Anda di halaman 1dari 29

DEFINISI

Trauma spinal yaitu gangguan pada serabut spinal (spinal cord) yang menyebabkan
perubahan secara permanen atau sementara, akan tetapi fungsi motorik, sensorik atau
autonomik masih normal.
Cedera medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan
oleh benturan pada daerah medulla spinalis (Brunner & Suddarth, 2001).

ETIOLOGI
Penyebab tersering adalah :
 Kecelakaan mobil
 Kecelakaan motor
 Jatuh
 Cedera olah raga
 Luka akibat tembakan atau pisau.

ANATOMI DAN FISIOLOGI MEDULA SPINALIS


Medula Spinalis berasal dari bagian kaudal dari medulla oblongata pada foramen
magnum. Pada orang dewasa biasanya berakhir pada batas tulang L1 sebagai konus
medularis. Dibawah level ini terdapat kauda ekuina, yang lebih tahan terhadap trauma. Dari
banyak traktus dari medulla spinalis hanya 3 yang dapat diperiksa secara klinis ;
1. Traktus kortikospinal
2. Traktus spinotalamikus
3. Kolum posterior
Tiap –tiap traktus terdapat satu pasang yang dapat mengalami kerusakan pada satu sisi
atau kedua sisi medulla spinalis, traktus kortikospinalis terdapat pada daerah segmen
posterolateral medulla spinalis dan fungsinya adalah mengontrol kekuatan motoris pada sisi
yang sama pada tubuh yang dapat diuji dengan kontraksi otot yang volunter atau respon
involuter terhadap stimulus nyeri. Traktus spinotslsmikus pada daerah antero lateral pada
medulla spinalis mentransmisikan sensasi nyeri dan temperatur dari sisi yang berlawanan dari
tubuh. Secara umum dapat dilakukan tes dengan pin prick dan raba halus. Kolum posterior
membawa propriseptif, vibrasi dan sensasi raba halus dari sisi yang sama dari tubuh, dan
kolum ini diuji dengan rasa posisi pada jari atau vibrasi dengan garpu tala.
Bila tidak terdapat fungsi, baik motoris maupun sensoris dibawah tingkat, ini dikenal
sebagai complet spinal cord injury (Cedera medulla spinalis komplit). Bila masih terdapat
fungsi motoris atau sensoris, ini disebut sebagai incomplete injury dan perianal (Sacral
sparing) mungkin hanya satu – satunya tanda yang tertinggal.

PATOFISIOLOGI
Trauma pada permukaan medula spinalis dapat memperlihatkan gejala dan tanda yang
segera ataupun dapat timbul kemudian. Trauma mekanik yang terjadi untuk pertama kalinya
sama pentingnya dengan traksi dan kompresi yang terjadi selanjutnya.
Kompresi yang terjadi secara langsung pada bagian-bagian saraf oleh fragmen-
fragmen tulang, ataupun rusaknya ligamen-ligamen pada sistem saraf pusat dan perifer.
Pembuluh darah rusak dan dapat menyebabkan iskemik. Ruptur axon dan sel membran
neuron bisa juga terjadi. Mikrohemoragik terjadi dalam beberapa menit di substansia grisea
dan meluas beberapa jam kemudian sehingga perdarahan masif dapat terjadi dalam beberapa
menit kemudian.
Efek trauma terhadap tulang belakang bisa bisa berupa fraktur-dislokasi, fraktur, dan
dislokasi. Frekuensi relatif ketiga jenis tersebut adalah 3:1:1
Fraktur tidak mempunyai tempat predileksi, tetapi dislokasi cenderung terjadi pada tempat-
tempat antara bagian yang sangat mobil dan bagian yang terfiksasi, seperti vertebra C1-2, C5-
6 dan T11-12.

Gambar 5 : manifestasi plegi pada trauma medulla spinalis

1
Dislokasi bisa ringan dan bersifat sementara atau berat dan menetap. Tanpa kerusakan
yang nyata pada tulang belakang, efek traumatiknya bisa mengakibatkan lesi yang nyata di
medulla spinalis.
Efek trauma yang tidak dapat langsung bersangkutan dengan fraktur dan dislokasi,
tetapi dapat menimbulkan lesi pada medulla spinalis dikenal sebagai trauma tak langsung.
Tergolong dalam trauma tak langsung ini ialah whiplash (lecutan), jatuh terduduk atau
dengan badan berdiri, atau terlempar oleh gaya eksplosi bom.
Medula spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut :
1. Kompresi oleh tulang, ligamentum, herniasi diskus intervertebralis dan hematom. Yang
paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan kompresi oleh korpus vertebra
yang mengalami dislokasi tulang dan kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami
dislokasi ke posterior dan trauma hiperekstensi.
2. Regangan jaringan yang berlebihan akan menyebabkan gangguan pada jaringan, hal ini
biasanya terjadi pada hiperfleksi. Toleransi medulla spinalis terhadap regangan akan
menurun dengan bertambahnya usia.
3. Edema medulla spinalis yang timbul segera setelah trauma menyebabkan gangguan aliran
darah kapiler dan vena.
4. Gangguan sirkulasi akibat kompresi tulang atau arteri spinalis anterior dan posterior.

MANIFESTASI KLINIK
Jika dalam keadaan sadar, pasien biasanya mengeluh nyeri akut pada belakang leher,
yang menyebar sepanjang saraf yang terkena. Pasien sering mengatakan takut kalau leher atau
punggungnya patah. Cedera saraf spinal dapat menyebabkan gambaran paraplegia atau
quadriplegia. Akibat dari cedera kepala bergantung pada tingkat cedera pada medulla dan tipe
cedera.
Tingakat neurologik yang berhubungan dengan tingkat fungsi sensori dan motorik
bagian bawah yang normal. Tingkat neurologik bagian bawah mengalami paralysis sensorik
dan motorik otak, kehilangan kontrol kandung kemih dan usus besar (biasanya terjadi retansi
urin dan distensi kandung kemih , penurunan keringat dan tonus vasomotor, dan penurunan
tekanan darah diawali dengan retensi vaskuler perifer.
Cedera medulla spinalis dapat diklasifikasikan sesuai dengan : level,beratnya defisit
neurologik, spinal cord syndrome, dan morfologi.

