Disusun Oleh:
Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa Laporan Pendahuluan Dan
Asuhan Keperawatan Pada Tn D Dengan Diagnosa Medis Paraparese Inferior
Pada Masalah Keperawatan Utama Gangguan Mobilitas Fisik Di Ruang
Kemuning Di RSUD Prof. Dr Margono Soekarjo Purwokerto
Disusun oleh
Amelia onesti
LAPORAN PENDAHULUAN
A. PENGERTIAN
Paraparese adalah kelemahan/kelumpuhan parsial bagian
ekstremitas bawah yang ringan/tidak lengkap atau suatu kondisi yang
ditandai oleh hilangnya sebagian gerakan atau gerakan terganggu.
Kelemahan adalah hilangnya sebagian fungsi otot untuk untuk satu atau
lebih kelompok otot yang dapat menyebabkan gangguan mobilitas bagian
yang terkena
Gangguan mobilitas fisik adalah keterbatasan dalam gerakan fisik
dari satu atau lebih ekstremitas secara mandiri (Tim Pokja SDKI DPP
PPNI, 2017). Gangguan mobilitas fisik merupakan suatu kondisi yang
relatif dimana individu tidak hanya mengalami penurunan aktivitas dari
kebiasaan normalnya kehilangan tetapi juga kemampuan geraknya secara
total. Gangguan mobilitas adalah keterbatasan fisik tubuh baik satu
maupun lebih ekstremitas secara mandiri dan terarah (Nurarif A.H &
Kusuma H, 2015).
Dapat disimpulkan dari penjelasan paraprase inferior merupakan
suatu gangguan yang terjadi karena sistem imum yang kurang
menyebabkan cedera neural medula spinalis yang menbyebabkan beberapa
fungsi tubuh terganggu. Salah satu masalah yang disebabkan adanya
cedera tersebut adalah gangguan mobolitas fisik atau keterbatasan anggota
gerak pada tubuh secara mandiri.
B. ETIOLOGI
1. Kerusakan integritas 13. Indeks masa tubuh diatas
struktur tulang persentil ke-75 sesuai usia
2. Perubahan metabilisme 14. Efek agen farmakologis
3. Ketidakbugaran fisik 15. Problem pembatasan gerak
4. Penurunan kendali otot 16. Nyeri
5. Penurunan massa otot 17. Kurang terpapar informasi
6. Penurunan kekuatan otot tentang aktivitas fisik
7. Keterlambatan 18. Kecemasan
perkembangan 19. Gangguna
8. Kekakuan sendi kognitif’keengganan
9. Kontraktur melakukan pergerakan
10. Malnutrisi 20. Gangguan sensoripersepsi
11. Gangguan muskuloskeletal (Nurarif A.H & Kusuma
12. Gangguan neuromuskular H, 2015).
C. BATASAN KARAKTERISTIK
1. Stroke 6. Ostemalasia
2. Cedera medula spinalis 7. Keganasan
3. Trauma (Nurarif A.H & Kusuma
4. Fraktur H, 2015).
5. Osteoarthritis
D. FOKUS PENGKAJIAN
1. Riwayat trauma (KLL, olahraga, dll)
2. Riwayat penyakit degeneratif (osteoporosis, osteoartritis, dll)
3. Mekanisme trauma
4. Stabilisasi dan monitoring
5. Pemeriksaan fisik; KU, TTV, defisit neurologis, status kesadaran awal
kejadian, refleks, motorik, lokalis (look, feel, move).
6. Fokus; deformitas leher, memar pada leher dan bahu, memarpada
muka atau abrasi dangakal pada dahi.
7. Pemeriksaan neurologi penuh.
(Nurarif A.H & Kusuma H, 2015).
