Anda di halaman 1dari 36

Referat

SPINE DEGENERATIVE

Oleh:

Ade Mulki Yahdi 1840312681


Dini Reswari 1840312682
Yuwita Afdila 1840312663
Tanisa Pradani Resna 1740312437

Presptor :

Dr. Sylvia Rahman, Sp.Rad (K)

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN RADIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2019
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit degeneratif tulang belakang adalah salah satu penyebab
kecacatan yang signifikan di dunia. Penyakit degeneratif tulang belakang
memiliki spektrum yang luas termasuk tentang struktur tulang dan diskus
intervertebralis, walaupun demikian kebanyakan aspek berkaitan erat dengan
faktor patogen utama yaitu overload yang bersifat kronis. Selama hidup, tulang
belakang mengalami perubahan terus-menerus sebagai respons terhadap beban
aksial fisiologis. Tingkat ringan dari perubahan degeneratif bersifat parafisiologis
dan baru dianggap patologis hanya jika kelainan telah menimbulkan gejala.1
Pada tahun 2018, dilaporkan bahwa 266 juta orang (3,63%) di seluruh
dunia memiliki DSD (Degenerative spine disorder) dan LBP (Low Back Pain)
setiap tahunnya; dengan estimasi insiden tertinggi dan terendah ditemukan di
Eropa (5,7%) dan Afrika (2,4%) masing-masingnya. Berdasarkan ukuran
populasi, negara berpenghasilan rendah dan menengah memiliki kasus 4 kali lebih
banyak daripada negara berpendapatan tinggi. Tiga puluh sembilan juta orang
(0,53%) di seluruh dunia ditemukan memiliki spondilolistesis, 403 juta (5,5%)
individu di seluruh dunia dengan degenerative disc symptomatic, dan 103 juta
(1,41%) individu di seluruh dunia dengan stenosis tulang belakang setiap
tahunnya.2
Global Burdern of Disease Study tahun 2013 juga melaporkan bahwa nyeri
punggung bagian bawah (LBP) adalah penyebab teratas individu hidup dengan
disabilitas selama bertahun-tahun (YLD) pada tahun 1990 dan 2013, dengan
peningkatan sebesar 56,75%. Nyeri leher menjadi penyebab utama keempat
dengan peningkatan sebesar 54% dari tahun 1990 hingga tahun 2013 dan nyeri
punggung merupakan penyebab utama di 45 negara maju dan 94 negara
berkembang.3
Gangguan degeneratif tulang belakang pada tingkat ringan tidak
menimbulkan gejala, tetapi berbagai gejala klinis yang timbul adalah nyeri
punggung bawah (LBP), nyeri ekstremitas bawah dan kelemahan dari berbagai
tingkat keparahan. Penyakit degeneratif tulang belakang (DSD) dapat
menyebabkan penurunan kualitas hidup. Pencitraan tingkat lanjut (MRI dan CT)

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


2
semakin banyak digunakan dalam evaluasi pasien dengan keluhan nyeri punggung
bagian bawah. Pemeriksaan pencitraan memungkinkan evaluasi lengkap dari
faktor statis dan dinamis terkait dengan penyakit degeneratif tulang belakang dan
berguna dalam mendiagnosis berbagai aspek degenerasi tulang belakang. Studi
sebelumnya juga telah menunjukkan bahwa temuan pencitraan degenerasi tulang
belakang terkait dengan sakit punggung juga hadir pada sebagian besar individu
tanpa gejala. Oleh karena itu penting untuk mengetahui bagaimana gambaran
pencitraan pada proses degenerasi tulang belakang dan gangguan yang dapat
disebabkan oleh degenerasi tulang belakang tersebut.1,4

1.2 Batasan Masalah


Referat ini membahas tentang epidemiologi, proses degeneratif spinal dan
penyakit-penyakit yang muncul saat proses degeneratif spinal termasuk definisi,
manifestasi klinis, diagnosis, pemeriksaan radiologi, dan tatalaksana.

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan dari referat ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui epidemiologi, proses degeneratif spinal dan penyakit-penyakit
yang muncul saat proses degeneratif spinal termasuk definisi, manifestasi
klinis, diagnosis, pemeriksaan radiologi, dan tatalaksana.
2. Mengetahui gambaran radiologis dari proses degeneratif spinal dan
penyakit didalamnya secara khusus.

1.4 Manfaat Penulisan


Manfaat penulisan dari referat ini adalah sebagai berikut :
1. Menambah pengetahuan penulis dan pembaca mengenai epidemiologi,
proses degeneratif spinal dan penyakit-penyakit yang muncul saat proses
degeneratif spinal termasuk definisi, manifestasi klinis, diagnosis,
pemeriksaan radiologi, dan tatalaksana.
3. Menambah pengetahuan penulis dan pembaca mengenai gambaran
radiologis dari proses degeneratif spinal dan penyakit didalamnya.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Epidemiologi
Gangguan servikal dan lumbal merupakan masalah medis yang paling
umum di seluruh dunia. Pada tahun 2013, Global Burdern of Disease Study
melaporkan bahwa nyeri punggung bagian bawah adalah penyebab teratas

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


4
individu hidup dengan disabilitas selama bertahun-tahun (YLD) pada tahun 1990
dan 2013, dengan peningkatan sebasar 56,75% dari tahun 1990 hingga tahun
2013. Nyeri leher adalah penyebab utama keempat, dengan peningkatan sebesar
54% dari tahun 1990 hingga tahun 2013. Nyeri punggung adalah penyebab utama
di 45 negara maju dan 94 negara berkembang. Penuaan mungkin menjadi
penyebab utama dari peningkatan tersebut, dan pengobatan saat ini belum
menunjukkan pengurangan dari angka hidup dengan disabilitas (YLD) karena
gangguan tulang belakang, menjadikannya salah satu penyebab yang terbesar
dalam pengeluaran perawatan kesehatan di seluruh dunia.3
Penelitian yang dilakukan Ravindra et al. tahun 2018 melaporkan bahwa
266 juta orang (3,63%) di seluruh dunia memiliki DSD (Degenerative spine
disorder) dan LBP(Low Back Pain) setiap tahunnya; dengan estimasi insiden
tertinggi dan terendah ditemukan di Eropa (5,7%) dan Afrika (2,4%) masing-
masingnya. Berdasarkan ukuran populasi, negara berpenghasilan rendah dan
menengah memiliki kasus 4 kali lebih banyak daripada negara berpendapatan
tinggi. Tiga puluh sembilan juta orang (0,53%) di seluruh dunia ditemukan
memiliki spondilolistesis, 403 juta (5,5%) individu di seluruh dunia dengan
degenerative disc symptomatic, dan 103 juta (1,41%) individu di seluruh dunia
dengan stenosis tulang belakang setiap tahunnya. Sebuah upaya global untuk
mengatasi ganggguan degeneratif tulang belakang di daerah dengan permintaan
tinggi penting dilakukan untuk mengurangi untuk mengurangi angka kecacatan.2

