Anda di halaman 1dari 22

TEXT BOOK READING

“CEDERA MEDULA SPINALIS”

Pembimbing:
dr. Muttaqien Pramudigdo, Sp. S

Oleh:
Nadila Nur Pratiwi
G1A014111

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
SMF ILMU PENYAKIT SARAF
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO

2018
LEMBAR PENGESAHAN

TEXT BOOK READING


“Cedera Medula Spinalis”

Oleh:
Nadila Nur Pratiwi
G1A014111

Text Book Reading ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu
prasyarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik
Bagian SMF Ilmu Penyakit Saraf
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Purwokerto, November 2018


Mengetahui,
Pembimbing

dr. Muttaqien Pramudigdo, Sp. S


I. PENDAHULUAN

Cedera medula spinalis disebut juga dengan trauma medula spinalis (spinal cord
injury), yaitu trauma langsung atau tidak langsung yang menyebabkan jejas pada
medula spinalis sehingga dapat menimbulkan gangguan fungsi sensorik, motorik, dan
otonom. Cedera medula spinalis memiliki mortalitas yang tinggi pada tahun pertama
pasca cedera.

Penanganan cedera medula spinalis harus dilakukan secara cepat dan tepat untuk
menghindari kerusakan sekunder pasien yang fatal. Kecepatan penanganan medis
rumah sakit, sistem transportasi menuju rumah sakit, dan kualitas perawatan di rumah
sakit merupakan faktor penting menentukan prognosis pasien cedera medula spinalis.

II. EPIDEMIOLOGI

WHO memperkirakan insidens cedera medula spinalis global sebanyak 40-80


orang persejuta populasi setiap tahun. Rasio antara laki-laki dan perempuan adalah
2:1 dengan kelompok usia tertinggi adalah remaja hingga dewasa muda. Penyebab
tersering cedera medula spinalis adalah jatuh, diikuti kecelakaan sepeda motor.

Pasien cedera kepala di Amerika sebanyak 5% juga mengalami cedera medula


spinalis dengan sebaran lokasi terutama di servikal (55%) lalu torakal, abdominal, dan
lumbosakral masing masing 15%. Apabila di Indonesia, 7,5% dari populasi
merupakan kasus cedera kepala dengan medula spinalis.

III. PATOFISIOLOGI

1. Mekanisme kerusakan primer

Mekanisme umum dari dari cedera medula spinalis adalah adanya kompresi
pada struktur medula spinalis, baik oleh kelainan tulan, ligamen, herniasi diskus
intervertebrali, maupun proses hematom pada medula spinalis itu sendiri. Proses
kompresi akan memberikan gejala yaitu defisit neurologis dan atau rasa sakit
yang dirasakan terus menerus.
Mekanisme lain akibat gaya mekanik trauma (axial loading, fleksi, ekstensi,
rotasi, lateral bending, distraksi) dapat berupa luka tembus, peregangan, maupun
robekan pada struktur medula spinalis dan pembuluh darah.

Kerusakan langsung pada pembuluh darah menyebabkan pendarahan pada


medula spinalis yang berlangsung beberapa menit pasca cedera, diikuti gangguan
aliran darah. Kejadian ini menyebabkan hipoksia dan infark iskemik lokal. Area
substansia grisea lebih rentan rusak pertama kali kemudian ke area sekitarnya
(kaudal-kranial). Sel-sel saraf pada area ini akan mengalami kerusakan fisik,
penipisan selubung mielin, edema dan menarik makrofag disekitar area sehingga
mengganggu transmisi saraf.

2. Mekanisme kerusakan sekunder

Kerusakan sekunder terjadi akibat defisit energi yang disebabkan oleh


adanya gangguan perfusi tingkat sel. Kondisi ini diperberat dengan ditemukannya
syok neurogenik yang menyebabkan hipoperfusi sistemik. Kerusakan sekunder
pada cedera medula spinalis terbagi menjadi dua mekanisme yaitu efek lokal dan
sistemik.

