SUBARACHNOID HEMORRHAGE
i
DAFTAR ISI
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR TABEL
iv
BAB 1. PENDAHULUAN
1
lain (Setyopranoto, 2012). Tujuan selanjutnya ialah pencegahan perdarahan ulang,
pencegahan dan pengendalian vasospasme, serta manajemen komplikasi medis dan
neurologis lainnya (Becske, 2014).
2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
3
Komponen CPP ditentukan oleh tekanan darah sistematik (Mean Arterial Blood Pressure /
MABP) dikurangi dengan ICP, sedangkan komponen CVR ditentukan oleh beberapa faktor,
yaitu:
1. Tonus pembuluh darah otak
2. Struktur dinding pembuluh darah
3. Viskositas darah yang melewati pembuluh darah otak
Sirkulasi darah ke otak ada sirkulasi anterior dan sirkulasi posterior. Sirkulasi anterior
adalah arteri karotis komunis dengan cabang distalnya yaitu arteri karotis internal, arteri
serebri media dan arteri serebri anterior. Sirkulasi posterior adalah arteri vertebrobasilar yang
berasal dari arteri vertebralis kanan dan kiri dan kemudian bersatu menjadi arteri basilaris
dan seluruh percabangannya termasuk cabang akhirnya yaitu arteri serebri posterior kanan
dan kiri (Gambar 1) (Modul Neurovaskular PERDOSSI, 2009).
Ada tiga sirkulasi yang membentuk sirkulus Willisi di otak. Ketiga sirkulasi tersebut
adalah: 1) sirkulasi anterior terdiri dari arteri serebri media, arteri serebri anterior dan arteri
komunikans anterior yang menghubungkan kedua arteri serebri anterior, 2) sirkulasi
posterior yang terdiri dari arteri serebri posterior, dan 3) arteri komunikans posterior yang
menghubungkan arteri serebri media dengan arteri serebri posterior. Kegunaan dari sirkulus
4
Willisi ini adalah untuk proteksi terjaminnya pasokan darah ke otak, apabila terjadi sumbatan
di salah satu cabang. Contohnya bila terjadi sumbatan parsial pada proksimal dari arteri
serebri anterior kanan, maka arteri serebri kanan ini akan menerima darah dari arteri karotis
komunis lewat arteri serebri anterior kiri dan arteri komunikans anterior (Modul
Neurovaskular PERDOSSI, 2009).
Arteri serebri anterior memperdarahi daerah medial hemisfer serebri, lobus frontal
bagian superior dan lobus parietal bagian superior. Arteri serebri media memperdarahi daerah
frontal inferior, parietal inferolateral dan lobus temporal bagian lateral. Arteri serebri
posterior memperdarahi lobus oksipital dan lobus temporal bagian medial (Modul
Neurovaskular PERDOSSI, 2009). Batang otak diperdarahi secara eksklusif dari sirkulasi
posterior. Medula oblongata menerima darah dari arteri vertebralis melalui arteri perforating
medial dan lateral, sedangkan pons dan midbrain (mesensefalon) menerima darah dari arteri
basilaris lewat cabangnya yaitu arteri perforating lateral dan medial (Modul Neurovaskular
PERDOSSI, 2009).
Serebelum mendapat darah dari tiga pembuluh darah serebelar, yaitu : 1) arteri
serebelar posterior inferior (Posterior Inferior Cerebellar Artery / PICA) yang merupakan
akhir dari cabang arteri vertebralis, 2) arteri serebelar anterior inferior (Anterior Inferior
Cerebellar Artery / AICA) yang merupakan cabang pertama dari arteri basilaris, dan 3) arteri
serebelar superior (Superior Cerebellar Artery / SCA) yang merupakan cabang akhir dari
arteri basilaris (Modul Neurovaskular PERDOSSI, 2009).