↓
Kerusakan medulla spinalis
Penurunan kesadaran
Risiko jatuh
Resiko
PA perfusi
jaringan serebral
tidak efektif
2. TOFISIOLOGI
Pada diagnosa paraparesi inferior bisa terjadi karena adanya trauma
atau terjadi cedera pada medulla spinais. Trauma medula spinalis bisa
terjadi karena kecelakaan kerja, kecelakaan lalulintas, kecelakaan
industri, jatuh dari pohon atau bangunan yang terjadi bisa
menyebabkan rauma medula spinalis. Pada medulla spinalis
yangmengalami cedera terdapat lesi, lesi ini mendesak medula spinalis
dan menyebabkan penurunan atau kelumpuhan pada otot-otot pada
bagian yang terletak dibawah tekanan lesi tersebut. Pada lelumpuhan
otot-otot bagian tubuuh yang terletak dibawah tingkat lesi mengalami
kerusakan, seperti kerusakan lumbal 2-5 yang menyebabkan
parapalegi. Paraparese merupakan kelemahan/kelumpuhan parsial
bagian ekstremitas bawah yang ringan/tidak lengkap atau suatu kondisi
yang ditandai oleh hilangnya sebagian gerakan atau gerakan terganggu
(Nurarif A.H & Kusuma H, 2015).
Kelemahan adalah hilangnya sebagian fungsi otot untuk untuk satu
atau lebih kelompok otot yang dapat menyebabkan gangguan mobilitas
bagian yang terkena paraparese ini yang menyebabkan munculnya
gangguan mobilitas fisik pada tubuh, gangguan mobilitas fisik ini
dinyatakan dengan lemahnya anggota gerak seperti ekstremitas atas
(tanggan) atau ekstremitas bawah (kaki) terasa lemah saat digerakan,
hal ini menyebabkan klien dengan indikasi risiko jatuh. Adanya
kelemahan anggota gerak pada ektremitas bisa menimbulkan nyeri
akut yang disebabkan oleh spasmeotot paravertabrais iritasi serabut
saraf menimbulkan timbulnya Perasaan nyeri dan perasaan
ketidaknyamanan yang memicu Nyeri akut.
Selain itu pada lelumpuhan otot-otot bagian tubuuh yang terletak
dibawah tingkat lesi mengalami kerusakan mengalami perdarahan pada
susmsum tulang (hematomiela) yang menyebabkan perpindahan cairan
dari intrasaluler ke ekstrasaluler yang menyebabkan penurunan pada
aliran darah ke jaringan otak yang menyebabkan penurunan kesadaran,
penurunan kesadaran ini terjadi karena perfusi jaringan serebral tidak
efektif.
F. PEMERIKSAAN
1. Laboratorium : darah lengkap, LED, elektrolit (potasium,magnesium,
fosfat), LFT, Kadar B12 dan as.folat, serologi untuk siphilis, ANA,
PSA, TSH, Lumbal pungsi (LCS)
2. maging : Foto Thorax, Foto Lumbosacral, MRI
3. EMG, biopsi otot/saraf
4. Tensilon test (untuk myastenia gravis) CT scan kepala berupa
gambaran hipodens di seluruh teritori pembuluh darah yang
mengalami oklusi (infark luas), umumnya di daerah arteri serebri
media, dan disertai dengan gangguan jantung berupa FA.
5. Sinar X spinal: Menentukan lokasi dan jenis Trauma tulan (fraktur,
dislokasi), unutk kesejajaran, reduksi setelah dilakukan traksi atau
operasi
6. MRI: Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan
kompresi
7. Mielografi: Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral)
jika faktor putologisnya tidak jelas atau dicurigai adannya dilusi
pada ruang sub anakhnoid medulla spinalis (biasanya tidak akan
dilakukan setelah mengalami luka penetrasi).
8. Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vita, volume tidal) : mengukur
volume inspirasi maksimal khususnya pada pasien dengan trauma
servikat bagian bawah atau pada trauma torakal dengan gangguan
pada saraf frenikus /otot interkostal).
9. GDA : Menunjukan kefektifan penukaran gas atau upaya ventilas
(Nurarif A.H & Kusuma H, 2015).
G. MASALAH KEPERAWATAN YANG MUNCUL DAN
PENGERTIANNYA
1. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dng kelumpuhan
2. nyeri akut
3. risiko jatuh
4. risiko perfusi serebral tidak efektif
H. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. menurun
2. cukup menurun
3. sedang
4. cukup meningkat
5. meningkat
Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan X-FOTO Thorak AP
Tanggal : 20 november 2020
Hasil : cor tak membesar, pulmo dalam batas normal
b. Pemeriksaan MRI whole spine dengan aplikasi kontras dengan
menggunakan spinal coil. T1, t2 polongan sagital dan axial
Tanggal :21 november 2020
Hasil :
Bulhing disc L1-L2 disertai central canal stenosis grade i, tanpa
kompresi transversing nerve root.
