Anda di halaman 1dari 19

Clinical Science Session

KERATOKONJUNGTIVITIS VERNAL

Oleh :
Yuwita Afdilla 1840312663
Dian Herdianti 1840312718
Shylvia Helmanda 1840312714
Alya Binti Azmi 1840312772

Preseptor :
Dr. dr. Hendriati, Sp.M (K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2019
DAFTAR ISI

Halaman
Daftar Isi 2
Daftar Gambar 3
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 4
1.2 Batasan Masalah 5
1.3 Tujuan Penulisan 5
1.4 Manfaat Penulisan 5
1.5 Metode Penulisan 5
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Fisiologi Konjungtiva dan Kornea 6
2.2.1 Konjungtiva 6
2.2.2 Kornea 7
2.2 Keratokonjungtivitis Vernal
2.2.1 Definisi 9
2.2.2 Epidemiologi 9
2.2.3 Etiologi, Patogenesis dan Patofiologi 10
2.2.4 Gambaran Klinis 11
2.2.5 Diagnosis 12
2.2.6 Diagnosis Banding 12
2.2.7 Tatalaksana 13
2.2.8 Komplikasi 13
2.2.9 Prognosis 14
BAB 3. KESIMPULAN 15
Daftar Pustaka 17

2
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Anatomi Konjungtiva...........................................................................6

Gambar 2.2 Anatomi Kornea...................................................................................8

3
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keratokonjungtivitis merupakan peradangan pada kornea dan


konjungtiva yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor dan seringkali mengalami
kekambuhan. Keratoconjunctivitis sicca digunakan ketika peradangan karena
kekeringan. ("Sicca" berarti "kering" dalam konteks medis.). Istilah " Vernal
keratokonjunctivitis "(VKC) digunakan untuk merujuk keratokonjungtivitis terjadi
di musim semi , dan biasanya dianggap karena alergen. Atopik
keratokonjunctivitis adalah salah satu manifestasi dari atopi. Epidemi
keratokonjunctivitis disebabkan oleh infeksi adenovirus. Keratokonjungtivitis
limbus superior diduga disebabkan oleh trauma mekanik.1
Konjungtivitis merupakan penyakit yang mencakup beragam kelompok
penyakit yang terjadi di seluruh dunia dan mempengaruhi semua usia, strata sosial
dan jenis kelamin. Meskipun tidak ada angka yang dapat diandalkan untuk
mendokumentasikan kejadian atau prevalensi semua bentuk konjungtivitis,
kondisi ini telah disebut sebagai salah satu penyebab rujukan pasien yang paling
sering. Konjungtivitis jarang menyebabkan kehilangan penglihatan secara
permanen atau kerusakan struktural, tetapi dampak terhadap faktor ekonomi
dalam hal kehilangan pekerjaan dan waktu sekolah, biaya kunjungan medis, tes
diagnostik, dan obat-obatan cukup besar.2
Keratokonjungtivitis vernal yang dikenal juga sebagai “catarrh musim
semi” dan “konjungtivitis musiman” atau “konjungtivits musim kemarau”,
merupakan bentuk kronis konjungtivitis alergi yang lebih sering terjadi pada anak-
anak dan dewasa muda dan lebih banyak terjadi di daerah beriklim kering dan
panas. Pada penelitian case-control yang dilakukan pada 3049 anak-anak di
Rwanda, diidentifikasi bahwa iklim panas, jenis kelamin pria, dan status sosial
ekonomi yang lebih tinggi sebagai faktor risiko. Para penulis berhipotesis bahwa
kemungkinan ada mekanisme imunologis dan lingkungan yang berbeda antara
perkotaan dan pedesaan yang menjelaskan temuan sosial ekonomi ini, dan mereka
menyarankan agar penelitian lebih lanjut diperlukan. Dalam studi Rwanda, 36%
anak-anak dengan keratokonjungtivitis vernal melewatkan 1 hari atau lebih