2.2 Anatomi Tulang Belakang


Kolumna vertebralis (Gambar 2.1 dan 2.2) disusun oleh 33 vertebra, 7
vertebra servikalis (C), 12 vertebra torakalis (T), 5 vertebra lumbalis (L), 5
vertebra sakralis (S), dan 4 vertebra koksigeus (pada umumnya 3 vertebra
koksigeus di bawah bersatu). Struktur kolumna vertebralis ini fleksibel karena
bersegmen dan disusun oleh tulang vertebra, sendi-sendi, dan bantalan
fibrokartilago yang disebut diskus intervertebralis.5

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


5
Gambar 2.1 Rangka dilihat dari posterior, memperlihatkan kolumna
vertebralis

2.2.1 Karakteristik Umum Vertebra

Vertebra terdiri dari korpus berbentuk bulat di anterior dan arkus vertebra
di posterior. Kedua struktur ini mengelilingi ruangan yang disebut foramen
vertebralis dan dilalui oleh medula spinalis. Arkus vertebra terdiri atas sepasang
pedikuli yang berbentuk silinder, yang membentuk sisi arkus, serta sepasang
lamina pipih yang melengkapi arkus vertebra di posterior.5
Terdapat tujuh prosesus yang berasal dari arkus vertebra: satu prosesus
spinosus, 2 prosesus transversus, dan 4 prosesus artikularis (Gambar 2.2).
Prosesus spinosus atau spina, mengarah ke posterior dari pertemuan kedua
lamina. Prosesus transversus mengarah ke lateral dari pertemuan lamina dan
pedikulus. Prosesus spinosus dan prosesus transversus berperan sebagai
pengungkit dan tempat melekatnya otot dan ligame.5
Prosesus artikularis terletak vertikal dan terdiri atas 2 prosesus
artikularis superior dan 2 prosesus artikularis inferior. Kedua prosesus
artikularis superior dari satu arkus vertebra bersendi dengan kedua prosesus
artikularis inferior dari arkus vertebra yang terletak di atasnya, membentuk
dua sendi sinovial.5
Pedikuli mempunyai lekukan di pinggir atas dan bawah, membentuk
insisura vertebralis superior dan inferior. Pada setiap sisi, insisura vertebralis
superior dari sebuah vertebra bersama dengan insisura vertebralis inferior
vertebra di dekatnya membentuk foramen intervertebralis. Pada rangka yang
bersendi, foramen-foramen ini menjadi tempat lewatnya nervus spinalis dan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


6
pembuluh darah. Radiks anterior dan radiks posterior nervus spinalis
bergabung menjadi satu di dalam foramina dan membentuk nervus spinalis
segmentalis.5

Gambar 2.2 A: Kolumna vertebralis tampak lateral. B: Ciri-ciri umum berbagai vertebra

2.2.2. Sendi-Sendi Kolumna Vertebralis

Vertebra saling bersendi melalui sendi kartilaginosa di antara


korporanya dan sendi sinovial di antara prosesus artikulasinya. Sisipan di
antara korpora vertebra adalah fibrokartilago diskus intervertebralis
(Gambar 2.3).

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


7
Diskus intervertebralis (Gambar 2.3) paling tebal di daerah servikal
dan lumbal sehingga memungkinakan gerakan kolumna vertebralis yang
paling besar. Diskus ini berperan sebagai penahan (shock absorber)
goncangan apabila beban kolumna vertebralis tiba-tiba meningkat. Akan
tetapi, gaya pegasnya menurun dengan bertambahnya usia.5
Masing-masing diskus terdiri atas anulus fibrosus di bagian luar dan
nukleus pulposus di bagian sentral (Gambar 2.3). Anulus fibrosus terdiri atas
fibrokartilago, yang melekat erat pada korpora vertebra dan ligamentum
longitudinal anterior dan posterior kolumna vertebralis.5
Nukleus pulposus merupakan massa gelatinosa yang berbentuk
lonjong pada orang muda. Biasanya di bawah tekanan dan terletak sedikit ke
posterior dari pinggir anterior diskus. Fasies anterior dan posterior korpora
vertebra yang terletak di dekatnya dan berbatasan dengan diskus diliputi
oleh lapisan tipis kartilago hialin.5
Sifat nukleus pulposus yang semi cairan memungkinkan perubahan
bentuk dan pergeseran vertebra ke depan atau ke belakang antara satu dan
yang lain. Peningkatan beban kolumna vertebralis yang tiba-tiba
menyebabkan nukleus pulposus menjadi pipih. Keadaan ini dimungkinkan
oleh sifat pegas dari anulus fibrosus yang terdapat di sekelilingnya. Apabila
dorongan dari luar terlalu besar untuk anulus fibrosus, anulus dapat robek.
Akibatnya herniasi nukleus pulposus terjadi, penonjolan keluar nukleus ke
dalam kanalis vertebralis, dimana nukleus ini dapat menekan radiks nervus
spinalis, nervus spinalis atau bahkan medula spinalis.5
Dengan bertambahnya usia, nukleus pulposus mengecil dan diganti
oleh fibrokartilago. Serabut-serabut kolagen anulus berdegenerasi, dan
menyebabkan anulus tidak selalu berisi nukleus pulposus di bawah tekanan.
Pada usia lanjut, diskus menjadi tipis, kurang elastis, dan tidak dapat lagi
dibedakan antara nukleus dan anulus.5

2.1.3. Ligamentum Vertebra


Ligamentum longitudinal anterior dan posterior berjalan turun
sebagai pita utuh di fasies anterior dan posterior kolumna vertebralis dari

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


8
tengkorak sampai ke sakrum (Gambar 2.3). Ligamentum longitudinal
anterior lebar dan kuat, melekat pada permukaan dan sisi-sisi korpora
vertebra dan diskus intervertebralis. Ligamentum longitudinal posterior
lemah dan sempit serta melekat pada pinggir posterior diskus.
Sedangkan ligamentum diantara dua vertebra terdiri atas:
1. Ligamentum supraspinosium (Gambar 2.3): ligamentum ini berjalan
di antara ujung-ujung spina berdekatan.
2. Ligamentum interspinosum (Gambar 2.3): ligamentum ini
menghubungkan spina yang berdekatan.
3. Ligamentum intertransversum: ligamentum ini berjalan di antara
prosesus transversus yang berdekatan.
4. Ligamentum flavum (Gambar 2.3): ligamentum ini menghubungkan
lamina vertebra yang berdekatan.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


9
Gambar 2.3. A: Sendi-sendi di regio servikalis, torakalis, dan
lumbalis kolumna vertebralis. B: Vertebra lumbalis III dilihat dari atas,
memperlihatkan hubungan di antara diskus intervertebralis dan kauda
ekuina.