Basal ganglia diperdarahi oleh arteri lentikulostriata kecil percabangan dari arteri
serebri media. Talamus diperdarahi oleh arteri perforating thalamogeniculata yang
merupakan cabang dari arteri serebri posterior. Genu kapsula internal diperdarahi oleh arteri
lenticulostriata anteromedial atau disebut juga rekuren arteri Heubneur (Modul
Neurovaskular PERDOSSI, 2009).
2.2 Subarachnoid Hemorrhage
2.2.1 Definisi
Perdarahan subarakhnoid (PSA) merupakan perdarahan arteri di ruang antara dua
meningen yaitu piameter dan arakhnoidea. Sekitar 85% PSA berasal dari pecahnya
aneurisma sakuler yang terjadi di dalam pembuluh darah pada bagian dasar otak yang
5
utamanya berada didaerah “Circle of Willis”. “Circle of Willis” terdiri dari bagian anterior
dan posterior serta berbentuk simetris terhadap bidang sagital. Bagian anterior terdiri dari
arteri serebral anterior yang berhubungan dengan arteri pada saluran utama anterior dan arteri
karotid internal. Delapan puluh lima persen aneurisma pecah pada bagian anterior. Lima
belas persen aneurisma pecah pada bagian arteri yang berhubungan dengan posterior dan
berpasangan dengan arteri serebral posterior dari ujung bifurkasi arteri basilar (Lemonick,
2010). PSA aneurisma biasanya ditandai dengan nyeri hebat di kepala seperti “terserang
petir”. Aneurisma yang pecah pada pasien PSA membuat penurunan kesadaran sementara
yang disebabkan oleh lonjakan akut tekanan intrakranial dan penurunan tekanan perfusi
serebral, atau dari vasokonstriksi difusi akut arteri serebral. Pendarahan intrakranial yang
berlangsung lama dapat mengurangi aliran sirkulasi intrakranial dan menyebabkan edema
serebral global serta hipertensi intrakranial refrakter bahkan kematian (Lemonick, 2012).
6
hidup kebanyakan akan menderita defisit neurologis yang bisa menetap (Ingall et al., 2000;
Rasmussen et al., 2004).
2.2.3 Patofisiologi
a. Pendarahan Subarakhnoid Traumatik
Perdarahan subarakhnoid traumatik terjadi hasil dari cedera kepala. Namun, perdarahan
karena cedera kepala menyebabkan gejala yang berbeda dan tidak dianggap sebagai stroke.
Perdarahan subarakhnoid dianggap stroke hanya jika terjadi secara spontan yaitu, ketika
perdarahan tidak hasil dari faktor-faktor eksternal, seperti kecelakaan atau jatuh (Vergouwen
et al, 2006).
b. Pendarahan Spontan Non Traumatik
Sebuah perdarahan spontan biasanya hasil dari pecahnya aneurisma mendadak di sebuah
arteri otak, yaitu pada bagian aneurisma yang menonjol di daerah yang lemah dari dinding
arteri itu. Aneurisma biasanya terjadi di percabangan arteri. Aneurisma dapat muncul pada
saat kelahiran (bawaan), atau dapat berkembang kemudian, yaitu setelah bertahun-tahun
dimana tekanan darah tinggi melemahkan dinding arteri. Kebanyakan perdarahan
subarakhnoid adalah hasil dari aneurisma kongenita (Setyopranoto, 2012). Sedangkan
spontan subarakhnoid hemoragik disebabkan oleh karena ruptur aneurisma atau abnormalitas
pembuluh darah pada otak (Dalbjerg et al, 2013). Mekanisme lain yang kurang umum adalah
perdarahan subarakhnoid dari pecahnya koneksi abnormal antara arteri dan vena (malformasi
arteri) di dalam atau di sekitar otak. Sebuah malformasi arteri dapat muncul pada saat
kelahiran,tetapi biasanya hanya diidentifikasi jika gejala berkembang. Jarang sekali suatu
bentuk bekuan darah pada katup jantung yang terinfeksi, perjalanan (menjadi emboli) ke
arteri yang memasuk otak, dan menyebabkan arteri menjadi meradang. arteri kemudian dapat
melemah dan pecah (Harsono, 2009).
