Anda di halaman 1dari 55

Nama : Lionita Putri Ayuda

NIM : 21904101027
Pembimbing : dr. Luky Santi E, Sp.S

Klasifikasi Nyeri

Nyeri merupakan pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan yang
terkait dengan kerusakan jaringan secara aktual atau potensial yang dijelaskan dalam hal
kerusakan tersebut (IASP, 1994). Baru-baru ini, definisi baru telah diajukan dimana nyeri
merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan yang terkait dengan kerusakan jaringan secara
aktual atau potensial dengan komponen sensorik, emosional, kognitif dan sosial (Williams &
Craig, 2016). Definisi baru yang diajukan ini menyoroti bagaimana nyeri sangat bervariasi antara
individu satu dengan individu lainnya berdasarkan pada berbagai faktor yang dapat
mempengaruhi pengalaman nyeri yang individu rasakan.

Nyeri secara esensial dapat dibagi atas dua tipe yaitu nyeri adaptif dan nyeri maladaptif.
Nyeri adaptif berperan dalam proses survival dengan melindungi organisme dari cedera atau
sebagai petanda adanya proses penyembuhan dari cedera. Nyeri maladaptif terjadi jika ada
proses patologis pada sistem saraf atau akibat dari abnormalitas respon sistem saraf. Kondisi ini
merupakan suatu penyakit (pain as a disease).

Nosiseptik, neuropatik, nosiplastik


a. Nyeri nosiseptik

Nyeri dengan stimulasi singkat dan tidak menimbulkan kerusakan jaringan. Pada umumnya, tipe
nyeri ini tidak memerlukan terapi khusus karena perlangsungannya yang singkat. Nyeri ini dapat
timbul jika ada stimulus yang cukup kuat sehingga akan menimbulkan kesadaran akan adanya
stimulus berbahaya, dan merupakan sensasi fisiologis vital. Intensitas stimulus sebanding dengan
intensitas nyeri. Contoh: nyeri pada operasi, nyeri akibat tusukan jarum, dll.

b. Nyeri Neuropatik
Merupakan nyeri yang terjadi akibat adanya lesi sistem saraf perifer (seperti pada neuropati
diabetika, post-herpetik neuralgia, radikulopati lumbal, dll) atau sentral (seperti pada nyeri pasca
cedera medula spinalis, nyeri pasca stroke, dan nyeri pada sklerosis multipel).

c. Nyeri Nosiplastik
Nyeri yang muncul akibat gangguan nosisepsi meskipun tidak ada bukti secara aktual
adanya kerusakan jaringan yang menyebabkan adanya aktivasi nosiseptor perifer dan atau lesi
sistem somatosensoris (contoh: nyeri pinggang kronis nonspesifik, fibromialgia,
temporomandibular disorder)
Berdasarkan waktu durasi nyeri:
a. Nyeri akut: nyeri yang berlangsung kurang dari 3 bulan, mendadak akibat trauma atau
inflamasi, tanda respons simpatis.
b. Nyeri kronik: nyeri yang berlangsung lebih dari 3 bulan, hilang timbul atau terus menerus,
tanda respons parasimpatis.
Berdasarkan intensitas nyeri:
a. Skala visual analog score: 1- 10
b. Skala wajah Wong Baker: tanpa nyeri, nyeri ringan, nyeri sedang, nyeri berat.
Berdasarkan lokasi:
a. Nyeri superfisial: nyeri pada kulit, subkutan, bersifat tajam, terlokasi.
b. Nyeri somatik dalam: nyeri berasal dari otot, tendo, tumpul, kurang terlokasi.
c. Nyeri visceral: nyeri berasal dari organ internal atau organ pembungkusnya, seperti nyeri kolik
gastrointestinal dan kolik ureter.
d. Nyeri alih/referensi: masukan dari organ dalam pada tingkat spinal disalahartikan oleh
penderita sebagai masukan dari daerah kulit pada segmen spinal yang sama.
e. Nyeri proyeksi: misalnya pada herpes zooster, kerusakan saraf menyebabkan nyeri yang
dialihkan ke sepanjang bagian tubuh yang diinervasi oleh saraf yang rusak tersebut sesuai
dermatom tubuh.
f. Nyeri phantom: persepsi nyeri dihubungkan dengan bagian tubuh yang hilang seperti pada
amputasi ekstremitas
CERVICAL ROOT SYNDROME

A. Pengertian
Cervical Root Syndrome adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh iritasi atau
penekanan akar saraf servikal oleh penonjolan discus invertebralis, gejalanya adalah nyeri
leher yang menyebar ke bahu, lengan atas atau lengan bawah, parasthesia, dan kelemahan
atau spasme otot.
Salah satu contoh penyakitnya adalah Syndrome radikulopati. Radikulopati berarti
terdapat proses patologik pada radiks posterior dan anterior. Gangguan itu dapat setempat
atau menyeluruh.

B. Etiologi
Beberapa kondisi pada leher banyak disebabkan oleh pergeseran atau penjepitan dari
akar saraf atau gangguan pada foramen intervertebralis mungkin disertai dengan tanda dan
gejala dari Cervical Root Syndrome. Kondisi tebanyak pada kasus ini disebabkan oleh
proses degeneratif dan herniasi dari discus intervertebralis.

Untuk lebih jelas mengenai etiologi, kita akan membahas sedikit mengenai anatomi
daerah terkait. Pada daerah leher, banyak terdapat jaringan yang bisa merupakan sumber
nyeri. Biasanya rasa nyeri berasal dari jaringan lunak atau ligament, akar saraf, faset
artikular, kapsul, otot serta duramater. Nyeri bisa diakibatkan oleh proses degeneratif,
infeksi/inflamasi, iritasi dan trauma. Selain itu perlu juga diperhatikan adanya nyeri alih dari
organ atau jaringan lain yang merupakan distribusi dermatomal yang dipersarafi oleh saraf
servikal.
Radiks anterior dan posterior bergabung menjadi satu berkas di foramen
intervertebral dan disebut saraf spinal. Berkas serabut sensorik dari radiks posterior disebut
dermatome. Pada permukaan thorax dan abdomen, dermatome itu selapis demi selapis
sesuai dengan urutan radiks posterior pada segmen-segmen medulla spinalis C3-C4 dan T3-
T12. Tetapi pada permukaan lengan dan tungkai, kawasan dermatome tumpang tindih oleh
karena berkas saraf spinal tidak langsung menuju ekstremitas melainkan menyusun plexus
dan fasikulus terkebih dahulu baru kemudian menuju lengan dan tungkai. Karena itulah
penataan lamelar dermatome C5-T2 dan L2-S3 menjadi agak kabur.
Segala sesuatunya yang bisa merangsang serabut sensorik pada tingkat radiks dan
foramen intervertebral dapat menyebabkan nyeri radikuler, yaitu nyeri yang berpangkal pada
tulang belakang tingkat tertentu dan menjalar sepanjang kawasan dermatome radiks posterior
yang bersangkutan. Osteofit, penonjolan tulang karena faktor congenital, nukleus pulposus atau
serpihannya atau tumor dapat merangsang satu atau lebih radiks posterior.
Pada umumnya, sebagai permulaan hanya satu radiks saja yang mengalami iritasi
terberat, kemudian yang kedua lainnya mengalami nasib yang sama karena adanya perbedaan
derajat iritasi, selisih waktu dalam penekanan, penjepitan dan lain sebagainya. Maka nyeri
radikuler akibat iritasi terhadap 3 radiks posterior ini dapat pula dirasakan oleh pasien sebagai
nyeri neurogenik yang terdiri atas nyeri yang tajam, menjemukan dan paraestesia.
Nyeri yang timbul pada vertebra servikalis dirasakan didaerah leher dan belakang kepala
sekalipun rasa nyeri ini bisa di proyeksikan ke daerah bahu, lengan atas, lengan bawah atau
tangan. Rasa nyeri di picu/diperberat dengan gerakan/posisi leher tertentu dan akan disertai nyeri
tekan serta keterbatasan gerakan leher.

a. Sistem tulang
1. Arcus
Arcus adalah bangunan yang merupakan lempengan dan simetris antara kanan dan
kiri, terletak pada posterior corpus. Pangkal dari corpus ini disebut radiks arcus vertebralis.
Di sebelah posterior dari lengkung ini bertemu linea mediana posterior dan selanjutnya
membentuk tonjolan seperti duri yang disebut prosessus spinosus. Tonjolan meruncing pada
batas dataran radiks dan arus ke lateral disebut prosessus tranversus.
2. Foramen vertebralis
Vertebra cervicalis membentuk suatu columna vertebralis, dengan sendirinya
tiap foramen vertebraeyang lain membentuk kanalis di dalam columna vertebralis yang
ditempati oleh medulla spinalis, yaituforamen vertebralis.
3. Vertebrae cervicalis
Vertebrae cevicalis terdiri dari tujuh vertebrae, yang masing-masing terhubung dengan
yang lain. Pada vertebra cervicalis satu sampai enam mempunyai corpus kecil. Processusnya
bersifat bifida(bercabang dua). Processus tranversusnya mempunyai foramen
transversarium yang membagi processus tranversum menjadi dua tonjolan yaitu tuberkulum
anterius dan posterius. tetapi pada cervical enam terdapat pembesaran dari tuberkulum
anterius yang disebut tuberkulum karotikus yang terletak diarteria karotikus.
Sedangkan pada vertebrae cervical tujuh terdapat perbedaan susunan dengan vertebrae
cervicalis lainya karena prosessus spinosusnya disini meruncing menuju ke dorsal dan tidak
bercabang menjadi dua lagi dan sangat menonjol sehingga mudah diraba dari luar, oleh
karena itu vertebrae cervical tujuh disebut vertebrae prominens. Selain itu perbedaan yang
lainya adalah foramen tranversarium sangat kecil, sebab belum dilalui oleh pembuluh darah.

b. Sistem otot
Sesuai dengan kondisi CRS ini maka dalam bab ini penulis akan membahas otot-otot
yang berhubungan dengan gerakan leher dan bahu yang meliputi flexor cervicalis otot-otot
penggerak utamanya adalah m. sternoleidomastoideus, m. sclaneus medius dan anterior
posterior, dimana otot-otot ini diinervasi oleh C1-8, eksensor cervicalis otot penggerak
utamanya adalah m. splennius cervicis, m. semi spinalis, m. longisimus cervicalis, m.
ilioastalis cervicis (diinervasi C3-T6), lateral flexi otot penggerak utamanya adalah
m. sternoleidomastoideus, m. sclaneus anterior, medius dan posterior (diinervasi C2-
3),rotasi, penggerak utamanya adalah m. obliqus capitis inferior, m. semispinalis cervicis,
m. splenius cervicis, m. longus capitis (diinervasi C2-T5).
Sedangkan otot–otot penggerak bahu adalah m. deltoid anterior, m. supra spinatus, dan
m. coraco radialis untuk gerakan flexi, m. latisimus dorsi dan m. teres mayor untuk
ekstensi, m. deltoid middle, m. supra spinatus untuk abduksi, m. latisimus dorsi, m.
petoralis mayor, m. teres minor dan m. coraco brachialisuntuk adduksi, m. infraspinatus,
m. teres minor untuk internal dan eksternal rotasi.

c. Sistem persarafan
Sistem persarafan merupakan sistem penghantar yang berfungsi sebagai perantara
impuls-impuls saraf yang berjalan di kedua arah antara susunan saraf pusat dan jaringan
tubuh lainya. Komponen badan saraf terdiri dari serabut-serabut yang terikat menjadi satu
oleh jaringan penyokong konektif. Sistem persarafan yang terletak pada plexsus brachialis
merupakan sistem saraf perifer yang mana terdapat beberapa persarafan antara lain, n.
medianus, n. ulnaris, n. cuaeus, dan n. radialis.
1. Nerves Musculocutaneus
Nerves Musculocutaneus timbul dari fascicularis lateral plexsus brachialis dan terdiri
dari serabut-serabut yang berasal dari segmen C5 dan C6. mula-mula nerves ini terletak di
sebelah lateral arteri axillaris, lalu menembus muscular coraco brachialis dan turun secara
oblique di sebelah lateral diantara musculus biceps dan brachialis.
2. Nerves axillaris (circumflexa, C5-C6)
Nerves axillaris berasal dari fasciculer post plexus brachialis dan terdiri dari serabut-
serabut yang berasal dari segmen C5 dan C6, kemudian serabut berjalan ke dorsal.
3. Nerves radialis (musculospiralis, C6-8 dan Th 1)
Nerves radialis merupakan cabang yang terbesar daripada batas bawah muscular
pectoralis sebagai kelanjutan langsung dari fasciculer pectoralis dan serabut-serabut yang
berasal dari tiga segmen thoracal pertama dari medulla spinalis. Selama berjalan turun
sepanjang lengan, n. radialis ini menyertai arteri profundus dan sekitar humerus serta di
dalam sulcus musculospinalis.
4. Nerves Medianus (C6-8, Th1)
Nerves medianus dipercabangkan dari pleksus brachialis dengan dua buah caput.
Kedua caput tersebut berasal dari fasikulus lateral dan fasikulus medial. Kedua caput
tersebut bersatu pada bawah otot pectoralis minor, jadi serabut-serabut dari dalam trunkus
berasal dari tiga segmen cervical yang bawah dan dari segmen thorakal pertama medulla
spinalis di dalam lengan atas bagian bawah
5. Nerves Ulnaris (C8-Th1)
Nerves ulnaris merupakan cabang terbesar daripada plexsus brachialis. Serabut syaraf
ini terdiri dari serabut-serabut yang berasal dari segmen C8-Th1. Nerves ulnaris ini berasal
dari batas bawahmusculus pectoralis minor dan berjalan turun pada sisi medial lengan dan
menembus septum intermuscular untuk melanjutkan perjalanan dalam sulcus pada caput
medialis.3,4