4
sekolah dalam 3 bulan terakhir karena alasan okuler. Satu penelitian melaporkan
bahwa selama kambuhnya keratokonjungtivitis vernal pada orang dewasa
menyebabkan penurunan produktivitas sebesar 26% dan kegiatan sosial sebesar
31%.2 Hal yang perlu mendapat perhatian ialah bagaimana cara penatalaksanaan
kasus ini agar dapat mengalami penyembuhan maksimal dan mencegah terjadinya
rekurensi ataupun komplikasi yang dapat mengurangi kualitas hidup.
1.2 Batasan Masalah
Clinical Science Session ini membahas tentang anatomi dan fisiologi
kornea dan konjungtiva, definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, manifestasi
klinis, diagnosis, diagnosis banding, tatalaksana, komplikasi, dan prognosis
keratokonjungtivitis vernal.
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan Clinical Science Session ini adalah untuk menambah
wawasan tentang keratokonjungtivitis vernal
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1 Menambah wawasan mengenai ilmu kedokteran pada umumnya, dan
ilmu penyakit mata pada khususnya.
1.4.2 Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti
kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Mata.

1.5 Metode Penulisan


Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang
merujuk dari berbagai literatur.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi
2.1.1 Konjungtiva

Gambar 2.1 Anatomi Konjungtiva


Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan
permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan
dengan kulit pada tepi kelopak (persambungan mukokutan) dan dengan epitel
kornea di limbus. Konjungtiva terdiri dari tiga bagian:
1. Konjungtiva palpebralis (menutupi permukaan posterior dari palpebra).
2. Konjungtiva bulbaris (menutupi sebagian permukaan anterior bola mata).
3. Konjungtiva forniks (bagian transisi yang membentuk hubungan antara
bagian posterior palpebra dan bola mata)1
Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan
melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke
posterior (pada fornices superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera
dan menjadi konjungtiva bulbaris. Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke
septum orbitale di fornices dan melipat berkali-kali. Pelipatan ini memungkinkan
bola mata bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik. (Duktus-
duktus kelenjar lakrimalis bermuara ke forniks temporal superior.) Kecuali di

6
limbus (tempat kapsul Tenon dan konjungtiva menyatu sejauh 3 mm),
konjungtiva bulbaris melekat longgar ke kapsul tenon dan sklera di bawahnya.
Struktur epidermoid kecil semacam daging (karunkula) menempel superfisial ke
bagian dalam plika semilunaris dan merupakan zona transisi yang mengandung
elemen kulit dan membran mukosa.1
Konjungtiva forniks strukturya sama dengan konjungtiva palpebra.
Tetapi hubungan dengan jaringan di bawahnya lebih lemah dan membentuk
lekukan-lekukan. Juga mengandung banyak pembuluh darah. Oleh karena itu,
pembengkakan pada tempat ini mudah terjadi bila terdapat peradangan mata. Jika
dilihat dari segi histologinya, lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga
lima lapisan sel epitel silinder bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel
konjungtiva di dekat limbus, di atas karunkula, dan di dekat persambungan
mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri dari sel-sel epitel skuamosa. Sel-sel
epitel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi
mukus. Mukus mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi
lapisan air mata secara merata di seluruh prekornea. Sel-sel epitel basal berwarna
lebih pekat daripada sel-sel superfisial dan di dekat limbus dapat mengandung
pigmen.1
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisial)dan
satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid
dan di beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa
sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi
berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa konjungtivitis inklusi pada
neonatus bersifat papiler bukan folikuler dan mengapa kemudian menjadi
folikuler. Lapisan fibrosa tersusun dari Jaringan penyambung yang melekat pada
lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papiler pada radang
konjungtiva. Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar airmata
asesori (kelenjar Krause dan Wolfring), yang struktur dan funginya mirip kelenjar
lakrimal, terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar Krause berada di
forniks atas, dan sedikit ada di forniks bawah. Kelenjar Wolfring terletak di tepi
atas tarsus atas. 1
2.1.2 Kornea