2.2.4 Etiologi
Penyebab paling sering pada perdarahan subarakhnoid ialah ruptur aneurisma serebral, yaitu
sekitar 70% hingga 80%, dan malformasi arteriovenosa sekitar 5-10%. Risiko pecahnya
aneurisma tergantung pada lokasi, ukuran, dan ketebalan dinding aneurisma. Aneurisma
dengan diameter kurang dari 7 mm pada sirkulasi serebral anterior mempunyai risiko pecah
terendah dan risiko lebih tinggi terjadi pada aneurisma di sirkulasi serebral posterior dan akan
7
meningkat sesuai besarnya ukuran aneurisma. Kebanyakan PSA terjadi karena perdarahan
intraserebral primer (hipertensif), 10 % pada pendarahan primesensefalik, tumor susunan
saraf pusat, trauma dan cedera iatrogenic selama pembedahan (Setyopranoto, 2012).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kelainan perdarahan seperti leukemia,vaskulitis,
anemia aplastik, ITP, gangguan fungsi hati, komplikasi obat trombolitik atau anti koagulan,
hipofibrinogenemia, diseksi arterial dan hemophilia dapat memicu terjadinya SAH. Obat
vasopressor, kokain, herpes simpleks ensefalitis, diseksi arteri vertebral, dan acute
necrotizing haemorrhagic encephalitis terdiri dari salah satu penyebab terjadi SAH (Warlow,
2007).
2.2.5 Faktor Resiko
Faktor resiko stroke adalah kondisi atau penyakit atau kelainan yang terdapat pada
seseorang yang memiliki potensi untuk memudahkan orang mengalami serangan stroke pada
suatu saat. Fartor resiko PSA secara umum dibagi menjadi dua jenis, yaitu faktor resiko yang
tidak dapat dikendalikan atau dimodifikasi dan faktor resiko yang dapat dikendalikan
(Setyopranoto, 2012). Faktor resiko yang tidak dapat dikendalikan adalah riwayat keluarga
pendarahan subrarakhnoid atau aneurisma, riwayat pernah menderita perdarahan
subarakhnoid, penderita atau riwayat keluarga menderita polikistik renal atau penyakit
jaringan ikat (sindrom Ehlers Danlos, sindrom Marfan dan Pseudoxanthoma Elasticum).
Sedangkan faktor resiko yang dapat dikendalikan adalah hipertensi, konsumsi alkohol,
perokok (masih atau riwayat), body mass index rendah, bekerja keras terlalu ekstrim pada 2
jam sebelum onset ,konsumsi kokain dan narkoba jenis lainnya (Warlow, 2007).
2.2.6 Manifestasi Klinis
Gambaran klinis dari perdarahan subarakhnoid sangat bervariasi mulai dari hampir
asimptomatis hingga menyebabkan kematian secara mendadak. Hal ini dipercayai
menyebabkan terjadinya misdiagnosis dengan konsekuensi pada keterlambatan penanganan
(Harsono, 2009). Sakit kepala adalah gejala yang paling utama dan 74% dari pasien
mengalami sakit kepala yang berat diikuti dengan 77% mual dan muntah, 54% hilang
kesadaran dan 35% nuchal rigidty. Dua pertiga pasien saat masuk rumah sakit dengan
penurunan kesadaran, dan setengah dari mereka dalam keadaan koma. Lokasi utama
kesakitan pada kepala terletak di regio nuchal-occipital dan intensitas parah tergantung pada
8
kecepatan mencapai intensitas maksimum dan extravasasi pendarahan (Wijdicks et al, 2005).
Nuchal rigidty yaitu peningkatan resistensi terhadap fleksi atau ekstensi pasif leher, adalah
tanda klinis iritasi meningeal akibat ekstravasasi darah di ruang subarakhnoidal. Tanda- tanda
lain dari iritasi meningeal termasuk tanda Lasegue positif atau tanda-tanda Kernig dan
Brudziski. Tanda-tanda meningeal akan muncul dalam 3-12 jam dan kadangkala tanda-tanda
ini tidak muncul dalam kasus koma atau ketika ekstravasasi darah minimal. Dengan
demikian, tidak adanya gejala nuchal rigidty tidak dapat dikecualikan dari diagnosa
pendarahan subarakhnoid (Kuramatsu dan Hutter, 2014).
