaksanaan awal berlangsung seperti pasien trauma pada umumnya yang meliputi survei
primer, resusitasi dan survei sekunder.11
Protokol terapi yang direkomendasikan berdasarkan pada 3 hal yang penting. Yang pertama,
pencegahan cedera sekunder dengan intervensi farmakologis seperti pemberian metilprednisolon
dalam 8 jam setelah kejadian sesuai dengan panduan yang dianjurkan dalam studi NASCIS-III.2
Pasien sebaiknya diberikan metilprednisolon dengan dosis bolus 30mg/kg berat badan diikuti
dengan dosis pemeliharaan 5,4mg/kg berat badan per jam selama 23 jam atau 48 jam secara
infusan. 2
Kedua, hipoksia dan iskemia di lokasi lesi medula spinalis sebaiknya diminimalisir dengan
mengendalikan status hemodinamik dan oksigenasi. Semua pasien sebaiknya menerima oksigen
tambahan yang cukup untuk mencapai saturasi oksigen mendekati 100%.2
Ketiga, begitu cedera medula spinalis disangkakan, tulang belakang harus diimobilisasi untuk
mencegah cedera neurologis yang lebih lanjut. 2
Manajemen farmakologi pada cedera medula spinalis akut masih kontroversi. Optimisme yang
menganggap bahwa pemahaman yang mendalam mengenai patogenesa dari cedera medula
spinalis akut akan mengarah kepada penemuan strategi pengobatan farmakologis untuk mencegah
cedera sekunder telah menemui kekecewaan dalam praktek klinis. 11
Kemungkinan aplikasi sel punca pada penanganan cedera medula spinalis terus dipelajari baik
dengan menggunakan sel punca eksogen, seperti sel stroma mesenkim dan olfactory ensheating
glial cells, maupun dengan memanipulasi sel punca endogen.12,13
Pembedahan merupakan dan akan tetap menjadi pilihan utama dalam paradigma penanganan
cedera medula spinalis, tetapi waktu yang tepat untuk melakukan operasi dekompresi masih
menuai banyak kontroversi. 11
Untuk kondisi medis di mana kesembuhan belum tersedia, seperti cedera medula spinalis,
deteksi dari faktor resiko, implementasi program preventif, dan identifikasi dari subjek yang
potensial terkait merupakan relevansi yang penting. Studi epidemiologis dengan follow up jangka
panjang memberikan kontribusi ke dalam hal ini dengan memberikan gambaran perkiraan dari
insidensi dan prevalensi, mengidentifikasi faktor resiko, memberikan gambaran kecenderungan,
dan memprediksi keperluan di masa yang akan datang. 1
tanda dan gejala klinis disebabkan oleh gangguan struktur anatomi dan fungsi fisiologis
medulla spinalis yang normal. Tekanan pada arteri spinalis menyebabkana iskemia medulla
spinalis dengann degenersi sel-sel saraf serta serabutnya. Tekanan pada venae spinalis
menyebabkan edema medulla spinalis dengan gangguan fungsi neuron. Akhirnya penekanan
langsung pada substansia alba dan substansia grisea medulla spinalis serta radix nervus spinalis
menggangu hantaran saraf. Pada saat yang sama, sirkulasi cairan serebrospinal terhambat dan
terjadi perubahan komposisi cairan serebrospinalis dibawah tingkat obstruksi
salah satu tanda yang paling dini adalah nyeri . dapat terjadi nyeri local pada vertebra yang
terlibat atau nyeri yang menjalar sepanjang distribusi ssatu atau bebrapa radix nervi spinalis. Nyeri
bertambah hebat bila batuk pada waktu malam hari,yaitu pada saat pasien berbaring. Gangguan
fungsi motoric terjadi lebih dahuli, keterlibatan sel-sel columna grisae medulla spibnalis ditingkat
lesi menyebabkan paralisis parsial atau total pada otot-otot,dan disertai kehilangn tonus dan masa
otot. Keterlibatan dini traktus corticospinalis serta traktus descendens lainya menyebabkan
paralisis parsial atau total pada otot-otot,dan disertai kehilangan tonus dan masa otot. Keterlibatan
dini traktus kortikospinalis serta traktus desendens lainnya yang meninmbulkankelemahan otot
peningkatan tonus otot(spastisitas), peningkatan reflex tendon dibawah tingkat lesi dan respon
ekstensor plantar . derajat kehilangan sensorik bergantung pada ntraktus saraf yang terlibat. Lesi
pada columna alba posteriors medulla spialis akan menghilangkan sensasi otot sendi
(proprioseptif), sensasi getar dan diskriminasi taktil dibawah tingkat lesi pada sisi yang sama.
