Anda di halaman 1dari 8

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR METAKARPAL

1. DEFINISI

Fraktur metakarpal adalah terputusnya kontiunitas jaringan tulang dan di tentukan

sesuai jenis dan luasnya atau fraktur yang terjadi pada ujung jari karena trauma pada

sendi interfalang, atau terjadi pada metacarpal karena tidak tahan terhadap trauma

langsung ketika tangan mengepalatau dislokasi basis metacarpal (Brunner dan Suddart,

2002)

Fraktur atau patah tulang adalah keadaan dimana hubungan atau kesatuan jaringan

tulang terputus. Tulang mempunyai daya lentur (elastisitas) dengan kekuatan yang

memadai, apabila trauma melebihi dari daya lentur tersebut maka terjadi fraktur (patah

tulang). Fraktur tangan terjadi jika ada salah satu tulang di tangan yang patah.. Fraktur

pada tangan dapat terjadi di tulang kecil jari (falang) atau tulang panjang (metakarpal).

Cedera ini dapat diakibatkan terpuntir, jatuh, cedera terjepit, atau kontak langsung saat

berolahraga.

2. ETIOLOGI

Menurut Smeltzer dan Bare (2001), fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang

lebih besar dari yang dapat diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan

langsung, gaya remuk, gerakan puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem.

Meskipun tulang patah, jaringan sekitarnya juga akan berpengaruh mengakibatkan edema

jaringan lunak, perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi, rupture tendon, kerusakan

saraf, dan kerusakan pembuluh darah.

1
Patah tulang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan

sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang yang akan

menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. Penyebab

terjadinya fraktur adalah trauma, stres kronis dan berulang maupun pelunakan tulang

yang abnormal.

3. PATOFISIOLOGI

Fraktur pada tulang biasanya di sebabkan oleh adanya trauma atau benturan

langsung yang menyebabkan fraktur terbuka atau tertutup akan mengenai serabut saraf

yang dapat menimbulkan gangguan rasa nyaman dan nyeri. Selain itu dapat mengenai

tulang dan dapat terjadi revral vaskuler yang menimbulkan nyeri gerak sehingga

mobilitas fisik terganggu. Di samping itu fraktur terbuka dapat mengenaijaringan lunak

yang kemungkinan dapat terjadi infeksi dan kerusakan jaringan lunakakan

mengakibatkan kerusakan intergitas kulit.

4. JENIS-JENIS FRAKTUR

Untuk lebih sistematisnya, fraktur dapat dibagi sebagai berikut:

a. Lokasi

Fraktur dapat terjadi di berbagai tempat pada tulang seperti pada diafisis, metafisis,

epifisis, atau intraartikuler. Jika fraktur didapatkan bersamaan dengan dislokasi

sendi, maka dinamakan fraktur dislokasi.

b. Luas

Terbagi menjadi fraktur lengkap dan tidak lengkap.

1) Fraktur komplet: fraktur yang mengenai tulang secara keseluruhan dan biasanya

mengalami pergeseran.

2
2) Fraktur inkomplet: fraktur yang mengenai tulang secara parsial atau sebagian dari

garis tengah tulang, seperti:

 Hair line fraktur (garis fraktur hampir tidak tampak sehingga tidak ada

perubahan bentuk tulang/patah retak rambut)

 Buckle fraktur / torus fraktur (bila terjadi satu lipatan, satu korteks dengan

komprea tulang spongiosa dibawahnya)

 Greenstick fraktur (mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya

yang terjadi pada tulang panjang anak) (Smeltzer & Bare, 2001; Corwin,

2009).

c. Konfigurasi

Dilihat dari garis frakturnya, dapat dibagi menjadi transversal (mendatar), oblikaktur

tidak lengkap contohnya adalah retak. (miring), atau spiral (berpilin). Jika terdapat

lebih dari satu garis fraktur, maka dinamakan kominutif.

d. Hubungan antar bagian yang fraktur.

Antar bagian yang fraktur dapat masih berhubungan (undisplaced) atau terpisah

jauh (displaced).

e. Hubungan antara fraktur dengan jaringan sekitar.

Fraktur dapat dibagi menjadi fraktur terbuka (jika terdapat hubungan antara tulang

dengan dunia luar) atau fraktur tertutup (jika tidak terdapat hubungan antara fraktur

dengan dunia luar.

3
Fraktur terbuka digradasi menjadi:

 Grade I: luka bersih kurang dari 1 cm panjangnya.

 Grade II: luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif.

