2. Penyebab
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan
oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh
awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan
(cahaya matahari, luka bakar termal).
Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Diduga faktor genetik, infeksi
dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE. Sistem imun tubuh kehilangan
kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri.
Penyimpangan reaksi imunologi ini akan menghasilkan antibodi secara terus
menerus. Antibody ini juga berperan dalam pembentukan kompleks imun sehingga
mencetuskan penyakit inflamasi imun sistemik dengan kerusakkan multiorgan. Dalam
keadaan normal, sistem kekebalan berfungsi mengendalikan pertahanan tubuh dalam
melawan infeksi.
Pada lupus dan penyakit autoimun lainnya, sistem pertahanan tubuh ini berbalik
melawan tubuh, dimana antibodi yang dihasilkan menyerang sel tubuhnya sendiri.
Antibodi ini menyerang sel darah, organ dan jaringan tubuh, sehingga terjadi penyakit
menahun. Mekanisme maupun penyebab dari penyakit autoimun ini belum
sepenuhnya dimengerti tetapi diduga melibatkan faktor lingkungan dan keturunan.
Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu timbulnya lupus: infeksi, antibiotik
(terutama golongan sulfa dan penisilin), sinar ultraviolet, stres yang berlebihan, obat-
obatan tertentu, dan hormon.
Meskipun lupus diketahui merupakan penyakit keturunan, tetapi gen penyebabnya
tidak diketahui. Penemuan terakhir menyebutkan tentang gen dari kromosom 1.
Hanya 10% dari penderita yang memiliki kerabat (orang tua maupun saudara
kandung) yang telah maupun akan menderita lupus. Statistik menunjukkan bahwa
hanya sekitar 5% anak dari penderita lupus yang akan menderita penyakit ini. Lupus
seringkali disebut sebagai penyakit wanita walaupun juga bisa diderita oleh pria.
Lupus bisa menyerang usia berapapun, baik pada pria maupun wanita, meskipun 10-
15 kali lebih sering ditemukan pada wanita. Faktor hormonal mungkin bisa
menjelaskan mengapa lupus lebih sering menyerang wanita. Meningkatnya gejala
penyakit ini pada masa sebelum menstruasi dan/atau selama kehamilan mendukung
keyakinan bahwa hormon (terutama estrogen) mungkin berperan dalam timbulnya
penyakit ini.
Faktor predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini.
Diantara beberapa faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor
yang paling dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini. Berikut ini beberapa
faktor predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE menurut Musai
(2010):
a. Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga
timbul produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk
menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar.
Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada
kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE
pada individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih
tinggi dibandingkan pada populasi umum.
Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen
yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex)
kelas II khususnya HLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan
dengan timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen
komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan
SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko
menderita SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari
struktur komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.
Diketahui peneliti dari Australian National University (ANU) di Canberra
berhasil mengidentifikasikan untuk pertama kalinya penyebab genetik dari
penyakit lupus. Dengan pendekatan yang digunakan melalui pemeriksaan DNA,
tim peneliti berhasil mengidentifikasi penyebab khusus penyakit lupus yang
diderita pasien yang diteliti. Penyebabnya adalah adanya peningkatan jumlah
molekul tertentu yang disebut interferon-alpha.
b. Faktor Imunologi
Pada lupus enteritis terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem
imun, yaitu:
1) Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting Cell)
akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa
reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur
maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali.
Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan
salah mengenali perintah dari sel T.
2) Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan
teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk
autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit
mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan
autoantibodi menjadi tidak normal.
3) Kelainan antibodi Terdapat beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada
SLE, seperti substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai
antigen dan memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T
mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks
imun lebih mudah mengendap di jaringan.
c. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi
menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang
tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal
dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.
d. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam
tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari:
1) Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya
SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri
Streptococcus dan Clebsiella.
2) Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi
menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat.
Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin
sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui
peredaran pembuluh darah.
3) Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan
terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan
mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada
gangguan sejak awal.
4) Obat-obatan Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu
dapat menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat
yang dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa,
hidralasin, prokainamid, dan isoniazid. (Musai, 2010)
Kriteria Batasan
Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah
malar dan
cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial.
Ruam diskoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan
folikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofik
Fotosensitifitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar
matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh
dokter pemeriksa.
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat
oleh dokter pemeriksa.
Artritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi
perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia.
Serositis: Pleuritis atau Riwayat nyeri pleuritk atau pleuritc friction rub yang
Perikarditis didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi
pleura.
Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction rub
atau terdapat bukti efusi perikardium.
Gangguan renal a. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila
tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif
b. Silinder seluler: dapat berupa silinder eritrosit,
hemoglobin, granular, tubular atau campuran.
Gangguan neurologi a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan metabolic (misalnya uremia, ketoasidosis, atau
ketidakseimbangan elektrolit).
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan metabolic (misalnya uremia, ketoasidosis, atau
ketidak-seimbangan elektrolit).
Gangguan hematologik a. Anemia hemolitik dengan retikulosis
b. Lekopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau
lebih
c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau
lebih
d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh
obat-obatan
Gangguan imunologik a. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer
yang abnormal
b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear
Sm
c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang
didasarkan atas:
1. kadar serum antibodiantikardiolipin abnormal baik
IgG atau IgM,
2. Tes lupus antikoagulan positif menggunakan metoda
standard, atau
3. hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis
sekurang-kurangnya selama 6 bulan dan di-
konfirmasi dengan test imobilisasi Treponema
pallidum atau tes fluoresensi absorpsi antibodi
treponema.
Antibodi antinuclear positif Titer abnormal dari antibodi antinuklear berdasarkan
(ANA test) pemeriksaan imuno- fluoresensi atau pemeriksaan setingkat
pada setiap kurun waktu perjalan penyakit tanpa keterlibatan
obat yang diketahui berhubungan dengan sindroma lupus
yang diinduksi obat.
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitifitas 85%
dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif,
maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila
hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif
dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka
panjang diperlukan.
4. Patofisiologi
PREDISPOSISI GENETIK Tenaga Pendorong Abnormal Terhadap Sel T
fiksasi komplemen pada organ aktivasi komplemen substansi penyebab timbulnya reaksi radang
Plak eritematosa Risiko
Timbul berbagai Hipertermi Infeksi
Kerusakan Integritas Kulit
manisfestasi klinis
Keletihan Produkdi ATP Kekacauan sel
menurun
Nyeri sendi berkepanjangan Nyeri Akut
Penurunan berat
Ketidakseimbangn
badan Nutrisi: Kurang dari
Adanya satu atauKebutuhan Tubuh
beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai predisposisi
genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel TCD 4+, mengakibatkan
hilangnya toleransi sel T terhadap self-antigen. Sebagai akibatnyamuncullah sel T autoreaktif yang akan
menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yangmemproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel
memori. Ujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya ialah
hormon seks, sinar ultraviolet danberbagai macam infeksi. Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan
terhadap antigen yang terutamaterletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan
non histon. Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein danatau
kompleks protein RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khasautoantigen ini ialah bahwa
mereka tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integralsemua jenis sel.Antibodi ini secara bersama-
sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Denganantigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks
imun yang beredar dalam sirkulasi. Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada SLE terganggu.
Dapat berupagangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemprosesan kompleks imundalam
hati, dan penurun uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan inimemungkinkan terbentuknya
deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai
maca organ dengan akibat terjadinyafiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi
komplemen yangmenghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah
yangmenyebabkan timbulnya keluhan/ gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan sepertiginjal, sendi,
pleura, pleksus koroideus, kulit dan sebagainya..
5. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Perhimpunan Reumatologi Indonesia dan Perhimpunan Dokter Penyakit
Dalam Indonesia (2011), selain terpenuhinya minimal 4 dari 11 kriteria pasien dengan
SLE menurut ACR, berikut pemeriksaan yang harus dilakukan dalam penegakan
diagnosis SLE, diantaranya adalah:
a. Pemeriksaan Imunologi
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis SLE adalah
tes ANA generic (ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA dikerjakan/diperiksa
hanya pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah pada SLE. Pada penderita
SLE ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasil tes ANA
dapat positif pada beberapa penyakit lain yang mempunyai gambaran klinis
menyerupai SLE misalnya 8 infeksi kronis (tuberkulosis), penyakit autoimun
(misalnya Mixed connective tissue disease (MCTD), artritis rematoid, tiroiditis
autoimun), keganasan atau pada orang normal.
Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan,
tetapi perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk SLE seringkali dinamis dan
berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu yang akan datang
terutama jika didapatkan gambaran klinis yang mencurigakan. Bila tes ANA
dengan menggunakan sel Hep-2 sebagai substrat; negatif, dengan gambaran klinis
tidak sesuai SLE umumnya diagnosis SLE dapat disingkirkan.
Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes
antibody terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-dsDNA, Sm, nRNP,
Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal sebagai profil
ANA/ENA. Antibodi anti-dsDNA merupakan tes spesifik untuk SLE, jarang
didapatkan pada penyakit lain dan spesifitasnya hampir 100%. Titer anti-dsDNA
yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis SLE dibandingkan dengan titer
yang rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin dapat terjadi pada pasien yang
bukan SLE.
Kesimpulannya, pada kondisi klinik adanya anti-dsDNA positif
menunjang diagnosis SLE sementara bila anti ds-DNA negatif tidak
menyingkirkan adanya SLE. Meskipun anti-Sm didapatkan pada 15%-30% pasien
SLE, tes ini jarang dijumpai pada penyakit lain atau orang normal. Tes anti-Sm
relatif spesi ik untuk SLE, dan dapat digunakan untuk diagnosis SLE. Titer anti-
Sm yang tinggi lebih spesifik untuk SLE. Seperti anti-dsDNA, anti-Sm yang
negatif tidak menyingkirkan diagnosis. Rekomendasi:
1) Test ANA merupakan test yang sensitif, namun tidak spesifik untuk SLE
2) Test ANA dikerjakan hanya jika terdapat kecurigaan terhadap SLE
3) Test Anti dsDNA positif menunjang diagnosis SLE, namun jika negatif
tidak menyingkirkan diagnosis SLE
Tabel 2. Jenis autoantibodi pada SLE dan makna klinisnya (Buyon, 2008)
Antibodi Frekuensi Makna klinis
Anti Nuclear Antibody 90% Tidak spesifik untuk manifestasi klinis tertentu;
hanya digunakan untuk tujuan diagnosis
Anti-dsDNA 40-60% Terkait manifestasi klinis nefritis; dapat
memprediksi flare atau peningkatan aktivitas
penyakit.
Anti-RNP 30%-40% Terkait manifestasi klinis Raynaud’s,
musculoskeletal; tidak dapat menilai aktivitas
penyakit.
Anti Ribosomal-P 10%-20% Terkait manifestasi klinis gangguan SSP difus,
psikosis, depresi mayor; tidak dapat menilai
aktivitas penyakit.
Anti-SSA/ Ro 30%–45% Terkait manifestasi klinis kekeringan
konjungtiva dan mukosa mulut, SCLE, lupus
neonatal, fotosensitivitas; tidak dapat menilai
aktivitas penyakit.
Anti-SSB/ La 10%-15% Terkait manifestasi klinis kekeringan
konjungtiva dan mukosa mulut, SCLE, lupus
neonatal, fotosensitivitas; tidak dapat menilai
aktivitas penyakit.
Antiphospholipid 30% Terkait manifestasi klinis gangguan pembekuan
darah; tidak dapat menilai aktivitas penyakit.
6. Penatalaksanaan Medis
Baik untuk SLE ringan atau sedang dan berat, diperlukan gabungan strategi
pengobatan atau disebut pilar pengobatan. Pilar pengobatan SLE ini seyogyanya
dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan pengobatan tercapai.
Perlu dilakukan upaya pemantauan penyakit mulai dari dokter umum di perifer
sampai ke tingkat dokter konsultan, terutama ahli reumatologi.
a. Edukasi / Konseling
Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan
dukungan dari sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu
dijelaskan akan perjalanan penyakit dan kompleksitasnya. Pasien memerlukan
pengetahuan akan masalah aktivitas fisik, mengurangi atau mencegah
kekambuhan antara lain melindungi kulit dari paparan sinar matahari (ultra violet)
dengan memakai tabir surya, payung atau topi; melakukan latihan secara teratur.
Pasien harus memperhatikan bila mengalami infeksi. Perlu pengaturan diet agar
tidak kelebihan berat badan, osteoporosis atau terjadi dislipidemia. Diperlukan
informasi akan pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan
aktivitas penyakit ataupun akibat pemakaian obat-obatan. Butir-butir edukasi pada
pasien SLE adalah sebagai berikut:
b. Program Rehabilitasi
Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien dengan
SLE tergantung maksud dan tujuan dari program ini. Salah satu hal penting
adalah pemahaman akan turunnya masa otot hingga 30% apabila pasien dengan
SLE dibiarkan dalam kondisi immobilitas selama lebih dari 2 minggu.
Disamping itu penurunan kekuatan otot akan terjadi sekitar 1-5% per hari dalam
kondisi imobilitas. Berbagai latihan diperlukan untuk mempertahankan
kestabilan sendi. Modalitas fisik seperti pemberian panas atau dingin diperlukan
untuk mengurangi rasa nyeri, menghilangkan kekakuan atau spasme otot.
Demikian pula modalitas lainnya seperti transcutaneous electrical nerve
stimulation (TENS) memberikan manfaat yang cukup besar pada pasien dengan
nyeri atau kekakuan otot.
Secara garis besar, maka tujuan, indikasi dan tekhnis pelaksanaan
program rehabilitasi yang melibatkan beberapa maksud di bawah ini, yaitu:
1) Istirahat
2) Terapi fisik
3) Terapi dengan modalitas
4) Ortotik
c. Terapi Medikamentosa
Berikut ini adalah jenis, dosis obat yang dipakai pada SLE serta pemantauannya,
selanjutnya dapat dilihat pada tabel (Perhimpunan Reumatlogi Indonesia dan
Perhimpunan Dokter Penyakit Dalam Indonesia, 2011):
Tabel 3. Jenis dan Dosis Obat yang Dapat Dipakai pada SLE
Pemantauan
Jenis Jenis Evaluasi
Dosis Labo-
obat Toksisitas Awal Klinis
ratorik
Perdarahan
saluan cerna, Darah
hepatotoksi, Darah rutin, rutin,
Gejala
Tergantung sakit kepala, kreatinin, kreatinin,
OAINS gastrointestin
OAINS hipertensi, urin rutin, AST/ALT
al
Aseptic AST/ALT setiap 6
meningitis, bulan
nefrotoksik.
Cushingoid,
hipertensi,
Gula darah,
dislipidemi,
Tergantung Profil lipid,
Kortiko- osteonekros,
derajat DXA, Tekanan darah Glukosa
steroid hiperglisemi,
SLE tekanan
katarak,
darah
oesteo-
porosis
Retinopati,
keluhan GIT,
rash,
mialgia, Funduskopi
Evaluasi
250 mg/hari sakit dan
mata,
(3,5-4 kepala, lapangan
Klorokuin G6PD pada
mg/kg anemi pandang
pasien
BB/hr) hemolitik mata setiap 3-6
berisiko
pada pasien bulan
dengan
defisiensi
G6PD
Azatioprin 50-150 mg Mielo- Darah tepi Gejala Darah tepi
per hari, supresif, lengkap, mielosupresif lengkap
dosis hepatotoksi, kreatinin, tiap 1-2
terbagi 1-3, gangguan AST/ALT minggu
tergantung limfo- dan
selanjutnya
1-3 bulan
interval.
