Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN TEORI
A. Anatomi Fisiologi
1. Anatomi & Fisiologi
Medulla spinalis merupakan bagian dari susunan saraf pusat
terletak di dalam canalis vertebralis dan merupakan lanjutan dari
medulla oblongata dan ujung caudalnya membentuk conus medullaris.
Panjangnya pada pria sekitar 45 cm dan wanita 42-43cm. Segmen
upper cervical & thoracal berbentuk silindris dan segmen lower
cervical & lumbal berbentuk oval. Berawal dari dasar otak, berakhir
setinggi L1-L2 (conus medullaris), kebawah melanjutkan diri sebagai
fillum terminale. Dibawah conus medullaris terbentuk anyaman akar
saraf (saraf tepi) menyerupai ekor kuda (cauda equina). Setiap
pasangan saraf vertebra dan ligamen dan juga oleh meningen spinal
dan CSF. Saraf spinal berjumlah 31 pasang yaitu 8 pasang saraf
servikal, 12 pasang saraf thorakal, 5 pasang saraf lumbal, 5 pasang
saraf sakral, dan 1 pasang saraf koksigeal.

B. Definisi
Cedera Medulla spinalis merupakan satu kumpulan saraf-saraf yang
terhubung ke susunan saraf pusat yang berjalan sepanjang kanalis yang
dibentuk oleh tulang vertebra. Apabila cedera itu mengenai daerah L1-2

4
5

atau dibawahnya maka dapat mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan


sensorik serta kehilangan fungsi defekasi dan berkemih.
Cedera medulla spinalis adalah yang mengenai servikalis, vertebralis,
dan lumbalis akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang belakang.
Trauma tulang belakang dapat mengenai jaringa lunak pada tulang
belakang yaitu ligamen dan diskus, tulang belakang dn sumsum tulang
belakang (medulla spinalis).
Medulla spinalis merupakan massa jaringan saraf berbentuk silinder
yanag terselubung di dalam tulang kolumna vertebra, struktur ini
membentang dari medulla oblongata hingga vertebra lumbalis pertama dan
kedua. Medulla spinalis juga memperantai aktivitas refleks tendon dalam
(atau refleks saraf spinal).
C. Klasifikasi
Cedera medulla spinalis dapat diklasifikasikan berdasarkan
mekanisme cedera, jenis cedera, level cedera, atau penyebab cedera.
Cedera medulla spinalis terjadi karena cedera penetrasi atau benturan
mekanis. Cedera penetrasi yang sering kali disebabkan oleh luka tembak
atau luka tusuk merusak medulla spinalis dan menyebabkan hilangnya
fungsi neurologi.
1. Mekanisme cedera
Benturan mekanis yang dapat menyebabkan cedera medulla spinalis
meliputi hiperfleksi, hiperekstensi, pembebanan aksial (kompresi), dan
benturan rotasi.
a. Hiperfleksi disebabkan oleh deselerasi mendadak kepala dan leher.
Cedera hiperfleksi biasanya tampak pada pasien yang mengalami
trauma terus-menerus akibat tabrakan pada bagian depan
kendaraan bermotor atau kecelakaan saat menyelam. Area servikal
paling sering terkena terutama pada tingkat C5-C6
b. Hiperekstensi adalah jenis cedera yang paling umum. Cedera
hiperekstensi dapat disebabkan oleh jatuh, tabrakan di bagian
belakang kendaraan bermotor atau dipukul pada bagian kepala.
6