C. Patofisiologi
Discus intervertebralis terdiri dari nucleus pulposus yang merupakan jaringan elastis,
yang dikelilingi oleh annulus fibrosus yang terbentuk oleh jaringan fibrosus. Kandungan air
dalam nucleus pulposus ini tinggi, tetapi semakin tua umur seseorang kadar air dalam nuleus
pulposus semakin berkurang terutama setelah seseorang berumur 40 tahun, bersamaan
dengan itu terjadi perubahan degenerasi pada begian pusat discus, akibatnya discus ini akan
menjadi tipis, sehingga jarak antara vertebrae yang berdekatan mejadi kecil dan ruangan
discus menjadi sempit, selanjutnya annulus fibrosus mengalami penekanan dan menonjol
keluar.
Menonjolnya bagian discus ini maka jaringan sekitarnya yaitu corpus-corpus
vertebrae yang berbatasan akan terjadi suatu perubahan. Perubahannya yaitu terbentuknya
jaringan ikat baru yang dikenal dengan nama osteofit. Kombinasi antara menipisnya discus
yang menyebabkan penyempitan ruangan discus dan timbulnya osteofit akan mempersempit
diameter kanalis spinalis. Pada kondisi normal diameter kanalis spinalis adalah 17 mm
sampai 18 mm. Tetapi pada kondisi CRS, kanalis ini menyempit dengan diameter pada
umumnya antara 9 mm sampai 10 mm.
Pada keadaan normal, akar-akar saraf akan menempati seperempat sampai seperlima,
sedangkan sisanya akan diisi penuh oleh jaringan lain sehingga tidak ada ruang yang tersisa.
Bila foramen intervertebralis ini menyempit akibat adanya osteofit, maka akar-akar saraf
yang ada didalamnya akan tertekan. Saraf yang tertekan ini mula-mula akan membengkok.
Perubahan ini menyebabkan akar-akar saraf tersebut terikat pada dinding foramen
intervertebralis sehingga mengganggu peredaran darah. Selanjutnya kepekaan saraf akan
terus meningkat terhadap penekanan, yang akhirnya akar-akar saraf kehilangan sifat
fisiologisnya. Penekanan akan menimbutkan rasa nyeri di sepanjang daerah yang
mendapatkan persarafan dari akar saraf tersebut.

D. Tanda dan gejala


Nyeri radikuler serviks ditandai dengan nyeri leher menjalar ke sisi posterior lengan
bawah, bahu dan kadang-kadang bisa mencapai ke tangan. Memancarkan nyeri mengikuti
distribusi dermatom dari saraf yang terkena, tetapi juga mempengaruhi jaringan diinervasi
oleh saraf ini, seperti otot, sendi, ligamen dan kulit. Nyeri yang berasal dari akar serviks
keempat (C4) terlokalisir di leher dan daerah supraskapular. Nyeri dari akar serviks kelima
(C5) menjalar ke lengan bawah, sedangkan nyeri dari akar keenam dan ketujuh (C6 dan C7)
meluas ke leher, lengan bahu, dan tangan.
E. Diagnosa
a. Anamnesa
Anamnesa adalah hal-hal yang menjadi sejarah kasus pasien, juga berguna untuk
menentukan diagnosa, karena misalnya dengan pendekatan psikiatri terhadap depresinya
yang kadang merupakan factor dasar nyeri bahu ini.
Gejala-gejala yang mungkin nampak pada inspeksi dan palpasi, misalnya :
1. Nyeri kaku pada leher
2. Rasa nyeri dan tebal dirambatkan ke ibu jari dan sisi radial tangan
3. Dijumpai kelemahan pada biceps atau triceps
4. Berkurangnya reflex biceps
5. Dijumpai nyeri menjalar (referred pain) di bahu yang samar, dimana “nyeri bahu” hanya
dirasa bertahan di daerah deltoideus bagian lateral dan infrascapula atas.
b. Tes Khusus
Untuk tes-tes khusus yang harus dilakukan sebenarnya banyak, misalnya :
1. Tes Provokasi
Tes Spurling atau tes Kompresi Foraminal, dilakukan dengan cara posisi leher
diekstensikan dan kepala dirotasikan ke salah satu sisi, kemudian berikan tekanan ke bawah
pada puncak kepala. Hasil positif bila terdapat nyeri radikuler ke arah ekstremitas ipsilateral
sesuai arah rotasi kepala. Pemeriksaan ini sangat spesifik namun tidak sensitif guna
mendeteksi adanya radikulopati servikal. Pada pasien yang datang ketika dalam keadaan
nyeri, dapat dilakukan distraksi servikal secara manual dengan cara pasien dalam posisi
supinasi kemudian dilakukan distraksi leher secara perlahan. Hasil dinyatakan positif apabila
nyeri servikal berkurang.
2. Tes Distraksi Kepala
Distraksi kepala akan menghilangkan nyeri yang diakibatkan oleh kompresi terhadap
radiks syaraf. Hal ini dapat diperlihatkan bila kecurigaan iritasi radiks syaraf lebih
memberikan gejala dengan tes kompresi kepala walaupun penyebab lain belum dapat
disingkirkan.
3. Tindakan Valsava
Dengan tes ini tekanan intratekal dinaikkan, bila terdapat proses desak ruang di
kanalis vertebralis bagian cervical, maka dengan di naikkannya tekanan intratekal akan
membangkitkan nyeri radikuler. Nyeri syaraf ini sesuai dengan tingkat proses patologis
dikanalis vertebralis bagian cervical. Cara meningkatkan tekanan intratekal menurut Valsava
ini adalah pasien disuruh mengejan sewaktu ia menahan nafasnya. Hasil positif bila timbul
nyeri radikuler yang berpangkal di leher menjalar ke lengan.
c. Pemeriksaan Penunjang
1. CT scan dan MRI
CT scan menyediakan informasi yang baik pada struktur tulang, tetapi ada
keterbatasan berkaitan dengan jaringan lunak. MRI adalah pemeriksaan pilihan,
menunjukkan perubahan morfologi yang terjadi di diskus intervertebralis, saraf tulang
belakang, akar saraf dan jaringan lunak sekitarnya. Diagnosis tidak boleh hanya didasarkan
pada temuan radiologis, karena sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa sekitar 30%
dari pasien dengan temuan MRI tidak menunjukkan gejala. Ketika klinis dan radiologis
temuan cocok, maka akan lebih mudah untuk membuat diagnosa yang tepat.

2. Tes elektrofisiologi
Tes elektrofisiologi termasuk konduksi saraf dan elektromiografi (EMG). Ini berguna
ketika ada kecurigaan cacat saraf tetapi mereka tidak memberikan informasi khusus
mengenai nyeri.

F. Pengobatan
a. Pengobatan Konservatif
Obat penghilang nyeri atau relaksan otot dapat diberikan pada fase akut. Obat-obatan
ini biasanya diberikan selama 7-10 hari. Jenis obat-obatan yang banyak digunakan biasanya
dari golongan salisilat atau NSAID. Bila keadaan nyeri dirasakan begitu berat, kadang-
kadang diperlukan juga analgetik golongan narkotik seperti codein, meperidin, bahkan bisa
juga diberikan morfin. Ansiolitik dapat diberikan pada mereka yang mengalami ketegangan
mental. Pada kondisi tertentu seperti nyeri yang diakibatkan oleh tarikan, tindakan latihan
ringan yang diberikan lebih awal dapat mempercepat proses perbaikan.
Kepala sebaiknya diletakan pada bantal servikal sedemikian rupa yaitu sedikit dalam
posisi flexi sehingga pasien merasa nyaman dan tidak mengakibatkan gerakan kearah lateral.
Istirahat diperlukan pada fase akut nyeri,terutama pada spondilosis servikalis atau kelompok
nyeri non spesifik.5,8,16
Obat-obatan yang banyak digunakan adalah:
 Ibuprofen 400 mg, tiap 4-6 jam (PO)
 Naproksen 200-500 mg, tiap 12 jam (PO)
 Fenoprofen 200 mg, tiap 4-6 jam (PO)
 Indometacin 25-50 mg, tiap 8 jam (PO)
 Kodein 30-60 mg, tiap jam (PO/Parentral)
 Vit. B1, B6, B12

b. Pengobatan Pencegahan Nyeri


1. Epidural Kortikosteroid Injection
Bila penyakit ini dalam bentuk yang akut atau subakut, injeksi kortikosteroid
diindikasikan.Teknik yang digunakan, adalah pendekatan translaminar posterior, sedangkan
injeksi epidural transforaminal dihindari karena risiko tinggi komplikasi yang parah, yang
bertentangan dengan tulang belakang lumbar mana pendekatan transforaminal disukai. Di
seluruh dunia penelitian sistematis mengarah pada kesimpulan bahwa injeksi kortikosteroid
serviks epidural secara signifikan efektif dalam pengobatan nyeri radikuler akut dan subakut
serviks dan selalu harus diterapkan sebelum keputusan operasi.

2. Neuroplasty (adhesiolysis) dengan kateter Racz


Bila penyakit ini dalam bentuk-yang kronis yang biasanya terjadi setelah operasi
tulang belakang atau mengikuti fase akut dan subakut radikulitis dari herniasi yang telah
undertreated dengan terapi konservatif-neuroplasty (adhesiolysis) dengan kateter Racz
diindikasikan. Masyarakat Amerika Dokter Nyeri Intervensional (ASIPP) diterbitkan
pedoman berbasis bukti untuk teknik invasif dalam pengelolaan nyeri tulang belakang
kronis. Menurut pedoman ini, ada bukti kuat yang menunjukkan kemanjuran neuroplasty
dengan kortikosteroid dalam kontrol pendek dan jangka panjang dari nyeri pada refraktori
radiculopathy dan nyeri tulang belakang neuropatik.

3. Pulsed Radiofrequency Theraphy (PRF)


Studi terkontrol acak telah menunjukkan kemanjuran PRF diterapkan pada ganglion
akar dorsal tulang belakang (DRG) dari tulang belakang leher. Menurut pengobatan berbasis
bukti, penerapan metode dalam kasus radikulitis serviks kronis sangat dianjurkan. Durasi
analgesia bervariasi dari kasus ke kasus. Teknik ini aman dan dapat diulangi sebanyak yang
diperlukan. Jika, meskipun sesi terapi berulang-ulang dengan frekuensi radio berdenyut
hasilnya telah membatasi durasi, maka frekuensi radio konvensional dapat
diterapkan. Aplikasi ini, bagaimanapun, menghancurkan (ablates) ganglion dan dapat
menyebabkan kelemahan otot sedikit di lengan.

4. Stimulasi Cord Pinal


Ini adalah terapi neuromodulatory, yang digunakan dalam kasus semua metode yang
kurang invasif lain gagal. Kemanjurannya dalam mengobati nyeri neuropatik yang kronis
adalah signifikan.

c. Fisioterapi
Tujuan utama penatalaksanaan adalah reduksi dan resolusi nyeri, perbaikan atau
resolusi defisit neurologis dan mencegah komplikasi atau keterlibatan medulla spinalis lebih
lanjut.2,5,8,20
1. Traksi
Tindakan ini dilakukan apabila dengan istirahat keluhan nyeri tidak berkurang atau
pada pasien dengan gejala yang berat dan mencerminkan adanya kompresi radiks saraf.
Traksi dapat dilakukan secara terus-menerus atau intermiten.
2. Cervical Collar
Pemakaian cervical collar lebih ditujukan untuk proses imobilisasi serta mengurangi
kompresi pada radiks saraf, walaupun belum terdapat satu jenis collar yang benar-benar
mencegah mobilisasi leher. Salah satu jenis collar yang banyak digunakan adalah SOMI
Brace (Sternal Occipital Mandibular Immobilizer).
Collar digunakan selama 1 minggu secara terus-menerus siang dan malam dan
diubah secara intermiten pada minggu II atau bila mengendarai kendaraan. Harus diingat
bahwa tujuan imobilisasi ini bersifat sementara dan harus dihindari akibatnya yaitu
diantaranya berupa atrofi otot serta kontraktur. Jangka waktu 1-2 minggu ini biasanya cukup
untuk mengatasi nyeri pada nyeri servikal non spesifik. Apabila disertai dengan iritasi radiks
saraf, adakalanya diperlukan waktu 2-3 bulan. Hilangnya nyeri, hilangnya tanda spurling
dan perbaikan defisit motorik dapat dijadikan indikasi pelepasan collar.
3. Thermoterapi
Thermoterapi dapat juga digunakan untuk membantu menghilangkan nyeri. Modalitas
terapi ini dapat digunakan sebelum atau pada saat traksi servikal untuk relaksasi otot.
Kompres dingin dapat diberikan sebanyak 1-4 kali sehari selama 15-30 menit, atau kompres
panas/pemanasan selama 30 menit 2-3 kali sehari jika dengan kompres dingin tidak dicapai
hasil yang memuaskan. Pilihan antara modalitas panas atau dingin sangatlah pragmatik
tergantung persepsi pasien terhadap pengurangan nyeri.
4. Latihan
Berbagai modalitas dapat diberikan pada penanganan nyeri leher. Latihan bisa dimulai
pada akhir minggu I. Latihan mobilisasi leher kearah anterior, latihan mengangkat bahu atau
penguatan otot banyak membantu proses penyembuhan nyeri. Hindari gerakan ekstensi
maupun flexi. Pengurangan nyeri dapat diakibatkan oleh spasme otot dapat ditanggulangi
dengan melakukan pijatan.8,20-22
Modalitas fisioterapi yang digunakan dalam penanganan CRS ini adalah SWD, ultra sonic,
dan terapi latihan.

