Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERWATAN ABSES LIVER

DISUSUN OLEH
SRI KURNIAWATI
090STYJ19

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PROGRAM STUDI NERS JENJANG PROFESI
MATARAM
2020
BAB I
TINJAUAN TEORI

A. Pengertian
Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan karena infeksi
bakteri, parasit, jamur maupun nekbrosis steril yang bersumber dari sistem
gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan
pus di dalam parenkim hati. Dan sering timbul sebagai komplikasi dari peradangan
akut saluran empedu (Anggunweb, 2010).
Pada umumnya abses hati dibagi dua yaitu abses hati amebik (AHA) dan abses
hati pyogenik (AHP). AHA merupakan komplikasi amebiasis ekstraintestinal yang
sering dijumpai di daerah tropik/ subtropik, termasuk indonesia. Abses hepar
pyogenik (AHP) dikenal juga sebagai hepatic abscess, bacterial liver abscess,
bacterial abscess of the liver, bacterial hepatic abscess (Anggunweb, 2010).
B. Etiologi
Abses Hati Amebik (AHA) merupakan infeksi hepar oleh Amuba yang
menghasilkan bentuk pus. Dari semua spesies amuba, hanya Entamoeba Hystolitica
yang patogen terhadap manusia. Infeksi dari organisme ini biasanya terjadi setelah
menelan air atau sayuran yang terkontaminasi, selain itu transmisi seksual juga dapat
terjadi. Kista adalah bentuk infektif dari organisme ini yang dapat bertahan hidup di
feses, tanah atau air yang sudah diberi klor. Infeksi amuba ini umumnya terjadi pada
daerah dengan sanitasi yang buruk yang hal ini dapat dilihat pada negara-negara
berkembang dengan suplai air yang terkontaminasi dan higiene perorangan yang
jelek. Daerah endemic penyakit ini terletak pada daerah tropis dan subtropis dari
belahan bumi, khususnya di daerah Afrika, Amerika Latin, Asia Tenggara dan India
(Ilmubedah.info, 2011).
Abses Hepar Piogenik (AHP) umumnya polimikrobial. Sebagian besar kuman
penyebabnya ditemukan dalam saluran cerna, seperti : E.Coli, Klebsiella
pneumoniae, Bacteroides sp, Enterococcus, Anaerobic sreptococcus sp,
Streptococcus “milleri” group Kuman lain yang dapat menyebabkan abses piogenik
yang tidak berasal dari saluran cerna adalah staphylococcus sp dan haemolytic
streptococcus sp. Secara historis abses hepar piogenik lebih banyak menyerang pria
daripada wanita (Ilmubedah.info, 2011).
C. Pathway
Infeksi kuman

Masuk dalam sistem


pencernaan

Vena porta sistem


bilier

Sistem arterial
hepatik

Hepar

Mengalami
kerusakan jaringan
Merangsang ujung hepar Merangsang

syaraf mengeluarkan pengeluaran sistensis

bradikinin, serotonin, zat pirogen oleh


Infeksi Peradangan
dan prostaglandin leukosit pada
jaringan yang
Rongga abses yang meradang
Implus disampaikan penuh cairan yang
SPP bagian kortek berisi leukosit mati
Melepaskan zat IL,
serebri dan hidup, sel hati
prostaglandin E²,
yang mencair serta
(pirogen leukosi dan
Thalamus bakteri
pirogen endogren

