KERATOKONJUNGTIVITIS VERNAL
Oleh :
Yuwita Afdilla 1840312663
Dian Herdianti 1840312718
Shylvia Helmanda 1840312714
Alya Binti Azmi 1840312772
Preseptor :
Dr. dr. Hendriati, Sp.M (K)
Halaman
Daftar Isi 2
Daftar Gambar 3
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 4
1.2 Batasan Masalah 5
1.3 Tujuan Penulisan 5
1.4 Manfaat Penulisan 5
1.5 Metode Penulisan 5
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Fisiologi Konjungtiva dan Kornea 6
2.2.1 Konjungtiva 6
2.2.2 Kornea 7
2.2 Keratokonjungtivitis Vernal
2.2.1 Definisi 9
2.2.2 Epidemiologi 9
2.2.3 Etiologi, Patogenesis dan Patofiologi 10
2.2.4 Gambaran Klinis 11
2.2.5 Diagnosis 12
2.2.6 Diagnosis Banding 12
2.2.7 Tatalaksana 13
2.2.8 Komplikasi 13
2.2.9 Prognosis 14
BAB 3. KESIMPULAN 15
Daftar Pustaka 17
2
DAFTAR GAMBAR
Halaman
3
BAB 1
PENDAHULUAN
4
sekolah dalam 3 bulan terakhir karena alasan okuler. Satu penelitian melaporkan
bahwa selama kambuhnya keratokonjungtivitis vernal pada orang dewasa
menyebabkan penurunan produktivitas sebesar 26% dan kegiatan sosial sebesar
31%.2 Hal yang perlu mendapat perhatian ialah bagaimana cara penatalaksanaan
kasus ini agar dapat mengalami penyembuhan maksimal dan mencegah terjadinya
rekurensi ataupun komplikasi yang dapat mengurangi kualitas hidup.
1.2 Batasan Masalah
Clinical Science Session ini membahas tentang anatomi dan fisiologi
kornea dan konjungtiva, definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, manifestasi
klinis, diagnosis, diagnosis banding, tatalaksana, komplikasi, dan prognosis
keratokonjungtivitis vernal.
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan Clinical Science Session ini adalah untuk menambah
wawasan tentang keratokonjungtivitis vernal
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1 Menambah wawasan mengenai ilmu kedokteran pada umumnya, dan
ilmu penyakit mata pada khususnya.
1.4.2 Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti
kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Mata.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi
2.1.1 Konjungtiva
6
limbus (tempat kapsul Tenon dan konjungtiva menyatu sejauh 3 mm),
konjungtiva bulbaris melekat longgar ke kapsul tenon dan sklera di bawahnya.
Struktur epidermoid kecil semacam daging (karunkula) menempel superfisial ke
bagian dalam plika semilunaris dan merupakan zona transisi yang mengandung
elemen kulit dan membran mukosa.1
Konjungtiva forniks strukturya sama dengan konjungtiva palpebra.
Tetapi hubungan dengan jaringan di bawahnya lebih lemah dan membentuk
lekukan-lekukan. Juga mengandung banyak pembuluh darah. Oleh karena itu,
pembengkakan pada tempat ini mudah terjadi bila terdapat peradangan mata. Jika
dilihat dari segi histologinya, lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga
lima lapisan sel epitel silinder bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel
konjungtiva di dekat limbus, di atas karunkula, dan di dekat persambungan
mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri dari sel-sel epitel skuamosa. Sel-sel
epitel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi
mukus. Mukus mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi
lapisan air mata secara merata di seluruh prekornea. Sel-sel epitel basal berwarna
lebih pekat daripada sel-sel superfisial dan di dekat limbus dapat mengandung
pigmen.1
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisial)dan
satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid
dan di beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa
sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi
berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa konjungtivitis inklusi pada
neonatus bersifat papiler bukan folikuler dan mengapa kemudian menjadi
folikuler. Lapisan fibrosa tersusun dari Jaringan penyambung yang melekat pada
lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papiler pada radang
konjungtiva. Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar airmata
asesori (kelenjar Krause dan Wolfring), yang struktur dan funginya mirip kelenjar
lakrimal, terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar Krause berada di
forniks atas, dan sedikit ada di forniks bawah. Kelenjar Wolfring terletak di tepi
atas tarsus atas. 1
2.1.2 Kornea
7
Kornea adalah jaringan transparan yang merupakan selaput bening mata
yang tembus cahaya dan menutup bola mata sebelah depan dan terdiri dari 5
lapisan. Lapisan tersebut antara lain lapisan epitel (yang bersambung dengan
epitel konjungtiva bulbaris), lapisan Bowman, stroma, membran Descement dan
lapisan endotel. Batas antara sklera dan kornea disebut limbus kornea. 1,3
8
memakan waktu yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel
stroma kornea yang merupakan fibroblast yang terletak diantara serat kolagen
stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar serat kolagen dalam
perkembangan embrio atau sesudah trauma.3
4. Membran Descement
Merupakan membran aseluler dan merupakan batas belakang stroma kornea
yang bersifat sangat elastis dan tebalnya sekitar 40 μm.3
5. Endotel
Berasal dari mesotelium, bentuk heksagonal, besar 20-40 μm. Endotel
melekat pada membran descement melalui hemidoson dan zonula okluden.