 Grade III: sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan jaringan lunak

ekstensif (Smeltzer & Bare, 2001)

f. Komplikasi

Fraktur dapat terjadi dengan disertai komplikasi, seperti gangguan saraf, otot,sendi,

dll atau tanpa komplikasi.

g. Berdasarkan Pergeseran

Terjadi pergeseran fragmen-fragmen fraktur yang juga disebut lokasi fragmen,

terbagi menjadi pergeseran searah sumbu dan overlapping, pergeseran membentuk

sudut, dan pergeseran di mana kedua fragmen saling menjauhi. Fraktur tidak

bergeser: garis patah komplit tetapi kedua fragmen tidak bergeser, periosteumnya

masih utuh (Mansjoer, 2000; Smeltzer & Bare, 2001)

5. Manifestasi Klinik

Tanda-tanda dan gejala tulang yang patah di tangan antara lain:

a. Pembekakan di lokasi fraktur

b. Nyeri dan sensitivitas

c. Perubahan bentuk jika tangan terlihat aneh

d. Ketidakmampuan menggerakkan jari/tangan, ini bisa diakibatkan nyeri atau

perubahan bentuk atau kombinasi keduanya

e. Jari tampak lebih pendek saat dibandingkan sisi yang normal

f. Jari yang menyilang ke arah jari sebelahnya saat akan mengepalkan tangan (Gbr 1)

4
g. Sendi jari tenggelam atau tidak terlihatnya sendi jari

Menurut Smeltzer dan Bare (2001), manifestasi klinis fraktur antara lain:

a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi.

b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak

secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid seperti normalnya.

Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas

(terlihat maupun teraba) ekstremitas yang bias diketahui dengan membandingkan

dengan ekstremitas normal.

c. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya kerena kontraksi

otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur.

d. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan

krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang lainnya.

e. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat trauma

dan perdarahan yang mengikuti fraktur

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Foto rontgen biasanya bisa menunjukkan adanya patah tulang. Hal yang perlu

diingat dalam pemeriksaan roentgen adalah hasilnya harus meliputi dua sendi, dua sisi,

dan dua tulang (kanan dan kiri). Kadang perlu dilakukan CT scan atau MRI untuk bisa

melihat dengan lebih jelas daerah yang mengalami kerusakan. Jika tulang mulai

membaik, foto rontgen juga digunakan untuk memantau penyembuhan

7. PENATALAKSANAAN

Tujuan dari pengobatan adalah untuk menempatkan ujung-ujung dari patah tulang

supaya satu sama lain saling berdekatan dan untuk menjaga agar mereka tetap menempel

5
sebagaimana mestinya. Proses penyembuhan memerlukan waktu minimal 4 minggu,

tetapi pada usia lanjut biasanya memerlukan waktu yang lebih lama. Setelah sembuh,

tulang biasanya kuat dan kembali berfungsi.

Tindakan atau imobilisasi bisa dilakukan melalui:

a. Pembidaian: benda keras yang ditempatkan di daerah sekeliling tulang.

b. Pemasangan gips: merupakan bahan kuat yang dibungkuskan di sekitar tulang

yang patah.

c. Penarikan (traksi): menggunakan beban untuk menahan sebuah anggota gerak

pada tempatnya. Sekarang sudah jarang digunakan, tetapi dulu pernah menjadi

pengobatan utama untuk patah tulang pinggul.

d. Fiksasi internal: dilakukan pembedahan untuk menempatkan piringan atau batang

logam pada pecahan-pecahan tulang. Merupakan pengobatan terbaik untuk patah

tulang pinggul dan patah tulang disertai komplikasi. Imobilisasi lengan atau

tungkai menyebabkan otot menjadi lemah dan menciut. Karena itu sebagian besar

penderita perlu menjalani terapi fisik. Terapi dimulai pada saat imobilisasi

dilakukan dan dilanjutkan sampai pembidaian, gips atau traksi telah dilepaskan.

Pada patah tulang tertentu (terutama patah tulang pinggul), untuk mencapai

penyembuhan total, penderita perlu menjalani terapi fisik selama 6-8 minggu atau

kadang lebih lama lagi.

6
7
DAFTAR PUSTAKA

Price, Sylvia A. dan Wilson, Lorraine M. W. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-

Proses Penyakit, vol. 2, ed 6. Jakarta: EGC

Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner

and Suddart, vol 2, Ed 8. Jakarta: EGC

Carpenito (2000), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis. Edisi 6. Jakarta:

EGC.

Corwin, E. J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi Revisi 3. Jakarta: EGC.

Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta:EGC

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem

Muskuloskeletal. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai