Anda di halaman 1dari 28

“Laporan Pendahuluan Spinal Cord Injury (SCI)"

A. PENGERTIAN
Spinal Cord Injury (SCI) didefinisikan sebagai lesi traumatik akut
elemen saraf dari kanal tulang belakang, termasuk sumsum tulang belakang dan
cauda equina, yang menghasilkan defisit sensorik, motorik, atau disfungsi
kandung kemih sementara atau permanen (Oteir et al, 2014). SCI adalah keadaan
yang diakibatkan oleh trauma ataupun nontraumatik yang menyebabkan adanya
keterbatasan dalam perawatan diri, bergerak dan beraktivitas sehari-hari (Sayılır,
Erso ̈z and Yalc ̧ın, 2013).
Cedera medulla spinalis atau Spinal Cord Injury (SCI) didefinisikan
sebagai cedera atau kerusakan pada medulla spinalis yang menyebabkan
perubahan fungsional, baik secara sementara maupun permanen, pada fungsi
motorik, sensorik, atau otonom.6Beberapa literatur membedakan SCI
sebagai traumatic spinal cord injury (TSCI) dan nontraumatic, sedangkan pada
literatur lainnya menggunakan istilah SCI sebagai TSCI (Chin,2013).

Gambar 1.1 Cedera Kompresi


Sumber: Gambar dikutip dari: Freidberg SR, Magge SN. Chapter 60. Trauma to the Spine and Spinal
Cord. In: Jones HR, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. Netter’s Neurology. 2 nd edition. Elsevier,
Saunders. 2012. p.562-71 dan Sheerin F. Spinal Cord Injury: Causation and Pathophysiology. Emerg
Nurse 2005; 12(9):29-38.

1
B. ETIOLOGI
Kecelakaan jalan raya adalah penyebab terbesar, hal mana cukup
kuat untuk merusak kord spinal serta kauda ekuina. Di bidang olah-raga,
tersering karena menyelam pada air yang sangat dangkal (Pranida, Iwan Buchori,
2007).
Penyebab dari cedera medulla spinalis menurut Batticaca (2008),
antara lain:
Kecelakaan jalan raya adalah penyebab terbesar, hal mana cukup kuat untuk
merusak kord spinal serta kauda ekuina.
1. Olahraga
2. Menyelam pada air yang dangkal
3. Luka tembak atau luka tikam
4. Ganguan lain yang dapat menyebabkan cedera medulla spinalis seperti
spondiliosis servikal dengan mielopati, yang menghasilkan saluran sempit
dan mengakibatkan cedera progresif terhadap medulla spinalis dan akar;
mielitis akibat proses inflamasi infeksi maupun non-infeksi; osteoporosis
yang disebabkan oleh fraktur kompresi pada vertembra; tumor infiltrasi
maupun kompresi; dan penyakit vascular.
C. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala yang terjadi pada cedera pada korda spinalis (Spinal
Cord Injury) disebabkan karena berkurang atau hilangnya fungsi korda spinalis
dalam menghantarkan impuls. Cedera pada korda spinalis disebabkan oleh (Chin,
2013) :
1. Trauma fisik-mekanik yang secara langsung mengenai korda spinalis
2. Iskemia dari vaskularisasi yang menyuplai korda spinalis
3. Proses pendesakan di sekitar korda spinalis yang menimbulkan pendesakan
pada korda spinalis, seperti perdarahan, tumor.

2
Secara garis besar, seluruh tipe dari cedera korda spinalis dapat
dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu: lesi komplet dan lesi inkomplet.
1. Lesi komplit
Gejala yang terjadi dari adanya cedera komplet korda spinalis ialah complete
transverse myelopathy yang dicirikan dengan hilangnya seluruh fungsi
neurologis di bawah area yang terkena lesi. Pada kondisi ini dapat terjadi
paraplegia ataupun tetraplegia tergantung dimana kedudukan lesi. Selain itu
juga dapat terjadi gangguan pada saraf otonom, sehingga terjadi gangguan
fungsi perkemihan dan pencernaan.Gangguan yang terjadi pada lesi komplet
korda spinalis akan mengakibatkan:
a. Defisit Motorik
Gangguan pada fungsi motorik yang terjadi dapat dikelompokkan
menjadi tiga bagian, yakni paralisis upper motor neuron (UMN), paralisis
lower motor neuron (LMN), dan campuran. Paralisis UMN dicirikan
dengan hiperrefleksia, peningkatan kontraksi otot, dan hilangnya fungsi
voluntar otot-otot. Sedangkan paralisis LMN dicirikan dengan
berkurangnnya tonus otot, dan hilangnya refleks-refleks. Paralisis UMN
terjadi jika trauma mengenai area dia tas lumbal atau sebelum mencapai
cauda equina, sedangkan paralisi LMN terjadi jika trauma mengenai area
mulai dari cauda aequina hingga tingkat di bawahnya. Disebut paralisis
campuran jika terdapat tandatanda paralisis UMN dan LMN yang berarti
terjadapa trauma yang melibatkan korda medularis dan cauda equina
b. Defisit Sensorik
Pada lesi komplet korda spinalis juga terdapat gangguan fungsi sensoris.
Hal ini karena terputusnya aliran impuls yang membawa modalitas
sensoris, sehingga implus tersebut tidak dapat mencapai otak. Gangguan
sensoris yang timbul meliputi gangguan merasakan nyeri, suhu, raba,
posisi, dan diskriminasi taktil mulai dari daerah lesi hingga area di
bawahnya. Gangguan sensoris juga terjadi pada rangsang yang timbul
dari visceral. Kadang-kadang terdapat peningkatan sensitivitas sebagai 1