AST ap
berat badan. proliferatif
tahun dan
pap smear
secara
teratur.
Per oral: 50- Mielo- Darah tepi
150 mg per supresif, lengkap
hari. gangguan dan urin
Darah tepi
IV: 500-750 limfo- lengkap
lengkap, Gejala
mg/m2 proliferatif, tiap bulan,
Siklo- hitung jenis mielosupresif,
dalam keganasan, sitologi
fosfamid leukosit, hematuria dan
Dextrose imunosupres, urin dan
urin infertilitas.
250 ml, sistitis pap smear
lengkap.
infus hemoragik, tiap tahun
Selama 1 infertilitas seumur
jam. sekunder hidup.
Darah tepi
lengkap
Darah tepi
terutama
lengkap,
hitung
7.5 – 20 mg foto
Mielo- trombosit
/ minggu, toraks,
supresif, Gejala tiap
dosis serologi
fibrosis mielosupresif, 4-8
tunggal hepatitis B
hepatik, sesak nafas, minggu,
Meto- atau terbagi dan
sirosis, mual AST /
treksat 3. Dapat C pada
infiltrat dan muntah, ALT dan
diberikan pasien
pulmonal ulkus albumin
pula Risiko
dan mulut. tiap 4-8
melalui tinggi,
fibrosis. minggu,
injeksi. AST, fungsi
urin
hati,
lengkap
kreatinin.
dan
kreatinin.
Pem-
bengkakan,
nyeri gusi,
2.5–5 mg/kg
peningkatan Gejala
BB, atau
tekanan hipersensitifi
sekitar 100 Darah tepi
darah, tas terhadap
– 400 mg lengkap, Kreatinin,
peningkatan castor oil (bila
Siklo- per kreatinin, LFT,
pertumbuhan obat diberikan
sporin A hari dalam urin Darah tepi
rambut, injeksi),
2 dosis, lengkap, lengkap.
gangguan tekanan darah,
tergantung LFT.
fungsi fungsi hati dan
berat
ginjal, nafsu ginjal.
badan.
makan
menurun,
tremor.
Darah tepi
1000 – Darah tepi Gejala lengkap
Miko-
2.000 Mual, diare, lengkap, gastrointestinal terutama
fenolat
mg dalam 2 leukopenia. fese seperti mual, leukosit
mofetil
dosis. lengkap. muntah. dan hitung
jenisnya.
B. Nursing Care Plan
Berdasarkan NANDA (2015-2017), NOC (2016), NIC (2016), NCP yang dapat disusun sebagai kemungkinan pada pasien
dengan SLE, adalah sebagi berikut:
Bulechek, G.M. Butcher, H.K. Dochterman, J.M. Wagner, C.M. 2016. Nursing Interventions Classification (NIC). Singapore :
Elsevier Global Rights.
Herdman, T.H. 2015-2017. NANDA Internasional Inc. Diagnosis Keperawatan: definisi & klasifikasi 2015-2017. Jakarta :
EGC
Lahita RG, Tsokos G, Buyon JP, and Koike T. Systemic Lupus Erythematosus. 4th edition. London: Academic Press; 2004.
Moorhead, S. Johnson, M. Maas, M.L. Swanson, E. 2016. Nursing Outcomes Classification (NOC). Singapore: Elsevier
Global Rights.
Price, S.A. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Vol. 2 Edisi 6. Jakarta: EGC
Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Perhimpunan
Reumatologi Indonesia: Jakarta
Tjokronegoro, A. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. Jakarta: Balai Penerbit FKUI