Protrusiondisc L2-L3,L3-L4 dan L4-L5 disertai central canal
stenosis grade II-III dan kompresi trasversing nerve root L2, L3
dan L4 kanan kiri, exciting nerve root L3,L4 dan L5 kanan.
c. Pemeriksaan lab darah yang mengalami masalah
Tanggal : 18-11-2020
Hasil :
Hitung jenis
Kimia klinik
ANALISA DATA
DIAGNOSA KEPERAWATAN
INTERVENSI
1. menurun
2. cukup menurun
3. sedang
4. cukup meningkat
5. meningkat
2 Kamis 2 Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen nyeri (I.08238)
/19- selama 3 x 5 jam diharapkan masalah
11- keperawatan nyeri dapat teratasi dengan Observasi
2020, kriteria hasil :
10.30 - identifikasi lokasi,karakteristik,du
Tingkat nyeri (L.08066) kualitas, intensitas nyeri
1. menurun
2. cukup menurun
3. sedang
4. cukup meningkat
5. meningkat
Refleksi 2 4
saraf
Keterangan:
1) menurun
2) cukup menurun
3) sedang
4) cukup meningkat
5) meningkat
IMPLEMENTASI
EVALUASI
TGL/JAM NO DX EVALUASI
21-11- 1 S: Klien mengatakan bisa melakukan tirah baring
2020/16.10 O : klien melakukan tirah baring/ 2 jam sekali dengan bantuan istri
A : masalah keperawatan gangguan mobilitas fisik belum teratasi
P: Lanjutkan intervensi
1. latihan ROM pada ekstremitas
2. latihan tirah baring/2 jam
21-11- 2 S: Klien mengatakan sudah lebih baik
2020/16.10 O : TTD: 155/76 mmHg, N: 78×/menit, RR: 20×/menit,
P: Nyeri kaki saat berjalan dan berkurang saat duduk
Q: nyeri seperti ditusuk-tusuk
R: nyeri kaki kanan
S: skala 2
T: nyeri hilang timbul (dalam waktu 2-3 menit saat duduk atau berdiri)
A : masalah keperawatan nyeri akut teratasi
P: intervensi selesai
21-11- 3 S: Klien mengatakan sudah lebih baik
2020/16.10 O : TTD: 155/76 mmHg, N: 78×/menit, RR: 20×/menit,
A : masalah keperawatan risiko jatuh belum teratasi
P: intervensi dilanjutkan
- keamanan lingkungan untuk meminimalkan risiko jatuh
- melakukan edukasi pada keluarga untuk memperhatikan kondisi lingkungan
21-11- 4 S: Klien mengatakan sudah lebih baik
2020/16.10 O : TTD: 155/76 mmHg, N: 78×/menit, RR: 20×/menit,
A : masalah keperawatan risiko perfusi jaringan serebral tidak efektif
P: lanjutkan pemantauan SPO2 dan TTV untuk mengurangi risiko perfusi sarebra
BAB III
PEMBAHASAN
A. PEMBAHASAN
Pada penelitian yang berjudul Penatalaksanaan Resiko Penurunan
Perfusi Jaringan Cerebral padaPasien Hipertensi Emergency yang ditieliti
oleh Kristiana Sari Prasetya Dewi tahun 2020, Tujuan penelitian ini
untuk mengetahui penerapan latihan Range of Motion (ROM) pasif pada pasien
non haemoragik stroke dengan kelumpuhan ekstremitas. menjelaskan tindakan
atau terapi tirah baring bisa mengurangi rasa nyeri, mengurangi gangguan
mobilitas fisik dengan melakukan pergerakan miring kana-kiri, pada
diagnosa keperawatan gangguan mobilitas fisik bisa disarankan untuk
melakukan latihan ROM.