Gejala seterusnya adalah kejang yang terjadi sekitar 7% dari semua pasien.
Pendarahan ulang dan adanya hidrosefalus merupakan faktor resiko utama untuk gejala
kejang awal manakala vasospasme dengan iskemia kortikal, perdarahan intraparenkimal dan
pembedahan saraf merupakan faktor risiko untuk kejang onset lambat. Sekitar 14% pasien
biasanya ada pendarahan intraocular yaitu peningkatan mendadak dalam tekanan intrakranial
dapat menyebabkan oklusi vena retina sentral dengan ektravasasi darah preretinal
(subhyaloidal). Defisit neurologis fokal mungkin terjadi dalam kasus pendarahan
intraparenkimal yang lama dan menyebabkan kompresi saraf kranial atau lesi iskemik
disebabkan vasospasme segera (Gijn dan Rinkel, 2001).
2.2.7 Pemeriksaan Penunjang
a. Computed Tomography (CT) dan CT Angiography Scan.
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan lokasi pendarahan yang terekstravasasi di ruang
subarakhnoid dengan sensitivitas yang tergantung pada jumlah perdarahan serta waktu
interval setelah munculnya gejala (Wijdicks, 2005). CT scan dikatakan positif dalam 98-
100% kasus jika dilakukan dalam waktu 12 jam, persentase ini menurun menjadi 93% pada
24 jam dan 50% satu minggu setelah onset gejala. Pola khas pada darah yang tersebar dapat
memberikan petunjuk awal lokasi aneurisma pecah dan prediksi jumlah darah untuk delayed
infraksi. Terdapat beberapa parameter kuantitatif untuk memprediksi outcome dapat
dijadikan panduan intervensi atau menjelaskan prognosis delayed cerebral infraction (DCI)
(Vergouwen et al, 2010). Misalnya skala Fisher dan skala Hess & Hunt digunakan untuk
mengklasifikasikan perdarahan subarakhnoid berdasarkan munculnya pendarahan di kepala
pada pemeriksaan CT scan. Selain itu, CT scan dapat membuktikan pendarahan
9
intaparenkimal atau pendarahan intraventrikular yang lama, hidrosefalus, edema serebral
atau lesi iskemik akibat vasospasme (Kuramatsu dan Hutter, 2014).
Table 2.1 Skor Fisher Grading dan modifikasi skor Fisher grading dan resiko DCI
(Kuramatsu dan Hutter, 2014).
Grade Hunt & Hess WFNS
I Asimptomatik, atau nyeri GCS=15, tidak
kepala minimal ada defisit motor
II Nyeri kepala GSC=13-14,
sedang/berat, Nuchal tidak ada defisit
rigidity, tidak ada defisit motor
neurologis, kecuali
parese
nervi kraniales
III Mengantuk, bingung, GSC=13-14, ada
defisit neurologis fokal defisit motor
sedang
IV Stupor, hemiparesis GSC=7-12, tidak
sedang/ berat, mungkin / ada defisit
terjadi rigiditas motor
deserebrasi dini
V Koma dalam, rigiditas GSC=3-6, tidak /
deserebrasi, munculnya ada defisit motor
tanda-tanda end state
10
Table 2.2 Skala grading skales pada pasien SAH (Kuramatsu dan Hutter,2014)
Skor Grading Modifikasi Skor Resiko
Grade Fisher Grading Fisher DCI
0 Tidak ada PSA Minimal
atau IVH
1 Tidak terdeteksi Minimal/ tipis resiko
adanya darah PSA, tidak ada rendah
IVH pada kedua
lateral ventrikel
2 Deposit darah difus Minimal/ tipis Intermediet
atau lapisan vertikal PSA, ada IVH
terdapat darah pada kedua
ukuran <1 mm, lateral ventrikel
tidak ada jendalan
11
arteri lainnya sehingga memungkinkan rencana pengobatan yang lebih baik (Setyopranoto,
2012). Evaluasi teliti terhadap seluruh pembuluh darah harus dilakukan karena sekitar 15%
pasien memiliki aneurisma multipel. Foto radiologik yang negatif harus diulang 7-14 hari
setelah onset pertama (Hamid et al, 2010). Jika evaluasi kedua tidak memperlihatkan
aneurisma, Magnetic Resonance Imaging (MRI) harus dilakukan untuk melihat
kemungkinan adanya malformasi vaskular di otak maupun batang otak (Wijdicks, 2005).