Terkenanya traktus spinitalamici laterals akan menimbulkan hilangnya sensaasi nyeri,panas serta
dinginpada sisi kontralateral tubuhdibawah tingkat lesi.
Oleh karena banyaknya tumor medulla spinalis yang merupakan tumor jinak dan berhasil
diangkat(asalkan tidak terjadi kerusakan medulla spinalis yang iriversibel akibat kompresi pada
aliran darah. Diagnosis dini yang akurat merupakan hal yang sangat penting pemeriksaan-
pemeriksaan berikut inimutlak dilakukan :
(1)radiografi kolumna vertebralis termasuk CT Scan dan MRI, (2) fungsi lumbal (3)
mielografi pada kasus yang sulit ditegakkan diagnosisnya
Keadaan klinis ini terjadi setelah kerusakan akut yang berat pada medulla spinalis. Seluruh
fungddi medulla spinalis di bawah tingkat lesi mengalai penekanan atau hilang dan timbul
gangguan sensorik dan paralisisi flasid. Reflex-refleks spinal segmental menghilang krena
hilangnya pengaruh dari pusat yang lebih tinggi yang dihantarkan melalui traktus corticospinalir,
traktus reticulosinalis, traktus tectospinalis, traktus rubrospinalis, dan traktus vestibulospinalis .
syok spinal terutama bila lesi terdapat di tingkat medulla spinalis yang tinggi juga dapat
menimbulkan hipotensi yang berat akibat hilangnya tonus vasomotorik simpatispada sebagian
besar pasien, syok berlangsung selama kurang dari 24 jam sedang pada pasien lain dapat menetap
1 sampai 4 minggu. Begitu syok menghilang,neuron-neuron dapat di eksitasi kembali. Akibat
hilangnya pengaruh upper motor neuron pada segmen-segmen medulla spinalis dibawah tingkat
lesi, maka dapat terlihat misalnya spastisitas dan reflex yang berlebihan. Adanya syok spinal dapat
diketahui melalui pemeriksaan aktifitas rrefleks sfingter anae. Reflex ini dapat timbul dengan
meletakkan ujung jari yang telah dilindungi dengan sarung tangan kedalam kanalis analis dan
merangsang M spinchter ani berkontraksi dengan cara memijat gland penis atau klitoris, atau
secara hati-hati menarik kateter foley yang dimasukan kedaamnya. Tidak adanya reflex sfingter
anal menunjukan adanya syok spinal. Tes ini tidak bermanfaat pada lesi medulla spinalis yang
mengenai segmen sacral karena neuron-neuron yang merupakan tempat asal nervi haemorrhoidalis
inferior yang mempersarafi M.spchinter
SINDROM MEDULA SPINALIS DESTRUKTIF
Transeksi ini menyebabkan hilangnya nseluruh sensibilitas dan gerakan volunteer dibawah
tingkat lesi keadaan ini dapat disebabkan oleh fraktur,dislokasi columna vertebralis, luka tembak
atau luka tusuk dan oleh perluasan tumor. Karakteristik berikut ini dapat ditemukan setelah fase
syok spinal berakhir
1 paralisis lowor motor neuron bilateral atau atrofi otot pada segmen lesi. Hal ini terjadi
akibat kerusakan neuron didalam columna grisea anteriores ( yaitu lower motor neuron) dan
mungkin akibat kerusakan radiks saraf di segmen yang sama
2. paralisis spastis bilateral dibawah tingkat lesi lesi. Terdapt tanda bilateral
babinskybilateral dan bergantung pada tingkat segmen medulla spnalis yang rusak, dapat terjadi
kehilangan reflex abdominalis, superfisialis, dan reflex kremaster. Semua tanda tersebut
disebabkan oleh gangguan pada traktus kortikospinalis kedua sisi medulla spinalis. Paralisis
spastik bilateral terjadi akibat putusnya traktus traktus desenden selain traktus corticospinales.