7
Kornea adalah jaringan transparan yang merupakan selaput bening mata
yang tembus cahaya dan menutup bola mata sebelah depan dan terdiri dari 5
lapisan. Lapisan tersebut antara lain lapisan epitel (yang bersambung dengan
epitel konjungtiva bulbaris), lapisan Bowman, stroma, membran Descement dan
lapisan endotel. Batas antara sklera dan kornea disebut limbus kornea. 1,3

Gambar 2.2 Anatomi Kornea


1. Lapisan epitel
Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling
tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng. Pada sel basal
sering terlihat mitosis sel, sel muda terdorong kedepan menjadi lapisan sel
poligonal dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng. Sel basal berikatan erat
dengan sel basal disampingnya dan sel poligonal didepannya melalui desmosom
dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa
yang merupakan barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat
erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan menghasilkan erosi rekuren. Epitel
berasal dari ektoderm permukaan.3
2. Membran bowman
Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen
yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.
Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.3
3. Jaringan stroma
Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu
dengan yang lainnya. Pada permukaan terlihat anyaman yang teratur, sedang
dibagian perifer serat kolagen ini bercabang. Terbentuknya kembali serat kolagen

8
memakan waktu yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel
stroma kornea yang merupakan fibroblast yang terletak diantara serat kolagen
stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar serat kolagen dalam
perkembangan embrio atau sesudah trauma.3

4. Membran Descement
Merupakan membran aseluler dan merupakan batas belakang stroma kornea
yang bersifat sangat elastis dan tebalnya sekitar 40 μm.3
5. Endotel
Berasal dari mesotelium, bentuk heksagonal, besar 20-40 μm. Endotel
melekat pada membran descement melalui hemidoson dan zonula okluden.
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensorik terutama berasal dari saraf siliar
longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk
ke dalam stroma kornea, menembus membran bowman melepaskan selubung
schwannya. Bulbus krause untuk sensasi dingin ditemukan diantaranya. Daya
regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan.3
Sumber nutrisi kornea adalah pembuluh-pembuluh darah limbus, humour aquos
dan air mata. Kornea superfisial juga mendapat oksigen sebagian besar dari
atmosfir. Transparansi kornea dipertahankan oleh strukturnya yang seragam,
avaskularitas dan deturgensinya.1

2.2 Keratokonjungtivitis Vernalis


2.2.1 Definisi
Keratokonjungtivitis adalah peradangan ("-itis") dari kornea dan
konjungtiva. Ketika hanya kornea yang meradang, hal itu disebut keratitis, ketika
hanya konjungtiva yang meradang, hal itu disebut konjungtivitis.1
Konjungtivitis vernalis dikenal juga sebagai “catarrh musim semi” dan
“konjungtivitis musiman” atau “konjungtivits musim kemarau”, adalah penyakit
bilateral yang jarang yang disebabkan oleh alergi, biasanya berlangsung dalam
tahun-tahun prapubertas dan berlangsung 5-10 tahun. Penyakit ini lebih banyak
terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan.1
2.2.2 Epidemiologi

9
Keratokonjungtivitis vernal terjadi terutama di iklim panas dan kering
seperti di Afrika Barat, Timur Tengah, Jepang, India, dan Amerika Selatan.4
Tingginya insiden di daerah panas dapat terjadi karena polusi yang lebih tinggi
oleh serbuk sari dan berbagai alergen lainnya. Laki-laki lebih banyak terpengaruh
daripada perempuan, tetapi perbedaan ini menjadi lebih kecil seiring
bertambahnya usia. Di Eropa prevalensi Keratokonjungtivitis vernal antara 1,2-
10,6 / 10.000.5 Mayoritas terjadi pada pasien antara usia 5-25 tahun dengan usia
onset antara 10-12 tahun.6