Cedera medula spinalis yang tidak ditatalaksana optimal dalam 3-24 jam
pertama, akan mengalami perburukan berupa pendarahan, edema, demielinisasi,
pembentukan rongga pada akson, nekrosis neuronal, peningkatan kadar glutamat,
eksitotoksisitas, kerusakan oksidatif, adanya iskemik, serta peningkatan produksi
nitrit oksida dan perioksidasi lipid pada membran sel yang akan menyebabkan
perubahan patologis dan berubah menjadi infark.

IV. GEJALA DAN TANDA KLINIS

Gejala dan tanda klinis cedera medula spinalis diklasifikasikan berdasarkan


level cedera, derajat keparahan defisit neurologis, dan sindrom medula spinalis.

1. Level Cedera

Level cedera cedera medula spinalis dapat ditentukan melalui pemeriksaan


sensorik sesuai dermatom dan motorik sesuai miotom di sepanjang medula
spinalis. Level cedera dihitung dari segmen paling kaudal yang fungsi sensorik
dan motoriknya masih baik, pada kedua sisi.

Perbedaan gejala paling mencolok terjadi pada level diatas dan dibawah T1.
pada level cedera diatas T1 defisit neurologis yang muncul adalah tetraplegi dan
sering dijumpai gangguan pernafasan, akibat paresis otot interkostalis atau
diafragma, serta syok neurogenik. Jika cedera dibawah level T1, gejala klinik
yang muncul berupa paraplegi.

2. Derajat keparahan defisit neurologis

Derajat keparahan defisit neurologis pada cedera medula spinalis dapat


ditegakkan pada saat 72 jam hingga 7 hari pasca cedera karena
mempertimbangkan adanya kemungkinan renjatan spinal (spinal shock).

Secara sederhana dibagi menjadi 2 yaitu komplet dan inkomplet (Tabel 1).
Cedera disebut komplet apabila pasien kehilangan fungsi sensorik dan motorik
pada level cedera, sedangkan cedera inkomplet jika pasien hanya kehilangan
salah satu fungsi, sensorik atau motorik saja.

Cedera inkomplet memberikan prognosis lebih baik dibandingkan cedera


komplet. Pada cedera inkomplet ditemukan sacral sparing yaitu fungsi yang
tersisa pada daerah perianal dan atau kontraksi sadar sfingter anus. Klasifikasi
derajat keparahan defisit neurologis terdapat 5 tipe berdasarkan America Spinal
Injury Association (ASIA)/International Medical Society of Paraplegia (IMSOP)
yang dijelaskan pada Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi Derajat Keparahan Defisit Neurologis Berdasarkan


ASIA/IMSOP

Derajat Tipe Keterangan

A Komplet Tidak ada fungsi sensorik maupun motorik sampai segmen


4-5

B Inkomplet Fungsi sensorik masih baik, tetapi fungsi motorik


Sensorik terganggu dibawah level cedera dan meluas sampai
setinggi segmen S4-S5

C Inkomplet Fungsi sensorik masik baik. Fungsi motorik dibawah level


Motorik masih ada dan lebih dari setengah otot-otot dibawah level
memiliki kekuatan <3

D Komplet Fungsi sensorik masik baik. Fungsi motorik dibawah level


Motorik masih ada dan lebih dari setengah otot-otot dibawah level
memiliki kekuatan >3

E Normal Normal

3. Sindrom medula spinalis

Berdasarkan letak lesi dan gejalanya, terdapat 4 sindrom yaitu Sindrom


Brown Sequard, sindrom spinalis anterior, sindrom spinalis sentral, dan sindrom
spinalis posterior.

Tabel 2. Klasifikasi Sindrom Medula Spinalis

Sindrom Penyebab Utama Gejala dan Tanda Klinis

Sindrom Brown- Cedera tembus, Paresis UMN dibawah lesi dan LMN
Sequard kompresi setinggi lesi, gangguan sensasi propioseptif
ekstrinsik (raba dan tekan) ipsilateral, gangguan
eksteroseptif (nyeri dan suhu) kontralateral

Sindrom spinalis Infark spinalis Paraplegia, gangguan eksteroseptif, sensasi


anterior anterior (T4-T6), propioseptif normal, disfungsi sfingter
iskemik akut, HNP