3
manifestasi gangguan sensoris seperti hiperalgesia maupun hiperaestesia
pada daerah di bawah lesi.
c. Defisit Otonom
1) Kontrol vasomotor Lesi yang terletak pada cervical ataupun torakal
di sebelah atas keluarnya jaras simpatis pada T5 akan menyebabkan
hipotensi. Gangguan pada pengendalian vasomotor akan
menyebabkan hipotensi postural karena venous return yang
terganggu.
2) Kontrol temperatur Pasien dengan lesi spinal komplet akan
mengalami gangguan termoregulasi, hal ini karena gangguan
pengaturan vasokonstriksi dan vasodilatasi pembuluh darah dan
kapiler perifer dalam mengatur suhu tubuh basal.
d. Gangguan Fungsi Sfingter
Terjadi karena gangguan jaras yang menghantarkan rangsang pada vesica
urinaria, yakni neervus sakralis 2, 3, dan 4. Terdapat tiga jenis lesi yang
mengganggu fungsi vesica urinaria, yakni lesi UMN, LMN dan
campuran. Pada lesi UMN (lesi di atas L1), pasien akan memiliki masalah
berupa retensi urin dengan inkontinensia urin sehingga diperlukan kateter
untuk berkemih. Arkus reflek miksi spinal masih tetap intak jika lesi
berlokasi di atas konus medularis, sehingga mengakibatkan autonomic
bladder. Kondisi ini digambarkan sebagai vesica urinaria yang secara
langsung mengeluarkan urin secara involunter jika terisi urin dan tidak
terdapat sensasi vesica urinaria yang penuh. Pada lesi LMN (lesi di bawah
L1), arkus reflek miksi spinal terganggu dan tidak berfungsi, sehingga
fungsi vesica urinaria sepenuhnya dikendalikan oleh reflek myogenic
stretch pada otot detrusor vesica urinaria. Hal ini akan menyebabkan
kondisi yang disebut autonomous bladder, yakni vesica urinaria akan
menampung urin sampai dengan batas maksimal kapasitasnya, dan ketika
volume vaseca urinaria maksimal, urin akan dikeluarkan sekaligus tanpa
disadari (inkontinensia). Pada lesi campuran, terdapat tanda-tanda

4
keduanya di atas. Cara pemeriksaan: Mikro-urin, urodinamik, IVP,
ultrasonografi, sistoskopi. Selain fungsi perkemihan, cedera korda
spinalis juga mempengaruhi fungsi rektum dalam mengelurkan feses jika
cedera terjadi dan mengenai nervus sakral 2, 3, dan 4. Fungsi sfingter
rektum diperiksa dengan pemeriksaan colok dubur.
e. Gangguan Fungsi Seksual
1) Priapismus: ereksi penis yang berkepanjangan tanpa diikuti dengan
hasrat seksual dan sering disertai dengan rasa nyeri. Terjadi karena
gangguan penghantaran stimulus otonom simpatis dan parasimpatis
akibat lesi pada nervus sakral 2,3, dan 4. Simpatis yang terganggu
menyebabkan vena-vena pada penis dilatasi maksimal yang berakibat
masuknya darah ke dalam komponen intrakavernosa dan
menyebabkan penis ereksi. Terganggunya penjalaran parasimpatis
akan menyebabkan darah yang terdapat dalam 2 intrakavernosa tidak
dapat keluar, sehingga tekanan dalam intrakavernosa semakin
meningkat, penis semakin ereksi dan menyebabkan rasa nyeri.
2. Lesi Inkomplit
a. Anterior cervical spinal cord syndrome Disebabkan oleh adanya kompresi
pada bagian anterior dari korda spinalis. Hal ini akan menyebabkan
rusaknya traktus kortikospinalis dan spinotalamikus dengan disertai
paralisis motorik pada area di bawah lesi dan hilangnya kemampuan
merasakan sensasi nyeri, suhu, dan raba, namun masih bisa merasakan
sentuhan raba halus, propriosepsi, dan posisi tubuh, hal ini karena jaras
yang berfungsi menghantarkan rangsang tersebut terletak pada kolumna
posterior. Patofisiologi dari adanya sindrom ini belum sepenuhnya
diketahui, namun terdapat hipotesis yang menyatakan bahwa sindrom ini
terjadi karena tekanan pada persambungan ligamnetum dentatum pada
sumbu ekuatorial korda spinalis atau dapat juga disebabkan cedera
iskemia dari arteri spinalis anterior yang terkompresi, sehingga

5
menyebabkan gangguan vaskularisasi pada dua pertiga anterior korda
spinalis.
b. Central spinal cord syndrome Disebabkan karena hiperekstensi vertebrae
cervical yang disertai dengan kompresi korda spinalis diantara diskus
intervertebralis yang telah berdegenerasi dan osteofit di bagian depan,
serta ligamentum flavum yang menebal di bagian belakang.Bagian tengah
dari korda spinalis berfungsi menghantarkan jaras persarafan pada
ekstremitas atas, sehingga jika bagian sentral ini rusak, maka terjadi
disproporsi kelemahan (weakness) pada ekstermitas atas jika
dibandingkan dengan ekstremitas bawah. Fungsi sensoris hilang minimal,
walaupun hal ni berbeda antara satu orang dengan orang lainnya.
c. Brown sequard syndrome Disebabkan karena hemiseksi dari korda
spinalis. Dapat terjadi akibat dari luka tusuk (trauma langsung) ataupun
trauma tumpul (dislokasi atau fraktur vertebrae). Terdapat paralisis
ipsilateralekstremitas bawah di bawah lesi disertai dengan hilangnya
kemampuan merasakan sensasi nyeri, suhu, dan raba pada bagian tubuh
kontralateral. Sindrom ini juga memperngaruhi kolumna posterior pada
bagian ipsilateral lesi, namun defisit yang terjadi minimal karena masih
terdapat jaras yang menyilang untuk menghantarkan stimulus dari
kolumna posterior tersebut.
d. Conus medularis syndrome Akibat dari cedera medula spinalis pada
tingkat sakral dan lumbal yang menyebabkan hilangnya refleks vesica
urinaria, kontraksi-relaksasi rektum, dan reflek-reflek fisiologis
ekstremitas bawah. Namun jika cedera hanya pada tingkat sakral, maka
masih terdapat reflek pada fungsi perkemihan dan bulbokavernosus. 3 5.
Cauda equina syndrome Akibat cedera pada jaras persarafan lumbosakral
pada kanalis spinalis, menyebabkan hilangnya refleks pada vesica
urinaria, kontraksi-relaksasi rektum, dan reflek-reflek fisiologis
ekstremitas bawah secara total.