Abses
Infeksi Mencapai hepotalum

Produksi energi↓ Metabolis memenurun

Hipertermi

Intoleransi Intake nutrisi menurun


aktivitas

Gangguan nutrisi
kurang dari
kebutuhan tubuh
D. Manifestasi klinik
Gambaran kliniknya berupa sepsis tanpa atau dengan beberapa tanda yang
terbatas. Gejala deman disertai menggigil dan diaphoresis, malaise, anoreksia, mual,
muntah serta penurunan berat badan dapat terjadi. Pasien dapat mengeluh nyeri
tumpul pada abdomen dan nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen.
Hepatomegali, Asites, ikterus, anemia, dan efusi pleura dapat terjadi. Sepsis dan syok
juga dapat terjadi dan menyebabkan kematian (Brunner & Suddarth, 2001).
Manifestasi sistemik AHP lebih berat dari pada abses hati amebik. Dicurigai
adanya AHP apabila ditemukan sindrom klinis klisik berupa nyeri spontan perut
kanan atas, yang di tandai dengan jalan membungkuk kedepan dengan kedua tangan
diletakan di atasnya. Apabila AHP letaknya dekat digfragma, maka akan terjadi
iritasi diagfragma sehingga terjadi nyeri pada bahu sebelah kanan, batuk ataupun
terjadi atelektesis, rasa mual dan muntah, berkurangnya nafsu makan, terjadi
penurunan berat badan yang unintentional (Anggunweb, 2010).
E. Patofisiologi
Jika suatu infeksi terjadi dibagian mana pun di sepanjang saluran cerna,
mikroorganisme penyebab infeksi dapat mencapai hati melalui system bilier, system
vena porta, atau system arterial hepatic atau system limfatik. Sebagian besar bakteri
akan dihancurkan dengan segera, tapi sebagian lagi kadang-kadang dapat hidup dan
tumbuh. Toksin bakteri akan menghancurkan sel-sel hati disebelahnya, dan jaringan
nekrotik yang dihasilkan bekerja sebagai dinding pelindung bagi mikroorganisme
tersebut (Brunner & Suddarth, 2001).
Sementara itu, leukosit akan bermigrasi kedaerah yang terinfeksi. Akibat
bermigrasi ini adalah terbentuk rongga abses yang penuh dengan cairan yang berisi
leukosit yang mati dan hidup, sel-sel hati yang mencair serta bakteri. Abses piogenik
tipe ini dapat soliter, multiple dan berukuran kecil. Contoh-contoh penyebab abses
piogenik hati adalah kolangitis dan trauma abdomen (Brunner & Suddarth, 2001).
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk abses hepar adalah ((Ilmubedah.info, 2011).
 Laboratorium.
Pada AHA, Leukositosis ditemukan pada 70 % penderita, sedangkan
anemia ditemukan pada 50 % penderita. Tes fungsi hati kurang berperan dalam
penentuan diagnosis. Pada analisa feses hanya 15 – 50 % kasus ditemukan
bentuk Amuba kista atau troposoit.
Pada AHP, ditemukan Leukositosis dengan “shift to the left” terjadi pada
2/3 penderita, anemia dan hipoalbuminemia juga sering ditemukan.
Abnormalitas dari tes fungsi hati terjadi pada hampir semua penderita dan hal
ini merupakan penanda yang cukup sensitif untuk penyakit ini. Kenaikan kadar
alkali fosfatase dan gamma-glutamil transpeptidase terjadi pada 90 % kasus.
Hiperbilirubinemia terjadi jika sumber infeksi berasal dari traktus biliaris. Pada
kasus-kasus abses hepar piogenik sebaiknya dilakukan kultur darah tepi, hal ini
penting untuk diagnostik, penanganan dan prognosis dari penderita.
 Radiologi.
Ultrasonografi merupakan pemeriksaan pilihan dengan sensitivitas 70 –
80 % dibanding CT scan dengan sensitivitas 88 – 95 %. Gambaran abses
amuba seperti homogenitas lesi, gambaran echo parenkim hati yang menurun
dan dinding abses yang tipis.
Pada AHP, USG adalah pemeriksaan pertama yang dilakukan jika
dicurigai adanya “space occupying lession” pada hepar, sensitivitasnya
terhadap abses hepar 80 – 95 %. Lesi hanya dapat terlihat jika mempunyai Ø >
2 cm. Abses terlihat sebagai massa “hypoechoic” dengan batas yang tidak
teratur, tampak cavitas-cavitas/septum di dalam rongga abses.
MRI cukup sensitif akan tetapi penemuannya tidak spesifik.
Tm99 berguna untuk membedakan abses amuba dan piogenik. Dimana abses
amuba tidak mengandung leukosit sehingga tampak sebagai “cold lessions”
dengan “hot halo” disekelilingnya, sedangkan abses piogenik mengandung
banyak leukosit sehingga tampak sebagai “hot lessions” pada
scanning.Pemeriksaan lain seperti Gallium scanning dan hepatic angiography
dinilai kurang bermanfaat.
 Serologi
Biasanya sangat sulit untuk membedakan abses amuba dengan piogenik
berdasarkan kriteria klinis, laboratorium dan radiologi. Disini prosedur
pemeriksaan serologi penting untuk memastikan adanya infeksi amuba. Saat ini
tes-tes serologi yang biasa digunakan antara lain Indirect Hemaglutination
(IHA), Gel Diffusion Precipitin (GDP),The Enzim-Linked Immunosorbent
Assay (ELISA), Counterimmun electrophoresis, Indirect Immunofluorescent
dan Complement Fixation. Yang paling sering dan umum digunakan adalah
IHA dan GDP. IHA merupakan tes yang paling sensitif, dengan hasil positif
mencapai 90 – 100 % pada penderita dengan abses amuba.
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan abses hepar sebagai berikut (Junita, Widita & Soemohardjo, 2006) :
1. Obat-obatan
Metronidazole, merupakan derivat nitroimidazole. Dosis yang dianjurkan
untuk kasus abses hati ameba adalah 3 x 750 mg per hari selama 7 – 10 hari.
Derivat nitroimidazole lainnya yang dapat digunakan adalah tinidazole dengan
dosis 3 x 800 mg perhari selama 5 hari.
Dehydroemetine (DHE, Merupakan derivat diloxanine furoate. Dosis yang
direkomendasikan untuk mengatasi abses liver sebesar 3 x 500 mg perhari
selama 10 hari.
Chloroquin, Dosis yang dianjurkan adalah 1 g/hari selama 2 hari dan diikuti
500 mg/hari selama 20 hari.
2. Aspirasi
Apabila pengobatan medikamentosa dengan berbagai cara tersebut di atas tidak
berhasil (72 jam atau bila terapi dcngan metronidazol merupakan
kontraindikasi seperti pada kehamilan.
3. Drainase Perkutan
Drainase perkutan berguna pada penanganan komplikasi paru, peritoneum, dan
perikardial.
4. Drainase Bedah
Pembedahan diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil
mcmbaik dengan cara yang lebih konservatif. Juga diindikasikan untuk
perdarahan yang jarang tcrjadi tetapi mengancam jiwa penderita, disertai atau
tanpa adanya ruptur abses. Penderita dengan septikemia karena abses amuba
yang mengalami infeksi sekunder juga dicalonkan untuk tindakan bedah,
khususnya bila usaha dekompresi perkutan tidak berhasil Laparoskopi juga
dikedepankan untuk kemungkinannya dalam mengevaluasi terjadinya ruptur
abses amuba intraperitoneal.
H. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering adalah rupture abses sebesar 5 - 5,6 %. Ruptur dapat
terjadi ke pleura, paru, perikardium, usus, intraperitoneal atau kulit (Junita, Widita &
Soemohardjo, 2006).
BAB II

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Konsep Pengkajian keperawatan


1. Identitas klien
Meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, tempat tanggal lahir,
pekerjaan, suku bangsa,tanggal dan jam MRS, No register, Diagnosa medis.
2. Keluhan utama
Nyeri,panas, bengkak, dan kemerahan padadaerah abses
3. Riwayat penyakit sekarang
a. Abses di kulit atau bawah kulit sangat mudah dikenali, sedangkan abses
dalam seringkali sulit ditemukan
b. Riwayat trauma, seperti tertusuk jarum yang tidak steril atau terkena
peluru dll.
c. Riwayat ineksi (suhu tinggi) sebelumnya yang secara cepat menunjukkan
rasa sakit diikuti adanya eksudat tetapi tidak bisa di keluarkan.
4. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit menular dan kronis, seperti TBC dan Diabetes militus
5. Data dasar pengkajian pasien dengan Abses Hepar, meliputi. Doenges,E.M
(2000):
a. Aktivitas/istirahat, menunjukkan adanya kelemahan, kelelahan, terlalu
lemah, latergi, penurunan massa otot/tonus.
b. Sirkulasi, menunjukkan adanya gagal jantung kronis, kanker, distritmia,
bunyi jantung ekstra, distensi vena abdomen.
c. Eliminasi, Diare, Keringat pada malam hari menunjukkan adanya flatus,
distensi abdomen, penurunan/tidak ada bising usus, feses warna tanah
liat, melena, urine gelap pekat.
d. Makanan/cairan, menunjukkan adanya anoreksia, tidak toleran terhadap
makanan/tidak dapat mencerna, mual/muntah, penurunan berat badan
dan peningkatan cairan, edema, kulit kering, turgor buruk, ikterik.
e. Neurosensori, menunjukkan adanya perubahan mental, halusinasi, koma,
bicara tidak jelas.
f. Nyeri/kenyamanan, menunjukkan adanya nyeri abdomen kuadran kanan
atas, pruritas, sepsi perilaku berhati-hati/distraksi, focus pada diri
sendiri.
g. Pernapasan, menunjukkan adanya dispnea, takipnea, pernapasan
dangkal, bunyi napas tambahan, ekspansi paru terbatas, asites, hipoksia
h. Keamanan, menunjukkan adanya pruritas, demam, ikterik, angioma
spider, eritema.
6. Pemeriksaan Laboraturium dan Diagnostik
a. Hasil pemeriksaan leukosit menunjukan peningkatan jumlah sel darah
putih
b. Untuk menentukan ukuran dan lokasi abses dilakukan pemeriksaan
rontgen, USG, CT Scan atau MRI
B. Diagnosa Keperawatan, Intervensi dan Rasional

a. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan umum.


b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kegagalan masukan metabolik, anoreksia, mual/muntah.
c. Hipertermi berhunbungan dengan proses infeksi.
d. Nyeri berhubungan dengan kerusakan jaringan hepar.