Sindrom spinalis Siringomyelia, Paresis anggota gerak atas lebih berat


sentral hipotensif spinal dibandingkan anggota gerak bawah,
cord iskemik, gangguan sensorik bervariasi
trauma fleksi (disestia/hiperestesia) di lengan, disasosiasi
ekstensi, dan sensibilitas, disfungsi miksi defekasi dan
tumor spinal seksual

Sindrom spinalis Trauma dan infark Paresis ringan, gangguan prospioseptif


posterior spinalis posterior bilateral, gangguan eksteroseptif pada leher
punggung dan bokong

Gambar 1. Sindrom Medula Spinalis

Selain sindrom sindrom diatas, perlu diperhatikan juga apakah defisit


neurologis yang ada benar disebabkan oleh patologis atau syok spinal. Syok
spinal adalah keadaan hilangnya fungsi sensorik, motorik, dan otonom sementara,
karena sebenarnya tidak terjadi kerusakan struktur pada segmen medula spinalis
tersebut.

Syok spinal biasa ditemukan pada fase akut pascacedera ditandai dengan
hilangnya aktivitas refleks spinal dibawah lesi dan kelemahan ekstremitas flaksid.
Selain itu dapat dirasakan juga hilangnya tonus vesika urinaria, ileus paralitik,
dan hipo/anhidrosis dibawah lesi.
Syok spinal terjadi apabila defisit neurologis baik sensorik maupun sensorik
terjadi hanya dalam 1 jam pascacedera. Apabila lebih dari 1 jam maka defisit
neurologis disebabkan oleh perubahan patologis. Adapun defisit autonom dan
refleks pada syok spinal dapat berlangsung beberapa hari hingga beberapa bulan,
tergantung beratnya cedera.

V. DIAGNOSIS

Penentuan cedera medula spinalis dilakukan setelah keadaan mengancam


nyawa telah diatasi. Oleh karena itu, penganganan awal kasus cedera medula
spinalis menganut asas praduga positif, yang berarti semua pasien trauma harus
dicurigai menderita cedera sampai terbukti tidak ada cedera medula spinalis.
Cedera medula spinalis memiliki klinis yaitu rasa sakit disepanjang tulang
belakang, sensasi kebas, hingga kelumpuhan anggota gerak. Untuk
menentukannya perlu langkah anamnesis komprehensif, pemeriksaan fisik sesuai
dan pemeriksaan penunjang.

1. Anamnesis

Anamnesis pada pasien cedera medula spinalis dilakukan dengan AMPLE


(Alergy, Medication, Past Illness, Last Meal, Exposure).

2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan neurologis pasien cedera medula spinalis dilakukan secara


bertahap yaitu menentukan adanya cedera lalu level cedera. Penentuan adanya
cedera dilakukan saat pemindahan pasien dari papan spinal (spine board) dengan
teknik log roll. Tiga orang penolong bertugas mempertahankan kesegarisan
tulang belakang saat pasien dimiringkan/dipindahkan, sedangkan satu lainnya
menarik spine board dan mengevaluasi tulang belakang. Evaluasi untuk
menetukan deformitas, krepitasi, nyeri saat palpasi, dan perlukaan kulit (kontusio,
laserasi, atau penetrasi)

Penetuan level cedera berdasarkan pemeriksaan sensorik dan motorik.


Pemeriksaan sensorik dilakukan dengan memberikan rangsang nyeri dan menilai
respon pasien sesuai pola dermatom (Gambar 2). Level cedera ditentukan dari
level terbawah yang masih berfungsi dengan baik. Perhatian khusus diberikan
pada kecurigaan cedera servikal C1-C4. Apabila pasien mnegeluh hilangnya
sensasi didaerah sekitar leher dan klavikula, pemeriksa harus mengkonfirmasi
dengan pemeriksaan motorik.

Pemeriksaan motorik dilakukan dengan memeriksa kekuatan otot (Tabel 3)


mengikuti pola miotom dan dibandingkan dengan kedua sisi. Level cedera juga
ditentukan dari segmen paling kaudal.

Pasien yang tidak sadar harus dilakukan proteksi kolumna vertebralis agar
tidak terjadi cedera sekunder selama monbilisasi dan pemeriksaan. Proteksi ini
meliputi pemasangan bidai servikal (cevical collar neck) dan meletakkan
penderita pada papan spinal panjang ditempat kejadian, selama transpor hingga
sewaktu menjalani prosedur pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang
menjadi alat penapis utama pada pasien tak sadar.