6
D. PATOFISIOLOGI
Adanya trauma pada medulla spinalis menyebabkan munculnya gejala
dan tanda klinis akibat dari cedera primer dan sekunder (Chin, 2013). Terdapat 4
jenis mekanisme cedera primer pada medulla spinalis, antara lain benturan
dengan kompresi persisten, benturan dengan kompresi sementara, distraksi, dan
laserasi/transection. Mekanisme cedera primer yang paling umum adalah
benturan disertai kompresi persisten, yang terutama terjadi pada burst
fracture dengan retropulsi dari fragmen tulang yang memberikan kompresi pada
medulla spinalis (tear drop fracture), fraktur-dislokasi, dan ruptur diskus akut.
Mekanisme kedua yaitu benturan dengan kompresi sementara yang contohnya
terjadi pada cedera hiperekstensi di individu dengan penyakit degenerasi
servikal. Distraksi yaitu regangan kuat yang terjadi pada medulla spinalis akibat
gaya fleksi, ekstensi, rotasi atau dislokasi yang menyebabkan (dapat
menyebabkan gangguan perfusi) merupakan mekanisme ketiga. Cedera distraksi
ini merupakan salah satu penyebab terjadinya cedera medulla spinalis tanpa
ditemukan adanya kelainan pada pencitraan radiologi. Mekanisme cedera
terakhir yaitu laserasi dapat disebabkan oleh cedera karena roket, luka karena
senapan api, dislokasi dari fragmen tulang yang tajam, dan distraksi hebat.
Laserasi dapat menyebabkantransection total sampai cedera minor. Seluruh
mekanisme cedera primer menyebabkan kerusakan pada substansia kelabu
bagian sentral, tanpa kerusakan substansia alba (bagian perifer). Adanya
kecenderungan cedera pada bagian substansia kelabu dispekulasikan merupakan
akibat konsistensi yang lebih lunak dan adanya pembuluh darah yang lebih
banyak (Godim, 2013). Cedera tersebut menyebabkan kerusakan pembuluh darah
(microhemorrhage) dalam hitungan menit awal pascatrauma sampai beberapa
jam kedepan yang berlanjut mengakibatkan iskemia dan hipoksia medulla
spinalis. Kerusakan terjadi akibat dari kebutuhan metabolisme yang tinggi dari
medulla spinalis. Selain pembuluh darah, neuron juga mengalami kerusakan
(ruptur akson dan membran sel neuron) dan transmisinya terganggu akibat
adanya edema pada daerah cedera. Edema hebat medulla spinalis terjadi dalam

7
hitungan menit awal dan nantinya berlanjut menyebabkan iskemia cedera
sekunder. Substansia kelabu mengalami kerusakan ireversibel dalam 1 jam
pertama setelah cedera, sedangkan substansia alba dalam 72 jam setelah cedera.
Cedera primer merupakan penyebab dari kerusakan sekunder dari cedera medulla
spinalis. Mekanisme cedera sekunder, meliputi shok neurogenik, gangguan
vaskular berupa perdarahan dan iskemia-reperfusi, eksitotoksisitas, kerusakan
sekunder akibat kalsium, gangguan cairan-elektrolit, cedera imunologis,
apoptosis, gangguan fungsi mitokondria, dan proses lainnya (Godim, 2013).

Gambar 1.2 Cedera primer dan sekunder dari Spinal Cord Injury
Sumber: Dumont et al. Acute Spinal Cord Injury, Part I: Pathophysiologic Mechanisms. Clin
Neuropharmacol 2001;24(5):254-64

Cedera medulla spinalis menyebabkan terjadinya shok neurogenik.


Terdapat beberapa interpretasi dari definisi shok ini, namun dalam literatur
umumnya didefinisikan sebagai perfusi jaringan yang inadekuat akibat parese

8
serius pada vasomotor (yang berakibat gangguan keseimbangan dari vasodilasi
dan vasokontriksi pada arteriole dan venules). Neurogenik shok merupakan
akibat dari shok spinal yang merupakan manifestasi dari cedera medulla spinalis.
Cedera primer menyebabkan peningkatan ion potassium pada rongga
ekstraselular sehingga mengakibatkan hilangnya aktivitas somatik, refleks, dan
autonomik dibawah level kerusakan tersebut. Shok neurogenik disebabkan
karena hilangnya tonus simpatis yang berakibat munculnya bradikardia, hipotensi
dengan penurunan resistensi perifer dan cardiac output. Shok ini umumnya
bermanifestasi antara 4-6 jam setelah cedera diatas level T6 terjadi. Shok spinal
dan neurogenik merupakan kondisi sementara yang dapat bertahan antara 48 jam
sampai 6 minggu pascacedera (Chin, 2013).

9
E. PATWAY

Kecelakaan Jalan Raya Jatuh dari Ketinggian Trauma atau Cidera Jatuh dari Ketinggian
Tulang Belakang

Trauma tulang
belakang

Fraktur Vetebrae Nyeri Akut

Gangguan Neurologis
pada Korda Spinalis

Hilangnya fungsi
sensorik dan motorik

Kelemahan otot Gangguan fungsi Gangguan fungsi Terputusnya jaringan


pernafasan vesika urinaria rektum saraf dimedula
spinalis
Suplay oksigen ke Inkontinensia urin Inkontinensia alvi
tubuh menurun Paralisis atau
paraplegia
Hipoksia, sesak nafas Kerusakan
integritas kulit
Hambatan Mobilitas
Fisik
Ketidaefektifan pola
nafas
Kelemahan Umum

Defisit perawatan
diri

10
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Sinar X spinal
Menentukan lokasi dan jenis cedera tulan (fraktur, dislokasi), unutk
kesejajaran, reduksi setelah dilakukan traksi atau operasiCT Scant
Menentukan tempat luka / jejas, mengevaluasi ganggaun struktura.
2. MRI
Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi
3. Mielografi.
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor
putologisnya tidak jelas atau dicurigai adannya dilusi pada ruang sub
anakhnoid medulla spinalis (biasanya tidak akan dilakukan setelah mengalami
luka penetrasi).
4. Foto ronsen torak, memperlihatkan keadan paru (contoh : perubahan pada
diafragma, atelektasis)
5. Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vita, volume tidal) : mengukur volume
inspirasi maksimal khususnya pada pasien dengan trauma servikat bagian
bawah atau pada trauma torakal dengan gangguan pada saraf frenikus /otot
interkostal).
6. GDA : Menunjukan kefektifan penukaran gas atau upaya ventilasi (Arif
muttaqin 2008).

G. KOMPLIKASI
1. Neurogenik shock
Syok Neurogenik adalah kondisi medis yang ditandai dengan
ketidakcukupan aliran darah ke tubuh yang disebabkan karena gangguan
sistem saraf yang mengendalikan konstriksi dari pembuluh-pembuluh darah.
Gangguan ini menyebabkan kehilangan sinyal saraf tiba-tiba, yang
menyebabkan terjadinya relaksasi dan pelebaran pembuluh-pembuluh darah
2. Hipoksia.