2
1. Level
Level neurologist adalah segmen paling kaudal dari medulla spinalis yang
masih dapat ditemukan sensoris dan motoris yang normal di kedua sisi tubuh. Bila
kata level sensoris digunakan, ini menunjukan kearah bagian segmen bagian kaudal
medulla spinalis dengan fungsi sensoris yang normal pada ke dua bagian tubuh. Level
motoris dinyatakan seperti sensoris, yaitu daerah paling kaudal dimana masih dapat
ditemukan motoris dengan tenaga 3/5 pada lesi komplit, mungkin masih dapat
ditemukan fungsi sensoris maupun motoris di bawah level sensoris/motoris. Ini
disebut sebagai daerah dengan “preservasi parsial”. Penentuan dari level cedera pada
dua sisi adalah penting. Terdapat perbedaan yang jelas antara lesi di bawah dan di atas
T1. Cedera pada segmen servikal diatas T1 medula spinalis menyebabkan quadriplegia
dan bila lesi di bawah level T1 menghasilkan paraplegia. Level tulang vertebra yang
mengalami kerusakan, menyebabkan cedera pada medulla spinalis. Level kelainan
neurologist dari cedera ini ditentukan hanya dengan pemeriksaan klinis. Kadang-
kadang terdapat ketidakcocokan antara level tulang dan neurologis disebapkan nervus
spinalis memasuki kanalais spinalis melalui foramina dan naik atau turun didalam
kanalis spinalis sebelem betul-betul masuk kedalam medulla spinalis. Ketidakcocokan
akan lebih jelas kearah kaudal dari cedera. Pada saat pengelolaan awal level kerusakan
menunjuk kepada kelainan tulang, cedera yang dimaksudkan level neurologist.

2. Beratnya Defisit Neurologis


Cedera medulla spinalis dapat dikategorikan sebagai paraplegia tidak komplit,
paraplegia komplit, kuadriplegia tidak komplit, dan kuadraplegia komplit. Sangat
penting untuk menilai setiap gejala dari fungsi medulla spinalis yang masih tersisa.
Setiap fungsi sensoris atau motoris dibawah level cedera merupakan cedera yang tidak
komplit. Termasuk dalam cedera tidak komplit adalah :
 Sensasi (termasuk sensasi posisi) atau gerakan volunteer pada ekstremitas
bawah.
 Sakral sparing, sebagai contoh : sensasi perianal, kontraksi. sphincter ani
secara volunter atau fleksi jari kaki volunter.
Suatu cedera tidak dikualifikasikan sebagai tidak komplit hanya dengan dasar adanya
reservasi refleks sacral saja, misalnya bulbocavernosus, atau anal wink. Refleks tendo
dalam juga mungkin dipreservasi pada cedera tidak komplit.

3
3. Spinal Cord Syndrome
Beberapa tanda yang khas untuk cidera neurologist kadang-kadang dapat
dilihat pada penderita dengan cidera medulla spinalis.
Pada sentral cord syndrome yang khas adalah bahwa kehilangan tenaga pada
ekstremitas atas, lebih besar disbanding ekstremitas bawah, dengan tambahan adanya
kehilangan adanya sensasi yang bervariasi. Biasanya hal ini terjadi biasanya terjadi
cidera hiperekstensi pada penderita dengan riwayat adanya stenosis kanalis sevikalis
(sering disebabkan oleh osteoarthritis degeneratif). Dari anamnesis umumnya
ditemukan riwayat terjatuh ke depan yang menyebabkan tumbukan pada wajah yang
dengan atau tanpa fraktur atau dislokasi tulang servikal. Penyembuhannya biasanya
mengikuti tanda yang khas dengan penyembuhan pertama pada kekuatan ekstremitas
bawah. Kemudian fungsi Kandung kencing lalu kearah proksimal yaitu ekstremitas
atas dan berikutnya adalah tangan. Prognosis penyembuhannya sentral cord syndrome
lebih baik dibandingkan cedera lain yang tidak komplit. Sentral cord syndrome diduga
disebabkan karena gangguan vaskuler pada daerah medulla spinalis pada daerah
distribusi arteries spinalis anterior. Arteri ini mensuplai bagian tengah medulla
spinalis. Karena serabut saraf motoris ke segmen servikal secara topografis mengarah
ke senter medulla spinalis, inilah bagian yang paling terkena.
Anterior cord syndrome ditandai dengan adanya paraplegia dan kehilangan
dissosiasi sensoris terhadap nyeri dan sensasi suhu. Fungsi komna posterior (kesadaran
posisi, vibrasi, tekanan dalam) masih ditemukan.Biasanya anterior cord syndrome
disebabkan oleh infark medulla spinalis pada daerah yang diperdarahi oleh arteri
spinalis anterior. Sindrom ini mempunyai prognosis yang terburuk diantara cidera
inkomplik.
Brown Sequard Sydrome timbul karena hemiksesi dari medulla spinalis dan
akan jarang dijumpai. Akan tetapi variasi dari gambaran klasik cukup sering
ditemukan.Dalam bentuk yang asli syndrome ini terdiri dari kehilangan motoris
opsilateral (traktus kortikospinalis) dan kehilangan kesadaran posisi (kolumna
posterior) yang berhubungan dengan kehilangan disosiasi sensori kontralateral dimulai
dari satu atau dua level dibawah level cedera (traktus spinotalamikus). Kecuali kalau
syndrome ini disebabkan oleh cedera penetrans pada medulla spinalis,penyembuhan
(walaupun sedikit) biasanya akan terjadi.