Tabel 3. Derajat Kekuatan Otot

Derajat Keterangan

0 Paralisis total

1 Terdapat kontraksi saat inspeksi dan palpasi

2 Dapat digerakkan namun tak mampu melawan gravitasi

3 Dapat digerakkan dan melawan gravitasi

4 Dapat digerakkan namun kekuatan berkurang

5 Dapat digerakkan dan dapat menahan tahanan


Gambar 2. Dermatom

3. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang dilakukan dengan rontgen, CT Scan dan MRI. Foto


rontgen pada cedera medula spinalis meliputi foto segmen servikal dan
torakolumbal. Foto segmen servikal dilakukan dengan posisi lateral,
anteroposterior (AP), dan open mouth odontoid. Foto servikal dianggap baik jika
basis kranii hingga vertebrae servikal ke 7 dapat terlihat. Posisi AP diperlukan
untuk mengidentifikasi dislokasi faset unilateral yang tak tampak jelas pada
posisi lateral. Sedangkan posisi open mouth odontoid dilakukan dengan khusus
untuk melihat area servikal 1 dan 2.
Foto rontgen segmen torakolumbal perlu memperhatikan kesegarisan korpus
vertebrae, jarak antar diskus, pedikel, prosesus spinosus, dan foramen
intervertebralis. Modalitas CT Scan dan MRI dapat dipertimbangkan untuk
pasien dengan defisit neurologis yang jelas tetapi tak ditemukan kelainan pada
pemeriksaan radiologis sebelumnya. Pemeriksaan ini dilakukan untuk
mengetahui kecurigaan abnormalitas jaringan lunak.

VI. TATA LAKSANA

Seperti halnya penegakan diagnosis, konsep penanganan cedera medula


spinalis adalah semua korban trauma harus dicurigai mengalami dan ditangani
sebagai kasus cedera medula spinalis sampai terbukti tidak adanya cedera.
Selama belum terbukti tidak ada cedera, pada saat pemeriksaan pasien harus
dilakukan imobilisasi untuk menghindari cedera sekunder.

Terdapat tiga tujan utama yang perlu dicapai dalam tata laksana cedera
medula spinalis, yaitu maksimalisasi pemulihan neurologis, stabilisasi spinal, dan
rehabilitasi. Untuk itu terdapat alur tatalaksana yang dimulai sejak fase pra-RS,
fase RS dan rehabilitasi pasca cedera yang berkesinambungan.

1. Tata laksana pra- RS

Informasi yang penting diketahui pihak RS untuk melakukan tata laksana


lanjutan antara lain keadaan pasien, waktu terjadinya trauma, dan mekanisme
trauma. Penekanan yang diutamakan pada fase pra RS adalah imobilisasi pasien,
tindakan resusitasi meliputi penjagaan jalan nafas dan kontrol pendarahan serta
syok. Selain itu transfer pasien ke RS dengan fasilitas memadai harus dilakukan
sesegera mungkin.

a. Imobilisasi pasien

Upaya imobilisasi pada fase pra RS meliputi imobilisasi area servikal dan
sepanjang tulang belakang.

a) Imobilisasi pasien servikal

Tata laksana yang dapat dilakukan untuk melindungi dan imobilisasi area
servikal antara lain dengan stabilisasi manual, memasangkan bidai servikal atau
menggunakan sand bag maupun towel roll. Stabilisasi manual yaitu dengan
memposisikan kepala sedikit ekstensi dan minimal distraksi, untuk mencegah
terjadinya fleksi dan kompresi spinal yang lebih lanjut.

Kelebihan dalam penggunaan bidai servikal adalah manipulasi minimal pada


leher saat pemasangannya. Bidai servikal dapat dijadikan sebagai penanda bahwa
terdapat risiko cedera servikal yang belum dapat disingkirkan. Kombinasi dengan
cara lain misalnya dengan taping, dapat lebih memfiksasi leher (Gambar 3).

Gambar 3. Imobilisasi area servikal dan tulang belakang

Yang perlu diperhatikan dalam metode taping adalah agitasi pasien. Pasien
dengan agitasi dapat bergerak gerak menimbulkan cedera sekunder. Taping
daerah dada sebaiknya diminimalisasi karena mengurangi ruang gerak rongga
paru. Taping pada posisi terlentang meningkatkan risiko terjadinya
bronkopneumonia.

Penggunaan sandbag lebih aman dibandingkan taping karena tidak


mengganggu jalan nafas. Sandbag direkomendasikan pada pemindahan pasien
yang tidak memungkinkan dengan spine board. Selain keadaan tersebut, sandbag
kurang praktis untuk digunakan. Minimalisasi gerakan lateral kepala pun dapat
dilakukan dengan pengaplikasian towel roll pada kedua sisi kepala.
Pada pasien trauma yang menggunakan helm, dapat dipertimbangkan untuk
tidak melepaskan helm kecuali ditemukan adanya gangguan jalan nafas pada
pasien. Berdasarkan prosedur dari American College of Surgeon, pelepasan helm
sebaiknya dilakukan oleh dua orang tenaga ahli untuk meminimalisir risiko
terjadinya fleksi leher yang mengancam nyawa (Gambar 4).
Gambar 4. Pelepasan helm pada pasien cedera

b) Imobilisasi sepanjang tulang belakang

Imobilisasi tulang belakang bertujuan untuk meminimalisisr gerakan serta


menjaga kesejajaran (alignment) tulang belakang dengan menggunakan spine
board. Spine board tidak diperuntukkan untuk pemakaian jangka panjang karena
berisiko terjadinya dekubitus akibat penekanan berlebih dibagian sakrum, belikat,
tumit, dan osipital.

b. Tindakan resusitasi

Tindakan resusitasi pada fase pra RS meliputi penjagaan nafas dan komtrol
pendarahan dan syok, dengan mengutamakan imobilisasi pasien

a) Penjagaan nafas dan ventilasi

Pembukaan jalan nafas pada pasien dengan trauma spinal pra RS dapat
dilakukan dengan manuver jaw thurst untuk meminimalisasi pergerakan leher.
Pemasangan nasopharyngeal airway atau oropharyngeal airway dapat dilakukan
untuk menjaga jalan nafas tetap terbuka, namun perlu diperhatikan bahwa
penggunaan ini dapat menginduksi refleks muntah dan memberikan efek agitasi
pada pasien. Dapat dipertimbangkan tindakan krikotiroidektomi emergensi atau
trakeostomi definitif di RS bila kondisi tidak memungkinkan untuk diintubasi.

Ventilasi adekuat dilakukan setelah jalan nafas dipastikan adekuat. Perlu


diperhatikan ada kegagalan nafas atau tidak pada pasien cedera medula spinali
dengan tanda sebagai berikut gerakan sinding parodoksikal serta kapasitas vital
paru yang dipengaruhi oleh postur tubuh pasien.

Posisi tegak dan trendeleburg sebaiknya dihindari pada pasien cedera medula
spinalis dengan klinis tetraplegia berkaitan dengan tertariknya diafragma oleh
organ organ abdomen ke arah kaudal sehingga mengganggu kapasitas vital
pasien.

b) Kontrol pendarahan dan syok

Syok hipovolemik pada trauma spinal merupakan hal yang rumit. Kondisi
hipotensi dapat ditemukan tanpa disertai adanya hipoperfusi atau disebut juga
syok neurogenik.

Cedera setinggi segmen servikalis atau torakalis tinggi dapat dijumpai


hipotensi dan bradikardi. Keadaan ini dapat terjadi akibat adanya syok
neurogenik, sehingga tidak disarankan untuk dilakukan resusitasi cairan
berlebihan.

2. Tata Laksana di Rumah Sakit

a. Penanganan gawat darurat

Penanganan gawat darurat pasien cedera medula spinalis di unit gawat


darurat RS tergantung pada penanganan pertama pra RS. Apabila pasien belum
mendapatkan pra RS sebelumnya, maka protokol penanganan gawat darurat
cedera medula spinalis harus dilakukan dari awal.

a) Imobilisasi

Imobilisasi pada fase RS merupakan lanjutan dari tata laksana pra RS. Pasien
yang datang dalam keadaan termobilisasi dengan spine board dan pelindung leher
sebaiknya dipindahkan segera mengingat tindakan imobilisasi juga memberika
risiko komplikasi. Sebaiknya penilaian dan pemeriksaan penunjang lengkap
dilakukan dalam waktu tidak lebih dari 2 jam. Apabila dalam dua jam tidak
tercapai, sebaiknya mobilisasi terkontrol tetap dilakukan dengan meperhatikan
kesegarisan tulang belakang.

b) Primary survey

Primary survey merupakan evaluasi ulang dari tindakan pra RS (Tabel 4).
Primary survey tetap dilakukan walaupun sudah dilakukan sebelum tiba di RS.

Tabel 4. Primary survey

Airway/ jalan nafas - pembebasan jalan nafas dengan jaw thurst

- pertimbangkan tindakan definitif pembebasan jalan nafas


dengan tindakan intubasi oleh ahli tanpa mengekstensikan
leher. Jika ada kontraindikasi maka intubasi nasotrakeal
lebih mudah dan pasien harus bernafas spontan

- surgical airway access, seperti krikotiroidotomi dan


trakeostomi sebaiknya dihindari. Apabila harus dilakukan,
krikotiroidotomi lebih dianjurkan

Breathing/ pernafasan - jika pasien datang dengan jalan nafas berat, pasien
diberikan suplementasi oksigen melalu nasal kanul atau
simple mask

- penggunaan ventilator pada pasien yang diintubasi

Circulation / sirkulasi - bertujuan untuk mempertahankan perfusi adekuat

- tekanan darah sistolik dipertahankan tetap >90 mmHg

- hipotensi dapat disebabkan oleh syok hipovolemik


maupun syok neurogenik

- syok hipovolemik (hipotensi- takikardi, ekstremitas


dingin) diberikan resusitasi cairan kristaloid kalau perlu
kombinasi koloid, posisi trendeleburg (kaki lebih tinggi)

- syok neurogenik (hipotensi- bradikardi, ekstremitas


hangat) diberikan resusitasi cairan adekuat+agen
vasopressor (dopamin atau norepinephrine)

- bradikardia diberikan atrofin IV 0,5-1 mg

- tindakan : pemantauan tekanan vena sentral untuk


menghindari kelebihan cairan; kateter foley

Disability Pemeriksaan neurologis singkat : tingakt kesadaras GCS,


refleks pupil, dan mengenali kelemahan anggota gerak

c) Secondary survey

Terdiri dari anamnesis dan pemeriksaan fisik (Tabel 5). Tindakan ini
bertujuan untuk mencari tanda cedera medula spinalis secara klinis.

Tabel 5. Secondary survey

Langkah Penjelasan

Langkah 1 Anamnesis AMPLE

Langkah 2 Penilaian ulang GCS dan pupil

Langkah 3 Pemeriksaan vertebrae

- palpasi seluruh vertebrae dari kranial ke kaudal dengan metode


log roll. Perhatian kepada deformitas, krepitus, nyeri, luka
tembus/laserasi

- penilaian level neurologis motorik dan sensorik. Penilaian


sensorik meliputi nyeri dan raba. Catat level sensorik paling kaudal
yang ditemukan masih normal

- kekuatan motorik ekstremitas atas dinilai dengan gerakan abduksi


bahu (C5), fleksi siku (C6), ekstensi siku (C7), fleksi pergelangan
tangan (C8), abduksi jari (T1)

- kekuatan motorik ekstremitas bawah dinilai dengan gerakan fleksi


panggul (L2), eksteksi lutut

Langkah 4 Evaluasi ulang adanya cedera dilokasi lain yang belum


tereksplorasi

d) Medikamentosa akut

Obat obatan yang dapat diberikan yaitu

 Glukokortikosteroid dosis tinggi

Pasien onset <3jam diberikan metilprednisolon 30 mg/kgBB IV bolus selama


15 menit, ditunggu selama 45 menit. Dilanjutkan dengan infus terus menerus
selama 23 jam dengan dosis 5,4 mg/kgBB/jam. Pasien dengan onset 3-8 jam,
diberikan dengan cara yang sama namun dosis infus dilakukan selama 47 jam.
Bila diagnosis baru ditegakkan >8 jam, maka pemberian steroid tidak dianjurkan.

 Opiat reseptor antagonis

 Non glukokortikoid steroid tirilazad

 Monosialoganglioside (GM-1)

b. Perawatan intensif

Perawatan intensif bertujuan untuk mempertahankan pasien tetap imobilisasi


dan mengevaluasi masalah neurologis maupun kesehatan lain yang mungkin
timbul sebagai keadaan primer maupun sekunder akibat upaya imobilisasi sendiri.

Kriteria tempat tidur yang sesuai dalam perawatan pasien cedera medula
spinalis adalah 1) dapat meunjang stabilitas dan kesegarisan tulang belakang; 2)
nyaman dan memiliki risiko rendah ulkus dekubitus; 3) memudahkan kases
perawatan; 4) memudahkan upaya reposisi pasien untuk mencegah komplikasi
imobilisasi.
Selama perawatan di RS, pada cedera medula spinalis dapat mengalami
beberapa komplikasi akut atau subakut.

1) Komplikasi fase akut cedera medula spinalis

Proses cedera pada segmen servikal hingga torakal atas menyebabkan


hilangnya efek simpatis sehingga resitensi vaskular sistemik menurun dan efek
parasimpatis meingkat. Hal ini disebut juga syok neurogenik. Manifetasi klinis
yang dijumpai adalah hipotensi dengan selisih tekanan sistolik dan diastolik yang
lebar (wide pulse pressure), bradikardi, serta ekstremitas hangat. Hal ini berbeda
pada renjatan umumnya yang ditandai hipotensi dengan selisih tekanan sistolik
dan diastolik yang sempit (narrow pulse pressure) dan ekstremitas dingin dan
pucat.

Selain hipotensi, cedera medula spinalis pada segmen servikal dan torakal
atas dapt menyebabkan disritmia jantung. Sinus bradikardia yang timbul akibat
gangguan simpatis supraspinal merupakan bentuk disritmia yang paling sering
terjadi. Selain itu, blok konduksi atrioventrikular (A-V block) serta takikardia
supraventrikel dan ventrikel juga dapat ditemukan. Timbulnya disritmia ini lebih
sering terjadi pada cedera medula spinalis komplit.

Bradiaritmia dapat ditatalaksana dengan pemberian atrofin. Sebagian kecil


pasien memerlukan pemasangan alat pacu jantung untuk mengontrol denyut
jantungnya. Bila hal ini disertai hipotensi, penggunaan vasopresor yang hanya
memiliki aktivitas alfa adregenik seperti fenilefrin, sebaiknya dihindari karena
dapat mneyebabkan perlambatan kerja jantung dan eksaserbasi baradikardia.

2) Komplikasi subakut pasca cedera medula spinalis

Gangguan pernafasan sekunder terjadi akibat fungsi otot-otot


interkostalis terganggu pada cedera medula spinalis servikal, sehingga terjadi
gangguan refleks batuk. Pasien tidak mampu membersihkan mukus dan
rentan mengalami retensi mukus berulang. Penggunaan tracheal bronchial
suctioning berkala, pulmonary toilet, dan fisioterapi dada direkomendasikan
untuk masalah ini. Selain itu dapat terjadi atelektasis sebagai salah satu
predisposisi pneumonia. Kombinasi gangguan refleks batuk dan ateletaksis
akan menigkatkan risiko pneumonia. Oleh karena itu pertimbangan
pemberian antibiotik perlu dilakukan dengan melihat pola kuman RS. Pasien
juga berisiko mengalami aspirasi terutama bila tidak terintubasi. Penyapihan
dari ventilator harus segera dilakukan pada pasien dengan ventilator, bila
fungsi pernapasan pasien kembali normal. Hal ini untuk menghindari
masalah pernapasan sekunder yaitu ventricular acquired pneumonia (VAP),
trakeomalasia, sinusitis dan intoksisitas oksigen.

Kejadian trombosis vena dalam dan emboli paru merupakan dua


kemungkinan komplikasi yang harus diwaspadai selama perawatan. Oleh
karena itu, upaya pencegahan diuatamakn dan harus dilakukan sedini
mungkin. Upaya yang dilakukan sebagai berikut 1) pemakaian compression
stocking; 2) pemberian heparin dosis rendah; 3) pemasangan filter vena cava
inferior pada kasus kontraindikasi heparin yang masih harus imobilisasi dalm
jangka waktu yang cukup lama.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah gangguan saluran pencernaan


salah satunya ileus. Gejala ileus adalah distensi abdomen yang akan
mempengaruhi kerja diafragma sehingga mempengaruhi pernapasan dan
meingkatkan risiko pneumonia aspirasi. Tata laksana akut untuk masalah
ileus adalah kompresi dengan pipa nasogastrik atau orogastrik. Adanya risiko
pendarahan saluran cerna pada pasien diperberat dengan intervensi
pengobatan, misalnya pada pemberian steroid dosis tinggi. Pilihan agen
profilaksis yang dapat diberikan antara lain 1) antasid oral dosis tinggi; 2)
penyekat H2; 3) pelindung mukosa.

Kebutuhan kalori meningkat pada beberapa hari pertama pasca cedera.


Oleh karena itu pemberian nutrisi yang tepat dapat mencegah malnutrisi pada
kasus ini.

Terputusnya saraf otonom kolon dan rektum serta persarafan volunter


otot dinding perut dan perlvis menyebabkan kesulitan defekasi. Penanganan
masalah tersebut dengan pemberian tambahan nutrisi tinggi serat (10-20g
perhari) dan agen pelunak feses berupa laktulosa (oral) maupun gliserin
(suposituria). selain itu evakuasi digital dapat dipertimbangkan 2-3 kali
dalam seminggu sebagai tata laksana akut.
Gangguan berkemih yang sering ditemukan pada pasien cedera medula
spinalis antara lain retensi urin disertai distensi berlebih kandung kemih dan
pripismus pada pasien laki laki. Retensi urin diakibatkan oleh karena
kelemahan otot detrusor, hiperaktivitas sfingter, maupun kerja kandung
kemih dan sfingter yang tidak sinergi. Adapun masalah yang mendasarinya,
tatalaksana akut dari retensi urin adalah pemasangan kateter urin.
Pemasanagn kateter urin indwelling direkomendasikan hingga kondisi stabil,
dilanjutkan dengan pemasangan kateter intermitten setiap 6 jam. Pemasangan
pipa suprapubik dapat dilakukan pada priapismus untuk menghindari cedera
saluran kemih.

c. Tatalaksana operatif

Tujuan utama pembedahan adalah melakukan dekompresi terhadap medula


spinalis dan melakukan stabilisasi tulang belakang. Operasi pada pasien cedera
medula spinalis diindikasikan pada keadaan sebagai berikut :

 Terdapat fraktur yang menekan medula spinalis

 Gambaran neurologis progresif memburuk

 Fraktur dan dislokasi yang labil

 Herniasi diskus invertrebalis yang menekan medula spinalis

Prognosis penderita sangat tergantung dari berat cedera dan lamanya


pertolongan hingga tindakan pembedahan. Tindakan operatif dapat dilakukan
dalam rentang waktu 24 jam hingga 3 minggu pasca cedera namun tindakan
operatif dini (<24 jam) lebih bermakna dalam menurunkan risiko komplikasi dan
perburukan neurologis.

3. Tata Laksana Rehabilitatif

Rehabilitasi bertujuan untuk meningkatkan kualitas individu yang


mengakami gangguan secara optimal dalam bidang mental, fisik, kognitif dan
sosial. Tujuan dari proses ini adalah :

 Memberikan pengertian mengenai cedera medula spinalis kepada pasien dan


keluarga
 Memaksimalkan fungsi mobilisasi dan kemampuan perawatan diri pasien

 Mencegah masalah kesehatan komrbid, seperti kontraktur. Luka dekubitus,


masalah pernafasan, dan lainnya.

Adapun tindakan rehabilitasi sendiri yaitu fisioterapi, terapi okupasi, latihan


miksi, dan defekasi rutin, terapi psikologis serta konseling.

Anda mungkin juga menyukai