2.2.3 Etiologi, Patogenesis, dan Patofisiologi


Keratokonjungtivitis vernal terjadi akibat reaksi hipersensitivitas tipe I.
Perubahan struktur pada konjungtiva berhubungan dengan reaksi hipersensitivitas
yang didominasi oleh tipe I. Pada konjungtiva akan dijumpai hiperemia dan
vasodilatasi difus, yang dengan cepat akan diikuti dengan hiperplasi akibat
proliferasi jaringan yang menghasilkan pembentukan jaringan ikat yang tidak
terkendali. Kondisi ini akan diikuti oleh hyalinisasi dan menimbulkan deposit
pada konjungtiva sehingga terbentuklah gambaran cobblestone.6,7
Jaringan ikat yang berlebihan ini akan memberikan warna putih susu
kebiruan sehingga konjungtiva tampak buram dan tidak berkilau. Proliferasi yang
spesifik pada konjungtiva tarsal, oleh von Graefe disebut pavement like
granulations. Hipertrofi papil pada konjungtiva tarsal tidak jarang mengakibatkan
ptosis mekanik dan dalam kasus yang berat akan disertai keratitis serta erosi epitel
kornea.7
Limbus konjungtiva juga memperlihatkan perubahan akibat vasodilatasi
dan hipertropi yang menghasilkan lesi fokal. Pada tingkat yang berat, kekeruhan
pada limbus sering menimbulkan gambaran distrofi dan menimbulkan gangguan
dalam kualitas maupun kuantitas stem cells limbus.6,7
Tahap berikutnya akan dijumpai sel- sel mononuklear serta limfosit
makrofag. Sel mast dan eosinofil yang dijumpai dalam jumlah besar dan terletak
superficial. Dalam hal ini hampir 80% sel mast dalam kondisi terdegranulasi.
Temuan ini sangat bermakna dalam membuktikan peran sentral sel mast terhadap

10
konjungtivitis vernalis. Keberadaan eosinofil dan basofil, khususnya dalam
konjungtiva sudah cukup menandai adanya abnormalitas jaringan.
Fase vaskular dan selular dini akan segera diikuti dengan deposisi
kolagen, hialuronidase, peningkatan vaskularisasi yang lebih mencolok, serta
reduksi sel radang secara keseluruhan. Deposisi kolagen dan substansi dasar
maupun seluler mengakibatkan terbentuknya deposit stone yang terlihat secara
nyata pada pemeriksaan klinis. Hiperplasi jaringan ikat meluas ke atas
membentuk giant papil bertangkai dengan dasar perlekatan yang luas. Horner-
Trantas dot’s yang terdapat di daerah ini sebagian besar terdiri dari eosinofil,
debris selular yang terdeskuamasi, namun masih ada sel PMN dan limfosit.6,7

2.2.4 Gambaran Klinis


Pada umumnya, pasien dengan keratokonjungtivitis datang dengan
keluhan mata sangat gatal, kemerahan dan berair, juga dengan kotoran mata
berserat-serat. Ada pasien yang turut mengeluhkan fotofobia dan terdapat sensasi
benda asing. Selain itu tanda-tanda keratokonjungtivitis vernal termasuk reaksi
papiler dari atas tarsal konjungtiva dan sehingga keseluruhan limbus.
Keratokonjungtivitis vernal diklasifikasikan sebagai tarsal, limbus atau campuran
berdasarkan lokais dan papila yang memiliki ukuran muali dair 1mm hingga
sebesar batu bulat raksasa papillada margin kelopak mata tidak terlibat. Gejala
khas lainnya adalah hiperemia konjungtiva bulbar, tebal dan berlendir dan
keterlibatan kornea, termasuk erosi epitelial, ulkus dan plak perlindung. Tampak
putih-susu pada nkonjungtiva pasien dengan banyak papila halus pada
konjungtiva tarsalis inferior. Terdapat papila raksasa pada konjungtiva palpebralis
superior yang mirip batu kali, dengan setiap papila raksasa berbentuk poligonal
dengan atap rata, dan mengandung berkas kapiler.8