2.2.4. Persarafan Sendi-Sendi Vertebra


Sendi-sendi di antara korpora vertebra dipersarafi oleh ramus meningei
kecil setiap nervus spinalis (Gambar 2.4). Sendi-sendi di antara prosesus
artikularis dipersarafi oleh cabang-cabang dari ramus posterior nervus spinalis.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


10
Gambar 2.4 Persarafan sendi-sendi vertebra. Pada tingkat vertebra
tertentu, sendi menerima serabut saraf dari dua nervus spinalis yang
berdekatan .

2.3 Radioanatomi Tulang Belakang 6


2.3.1 Servikal

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


11
Arcus ant. atlas

Arcus post.atlas

Proc. spinosus
Foramen
intervertebralis
Proc.tranversusus

Diskus Fasies articularis sup.


intervertebralis

Fasies articularis inf.

Hal-hal yang dinilai dalam foto servikal yaitu : (1) Alignment : kesegarisan,
dinilai pada posterior corpus vertebra. (2) Tulang sevikal: densitas tulang untuk
menilai apakah ada osteofit, osteoporosis, lesi litik, lesi blastik dan fraktur.
(3)Diskus intervertebralis apakah ada penyempitan. (4) Foramen intervertebralis
apakah ada penyempitan. (5) Ligamentum nuchae, untuk mengetahui apakah ada
kalsifikasi.

2.3.2. Torakal

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


12
2.3.3 Lumbosakral

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


13
pedikel

Psoas line
Proc.spinosus

Facies articularis

Proc. tranversus

Art. sacroiliaka

sacrum

Yang dinilai dalam foto lumbo sakral adalah:


(1) Alignment : kesegarisan : ditarik garis lurus di posterior pada foto lateral.
Untuk menilai apakah ada pergeseran/listhesis.
(2) Derajat listhesis :
Derajat 1 : < ¼ korpus
Derajat 2 : ¼ - ½ korpus
Derajat 3 : ½ - ¾ korpus
Derajat 4 : > 1 korpus

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


14
(3) Bone : nilai densitas dari tulang. Kemudian apakah ada lesi litik maupun
lesi blastik, osteoporosis dan osteofit . Nyatakan dimana lokasinya.
(4) Pedikel intake atau tidak.
(5) Diskus intervertebralis untuk mengetah terdapat penyempitan atau
pelebaran. Menyempit pada spondilitis dan melebar pada fraktur kompresi.
(6) Menilai jaringan lunak para vertebralis apakah ada soft tissue swelling.

2.4 Proses Degeneratif Tulang Belakang


Proses degeneratif pada tulang belakang merupakan kondisi medis yang
ditandai dengan hilangnya struktur normal atau menurunnya fungsi tulang
belakang secara bertahap. Secara biokimiawi, proses degenerasi pada kartilago
sendi diawali karena hilangnya proteoglikan, yaitu komponen dasar dari matrik
kartilago. Kemunduran matrik inilah yang menyebabkan serat-serat kolagen
kehilangan daya suportnya sehingga kartilago mengalami fibrilasi (pemendekan).7
Penyebab utama penyakit degeneratif tulang belakang adalah usia, dengan
bertambahnya usia maka bantalan sendi tulang belakang semakin kehilangan
cairan, menjadikan fungsinya sebagai peredam kejut berkurang sehingga
meningkatkan cidera tulang belakang. Bantalan sendi tulang belakang terdiri dari
2 bagian utama yaitu; annulus fibrosus yang merupakan bagian luar yang keras
dan nucleus pulposus bagian dalam bantalan sendi seperti jelly dikenal juga
sebagai mucoprotein gel dengan komposisi utama berupa air, kolagen dan
proteoglikan. Stress pada bantalan sendi, yang terjadi bertahun-tahun dapat
menyebabkan robekan kecil pada bagian annulus yang dipersarafi sehingga
memungkinkan terjadinya rasa sakit. Terjadinya degeneratif bantalan sendi
mengakibatkan kurang elastis, yang memungkinkan robekan menjadi semakin
besar dan inti bantalan keluar.7
Faktor lain yang berperan pada terjadinya proses degenerasi tulang
belakang, seperti trauma, kurangnya asupan nutrisi, faktor genetik, pekerjaan,
serta faktor mekanik termasuk kebiasaan mengangkat benda berat.
Degeneratif juga akan menimbulkan terjadinya Osteofit atau pertumbuhan
taji tulang di sekitar sendi facet (facet joint syndrome) dan ruas-ruas tulang
belakang, penebalan ligemen dan rongga tulang belakang yang kemudian
menekan saraf. Hingga hilangnya kepadatan tulang belakang menyebabkan tulang
mudah patah. 7,8

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


15
Berkurang atau hilangnya kalsium pada tulang belakang menyebabkan
melemahnya struktur atau kepadatan tulang sehingga meningkatkan risiko fraktur.
Fraktur tulang belakang, juga disebut fraktur kompresi dapat menyebabkan nyeri
pinggang yang menjadikan penderitanya kesulitan berdiri, jalan, duduk atau
mengangkat suatu benda. 7
Adanya peradangan sendi selanjutnya memicu sinyal rasa sakit pada
cabang saraf sensorik kapsul sendi facet. Nyeri yang berasal dari satu atau lebih
sendi facet inilah yang kemudian secara medis disebut facet joint syndrome
dikenal juga sebagai facet arthropathy. Tulang Belakang manusia tersusun dari
beberapa ruas tulang yang disebut vertebra dan terhubung satu sama lain. Masing-
masing vertebra terhubung dengan 3 sendi yaitu satu sendi besar tulang belakang
dan dua sendi facet di bagian belakang. Proses degeneratif tulang belakang
menyebabkan penyebaran berat badan tidak merata ke sendi facet. Beban ini
mengakibatkan keausan pada sendi, rusaknya kapsul sendi hingga munculnya taji
tulang. Perubahan ini menyulitkan seseorang bergerak secara bebas, terjadi
peradangan dan iritasi, otot di sekitar sendi facet menjadi kaku hingga sulit
digerakkan.9
2.4 Penyakit degeneratif tulang belakang

