Pembimbing:
dr. Muttaqien Pramudigdo, Sp. S
Oleh:
Nadila Nur Pratiwi
G1A014111
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
SMF ILMU PENYAKIT SARAF
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2018
LEMBAR PENGESAHAN
Oleh:
Nadila Nur Pratiwi
G1A014111
Text Book Reading ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu
prasyarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik
Bagian SMF Ilmu Penyakit Saraf
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto
Cedera medula spinalis disebut juga dengan trauma medula spinalis (spinal cord
injury), yaitu trauma langsung atau tidak langsung yang menyebabkan jejas pada
medula spinalis sehingga dapat menimbulkan gangguan fungsi sensorik, motorik, dan
otonom. Cedera medula spinalis memiliki mortalitas yang tinggi pada tahun pertama
pasca cedera.
Penanganan cedera medula spinalis harus dilakukan secara cepat dan tepat untuk
menghindari kerusakan sekunder pasien yang fatal. Kecepatan penanganan medis
rumah sakit, sistem transportasi menuju rumah sakit, dan kualitas perawatan di rumah
sakit merupakan faktor penting menentukan prognosis pasien cedera medula spinalis.
II. EPIDEMIOLOGI
III. PATOFISIOLOGI
Mekanisme umum dari dari cedera medula spinalis adalah adanya kompresi
pada struktur medula spinalis, baik oleh kelainan tulan, ligamen, herniasi diskus
intervertebrali, maupun proses hematom pada medula spinalis itu sendiri. Proses
kompresi akan memberikan gejala yaitu defisit neurologis dan atau rasa sakit
yang dirasakan terus menerus.
Mekanisme lain akibat gaya mekanik trauma (axial loading, fleksi, ekstensi,
rotasi, lateral bending, distraksi) dapat berupa luka tembus, peregangan, maupun
robekan pada struktur medula spinalis dan pembuluh darah.
Cedera medula spinalis yang tidak ditatalaksana optimal dalam 3-24 jam
pertama, akan mengalami perburukan berupa pendarahan, edema, demielinisasi,
pembentukan rongga pada akson, nekrosis neuronal, peningkatan kadar glutamat,
eksitotoksisitas, kerusakan oksidatif, adanya iskemik, serta peningkatan produksi
nitrit oksida dan perioksidasi lipid pada membran sel yang akan menyebabkan
perubahan patologis dan berubah menjadi infark.
1. Level Cedera
Perbedaan gejala paling mencolok terjadi pada level diatas dan dibawah T1.
pada level cedera diatas T1 defisit neurologis yang muncul adalah tetraplegi dan
sering dijumpai gangguan pernafasan, akibat paresis otot interkostalis atau
diafragma, serta syok neurogenik. Jika cedera dibawah level T1, gejala klinik
yang muncul berupa paraplegi.
Secara sederhana dibagi menjadi 2 yaitu komplet dan inkomplet (Tabel 1).
Cedera disebut komplet apabila pasien kehilangan fungsi sensorik dan motorik
pada level cedera, sedangkan cedera inkomplet jika pasien hanya kehilangan
salah satu fungsi, sensorik atau motorik saja.
E Normal Normal
Sindrom Brown- Cedera tembus, Paresis UMN dibawah lesi dan LMN
Sequard kompresi setinggi lesi, gangguan sensasi propioseptif
ekstrinsik (raba dan tekan) ipsilateral, gangguan
eksteroseptif (nyeri dan suhu) kontralateral
Syok spinal biasa ditemukan pada fase akut pascacedera ditandai dengan
hilangnya aktivitas refleks spinal dibawah lesi dan kelemahan ekstremitas flaksid.
Selain itu dapat dirasakan juga hilangnya tonus vesika urinaria, ileus paralitik,
dan hipo/anhidrosis dibawah lesi.
Syok spinal terjadi apabila defisit neurologis baik sensorik maupun sensorik
terjadi hanya dalam 1 jam pascacedera. Apabila lebih dari 1 jam maka defisit
neurologis disebabkan oleh perubahan patologis. Adapun defisit autonom dan
refleks pada syok spinal dapat berlangsung beberapa hari hingga beberapa bulan,
tergantung beratnya cedera.
V. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
Pasien yang tidak sadar harus dilakukan proteksi kolumna vertebralis agar
tidak terjadi cedera sekunder selama monbilisasi dan pemeriksaan. Proteksi ini
meliputi pemasangan bidai servikal (cevical collar neck) dan meletakkan
penderita pada papan spinal panjang ditempat kejadian, selama transpor hingga
sewaktu menjalani prosedur pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang
menjadi alat penapis utama pada pasien tak sadar.