Pada pasien juga berkemungkinan mempunyai kotoran mata berserabut


dan pseudomembran fibrinosa (tanda Maxwell-Lyons). Pada limbus beberapa
kasus terutama pada orang negro turunan Afrika, terdapat pembengkakan
gelatinosa (papillae) yang merupakan lesi paling mencolok. Pada kornea dekat
papila limbus sering terlihat pseudogerontoxon (kabut serupa-busur). Selain itu
terdapat juga bintik-bintik putih Tranta yang terlihat pada limbus pasien dengan

11
fase aktif keratokonjungtivitis vernal mewakili infiltrasi limfositik limbus
penghubung. Eosinofil dan granula eosinofilik bebas ditemukan di dalam bintik
Tranta dan sediaan hapus eksudat konjungtiva dengan pewarnaan Giemsa.8

Pada palpebra dan limbus pasien dengan keratokonjungtivitis vernal sering


tampak mikropannus tetapi jarang dijumpai pannus besar. Pasien yang telah
menjalani krioterapi, pengangkatan papila, iradiasi berkemungkinan dijumpai
parut konjungtiva. Ulkus kornea superfisial berkemungkinan terbentuk yang dapat
berakibat parut ringan di kornea. Pada keratokonjungtivitis khas terlihat keratitis
epitelial difus. Penyakit ini mungkin disertai keratokonus.8

2.2.5 Diagnosis

Pada penelitian terbaru, pasien keratokonjungtivitis vernal dibagi


berdasarkan gejala: derajat 0 tanpa gejala dan tanpa terapi; tingkat 1 adalah
adanya gejala tanpa fotofobia dan pengguan tetes mata alergi sesekali; kelas 2
adanya gejala termasuk fotofobia; kelas 3 yaitu dengan penggunaan terapi
antialergik harian dan steroid topikal yang sesekali digunakan; kelas 4 dengan
keratitis punctate diffusa atau ulkus kornea dan penggunaan steroid topikal dosis
tinggi. Sistem penilaian ini dapat mengidentifikasi pasien dengan penyakit lebih
parah dan risiko kekambuhan dan komplikasi yang lebih tinggi.9

2.2.6 Diagnosis Banding

Diagnosis banding utama yang harus dipertimbangkan adalah


keratokonjungtivitis atopik (AKC). AKC biasanya memiliki onset usia yang lebih
tua pada dekade ke-2 hingga ke-5, dibandingkan dengan onset sebelum VKC.
Keterlibatan konjungtiva secara klasik pada tarsus atas di VKC dan pada tarsus
bawah di AKC. Selain itu, AKC biasanya lebih kronis dan lebih umum
mengakibatkan luka parut pada kornea dan kicatriisasi konjungtiva, sedangkan
VKC biasanya lebih mandiri.9
Diagnosis banding tambahan untuk dipertimbangkan tergantung pada
riwayat dan fisik seperti konjungtivitis alergi musiman dan konjungtivitis papiler
raksasa. VKC dapat dibedakan dari gangguan di atas oleh papilla hipertrofik
dalam bentuk tarsal VKC atau titik-titik Horner Trantas dalam bentuk limbal, atau