11
Hipoksia merupakan kondisi di mana berkurangnya suplai oksigen ke
jaringan di bawah level normal yang tentunya tidak dapat memenuhi
kebutuhan tubuh.
3. Hipoventilasi
Hipoventilasi adalah kurangnya ventilasi dibandingkan dengan kebutuhan
metabolik, sehingga terjadi peningkatan PCO2 dan asidosis respiratorik
4. Instabilitas spinal
Instabilitas spinal adalah hilangnya kemampuan jaringan lunak pada spinal
(contoh : ligamen, otot dan diskus) untuk mempertahankan
kontrolintersegmental saat terjadinya beban atau stress fisiologis.
5. Orthostatic Hipotensi
Hipotensi ortostatik adalah penurunan tekanan darah yang terjadi tiba-tiba
saat berubah posisi dari telentang ke posisi duduk atau tegak. Hal ini lebih
sering pada pasien yang mengambil obat antihipertensi. Gejala seperti lemah
tiba-tiba, pusing, terasa pingsan dan pingsan dapat terjadi.
6. Ileus Paralitik
Ileus paralitik adalah keadaan abdomen akut berupa kembung distensi usus
karena usus tidak dapat bergerak (mengalami dismolititas).
7. Infeksi saluran kemih
Infeksi Saluran Kemih adalah infeksi bakteri yang mengenai bagian dari
saluran kemih. Ketika mengenai saluran kemih bawah dinamai sistitis
(infeksi kandung kemih) sederhana, dan ketika mengenai saluran kemih atas
dinamai pielonefritis (infeksi ginjal).
8. Kontraktur
Kontraktur adalah hilangnya atau kurang penuhnya lingkup gerak sendi
secara pasif maupun aktif karena keterbatasan sendi, fibrosis jaringan
penyokong, otot dan kulit.
9. Dekubitus
Dekubitus adalah kerusakan/kematian kulit sampai jaringan dibawah kulit,
bahkan menembus otot sampai mengenai tulang akibat adanya penekanan

12
pada suatu area secara terus menerus sehingga mengakibatkan gangguan
sirkulasi darah setempat. Dekubitus atau luka tekan adalah kerusakan
jaringan yang terlokalisir yang disebabkan karena adanya kompresi jaringan
yang lunak diatas tulang yang menonjol (bony prominence) dan adanya
tekanan dari luar dalam jangka waktu yang lama.
10. Inkontinensia blader
Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang
tidak terkendali atau terjadi di luar keinginan. (Brunner&Suddarth, 2002).
11. Konstipasi (Fransisca B. Batticaca 2008)
Konstipasi adalah kondisi tidak bisa buang air besar secara teratur atau tidak
bisa sama sekali. Jika mengalaminya, Anda biasanya akan mengalami
gejala-gejala tertentu. Misalnya tinja Anda menjadi keras dan padat dengan
ukuran sangat besar atau sangat kecil.

H. PENATALAKSANAAN
Kerusakan medulla spinalis akibat dari cedera primer umumnya tidak
dapat diperbaiki sehingga seluruh usaha dikerahkan untuk mencegah terjadinya
kerusakan lebih lanjut yang belum terjadi (sekunder) dan komplikasi-komplikasi
dari cedera tersebut. Prinsip utama dari tatalaksana CMS, antara lain mencegah
kerusakan sekunder dari CMS, reduksi dan stabilisasi dari cedera (tulang dan
ligamen), mencegah dan menangani komplikasi dari CMS, dan
rehabilitasi. Berdasarkan waktu penanganannya tatalaksana CMS dibagi menjadi
dua fase, antara lain fase pra-rumah sakit dan fase di rumah sakit (Kaye,2005).
1. Pra Rumah Sakit
Prinsip penanganan awal pada umumnya serupa pada pra-rumah sakit
maupun di rumah sakit yaitu prinsip Advance Trauma Life Support yang
mengutamakan survei primer ABCD (Airway, Breathing,
Circulation, dan Disability) untuk merestorasi tanda-tanda vital dan survei
sekunder (Kaye,20013). Survei sekunder pada fase ini umumnya hanya
fokus terhadap gejala dan tanda klinis CMS (nyeri di leher atau punggung,

13
nyeri tekan pada tulang belakang, paraplegia/tetraplegia, paraesthesia,
inkontinensia, priapism, peningkatan temperatur dari kulit atau eritema).
Titik utama yang membedakan penanganan pra-rumah sakit dengan di
rumah sakit adalah tindakan imobilisasi dari tulang belakang serta
memindahkan pasien ke unit gawat darurat (UGD) rumah sakit (Castellano,
2007).
Diperkirakan sampai 25% dari CMS mengalami perburukan setelah
trauma terjadi, baik ketika dalam perjalanan ke rumah sakit atau dalam
penanganan awal (4% diakibatkan karena tidak adanya tindakan imobilisasi
yang adekuat). Mobilisasi dengan perhatian khusus dan penggunaan teknik
tertentu sangat krusial pada pasien CMS karena dapat memperburuk cedera
yang dialami pasien. Posisi netral (anatomis), stabilisasi dengan rigid
collar ditambah dengan karung pasir (sandbags) atau bolster di kedua sisi
leher dan wajah, spinal board, penggunaan metode log-roll dan spinal lift
untuk memindahkan pasien dengan minimum 4 penolong merupakan teknik-
teknik untuk imobilisasi tulang belakang agar tidak mengalami cedera lebih
lanjut. Tindakan imobilisasi terus dipertahankan sampai pasien terbukti tidak
mengalami CMS. Dalam literatur, umumnya apabila MRI sudah menyatakan
tidak ada kelainan pada daerah tulang belakang maka penggunaan collar
sudah dapat dilepas (Freiberg, 2012).
Survei primer (ABCD) secara cepat untuk merestorasi setiap tanda-
tanda vital yang ada merupakan tindakan yang harus dilakukan sejak
pertama kali menemukan pasien trauma, kemudian disusul dengan survei
sekunder secara cepat untuk melihat gejala dan tanda klinis untuk CMS.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, pasien dengan CMS dapat
mengalami respiratory insufficiency akibat dari lesi CMS yang tinggi (parese
nervus phrenikus) dan syok neurogenik yang menyebabkan hipotensi
sehingga tatalaksana awal untuk mencegah kerusakan sekunder akibat
hipoksia dan hipotensi tersebut harus dideteksi dan ditangani secara cepat
dan adekuat. Intubasi harus dilakukan bila memang dibutuhkan, tidak hanya