G. Diagnosis banding
Banyak kondisi yang dapat menimbulkan nyeri pada leher dan bahu serta rasa tak
nyaman pada ekstremitas. Semua itu harus dibedakan dari mana asalnya dan bagaimana
mekanisme terjadinya. Diagnosis banding untuk CRS ini adalah:2,5,8,28

1. Carpal Tunnel Syndrome,


Adalah suatu gejala yang muncul bila ada penekanan nervus medianus oleh ligamen
transversum sehingga timbul kesemutan, nyeri menjalar ke tangan.
2. Thoracic outlet syndrome
a. Anterior sclanei syndrome
Disebabkan karena adanya kompresi bundle neurovaskuler diantara otot sclanei dan costa
pertama. Gejalanya adalah numbness, tingling, di lengan dan jari-jari tangan. Biasanya
menggambarkan kesemutan datang dan pergi dari tangan dan jari tangan. Nyeri ini letaknya
dalam biasanya datang setelah duduk lama.
b. Petoralis minor syndrome
Muncul bila ada penekanan bundle neuromuscular diantara bagian antero lateral atas
dan otot pectoralis minor terjadi bila hiperabduksi humerus mengulur otot pectoralis minor.
3. Claviculocostal syndrome
Timbul karena adanya penekanan pada bundle neurovasculer saat melewati belakang
clavicula di sebelah anterior costa pertama, gejala lainnya adalah adanya dropy posture yaitu
posturnya salah, lelah, cemas, dam depresi.

H. Komplikasi
Komplikasi dari Cervical Root Syndrome adalah atrofi otot-otot leher dan adanya
kelemahan otot-otot leher dan bahu, dan ketidakmampuan tangan untuk melakukan aktifitas.
LOWER BACK PAIN
A. Pengertian

Menurut The International Association for the Study of Pain, nyeri didefinisikan sebagai
suatu rasa yang tidak menyenangkan dan merupakan pengalaman emosional yang berhubungan
dengan kerusakan jaringan dan terkadang nyeri digunakan untuk menyatakan adanya kerusakan
jaringan (Parjoto, 2006). Nyeri punggung bawah adalah nyeri yang terbatas pada regio lumbal,
tetapi gejalanya lebih merata dan tidak hanya terbatas pada satu radiks saraf, namun secara luas
berasal dari discus intervertebralis lumbal (Dachlan, 2009).

Low back pain atau nyeri punggung bawah merupakan salah satu gangguan muskuloskeletal
yang disebabkan oleh aktivitas tubuh yang kurang baik (Maher, 2002).

Kirthika (2016) menyatakan bahwa nyeri punggung bawah atau low back pain adalah
kelainan umum yang melibatkan otot dan tulang, sumber rasa sakit yang dialami individu ini
adalah karena cidera pada struktur jaringan lunak yang meliputi otot, fascia dan ligamen. Low
back pain merupakan suatu nyeri pada daerah punggang bawah yang dihasilkan dari rangsangan
fisik atau sikap tubuh yang buruk (poor posture), merupakan suatu proses kumulatif yang
menyebabkan punggung bagian bawah di bawah tekanan mekanik yang berat yang menyebabkan
penurunan disabilitas dan keterbatasan gerak sendi lumbosacral. Nyeri punggung bawah
berhubungan dengan unsur miogenik dengan stress atau strain otot punggung bawah, Nyeri
barsifat tumpul, intensitas bervariasi dan seringkali menjadi kronik. Nyeri ini tidak disertai
dengan, parestesi, kelemahan atau defisit neorologis, bila batuk atau bersin tidak menjalar ke
tungkai. Gangguan yang terjadi pada low back pain yaitu nyeri tekan pada regio lumbal, spasme
otot-otot punggung bawah, sehingga dapat mengakibatkan ketidakseimbangan antara otot
abdominal dan paravertebrae, yang dapat mengakibatkan terjadinya keterbatasan gerak. Adanya
ketidakseimbangan tersebut akan menyebabkan penurunan mobilitas lumbal akibat adanya nyeri,
spasme, dan ketidakseimbangan otot tersebut, sehingga aktivitas fungsional terganggu, terutama
aktivitas yang memerlukan gerak membungkuk dan memutar badan (Meliala and Pinzon 2004).

B. ETIOLOGI
Menurut Borrenstein (2004), faktor-faktor penyebab nyeri punggung bawah sebagian besar
berasal dari faktor mekanik, dapat diklasifikasikan menjadi 2 kategori, yaitu :

a. Faktor mekanik statik


Faktor mekanik statik adalah deviasi sikap atau postur tubuh yang menyebabkan
peningkatan sudut lumbosakral (sudut antara segmen Vertebra L5 dan Vertebra S1) yang
normalnya 30-34, atau peningkatan lengkung lordotik lumbal dalam waktu yang cukup
lama, serta menyebabkan pergeseran titik pusat berat badan (center of gravity/CoG), yang
normalnya berada di garis tengah sekitar 2,5 cm di depan segmen Vertebra S2.
Peningkatan sudut lumbosakral dan pergeseran CoG tersebut akan menyebabkan
peregangan pada ligamen dan berkontraksinya otot-otot yang berusaha untuk
mempertahankan postur tubuh yang normal, akibatnya dapat terjadi sprain atau strain
pada ligamen atau otot-otot sekitar punggung bawah yang menimbulkan nyeri. Kemudian
sikap tubuh atau postur yang jelek adalah adalah sikap berdiri membungkuk ke depan,
tidak tegak, kepala menunduk, dada datar, dinding abdomen menonjol dan punggung
bawah sangat lordotik. Keadaan ini akan membuat titik berat badan akan jatuh ke depan.
Sebagai kompensasi punggung harus ditarik kebelakang dan akan menimbulkan
hiperlordosis lumbal. Hal ini bila berlangsung lama akan menimbulkan kelelahan otot
dan rangsangan pada ligamen-ligamen yang akan dapat menimbulkan rasa nyeri.
b. Faktor mekanik dinamik
Faktor mekanik dinamik atau kinetik yaitu terjadinya stress atau beban mekanik
abnormal pada struktur jaringan (ligamen atau otot) di daerah punggung bawah saat
melakukan gerakan. Stress atau beban mekanik tersebut melebihi kapasitas fisiologis atau
toleransi otot maupun ligamen di daerah punggung bawah. Gerakan yang potensial
menimbulkan nyeri punggung bawah muskuloskeletal adalah gerakan kombinasi
terutama fleksi dan rotasi, dan bersifat repetitif, apalagi disertai dengan beban, misalnya
ketika sedang mengangkat beban yang berat.

Sedangkan menurut Bull (2007), faktor-faktor resiko pada nyeri punggung bawah dapat
dibagi menjadi 2 kelompok utama, yaitu faktor eksternal atau pekerjaan dan faktor internal :

a. Faktor eksternal atau identik dengan aktivitas dan pekerjaan


1) Pekerjaan fisik yang berat, yang terutama memberikan tekanan yang cukup besar pada
punggung bawah.

2) Pekerjaan yang berhubungan dengan posisi statik yang berkepanjangan, misalnya berdiri
atau duduk yang cukup lama, apalagi disertai dengan vibrasi atau getaran pada tubuh, misalnya
mengendarai mobil, truk, atau mengoperasikan alat-alat perindustrian.

3) Pekerjaan yang dilakukan dengan gerakan membungkuk atau memutar tubuh secara
berulang-ulang.

b. Faktor internal

1) Faktor internal berkaitan dengan individu itu sendiri, antara lain usia atau degeneratif,
dari berbagai studi epidemiologik, kejadian nyeri punggung bawah meningkat pada usia 35 tahun
dan mencapai puncaknya pada usia sekitar 55 tahun.

2) Antropometrik, berhubungan dengan berat badan, individu dengan obesitas mempunyai


resiko yang lebih besar mengalami nyeri punggung bawah karena obesitas menyebabkan
hiperlordosis lumbal sehingga terjadi pergeseran titik pusat berat badan ke depan.
Klasifikasi Lower Back Pain berdasarkan etiologinya

C. GEJALA

McKenzie (2008) mengemukakan tiga gejala utama yang termasuk dalam kelompok low
back pain :

a. Sindroma Postural biasanya dijumpai pada usia dibawah 30 tahun terutama mereka yang
pekerjaannya memerlukan posisi duduk dan kurang berolah raga, nyerinya bersifat intermiten
dan timbul akibat deformasi jaringan lunak, ketika jaringan lunak sekitar segmen lumbal
dalam posisi teregang dalam waktu yang lama. Terlihat dalam posisi duduk yang salah
termasuk adanya forward head ounded shoulders dan fleksi berlebihan dari punggung bawah.

b. Sindroma Disfungsi biasanya dijumpai pada usia diatas 30 tahun, kecuali jika disebabkan oleh
trauma sering dijumpai adanya postur yang buruk dalam jangka waktu lama (lebih dari 10
tahun) dan berupa hasil akibat spondylosis, trauma, atau derangement. Sindroma disfungsi
adalah gejala kedua di mana terjadinya adaptive shorthening dan hilangnya mobilitas yang
menyebabkan nyeri sebelum dapat mencapai gerakan akhir secara penuh. Pada dasarnya,
kondisi ini timbul karena gerakan yang dihasilkan tidak cukup dilakukan pada saat
pemendekan jaringan lunak berlangsung. Disfungsi ini dinamakan berdasarkan gerakan yang
hilang atau dibatasi. Misalnya, disfungsi fleksi akan membatasi kemampuan seorang individu
untuk membungkuk ke depan di daerah tulang belakang.

c. Sindroma Derangement biasanya dijumpai pada usia antara 20-55 tahun, pasien mempunyai
sikap duduk yang salah. Sindroma derangement adalah situasi di mana posisi istirahat yang
normal dari dua permukaan artikular vertebra yang berdekatan terganggu sebagai akibat dari
perubahan posisi cairan nukleus. Perubahan dalam sendi akan mempengaruhi kemampuan
permukaan sendi untuk bergerak dalam jalur normal. Kondisi ini menjadi menyakitkan ketika
terjadi intrudes nuklues pada jaringan lunak yang sensitif terhadap nyeri. Gejala cenderung
tersentralisasi dan akhirnya berkurang sebagai hasil dari relokasi diskus dan deformitas
jaringan sekitarnya berkurang (McKenzie and May 2008).

Menurut McKenzie, low back pain ditandai dengan gejala sebagai berikut :

1. Nyeri terjadi secara intermiten atau terputus-putus,


2. Sifat nyeri tajam atau mendadak, dipengaruhi oleh sikap atau gerakan yang bisa meringankan
ataupun memperberat keluhan.

3. Membaik setelah istirahat dalam waktu yang cukup dan memburuk setelah digunakan untuk
beraktivitas.

4. Tidak ditemukan tanda-tanda radang seperti panas, warna kemerah-merahan ataupun


pembengkakan.

5. Terkadang nyeri menjalar ke pantat atau paha

6. Terkadang ada morning stiffness atau nyeri.

7. Nyeri terkadang bertambah hebat bila bergerak ekstensi, side fleksi, rotasi, berdiri, berjalan
atau duduk.

8. Nyeri berkurang bila berbaring terutama tengkurap

RED FLAG

Red flag adalah suatu tanda-tanda atau gejala yang sering dikaitkan dengan low back pain.
LBP) spesifik.Tanda gejala bisa dilihat pada tabel 2.1 (Kisner and Colby, 2007).

D. PATOFISIOLOGI
Struktur-struktur jaringan yang sering terlibat dalam nyeri punggung bawah atau low back
pain antara lain otot, tendon, diskus, ligamen dan sendi pada vertebra lumbal sehingga struktur
tersebut sering mengalami inflamasi atau cidera pada kondisi dibawah tekanan mekanik atau
gerakan. Komponen struktural vertebra sangat sensitive dan responsive terhadap stimuli
nociceptive dalam hal ini nyeri seperti pada peregangan ligamen, otot, fascia atau kapsul sendi
secara terus menerus yang dipengaruhi oleh beban mekanik baik secara statis maupun dinamis.
Nyeri terjadi jika saraf sensoris perifer, yang disebut nociseptor terpicu oleh rangsang mekanik
kimiawi maupun thermal maka impuls nyeri akan dihantarkan ke serabut-serabut afferen cabang
spinal, dari medula spinalis impuls diteruskan ke otak melalui traktus spinotalamikus kolateral.
Selanjutnya akan memberikan respon terhadap impuls saraf tersebut. Respon tersebut berupa
upaya untuk menghambat atau mensupresi nyeri dengan pengeluaran substansi peptide endogen
yang mempunyai sifat analgesik yaitu endorphin.