2.4.1 Spondilosis

2.4.1.1 Definisi
Spondilosis adalah penyakit degeneratif tulang belakang yang disebabkan
oleh proses degenerasi yang progresif pada diskus intervertebralis. Proses
degeneratif tersebut mengakibatkan menyempitnya jarak antar vertebra,
mengakibatkan terjadinya osteofit, penyempitan kanalis spinalis dan foramen
intervertebralis dan iritasi pada persendian posterior. 5 Rasa nyeri pada spondilosis
ini dapat disebabkan oleh terjadinya osteoartritis dan tertekan radiks oleh kantong
durameter yang mengakibatkan iskemik dan radang.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


16
Gambar 2.5 Low Back Pain akibat Spondilosis

Spondilosis lumbal merupakan penyakit degeneratif pada corpus vertebra


atau diskus intervertebralis. Kondisi ini lebih banyak menyerang pada wanita.
Faktor utama yang bertanggung jawab terhadap perkembangan spondilosis lumbal
adalah usia, obesitas, duduk dalam waktu yang lama dan kebiasaan postur yang
jelek. Pada faktor usia menunjukkan bahwa kondisi ini banyak dialami oleh orang
yang berusia 40 tahun keatas. Faktor obesitas juga berperan dalam menyebabkan
perkembangan spondilosis lumbar. Spondilosis lumbal seringkali merupakan hasil
dari osteoarthritis atau spur tulang yang terbentuk karena adanya proses penuaan
atau degenerasi. Proses degenerasi umumnya terjadi pada segmen L 4 – L5 dan L5 –
S1. Komponen-komponen vertebra yang seringkali mengalami spondilosis adalah
diskus intervertebralis, facet joint, corpus vertebra dan ligamen (terutama ligamen
flavum).6

2.4.1.2 Manifestasi klinis


Banyak orang dengan spondilosis pada sinar-X tidak memiliki gejala
apapun. Faktanya, spondilosis ada pada 27%-37% orang dapat tanpa gejala. Pada
sebagian besar riset, spondilosis menyebabkan nyeri punggung dan nyeri leher
akibat adanya kompresi saraf. Kompresi di servikal dapat menyebabkan nyeri di
leher, bahu dan sakit kepala. Kompresi saraf spinal dapat disebabkan oleh tonjolan
diskus dan tonjolan tulang pada sendi faset pasien spondilosis, menyebabkan
penyempitan pada foramen intervetebre tempat keluar dari kanalis spinalis yang
disebut dengan foraminal stenosis. Bahkan jika mereka tidak cukup besar untuk
secara langsung menekan saraf, diskus yang menggembung dapat menyebabkan
radang lokal dan menyebabkan saraf di tulang belakang menjadi lebih sensitif,

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


17
meningkatkan rasa sakit. Herniasi diskus juga menyebabkan terdorongnya
ligamen vetebre dan menyebabkan rasa sakit.

Gejala spondilosis meliputi nyeri lokal di daerah spondilosis, biasanya di


punggung atau leher. Spondilosis pada tulang belakang leher bisa menyebabkan
sakit kepala. Namun, masih kontroversi apakah spondilosis ringan, seperti
tonjolan tulang kecil dan diskus yang sedikit menonjol tidak menekan saraf yang
menyebabkan sakit punggung.7 Hal ini karena kebanyakan orang paruh baya dan
orang tua memiliki temuan abnormal pada pemeriksaan rontgen spondilosis,
bahkan saat mereka benar-benar bebas dari rasa sakit. Oleh karena itu, faktor lain
kemungkinan merupakan kontributor utama terhadap nyeri punggung mereka.

Spondilosis lumbal menggambarkan adanya osteofit yang timbul dari


vertebra lumbalis. Osteofit biasanya terlihat pada sisi anterior, superior, dan sisi
lateral vertebra. Pembentukan osteofit timbul karena terdapat tekanan pada
ligamen. Apabila hal ini mengenai saraf, maka akan terjadi kompresi pada saraf
tersebut, dan dari hal itu dapat menimbulkan rasa nyeri, baik lokal maupun
menjalar, parastesia atau mati rasa, dan kelemahan otot.7
Jika diskus hernia dari spondilosis menyebabkan saraf terjepit, rasa sakit
bisa masuk ke tungkai kaki. Misalnya, herniasi yang besar terjadi pada diskus di
tulang belakang lumbar dapat menyebabkan kompresi saraf dan menyebabkan
rasa sakit yang berasal dari punggung bawah dan kemudian menyebar ke kaki.
Nyeri yang menjalar dari pangkal ke ujung ini disebut radikulopati. Persarafan
skiatik yang membentang dari punggung bawah kaki sampai kaki, terpengaruh.
Radikulopati dan skiatika sering menyebabkan mati rasa dan kesemutan (sensasi
pin dan jarum) pada ekstremitas.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


18
Gambar 2.6 Nyeri Skiatika

Nyeri punggung karena osteofit yang menonjol biasanya akan lebih buruk
dengan berdiri lama, duduk, dan membungkuk maju dan seringkali lebih baik
dengan perubahan posisi yang sering dan berjalan. Terdapat perbedaan
manisfestasi nyeri punggung, seperti LBP akibat osteoarthritis sendi facet
biasanya lebih buruk dengan berjalan dan berdiri dan lega dengan lentur ke
depan.8
Apabila terjadi penekanan yang amat berat, kelemahan ekstremitas yang
terkena dapat terjadi. Jika hernia diskus mendorong sumsum tulang belakang, ini
bisa menyebabkan luka pada sumsum tulang belakang (mielopati). Spondilosis
dengan mielopati mengacu pada spondilosis yang melukai sumsum tulang
belakang. Spondilosis tanpa mielopati mengacu pada spondilosis tanpa cedera
pada sumsum tulang belakang. Gejala mielopati meliputi mati rasa, kesemutan,
dan kelemahan. Misalnya, hernia yang besar terjadi pada diskus di tulang
belakang servikal dapat menyebabkan mielopati servikal jika cukup besar untuk
mendorong sumsum tulang belakang dengan gejala mati rasa, kesemutan, dan
kelemahan di lengan dan kemungkinan kaki.