3. hilangnya semua sensasi bilateral dibawah tingkat lesi. Hilangnya sensasi diskriminasi
taktil dan getar,serta proprioseptif disebabkan oleh kerusakan bilateral traktus-traktus ascendens
pada columnae albae posteriors. Hilangnya sensasi nyeri, suhu dan raba ringan disebabkan oleh
putusnya traktus spinothalamicus lateralis dan anterior pada kedua sisi. Oleh karena traktus-traktus
ini menyilang secara obliq, kehilangan sensasi suhu dan raba ringan terjadi pada dua atau tiga
segmen pada distal lesi
4. fungsi vesika urinaria dan usus besar tidak berada dibawah kendali volunteer karena
semua serabut desendens otonomik rusak
Jika terjadi fraktur dislokasi komplit setinggi vertebra L2-L3 (yaitu tingkat dibawah ujung
kaudal medulla spinalis pada orang dewasa), tidak ditemukan kerusakan medulla spinalis dan
kerusakan saraf yang terbataspada cauda equine, lower motor neuron, serabut otonom dan serabut
sensorik.
Sindrom medulla anterior dapat terjadi akibat kontusio medulla spinalis ketika fraktur atau
dislokasi vertebra, cedera A.Spinalis anterior atau dari arteri arteri yang memberikan suplai darah
dan menimbulkan iskemia . pada medulla spinalis atau hernia discusintervertebralis . gambaran
klinis yang khas berikut ini terlihat setelah fase syok spinal berakhir:
1 paralisis lower motor neuron bilateral dan atrofi otot disegmen lesi. Hal ini terjadi akibat
kerusakan neuron didalam columna grisea anterior (yaitu lower motor neuron) dan mungkin akibat
kerusakan radiks saraf anterior pada segmen yang sama
2. paralisis spastik bilateral dibawah tingkat lesi, luasnya paralisis bergantung pada luas
daerah medulla spinalis yang cedera. Paralisis bilateral terjadi akibat gangguan traktus
cortikospinalis dikedua sisi medulla spinalis. Paralisis spastik bilateral terjadi akibat terputusnya
traktus-traktus descendens,selain traktus cortikospinalis
3. hilangnya sensasi nyeri suhu,dan raba ringan bilateral dibawah tingkat lesi. Tanda tanda
ini disebabkan oleh kerusakan traktus spinothalamius lateralis dan nanterior di kedua sisi
4. terdapat diskriminasi taktil dan getar, serta sensasi proprioseptif karena columna alba
posterior kedua sisi tidak rusak
Sindrom ini paling sering terjadi akibat hiperektansi pars cervicalis colimna vertebralis.
Bagian anterior medulla spinalis tertekan oleh corpora vertebrae dan di posterior oleh penonjolan
ligamentum flavum sehingga menimbulkan kerusakan pada bagian sentral medulla spinalis.
Radiograf cedera ini sering terlihat normal karena tidak ada fraktur atau dislokasi. Gambaran klinis
yang khas berikut ini dapat ditemukan setalah fase syok spinal berakhir:
1. Paralisis Lower motor neuron bilateral dan atrofi otot pada segemen lesi. Hal ini disebabkan
oleh kerusakan neuron didalam columnae grisae anteriores (yaitu Lower motor neuron) dan
mungkin akibat kerusakan radiks saraf pada segmen yang sama.
2. Paralisis spastik bilateral dibawah tungkai lesi dengan karekteristik sacral sparing. Serabut-
serabut ekstremitas inferior lebih sedikit terkena daripada serabut-serabut ekstremitas superior
karena serabut-serabut desendens di tractus corticospinales laterales tersusun secara berlapis-
lapis, dengan serabut ekstremitas superior terletak lebih ke medial dan serabut untuk
ekstremitas inferior lebih ke lateral.