4
4. Morfologi
Cedera tulang belakang dapat dibagi atas fraktur, fraktur dislokasi, cedera
medulla spinalis tanpa abnormalitas radiografik (SCIWORA), atau cedera penetrans.
Setiap pembagian diatas dapat lebih lanjut diuraikan sebagai stabil dan tidak
stabil.Walaupun demikian penentuan stabilitas tipe cedera tidak selalu seerhana dan
ahlipun kadang-kadang berbeda pendapat. Karena itu terutama pada penatalaksanaan
awal penderita, semua penderita dengan deficit neurologist,harus dianggap
mempunyai cedera tulang belakang yang tidak stabil. Karena itu penderita ini harus
tetap diimobolisasi sampai ada konsultasi dengan ahli bedah saraf/ ortofedi.
Cedera servikal dapat disebabkan oleh satu atau kombinasi dari mekanisme
cedera ; (1) pembebanan aksial (axial loading), (2) fleksi, (3) ekstensi, (4) rotasi, (5)
lateral bending, dan (6) distraksi. Cedera dibawah ini mengenai kolumna spinalis, dan
akan diuraikan dalam urutan anatomis, dari cranial mengarah keujung kaudal tulang
belakang.
 Dislokasi atlanto – oksipita (atlanto – occipital dislokatiaon)
Cedera ini jarang terjadi dan timbul sebagai akibat dari trauma fleksi dan
distraksi yang hebat. Kebanyakan penderita meninggal karena kerusakan
batang otak. Kerusakan neurologist yang berat ditemukan pada level saraf
karanial bawah.kadang –kadang penderita selamat bila resusitasi segera
dilakukan ditempat kejadian.
 Fraktur atlas (C-1)
Atlas mempunyai korpus yang tipis dengan permukaan sendi yang lebar.
Fraktur C-1 yang palig umum terdiri dari burst fraktur (fraktur
Jefferson).mekanisme terjadinya cedera adalah axial loading, seperti kepala
tertimpa secara vertical oleh benda berat atau penderita terjatu dengan puncak
kepala terlebih dahulu. Fraktur jefeferson berupa kerusakan pada cincin
anterior maupun posterior dari C-1, dengan pergeseran masa lateral. Fraktur
akan terlihat jelas dengan proyeksi open mouth dari daerah C-1 dan C-2 dan
dapat dikomfirmasikan dengan CT Scan. Fraktur ini harus ditangani secara
awal dengan koral sevikal.
 Rotary subluxation dari C-1
Cedera ini banyak ditemukan pada anak –anak. Dapat terjadi spontan setelah
terjadi cedera berat/ ringan, infeksi saluran napas atas atau penderita dengan
rematoid arthritis. Penderita terlihat dengan rotasi kepala yang menetap. .pada

5
cedera ini jarak odontoid kedua lateral mass C-1 tidak sama, jangan dilakukan
rotasi dengan paksa untuk menaggulangi rotasi ini, sebaiknya dilakukan
imobilisasi. Dan segera rujuk.
 Fraktur aksis(C-2)
Aksis merupakan tulang vertebra terbesar dan mempunyai bentuk yang
istimewa karena itu mudah mengalami cedera.
1. fraktur odontoid
kurarng 60% dari fraktur C-2 mengenai odontoid suatu tonjolan tulang
berbentuk pasak. Fraktur ini daoat diidentifikasi dengan foto ronsen servikal
lateral atau buka mulut.

2. fraktur dari elemen posterior dari C-2


fraktur hangman mengenai elemen posterior C-2, pars interartikularis
20 % dari seluruh fraktur aksis fraktur disebabkan oleh fraktur ini. Disebabkan
oleh trauma tipe ekstensi, dan harus dipertahankan dalam imobilisasi eksternal.
 Fraktur dislocation ( C-3 sampai C-7)
Fraktur C-3 saangat jarang terjadi, hal ini mungkin disebabkan letaknya
berada diantara aksis yang mudah mengalami cedera dengan titik penunjang
tulang servikal yang mobile, seperti C-5 dan C-6, dimana terjadi fleksi dan
ekstensi tulang servikal terbesar.
 Fraktur vertebra torakalis ( T-1 sampai T-10)
Fraktur vertebra torakalis dapat diklasifikasikan menjadi 4 kategori : (1)
cedera baji karena kompresi bagian korpus anterior, (2) cedera bursi, (3)
fraktur Chance, (4) fraktur dislokasi.
Axial loading disertai dengan fleksi menghasilkan cedera kompresi
pada bagian anterior. Tipe kedua dari fraktur torakal adalah cedera burst
disebabkan oleh kompresi vertikal aksial. Fraktur dislokasi relative jarang pada
daerah T-1 sampai T-10.
 Fraktur daerah torakolumbal (T-11 sampai L-1)fraktur lumbal
Fraktur di daerah torakolumbal tidak seperti pada cedera tulang
servikal, tetapi dapat menyebabkan morbiditas yang jelas bila tidak dikenali
atau terlambat mengidentifikasinya. Penderita yang jatuh dari ketinggian dan
pengemudi mobil memakai sabuk pengaman tetapi dalam kecepatan tinggi
mempunyai resiko mengalami cedera tipe ini. Karena medulla spinalis berakhir

6
pada level ini , radiks saraf yang membentuk kauda ekuina bermula pada
daerah torakolumbal.
 Trauma penetrans
Tipe trauma penetrans yang paling umum dijumpai adalah yang
disebabkan karena luka tembak atau luka tusuk. Hal ini dapat dilakukan dengan
mengkombinasikan informasi dari anamnesis, pemeriksaan klinis, foto polos
dan CT scan. Luka penetrans pada tulang belakang umumnya merupakan
cedera yang stabil kecuali jika disebabkan karena peluru yang menghancurkan
bagian yang luas dari columna vertebralis.

MANIFESTASI LESI TRAUMATIK


 Komosio Medula Spinalis
Komosi medulla spinalis adalah suatu keadaan dimana fungsi medulla spinalis
hilang sementara akibat suatu trauma dengan atau tanpa disertai fraktur atau dislokasi.
Sembuh sempurna akan terjadi dalam waktu beberapa menit hingga beberapa jam /
hari tanpa meninggalkan gejala sisa.
Kerusakan yang medasari komosio medulla spinalis berupa edema, perdarahan
perivaskuler kecil-kecil dan infark disekitar pembuluh darah. Pada inspeksi
makroskopik medulla spinalis tetap utuh. Bila paralisis total dan hilangnya sensibilitas
menetap lebih dari 48 jam maka kemungkinan sembuh sempurna menipis dan
perubahan pada medulla spinalis lebih mengarah ke perubahan patologik daripada
fisiologik.
 Kontusio Medula Spinalis
Berbeda dengan komosio medulla spinalis yang diduga hanya merupakan
gangguan fisiologik saja tanpa kerusakan makroskopik, maka pada kontusio medulla
spinalis didapati kerusakan makroskopik dan mikroskopik medulla spinalis yaitu
perdarahan, pembengkakan (edema), perubahan neuron, reaksi peradangan.
Perdarahan didalam substansia alba memperlihatkan adanya bercak-bercak
degenerasi Wallerian dan pada kornu anterior terjadi hilangnya neuron.
 Laserasio Medula Spinalis
Pada laserasio medulla spinalis terjadi kerusakan yang berat akibat
diskontinuitas medulla spinalis. Biasanya penyebab lesi ini adalah luka tembak atau
bacok/tusukan, fraktur dislokasi vertebra.

7
 Perdarahan
Akibat trauma, medulla spinalis dapat mengalami perdarahan epidural,
subdural maupun hematomiella. Hematom epidural dan subdural dapat terjadi akibat
trauma maupun akibat dari sepsis. Gambaran klinisnya adalah adanya trauma yang
ringan tetapi segera diikuti paralisis flaksid berat akibat penekanan medulla spinalis.
Kedua keadaan diatas memerlukan tindakan darurat bedah. Hematomiella adalah
perdarahan di dalam substansia grisea medulla spinalis. Perdarahan ini dapat terjadi
akibat fraktur-dislokasi, trauma Whisplash atau trauma tidak langsung misalnya
akibat gaya eksplosi atau jatuh dalam posisi berdiri/duduk. Gambaran klinisnya adalah
hilangnya fungsi medulla spinalis di bawah lesi, yang sering menyerupai lesi
transversal. Tetapi setelah edema berkurang dan bekuan darah diserap maka terdapat
perbaikan-perbaikan fungsi funikulus lateralis dan posterior medulla spinalis. Hal ini
menimbulkan gambaran klinis yang khas hematomiella sebagai berikut : terdapat
paralisis flaksid dan atrofi otot setinggi lesi dan dibawah lesi terdapat paresis otot,
dengan utuhnya sensibilitas nyeri dan suhu serta fungsi funikulus posterior.
 Kompresi Medula Spinalis
Kompresi medulla spinalis dapat terjadi akibat dislokasi vertebra maupun
perdarahan epidural dan subdural. Gambaran klinisnya sebanding dengan sindrom
kompresi medulla spinalis akibat tumor, kista dan abses di dalam kanalis vertebralis.
Akan didapati nyeri radikuler, dan paralisis flaksid setinggi lesi akibat kompresi pada
radiks saraf tepi.
Akibat hiperekstensi, hiperfleksi, dislokasi, fraktur dan gerak lecutan (Whiplash)
radiks saraf tepi dapat tertarik dan mengalami jejas (reksis).
Pada trauma lecutan radiks C5-7 dapat mengalami hal demikian, dan
menimbulkan nyeri radikuler spontan. Dulu gambaran penyakit ini dikenal sebagai
hematorakhis, yang sebenarnya lebih tepat dinamakan neuralgia radikularis.
Di bawah lesi kompresi medulla spinalis akan didapati paralisis otot dan gangguan
sensorik serta otonom sesuai dengan derajat beratnya kompresi. Kompresi konus
medularis terjadi akibat fraktur-dislokasi L1, yang menyebabkan rusaknya segmen
sakralis medulla spinalis. Biasanya tidak dijumpai gangguan motorik yang menetap,
tetapi terdapat gangguan sensorik pada segmen sakralis yang terutama mengenai
daerah sadel, perineum dan bokong.
Di samping itu djumpai juga gangguan otonom yang berupa retensio urine
serta pada pria terdapat impotensi. Kompresi kauda ekuina akan menimbulkan gejala,
8
yang bergantug pada serabut saraf spinalis mana yang terlibat. Akan dijumpai
paralisis flaksid dan atrofi otot. Gangguan sensorik sesuai dengan dermatom yang
terlibat.
Kompresi pada saraf spinalis S2, S3 dan S4 akan menyebabkan retensio urin
dan hilangnya control dari vesika urinaria, inkontinensia alvi dan impotensi.
 Hemiseksi Medula Spinalis
Biasanya dijumpai pada luka tembak atau luka tusuk/bacok di medulla spinalis.
Gambaran klinisnya merupakan sindrom Brown Sequard yaitu setinggi lesi terdapat
kelumpuhan neuron motorik perifer (LMN) ipsilateral pada otot-otot yang disarafi
oleh motoneuron yang terkena hemilesi. Di bawah tingkat lesi dijumpai pada sisi
ipsilateral kelumpuhan neuron motorik sentral (UMN) dan neuron sensorik
proprioseptif, sedangkan pada sisi kontralateral terdapat neuron sensorik protopatik.
 Sindrom MedulaSpinalis bagian Anterior
Sindrom ini mempunyai gambaran khas berupa : paralisis dan hilangnya
sensibilitas protopatik di bawah tingkat lesi,tetapi sensibilitas protopatik tetap utuh.
 Sindrom Medula Spinalis bagian Posterior
Ciri khas sindrom ini adalah adanya kelemahan motorik yang lebih berat pada
lengan dari pada tungkai dan disertai kelemahan sensorik. Defisit motorik yang lebih
jelas pada lengan (daripada tungkai) dapat dijelaskan akibat rusaknya sel motorik di
kornu anterior medulla spinalis segmen servikal atau akibat terlibatnya serabut traktus
kortikospinalis yang terletak lebih medial di kolumna lateralis medulla spinalis.
Sindrom ini sering dijumpai pada penderita spondilitis servikal.
 Transeksi Medula Spinalis
Bila medulla spinalis secara mendadak rusak total akibat lesi transversal maka akan
dijumpai 3 macam gangguan yang muncul serentak yaitu :
1. semua gerak otot pada bagian tubuh yang terletak di bawah lesi akan hilang
fungsinya secara mendadak dan menetap
2. semua sensibilitas daerah di bawah lesi menghilang
3. semua fungsi reflektorik pada semua segmen dibawah lesi akan hilang. Efek
terakhir ini akan disebut renjatan spinal (spinal shock), yang melibatkan baik otot
tendon maupun otot otonom. Fase renjatan spinal ini berlangsung beberapa
minggu sampai beberapa bulan (3-6 mingu)