Derajat Keterangan
0 Paralisis total
3. Pemeriksaan penunjang
Terdapat tiga tujan utama yang perlu dicapai dalam tata laksana cedera
medula spinalis, yaitu maksimalisasi pemulihan neurologis, stabilisasi spinal, dan
rehabilitasi. Untuk itu terdapat alur tatalaksana yang dimulai sejak fase pra-RS,
fase RS dan rehabilitasi pasca cedera yang berkesinambungan.
a. Imobilisasi pasien
Upaya imobilisasi pada fase pra RS meliputi imobilisasi area servikal dan
sepanjang tulang belakang.
Tata laksana yang dapat dilakukan untuk melindungi dan imobilisasi area
servikal antara lain dengan stabilisasi manual, memasangkan bidai servikal atau
menggunakan sand bag maupun towel roll. Stabilisasi manual yaitu dengan
memposisikan kepala sedikit ekstensi dan minimal distraksi, untuk mencegah
terjadinya fleksi dan kompresi spinal yang lebih lanjut.
Yang perlu diperhatikan dalam metode taping adalah agitasi pasien. Pasien
dengan agitasi dapat bergerak gerak menimbulkan cedera sekunder. Taping
daerah dada sebaiknya diminimalisasi karena mengurangi ruang gerak rongga
paru. Taping pada posisi terlentang meningkatkan risiko terjadinya
bronkopneumonia.
b. Tindakan resusitasi
Tindakan resusitasi pada fase pra RS meliputi penjagaan nafas dan komtrol
pendarahan dan syok, dengan mengutamakan imobilisasi pasien
Pembukaan jalan nafas pada pasien dengan trauma spinal pra RS dapat
dilakukan dengan manuver jaw thurst untuk meminimalisasi pergerakan leher.
Pemasangan nasopharyngeal airway atau oropharyngeal airway dapat dilakukan
untuk menjaga jalan nafas tetap terbuka, namun perlu diperhatikan bahwa
penggunaan ini dapat menginduksi refleks muntah dan memberikan efek agitasi
pada pasien. Dapat dipertimbangkan tindakan krikotiroidektomi emergensi atau
trakeostomi definitif di RS bila kondisi tidak memungkinkan untuk diintubasi.
Posisi tegak dan trendeleburg sebaiknya dihindari pada pasien cedera medula
spinalis dengan klinis tetraplegia berkaitan dengan tertariknya diafragma oleh
organ organ abdomen ke arah kaudal sehingga mengganggu kapasitas vital
pasien.
Syok hipovolemik pada trauma spinal merupakan hal yang rumit. Kondisi
hipotensi dapat ditemukan tanpa disertai adanya hipoperfusi atau disebut juga
syok neurogenik.
a) Imobilisasi
Imobilisasi pada fase RS merupakan lanjutan dari tata laksana pra RS. Pasien
yang datang dalam keadaan termobilisasi dengan spine board dan pelindung leher
sebaiknya dipindahkan segera mengingat tindakan imobilisasi juga memberika
risiko komplikasi. Sebaiknya penilaian dan pemeriksaan penunjang lengkap
dilakukan dalam waktu tidak lebih dari 2 jam. Apabila dalam dua jam tidak
tercapai, sebaiknya mobilisasi terkontrol tetap dilakukan dengan meperhatikan
kesegarisan tulang belakang.
b) Primary survey
Primary survey merupakan evaluasi ulang dari tindakan pra RS (Tabel 4).
Primary survey tetap dilakukan walaupun sudah dilakukan sebelum tiba di RS.
Breathing/ pernafasan - jika pasien datang dengan jalan nafas berat, pasien
diberikan suplementasi oksigen melalu nasal kanul atau
simple mask
c) Secondary survey
Terdiri dari anamnesis dan pemeriksaan fisik (Tabel 5). Tindakan ini
bertujuan untuk mencari tanda cedera medula spinalis secara klinis.
Langkah Penjelasan
d) Medikamentosa akut
Monosialoganglioside (GM-1)
b. Perawatan intensif
Kriteria tempat tidur yang sesuai dalam perawatan pasien cedera medula
spinalis adalah 1) dapat meunjang stabilitas dan kesegarisan tulang belakang; 2)
nyaman dan memiliki risiko rendah ulkus dekubitus; 3) memudahkan kases
perawatan; 4) memudahkan upaya reposisi pasien untuk mencegah komplikasi
imobilisasi.
Selama perawatan di RS, pada cedera medula spinalis dapat mengalami
beberapa komplikasi akut atau subakut.
Selain hipotensi, cedera medula spinalis pada segmen servikal dan torakal
atas dapt menyebabkan disritmia jantung. Sinus bradikardia yang timbul akibat
gangguan simpatis supraspinal merupakan bentuk disritmia yang paling sering
terjadi. Selain itu, blok konduksi atrioventrikular (A-V block) serta takikardia
supraventrikel dan ventrikel juga dapat ditemukan. Timbulnya disritmia ini lebih
sering terjadi pada cedera medula spinalis komplit.
c. Tatalaksana operatif