Menurut penelitian Elsi Rahmadani,E (2019) berjudul Peningkatan
Kekuatan Otot Pasien Stroke Non Hemoragik Dengan Hemiparese Melalui
Latihan Range Of Motion (Rom) Pasif bertujuan untuk Analisis
Peningkatan Kekuatan Otot pada Pasien Stroke Non-Hemoragik dengan
hemiparese melalui latihan pasif Range of Motion (ROM) menunjukan
hasil penelitian ini menunjukkan nilai ratarata kekuatan otot pre-test dan
post-test. Meningkat pada kelompok intervensi dan tidak ada peningkatan
pada kelompok kontrol. Nilai signifikan (p = 0,008) pada kelompok
intervensi dan (p = 0,5) pada kelompok kontrol. Simpulan, ada pengaruh
latihan range of motion terhadap kekuatan otot. Penelitian lain
menjelaskan Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Astrid et al., (2011) didapatkan hasil bahwa kekuatan otot meningkat
dan kemampuan fungsional meningkat secara signifikan setelah diberikan
latihan. Hal ini berarti latihan ROM berpengaruh terhadap peningkatan
kekuatan dan kemampuan fungsional pasien stroke dengan hemiparese.
Asuhan keperawatan pada Tn D perawat berfokus pada terapi tirah
baring dan latian Range Of Motion (ROM) untuk mengurangi ketegangan
pada otot akibat sering berbaring. Penerapan latihan Range Of Motion
(ROM) Pasif di jadwal rutin dua kali sehari pagi dan sore hari selama
enam hari dengan waktu pemberian 15-20 menit. Hal ini bertujuan
meningkatkan atau mempertahankan fleksibilitas dan kekutan
otot,mempertahankan fungsi jantung dan pernapasan, mencegah kekakuan
pada sendi,merangsang sirkulasi darah, dan pencegah kelainan bentuk,
kekakuan dan kontraktur. Dalam melakukan gerakan ROM harus diulang
sekitar 8 kali gerakan dan dikerjakan minimal 2 kali sehari, dilakukan
secara perlahan dan hati-hati agar tidak menyebabkan kelelahkan.
Latihan ROM pasif merupakan gerakan dimana energi yang
dikeluarkan untuk latihan berasal dari orang lain atau alat mekanik.
Perawat melakukan gerakan persendian klien sesuai dengan rentang
gerak yang normal, kekuatan otot yang digunakan pada gerakan ini
adalah 50%. ROM pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otot-
otot dan persendian dengan menggerakkan otot individu lain secara
pasif, misalnya perawat membantu mengangkat dan menggerakkan
kaki pasien. Sendi yang digerakkan pada ROM pasif adalah seluruh
persendian tubuh atau hanya pada ekstremitas yang terganggu dan
klien tidak mampu melaksanakannya secara mandiri (Maimurahman et al
, 2012). Penerapan latihan Range Of Motion (ROM) Pasif di jadwal
rutin dua kali sehari pagi dan sore hari selama enam hari dengan
waktu pemberian 15-20 menit. Hal ini bertujuan meningkatkan atau
mempertahankan fleksibilitas dan kekutan otot, mempertahankan
fungsi jantung dan pernapasan, mencegah kekakuan pada sendi,
merangsang sirkulasi darah, dan pencegah kelainan bentuk, kekakuan
dan kontraktu, pada lterapi ROM dilakukan dengan merencanakan
program latihan ROM diantaranya umur pasien, diagnosis, tanda vital, dan
lamanya tirah baring (Agusrianto,2020).
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dapat disimpulkan dari penjelasan paraprase inferior merupakan
suatu gangguan yang terjadi karena sistem imum yang kurang
menyebabkan cedera neural medula spinalis yang menyebabkan beberapa
fungsi tubuh terganggu. Salah satu masalah yang disebabkan adanya
cedera tersebut adalah gangguan mobolitas fisik atau keterbatasan anggota
gerak pada tubuh secara mandiri.
Masalah gangguan mobilitas fisik pada pasien belum teratasi dan
tingkatkan program tirah baring untuk meminimalkan resiko dekubitus.
B. SARAN
Dari susunan laporan pendahuluan dan asuhan keperawatan yang
terdapat dalam makalah bisa menjadi bahanpembelajaran dalam program
asuhan keperawatan kelolaan. Jika ada data yang salah atau tambahan data
bisa disampaikan ke penulis.
DAFTAR PUSTAKA
Astrid, M., Elly, E., & Budianto, B. (2011). Pengaruh Latihan Range of Motion
(ROM) terhadap Kekuatan Otot, Luas Gerak Sendi dan Kemampuan
Fungsional Pasien Stroke di RS Sint Carolus Jakarta. Jurnal Ilmu
Keperawatan dan Kebidanan, 1(4), 175-182
Nama : Tn, D
Keterangan:
NRM :02154786
Nama : Tn, D
Jenis kelamin :Laki-laki