9
Pada anak-anak, fase shock spinal berlangsung lebih singkat daripada orang dewasa
yaitu kurang dari 1 minggu. Bila terdapat dekubitus, infeksi traktus urinarius atau
keadaan otot yang terganggu, malnutrisi, sepsis, maka fase syok ini akan berlangsung
lebh lama.
McCough mengemukakan 3 faktor yang mungkin berperan dalam mekanisme syok
spinal.
1. Hilangnya fasilitas traktus desendens
2. Inhibisi dari bawah yang menetap, yang bekerja pada otot ekstensor, dan
3. Degenerasi aksonal interneuron
Karena fase renjatan spinal ini amat dramatis, Ridoch menggunakannya sebagai dasar
pembagian gambaran klinisnya atas 2 bagian, ialah renjatan spinal atau arefleksia dan
aktivitas otot yang meningkat.
 Syok spinal atau arefleksia
Sesaat setelah trauma, fungsi motorik dibawah tingkat lesi hilang, otot flaksid,
paralisis atonik vesika urinaria dan kolon, atonia gaster dan hipestesia. Juga di bawah
tingkat lesi dijumpai hilangnya tonus vasomotor, keringat dan piloereksi serta fungsi
seksual. Kulit menjadi kering dan pucat serta ulkus dapat timbul pada daerah yang
mendapat penekanan tulang. Sfingter vesika urinaria dan anus dalam keadaan
kontraksi ( disebabkan oleh hilangnya inhibisi dari pusat saraf pusat yang lebi tinggi )
tetapi otot detrusor dan otot polos dalam keadaan atonik. Urin akan terkumpul, setelah
tekanan intravesikuler lebih tinggi dari sfingter uretra maka urin akan mengalir keluar
(overflow incontinence)
Demikian pula terjadi dilatasi pasif usus besar, retensio alvi dan ileus parlitik.
Refleks genitalia (ereksi penis, otot bulbokavernosus, kontraksi otot dartos)
menghilang.
 Aktifitas otot yang meningkat
Setelah beberapa minggu respon otot terhadap rangsang mulai timbul, mula-
mula lemah makin lama makin kuat. Secara bertahap timbul fleksi yang khas yaitu
tanda babinski dan kemudian fleksi tripel muncul. Beberapa bulan kemudian reflex
menghindar tadi akan bertambah meningkat, sehingga rangsang pada kulit tungkai
akan menimbulkan kontraksi otot perut, fleksi tripel, hiperhidrosis, pilo-ereksi dan
pengosongan kandung kemih secara otomatis.

10
PENATALAKSANAAN
I. Manajemen Pre-Hospital
Perlu diperhatiakan tatalaksana disaat pre-hospital yaitu :
 Stabilisasi manual
 Penanganan imobilitas vertebra dengan kolar leher dan vertebra brace.
II. Manajemen Di Unit Gawat Darurat
Tindakan darurat mengacu pada:
1. A (Airway)
Manjaga jalan nafas tetap lapang

2. B (Breathing)
Mengatasi gangguan pernafasan, kalau perlu lakukan intubasi endotrakeal (pada
cedera medula spinalis, cervikalis atas) dan pemasangan alat bantu nafas.

3. C (Circulation)
Memperhatikan tanda-tanda hipotensi, harus dibedakan antara:
a) Syok hipovolemik. Tindakan : berikan cairanj kristaloid, kalo perlu dengan
koloid.
b) Syok neurogenik. Pemberian cairan tidak akan menaikkan tensi (awasi edema
paru) maka harus diberikan obat vasopressor :
 Dopamin untuk menjaga MAP > 70
 Bila perlu adrenalin 0,2 mg s.k
 Boleh diulangi 1 jam kemudian
4. Selanjutnya :
 Pasang foley kateter untuk moniter hasil urin dan cegah retensi urin.
 Pasang pipa naso gastrik dengan tujuan untuk dekompresi lambung pada
distensi dan kepentingan nutrisi enteral.
5. Pemeriksaan umum dan neurologis khusus.
Jika terdapat fraktur atau dislokasi kolumna vertebralis :
 Servikal : pasang kerah fiksasi leher, jangan dimanipulasi dan di samping
kanan kiri leher ditaruh bantal pasir.
 Torakal : lakukan fiksasi (brace)
 Lumbal : fiksasi dengan korset lumbal