Disamping itu impuls nyeri yang mencapai medulla spinalis, akan memicu respon reflek
spinal segmental yang menyebabkan spasme otot dan vasokonstriksi. Spasme otot yang terjadi
disini adalah merupakan suatu mekanisme proteksi, karena adanya spasme otot akan membatasi
gerakan sehingga dapat mencegah kerusakan lebih berat, namun dengan adanya spasme otot,
juga terjadi vasokonstriksi pembuluh darah yang menyebabkan ischemia dan sekaligus menjadi
titik picu terjadinya nyeri (Meliala and Pinzon 2004).

Guyton and Hall (2006) penyebab nyeri lainnya adalah ischemia, dimana ischemia dapat
menyebabkan akumulasi asam laktat dengan jumlah yang besar di dalam jaringan, yang
terbentuk sebagai konsekuensi dari metabolisme anaerobik. Kemungkinan juga adalah
keterlibatan unsur-unsur kimiawi lainnya seperti bradykinin dan enzim proteolytic yang
terbentuk di dalam jaringan karena adanya kerusakan sel. Keterlibatan ke dua enzim dan
akumulasi asam laktat di dalam jaringan dapat merangsang ujung-ujung saraf nyeri (reseptor
nyeri).

Di samping itu, muscle spasm juga penyebab umum dari nyeri. Nyeri dapat berasal dari efek
langsung dari muscle spasm yang merangsang reseptor nyeri mechanosensitive, tetapi dapat juga
berasal dari efek tidak langsung dari muscle spasm yang mengompresi pembuluh darah sehingga
menyebabkan ischemia. Hal ini akan menciptakan pelepasan substance kimiawi penyebab nyeri.
Adanya spasme otot menyebabkan ketidakseimbangan otot abdominal dan paravertebrae, maka
akan membatasi mobilitas lumbal terutama untuk gerakan membungkuk(fleksi) dan
memutar(rotasi). Nyeri dan spasme otot seringkali membuat individu takut menggunakan otot-
otot punggungnya untuk melakukan gerakan lumbal, selanjutnya akan menyebabkan perubahan
fisiologi pada otot tersebut yaitu berkurangnya massa otot dan penurunan kekuatan otot,
akhirnya menimbulkan gangguan aktivitas fungsionalnya. Penyebab Spasme atau tightness
merupakan manifestasi dari reflex muscle guarding sebagai respon terhadap adanya stimulus
nyeri. Muscle spasm juga dapat terjadi sebagai respon terhadap perubahan sirkulasi dan
metabolik lokal yang terjadi ketika otot dalam keadaan kontraksi yang terus menerus. Nyeri juga
merupakan hasil dari adanya perubahan lingkungan sirkulasi dan metabolik (Kisner and Colby,
2007).

Pada kondisi low back pain, jaringan lunak yang sering mengalami muscle spasm adalah
otot paravertebralis lumbal. McKenzie and May (2008), menjelaskan bahwa nyeri yang berasal
dari mechanical spine disebabkan oleh deformasi mekanikal dari jaringan yang terganggu secara
struktural, di mana sebagian besar disfungsi terjadi pada komponen artikular tetapi keterlibatan
struktur kontraktil tidak dapat diabaikan. Keadaan ini akan menyebabkan muscle
tension(spasme/tightness), scarring, adherence (perlengketan), pemendekan adaptif atau
kontraktur otot, atau perbaikan yang tidak sempurna.

E. PEMERIKSAAN FISIK

Dalam menegakkan diagnosis suatu penyakit kita harus melakukan berbagai pemeriksaan, mulai
dari anamnesis, vital sign, pemeriksaan fisik dan berbagai pemeriksaan penunjang lainnya yang
dapat memperkuat dasar penegakkan diagnosis suatu penyakit. Pada kasus LBP pemeriksaan
yang harus dilakukan antara lain:

a. Anamnesis (Hills, 2014)


Dalam anamnesis kasus LBP kita sebagai pemeriksa harus menanyakan hal-hal yang
berkaitan dengan keluhan pasien secara lengkap, karena anamnesis sangat penting untuk
dasar penegakkan diagnosis atau pemeriksaan selanjutnya. Pada anamnesis, pertanyaan
pertama yang ditanyakan kepada pasien adalah keluhan utama yang membuat pasien
datang untuk memeriksakan dirinya. Pada pasien LBP, keluhan utama yang disampaikan
pasien beragam sesuai dengan tingkat keparahan dan letaknya seperti pada pasien dengan
gejala ringan biasanya mereka mengeluhkan pegal-pegal dan nyeri lokal pada pinggang.
Pada pasien dengan gejala sedang biasanya mereka mengeluhkan nyeri yang cukup berat
dan biasanya menjalar pada salah satu tungkai atau muncul rasa baal pada punggung
bawah. Sedangkan gejala berat pada pasien LBP adalah seperti kelemahan kaki bilateral,
depresi refleks tendon kaki, mati rasa, nyeri yang mengakibatkan sulit beraktivitas,
retensi urin dan disfungsi seksual. Waktu gejala LBP timbul juga perlu ditanyakan
kepada pasien untuk mengetahui tingkat keparahannya seperti pada gejala ringan muncul
jika pasien melakukan aktivitas berat, membungkuk atau memutar pinggang secara tiba-
tiba dan mengangkat beban berat. Pada pasien dengan gejala sedang biasanya muncul
saat bangun tidur di pagi hari (morning stiffness), bangun dari tempat duduk saat berkerja
atau menyetir, mengangkat beban ringan dan saat melakukan aktivitas fisik ringan
lainnya. Sedangkan gejala berat dirasakan pasien setiap waktu sehingga pasien sulit
beraktivitas. Gejala LBP juga dapat bertambah maupun berkurang saat pasien melakukan
aktivitas fisik tertentu. Pada anamnesis juga perlu ditanyakan kepada pasien apa saja
faktor yang dapat memperberat atau memperingan gejala yang dirasakan. Faktor
memperberat contohnya berjalan, mengangkat beban, naik tangga, membungkuk, batuk
atau bersin. Faktor memperingan seperti istirahat, diberi usapan pada daerah yang nyeri
atau mengkonsumsi obat anti nyeri. Dalam anamnesis riwayat penyakit dahulu pada
pasien LBP juga perlu ditanyakan untuk mengetahui apakah pasien tersebut memiliki
riwayat penyakit batu ginjal, kelainan kongenital, riwayat operasi, tumor atau keganasan
pada vertebra dan riwayat penyakit saluran kemih. Riwayat penyakit keluarga ditanyakan
pada pasien LBP untuk mengetahui apakah anggota keluarga yang lain memiliki masalah
yang sama atau kelainan kongenital pada tulang vertebra. Kasus LBP khususnya LBP
non degeneratif banyak dialami oleh pekerja yang menuntut aktivitas fisik yang berat.
Oleh karena itu dalam anamnesis juga perlu ditanyakan tentang pekerjaan, lingkungan
pekerjaan dan juga kegiatan pasien sehari-hari.
b. Vital Sign (AKPER-PPNI Surakarta, 2010)
Pemeriksaan Vital sign dilakukan untuk mengetahui tanda dari fungsi-fungsi vital tubuh.
Vital sign terdiri dari :
1) Tekanan darah Pengukuran tekanan darah bertujuan untuk mengukur kekuatan jantung
dalam memompa darah ke seluruh tubuh menggunakan alat pengukur tekanan darah
(tensimeter) dan stetoskop. Tekanan darah normal pada orang dewasa adalah sekitar
120/80. Besarnya tekanan darah seseorang dapat dipengaruhi oleh aktivitas, suhu,
makanan, keadaan emosi, sikap, keadaan fisik, dan obat-obatan.
2) Denyut nadi Pengukuran denyut nadi untuk menilai frekuensi denyut jantung dan
irama jantung per menit. Denyut nadi normal pada orang dewasa adalah 60-100 kali
per menit.
3) Suhu Suhu tubuh normal seseorang bervariasi, tergantung pada jenis kelamin,
aktivitas, lingkungan, makanan yang dikonsumsi, dan gangguan organ. Suhu tubuh
normal, menurut American Medical Association, dapat berkisar antara 97,8 derajat
Fahrenheit, atau setara dengan 36,5 derajat Celsius sampai 99 derajat Fahrenheit atau
37,2 derajat celcius.
4) Tingkat respirasi Tingkat respirasi atau respirasi rate adalah jumlah seseorang
mengambil napas per menit. Tingkat respirasi biasanya diukur ketika seseorang
dalam posisi diam dan hanya melibatkan menghitung jumlah napas selama satu
menit dengan menghitung berapa kali dada meningkat. Respirasi dapat meningkat
pada saat demam, berolahraga, emosi. Tingkat repirasi normal orang dewasa adalah
sekita 16-24 kali per menit.
c. Pemeriksaan Fisik (Sandella, 2012)
Pemeriksaan fisik ada beberapa tahapan :
1) Inspeksi
Inspeksi pertama kali dilakukan dengan posisi pasien berdiri dan diamati dari tiga
posisi yaitu depan, samping dan belakang. Pada posisi ini diamati apakah tulang
belakang simetris atau terjadi skoliosis, lordosis atau kifosis. Selain itu perlu
diperhatikan juga adanya deformitas atau lekukan kulit yang abnormal, atrofi otot,
atau pola rambut tubuh yang tidak normal. Selanjutnya dilakukan dengan posisi
pasien duduk untuk mengamati simetrisitas panggul. Selanjutnya posisikan pasien
untuk berbaring dengan kaki lurus untuk menilai simetrisitas panjang kaki kanan dan
kiri.
2) Range of Motion (Rentang Gerak Aktif)
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat pergerakkan pada tulang belakang dari
bagian leher hingga punggung bawah. Pasien diarahkan untuk menekuk, memutar
atau memiringkan badan mulai dari bagian leher hingga punggung bawah lalu
pemeriksa amati apakah ada tahanan atau rasa nyeri yang dirasakan oleh pasien.
Untuk memastikan letak nyeri pemeriksa harus melakukan rangsangan atau tekanan
perlahan pada daerah yang mengalami keluhan.
3) Kekuatan Otot
Pemeriksaan kekuatan otot dilakukan dengan cara meletakkan tangan pemeriksa pada
dada pasien dan mengarahkan pasien untuk membungkuk lalu pemeriksa menahan
gerakan tersebut untuk menilai kekuatan ototnya. Cara yang sama dilakukan dengan
meletakkan tangan pemeriksa pada bahu pasien dan menahan gerakan pasien untuk
miring dan memutar tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Pemeriksaan selanjutnya
dilakukan pada ekskremitas bawah. Pasien diposisikan untuk duduk dengan kaki
menekuk 90 derajat, pemeriksa meletakkan tangannya pada paha pasien lalu menahan
gerakan paha pasien yang fleksi. Selanjutnya tangan pemeriksa diletakkan diatas
tulang kering pasien lalu menahan gerakan ekstensi kaki pasien. Pemeriksaan terakhir
dilakukan dengan posisi berbaring dan lutut ditekuk. Pada posisi ini pasien diarahkan
untuk menegangkan otot perut selama lima detik lalu relaksasikan perlahan. Amati
apakah ada tahanan gerak dari setiap perlakuan untuk melihat adanya kelainan pada
otot.
4) Palpasi
Palpasi dilakukan untuk mengetahui apakah ada nyeri tekan, massa, deformitas,
kelainan struktur tulang dan kekakuan otot. Palpasi dilakukan dengan cara
meletakkan kedua permukaan tangan dari bagian processus spinosus dan meraba
sambil menekan perlahan ke arah tubuh bagian bawah atau lumbar vertebrae.
5) Tes persarafan
Tes persarafan yang pertama yaitu laseque test dilakukan dengan posisi berbaring
dan kedua kaki diluruskan. Lakukan pemeriksaan pada kedua kaki secara bergantian
dengan cara mengangkat kaki dalam keadaan lurus. Jika terasa nyeri yang menjalar
ke daerah lutut pada sudut 30-70 derajat bisa disimpulkan bahwa terdapat kelainan
persaraf pada L4-S1. Tes kedua disebut patrick test, pada tes ini pasien berbaring,
tumit dari kaki yang satu diletakkan pada sendi lutut pada tungkai yang lain. Setelah
ini dilakukan penekanan pada sendi lutut hingga terjadi rotasi keluar. Bila timbul rasa
nyeri maka hal ini berarti ada suatu sebab yang non neurologik misalnya coxitis.
Yang terakhir adalah chin chest maneuver, tes ini dilakukan dengan cara
memfleksikan leher secara pasif hingga dagu mengenai dada. Tindakan ini akan
mengakibatkan tertariknya myelum naik ke atas dalam canalis spinalis. Akibatnya
maka akarakar saraf akan ikut tertarik ke atas juga, terutama yang berada di bagian
thorakal bawah dan lumbal atas. Jika terasa nyeri berarti ada gangguan pada akar-
akat saraf tersebut.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang pada kasus LBP lebih difokuskan pada pemeriksaan radiologi
seperti foto polos, CT scan dan MRI untuk melihat apakah ada kelainan pada struktur tulang
belakang, otot dan persarafan.