12
kombinasi keduanya, bersama tanpa keterlibatan kelopak mata. Dalam kasus di
mana diagnosis tidak jelas, kerokan konjungtiva yang menunjukkan infiltrasi
eosinofilik mungkin bermanfaat dalam membantu diagnosis.8
2.2.7 Tatalaksana
Penyakit keratokonjungtivitis merupakan penyakit yang sembuh sendiri,
jadi meskipun diberikan medikasi hanya untuk perbaikan gejala dalam waktu
singkat karena memberi kerugian jangka panjang. Penelitian oleh Mantelli et al
menemukan bahwa semua tetes mata antialergi umum efektif dalam mengurangi
tanda dan gejala penyakit. Mast cell stabilizer digunakan sebagai prophylaxis.
Pada kasus sedang, antihistamin mungkin bermanfaat tetapi pada yang lebih
parah, mungkin diperlukan penggunaan kortikosteroid. Obat yang dapat diberikan
untuk mengurangi rasa gatal adalah steroid topikal atau sistemik dan hanya sedikit
mempengaruhi penyakit kornea dengan efek samping yang merugikan. Pada kasus
sedang hingga berat, agen profilaktik dan terapeutik seperti kombinasi
antihistamin penstabil sel mast sangat bermanfaat. Tindakan untuk membuat
pasien nyaman adalah dengan memberikan vasokonstriktor, kompres dingin, dan
kompres es dan tidur di ruang sejuk dikarenakan untuk pemuluhan terbaik dapat
dicapai dengan memindahkan pasien ke tempat beriklim sejuk dan lembab. Pada
pasien dengan gejala akut dari sangat fotofobik sehingga tidak dapat berbuat apa-
apa biasanya diatasi dnegans teroid sistemik atau topikal jangka pendek diikuti
dengan vasokonstiktor , komreps dingin dan pemakain teratur tetes mata yang
memblok histamin. Obat-obatan seperti ketorolac dan iodoxamide (obat
antiinflamasi nonsteroid baru) sangat bermanfaat untuk mengurangi gejala tetapi
bisa memperlambat reepitelisasi ulkus. Kasus-kasus berat yang tidak responsif
dapat diberikan tetes mata topikal cyclosporine 2% dan pada ulkus vernal dapat
diberikan suntik depot kortikosteroid supratarsal dengan atau tanpa eksisi papila
raksasa.6

Pasien dianjurkan untuk sering mencuci tangan dan menghindari menyentuh


atau menggosok mata. Kompres dingin dan air mata buatan dapat membantu
meringankan gejala pada kasus ringan atau sebagai terapi tambahan untuk
pengobatan farmakologis. Terapi farmakologis lini pertama untuk
keratokonjungtivitis vernal adalah pengobatan topikal. Mast cell stabilizers

13
misalnya kromolin natriun dan lodoxamide digunakan sebagai profilaksis karena
dapat mencegah degranulasi sel mast melalui penghambatan saluran kalsium.
Terapi mast cell stabilizers biasanya diberikan 4-6 kali per hari dan dapat
memakan waktu hingga 2 minggu untuk terjadi perbaikan. Pada kasus ringan,
antihistamin(ketotifen, olopatidine) digunakan untuk mengurangi gejala dan untuk
kasus berat mungkin memerlukan pengobatan kortikosteroid misalnya diklofenak
dan ketorolak namun penggunaan harus dibatasi karena dapat terjadi efek
toksisitas pada kornea seperti ulserasi dan perforasi. Siklosporin yang merupakan
inhibitor kalsineurin yang menghambat produksi sitokin oleh limfosit T, eosinofil
dan aktivasi sel mast merupakan alternatif terbaik selain kortikosteroid.
Siklosporin dengan konsentrasi 1-2% terbukti aman dan efektif untuk kasus
keratokonjungtivitis vernal berat manakala siklosporin 0,05% yang diberikan 4
kali per hari mungkin efektif pada kasus yang tidak respon dengan pemberian
kortikosteroid topikal. Tacrolimus dapat diberikan sebagai inhibitor kalsineurin
yang menghambat aktivasi limfosit T dan menyebabkan pelepasan sitokin
inflamasi.8