3. Hilangnya sensasi nyeri, suhu, raba ringan, dan tekanan dibawah tingkat lesi dengan ciri khas
sacral sparing. Oleh karena serabut-serabut asendens pada tractus spinothalamicus lateralis
dan anterior juga tersusun secara berlapis-lapis, dengan serabut untuk ekstremitas superior
terletak lebih ke medial dan serabut serabut untuk ekstremitas inferior terletak lebih ke lateral
sehingga serabut-serabut untuk ekstremitas superior lebih mudah rusak dibandingkan serabut-
serabut ekstremitas inferior.
Dapat disimpulkan bahwa seorang pasien dengan riwayat cedera hiperekstensi leher, dengan
gambaran klinis cedera tractus motorik dan sensorik yang terutama melibatkan ekstremitas
superior, harus diduga kuat menderita sindrom medulla sentral. Sparing bagian bawah tubuh dapat
dibuktikan dengan:
Siringomielia
Keadaan ini disebabkan oleh gangguan perkembangan dalam pembentukan canalis
centralis, paling sering mengenai batang otak dan pars cervicalis medulla spinalis. Ditempat lesi,
terdapat rongga dan gliosis didaerah pusat neuroaksis. Ditemukan tanda dan gejala sebagai berikut:
1. Hilangnya sensasi nyeri dan suhu pada dermatom kedua sisi tubuh yang terkena. Hilangnya
sensasi ini biasanya memiliki distribusi seperti syal yang terjadi akibat gangguan pada tractus
spinothalmici laterales saat menyilang garis tengah di commissura grisea dan commissura alba
anterior. Pasien sering mengeluhkan luka terbakar yang tidak disengaja pada jari.
2. Diskriminasi taktil, sensasi getar, dan sensasi proprioseptif normal. Hal ini terjadi karena
traktus asendens di dalam columna alba posterior tidak terlibat.
3. Terdapat kelemahan lower motor neuron pada otot-otot kecil tangan. Dapat timbul bilateral,
tetapi mungkin juga sata tangan lebih dulu sebelum tangan lainnya. Ketika lesi menyebar ke
daerah cervical atas dan thoracica bawah, akan terjadi kerusakan sel-sel cornu anterius pada
segmen-segmen tersebut. Selanjutnya, otot-otot lain di lengan dan gelang bahu akan
mengalami atrofi.
4. Dapat terjadi paralisis spastik bilateral pada kedua tungkai, yang disertai peningkatan refleks
tendon dalam dan tanda babinski positif. Tanda-tanda ini disebabkan oleh penyebaran lesi
lebih lanjut ke lateral ke dalam substansia sehingga traktus desendens terlibta.
5. Dapat terjadi sindrom Horner. Hal ini disebabkan oleh gangguan pada serabut desendens
otonom di antara tractus reticulospinales didalam columna alba lateralis oleh lesi yang meluas.
Poliomielitis
Poliomyelitis adalah infeksi virus akut pada neuron-neuron columnae griseae anteriores
medullae spinalis dan nuclei motorik saraf-saraf kranial. Imunisasi sangat menurunkan insidensi
poliemielitis, yang merupakan penyakit yang menakutkan. matinya sel-sel saraf motorik diikuti
oleh paralisis dan atrofi otot-otot. Otot-otot extremitas inferior lebih sering terkena daripada otot-
otot extremitas superior. Pada polimielitis yang berat, respirasi dapat tergaggu akibat paralisis yang
meluas ke otot-otot intercostalis dan diaphragma. Otot-otot wajah, faring, laring dan lidah juga
dapat mengalami paralisis. Pemulihan biasanya dimulai pada akhir minggu pertama setelah edema
pada daerah yang terkena berkurang dan fungsi neuron-neuron yang mengalami kersukan kembali.
Anemia Pernisiosa
Bentuk anemia megablastik ini disebabkan oleh defisiensi vitamin B12. Penyakit ini dapat
menimbulkan kerusakan yang luas pada traktus-traktus di collumna albae laterales dan posterior
medullae spinale serta degenerasi saraf tepi. Terdapat kehilangan kemampuan sensorik dan
motorik yang luas akibat terkenanya traktus asendens dan desendens medulla spinalis.