1) Foto Polos
Lumbosacral Pemeriksaan foto polos lumbosacral adalah tes pencitraan untuk membantu
dokter melihat penyebab penyakit punggung seperti adanya patah tulang, degenerasi, dan
penyempitan DIV. Pada foto lumbosacral akan terlihat susunan tulang belakang yang
terdiri dari lima ruas tulang belakang, sacrum dan tulang ekor (Lateef & Patel, 2009).
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan pada
pasien LBP karena mudah dilakukan dan relatif murah. Pemeriksaan foto polos ada tiga
posisi, yaitu anterior-posterior (AP), lateral dan oblique (Lateef & Patel, 2009). Pada
foto polos lumbosacral AP/lateral gambaran kelainan yang mungkin terlihat pada pasien
LBP ringan antara lain spondylolisthesis < 3 mm, osteophyte < 2 mm, subcondral
sclerosis ringan dan penyempitan DIV 25-50%. Pada kasus LBP sedang gambaran yang
mungkin terlihat antara lain spondylolisthesis 3-5 mm, osteophyte 2-4 mm, subcondral
sclerosis sedang, fraktur pada satu tulang dan penyempitan DIV 50-75%. Sedangkan
gambaran foto polos lumbosacral AP/lateral pada pasien LBP berat akan terlihat
spondylolisthesis > 5 mm, osteophyte > 4 mm, adanya kompresi tulang vertebra,
subcondral sclerosis berat, multiple fraktur dan penyempitan DIV 75-100% (Ofiram,
Garvey&Wroblewski, 2009). Kelemahan pada pemeriksaan radiologi foto polos adalah
pada paparan radiasi yang ditimbulkan, terutama pada foto oblique. Kelemahan lain
adalah pada identifikasi gambaran abnormalitas sendi, skoliosis ringan dan penonjolan
dari DIV (herniated disc). Untuk mengamati lebih jelas pada kelainan tersebut perlu
dilakukan pemeriksaan CT scan dan MRI (Lateef & Patel, 2009).
2) Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Computed Tornografi Scan (CT scan) (Lateef
& Patel, 2009)
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Computed Tornografi Scan (CT scan)
direkomendasikan pada pasien dengan kondisi yang serius atau defisit neurologis yang
progresif, seperti infeksi tulang, cauda equina syndrome atau kanker dengan
penyempitan vertebra. Pada kondisi tersebut keterlambatan dalam diagnosis dapat
mengakibatkan dampak yang buruk. Magnetic Resonance Imaging tidak menimbulkan
radiasi dan memiliki hasil gambaran yang lebih akurat pada jaringan lunak, kanal tulang
belakang dan pada keluhan neurologi, oleh karena itu MRI lebih disukai daripada CT
scan. Namun pada CT scan memiliki gambaran tulang kortikal yang lebih baik
dibandingkan MRI. Jadi ketika pemeriksaan pada struktur tulang menjadi fokus utama,
pemeriksaan yang dipilih adalah CT scan. Pada pasien dengan nyeri punggung akut
dengan tandatanda atau gejala herniated disc atau penyakit sistemik lain, CT scan dan
MRI jarang dilakukan kecuali pada pasien dengan kecurigaan kanker, infeksi atau cauda
aquina syndrome dalam pemeriksaan awalnya.
3) Electromyography (EMG) dan Nerve Conduction Studies (NCS)
Pemeriksaan EMG dan NCS sangat membantu dalam mengevaluasi gejala neurologis
dan/atau defisit neurologis yang terlihat selama pemeriksaan fisik. Pada pasien LBP
dengan gejala atau tanda neurologis, pemeriksaan EMG dan NCS dapat membantu untuk
melihat adanya lumbosacral radiculopathy, peripheral polyneuropathy, myopathyatau
peripheral nerve entrapment.
CARPAL TUNNEL SYNDROME
A. PENGERTIAN

Carpal tunnel syndrome (CTS) merupakan compressive neuropathy yang paling tersering,
diikuti oleh ulnar nerve compression di elbow. Compression deep branch ulnar merupakan
compressive neuropathy yang jarang. Suprascapular sindrom bentuk lain dari compressive
neuropathy, sekitar 0,4% dari gejala nyeri pada upper girdle.

Saat ini, symtomatology, pemeriksaan yang objektif, pengetahuan anatomi kompresi


nervus telah berkembang dengan baik. Walaupun terapi konservatif dan fungsional manajemen
telah dilakukan tetapi dekompresi bedah telah menjadi pilihan terapi definitive.

Carpal Tunnel Syndrome merupakan entrapment neuropathy yang paling terkenal. Pada
carpal tunnel normal terdapat ruangan untuk seluruh tendon dan median nerve. Ruangan tersebut
sangat sensitif terhadap perubahan tekanan. Jika terdapat peningkatan tekanan akan
menyebabkan terjadinya ischemia. Biasanya penyebab sulit terdeteksi, beberapa keadaan berikut
diduga berhubungan dengan carpal tunnel syndrome seperti tumor, ganglion, gouty tophus,
fraktur fragmen, dislocated carpal bone, foreign body, anatomi anomali seperti aberrant muscle
atau persistent median artery, dan juga sering ditemukan pada keadaan yang berhubungan
dengan kondisi medis seperti menopause, rheumatoid arthritis, kehamilan, dan myxoedema.

B. ETIOLOGI

Cedera nervus berasal dari berbagai faktor termasuk: mekanik, termal, iskemik, dan kimia.
Faktor mekanik seperti kompresi, severance dan stretch. Kerusakan yang disebabkan oleh lokal
kompresi pada intraneural sirkulasi dan mengganggu metabolisme conduction block.

Beberapa faktor yang berperan pada kompresi nervus:

Vascular – diabetes, microcirculatory disease

Inflammatory – synovitis, rheumatoid arthritis

Trauma – supracondylar humerus fracture, lunate dislocation

Anatomical – anomalous muscles, vascular plexus, fascial bands


Metabolic – pregnancy, hypothyroidism

Iatrogenic – injectons, hematomas

C. PATOFISIOLOGI

Dimanapun nervus perifer berjalan melewati fibro-osseus tunnels akan berisiko untuk
terjadinya entrapment dan compression khususnya jika soft tissue menjadi bulk (seperti pada
kehamilan, myxoedema atau rheumatoid arthritis) atau jika terdapat lokal obstruksi seperti
ganglion atau osteophytic spur.

Nerve compression mengganggu aliran darah epineural dan konduksi axonal,


menimbulkan gejala seperti numbness, paraethesia, dan muscle weakness; adanya ischemia
terlihat adanya perbaikan setelah decompresi. Kompresi yang lama atau berat menyebabkan
segmental demyelinasi, muscle atrophy, dan nervus fibrosis; gejala ringan kemungkinan akan
membaik setelah dekompresi.

Peripheral neurophaty berhubungan dengan gangguan secara umum seperti diabetes atau
alcoholism yang dapat membuat nervus menjadi sensitif terhadap kompresi. Proximal kompresi
seperti discogenic root compression mengganggu sintesis dan transpor substansi neural, sehingga
predisposisi untuk terjadi entrapment pada bagian distal, disebut juga double-crush syndrome.

D. ANAMESIS

Carpal tunnel syndrome (CTS) sering idiopatik. Differential diagnosis termasuk


compression median nerve atau cervical root pada lokasi anatomi yang lain. Diabetic neuropathy
dapat menyebabkan gejala yang sama dengan CTS, dan pasien dengan diabetic neuropathy dapat
berkembang bersamaan dengan CTS.

Anamnesa sangat membantu dalam menegakkan diagnosa. Nyeri dan paraesthesia terjadi
dalam distribusi nervus medianus. Setiap malam pasien terbangun dengan nyeri terbakar,
tingling, dan numbness. Tangan di atas tempat tidur, atau menggoyangkan tangan dapat
mengurangi nyeri. Pada kasus lanjut terdapat clumsiness dan weakness, biasanya jika melakukan
pekerjaan yang memerlukan ketepatan.
Discomfort atau numbness atau keduanya dapat terjadi oleh aktivitas pergelangan tangan
pada posisi fleksi untuk periode tertentu seperti memegang steering wheel, menerima telepon,
buku, atau koran. Discomfort dan nyeri menjalar dari tangan ke lengan atas atau leher

E. PEMERIKSAAN FISIK

Provocative Test

1. Tinel Sign

Tinel sign dilakukan dengan perkusi di atas kulit proximal nervus medianus carpal tunnel; jika
positif pasien mengeluhkan kesentrum atau sensasi tingling yang menjalar ke ibu jari, telunjuk,
jari tengah, atau kelingking.

2. Phalen Test

Phalen wrist flexion sign atau phalen maneuver biasanya positif pada pasien CTS dan dianggap
lebih diagnostik dari tinel sign. Manuver ini dilakukan dengan siku dalam posisi ekstensi
sementara pergelangan tangan pasif fleksi. Waktu yang diperlukan untuk menimbulkan simtom
onset (60 detik) dianggap mendukung diagnostik

3. Wrist Compression Test

Kompresi di atas nervus medianus proximal wrist memprovokasi symptom dalam waktu 60
detik. Tes ini konfirmasi untuk pemeriksaan yang lain

4. Tourniquet Test

Torniket dipasang disekitar lengan atas diatas tekanan sistolik. Pada pasien normal tes
menyebabkan parestesia pada distribusi nervus ulnaris pada CTS parestesia pada distribusi
nervus medianus

5. Two Point Discrimination Test

Test ini sering hilang pada ujung jari pasien. Sensasi pada aspek radial telapak tangan normal
karena palmar cutaneus branch nervus
medianus tidak melalui carpal tunnel.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Imaging studies

Radiografi wrist, termasuk carpal tunnel view

Electrodiagnostik studies

Nerve conduction velocity (NCV) dan electromyelography(EMG) membantu melokalisir nerve


compression pada pergelangan tangan dan menilai residual neural dan integritas motor. NCV dan
EMG diindikasikan pada pasien gagal konservatif dan kandidat untuk terapi bedah.

Laboratorium

Laju endap darah, gula darah, nilai tiroid, dan rheumatoid factor

G. PENATALAKSANAAN
1. Konservatif
Kompresi pergelangan tangan pada posisi fleksi ketika tidur yang menimbulkan
nyeri, initial terapi dengan memakai splint yang mempertahankan pergelangan tangan
dalam posisi netral ketika tidur. Modifikasi aktivitas yang menyebabkan nyeri juga
membantu dalam mengurangi nyeri. Pemberian NSAID dan injeksi steroid.
Injeksi steroid mengalami transient relief 80% setelah injeksi, 22% gejala hilang
setelah 12 bulan dan 40% bebas gejala < 1 tahun. Injeksi steroid pada carpal tunnel sering
mengurangi keluhan. Dua puluh lima gauge 1,5 inch jarum disuntikakan pada palmar
crease ulnar pada palmaris longus. Jika palmaris longus tidak ada, garis sepanjang radial
border dari ring finger ditarik ke wrist crease. Sebelum menyuntikkan jarum, pasien
diminta untuk merasakan sensasi tersentrum listrik pada jari-jari. Jika sensasi terjadi,
jarum mungkin berada pada nervus medianus dan injeksi sebaiknya tidak dilanjutkan.
Jarum dipindahkan kearah ulnar. Ketika menyuntikkan jarum akan terasa bunyi pop
ketika masuk ke carpal tunnel.
2. Surgical
Pasien yang tidak respon terhadap terapi konservatif, indikasi untuk terapi bedah.
Teknik bedah baik open maupun endoscopic.
Open insicion dibuat pada atas palm transper carpal ligament, menempatkan ulna
sebagai axis palmaris longus, sepanjang longitudinal axis radial border ring finger. Insisi
ini menghindari injuri pada cabang palmar cutaneus nervus medianus. Setelah insisi
palmar longitudinal, transver carpal ligament diidentifikasi dan dipisah longitudinal.
Endoscopic, pemisahan tranver carpal ligament menghindari nyeri pada insisi,
endoscopic dapat dilakukan dengan single wrist portal proximal menuju palm atau
dengan kombinasi proximal portal dan short midpalmar portal sepanjang axis open insisi.
Walaupun terapi ini menjanjikan hasil yang baik tetapi risiko untuk terjadi trauma
iatrogenic cukup tinggi. Tingginya komplikasi berhubungan dengan keahlian operator
dibandingkan teknik operasi. Komplikasi terbanyak adalah incomplete division transver
carpal ligament

H. KOMPLIKASI

Perdarahan, infeksi, nyeri pada scar, injuri nervus, palmar arch vessel, atau tendon, gagal
untuk melepaskan ligaFment dan rekuren. Pasien disarankan menggerakkan jari-jari setelah
operasi. Wrist motion dimulai dalam minggu pertama. Nyeri pada insisi sering mencegah pasien
untuk melakukan gerakan wrist secara penuh dalam 4-8 minggu pertama. Jika pasien sulit
mengembalikan fungsi pergerakan pergelangan tangannya, disarankan untuk terapi program
terdiri dari desensitisasi, ROM, dan strengthening.
GOLFER ELBOW SYNDROME

A. PENGERTIAN

Golfer’s elbow syndrome adalah suatu keadaan nyeri pada siku bagian dalam, tepatnya pada
tendon otot flexor carpi radialis dan otot pronator teres, yang disebabkan karena gerakan flexi
pergelangan tangan dan pronasi siku hentak dan berulang kali. Keadaan ini semakin nyeri bila
dipakai beraktifitas flexi pergelangan tangan disertai pronasi, seperti pada gerakan
menggenggam atau memegang atau saat posisi tendon tersebut terulur. Nyeri pada sendi siku
bagian dalan ini cukup mengganggu, karena gerakan sendi ini komplek dan didukung oleh
beberapa sendi