2.4.1.3 Gambaran radiologis


Diagnosis spondilosis dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan
radiologi seperti sinar-X film polos, MRI, atau CT scan. Sinar-X dapat
menunjukkan taji tulang (Osteofit) pada korpus vertebra di tulang belakang,

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


19
penebalan sendi facet (sendi yang menghubungkan tulang belakang satu sama
lain), dan penyempitan ruang diskus intervertebralis. Foto polos dapat menilai
adanya spondilosis namun tidak sepesifik apabila dibandingkan dengan MRI.

CT scan tulang belakang mampu memvisualisasikan tulang belakang


secara lebih rinci dan dapat mendiagnosis penyempitan saluran tulang belakang
(stenosis tulang belakang) saat ini. MRI mahal tapi menunjukkan detail terbesar di
tulang belakang dan digunakan untuk memvisualisasikan diskus intervertebralis,
termasuk tingkat herniasi diskus, jika ada. MRI juga digunakan untuk
memvisualisasikan vertebra, sendi facet, saraf, dan ligamen di tulang belakang
dan dapat dengan andal mendiagnosis saraf terjepit.9

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


20
Gambar 2.7 Gambaran spondilosis (kiri) pada foto polos
(kanan) pada MRI (A),(B),(C) menunjukan jenis spesifik osteofit.

Tabel 2.1. Perubahan degeneratif pada pemeriksaan MRI


Ciri Deskripsi
Perubahan tulang  Berkurangnya tinggi vertebrae
vertebrae Meningkatnya diamere anterior-
posterior Pembentukan osteofit
 Hourglass reshaping

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


21
Degenerasi diskus  Berkurangnya tinggi diskus
intervertebrae  Diskus bulging /menonjol
 Simetris
 Asimetris Herniasi
 Melewati annulus fibrosus tapi tidak
sampe PLL
 Melewati annulus fibrosus dan PLL
 Melewati annulus fibrosus, PLL dan
duramarer
 Sequestrasi

Perubahan PLL  Hipertropi


 Osifikasi

Perubahan  Hipertropi Osifikasi


Ligamentum Flacum  Kalsifikasi

Perubahan structural lain  Spondililistesis/subluksasi Stenosis


kanalis spinalis Autofusi vertebrae
 Kifosis

Patologis pada Medulla  Kompresi Spinal Cord


Spinalis  Penggepengan (perataan) Spinal cord
Tambatan Spinal Cord

Pemeriksaan Radiologi (MRI maupun X-ray) dapat menentukan grading


mernurut Kellgren, adapun kunci parameter grading ini berupa osteofit, tinggi
diskus intervertebralis dan sclerosis dari end plate vertebra, yaitu:10
 Grade 0 (normal) : Tidak ada perubahan degeneratif
 Grade 1 (minimal/awal) : Pembentukan osteofit minimal di anterior, tidak
ada pengurangan dari tinggi discus intervertebrae dan tidak ada
sklerosis pada end plate.
 Grade 2 (ringan) : Pembentukan osteofit anterior yang jelas, sedikit
pengurangan tinggi diskus intervertebralis (<25%) dan tampak sedikit
skleroris pada end plate.
 Grade 3 (sedang) : Pembentukan osteofit anterior yang jelas, penyempitan
sedang pada ruang diskus (25- 75%), sklerosis pada endplate dan sclerosis
pada osteofit terlihat jelas.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


22
 Grade 4 (berat) : Pembentukan osteofit yang besar dan multiple,
penyempitan yang berat pada ruang diskus (>75%), dan sklerosis pada
endplate yang ireguler.

2.4.1.4 Tatalaksana
Tidak ada pengobatan untuk membalikkan proses spondilosis, karena ini
adalah proses degeneratif. Perawatan untuk spondilosis menargetkan nyeri
punggung dan nyeri leher yang dapat menyebabkan spondilosis. Karena itu,
pengobatan spondilosis ini mirip dengan pengobatan nyeri punggung dan nyeri
leher. Pengobatan yang tersedia termasuk dalam beberapa kategori: obat-obatan,
perawatan diri, latihan dan terapi fisik, terapi tambahan alternatif (chiropractics
and akupunktur), prosedur invasif minimal seperti suntikan, dan pembedahan.

2.4.2 Spondilolistesis

2.4.2.1 Definisi
Spondilolistesis adalah subluksasi ke depan dari satu korpus vertebrata
terhadap korpus vertebrata lain dibawahnya. Hal ini terjadi karena adanya defek
antara sendi pacet superior dan inferior (pars interartikularis). Kebanyakan
penderita tidak menunjukkan gejala atau gejalanya hanya minimal, dan sebagian
besar kasus dengan tindakan konservatif memberikan hasil yang baik.
Spondilolistesis dapat terjadi pada semua lever vertebrata, tapi yang paling sering
terjadi pada vertebrata lumbal bagian bawah seperti (gambar 4.7) terlihat adanya
subluksasi ke anterior dan pada foto polos menunjukan adanya spondilolistesis
pada lumbal 5.11
Curvatura normal dan tulang belakang menjaga keseimbangan berat badan
dengan mempertahankan pusat gravitasi pada kaki. Bentuk abnormal dari
kurvatura tulang belakang berhubungan erat dengan spondilolistesis. Lindholm
dkk melaporkan bahwa 60% (dari 75 pasien dengan isthmic spondilolistesis) yang
mengalami peningkatan lordosis, memerlukan tindakan operasi.12

2.4.2.2 Manifestasi Klinis


Low back pain adalah gejala yang umum ditemukan pada spondilolistesis.
Dapat juga ditemukan sciatic pain dari bokong ke bagian posterior kaki. Hal ini

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


23
diikuti dengan terbatasnya gerakan kaki. Dari studi eksperimental didapatkan
bahwa gerakan fleksi, ekstensi tidak terlalu bermakna dalam menimbulkan
spondilolistesis. Diduga bahwa gerakan puntiran (torsinal) menjadi penyebab
rusaknya pars interartikularis sehingga terjadi spondilolistesis. Konsentrasi
tertinggi dari biomekanikal terdapat lumbal, terutama di pars interartikularis.