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensorik terutama berasal dari saraf siliar
longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk
ke dalam stroma kornea, menembus membran bowman melepaskan selubung
schwannya. Bulbus krause untuk sensasi dingin ditemukan diantaranya. Daya
regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan.3
Sumber nutrisi kornea adalah pembuluh-pembuluh darah limbus, humour aquos
dan air mata. Kornea superfisial juga mendapat oksigen sebagian besar dari
atmosfir. Transparansi kornea dipertahankan oleh strukturnya yang seragam,
avaskularitas dan deturgensinya.1
9
Keratokonjungtivitis vernal terjadi terutama di iklim panas dan kering
seperti di Afrika Barat, Timur Tengah, Jepang, India, dan Amerika Selatan.4
Tingginya insiden di daerah panas dapat terjadi karena polusi yang lebih tinggi
oleh serbuk sari dan berbagai alergen lainnya. Laki-laki lebih banyak terpengaruh
daripada perempuan, tetapi perbedaan ini menjadi lebih kecil seiring
bertambahnya usia. Di Eropa prevalensi Keratokonjungtivitis vernal antara 1,2-
10,6 / 10.000.5 Mayoritas terjadi pada pasien antara usia 5-25 tahun dengan usia
onset antara 10-12 tahun.6
10
konjungtivitis vernalis. Keberadaan eosinofil dan basofil, khususnya dalam
konjungtiva sudah cukup menandai adanya abnormalitas jaringan.
Fase vaskular dan selular dini akan segera diikuti dengan deposisi
kolagen, hialuronidase, peningkatan vaskularisasi yang lebih mencolok, serta
reduksi sel radang secara keseluruhan. Deposisi kolagen dan substansi dasar
maupun seluler mengakibatkan terbentuknya deposit stone yang terlihat secara
nyata pada pemeriksaan klinis. Hiperplasi jaringan ikat meluas ke atas
membentuk giant papil bertangkai dengan dasar perlekatan yang luas. Horner-
Trantas dot’s yang terdapat di daerah ini sebagian besar terdiri dari eosinofil,
debris selular yang terdeskuamasi, namun masih ada sel PMN dan limfosit.6,7
11
fase aktif keratokonjungtivitis vernal mewakili infiltrasi limfositik limbus
penghubung. Eosinofil dan granula eosinofilik bebas ditemukan di dalam bintik
Tranta dan sediaan hapus eksudat konjungtiva dengan pewarnaan Giemsa.8
2.2.5 Diagnosis
12
kombinasi keduanya, bersama tanpa keterlibatan kelopak mata. Dalam kasus di
mana diagnosis tidak jelas, kerokan konjungtiva yang menunjukkan infiltrasi
eosinofilik mungkin bermanfaat dalam membantu diagnosis.8
2.2.7 Tatalaksana
Penyakit keratokonjungtivitis merupakan penyakit yang sembuh sendiri,
jadi meskipun diberikan medikasi hanya untuk perbaikan gejala dalam waktu
singkat karena memberi kerugian jangka panjang. Penelitian oleh Mantelli et al
menemukan bahwa semua tetes mata antialergi umum efektif dalam mengurangi
tanda dan gejala penyakit. Mast cell stabilizer digunakan sebagai prophylaxis.