B. ETIOLOGI

Cidera tendon otot ini karena adanya trauma hentak maupun berulang sehingga terjadi
tendonitis yaitu peradangan atau iritasi pada tendon, dimana terjadi jaringan fibrous antara otot
dan tulang. Tendon adalah jaringan penyambung kuat yang merupakan ujung otot dan menempel
pada tulang. Tendon dibentuk oleh serabut-serabut reticular dari substansia intrasel yang terdiri
dari serbut kolagen yang mengandung fibril yang menjadi satu ikatan oleh substansia (Febriani,
2013).
Tendonitis merupakan akumulasi kerobekan-kerobekan kecil tendon, dimana gejala dan
keluhan yang sedikit-dikit tapi pasti, dan semakin hari semakin buruk, sehingga terjadi gangguan
gerak dan fungsi otot (Febriani, 2013).
Penyebab lain (Febriani, 2013).:
a. Strain otot flexor carpi radialis dan pronator teres,
b. Trauma langsung pada sendi siku bagian dalam,
c. Degenerasi jaringan tendon karena trauma kecil yang berulang
d. Inflamasi kronis pada tendon otot carpi radialis dan pronator teres.
Penyebab golfer’s elbow syndrome disebabkan oleh beberapa aktifitas dan factor lain, di
antaranya adalah (Jowir, 2012):
a. Mikro trauma berulang akibat gerak flexi pergelangan tangan dan/atau pronasi siku,
sehingga mengakibatkan kerobekan (rupture) tendon otot flexor carpi radialis dan/atau
pronator teres,
b. Strain otot flexor carpi radialis dan pronator teres,
c. Trauma langsung pada sendi siku bagian dalam,
d. Degenerasi jaringan tendon karena trauma kecil yang berulang
e. Inflamasi kronis pada tendon otot carpi radialis dan pronator teres.
Penyebab cidera tendon otot ini karena adanya trauma hentak maupun berulang sehingga
terjadi tendonitis yaitu peradangan atau iritasi pada tendon, dimana terjadi jaringan fibrous
antara otot dan tulang. Tendon adalah jaringan penyambung kuat yang merupakan ujung otot dan
menempel pada tulang. Tendon dibentuk oleh serabut-serabut reticular dari substansia
intrasel yang terdiri dari serbut kolagen yang mengandung fibril yang menjadi satu ikatan oleh
substansia semen yang amorf. Tendonitis merupakan akumulasi kerobekan-kerobekan kecil
tendon, dimana gejala dan keluhan yang sedikit-dikit tapi pasti, dan semakin hari semakin buruk,
sehingga terjadi gangguan gerak dan fungsi otot (Febriani, 2012).
C. TANDA DAN GEJALA
a. Nyeri pada tulang yang letaknya agak didalam pada sendi siku.
b. Kelemahan pada otot-otot pergelangan tangan.
c. Nyeri pada siku bagian dalam ketika menggenggam sesuatu yang keras
d. Nyeri pada saat. dilakukan fleksi dengan diberikan tahanan
e. Nyeri saat pronasi denga
Peradangan terjadi kerena ada kerobekan dan/atau adanya cidera pada jaringan, sehingga
terjadi respon fisiologis berupa (Febriani, 2013):
a. Gangguan sistem sirkulasi
b. Fase vasokontriksi pada menit ke 5-10 pada daerah cidera
c. Fase vasodilatasi pada cidera karena adanya kerobekan membrane sel maupun pembuluh
darah, sehingga terjadi peningkatan suplai darah sebagai reaksi dalam transportasi untuk
pembentukan fibrinogen dan transportasi sel darah putih sebagai reaksi antibodi tubuh,
d. Terjadi reaksi kimia atau disebut juga chemotaxis, dimana akibat cidera maka
permeabilitas membrane pembuluh darah terbuka/melebar sehingga bradykinin dan
histamine ada pada daerah interstitial menimbulkan impuls nyeri, sebagai alarm tubuh
karena ada ketidak-beresan pada jaringan, ditambah lagi adanya produksi sel darah putih
yang melakukan fagositas dan regenerasi sel, (Protaglandin, leukotrienes dan
thromboxanes),
Masa dimana sel yang mengalami gangguan sistim, secara fisiologis berusaha untuk
melakukan regenerasi.

D. PEMERIKSAAN FISIK

1. Palpasi
a. Bonny palpation
Titik referensi epycondylus lateralis-medialis, olecranon, capitulum radii.
b. Joint palpation
Humeroulnar; humeroradial dan radioulnar joint
c. Muscle palpation
M. Extensor carpiradialis longus, M. Extensor carpiradialis brevis tendoperiosteal, M.
Extensor carpiradialis brevis tendomuscular, M. Extensor carpiradialis brevis muscle
belly, Common wrist flexor ms.
2. Tes Instabilitas Ligament
Stabilisasi lengan pasien didaerah elbow oleh tangan pemeriksa, sedang tangan
lainnya diletakkan diatas wrist pasien, selanjutnya pasien memfleksikan elbownya
sekitar 200-300 untuk memeriksa ligament collateral lateral berikan penekanan kearah
adduksi /varus dan penekanan kearah abduksi/valgus untuk memeriksa ligament
collateral medial, penekanan ditingkatkan dan perhatikan ada tidak perubahan nyeri atau
ROM.
3. Test Tinel (Tanda Tinel pada Elbow)
Tempat dari nervus ulnaris didalam celah antara processusu olecranon dan
epicondylus medial. Apabila terdapat neuroma atau entrapment neuritis di sulkus
n.ulnaris maka penekanan pada n. ulnaris ditemapat tersebut (sulkus n. ulnaris) akan
menimbulkan nyeri yang dirasakan berpangkal pada tempat penekanqn dan menjalar
sepanjang perjalanan n. ulnaris.
4. Tennis Elbow Test (Metode I)
Stabilisasi dengan ibu jari pemeriksa, selanjutnya pasien diminta untuk melakukan
gerakan pronasi lengan bawah, radial deviasi dan ekstensi Wrist sementara itu
pemeriksa memberikan resisiten terhadap gerakan tersebut, tanda positif indikasi tiba-
tiba timbul nyeri yang hebat di area epicondondylus leteral humeri. Epicondilus dapat
juga dapat dipalpasi untuk menentukan tempat nyeri. Test ini dikenal dengan nama
Cozen’s test.
5. Tennis Elbow Test (Metode II)
Sambil mempalpasi epicondilus lateral pemeriksa mempronasikan lengan bawah
pasien disertai fleksi Wrist dan ekstensi elbow. Jika tes ini positif indikasi timbul nyeri
diatas epicondylus medial humeri.
5. Medial Epicondylistis Test (Golfer’s Elbow)
Pemeriksa mempapasi epicondylus medial pasien selanjutnya pemeriksa
menggerakan lengan poasien kearah supinasi lengan bawah disertai ekstensi elbow dan
wrist joint, tanda positif indikasi timbul nyeri diatas epicondylus medial humeri.
6. Fleksi Elbow Test
Minta pasien untuk fleksi Elbow maksimal dan pertahankan posisi tersebut sampai 5
menit, tanda pisitif indikasi adanya rasa krtam atau paresthesia sepanjang distribusi
syaraf ulnar dilengan bawah dan tangan. Tes ini membantu untuk mengetahui adanya
cubital tunnel syndrom
8. Joint Play Movement
a. Humerol Ulnar Joint
Traction: ulnae 450 dorsodistal
Translation: ulnae 450 ventroproximal
b. Humero Radial Joint
Traction: Radius kedistal
Translation: Flexi radius ke ventral; Extensi radius kedorsal
c. Proximal Radio Ulnar Joint
Translation: Pron caput radii kedorsal; Supin keventral
E. A
Pemeriksaan diagnostik dilakukan untuk melengkapi informasi yang diperoleh dari
anamnesis (wawancara dengan penderita) serta pemeriksaan fisik. Pemeriksaan
diagnostik yang dilakukan dapat berupa CT scan MRI, artroskopi, elektromyografi dan
foto rontgen (Milan, 1994).
Penanganan cedera tergantung pada jenis cedera dan tahap peradangan yang terjadi.
Ketepatan diagnosis jenis cedera beserta tahap proses peradangan yang terjadi (akut, sub
akut maupun kronis) merupakan hal yang sangat berpengaruh pada keberhasilan terapi
(Febriani, 2013).
DROP HAND

A. PENGERTIAN

Wrist drop atau drop hand yang juga dikenal sebagai paralisis nervus radialis atau
neuropati radialis yang menyebabkan kelemahan untuk mendorsofleksikan lengannya dan
mengekstensikan jari-jari tangannya. Neuropati radial dihasilkan dari cedera akibat luka tembus
atau patah tulang lengan, kompresi, atau iskemia. Gambaran klinis paling umum dari neuropati
radial adalah wrist drop. Pola keterlibatan klinis tergantung pada tingkat cedera (Anderson,
Wayne E., 2013).

B. ETIOLOGI
Neuropati radialis dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor mana mungkin terjadi
sendiri-sendiri atau secara bersamaan (multiple factors). Misalnya, suatu diabetes melitus
yang pada mulanya subklinis akan menjadi simptomatis sesudah adanya suatu trauma atau
kompresi yang mengenai saraf.
- Trauma
Pada fraktur dan dislokasi, neuropati terjadi karena penekanan saraf oleh fragmen
tulang, hematom, kallus yang berbentuk sesudah fraktur, atau karena peregangan saraf
akibat suatu dislokasi. Neuropati radialis sering terjadi pada fraktur kaput humerus. Paresis
nervus radialis dapat terjadi akibat tidur dengan menggantungkan lengan diatas sandaran
kursi (Saturday night palsy), atau tidur dengan kepala diatas lengan atas. Akibat penekanan
pada waktu saraf ini menembus septum intermuskularis lateralis. Pada tempat dimana saraf
ini terletak agak superfisial dan menempel pada tulang (Dyck 1987). Disamping itu trauma
pada waktu olah raga, kerja, pemakain kruk, atau posisi tangan pada waktu operasi dapat
menyebabkan terjadinya parese nervus ini.
- Infeksi
Dapat terjadi karena: sifilis, herpes zoster, leprae dan TBC. Bisa mengenai saraf atau
banyak saraf.
- Toksisitas
Lebih spesifik mengenai nervus radialis adalah pada lead intoxication.
- Penyakit vaskuler
- Neoplasma
C. TANDA DAN GEJALA

Lesi neuropati radialis sewaktu melilit humerus atau sewaktu berjalan seperfisial pada aspek
lateral lengan atas, sering akibat kelamaan menggantung lengan diatas sandaran kursi
(Saturday nigth palsy), akibat tertekannya lengan karena posisi yang tidak tepat selama
anestesi atau tidur, penggunaan tomiket yang tidak benar atau akibat iritasi dan kompresi
oleh kallus sesudah fraktur tulang.
Paralisis otot ekstensor sehingga tidak mampu mengekstensikan jari-jari,
pergelangan tangan dan siku, pronasi tangan dengan fleksi pergelangan dan jari-jari dalam
posisi “wrist drop”.
Gejalanya:
- tidak dapat ekstensi siku karena parese triseps
- tidak dapat fleksi siku pada posisi lengan bawah antara pronasi dan supinasi karena parese
m.brakhioradialis
- tidak dapat supinasi lengan bawah karena parese m.brakhioradialis
- tidak dapat supinasi lengan bawah karena parese m. supinator
- wrist drop dan finger drop karena parese ekstensor pergelangan tangan dan jari
- gangguan abduksi ibu jari tangan
- refleks trispes negatif atau menurun
- gangguan sensorik berupa parestesi pada bagian dorsal distal lengan bawah, sisi leteral dan
dorsal tangan, ibu jari, telunjuk dan jari tengah.

D. PEMERIKSAAN FISIK

Hasil pemeriksaan fisik bergantung pada lokasi cedera sesuai dengan perjalanan anatomi
saraf. Cedera di axilla akan menyebabkan kelemahan pada ekstensi siku, ekstensi pergelangan
tangan dan ekstensi jari. Biasanya terdapat deviasi radial pergelangan tangan dengan ekstensi,
karena fleksor carpi radialis (yang dipersarafi oleh nervus medianus) tidak terpengaruh. Seluruh
distribusi sensorik dari nervus radialis akan terpengaruh. Apabila cedera di dalam spinal groove,
hasil pemeriksaan akan sama, kecuali fungsi triceps yang tidak terganggu.
Neuropati radialis pada lengan bawah biasanya akan menyebabkan berkurangnya fungsi
sensorik. Jika saraf terjepit pada otot supinator, kekuatan supinator seharusnya normal. Hal ini
dikarenakan percabangan yang menginervasi otot supinator keluar ke arah proksimal otot. Pasien
akan memiliki deviasi radialis dengan ekstensi pergelangan tangan dan kelemahan dari ekstensor
jari. Cedera sensori radial superficialis akan menghasilkan parestesi atau disestesi sepanjang
distribusi sensorik radial di tangan.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Diagnosa suatu neuropati radialis ditegakkan dengan pemeriksaan Elektromiografi.