12
2.2.8 Komplikasi
1. Vasospasme Serebral
Vasospasme serebral merupakan suatu penyempitan pembuluh arteri serebral yang
berkepanjanganan, kadang berat, namun bersifat reversible, yang terjadi beberapa hari
setelah PSA. Vasospasme serebral merupakan komplikasi yang mayor yang berlanjut
sehingga terjadi kematian dan kecacatan dalam PSA. Vasospasme terjadi pada hari ke 3
hingga 4 setelah hemoragik, puncak setelah satu mimggu dan umunnya sembuh setelah 2
atau 3 minggu (Archavlis et al, 2013 ). Terdapat dua jenis vasospasme yaitu vasospasme
angiografi dan vasospasme klinis. Vasospasme angiografi merupakan penyempitan arteri
yang pada imaging vascular yang mulai terjadi beberapa hari setelah PSA dan mencapai
puncak keparahan setelah 1 minggu. Vasospasme klinis merupakan iskemi serebral beserta
tanda dan gejala yang disebabkan oleh penyempitan arteri dan disebut sebagai “delayed
ischemic neurological deficits” (Kuramatsu dan Hutter, 2014).
13
2014).
b. Kerusakan endotel
Nitric oxide dan Endothelin -1 Autooksidasi oxyhemoglobin dari PSA membentuk
methemoglobin (by product) dan radikal anion superoxide yang akan menjadi lipid
peroxidation. Radikal hydroxyl dan lipid peroxide yang berbahaya ini akan melewati dinding
vaskular dan merusakan sel endotel dan otot polos (Archavlis et al, 2013). Kerusakan endotel
diduga sebagai kunci terjadinya vasospasme, melalui hilangnya sintesis nitric acid (NO)
yang merupakan vasodilator atau melalui overproduksi endothelin yang merupakan
vasokonstriktor kuat (Suhardja, 2004).
14
4. Delayed Cerebral Infraction (DCI)
Salah satu komplikasi yang paling ditakuti adalah DCI yang terjadi pada 30% pasien initial
hemoragik dan sebagian besar terjadi antara hari 4 dan 10. Gambaran klinis DCI terdiri dari
tanda-tanda neurologis fokal, seperti aphasia dan hemiparesis, atau penurunan tingkat
kesadaran secara bertahap dan berfluktuasi. Tanda-tanda DCI kadang kala reversibel namun
dapat berkembang menjadi infark serebral yang dapat menyebabkan kecacatan berat atau
mengakibatkan kematian (Harsono, 2009).
2.2.9 Terapi
Terapi medik stroke merupakan intervensi medik dengan tujuan mencegah
meluasnya proses sekunder dengan penyelamatan neuron-neuron di daerah penumbra serta
merestorasikan fungsi neurologis yang hilang (Perdossi, 2009). Pengobatan stroke SAH
adalah untuk mencegah terjadi komplikasi akibat pendarahan secara terus-menerus pada
ruang subarakhnoid. Manajemen umum yang pertama dalam pengobatan SAH adalah
identifikasi sumber pendarahan dengan kemungkinan bisa diintervensi dengan pembedahan
atau tindakan intravaskuler lain. Manajemen yang kedua adalah mengatasi komplikasi yang
terjadi dari SAH (Setyopranoto, 2012).