14
untuk memberikan oksigenasi yang adekuat, tetapi juga untuk
mempertahankan patensi jalan napas. Pada pasien CMS yang tidak stabil
membutuhkan dokter atau paramedis yang berpengalaman dalam teknik
intubasi orotrakeal tanpa melakukan tindakan hiperekstensi dari leher karena
tindakan tersebut dapat memperparah CMS dan menyebabkan kematian.
Adanya penemuan dari tekanan sistolik dibawah 90 mmHg dan bradikardia
(nadi dibawah 60 kali/menit) menandakan terjadinya syok neurogenik
(hipovolemik bila takikardia). Syok neurogenik diatasi dengan pemasangan
dua IV line large bore (16-18 G), pemberian cairan isotonis, penggunaan
vasopressor (norepinefrin) dan atropine untuk meningkatkan nadi
(Castellano, 2007).
2. Di Rumah Sakit
a. Penanganan Awal
Penanganan di rumah sakit mencakup seluruh sistem yang
mungkin mengalami komplikasi dari CMS, yaitu mulai dari sistem
respiratorik, kardiovaskular, urologi, gastrointestinal, kulit, sampai
tindakan reduksi baik non-operatif maupun operatif (Rapper, 2009).
Prinsip awal saat menerima pasien di UGD rumah sakit
umumnya sama, yaitu ditindaklanjuti sesuai penanganan trauma (ATLS)
yaitu survei primer dan sekunder. Apabila pada saat diterima di rumah
sakit belum dilakukan tindakan imobilisasi tulang belakang, maka
tindakan awal yang harus dilakukan adalah tindakan imobilisasi. Hal yang
berbeda dengan penanganan pra-rumah sakit adalah pada pemeriksaan
neurologis harus dilakukan secara lengkap (apabila tanda-tanda vital ABC
sudah stabil). Pemeriksaan neurologis yang lengkap dilakukan
sesuai International Standards for Neurological Classification of Spinal
Cord Injuryrevisi 2011 yang dipublikasikan oleh ASIA. Pada saat
pemeriksaan neurologis awal dapat ditentukan level ketinggian lesi, lesi
komplit atau inkomplit, dan ada-tidaknya fase shok spinal. Pemeriksaan

15
radiologi kemudian dilakukan untuk melihat atau menyingkirkan
kemungkinan terjadinya CMS (Rapper, 2009)
b. Penanganan Spesifik untuk komplikasi
1) Sistem Respiratorik
Komplikasi pada traktus respirasi merupakan penyebab morbiditas
dan mortailitas utama pada pasien CMS. Lesi yang berkatian
langsung dengan fungsi pernapasan adalah lesi setingkat C5 keatas,
sedangkan lesi pada tingkat torakal hanya mengganggu fungsi batuk
dan lesi di lumbal tidak mempengaruhi sama sekali. Pasien dengan
lesi diatas C5 sebaiknya diintubasi dan menggunakan ventilasi
mekanik karena penurunan fungsi respirasi secara gradual dapat
terjadi. Fungsi respirasi harus dimonitor secara ketat dengan
memeriksa saturasi oksigen, kapasitas vital (vital capacity/VC) paru,
dan analisa gas darah berkala. Retensi sputum umumnya terjadi
dalam beberapa hari setelah cedera diakibatkan gangguan pada fungsi
batuk yang efektif, hal ini akan menyebabkan atelectasis dan
pneumonia. Chest physiotherapy, assisted cough dan latihan nafas
secara reguler dapat mencegah atelektasis dan infeksi paru
(Wahjiepramono, 2007).
2) Sistem Kardiovaskuler
Komplikasi utama yang krusial pada sistem kardiovaskuler akibat
CMS adalah syok neurogenik akibat dari syok spinal. Pada umumnya
syok neurogenik terjadi pada lesi diatas T6 akibat hilangnya dari
tonus simpatis. Hilangnya tonus tersebut menyebabkan vasodilasi
dan bradikardia yang menyebabkan hipotensi dan syok. Syok pada
CMS harus dibedakan antara hipovolemik dan neurogenik karena
apabila pada syok neurogenik diberikan terlalu banyak cairan maka
akan terjadi edema paru. Tatalaksana syok neurogenik, antara lain
pemberian cairan IV, vasopressor dengan karakteristik alpha dan beta
adrenergik (seperti norepinefrin, epinefrin, dan dopamine), atropine

16
untuk meningkatkan nadi, dan hindari hipotermia akibat
vasodilasi. Mean Arterial Pressure (MAP) harus ditargetkan diatas
70 mmHg, waaupun beberapa studi menunjukan MAP > 85 mmHg
memberikan prognosis yang lebih baik. Tromboemboli merupakan
salah satu komplikasi yang juga mungkin terjadi pada pasien
paraplegia/tetraplegia akibat CMS. Insiden emboli paru paling tinggi
terjadi pada minggu ke-3 setelah cedera dan merupakan penyebab
kematian paling umum pada pasien CMS yang berhasil selamat
setelah tejadinya trauma. Apabila tidak ada kontraindikasi seperti
trauma kapitis atau toraks, stocking antiembolism digunakan selama
2 minggu pertama setelah trauma dan penggunaan antikoagulan
dimulai dalam 72 jam setelah trauma selama 8-12 minggu (Low
molecular weight heparin lebih baik daripada warfarin
(Wahjoepramono, 2007 ).
3) Sistem Urologi
4) Setelah terjadinya CMS berat, buli-buli tidak dapat mengeluarkan
urin secara spontan, dan pasien yang tidak ditangani lebih lanjut
akan menyebabkan retensio urin yang berlanjut pada refluks urin
dan gagal ginjal. Segera setibanya pasien di RS harus dilakukan
pemasangan kateter Foley. Waktu pulihnya refleks berkemih
bervariasi, umumnya 6-8 minggu, tetapi bisa sampai 1 tahun (ada
literatur yang mengatakan bisa tidak kembali). Program
kateterisasi intermiten dimulai saat fase subakut,
ketika intake dan outputcairan mulai stabil. Hal ini dilakukan
untuk mencegah terjadinya infeksi saluran kemih. Namun bila
kateter Foley dilepas terlalu dini, dapat terjadi kerusakan otot
detrusor dan refluks karena tekanan pengisian buli-buli yang
tinggi. Komplikasi CMS pada saluran kemih adalah terjadinya
infeksi saluran kemih (ISK). ISK simptomatik yang disertai
demam, leukositosis, dan pyuria harus diterai dengan antibiotik

17
yang adekuat selama 7-14 hari, sedangkan infeksi asimtomatik
tidak perlu diterapi secara rutin. Penerapan metode steril penting
dilakukan untuk pencegahan ISK ((Wahjiepramono, 2007).
5) Sistem Gastrointestinal
Pasien dengan CMS setidaknya harus menerima cairan secara
intravena selama 48 jam karena umumnya terjadi ileus paralitik pada
CMS berat. Pada kondisi tersebut,nasogastric tube dipasang (NGT)
dan nil per oral (NPO) dilakukan sampai bising usus kembali
normal. Total parenteral nutrition sebaiknya diberikan. Apabila ileus
paralitik terjadi lama, distensi abdomen terjadi dan dapat
menyebabkan gangguan pergerakan diafragma. Ulkus peptikum akut
dapat terjadi dengan perdarahan atau perforasi, walaupun tidak umum
terjadi, namun komplikasi ini berbahaya. Oleh karena itu, pemberian
antagonis reseptor H2 atau proton pump inhibitor (PPI) harus dimulai
secepatnya dan diberikan minimal 3 minggu setelah trauma. Evaluasi
fungsi defekasi harus dilakukan sejak dini dan penatalaksanaan
dimulai secara agresif segera setelah timbul bising usus dan motilitas
usus normal. Ketinggian lesi menentukan fungsi defekasi, antara lain
lesi diatas T12 menyebabkan hiperrefleksia dan spastic dari sfingter
ani, sedangkan lesi dibawahnya menyebabkan arrefleksia dan flaccid
dari sfingter tersebut. Metode pengosongan usus dengan kombinasi
supositoria dan stimulasi anorektal, merangsang pola evakuasi pada
kolon distal (Darwenskus, 2004).
6) Kulit
Ulkus dikubitus akan selalu menjadi komplikasi CMS, oleh karena
itu pencegahan perlu dilakukan sejak dini. Pada fase akut, pasien
diposisikan miring kiri-miring kanan setiap 2 jam untuk mencegah
ulkus. Penggunaan matras busa atau air bisa membantu mengurangi
tekanan pada tonjolan tulang, namun posisi pasien harus tetap diubah
tiap 2 jam (Wahjoepramono, 2007).