Pengobatan lain diberikan pada kasus yang tidak repson dengan obat-obatan
sistemik seperti kortikosteroid oral atau agen imunomodulator lain contohnya
omalizumab. Pasien dengan hipersensitif terhadap serbuk sari dan debu rumah
terbukti memberi respon baik dengan pemberian imunoterapi spesifik alergen
subkutan (SCIT). SCIT efektif dalam meningkatkan gejala klinis dan mengurangi
serum IgE daripada pengobatan topikal. Pembedahan dilakukan pada komplikasi
kornea persisten seperti ulkus yang tidak membaik atau plak kornea. Tindakan
yang dilakukan dapat berkisar dari pengikisan sehingga keraktektomi superfisial.
Papila raksasa perifer yang tidak berespon dengan pemberian obat dapat
dilakukan cryoablation. Tindakan bedah lain untuk mencegah kekambuhan
termasuk aplikasi mitomisin-C, cangkok konjungtiva autologus atau transplantasi
membran mukosa. Transplantasi membran amnion pada kasus papila raksasa sulit
yang sulit disembuhkan telah terbukti membantu penyembuhan komplikasi kornea
yang berhubungan dengan papilla raksasa seperti epitelium dan bisul.8

2.2.8 Komplikasi

14
Keratoconjunctivitis vernal ringan biasanya merupakan penyakit yang
sembuh sendiri. Namun, dalam beberapa kasus dapat menyebabkan komplikasi
gangguan penglihatan. Epitel kornea berfungsi sebagai penghalang bagi patogen
yang bersirkulasi, tetapi dapat menjadi rusak pada penyakit parah baik karena
trauma dari papila tarsal atas dan susunan molekul inflamasi yang kompleks.
Kombinasi trauma berulang dan lingkungan inflamasi ini kemudian dapat
menyebabkan perisai bisul dan plak. Ulkus perisai biasanya terbentuk pada
sepertiga bagian atas kornea dan dapat menyebabkan komplikasi yang
mengancam penglihatan pada hingga 6% pasien. Mereka mulai sebagai erosi
epitel belang yang menyatu untuk membentuk makroerosion yang kemudian
berkembang menjadi ulkus tameng yang dapat berkembang menjadi diri sendiri.
membatasi atau mengembangkan konsekuensi lebih lanjut seperti keratitis bakteri.
Plak terbentuk ketika puing-puing inflamasi menumpuk di dasar ulkus pelindung.
Hal tersebut sangat resisten terhadap terapi topikal dan mungkin memerlukan
intervensi bedah.8
Pasien dengan keratoconjunctivitis vernal yang sudah berlangsung lama
juga dapat mengalami defisiensi sel induk limbal karena peradangan yang
berlangsung lama. Prevalensi defisiensi sel induk limbal pada pasien dengan VKC
mungkin setinggi 1,2% dan terjadi pada pasien yang lebih tua dengan VKC.
Perawatan mungkin termasuk transplantasi membran amnion atau transplantasi sel
punca allo-limbal. Komplikasi lain yang biasanya terkait dari vernal
keratoconjunctivitis termasuk keratoconus dan astigmatisme tidak teratur karena
seringnya menggosok mata pada populasi anak atopik dan glaukoma yang
diinduksi steroid karena sering menggunakan kortikosteroid topikal.8

2.2.9 Prognosis
Prognosis keratocojungngtivitis vernal (VKC) umumnya baik dan
penyakit ini umumnya dapat sembuh sendiri dengan pengobatan yang tepat.
Meskipun prognosis keseluruhan baik, namun 6% pasien akan mengalami
kehilangan penglihatan karena komplikasi yang terkait dengan VKC.8 Komplikasi
biasanya timbul dari jaringan parut kornea dan penggunaan kortikosteroid topikal
yang tidak diawasi. Pada beberapa pasien, gejala dapat bertahan setelah masa

15
kanak-kanak, yang dalam beberapa kasus mungkin merupakan konversi ke bentuk
keratokonjunctivitis atopik dewasa.9