Sebelum pengobatan awal SAH dimulai, kondisi pasien harus dipastikan stabil, jalan
napas harus dijamin aman dan pemantauan invasif terhadap central venous pressure dan/atau
pulmonary artery pressure dan juga terhadap tekanan darah arteri harus terus dilakukan. Jika
pasien memiliki aspirasi, edema paru neurogenic, GCS rendah perlu intubasi dan ventilasi
mekanis disisipkan dirawat di Intensive Care Unit (ICU) untuk pemantauan kondisi
hemodinamik (Kuramatsu dan Hutter, 2014).
A. Tatalaksana umum PSA menurut Guidelines Perdossi, 2011
1. Tatalaksana pasien PSA derajat I atau II berdasarkan Hunt & Hess (H&H)
adalah sebagai berikut :
a. Identifikasi dan atasi nyeri kepala sedini mungkin
b. Tirah baring total dengan posisi kepala ditinggikan 30° dan nyaman, bila
perlu berikan oksigen 2-3 L/menit
c. Hati-hati dalam pemakaian sedatif (kesulitan dalam penilaian tingkat kesadaran).
d. Pasang infus diruang gawat darurat, usahakan euvolemia dan monitor
15
ketat system kardiopulmoner dan kelainan neurologi yang timbul.
2. Pasien PSA derajat III, IV atau V berdasarkan H&H, perawatan harus
lebih intensif
a. Lakukan penatalaksanaan ABC sesuai dengan protokol pasien diruang
gawat darurat
b. Perawatan sebaiknya dilakukan diruang intensif atau semiintensif
c. Untuk mencegah aspirasi dan menjamin jalan napas yang adekuat
perlu dipertimbangkan intubasi endotrakheal dengan hati-hati
terutama apabila didapatkan tanda-tanda tekanan tinggi intrakranial
d. Hindari pemakaian obat-obatan sedatif yang berlebihan karena akan
menyulitkan penilaian status neurologi
Manajemen seterusnya adalah mengatasi komplikasi dari PSA yaitu pencegahan
perdarahan ulang, pencegahan dan pengendalian vasospasme, serta manajemen komplikasi
medis dan neurologis lainnya.
B. Pencegahan perdarahan ulang
Operasi clipping atau endovascular coiling sangat direkomendasikan untuk
mengurangi perdarahan ulang setelah ruptur aneurisma pada PSA. Aneurisma dapat diterapi
dengan operasi pembedahan saraf berupa penutupan leher aneurisma dengan metal clip.
Dengan demikian, aneurisma terekslusi dari sirkulasi secara permanen, sehingga tidak dapat
berdarah lagi. Bentuk terapi ini adalah terapi definitif, tetapi kerugian aadalah terapi ini
memerlukan operasi kepala terbuka (kraniotomi) dan manipulasi pembedahan saraf di sekitar
dasar otak yang dapat menimbulkan komplikasi lebih lanjut. Pembedahan sebaiknya
dilakukan dalam 72 jam pertama setelah perdarahan subarakhnoid, yaitu sebelum periode
dengan resiko terbesar terjadinya vasospasme. Pembedahan dini diketahui memperbaiki
prognosis pasien dengan PSA grade 1, 2, atau 3 pada Hunt dan Hess. Tindakan ini merupakan
bentuk terapi terpenting untuk mencegah perdarahan ulang (Kuramatsu dan Hutter, 2014).
Selain itu, bentuk terapi yang lebih tidak invasif adalah mengisi aneurisma dengan
metal coils (“coiling”, suatu prosedur yang menjadi bidang neuroradiologi intervensional).
Coil dihantarkan dari ujung kateter angiografik khusus, yang dimasukkan secara
transfemoral dan didorong hingga mencapai aneurisma. Coiling menghindari perlunya
16
kraniotomi,tetapi mungkin tidak sereliabel obliterasi aneurisma secara permanen. Tindakan
endovacular coiling lebih bermanfaat (Perdossi, 2011).