11
6. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium :
 Darah perifer lengkap
 Urin lengkap
 Gula darah sewaktu
 Ureum dan kreatinin
 AGDA
b. Radiologi :
 Foto vertebra posisi AP/L dengan sesuai letak lesi.
 CT-Scan/MRI jika dengan foto konvensional masih meragukan.
c. Pemeriksaan lain
EKG bila terdapat aritmia jantung

7. Pemberian kortikosteroid :
 Bila diagnosis ditegakkan < 3 jam pasca trauma berikan : methylprednisolon
30 mg/kgBB i.v bolus selama 15 menit, ditunggu selama 45 menit (tidak
diberikan methylprednisolon dalam kurun waktu ini), selanjutnya diberikan
infus teus-menerus methylprednisolon selama 23 jam dengan dosis 5,4
mg/KgBB/jam.
 Bila 3-8 jam, sama seperti yang diatas hanya infus methylprednisolon
dilanjutkan untuk 47 jam.
 Bila > 8 jam tidak dianjurkan pemberian methylprednisolon.

III. Manajemen Di Ruang Rawat


1. Perawatan umum
 Lanjutkan A,B,C sesuai keperluan
 Usahakan suhu badan tetap normal
 Jika ada gangguan miksi pasang kateter
2. Pemeriksaan neurofisiologi klinik
3. Medikamentosa
 Lanjutkan pemberian methylprednisolon
 Anti spastisitas otot sesuai keadaan klinis
 Analgetik
 Mencegah dekubitus

12
 Mencegah trombosis vena dalam dengan stoking kaki khusus atau fisioterapi.
 Mencegah proses sekunder dengan pemberian vitamin C, dan vitamin E.
 Stimulasi sel saraf dengan pemberian GM1-ganglioside dimulai kurun waktu
72 jam sejak onset sampai dengan 18-32 hari.
 Terapi obat lain sesuai indikasi seperti antibiotik bila ada infeksi.
 Memperbaiki sel saraf yang rusak dengan stem sel.

4. Operasi
1. Waktu operasi
Tindakan operatif awal (< 24 jam) lebih bermakna menurunkan perburukan
neurologis, dan komplikasi.
2. Indikasi operatif
 Ada fraktur, pecahan tulang menekan medula spinalis
 Gambaran neurologis progresif memburuk
 Fraktur, dislokasi yang labil
 Terjadi herniasi diskus intervertebralis yang menekan medula spinalis
Konsultasi ke bagian bedah saraf berdasarkan indikasi.
IV. Neurorehabilitasi
Tujuan :
1. Memberikan penerangan dan pendidikan pada pasien dan keluarga mengenai
medula spinalis.
2. Memaksimalkan kemampuan mobilisasi dan self care atau latih langsung.
3. Mencegah komorbiditi (kontraktur, dekubitus, infeksi paru dll)
Tindakan :
1. Fisioterapi
2. Terapi okupasi
3. Latihan miksi dan defekasi rutin
4. Terapi psikologis

13
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

Pengkajian :
1. Aktivitas dan istirahat
Tanda :
– Kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok spinal) pada bawah lesi.
– Kelemahan umum atau kelemahan otot (trauma dan adanya kompresi saraf).
2. Sirkulasi
Gejala : berdebar-debar , pusing saat melakukan perubahan posisi.
Tanda :
– Hipotensi , hipotensi postural , ektremitas dingin dan pucat.
– Hilangnya keringat pada daerah yang terkena.
3. Eliminasi
Tanda :
– Inkontinensia defekasi dan berkemih .
– Retensi urine.
– Distensi berhubungan dengan omen , peristaltic usus hilang.
– Melena , emesis berwarna seperti kopi, tanah (hematemesis).
4. Integritas ego
Gejala : menyangkal , tidak percaya , sedih , marah.
Tanda : takut , cemas , gelisah , menarik diri.
5. Makanan dan cairan
Tanda :
– Mengalami distensi yang berhubungan dengan omentum.
– Peristaltic usus hilang ( ileus paralitik )
6. Hygiene
Tanda : sangat ketergantungan dalam melakukan aktivitas sehari-hari (bervariasi).
7. Neurosensorik
Gejala :
– Kebas , kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki.
– Paralisis flaksid atau spastisitas dapat terjadi saat syok spinal teratasi bergantung
pada area spinal yang sakit.

14
Tanda :
– Kelumpuhan , kesemutan (kejang dapat berkembang saat terjadi perubahan pada
syok spinal ).
– Kehilangan tonus otot atau vasomotor.
– Kehilangan atau asimetris termasuk tendon dalam.
– Perubahan reaksi pupil , ptosis , hilangnya keringat dari berbagai tubuh yang
terkena karena pengaruh spinal.
8. Nyeri /kenyamanan
Gejala :
– Nyeri atau nyeri tekan otot.
– Hiperestesia tepat di daerah trauma.
Tanda :
– Mengalami deformitas.
– Postur dan nyeri tekan vertebral.
9. Pernapasan
Gejala : napas pendek , kekurangan oksigen , sulit bernapas.
Tanda : pernapasan dangkal atau labored , periode apnea , penurunan bunyi napas,
ronkhi , pucat, sianosis.

DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola nafas b.d kerusakan tulang punggung ,disfungsi neurovascular,
kerusakan system muskuloskletal , ditandai dengan :
DS : pasien mengatakan sulit bernapas , sesak napas.
DO : penurunan tekanan alat inspirasi dan respirasi , penurunan menit ventilasi,
pemakaian otot pernapasan, pernapasan cuping hidung, dispnea, orthopnea,
pernapasan lewat mulut, frekuensi dan kedalaman pernapasan abnormal, penurunan
kapasitas vital paru.
2. Resiko penurunan curah jantung b.d kerusakan jaringan otak , ditandai dengan :
DS : Pasien / keluarga mengatakan pasien mengalami kebingungan .
DO : Penurunan tingkat kesadaran (bingung ,letargi, stupor, koma), perubahan tanda
vital, mungkin terdapat perdarahan pada otak , papiledema, nyeri kepala yang hebat.
3. Gangguan atau kerusakan mobilitas fisik b.d gangguan neurovascular , ditandai
dengan :
DS : Pasien / keluarga mengatakan adanya kesulitan bergerak.