2.4.2.3 Gambaran Radiologis


Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan:
a. Foto polos

Gambar 2.8 Spondilosistesis L4-5.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


24
b. MRI

Gambar 2.9 Spondilolistesis Lumbal pada MRI

Ada dua metode klinis untuk mengukur derajat slip pada spondilolistesis
yakni metode Meyerding dan Taillard. Metode Meyerding: permukaan superior
sakrum dibagi empat bagian sepanjang diameter anterior posterior. Derajat slip
dihitung sesuai dengan pembagian tersebut.13

Gambar 2.10 Mengukur derajat slip dengan metode Meyerding

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


25
Metode Taillard: derajat slip dihitung dalam persentase, seberapa lebar
pergeserannya dalam diameter anterior posterior. Bila ada sklerosis dan kelainan
bentuk sakrum sehingga mengukur dengan cara diatas sulit, maka digunakan
modifikasi yakni dengan mengukur body L5.

Gambar 2.11 Mengukur derajat slip dengan metode Taillard.

Pengukuran derajat slip penting untuk menentukan tindakan pengobatan.


Pada anak dan dewasa muda ini juga penting untuk melihat progresivitas. Untuk
derajat slip lebih besar 50% penilaian sudut slip juga penting. Sudut ini dibentuk
oleh garis yang melalui permukaan superior dari dua vertebrata. Bila permukaan
superior sakrum tumpul garis dibentuk sepanjang bagian belakang vertebral body.
Cara lain dapat dengan mengukur sakral inklinasi, yakni sudut yang dibentuk

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


26
antara posterior sakral body cortex dari S1 dan garis vertikal. Semakin tinggi
derjat slip semakin besar kecendrungan slipnya dikemudian hari.14

2.4.2.4 Tatalaksana
Pengobatan untuk spondilolistesis umumnya konservatif. Pengobatan non
operatif diindikasikan untuk semua pasien tanpa defisit neurologis atau defisit
neurologis yang stabil. Hal ini dapat merupakan pengurangan berat badan,
stretching exercise, pemakaian brace, pemakain obat anti inflamasi. Hal terpenting
dalam manajemen pengobatan spondilolistesis adalah motivasi pasien.
Pasien dengan defisit neurologis atau pain yang mengganggu aktifitas,
yang gagal dengan non operatif manajemen diindikasikan untuk operasi. Bila
radiologis tidak stabil atau terjadi progresivitas slip dengan serial x-ray disarankan
untuk operasi stabilisasi. Jika progresivitas slip menjadi lebih 50% atau jika slip
50% pada waktu diagnosis, ini indikasi untuk fusi. Pada high grade
spondilolistesis walaupun tanpa gejala fusi harus dilakukan. Dekompresi tanpa
fusi adalah logis pada pasien dengan simptom oleh karena neural kompresi. Bila
manajemen operative dilakukan pada adolescent, dewasa muda maka fusi harus
dilakukan karena akan terjadi peningkatan slip yang bermakna bila dilakukan
operasi tanpa fusi. Jadi indikasi fusi antara lain: usia muda, progresivitas slip lebih
besar 25%, pekerja yang sangat aktif, pergeseran 3mm pada fleksi/ekstensi lateral
x-ray. Fusi tidak dilakukan bila multi level disease, motivasi rendah, aktivitas
rendah, osteoporosis, habitual tobacco abuse.15

2.4.3 Facet Joint Arthropathy

2.4.3.1 Definisi
Facet Joint Arthropathy merupakan penyakit degeneratif yang mengenai
sendi facet tulang belakang. Degenerasi yang terjadi diawali dengan degradasi
tulang rawan sendi kemudian menyebabkan erosi dan penyempitan celah sendi,
serta terjadinya sklerosis pada tulang subchondral.16

2.4.3.2 Manifestasi klinis


Manifestasi klinis dari penyakit ini adalah :
 Nyeri

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


27
Gejala nyeri yang dirasakan bisa lokal dan menjalar. Gejala lokal
dirasakan berupa back pain di area terjadinya kelainan sendi facet. Penjalaran
nyeri terjadi karena infiltrasi ataupun stimulasi elektrik terhadap serabut saraf
yang terkena. Kelainan yang mengenai sendi facet lumbal akan dirasakan sampai
ke ekstremitas bawah hingga dibawah lutut tanpa adanya defisit neurologis. Nyeri
bisa dirasakan hilang timbul, biasanya akan meningkat di pagi hari, saat istirahat,
aktivitas fisik berat, dan ekstensi lumbal atau gerakan rotasi pinggang. Nyeri bisa
juga dirasakan ke area abdomen dan pelvis. 17

Gambar 2.12 Penjalaran nyeri facet joint pain. a. penjalaran ke bagian anterior. b.
penjalaran kebagian tubuh posterior, frekuensi penjalaran tersering di area
berwarna biru tua.2

2.4.3.3 Gambaran radiologis


a. Pemeriksaan Konvensional
Penilaian radiologis awal untuk menilai keluhan nyeri pinggang bisa
dilakukan berupa rontgen thorakolumbal atau lumbosakral AP, lateral, dan obliq.
Rontgen oblig merupakan pemeriksaan terbaik untuk menilai sendi facet karena
posisi nya berada di obliq (Scottie dog).
Kelainan degeneratif yang dapat ditemukan berupa; penyempitan celah sendi,
sklerosis, hipertrofi tulang, dan osteofit. Bisa juga ditemukan adanya
intraarticular gas (vacum phenomenom) dan spondilolistesis.18

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


28
Gambar 2.13 Radiologi konvensional lumbal posisi, AP (A), lateral (B), obliq kiri
(C), dan obliq kanan (D).19
b. CT-Scan

Dibandingkan dengan radiografi standar, CT-Scan dapat menggambarkan


sendi facet lebih jelas. Pada CT-scan kita dapat melihat penyempitan ruang sendi
dengan sklerosis dan erosi subkondral, pertumbuhan berlebihan osseous dan / atau
hipertrofi dari ligamentum flavum. Tanda sekunder dapat ditemukan intraarticular
gas, efusi sendi, dan spondilolistesis. Penarikan terhadap sendi facet selama
subluksasi dapat menyebabkan terbentuknya gas di ruang intraartikular.18