BAB III
KESIMPULAN

Keratokonjungtivitis adalah peradangan ("-itis") dari kornea dan


konjungtiva. Konjungtivitis vernalis dikenal juga sebagai “catarrh musim semi”
dan “konjungtivitis musiman” atau “konjungtivits musim kemarau”, adalah
penyakit bilateral yang jarang yang disebabkan oleh alergi, biasanya berlangsung
dalam tahun-tahun prapubertas dan berlangsung 5-10 tahun. Penyakit ini lebih
banyak terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan.1
Keratokonjungtivitis vernal terjadi akibat reaksi hipersensitivitas tipe I.
Pada umumnya, pasien dengan keratokonjungtivitis datang dengan keluhan mata
sangat gatal, kemerahan dan berair, juga dengan kotoran mata berserat-serat. Ada
pasien yang turut mengeluhkan fotofobia dan terdapat sensasi benda asing. Selain
itu tanda-tanda keratokonjungtivitis vernal termasuk reaksi papiler dari atas tarsal
konjungtiva dan sehingga keseluruhan limbus.8
Gejala khas lainnya adalah hiperemia konjungtiva bulbar, tebal dan
berlendir dan keterlibatan kornea, termasuk erosi epitelial, ulkus dan plak
perlindung. Tampak putih-susu pada nkonjungtiva pasien dengan banyak papila
halus pada konjungtiva tarsalis inferior. Terdapat papila raksasa pada konjungtiva
palpebralis superior yang mirip batu kali, dengan setiap papila raksasa berbentuk
poligonal dengan atap rata, dan mengandung berkas kapiler.8
Diagnosis keratokonjungtivitis dapat dibagi berdasarkan keluhan dari
pasien dan dibagi menjadi derajat 0-4.9 Diagnosis banding dari

16
keratokonjungtivitis vernal seperti keratokonjungtivitis atopik, konjungtivitis
alergi musiman dan konjungtivitis papiler raksasa.8,9
Prinsip penatalaksanaan pada kasus sedang, antihistamin mungkin
bermanfaat tetapi pada yang lebih parah, mungkin diperlukan penggunaan
kortikosteroid. Obat yang dapat diberikan untuk mengurangi rasa gatal adalah
steroid topikal atau sistemik. Pada kasus sedang hingga berat, agen profilaktik dan
terapeutik seperti kombinasi antihistamin penstabil sel mast sangat bermanfaat.
Tindakan untuk membuat pasien nyaman adalah dengan memberikan
vasokonstriktor, kompres dingin, dan kompres es dan tidur di ruang sejuk
dikarenakan untuk pemuluhan terbaik dapat dicapai dengan memindahkan pasien
ke tempat beriklim sejuk dan lembab.
Komplikasi yang dapat terjadi seperti gangguan penglihatan dan
defisiensi sel induk limbal.8 Untuk prognosis dari keratokonjungtivitis umumnya
baik, namun pada beberapa kasus dapat menyebabkan gangguan penglihatan dan
dan keratokonjungtivitis atopic dewasa.8,9

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Eva PR-, Witcher JP. Voughan & Asbury Oftalmologi Umum. 17th ed.
Pendit BU, editor. Jakarta: EGC; 2009. 97-124 p.
2. American Academy of Ophthalmology. Conjunctivitis Preferred Practice
Pattern. San Francisco, CA: American Academy of Ophthalmology; 2018.
3. Ilyas HS, Yulianti SR. Ilmu Penyakit Mata. 5th ed. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2017. 1-12 p.
4. AAO (2018). Vernal Keratoconjunctivitis. San Fransisco: AAO MD
Association
5. Kumar,S. Vernal keratoconjunctivitis: an update. Br J Ophthalmol, 2013.
97(1).
6. Vaugan, Asbury. Oftalmologi umum. Anatomi & embriologi mata :
Glaukoma. Edisi ke 17. Jakarta;EGC;2015.
7. Rosa, M. Allergic conjuncticitis: a comprehensive review of the literature.
Ital J Pediatrs, 2013.
8. American Academy of Ophthalmology. Addis H, Jeng BH. Vernal
keratoconjunctivitis. Department of Ophthalmology and Visual Sciences,
University of Maryland School of Medicine, Baltimore, MD, USA; 2018.
12:119-123.
9. American Academy of Ophthalmology. Scott MJ. Vernal
keratoconjunctivitis. 2018.

18
19

Anda mungkin juga menyukai