Pada kasus sedang, antihistamin mungkin bermanfaat tetapi pada yang lebih
parah, mungkin diperlukan penggunaan kortikosteroid. Obat yang dapat diberikan
untuk mengurangi rasa gatal adalah steroid topikal atau sistemik dan hanya sedikit
mempengaruhi penyakit kornea dengan efek samping yang merugikan. Pada kasus
sedang hingga berat, agen profilaktik dan terapeutik seperti kombinasi
antihistamin penstabil sel mast sangat bermanfaat. Tindakan untuk membuat
pasien nyaman adalah dengan memberikan vasokonstriktor, kompres dingin, dan
kompres es dan tidur di ruang sejuk dikarenakan untuk pemuluhan terbaik dapat
dicapai dengan memindahkan pasien ke tempat beriklim sejuk dan lembab. Pada
pasien dengan gejala akut dari sangat fotofobik sehingga tidak dapat berbuat apa-
apa biasanya diatasi dnegans teroid sistemik atau topikal jangka pendek diikuti
dengan vasokonstiktor , komreps dingin dan pemakain teratur tetes mata yang
memblok histamin. Obat-obatan seperti ketorolac dan iodoxamide (obat
antiinflamasi nonsteroid baru) sangat bermanfaat untuk mengurangi gejala tetapi
bisa memperlambat reepitelisasi ulkus. Kasus-kasus berat yang tidak responsif
dapat diberikan tetes mata topikal cyclosporine 2% dan pada ulkus vernal dapat
diberikan suntik depot kortikosteroid supratarsal dengan atau tanpa eksisi papila
raksasa.6
13
misalnya kromolin natriun dan lodoxamide digunakan sebagai profilaksis karena
dapat mencegah degranulasi sel mast melalui penghambatan saluran kalsium.
Terapi mast cell stabilizers biasanya diberikan 4-6 kali per hari dan dapat
memakan waktu hingga 2 minggu untuk terjadi perbaikan. Pada kasus ringan,
antihistamin(ketotifen, olopatidine) digunakan untuk mengurangi gejala dan untuk
kasus berat mungkin memerlukan pengobatan kortikosteroid misalnya diklofenak
dan ketorolak namun penggunaan harus dibatasi karena dapat terjadi efek
toksisitas pada kornea seperti ulserasi dan perforasi. Siklosporin yang merupakan
inhibitor kalsineurin yang menghambat produksi sitokin oleh limfosit T, eosinofil
dan aktivasi sel mast merupakan alternatif terbaik selain kortikosteroid.
Siklosporin dengan konsentrasi 1-2% terbukti aman dan efektif untuk kasus
keratokonjungtivitis vernal berat manakala siklosporin 0,05% yang diberikan 4
kali per hari mungkin efektif pada kasus yang tidak respon dengan pemberian
kortikosteroid topikal. Tacrolimus dapat diberikan sebagai inhibitor kalsineurin
yang menghambat aktivasi limfosit T dan menyebabkan pelepasan sitokin
inflamasi.8
Pengobatan lain diberikan pada kasus yang tidak repson dengan obat-obatan
sistemik seperti kortikosteroid oral atau agen imunomodulator lain contohnya
omalizumab. Pasien dengan hipersensitif terhadap serbuk sari dan debu rumah
terbukti memberi respon baik dengan pemberian imunoterapi spesifik alergen
subkutan (SCIT). SCIT efektif dalam meningkatkan gejala klinis dan mengurangi
serum IgE daripada pengobatan topikal. Pembedahan dilakukan pada komplikasi
kornea persisten seperti ulkus yang tidak membaik atau plak kornea. Tindakan
yang dilakukan dapat berkisar dari pengikisan sehingga keraktektomi superfisial.
Papila raksasa perifer yang tidak berespon dengan pemberian obat dapat
dilakukan cryoablation. Tindakan bedah lain untuk mencegah kekambuhan
termasuk aplikasi mitomisin-C, cangkok konjungtiva autologus atau transplantasi
membran mukosa. Transplantasi membran amnion pada kasus papila raksasa sulit
yang sulit disembuhkan telah terbukti membantu penyembuhan komplikasi kornea
yang berhubungan dengan papilla raksasa seperti epitelium dan bisul.8
2.2.8 Komplikasi
14
Keratoconjunctivitis vernal ringan biasanya merupakan penyakit yang
sembuh sendiri. Namun, dalam beberapa kasus dapat menyebabkan komplikasi
gangguan penglihatan. Epitel kornea berfungsi sebagai penghalang bagi patogen
yang bersirkulasi, tetapi dapat menjadi rusak pada penyakit parah baik karena
trauma dari papila tarsal atas dan susunan molekul inflamasi yang kompleks.
Kombinasi trauma berulang dan lingkungan inflamasi ini kemudian dapat
menyebabkan perisai bisul dan plak. Ulkus perisai biasanya terbentuk pada
sepertiga bagian atas kornea dan dapat menyebabkan komplikasi yang
mengancam penglihatan pada hingga 6% pasien. Mereka mulai sebagai erosi
epitel belang yang menyatu untuk membentuk makroerosion yang kemudian
berkembang menjadi ulkus tameng yang dapat berkembang menjadi diri sendiri.
membatasi atau mengembangkan konsekuensi lebih lanjut seperti keratitis bakteri.