15
DO : Kelemahan , Parestesia, Paralisis, Tidak mampu , Kerusakan koordinasi ,
Keterbatasan rentang otak , Penurunan kekuatan otot.
4. Kurang perawatan diri (mandi,gigi, berpakaian) yang berhubungan dengan:
DS : Klien bedres
DO : Perubahan tanda vital, Penurunn tingkat kesadaran,gangguan anggota gerak.

16
No Diagnose keperawatan Tujuan Intervensi

1. Kaji skala nyeri (P,Q,R,S,T)

1. Istirahatkan leher pada posisi fisiologis.

1. Ajarkan teknik relaksasi napas dalam pad

1. Batasi jumlah pengunjung dan ciptakan lin


Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama 1×24 jam
diharapkan nyeri
berkurang 2 skala dari
skala sebelumnya ,
dengan criteria hasil:

– Secara subjektif
pasien mengatakan
nyeri berkurang. 1. Kolaborasi dengan tim medis untuk pemb
2. Sebagai indicator untuk menentukan tinda
– Pasien tidak 3. Posisi fisiologi akan menurunkan kompres
gelisah. 4. Meningkatkan asuan O2 sehingga menur
5. Pembatasan jumlah pengunjung akan me
1 Nyeri b.d kompresi akar saraf servikalis stimulud nyeri
6. Untuk proses penyembuhan pasien dan m

Setelah dilakukan 1. Observasi tanda vital tiap jam atau sesuai resp
intervensi selama 1×24
Ketidakefektifan pola nafas b.d kerusakan jam, dengan kriteria:
tulang punggung ,disfungsi neurovascular,
kerusakan system muskuloskletal 2. Istirahatkan klien dalam posisi semiflowler.

1.Klien akan merasa


nyaman.
2
2.Klien mengatakan

17
sesak berkurang dan
dapat membandingkan
dengan keadaan 3. Pertahankan oksigenasi NRM 8-10/mnt.
sesak pada saat
serangan yang
berbeda waktu.

3.TD dalam batas


normal:

Bayi:90/60 mmHg

3-6th:110/70 mmHg
7-10th:120/80 mmHg
11-17th:130/80 mmHg
18-44th:140/90
mmHg
45-64th:150/95 mmHg
>65th:160/95mmHg

(Campbell,1978)

Nadi dalam batas


normal:

Janin:120-160x/mnt

Bayi:80-180x/mnt

Anak:70-140x/mnt

Remaja:50-110x/mnt
4.Kolaborasi pemeriksaan AGD.
Dewasa:70-82x/mnt

(Campbell,1978)

4.AGD dalam batas


normal:

pH:7,35-7,45

C02:20-26 mEq
(bayi),26-28 mEq
(dewasa)

PO2(PaO2):80-110
mmHg

PCO2(PaCO2):35-
45mmHg

SaO2:95-97%

18
1. Ubah posisi klien secara berangsur.

2. Atur posisi klien bedrest.

3. Jaga suasana tenang.

Setelah dilakukan
intervensi
keperawatan, klien
tidak menunjukkan
adanya peningkatan
TIK, dengan kriteria:
4. Kurangi cahaya ruangan.

1.Klien akan
mengatakan tidak sakit
kepala dan merasa
nyaman.

2.Mencegah cedera 5. Tinggikan kepala.

3. GCS dalam batas


normal (E4, V5,M6).

4. Peningkatan
pengetahuan pupil
membaik.
6. Hindari rangsangan oral.
5.Tanda vital dalam
batas normal.

Resiko penurunan curah jantung b.d


3 kerusakan jaringan otak. 7. Angkat kepala dengan hati-hati.

19
8. Awasi kecepatan tetesan cairan infus.

9. Berikan makanan menggunakan sonde sesua

10. Pasang pagar tempat tidur.

11. Pantau tanda dan gejala peningkatan TIK de

*Kaji respons membuka mata

4=spontan

3=dengan perintah

2=dengan nyeri

1=tidak berespon

*Kaji respons verbal

5=bicara normal (orientasi orang,waktu,tempat, d

4=kalimat tidak mengandung arti

3=hanya kata-kata saja

2=hanya bersuara saja

1=tidak ada suara

*Kaji respons motorik

6=dapat melakukan semua perintah rangsang ny

20
5=melokalisasi nyeri

4=menghindari nyeri

3=fleksi

2=ekstensi

1=tidak berespons

12. Periksa pupil dengan senter.

13. Kaji perubahan tanda vital.

14. Catat muntah, sakit kepala (konstan,letargi),

15. Konsul dengan dokter untuk pemberian pelun

1. Kaji fungsi motorik dan sensorik dengan,meng


normal,respons terhadap rangsang.

Setelah dilakukan
intervensi
keperawatan,klien
akan memiliki mobilitas
fisik yang maksimal, 2. Ubah posisi klien setiap 2 jam.
dengan criteria:

1.Tidak ada kontraktur


otot.

2. Tidak ada ankilosis


pada sendi.

3.Tidak terjadi
penyusutan otot 3. Lakukan latihan secara teratur dan letakkan te
Gangguan atau kerusakan mobilitas fisik tidur.
yang berhubungan dengan gangguan 4. Efektif pemakaian
4 neurovascular alat

21
4. Topang kaki saat mengubah posisi dengan me

5. Pada saat klien ditempat tidur letakkan bantal


letakkan lengan posisi b.d abduksi sekitar 600.

6. jaga lengan dalam posisi sedikit fleksi. Letakk


atas bahu dan pergelangan tangan di atas siku.