18
I. PENGKAJIAN
1. Identitas
Nama Pasien :
Usia :
Jenis Kelamin :
Alamat :
Pendidikan :
Agama :
2. Anamnesis Riwayat Penyakit
3. Keluhan Utama
Cedera medulla spinalis mempunyai keluhan atau gejala utama yang
berbeda-beda tergantung letak lesi dan luas lesi. Keluhan utama yang timbul
seperti nyeri, rasa bebal, kekakuan pada leher atau punggun dan kelemahan
pada ekstremitas atas maupun bawah.
4. Riwayat Penyakit Saat Ini
Pengkajian ini sangat penting dalam menentukan derajat kerusakan dan
adanya kehilangan fungsi neurologik. Medulla spinalis dapat mengalami
cedera melalui beberapa mekanisme, cedera primer meliputi satu atau lebih
proses verikut dan gaya : kompresi akut, benturan, destruksi, laserasi dan
trauma tembak.
5. Riwayat Penyakit Dahulu
Klien dengan cedera medulla spinalis bias disebabkan oleh beberapa
penyakit seperti Reumatoid Artritis, pseudohipoparatiroid, Spondilitis,
Ankilosis, Osteoporosis maupun Tumor ganas.
6. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu ditanyakan riwayat penyakit keluarga yang dapat memperberat cedera
medulla spinlis.
7. Riwayat Psiko-Sosio-Spiiritual
Pengkajian meliputi : Bagaimana emosi klien ? Apakah klien memiliki
kebiasaan meminum minuman keras dan suka mabuk? Bagaimana

19
keyakinan klien terhadap sakit yang dialaminya? Apakah ada penyangkalan
tentang penyakitnya ? Bagaimana emosi klien : sedih, marah, takut, cemas,
gelisah, menarik diri maupun tidak percaya diri?

J. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik mengacu pada pengkajian B1-B6 dengan
pengkajian focus ditujukan pada gejala-gejala yang muncul akibat cedera
medulla spinalis.
Keadaan umum : (Arif muttaqin 2008) Pada keadaan cidera tulang
belakang umumnya tidak mengalami penurunan kesadaran. Adanya perubahan
pada tanda-tanda vital, meliputi bradikardi dan hipotensi.
1. B1 (BREATHING)
pada sistem pernapasan bergantung pada gradasi blok saraf parasimpatis klien
mengalami kelumpuhan otot otot pernapasan dan perubahan karena adanya
kerusakan jalur simpatetik desending akibat trauma pada tulang belakang
sehingga mengalami terputus jaringan saraf di medula spinalis, pemeriksaan
fisik dari sistem ini akan didapatkan hasil sebagai berikut inspeksi umum
didapatkan klien batuk peningkatan produksi sputum, sesak napas.dst
2. B2 (BLOOD)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan rejatan syok hipovolemik
yang sering terjadi pada klien cedera tulang belakang. Dari hasil pemeriksaan
didapatkan tekanan darah menurun nadi bradikardi dan jantung berdebar-
debar. Pada keadaan lainnya dapat meningkatkan hormon antidiuretik yang
berdampak pada kompensasi tubuh.
3. B3 (BRAIN)
Pengkajian ini meliputi tingkat kesadaran, pengkajian fungsi serebral dan
pengkajian saraf kranial. Pengkajian tingkat kesadaran : tingkat keterjagaan
klien dan respon terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk
disfungsi sistem persyarafan. Pengkajian fungsi serebral : status mental
observasi penampilan, tingkah laku nilai gaya bicara dan aktivitas motorik

20
klien Pengkajian sistem motorik : inspeksi umum didapatkan kelumpuhan
pada ekstermitas bawah, baik bersifat paralis, paraplegia, maupun
quadriplegia Pengkajian sistem sensori : ganguan sensibilitas pada klien
cedera medula spinalis sesuai dengan segmen yang mengalami gangguan.
4. B4 (BLADDER)
Kaji keadaan urine meliputi warna ,jumlah,dan karakteristik urine, termasuk
berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat
terjadi akibat menurunnya perfusi pada ginjal. Bila terjadi lesi pada kauida
ekuina kandung kemih dikontrol oleh pusat (S2-S4) atau dibawah pusat spinal
kandung kemih akan menyebabkan interupsi hubungan antara kandung kemih
dan pusat spinal.
5. B5 (BOWEL)
Pada keadaan syok spinal, neuropraksia sering didapatkan adanya ileus
paralitik, dimana klinis didapatkan hilangnya bising usus, kembung,dan
defekasi, tidak ada. Hal ini merupakan gejala awal dari tahap syok spinal yang
akan berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu.
6. B6 (BONE)
Paralisis motorik dan paralisis organ internal bergantung pada ketinggian lesi
saraf yang terkena trauma. Gejala gangguan motorik sesuai dengan distribusi
segmental dari saraf yang terkena.disfungsi motorik paling umum adalah
kelemahan dankelumpuhan.pada saluran ekstermitas bawah. Kaji warna kulit,
suhu, kelembapan, dan turgor kulit dst.
K. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidak efektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan kelemahan
/paralisis otot-otot abdomen dan intertiostal dan ketidakmampuan untuk
membersihkan sekresi.
2. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan fungsi
motorik dan sesorik.
3. Resiko terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan
penurunan immobilitas, penurunan sensorik.