F. PENATALAKSANAAN
1. Pasen neuropati radialis akibat fraktur atau dislokasi, dapat mengalami perbaikan
spontan. Pasen dengan Saturday nigth palsy biasanya membaik dalam 6-8 minggu
bahkan kadang-kadang lebih lama (Dyck 1987)
2. Fisioterapi
3. Operasi pada keadaan terdorongnya nervus radialis oleh tulang atau jaringan lunak,
juga adanya jebakan pada muskulus supinator. Dapat membaik dalam beberapa
minggu atau bulan.
DROP FOOT
A. PENGERTIAN
Foot drop, atau juga disebut “drop foot”, adalah ketidakmampuan untuk mengangkat
bagian depan kaki. Hal ini menyebabkan jari kaki menyeret di tanah saat berjalan. Untuk
menghindari menyeret jari-jari kaki, orang dengan foot drop akan mengangkat lutut lebih
tinggi. Atau mereka mungkin mengayunkan kaki mereka dengan lebih lebar. Foot drop
dapat terjadi pada satu kaki atau kedua kaki pada waktu yang sama.
B. ETIOLOGI
Drop foot dapat terjadi karena cedera langsung pada dorsiflexor. Pada beberapa kasus
ruptur pada tendon tibialis anterior menyebabkan drop foot dan kecuriganan lumpuh pada
saraf peroneal dilaporkan. Ruptur pada tendon subkutaneus juga terjadi setelah trauma
minor pada kaki. Compartment syndrome juga dapat menyebabkan foot drop. Kejadian
ini merupakan kejadian emergency, dan tidak hanya berhubungan dengan fraktur dan
trauma akut. Foot drop juga dapat disebabkan karena kombinasi dari disfungsi neurologi,
otot dan anatomi.
C. PATOFISIOLOGI

Penyebab neurologi dari foot drop meliputi mononeuropati nervus peroneus yang sering
disebabkan oleh trauma yang terjadi pada kaput fibula. Keluhan yang terjadi berups drop foot
(parsial atau komplit), parestesia pada bagian lateral tungkai bawah atau kedua gejala motoris
dan sensoris tersebut.
Gambar. Nervus peroneal dan distribusi kutaneusnya

Nervus peroneus berasal dari akar saraf spinal L5-S1, yang kemudian membentuk n.
iskiadikus. Di dalam perjalanannya menuju fosa popliteas, nervus iskiadikus (serabut peroneal)
member cabang untuk m. biseps fomoris kaput brevis, satu-satunya otot yang berasal dari serabut
peroneal di atas level kaput fibula. Setinggi fosa poplitea n. iskiadikus membagi diri menjadi n.
tibialis posterior dan n. peroneus komunis. N. peroneus komunis kemudian berjalan ke sisi lateral
tungkai bawah, dan ketika mencapai sisi dorsal kaput fibula member cabang n. peroneus
superfisialis untuk m. peroneus longus dan brevis dan peroneus profundus untuk m. tibialis
anterior, m. ekstensor digitorum brevis dan ekstensor halusis longus. Ujung akhir n. peroneus
profundus akan memberikan persarafan sensoris pada sela jari I-II. (Petunjuk praktis
elektrodiagnostik, Herjanto poernomo, Bagian ilmu penyakit saraf Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga/RSU dr. Soetomo Surabaya)

Patofisiologi dari kerusakan saraf yang sering menyebabkakn foot drop adalah sebagai berikut : 1,2

- Integritas fungsional dari axon tergantung pada pasokan zat tropic yang disintesis di
perikaryon neuronal yang diangkut menuruni akson dan dikenal sebagai aliran
axoplasmik.
- Laserasi dapat menghentikan aliran ini. Crush injury juga dapat mengehntikan aliran ini.
Double crush terjadi ketika adanya injuri di proksimal dari nerve root sehingga akan
menghambat aliran axoplasmik, sehingga axon rentan mengalami kerusakan.
lesi distal pada axon tersebut dianggap bertanggung jawab atas peningkatan risiko drop foot,
biasanya terjadi pada cedera pinggul pada pasien dengan riwayat stenosis tulang belakang
sebelumnya.

D. DIAGNOSIS

Diagnosis yang tepat drop foot sangat dipengaruhi oleh kecermatan dan perhatian ahli
saraf yang berpengalaman. Penegakan diagnosis drop foot harus mencakup hal – hal seperti
riwayat medis yang lengkap, pemeriksaan klinis yang komprehensif termasuk uji neurologis,
pengujian listrik dan studi pencitraan, seperti sinar – X atau MRI (Magnetic Resonance Imaging.
Pemeriksaan dan Pengkajian yang komprehensif tersebut, dibutuhkan untuk mendiagnosis
penyebab atau etiologi dari terjadinya drop foot. Diagnosis drop foot yang tepat akan sangat
berengaruh terhadap rencana perawatan dan pilihan terapi pembedahan.

Hal – hal yang perlu diperhatikan dalam penegakan diagnosis drop foot adalah
permeriksaan:

5. 1 Studi Laboratorium

Penegakan diagnosis drop foot dengan menggunakan studi laboratorium sampai saat ini
belum menunjukan hasil yang bermakna. Penurunan kaki unilateral spontan secara tiba tiba
dengan keadaan awal yang sehat, memerlukan investigasi lebih lanjut kedalam penyebab
seperti penyebab metabolik, termasuk diabetes, penyalahgunaan alkohol, dan paparan racun.

Tes – tes laboratorium yang sering digunakan adalah sebagai berikut.

- Gula darah puasa


- Hemoglobin A1C
- Tingkat sedimentasi eritrosit
- C – reaktif protein
- Elektroforesis protein serum atau immunoelectro – osmophoresis
- BUN
- Kreatinin
- Tingkat Vitamin B-12
5.2 Studi Pencitraan

Studi pencitraan dalam penegakan drop foot, pencitraan yang dapat dilakukan adalah plain
foto polos, ultrasonografi, magnetic renonance neurography. Adapun penjelasnya adalah
sebagai berikut.

a) Plain Foto Polos

Plain foto polos pada drop foot dilakukan dengan indikasi yakni, pasca trauma dan non
trauma. Plain foto pasca trauma dilakukan dengan plain foto tibia dan fibula serta
pergelangan kaki untuk melihat cedera tulang. Plain foto polos non trauma dilakukan
dengan indikasi kecurigaan adanya disfungsi anatomi misalnya charot. Plain foto yang
dilakukan dalam kasus disfungsi anatomi adalah plain foto polos kaki dan pergelangan
kaki, dimana dari hasilnya nanti dapat memberikan informasi yang berguna. Selain itu
plain foto polos tulang belakang juga diperlukan untuk menilai jarak intravertebralis dan
pedicle untuk mengindikasikan adanya lesi pada saraf yang disebabkan oleh proses
metastase.

b) Ultrasonografi

Ultrasonografi dilakukan dalam kasus drop foot dengan kecurigaan terjadi pendarahan
pada pasien dengan pinggul atau lutut prosthesis.

c) Magnetic Resonance Imanging

Magnetic Resonance Imanging (MRI) dilakukan dengan indikasi kecurigaan terhadap


tumor atau massa tekan ke saraf peroneal, dimana dilakukan dengan sistem standar 1,5
Tesla MRI. Magnetic Resonance Imanging digunakan untuk menghasilkan gambar
dengan resolusi tinggi dari saraf perifer, serta intraneural dan ekstraneural terkait lesi
yang terjadi.

Magnetic Resonance Imanging memnungkinkan akusisi cepat gambar anatomi


lebih rinci, bidang pandang yang lebih kecl, resolusi yanglebiih tinggi, dan dengan bagian
potongan yang lebih tipis. Keunggulan pada MRI ini dapat memberikan gambar yang
mampu menunjukan organisasi fasciculus saraf perifer normal, sehingga membuat saraf
lebih jelas daat dibedakan dari jaringan lain (misalnya, tumor atau pembuluh darah)
Selain itu, gambar pada MRI dapat diproses lebih lanjut untuk memungkinkan
susunan bagian aksial dan memotong data di bagian lain. Hal ini bermanfaat dalam
mengetahui batas longitudinal keterlibatan saraf tersebut.

5.3 Elektromyelogram

Gangguan metabolisme sering dijadikan diagnosis banding drop foot seperti yang diuraikan
sebelumnya. Drop foot biasanya juga di diagnosis banding dengan beberapa keadaan seperti,
spastisitas, distonia, penyakit motor neuron, L5 radikulopati, plexopathy lumbosakral,
kelumpuhan saraf siatik, tekan peroneal neuropati, neuropati ferifer dan beberapa miopati.

Elektromyelogram (EMG) berguna dalam membedakan diagnosa ini. Pemeriksaan ini


dapat mengkonfirmasi jenis neuropati, menetapkan lokasi lesi, memperkirakan luasnya
cedera, dan memberikan prognosis. Selain itu EMG juga berguna sebagai studi sekuensial
yang bertujuan untuk memantau pemulihan lesi akut. Elektromyelogram (EMG) sangat baik
digunakan untuk melokalisasi kepala fibula. Elektromyelogram juga digunakan untuk
mengetahui perlambatan atau penurunan amplitudo ekstensor digitorum brevis di daerah
kompresi pada lesi myelin. Pada perlambatan akann terlihat demyelinasi segmental dan
penurunan amplitudo terlihat dalam blok konduksi.

Elektromyelogram (EMG) juga baik digunakan untuk menentukan prognosis dari


drop foot.

- Pada lesi mielin murni ( konduksi blok), pemulihan dapat terjadi setelah tiga minggu sampai
satu bulan.

- Pada lesi aksonal yang berat, pemulihan dapat berlangsung dari enam bulan sampai satu
tahun.

- Pada lesi campuran, pemulihan dapat berlangsung dari tiga minggu sampaisatu tahun.

Diagnosis banding drop foot dan gambaran pemeriksaan elektrofisiologi, dan protocol
pemeriksaan EMG pada lesi nervus peroneus terlihat pada tabel 01.
Tabel 1. Gambaran elektrofisiologi pada drop foot

KHS n. peroneus
Lesi CMAP SNAP* Kelainan EMG jarum
Neuropati n. peroneus Blok-konduksi Normal/menurun m. tibialis anterior
setinggi kaput fibula setinggi kaput fibula m.peroneus
Neuropati n. iskiadikus Normal/menurun Normal/menurun m. tibialis anterior
m.peroneus
m. bisep femoris
Radikulopati L5-S1 Normal/menurun Normal/menurun m. tibialis anterior
m.peroneus
m. bisep femoris
m. gluteus medius
m. gluteus maksimus
m. paraspinal L5-S1

E. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan foot drop meliputi fisioterapi, alat orthotik, terapi medik dengan obat-
obatan, stimulasi saraf tepi, dan pembedahan. Terapi medis meliputi obat-obat oral seperti
baclofen, dantrolene, atau tizanidine. Tindakan pembedahan untuk penatalaksanaan drop foot
meliputi selective tendon release, selective dorsal rhizotomy, dan intrathecal baclofen pump.
Gambar. Siklus gaya jalan (gait) normal

Gambar 4. Gaya jalan drop foot

- Penatalaksanaan di Bidang Medis

Penatalaksanaan foot drop diarahkan berdasarkan penyebabnya. Apabila keadaan foot drop tidak
dapat diperbaiki dengan pembedahan maka dapat dianjurkan penggunaan ankle-foot orthosis
(AFO). AFO juga dapat digunakan pada masa penyembuhan neurologis atau penyembuhan
setelah operasi. Penggunaan AFO secara spesifik bertujuan untuk memberikan dorsofleksi jari-
jari kaki pada saat fase mengayunkan kaki, stabilitas lateral dan medial pada saat fase stasis, dan
jika perlu juga dapat membantu stimulasi mendorong ke atas pada saat fase stasis akhir. AFO
hanya efektif digunakan apabila kaki dapat mencapai posisi plantigrade ketika berdiri.
Keberhasilan penggunaan AFO sebagai alat bantu jalan akan berkurang apabila terdapat
kontraktur equinus.

AFO yang paling sering digunakan terbuat dari bahan polipropilene dan dimasukkan ke
dalam sepatu. Jika AFO dibuat sedemikian rupa sehingga sesuai dengan bagian kaki di anterior
maleoli maka akan menghasilkan suatu imobilisasi yang rigid. Penyesuaian seperti ini digunakan
apabila terdapat masalah instabilitas atau spastisitas pada pergelangan kaki, misalnya pada pasien
dengan lesi upper motor neuron atau stroke. AFO yang dibuat sesuai dengan bagian kaki
posterior terhadap maleoli (tipe posterior leaf-spring) memungkinkan pergerakan plantar fleksi
pada tumit dan gerakan mendorong keatas mengembalikan posisi kaki ke netral untuk fase
mengayun berikutnya. Alat ini membantu gerakan dorsifleksi pada drop foot dengan deformitas
equinovarus spastic ringan atau flaksid.ada juga orthosis yang dapat langsung digunakan pada
bagian tumit sepatu disebut shoe-clasp orthosis.

Peroneal nerve stimulation atau disebut juga Functional Electrical Stimulation (FES)
dapat dipertimbangkan pada foot drop yang disebabkan oleh hemiplegia. Tipe stimulasi ini
diperkenalkan pertama kali pada tahun 1961. Nerve stimulation memberikan efektifitas yang
lebih apabila digunakan bersamaan dengan AFO karena nerve stimulation memberikan koreksi
gaya jalan (gait) aktif dan dapat disesuaikan dengan masing masing pasien secara individual.
Peroneal nerve stimulation dilakukan dengan memberikan stimulasi elektrik durasi pendek pada
nervus peronealis diantara fossa poplitea dan kepala fibula. Sebuah saklar yang dipasang di tumit
kaki yang menderita kelemahan akan mengontrol aliran stimulasi elektrik. Stimulator akan
diaktivasi pada saat kaki diangkat dan berhenti pada saat kaki menyentuh lantai. Dengan
demikian maka tercapai dorsofleksi dan eversi selama fase mengayun pada gait.