Gambar 2.14 CT-Scan vertebrae lumbal. Potongan sagital (A) dan aksial (B)
menunjukkan adanya degenerasi sendi facet dengan anterolistesis L4, juga
ditemukan osteofit, hilangnya ruang antar sendi, dan sklerosis subkondral.19

c. MRI

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


29
Magnetic resonance imaging (MRI) adalah modalitas diagnostik noninvasif
dan nonionisasi yang menggambarkan jaringan lunak dengan sangat baik.
Kelebihan MRI dapat menggambarkan keterlibatan struktur jaringan saraf
disekitarnya. Proses degeneratif kronis dapat melibatkan peradangan sinovial dan
edema intrartikular yang dapat dideteksi dengan MRI. Adanya cairan berlebih dan
kista sinovial sendi facet sangat signifikan untuk sugestif spondilolistesis, tapi
tidak spesifik membuktikan asalnya dari sendi facet.20

Gambar 2.15 MRI vertebrae lumbal. Peradangan aktif sinovial dan edema intra
artikular; potongan aksial (a) dan sagital (b,c).18
2.4.3.4 Tatalaksana
Tatalaksana Facet Joint Arthropathy adalah :
1. Analgetik :
Terapi awal yang dapat diberikan berupa terapi anti nyeri seperti;
asetaminofen, NSAID, muscle relaxan.
2. Steroid
Pemberian terapi steroid untuk mengurangi inflamasi sehingga dapat
mencegah progresifitas degenerasi dan nyeri.

3. Bedah

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


30
Tindakan pembedahan yang dapat dilakukan berupa stabilisasi dekompresi
(laminectomy).21

2.4.4 Spinal Canal Stenosis

2.4.4.1 Definisi
Spinal kanal stenosis adalah suatu kondisi penyempitan kanalis spinalis
atau foramen intervertebralis disertai dengan penekanan akar saraf yang keluar
dari foramen tersebut. Struktur anatomi yang bertanggung jawab terhadap
penyempitan kanal meliputi struktur tulang dan jaringan lunak. Struktur tulang
meliputi: osteofit sendi facet (merupakan penyebab tersering), penebalan lamina,
osteofit pada corpus vertebra, subluksasi maupun dislokasi sendi facet
(spondilolistesis), hipertrofi atau defek spondilolisis, anomali sendi facet
kongenital. Struktur jaringan lunak meliputi: hipertrofi ligamentum flavum
(penyebab tersering), penonjolan annulus atau fragmen nukleus pulposus,
penebalan kapsul sendi facet dan sinovitis, dan ganglion yang bersal dari sendi
facet. Akibat kelainan struktur tulang jaringan lunak tersebut dapat mengakibatkan
beberapa kondisi yang mendasari terjadinya spinal canal stenosis.22,23

2.4.4.2 Manifestasi Klinis24


1. Nyeri punggung
Merupakan gejala yang timbul akibat penekanan terhadap struktur sekitar
kelainan.
2. Nyeri seperti terbakar pada bokong atau kaki (linu panggul)
Tekanan pada saraf tulang belakang dapat mengakibatkan rasa sakit di daerah
pasokan saraf. Rasa sakit dapat digambarkan sebagai nyeri atau rasa seperti
terbakar. Ini biasanya dimulai di daerah bokong dan memancarkan ke kaki. Rasa
sakit di kaki yang sering disebut "sciatica."
3. Mati rasa atau kesemutan pada bokong atau kaki
Saat tekanan pada saraf meningkat, mati rasa dan kesemutan sering disertai
nyeri terbakar. Meskipun tidak semua pasien akan mempunyai keluhan nyeri
terbakar dan mati rasa dan kesemutan pada kedua kakinya.
4. Kelemahan di kaki atau "foot drop"
Setelah tekanan pada saraf mencapai tingkat kritis, kelemahan dapat terjadi
pada satu atau kedua kaki. Beberapa pasien akan memiliki drop foot, atau
merasakan kaki mereka di tanah saat berjalan.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


31
5. Lebih sedikit nyeri dengan bersandar ke depan atau duduk
Studi dari lumbar tulang belakang menunjukkan bahwa bersandar ke depan
benar-benar dapat menambah ruang yang tersedia untuk saraf. Banyak pasien
merasa nyaman ketika membungkuk ke depan dan terutama dengan duduk. Nyeri
biasanya diperparah dengan berdiri tegak dan berjalan. Beberapa pasien
memperhatikan bahwa mereka bisa naik sepeda statis atau berjalan bersandar pada
keranjang belanja. Berjalan lebih dari 1 atau 2 blok, bagaimanapun, dapat
membuat pada linu panggul menjadi semakin parah atau terjadi kelemahan.
6. Abnormal fungsi usus / dan atau fungsi kandung kemih
7. Hilangnya fungsi seksual

2.4.4.3 Gambaran Radiologis


a. Radiologi Konvensional
Pemeriksaan radiologi konvensional dapat membantu menentukan
adanya tanda stenosis spinal berupa degenerasi tulang dan alignment corpus
vertebra posisi lateral dan coronal. Sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan
radiologi konvensional untuk penilaian stenosis spinal yakni 86 % dan 96 %.21
b. Magnetic resonance imaging (MRI)
Magnetic resonance imaging (MRI) merupakan metode pemeriksaan
noninvasif dan cocok untuk mengevaluasi stenosis spinal dalam keadaan istirahat.
Pemerikasaan MRI ini dapat membedakan jaringan lunak dan menilai status
diskus intervertebralis. Gambar potongan sagital bisa berguna untuk mendiagnosis
stenosis sentral berupa penyempitan kanalis intervertebral. Selain itu juga dengan
menilai foramen intervertebralis dan lemak sekitar disekitar radiks.21

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


32
Gambar 2.15 Gambaran stenosis spinal pada MRI dengan tidak adanya lemak sekitar
serabut saraf.27

c. CT-Scan
CT-Scan dapat digunakan untuk mengevaluasi kanalis spinalis dan
membedakan kompresi kanalis spinalis yang disebabkan oleh diskus, ligamen,
dan struktur tulang. Keterbatasan CT-Scan ini tidak dapat menggambarkan serabut
saraf dan medula spinalis karena memililki densitas yang sama dengan cairan
serebrospinal.21

2.4.4.4 Tatalaksana Spinal Canal Stenosis


a. Non operatif
Pilihan pengobatan non operatif difokuskan untuk mengembalikan fungsi dan
menghilangkan rasa sakit. Pemberian obat anti-inflamasi untuk mengurangi rasa
nyeri yang disebabkan oleh tekanan pada saraf tulang belakang, dan mengurangi
inflamasi (pembengkakan) di sekitar saraf. Obat yang bisa digunakan seperti
Nonsteroid antiinflammatory drugs (NSAID); aspirin dan ibuprofen.
Kortison adalah anti inflamasi kuat. Injeksi kortison pada sekitar saraf atau
diruang epidural bisa mengurangi pembengkakan dan rasa sakit. Pemberian
steroid injeksi hanya untuk mengurangi inflamasi, tidak dapat mengurangi
gangguan neurologis yang terjadi.22
b. Talaksana operatif