Gambar 2.7 Terapi bedah yang meliputi operasi clipping dan endovascular coiling
(Lemonick, 2012).
C. Pencegahan dan pengendalian vasospasme
Pengobatan vasospasme serebral dimulai dengan penanganan aneurisma yang ruptur,
dengan mempertahankan volume darah sirkulasi yang normal (euvolemia) dan menghindari
terjadinya hipovolemia. Terutama pada pasien PSA dengan tanda-tanda vasospasme, terapi
hiperdinamik yang dikenal dengan triple H (Hypervolemic-Hypertensive-Hemodilution)
perlu dipertimbangkan dengan tujuan mempertahankan Cerebral Perfusion Pressure (CPP).
Kombinasi ini dimaksudkan untuk meningkatkan cardiac output, CPP, dan hemorheology
transport oksigen. Pemberian cairan dapat meningkatkan volume, mengurangi viskositas
sehingga peningkatkan oksigen yang sampai ke jaringan, namun hematokrit harus di atas 30
dan konsentrasi Hb harus dipertahankan di atas 9 gr/dl. Pemberian cairan intravaskular lebih
lanjut menjadi tidak berguna bila CVP telah mencapai 8 – 10 mmhg atau tekanan kapiler
pulmonal antara 14 – 16 mmHg. Dengan demikian, angka kejadian iskemik serebral akibat
vasospasme dapat dikurangi hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya perdarahan ulang
pada pasien yang tidak dilakukan embolisasi atau clipping. Pada pasien yang gagal dengan
terapi konvensional, angioplasti transluminal dianjurkan untuk pengobatan vasospasme
(Keyrouz, 2007).
D. Cara lain untuk penatalaksanaan vasospasme mengikut Perdossi 2011
1. Pencegahan vasospasme
a. Nimodipin 60 mg peroral 4 kali sehari
b. NaCl 3% intravena 50 ml 3 kali sehari (hati-hati terhadap timbulnya
17
komplikasi berupa Central Pontine Myelinolisis (CPM)
c. Jaga keseimbangan elektrolit
2. Delayed vasospasme
a. Hentikan nimodipin, antihipertensi dan diuretika
b. Berikan 5% albumin 250 ml intravena
c. Bila memungkinkan lakukan pemasangan Swangans dan usahakan
wedge pressure 12-14 mmHg
d. Jaga cardiac index sekitar 4 L/min/sg.meter
e. Berikan dobutamin 2-15 ug/kg/min Nimodipin
18
KESIMPULAN
19
DAFTAR PUSTAKA
Archavlis, Eleftherios., Nievas, Mario Carvi Y., 2013. Cerebral Vasospasm : A Review of
Current Developments in Drug Therapy and Research, Journal of Pharmaceutical
Technology and Drug Research, Vol.12, p.2-18.
Baehr MM, Frotscher. 2010. Diagnosis Topik Neurologi Duus. Jakarta: EGC
Becske T. 2014. Subarachnoid Hemorrhage Treatment & Management. New York:
Medscape Reference Drugs, Disease & Procedures.
Dalbjerg, Sara Maria., Larsen, Carl Christian., Romner, Bertil., 2013. Risk Factors and Short-
Term Outcome in Patients with Angiographically negative Subarachnoid
Hemorrhage, Clinical Neurology and Neurosurgery, Vol. 115, p. 1304-1307.
Gijn, J. Van., Rinkel, G. J. E., 2001. Subarachnoid Haemorrhage: Diagnosis, Cause
Management. Department of Neurology, Vol.124, p. 249-278.
Hamid, Rana Shoaib., Haq, Tanveer-ul., Chishti, Ishtiaq., Azeemuddin, Muhammad., Sajjad,
Zafar., Salam, Basit., 2010. Treatment of Intracranial Aneurysms using Detachable
Coils: Initial Results at a University Hospital in Pakistan, Journal Pakistan Medical
Association, Vol. 60, No. 8, p. 638-641.