Hiperekstensi kepala dan leher dapat menyebabkan kontusio dan


iskemia medulla spinalis tanpa kerusakan kolumna vertebra.
Cedera salah urat pada leher adalah akibat hiperekstensi.
c. Pembebanan aksial (kompresi) disebut juga kompresi khusunya
terjadi jika individu mendarat ke tanah dnegan kaki atau bokong
setelah jatuh atau melompat dari ketinggian. Kolumna vertebra
mengalami kompresi, menyebabkan fraktur yang mengakibatkan
kerusakan pada medulla spinalis.
d. Cedera rotasional terjadi akibat kekuatan yang menyebabkan
kepala dan leher mengalami terpelintir atau fleksi lateral yang
ekstrem. Fraktur atau dislokasi vertebra juga dapat terjadi.
2. Jenis cedera
Kekuatan mekanis dapat menyebabkan fraktur atau dislokasi vertebra
atau keduannya. Jika terjadi cedera vertebra, jenis cedera vertebra
dapat digunakan untuk menggambarkan cedera medulla spinalis yang
dialami individu. Fratur dapat dianggap tidak stabil jika ligamen
posterior robek.
3. Level cedera
Cedera medulla spinalis juga dapat digolongkan berdasarkan
segmen medulla spinalis yang mengalami gangguan :
a. Cedera servikal atas (C1-C2) fraktur atlas, subluksasi atlantoaksial,
fraktur adontoid, dan fraktur hangman.
b. Cedera servikal bawah (C3-C8)
c. Cedera toraks (T1-T2)
d. Cedera lumbal (L1-L5)
e. Cedera sakral (S1-S5)
Derajat penyembuhan fungsional bergantung pada lokasi dan
luasnya cedera. Level cedera medulla spinalis ditentukan oleh efek
cedera pada fungsi sensorik dan motorik atau sensorik. Retensi pada
semua atau beberapa fungsi motorik atau sensorik di bawah level
cedera menunjukkan bahwa lesi tidak komplet. Kehilangan total
7

kontrol otot volunter dan sensasi. Lesi komplet yang melibatkan area
medulla spinalis C1 sampai T1 menyebabkan tetraplegia. Lesi
komplet yang mengenai area medulla spinalis T2 sampai L1
menyebabkan paraplegia.
American Spinal Injury Association (ASIA) bekerjasama dengan
International Medical Society Of Paraplegia (IMSOP)telah
mengembangkan dan mempublikasikan standart international untuk
klasifikasi fungsional dan neurologis cedera medulla spinalis.
Klasrifikasi ini berdasarkan pada Frankel (1969) :

Skala kerusakan menurut ASIA/IMSOP


Grade A Komplit Tidak ada fungsi motorik atau sensorik yang
dinervasi oleh segmen sakral 4-5
Grade B Komplit Fungsi sensorik tetapi bukan motorik di bawah
tingkat lesi dan menjalar sampai segemen sakral
(S4-5)
Grade C Komplit Gangguan fungsi motorik di bawah tingkat lesi dan
mayoritas otot-otot penting dibawah tingkat lesi
memiliki nilai kurang dari 3

Grade D Inkomplit Gangguan fungsi motorik dibawah tingkat lesi dan


mayoritas otot-oto penting memiliki nilai lebih dari
3
Grade E Normal Fungsi motorik dan sensorik normal.

4. Penyebab cedera
Cedera medulla spinalis juga dapat digolongkan menurut
penyebab cedera. Penyebab cedera medulla spinalis meliputi cedera
gegar otak atau jarring (cedera akibat goncangan) .
D. Etiologi
Penyebab dari medulla spinalis yaitu:
1. Kecelakaan lalu lintas dan industri
2. Terjatuh, olahraga dan menyelam
3. Luka tusuk, dan tembakan
8

4. Tumor
E. Patofisiologi
Kerusakan Medulla Spinalis berkisar dari komosio sementara (dimana
pasien sembuh sempurna) sampai kontusio, leserasi, dan kompresi
substansi medulla (baik salah satu atau dalam kombinasi) sampai transeksi
lengkap medulla (yang membuat pasien paralisis di bawah tingkat cedera).
Bila hemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis, darah dapat merembes
ke ekstradural, subdural atau daerah subarkhnoid pada kanal spinal. Segera
setelah terjadi kontusion atau robekan akibat cedera, serabut-serabut syaraf
mulai membengkak dan hancur. Sirkulasi darah ke substansia grisea
medulla spinalis menjadi terganggu. Tidak hanya hal ini saja yang terjadi
pada cedera pembuluh darah medulla spinalis, tetapi proses patogenik
dianggap menyebabkan kerusakan yang terjadi pada cedera medulla
spinalis akut. Suatu randai sekunder kejadian-kejadian yang menimbulkan
iskemia, hipoksia, edema dan lesi-lesi hemoragi yang pada gilirannya
mengakibatkan kerusakan mielin dan akson.
Reaksi sekunder ini diyakini menjadi penyebab prinsip degenerasi
medulla spinalis pada tingkat cedera, sekarang dianggap reversibel 4
smapai 6 jam setelah cedera. Untuk itu jika kerusakan medulla tidak dapat
diperbaiki maka beberapa metode mengawali pengobatan dengan
menggunakan kortikostreroid dan obat-obat antiinflamasi lainnya yang
dibutuhkan untuk mencegah kerusakan sebagian dari perkembangannya
masuk kedalam kerusakan total dan menetap.
1. Cedera primer
Cedera medulla spinalis yang terjadi akibat benturan disebut cedera
primer. Kerusakan medulla spinalis paling sering terkait dengan
kerusakan kolumna verebra. Vertebra dapat mengalami fraktur,
dislokasi, atau kompresi, area kolumna vertebra yang paling sering
cedera. Akibat cedera kolumna vertebra, medulla spinalis dapat
mengalami kontusio, kompresi atau dislokasi.
2. Cedera sekunder
9

Gangguan yang sama merusaknya adalah cedera atau kerusakan pada


medulla spinalis yang berlangsung terus selama berjam-jam setelah
trauma. Cedera sekunder menyebabkan kerusakan aksonal tambahan
dan defisit neurologis lebih lanjut. Mekanisme cedera sekunder
meliputi :
a. Sel imun, yang normalnya tidak masuk ke medulla spinalis
melingkupi area tersebut setelah cedera medulla spinalis. Sel imun
tersebut berespons normal seperti respons terhadap inflamasi pada
bagian tubuh tertentu. Akan tetapi, beberapa sel imun melepaskan
zat kimia regulatori beberapa diantaranya berbahaya untuk medulla
spinalis. Agens pengoksidasi yang sangat reaktif (radikal bebas)
dihasilkan yang merusak membran sel dan menganggu pompa
natrium-kalium.
b. Hipoperfusi medula spinalis akibat perdarahan mikroskopik dan
edema menyebabkan iskemia. Area iskemik terjadi pada sisi cedera
dan satu atau dua segmen diatas serta dibawah lokasi cedera.
c. Perlepasan katekolamin dan substansi vasoaktif (nonepinefrin,
serotonin, dopamin, dan histamin) menyebabkan penurunan
sirkulasi dan perfusi selular medulla spinalis.
10

F. Pathways

Jatuh , kecelakaan

Trauma medulla spinalis

Penekanan pada serabut-


serabu saraf spinal
Trauma pada C5

Nyeri akut
Kerusakan nervus Gangguan fungsi
frenikus pleksus brakhialis

Hilangnya interaksi otot


pernapasan aksesori dan Defisit fungsi Defisit fungsi
nervus medianus nervus radialis
otot interkostal

Komplians paru Fungsi otot fleksor Fungsi otot


lengan terganggu eksfleksor lengan
terganggu
Paru sulit mengembang
saat inspirasi

Ketidakefektifan pola Kelemahan otot


tangan/ekstremintas
nafas
atas

Hambatan mobilitas
fisik
Tirah baring

Keterbatasan dalam
Penekanan pada melakukan aktifitas
daerah yang sama sehari-hari
dalam waktu lama

Defisit perawatan diri


Resiko kerusakan kulit
11

G. Manifestasi klinis
Jika pasien keadaan sadar, pasien biasanya mengeluh nyeri akut pada
belakang leher yang menyebar sepanjang saraf yang terkena. Pasien yang
sering mengatakan takut kalau leher atau punggungnya patah. Cedera saraf
spinal dapat menyebabkan gambaran paraplegia atau quadriplegia. Akibat
dari cedera kepala bergantung pada tingkat cedera pada medulla dan tipe
cedera. Tingkat neurologik yang berhubungan dengan tingkat fungsi
sensori dan motorik bagian bawah yang normal. Tingkat neurologik
bagian bawah mengalami paralisis sensori dan motorik total, kehilangan
kontrol kandung kemih dan usus besar (biasanya terjadi retensi urine dan
distensi kandung kemih, penurunan keringat dan tonus vasomotor dan
penurunan tekanan darah diawali dengan resistensi vaskular perifer.
Tipe cedera mengacu pada luasnya cedera medulla spinalis itu sendiri.
Masalah pernafasan dikaitkan dengan penurunan fungsi pernafasan,
beratnya tergantung pada tingkat cedera. Otot-otot yang berperan dalam
pernapasan adalah abdominal, interkostal (T1-T11) dan diafragma. Pada
cedera medulla servikal tinggi, kegagalan pernapasan akut adalah
penyebab utama kematian.
Cedera medulla spinalis mempunyai gambaran klinik yang berbeda-beda
tergantung letak lesi dan luas lesi dan dapat dibedakan menjadi 4 kelompok
yaitu:

Sindrom Kausa utama Gejala dan tanda klinis


Hemicord (Brown Cedera tembus, Gangguan kontralatersl,
sequad syndrome) kompresi instrinsik parese ipsilateral, gangguan
propioseptif ipsilateral, rasa
raba normal.

Sindroma Spinalis Infark Spinalis Gangguan sensorik


Anterior (Anterior anterior, HNP bilateral, propiosptif
Cord Syndrome) iskemik akut normal, pares UMN
dibawah lesi, parese LMn
setinggi lesi, disfungsi
spincter.
12

Sindroma Spinalis Syringomyelia, Parese LMN pada lengan,


Sentral (Central hypotensive spinal parese tungkai dan
Cord Syndrome) cord ischemic, spastisitas. Nyeri hebat dan
trauma spinal hiperpati, gangguan
(fleksi-ekstensi) sensorik pad alengan,
tumor spinal. disfungsi spincter atau
retensio urin.
Sindroma Spinalis Trauma, infark Gangguan propioseptif
Posterior (Posterior Spinal Posterior bilateral, nyeri dan parestesi
Cord Syndrome) pada leher, punggung dan
bokong parese ringan.

H. Komplikasi
Medulla spinalis memiliki komplikasi sebagai berikut :
1. Disrefleksia Autonomik
Disreflksia audonomik adalah sindrom yang kadang terjadi setelah fase
akut pada pasien dengan lesi medulla spinalis pada T7 atau level di
atasnya. Disrefleksia autonomik merupakan kedaruratan medis.
Sindrom tersebut muncul dengan cepat dan dapat mendorong kejang
dan stroke. Kematian dapat terjadi jika penyebab dapat diatasi.
Disrefleksia autonomik dapat dipicu oleh distensi kandung kemih atau
usus, spastisitas, ulkus dekubitus, atau simulasi kuit dibawah area
cedera.
2. Komplikasi paru
Komplikasi paru adalah penyebab paling sering kematian individu
dengan cedera medulla spinalis baik pada fase akut maupun kronis.
Komplikasi paru ini terutama sering dialami oleh individu dengan
cedera di atas T10. Jika terjadi bersamaan dengan trauma dada atau
penyakit paru yang telah diderita pasien, riwayat merokok, atau lansia
resiko komplikasi paru lebih tinggi
I. Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium
a. Darah perifer lengkap
b. Gula darah sewaktu, ureum, kreatinin
13

2. Radiologi
a. Foto vertebra posisi AP/lateral dengan sentrasi sesuai dengan letak
lesi.
b. CT scan dan MRI jika diperlukan tindakan operasi. MRI
menggambarkan keadaan jaringan dan medulla spinalis dengan
lebih akurat.
c. Myelografi atau CT mielografi dilakukan jika tidak tersedia MRI.
3. Neurofisiologi klinik
a. EMG (Electro Miography).
b. NCN (Nerve Conduction Velocity).
c. SSEP (Somato Sensoric Evoked Potential).
J. Penatalaksanaan
Pada prinsipnya terapi cedera medulla spinalis ditunjukkan untuk :
1. Melindungi medulla spinalis dari kerusakan lebih lanjut
2. Mempertahankan struktur tulang belakang yang memungkinkan
pemulihan maksimal pada lesi inkomplit
3. Mencapai stabilitas vertebra yang memungkinka rehabilitas
Penatalaksanaan cedera medulla spinalis meliputi :
1. Umum
a. Jika ada fraktur atau dislokasi kolumna vertebralis servikalis dan
torakal atas, imobilitas servikal dan torakal saat transfer pasien
segera pasang kerah fiksasi leher (cervical coller).
b. Jika fraktur kolumna vertebralis torakalis bawah, angkut pasien
dalam keadaan tertelungkup untuk menjamin ekstensin ringan
vertebra, lakukan fiksasi torakal (pakai korset).
c. Fraktur daerah lumbal, fiksasi dengan korset lumbal
d. Kerusakan medulla spinalis dapat menyebabkan tonus pembuluh
darah menurun karena paralisis fungsi sistem saraf simpatik,
akibatnya tekanan darah turun, beri infus bila mungkin plasma,
dextran 40 atau ekspafusin. Sebaiknya jangan diberikan cairan
isotonik seperti NaCl 0.9% atau glukosa 5%. Bila perlu berikan
14

adrenalin 0,2 mg s.c, boleh diulang 1 jam kemudian. Bila denyut


nadi <44 kali/menit, beri sulfas atroipin 0,25 mg iv.
e. Gangguan pernafasan kalau perlu beri bantuan dengan respirator
atau cara lain dan jaga jalan nafas tetap longgar/bebas.
f. Jika lesi diatas C8 termoregulasi tidak ada, mungkin terjadi
hiperhidrosis usahakan suhu badan tetap normal
g. Jika ada gangguan miksi, pasang kondom kateter atau dauer
cateter dan jika ada gangguan defekasi berikan laksan atau klisma.
2. Medikamentosa
a. Berikan metilprednisolon: dosis 30 mg/kg BB, iv perlahan-lahan
selama 15 menit. Etilprednisolon mengurangi kerusakan membran
sel yang berkontribusi terhadap kematian neuron, mengurangi
inflamasi dan menekan aktifitas sel-el imun yang mempunyai
kontribusi serupa terhadap kerusakan neuron. Kortikosteroid juga
mencegah peroksidasi lipid dan peningkatan sekunder asam
arakidonat, mencegah peroksidasi lemak pada membran sel
b. Bila terjadi spastisitas otot, berikan:
1) Diazepam 3x5-10 mg/hari
2) Baklofen 3x5 mg hingga 3x 20mg sehari
c. Bila ada rasa nyeri dapat diberikan, antara lain:
1) Analgetika
2) Antidepresan
3) Antianxietas
4) Antikonvulsan
d. Bila terjadi hipertensi (tensi >180/100 mmHg) dapat diberikan obat
antihipertensi.
3. Operatif
Tindakan operatif dilakukan bila:
a. Ada fraktur atau dislokasi vertebra yang labil atau pecahan tulang
yang menekan medulla spinalis.
b. Gangguan neurologis progresif memburuk
15

c. Terjadi herniasi diskus intervertebralis yang menekan medulla


spinalis.
4. Neuro-Rehabilitas
Rehabilitas dini untuk mencegah spasme fleksor bila perlu dengan
penggunaan splint khusus. Rehabilitas medik termasuk terapi fisik,
okupasional dan vokasional.
a. Penerangan dan pendidikan kepada pasien dan keluarga
b. Memaksimalkan kemampuan mobilisasi dan “self-care dan atau
latihan langsung jika diperlukan”

Anda mungkin juga menyukai