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


33
Pembedahan untuk stenosis spinal umumnya ditunda pada pasien yang
memiliki kualitas hidup yang buruk karena rasa sakit dan kelemahan. Ada dua
pilihan operasi utama untuk mengobati stenosis tulang belakang lumbal:
laminektomi dan fusi spina. Kedua opsi dapat menghilangkan rasa sakit yang
sangat baik.
Prosedur Laminektomi melibatkan pengeluaran tulang, taji tulang, dan
ligamen yang menekan saraf. Prosedur ini juga dapat disebut "dekompresi."
Laminektomi dapat dilakukan dengan operasi terbuka, di mana dokter melakukan
sebuah sayatan yang besar untuk mengakses tulang belakang. Prosedur ini juga
dapat dilakukan dengan menggunakan metode minimal invasif, di mana dibuat
beberapa sayatan kecil.
Jika arthritis telah berlanjut terhadap ketidakstabilan tulang belakang,
kombinasi dekompresi dan stabilisasi atau spinal fusion dapat dianjurkan. Pada
spinal fusion, dua atau lebih vertebra disatukan bersama-sama. Cangkok tulang
diambil dari tulang panggul atau tulang pinggul yang digunakan untuk
memadukan tulang belakang. Fusion menghilangkan gerakan antara tulang dan
mencegah terjadinya selip yang akan memperburuk setelah operasi.23

BAB 3
KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


34
1. Gallucci M, Limbucci N, Paonessa A, Splendiani A. Degenerative Disease
of the Spine. Neuroimaging Clinics North America. 2007; 17: 87–103.
2. Buser Z, Ortega B, D’Oro A, Pannell W, Cohen JR, Wang J, Golish R, et
al. Spine Degenerative Conditions and Their Treatments: National Trends
in the United States of America. Global Spine Journal. 2018; 8(1): 57-67.
3. Ravindra VM, Senglaub SS, Rattani A, Dewan MC, Hartl R, Bisson E,
Park KB, et al. Degenerative Lumbar Spine Disease: Estimating Global
Incidence and Worldwide Volume. Global Spine Journal. 2018; 8(8): 784-
794.
4. Brinjikji W, Luetmer PH, Comstock B, Bresnahan BW, Chen LE, Deyo
RA, Halabi S, et al. Systematic Literature Review of Imaging Features of
Spinal Degeneration in Asymptomatic Populations. American Journal of
Neuroradiology. 2015; 36(4): 811-816.

5. Czervionke LF, Haughton VM. Degenerative disease of the spine.


In: Atlas SW, editor. Magnetic resonance imaging of the brain and
spine. Phila- delphia: Lippincott-Raven Publisher; 2002. p. 1633–
714.
6. Sutton D, Radiology and imaging, 7th ed vol II. London: churcill
livingstone,2003.
7. Rupesh Namdev, et al. Cervical Degeneratif Spondylosis (grading).
Radiopaedia 2017.
8. Jayakumar P, Nnadi C, Saifuddin A, et al. Dynamic
degenerativelumbar spondylolisthesis: diagnosis with axial
loaded magnetic resonance imaging. Spine. 2006; 31: 298–301.
9. Nouri A, Allan RM, David M, Michael GF. Magnetic Resonance Imaging
Assessment of Degeneratif Cervical Myelopathy : A Review of Structural
Changes and Measurement Techniques. Neurosurgical Focus. 2016; 40(6)
10. Murtagh R. The art and science of nerve root and facet blocks.
Neuroimaging Clin N Am. 2000; 10: 465–77.
11. Piraccini E, Calli M, Corso RM, Byrne H, Maitan S. Abdominal and
pelvic pain: an uncommon sign in lumbar facet joint syndrome. Minerva
Anestesiol. 2017; 83(1): 104–5

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


35
12. Varlotta GP, Lefkowitz TR, SchweitzerM. The lumbar facet joint: a review
of current knowledge: part 1: anatomy, biomechanics and grading. Skeletal
Radiol. 2011; 40(1): 13–23
13. Faure MH, Van Goethem JWM, Venstermans C. Radiologic Imaging of
facet joints. Antwerp University Hospital & University of Antwerp. 2013:
1-8
14. Clarençon F, Law-Ye B, Bienvenot P, Cormier É, Chiras J. The
Degenerative Spine. Magn Reson Imaging. Clin N Am. 2016; 24(3): 495–
513
15. Cohen SP, Raja SN. Pathogenesis, diagnosis, and treatment of lumbar
zygapophysial (facet) joint pain. Anesthesiology. 2007; 106(3): 591–614
16. Adam RD, Victor M, Ropper AH. Principles of neurology. McGraw Hill
co. 2005: 194-212.
17. Kalichman L, Cole R, Kim DH, Li L, Suri P, Guermazi A, et al. Spinal
stenosis prevalence and association with symptoms: the Framingham
Study. Spine J. 2009; 9(7): 545-50.
18. Scavone JG, Latshaw F. Anteroposterior and lateral radiographs: an
adequate lumbar spine examination. AJR Am.J. Roentgenol. 1981;136,
715–7.
19. Modic MT. Acute low back pain and radiculopathy: MRI imaging findings
and their prognostic role and effect on outcome. Radiology. 2005; 237:
597–604.
20. Seung YL, Tae-Hwan K, Jae KO, Seung JL, Moon SP. Lumbar Stenosis: A
Recent Update by Review of Literature. Asian Spine J. 2015; 9(5): 818-
28.
21. Alyas, F., Connell, D. Upright positional MRI of the lumbar spine. Clin.
Radiol. 2008; 63: 1035–48.
22. Murphy D, Hurwitz L, Gregory A. A non-surgical approach to the
management of lumbar spinal stenosis: a prospective observational cohort
study. BMC Musculoskelet. Disord. 2006;7:16.
23. Atlas J, Keller B, Wu YA, Deyo RA. Long-term outcomes of surgical and
nonsurgical management of lumbar spinal stenosis: 8 to 10 year results
from the Maine lumbar spine study. Spine. 2005:30: 936–943.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


36

Anda mungkin juga menyukai