7. letakkan tangan dalam posisi berfungsi denga


Gunakan pegangan berbentuk roll. Lakukan latih

8. lakukan latihan di tempat tidur. Lakukan latiha


kali latihan.

9. lakukan latihan berpindah(ROM)


4 x sehari setelah 24 jam serangan stroke jika s

10. bantu klien duduk atau turun dari tempat tidu

11. gunakan kursi roda bagi klien hemiplegia.

22
1. Lakukan oral higine

2. Bantu klien mandi

Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama 1×24 jam ,
diharapkan
pemenuhan
kebersihan diri mandi
,gigi,dan mulut
,berpakaian , menyisir
,rambut terpenuhi .
dengan keriteria hasil:

– Napas tidak berbau

Kurang perawatan diri (mandi,gigi, – Pasien tampak


5 berpakaian) yang b.d bersih dan rapi 3. Bantu klien berpakain.

23
4. bantu klien menyisir rambut.

5. bantu klien mengganti alas tempat tidur.

6. ganti alas tempat tidur.

Gangguan komunikasi verbal yang b.d Setelah dilakukan


6 gangguan sirkulasi serebral tindakan keperawatan 1. lakukan terapi bicara
,pasien akan dapat

24
berkomunikasi secara
efektif , dengan criteria
hasil:

– Pasien memahami
dan membutuhkan
komunikasi

– Pasien menunjukan 2. Kaloborasi dengan ahli terapi bicara.


memahami komunikasi
dengan orang lain

3. gunakan petunjuk terapi bicara bicara (jika klie


seperti ‘minum jus’;jangan tutup’). Klien akan me

 jika klien tidak dapat mengenal objek den


objek dan sebutkan namanya (misalnya ta
 Jika klien sulit mengerti ekspresi verbal, b
pemahaman (‘ya’;’tidak’;’di sini makan pag
 Jika berjalan dengan klien afasia, latihan

Bantu klien afasia berkomunikasi berikan mo


Dengarkan dan amati secara saksama saat berk
kebutuhan klien afasia, untuk memahami perasa

 Jika berkomunikasi dengan klien afasia ya


dengan klien. Langsung ke topik pembica
 Jika kata-kata klien kurang jelas, berikan
 Jika klien menderita afasia, sering lakuka
 Jika klien menderita motorik afasia, bantu

Setelah dilakukan 1. Kaji kebiasaan makan klien.


tindakan keperawatan
selama 1×24 jam
kebutuhan nutrisi
terpenuhi sesuai
kebutuhan tubuh ,
dengan criteria hasil:
1. Catat jumlah yang dimakan.
– Pasien mengatakan
keinginan untuk makan

– Makanan yang
Ketidaseimbangan nutrisi kurang dari disediakan sesuai
kebutuhan tubuh yang b.d ketidakmampuan kebutuhan nutrisi habis
7 menelan sekunder terhadap paralisis 1. Kalaborasi dengan tim gizi dan dokter unt
– Berat badan dalam penyakit lainnya.

25
batas maksimal

Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama 1×24 jam
pasien tidak
menunjukan tanda-
tanda aspirasi. Dengan
criteria hasil:

– Tidak tersedak ketika


makan ,tidak demam
,tidak batuk ketika
makan , tidak ada 1. Kaji tanda aspirasi seperti demam, bunyi
ronkhi dengan oral atau NGT dengan senter pad
mandibula dan angkat ujung lidah dari be
Resiko aspirasi yang b.d kehilangan – Tidak ada perubahan 2. Kaji perubahan warna kulit seperti sianosi
8 kemampuan untuk menelan warna kulit

Setelah dilakukan
tindakan keperawatan 1. Pasang pagar tempat tidur.
selama 3x24jam
pasien tidak akan
mengalami trauma .
dengan criteria hasil :

– Tidak jatuh

9 Risiko cedera atau trauma yang b.d paralisis – Tidak terdapat luka
lecet dan tidak 1. Gunakan cahaya yang cukup.

26
terdapat luka bakar

1. Anjurkan klien berjalan pelan-pelan.

1. Anjurkan istirahat cukup saat berjalan.

1. Kaji adanya tanda trauma pada kulit.

Di tandai dengan:
DS : Pasien / keluarga mengatakan adanya kesulitan berkomunikasi .
DO : Disartria, Afasia ,Kata-kata, tidak di mengerti, tidak mampu memahami bahasa
lisan
5. Ketidaseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan
ketidakmampuan menelan sekunder terhadap paralisis, di tandai dengan:
DS : Pasien / keluarga mengatakan adanya kesulitan menelan makanan .
DO : Klien menunjukkan ketidakadekuatan nutrisi, terjadi penurunan BB 20 % atau
lebih dari berat badan ideal, Konjungtiva anemis, Hb abnormal, sulit membuka mulut,
sulit menelan, lidah sulit di gerakkan.
6. Resiko aspirasi yang berhubungan dengan kehilangan kemampuan untuk menelan, di
tandai dengan:
DS : Klien mengatakan sulit menelan.
DO : Batuk saat menelan , Dispnea, Bingung, Penurunan PaCO2.
7. Risiko cedera atau trauma yang berhubungan dengan paralisis, di tandai dengan:
DS : Klien atau keluarga mengatakan kelumpuhan anggota gerak.
DO : Hemiplegia , Klien dengan bantuan atau alat bantu, Berjalan lamban.

INTERVENSI

DAFTAR PUSTAKA

27
York JE. Approach to The Patient with Acute Nervous System Trauma, Best Practice
of Medicine, September 2000

Schreiber D. Spinal Cord Inuries, eMedicine Journal, April, 2002

Sidharta P, Mardjono M, Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 1981

Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta :
EGC; 1997.

Dzurizal, Danny. 2014. Trauma Medulla Spinalis Fix.,


https://www.scribd.com/document/213345524/Trauma-Medulla-Spinalis-FixAlpert .,
diakses pada 28 januari

28

Anda mungkin juga menyukai