Nerve stimulator dapat berupa stimulator eksternal, stimulator internal atau stimulator
dengan aktivasi radiofrekuensi. Penggunaan stimulasi elektrik pada pasien stroke dengan
hemiplegic spastic dilaporkan dapat berguna pada 2% kasus. Metode ini meningkatkan
kecepatan dan kualitas berjalan, serta dapat berkontribusi terhadap relearning motorik.

Drop foot merupakan keadaan kronis yang sering mengakibatkan stres psikis pada
penderitanya, oleh karena itu penatalaksanaan foot drop harus memperhatikan kebutuhan
psikologis penderitanya. Parestesia yang disertai nyeri kronis pada pasien dengan foot drop dapat
ditangani dengan blok saraf simpatis atau sinovektomi laparoskopi. Alternatif lain yang dapat
dipertimbangkan adalah amitriptilin, nortriptilin, pregabalin dan gabapentin. Anesthesia lokal
seperti capsaisin transdermal atau diclofenac dapat mengurangi nyeri. Penggunaan obat-obat
opioid harus diminimalkan walaupun pada keadaan nyeri yang signifikan. Penatalaksanaan foot
drop pada pasien-pasien dengan diabetes mellitus harus mengutamakan kontrol glukosa yang
optimal dan tambahan suplemen vitamin B1, B6 atau B12 untuk defisiensi vitamin karena dapat

a. Ankle foot orthosis

Ankle foot orthosis (AFO) merupakan modalitas terapi yang paling sering digunakan
untuk unilateral foot drop. Saat ini AFO tersedia dipasaran dalam berbagai material,
plastik, metal serta kulit hewan. AFO yang terbuat dari plastik lebih ringan dari pada
metal namun hanya digunakan untuk jangka pendek. Model AFO dari plastik yang dibuat
secara custom (yaitu sesuai dengan bentuk kaki individu) dapat dipakai untuk jangka
waktu yang lebih lama karena risiko mengiritasi kulit lebih kecil dari pada tipe standar.
AFO yang terbuat dari metal dan kulit hewan lebih berat dari pada AFO plastik. Kontak
dengan kulit harus minimal dengan menggunakan kaos kaki khusus. AFO metal dan kulit
hewan baik dipakai untuk pasien yang sering mengalami edema dan fluktuasi di kaki.

Gambar. AFO berbahan dasar plastik


Gambar. AFO berbahan dasar metal dan kulit

Gambar. AFO berbentuk sepatu

b. Peroneal nerve stimulation/ Functional Electrical Stimulation

Peroneal nerve stimulation atau dikenal juga dengan Functional Electrical Stimulation
(FES) pertama kali digunakan sebagai terapi foot drop pada tahun 1961. FES
memberikan impuls listrik untuk menstimulasi respon saraf yang diperlukan untuk
melakukan suatu dorsofleksi. FES dapat diprogram secara khusus menyesuaikan
kebutuhan individual. FES memberikan suatu range of movement yang normal kepada
kaki dan pergelangan kaki selama fase berjalan. FES telah terbukti berhasil memperbaiki
gaya jalan pada pasien-pasien stroke dan multiple sclerosis dengan foot drop. FES
dikontraindikasikan pada pasien yang menggunakan pacemaker, pasien dengan epilepsi
tidak terkontrol, pasien dengan kehamilan dan luka pada area penggunaan FES8.
Gambar. FES eksternal untuk koreksi gaya jalan drop foo

c. FES untuk koreksi gaya jalan drop foot

Nervus peroneal mudah distimulasi karena karena terletak tepat dibawah kulit dan otot-
otot kaki bagian bawah umumnya merespon cukup untuk dapat mengangkat kaki pada
titik pergelangan kaki. Daya listrik FES dihasilkan dari alat elektrik kecil bertenaga
baterai. Terdapat dua cara mengirimkan daya listrik ke saraf peroneal:

Gambar. Siklus gaya jalan drop foot dengan koreksi FES eksternal

- Surface (eksternal) FES

Cara ini merupakan cara yang paling sering digunakan. Elektroda diletakkan diatas kulit
tepat diatas saraf peroneal. FES harus diletakkan diposisi yang benar setiap kali
digunakan untuk menghasilkan gerakan yang tepat. Pasien harus memasang elektroda
sendiri secara akurat atau dapat juga pasien dibantu dengan sebuah gelang karet yang
dipasangkan dibawah lutut sehingga pasien dapat memasang elekroda pada tempat yang
akurat setiap saat. FES akan memberikan sensasi seperti ditusuk jarum saat digunakan
namun penggunanya akan segera terbiasa dengan sensasi tersebut.

- Implanted FES

FES tipe implant memerlukan tindakan pembedahan untuk dipasang, dimana elektroda
diletakkan tepat pada saraf dan dikontrol dengan implant kecil yang diletakkan dibawah
kulit. FES akan mengaktifasi implant melalui antenna nirkabel yang digunakan diluar
tubuh. Keuntungan penggunaan implant FES yaitu pasien tidak perlu melepas dan
memasang kembali pada posisi yang akurat setiap kali akan dipakai. Implant FES juga
dapat mengurangi atau menghilangkan sama sekali sensasi stimulasi elektrik (seperti
tertusuk jarum) secara signifikan. Calon pengguna implant FES harus diuji terlebih
dahulu dengan eksternal FES apakah stimulasi elektrik menghasilkan perbaikan gaya
jalan yang signifikan atau tidak.

Untuk dapat meghasilkan gaya jalan yang normal, otot harus distimulasi pada
waktu yang tepat selama proses berjalan. Pemicu stimulasi (stimulation trigger) harus
diberikan ketika beban berat tubuh diangkat dari kaki sampai saatsetelah berat tubuh
kembali dibebankan kepada kaki. Proses ini akan menghasilkan gerakan dorsofleksi pada
fase mengayun dan stabilitas pergelangan kaki saat kaki menginjak lantai. Terdapat dua
sistem trigger yang umum digunakan. Sistem trigger yang pertama berupa saklar kaki
yang sensitif terhadap tekanan, diletakkan pada bagian tumit didalam sepatu. Saklar kaki
dan alat FES dapat dihubungkan dengan kaber ataupun dihubungkan secara nirkabel.
Sistem kedua adalah dari gerakan kaki pengguna yang dideteksi dengan sensor gerakan.
Sensor diletakkan didalam alat FES yang dipasang dengan gelang karet kaki (leg cuff).

6.2 Terapi Operatif

Jika kelemahan yang terjadi disebabkan oleh kompresi saraf peroneal, suatu operasi yang
mudah biasanya dilakukan untuk memperbaiki keadaan tersebut. Saraf peroneal berjalan
mengelilingi leher dari tulang fibula, persis dibawah lutut. Saraf peroneal kemudian berjalan
dibawah otot yang sering memiliki tepi fasia yang erat (peroneus logus). Tempat dimana saraf ini
melewati dibawah otot ini, area sempit ini dapat dilepaskan dan tekanan dieleminasi. Sering kali
dengan metode operatif ini bisa mengembalikan fungsi kaki.

Selain itu kelemahan ini dapat disebabkan oleh kompresi saraf ditulang belakang yakni
lumbar. Metode operatif sering kali dilakukan untuk membuka ruangan dimana saraf tersebut
meninggalkan tulang belakang (foramina spinal) dengan mengalihkan diskus yang mengalami
herniasi (microdiscectomy), membuka foramen (foraminotomy) atau pada kasus yang lebih
kompleks, dilakukan kombinasi dari dua tindakan ini, dimana tulang akan di perbaiki bersama
untuk menghilangkan pergerakan yang bermasalah.

Suatu saat tindakan ini tidak cukup untuk mengembalikan fungsi kaki. Pada kasus seperti
ini, pemindahan saraf kadang dilakukan. Tindakan ini meliputi pengambilan saraf donor yang
memiliki fungsi yang kurang bermanfaat ke saraf yang mengalami kerusakan pada kasus drop
foot. Metode ini dilakukan untuk mengembalikan fungsi saraf yang rusak agar dapat berfungsi
kembali.

Pemindahan saraf untuk memperbaiki drop foot bisa melibatkan cabang dari saraf tibial,
yang mana mempersarafi otot yang bertanggung jawab menarik kaki ke atas. Kedua cabang saraf
tibia yang menginervasi otot flexor ibu jari atau saraf yang berkontribusi dalam memfleksikan
otot paha bisa digunakan sebagai saraf donor.

Setelah tindakan ini, pasien dapat mengaktivasi otot donor mereka, yaitu mereka masih
bisa menggerakan kaki kebawah, tetapi saat mereka memperoleh fungsi dari saraf yang
dipindahkan, mereka juga perlu dilatih untuk menggunakan otot ini untuk menarik kaki keatas.
Otak akan mempelajari trik ini dan pasien akan bisa menggangkat kaki keats dengan hanya
memikirkan tentang mengangkat kaki keatas. Untuk melatih hal tersebut biasanya di lakukan
oleh ahli fisikal.

Proses penyembuhan fungsi dari saraf yang dipindahkan sangatlah lama. Pasien biasanya
akan mulai melihat proses penyembuhan dalam tiga hingga enam bulan setelah operasi, tetapi
tidak jarang kebanyakan kasus dalam mengembalikan pergerakan memakan waktu yanglebih
lama yakni enam sampai 12 bulan.
DAFTAR PUSTAKA

Adam RD ;Victor M. Principles of neurology. 4th ed. New York: McGraw Hill, 1989
Anderson, Wayne E. Medscape: Medscape Access [Internet]. Emedicine.medscape.com. 2014
[14 Desember 2014].Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1141674-
overview.
Chusid JG and deGroot J. Correlative neuroanatomy. 20th ed. A Lange Medical Book,
1988:p.92-96
DeJOng. The Neurological examination.4t ed. 1979:p.576-588
Dyck Pl, Low PA. Disease of peripheral nerves, in Clinical neurology, Baker (ed). Philadelphia:
Harper & Row, 1987
Gilroy, J. Basic neurology. New York: Pergamon, 1992:p. 363-364
Goldstein NP. Metal neuropathy, in Peripheral neuropathy. Dyck PJ (ed.). Philadelphia: WB
Sounders, 1975:p. 1240-1248
Patten J. Neurological differential diagnosis, London: Harold Starke, 1977: p.194- 202
Thomas PK. Symptomatoly and differential diagnosis of peripheral neuropathy, in peripheral
neuropathy. Dyck P. (ed.). philadelphia; WB Saunders, 1975
Walton IN. Brain's diseases of the nervus system. 8th ed. New York: Oxford University, 1977:
779-781 dan 949-952
WHO. Peripheral neuropathies, Report of WHO Study Group, Jeneva, 1980
Aras, Djohan. Aplikasi FITT Pedoman Dosis Fisioterapis, in house Training PT. Inco Soroako

2012.

Aras, Djohan dkk. 2013. Pemeriksaan Spesifik Pada Muskuloskeletal.

Aras, Djohan. 2010. Whiplash Injury, [dibawakan dalam Acara Seminar dan Workshop :
Bagaimana Berolah Raga dengan Sehat, Bugar dan Berprestasi, 20 – 21 Maret 2010].
Makassar.

Buranda Theopilus. 2008. Anatomi Umum. Bagian anatomi Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin. Makassar

Butterworth-Heinemann edited by Porter, Stuart B. 2003. Tidy's Physiotherapy, Thirteenth


Edition. Elsevier Science.
Ck.Glam.Kc, Teh The FITT Formula. Sport Medicine and Fitness a Guide For Every One.
Singapore Council 2004.

David, Reid. Sports injury assessment and rehabilitation. (USA : Churchill Livingstone Inc ,
1992), Hlm.1017. Diakses tanggal 11 november 2013

Fisioterapi olaraga. (2012).Jurnal Ikatan Fisioterapi Indonesia No. 02, Vol. 6/ Oktober / 2006,
hal. 117. Diakses tanggal 11 november 2013

Febriani. 2013. Golfer’s Elbow (http://ninadfebriani.blogspot.com/2013/10/golfers-elbow.html,


diakses 12 november 2013)

Fenderson, Claudia. 2001. Pemeriksaan Neuromuskular.

Gardner, M. M., M. C. Robertson, et al. (2000). "Exercise in preventing falls and fall related
injuries in older people: a review of randomised controlled trials." British journal of
sports medicine 34(1): 7. Diakses tanggal 11 november 2013.

Jowir .(2012) cedera pada pemain golf. Journal Physiotherapy Olahraga. Diakses tanggal 11
november 2013

Kisner, Carolyn dan Colby, Lynn Allen. 1996. Therapeutic Exercise Foundations and
Techniques, Third Edition. F.A. Philadelphia: Davis Company.

Lumbantobing, S.M. 2010. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta
Martin, Dunnitz. Sports Injuries ( Their prevention and treatment ), (London : CIBA -
GEIGY,1990). Diakses tanggal 11 november 2013

Milan, K. R. (1994). "Injury in ballet: a review of relevant topics for the physical therapist." The
Journal of orthopaedic and sports physical therapy 19(2): 121. Diakses tanggal 11
november 2013.

Neil, F.Garda. The Cooper Clinic And Research Institute Fittness Series. Dallas America. 1989

Raj, Glady Samuel. (2006). Physiotherapy in Neuro-conditions. New Delhi: Padmashree


Institute of Physiotherapy, Bangalore; Medical Publisher (P) LTD, Jaypee Brothers.

Anda mungkin juga menyukai