Harsono, 2009. The Characteristics of Subarachnoid Hemorrhage, Majades Kedokteran
Indonesia, Vol. 59, No. 1, p. 20-26.
Ingall T, Asplund K, Mahonen M, Bonita R. 2000. A Multinational Comparison of
Subarachnoid Hemorrhage Epidemiology in the WHO MONICA Stroke Study.
Stroke. 31:1054-61.
Keyrouz, Salah G., Diringer, Michael N., 2007. Clinical Review: Prevention and Therapy of
Vasospasm in Subarachnoid Hemorrhage, Neurology Intensive Care Unit
Department of Neurology, Vol. 11, No. 4, p.220-230.
Kuramatsu, Joji B., Huttner, Hagen B., 2014. Medical Interventions for Subarachnoid
Hemorrhage. In: Critical Care of The Stroke Patient, 1st Ed. United Kingdom :
Cambridge University Press. p.423-435.
Lemonick D.M., 2010. Subarachnoid Hemorrhage: State of the Artery. AJCM. 7(2):62-73
Manno EM. 2004. Subarachnoid Hemorrhage. Neurol Clin N Am. 22:347-66.
Mumenthaler M, Heinrich M. 2004. Neurology. USA: Thieme.
PERDOSSI. 2009. Buku Modul Induk Neurovascular. Jakarta: Kolegium Neurologi
Indonesia
PERDOSSI. 2011. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta: Gajah Mada University Pres.
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 2009.Guideline Stroke.perhimpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI).
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 2011.Guideline Stroke.perhimpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI).
Rasmussen PA, Mayberg MR. 2004. Defining the Natural History of Unruptured Aneurysms.
Stroke. 35:232-3.
Setyopranoto I. 2012. Penatalaksanaan Perdarahan Subarakhnoid. In Continuing Medical
Educatio. 39 (22): 807-8011.
Singh V. 2012. Contemporary Management of Subarachnoid Hemorrhage. AAN Annual
Meeting. New Orleans.
20
Suarez JI, Tarr RW, Selman WR. 2006. Aneurysmal Subarachnoid Hemorrhage. N Engl J
Med. 354:387-96.
Suhardja, Agustinus., 2004. Mechanisms of Disease: Roles of Nitric Acid and Endothelin-1
in Delayed Cerebral Vasospasm Produced by Aneurysmal Subarachnoid
Hemorrhage, Nature Clinical Practice Cardiovascular Medicine, Vol. 1, No.2, p.
110-116.
Vergouwen, Mervyn D I., Vermeulen, Marinus., Gijn, Jan Van., Rinkel, Gabriel J. E.,
Wijdicks, Eelco F., Muizelaar, J. Paul., Mendelow, A. David., Juvela, Seppoo.,
Yonas, Howard., Terbrugge, Karel G., Macdonald, R.Loch., Diringer, Michael N.,
Broderick, Joseph P., Dreier, Jens P., Roos, Yvo B. W. E. M., 2010. Definition of
Delayed Cerebral Ischemia After Aneurysmal Subarachnoid Hemorrhage as an
Outcome Event in Clinical Trials and Observational Studies Proposal of a
Multidisciplinary Research Group of American Heart Association/American Stroke
Association, Stroke. Vol 41: 2391–2395.
Warlow CP, Dennis MS, Gijn VJ, Hankey GJ, Sandercock PA, Bamford JM. 2007. Stroke,
In : a Practical Guide to Management. 1st ed. London: Blackwell Science
Wijdicks, Eelco F. M., Kallmes, David F., Manno, Edward M., Fulgham, Jimmy R., Piepgras,
David G.,2005.Subarachnoid Hemorrhage : Neurointensive Care and Aneurysm
Repair, Mayo Clinic Proceedings, Vol. 80, No. 4, p. 550-559.
Zuccarello, Mario., Ringer, Andrew., 2013. Subarachnoid Hemorrhage and Vasospasm.
Mayfield Clinic and Spine Institute. Diakses pada 20 Januari 2016.
21