21
4. Retensi urine yang berhubungan dengan ketidakmampuan untuk berkemih
secara spontan.
5. Konstipasi berhubungan dengan adanya atoni usus sebagai akibat gangguan
autonomik.
6. Nyeri yang berhubungan dengan pengobatan immobilitas lama, cedera psikis
dan alat traksi (Diane C. Boughman, 2008 : 90)
L. INTERVENSI
1. Tujuan : Meningkatkan pernapasan yang adekuat
Kriteria hasil : Batuk efektif, pasien mampu mengeluarkan seket, bunyi
napas normal, jalan napas bersih, respirasi normal, irama dan jumlah
pernapasan, pasien, mampu melakukan reposisi, nilai AGD : PaO2 > 80
mmHg, PaCO2 = 35-45 mmHg, PH = 7,35 – 7,45
Rencana Tindakan
1.1 Kaji kemampuan batuk dan reproduksi sekret
R/ Hilangnya kemampuan motorik otot intercosta dan abdomen
berpengaruh terhadap kemampuan batuk.
2.1 Pertahankan jalan nafas (hindari fleksi leher, brsihkan sekret)
R/ Menutup jalan nafas.
3.1 Monitor warna, jumlah dan konsistensi sekret, lakukan kultur
R/ Hilangnya refleks batuk beresiko menimbulkan pnemonia.
4.1 Lakukan suction bila perlu
R/ Pengambilan secret dan menghindari aspirasi.
5.1 Auskultasi bunyi napas
R/ Mendeteksi adanya sekret dalam paru-paru.
6.1 Lakukan latihan nafas
R/ mengembangkan alveolu dan menurunkan prosuksi sekret.
7.1 Berikan minum hangat jika tidak kontraindikasi
R/ Mengencerkan secret
8.1 Berikan oksigen dan monitor analisa gas darah

22
R/ Meninghkatkan suplai oksigen dan mengetahui kadar oksigen dalam
darah.
9.1 Monitor tanda vital setiap 2 jam dan status neurologi
R/ Mendeteksi adanya infeksi dan status respirasi.
2. Tujuan : Memperbaiki mobilitas
Kriteria Hasil : Mempertahankan posisi fungsi dibuktikan oleh tak adanya
kontraktur, footdrop, meningkatkan kekuatan bagian tubuh yang sakit
/kompensasi, mendemonstrasikan teknik /perilaku yang memungkinkan
melakukan kembali aktifitas.
Rencana Tindakan
1.1 Kaji fungsi-fungsi sensori dan motorik pasien setiap 4 jam.
R/ Menetapkan kemampuan dan keterbatasan pasien setiap 4 jam.
2.1 Ganti posisi pasien setiap 2 jam dengan memperhatikan kestabilan tubuh
dan kenyamanan pasien.
R/ Mencegah terjadinya dekubitus.Beri papan penahan pada kaki
R/ Mencegah terjadinya foodrop
3.1 Gunakan otot orthopedhi, edar, handsplits
R/ Mencegah terjadinya kontraktur.
4.1 Lakukan ROM Pasif setelah 48-72 setelah cedera 4-5 kali /hari
R/ Meningkatkan stimulasi dan mencehag kontraktur.
5.1 Monitor adanya nyeri dan kelelahan pada pasien.
R/ Menunjukan adanya aktifitas yang berlebihan.
6.1 Konsultasikan kepada fisiotrepi untuk latihan dan penggunaan otot
seperti splints
R/ Memberikan pancingan yang sesuai.
3. Tujuan : Mempertahankan Intergritas kulit
Kriteria Hasil : Keadaan kulit pasien utuh, bebas dari kemerahan, bebas dari
infeksi pada lokasi yang tertekan.

23
Rencana Tindakan
1.1 Kaji faktor resiko terjadinya gangguan integritas kulit
R/ Salah satunya yaitu immobilisasi, hilangnya sensasi, Inkontinensia
bladder /bowel.
2.1 Kaji keadaan pasien setiap 8 jam
R/ Mencegah lebih dini terjadinya dekubitus.
3.1 Gunakan tempat tidur khusus (dengan busa)
R/ Mengurangi tekanan 1 tekanan sehingga mengurangi resiko
dekubitas
4.1 Ganti posisi setiap 2 jam dengan sikap anatomis
R/ Daerah yang tertekan akan menimbulkan hipoksia, perubahan posisi
meningkatkan sirkulasi darah.
5.1 Pertahankan kebersihan dan kekeringan tempat tidur dan tubuh pasien.
R/ Lingkungan yang lembab dan kotor mempermudah terjadinya
kerusakan kulit
6.1 Lakukan pemijatan khusus / lembut diatas daerah tulang yang menonjol
setiap 2 jam dengan gerakan memutar.
R/ Meningkatkan sirkulasi darah
7.1 Kaji status nutrisi pasien dan berikan makanan dengan tinggi protein
R/ Mempertahankan integritas kulit dan proses penyembuhan.
8.1 Lakukan perawatan kulit pada daerah yang lecet / rusak setiap hari
R/ Mempercepat proses penyembuhan
4. Tujuan : Peningkatan eliminasi urine
Kriteria Hasil : Pasien dpat mempertahankan pengosongan blodder tanpa
residu dan distensi, keadaan urine jernih, kultur urine negatif, intake dan
output cairan seimbang
Rencana tindakan
1.1 Kaji tanda-tanda infeksi saluran kemih
R/ Efek dari tidak efektifnya bladder adalah adanya infeksi saluran
kemih.

24
2.1 Kaji intake dan output cairan
R/ Mengetahui adekuatnya gunsi gnjal dan efektifnya blodder.
3.1 Lakukan pemasangan kateter sesuai program
R/ Efek trauma medulla spinalis adlah adanya gangguan refleks
berkemih sehingga perlu bantuan dalam pengeluaran urine.
4.1 Anjurkan pasien untuk minum 2-3 liter setiap hari
R/ Mencegah urine lebih pekat yang berakibat timbulnya.
5.1 Cek bladder pasien setiap 2 jam
R/ Mengetahui adanya residu sebagai akibat autonomic hyperrefleksia
6.1 Lakukan pemeriksaan urinalisa, kultur dan sensitibilitas
R/ Mengetahui adanya infeksi
7.1 Monitor temperatur tubuh setiap 8 jam
R/ Temperatur yang meningkat indikasi adanya infeksi.
5. Tujuan : Memperbaiki fungsi usus
Kriteria hasil : Pasien bebas konstipasi, keadaan feses yang lembek,
berbentuk.
Rencana tindakan
1.1 kaji pola eliminasi bowel
R/ Menentukan adanya perubahan eliminasi
2.1 Berikan diet tinggi serat
R/ Serat meningkatkan konsistensi feses
3.1 Berikan minum 1800 – 2000 ml/hari jika tidak ada kontraindikasi
R/ Mencegah konstipasi
4.1 Auskultasi bising usus, kaji adanya distensi abdomen
R/ Bising usus menentukan pergerakan perstaltik
5.1 Hindari penggunaan laktasif oral
R/ Kebiasaan menggunakan laktasif akan tejadi ketergantungan
6.1 Lakukan mobilisasi jika memungkinkann
R/ Meningkatkan pergerakan peritaltik
7.1 Berikan suppositoria sesuai program