Plak terbentuk ketika puing-puing inflamasi menumpuk di dasar ulkus pelindung.
Hal tersebut sangat resisten terhadap terapi topikal dan mungkin memerlukan
intervensi bedah.8
Pasien dengan keratoconjunctivitis vernal yang sudah berlangsung lama
juga dapat mengalami defisiensi sel induk limbal karena peradangan yang
berlangsung lama. Prevalensi defisiensi sel induk limbal pada pasien dengan VKC
mungkin setinggi 1,2% dan terjadi pada pasien yang lebih tua dengan VKC.
Perawatan mungkin termasuk transplantasi membran amnion atau transplantasi sel
punca allo-limbal. Komplikasi lain yang biasanya terkait dari vernal
keratoconjunctivitis termasuk keratoconus dan astigmatisme tidak teratur karena
seringnya menggosok mata pada populasi anak atopik dan glaukoma yang
diinduksi steroid karena sering menggunakan kortikosteroid topikal.8
2.2.9 Prognosis
Prognosis keratocojungngtivitis vernal (VKC) umumnya baik dan
penyakit ini umumnya dapat sembuh sendiri dengan pengobatan yang tepat.
Meskipun prognosis keseluruhan baik, namun 6% pasien akan mengalami
kehilangan penglihatan karena komplikasi yang terkait dengan VKC.8 Komplikasi
biasanya timbul dari jaringan parut kornea dan penggunaan kortikosteroid topikal
yang tidak diawasi. Pada beberapa pasien, gejala dapat bertahan setelah masa
15
kanak-kanak, yang dalam beberapa kasus mungkin merupakan konversi ke bentuk
keratokonjunctivitis atopik dewasa.9
BAB III
KESIMPULAN
16
keratokonjungtivitis vernal seperti keratokonjungtivitis atopik, konjungtivitis
alergi musiman dan konjungtivitis papiler raksasa.8,9
Prinsip penatalaksanaan pada kasus sedang, antihistamin mungkin
bermanfaat tetapi pada yang lebih parah, mungkin diperlukan penggunaan
kortikosteroid. Obat yang dapat diberikan untuk mengurangi rasa gatal adalah
steroid topikal atau sistemik. Pada kasus sedang hingga berat, agen profilaktik dan
terapeutik seperti kombinasi antihistamin penstabil sel mast sangat bermanfaat.
Tindakan untuk membuat pasien nyaman adalah dengan memberikan
vasokonstriktor, kompres dingin, dan kompres es dan tidur di ruang sejuk
dikarenakan untuk pemuluhan terbaik dapat dicapai dengan memindahkan pasien
ke tempat beriklim sejuk dan lembab.
Komplikasi yang dapat terjadi seperti gangguan penglihatan dan
defisiensi sel induk limbal.8 Untuk prognosis dari keratokonjungtivitis umumnya
baik, namun pada beberapa kasus dapat menyebabkan gangguan penglihatan dan
dan keratokonjungtivitis atopic dewasa.8,9
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Eva PR-, Witcher JP. Voughan & Asbury Oftalmologi Umum. 17th ed.
Pendit BU, editor. Jakarta: EGC; 2009. 97-124 p.
2. American Academy of Ophthalmology. Conjunctivitis Preferred Practice
Pattern. San Francisco, CA: American Academy of Ophthalmology; 2018.
3. Ilyas HS, Yulianti SR. Ilmu Penyakit Mata. 5th ed. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2017. 1-12 p.
4. AAO (2018). Vernal Keratoconjunctivitis. San Fransisco: AAO MD
Association
5. Kumar,S. Vernal keratoconjunctivitis: an update. Br J Ophthalmol, 2013.
97(1).
6. Vaugan, Asbury. Oftalmologi umum. Anatomi & embriologi mata :
Glaukoma. Edisi ke 17. Jakarta;EGC;2015.
7. Rosa, M. Allergic conjuncticitis: a comprehensive review of the literature.
Ital J Pediatrs, 2013.
8. American Academy of Ophthalmology. Addis H, Jeng BH. Vernal
keratoconjunctivitis. Department of Ophthalmology and Visual Sciences,
University of Maryland School of Medicine, Baltimore, MD, USA; 2018.
12:119-123.
9. American Academy of Ophthalmology. Scott MJ. Vernal
keratoconjunctivitis. 2018.
18
19