25
R/ Pelunak feses sehingga memudahkan eliminasi
8.1 Evaluasi dan catat adanya perdarah pada saat eliminasi
R/ Kemungkinan perdarahan akibat iritasi penggunaan suppositorium.
6. Tujuan : Memberikan rasa nyaman
Kriteria hasil : Melaporkan penurunan rasa nyeri /ketidak nyaman,
mengidentifikasikan cara-cara untuk mengatasi nyeri, mendemonstrasikan
penggunaan keterampilan relaksasi dan aktifitas hiburan sesuai kebutuhan
individu.
Rencana tindakan
1.1 Kaji terhadap adanya nyeri, bantu pasien mengidentifikasi dan
menghitung nyeri, misalnya lokasi, tipe nyeri, intensitas pada skala 0 –
1-
R/ Pasien biasanya melaporkan nyeri diatas tingkat cedera misalnya
dada / punggung atau kemungkinan sakit kepala dari alat stabilizer
2.1 Berikan tindakan kenyamanan, misalnya, perubahan posisi, masase,
kompres hangat / dingin sesuai indikasi.
R/ Tindakan alternatif mengontrol nyeri digunakan untuk keuntungan
emosionlan, selain menurunkan kebutuhan otot nyeri / efek tak
diinginkan pada fungsi pernafasan.
3.1 Dorong penggunaan teknik relaksasi, misalnya, pedoman imajinasi
visualisasi, latihan nafas dalam.
R/ Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol, dan
dapat meningkatkan kemampuan koping
4.1 kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi, relaksasi otot, misalnya
dontren (dantrium); analgetik; antiansietis.misalnya diazepam (valium)
R/ Dibutuhkan untuk menghilangkan spasme /nyeri otot atau untuk
menghilangkan-ansietas dan meningkatkan istrirahat.

26
M. DAFTAR PUSTAKA
1. Freidberg SR, Magge SN. Chapter 60. Trauma to the Spine and Spinal Cord.
In: Jones HR, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. Netter’s Neurology.
2nd edition. Elsevier, Saunders. 2012. p.562-71
2. National Spinal Cord Injury Statistical Center. Spinal Cord Injury Facts
and Figures at a Glance. Birmingham, Alabama. 2012. Downloaded
from:https://www.nsisc.uab.edu
3. Baron BJ, McSherry KJ, Larson, Jr. JL, Scalea TM. Chapter 255. Spine
and Spinal Cord Trauma. In: Tintinalli JE, Stapczynski JS, Cline DM, Ma
OJ, Cydulka RK, Meckler GD, eds.Tintinalli’s Emergency Medicine: A
Comprehensive Study Guide. 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2011.
http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=6389092. Accessed
September 30, 2013
4. Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the Ascending and Descending
Tracts. In: Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th Edition. Lippincott
Williams & Wilkins, Philadelphia. 2010. p. 133-84
5. Gondim FAA, Gest TR. Topographic and Functional Anatomy of the
Spinal Cord. Emedicine Medscape
2013. http://emedicine.medscape/article/1148570-overview#showall
6. Chin LS. Spinal Cord Injuries. Emedicine Medscape
2013.http://emedicine.medscape.com/article/793582-overview#showall
7. Sheerin F. Spinal Cord Injury: Causation and Pathophysiology. Emerg
Nurse2005; 12(9):29-38
8. Waxman SG. Chapter 6. The Vertebral Column and Other Structures
Surrounding the Spinal Cord. In: Waxman SG, ed.Clinical Neuroanatomy.
26th ed. New York: McGraw-Hill; 2010.
http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=5272198. Accessed
October 1, 2013.
9. Dumont et al. Acute Spinal Cord Injury, Part I: Pathophysiologic
Mechanisms.Clin Neuropharmacol 2001;24(5):254-64
10. Gondim FAA. Spinal Cord Trauma and Related Diseases. Emedicine
Medscape 2013. http://emedicine.medscape.com/article/1149070-
overview#a0199
11. Derwenskus J, Zaidat OO. Chapter 23. Spinal Cord Injury and Related
Diseases. In: Suarez JI. Critical Care Neurology and Neurosurgery. New
Jersey. Humana Press. 2004. p.417-32
12. Ropper AH, Samuels MA. Chapter 44. Diseases of the Spinal Cord. In:
Ropper AH, Samuels MA, eds.Adams and Victor’s Principles of

27
Neurology. 9th ed. New York: McGraw-Hill; 2009.
http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=3640625. Accessed
October 3, 2013.
13. Kaye AH. Chapter 16. Spinal Injuries. In: Kaye AH. Essential
Neurosurgery. 3rdEdition. Victoria, Blackwell Publishing. 2005. p. 225-33
14. Kirshblum et al. International standards for neurological classification of
spinal cord injury (Revised 2011). J Spinal Cord Med 2011;34(6):535-46
15. Gruener G, Biller J. Spinal Cord Anatomy, Localization, and Overview of
Spinal Cord Syndromes. Continuum: Lifelong Learning
Neurol 2008;14(3):11
16. Bill II CH, Harkins VL. Chapter 29. Spinal Cord Injuries. In:Shah SM,
Kelly KM. Principles and Practice of Emergency Neurology. Cambridge
University Press, New York. 2003 p.286-303
17. Stiell et al. The Canadian C-Spine Rule versus the NEXUS Low-Risk
Criteria in Patients with Trauma. N Eng J Med 2003;349:2510-8
18. Grundy D, Swain A, Morris A. Chapter 3. Radiological Investigations. In:
Grundy D, Swain A. ABC of Spinal Cord Injury. 4th edition. BMJ
Publishing Group, London. 2002. p. 11-6
19. Castellano JM. Prehospital Management of Spinal Cord
Injuries. Emergencias2007; 19:25-31
20. Swain A, Grundy D. Chapter 4. Early Management and Complications – I
In: Grundy D, Swain A. ABC of Spinal Cord Injury. 4th edition. BMJ
Publishing Group, London. 2002. p. 17-20
21. Wahjoepramono EJ. Medula Spinalis dan Tulang Belakang. Fakultas
Kedokteran Universitas Pelita Harapan, Lippo Karawaci. 2007. p. 131-56
22. Consortium for Spinal Cord Medicine. Early Acute Management in Adults
with Spinal Cord Injury: A Clinical Practice Guideline for Health-Care
Providers. J Spinal Cord Med 2008;31(4):408-79
23. Grundy D, Swain A. Chapter 5. Early Management and Complications –
II. In: Grundy D, Swain A. ABC of Spinal Cord Injury. 4th edition. BMJ
Publishing Group, London. 2002. p. 21-4

28

Anda mungkin juga menyukai