C. Rencana keperawatan.
DX.I . Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan umum.
Tujuan : Klien menunjukkan perbaikan terhadap aktifitas.
Kriteria hasil :
 Mengekspresikan pemahaman tentang pentingnya perubahan tingkat
aktifitas.
 Meningkatkan aktifitas yang dilakukan sesuai dengan perkembangan
kekuatan otot.
Intervensi Rasional
1. Tingkatkan tirah baring, Meningkatkan ketenangan istirahat dan
ciptakan lingkunga yang menyediakan energi yang digunakan untuk
tenang. penyembuhan.
2. Tingkat aktifitas sesuai Tiarah baring lama dapat menurunkan
toleransi kemampuan. Ini dapat terjadi karena
keterbatasan aktifitas yang mengganggu
periode istirahat.
3. Awasi kadar enzim hepar. Membantu menurunkan kadar aktifitas
tepat, sebagai peningkatan prematur pada
potensial resiko berulang.

DX . II. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


kegagalan masukan metabolik, anoreksia, mual/ muntah
Tujuan : Klien menunjukkan status nutrisi yang adekuat.
Kriteria hasil :
 Nafsu makan baik.
 Tidak ada keluhan mual/muntah.
 Mencapai BB , mengarah kepada BB normal .
Intervensi Rasional
1. Awasi keluhan anoreksia, Berguna dalam mendefinisikan derajat
mual/muntah. luasnya masalah dan pilihan intervensi
yang tepat.
2. Awasi pemasukan Makan banyak sulit untuk mengatur bila
diet/jumlah kalori. klien anoreksia. Anoreksia juga paling
Berikan makanan sedikit buruk pada siang hari, membuat masukan
dalam frekwensi sering. makanan sulit pada sore hari.
3. Lakukan perawatan mulut Menghilangkan rasa tidak enak dan
sebelum makan. meningkatkan nafsu makan.
4. Timbang berat badan. Penurunan BB menunjukkan tidak
adekuatnya nutrisi klien.
5. Berikan obat vit. B Memperbaiki kekurangan dan membantu
kompleks, vit c dan proses penyembuhan.
tambahan diet lain sesuai
indikasi.

DX. III. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi.

Tujuan : Klien menujukkan suhu tubuh dalam batas normal

Kriteria hasil :

 Klien tidak mengeluh panas


 Badan tidak teraba hangat
 Suhu tubuh 36 – 37 0C
Intervensi Rasional

1. Kaji adanya keluahan Peningkatan suhu tubuh akan menujukkan


tanda – tanda berbagai gejala seperti uka merah, badan
peningkatan suhu tubuh
teraba hangat.

Demam disebabkan efek – efek dari


2. Monitor tanda –
endotoksin pada hipotalamus dan efinefrin
tanda vital terutama suhu
yang melepaskan pirogen
tubuh
Akxila merupakan jaringan tipis dan
terdapat pembulu darah sehingga akan
3. Berikan kompres
mempercepat pross konduksi dan dahi
hangat pada aksila/ dahi
berada didekat hipotalamus sehingga cepat
memberikan respon dalam mengatur suhu
tubuh.

DX. IV. Nyeri berhubungan dengan kerusakan jaringan hepar

Tujuan : klien mengungkapkan nyeri berkurang / teratasi


Intervensi Rasional

1. Kaji tingkat nyeri Mengetahui persepsi dan reaksi klien


terhadap nyeri serta sebagai dasar
keefektifan untuk intervensi selanjutnya

2. Monitor tanda – tanda Perubahan frekuwensi jantungatau TD


vital
menujukkan bahwa pasien mengalami nyeri,
khususnya bila alasan lain untuk perubahan
tanda vital talah terlihat

3. Berikan tindakan Tindakan non analgetik diberikan dengan


kenyamanan misalnya
sentuhan lembut dapat menghilangkan
perubahan posisi
relaksasi ketidaknyamanan

D. Implementasi Keperawatan

Pelaksanaan merupakan kategori dan prilaku keperawatan, dimana

perawat melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil

yang diperkirakan dari asuhan keperawatan Potter dan Perry (1999) pelaksanaan

mencakup melakukan, membantu atau mengarahkan kinerja aktivitas sehari-hari

dengan kata lain pelaksanaan mencangkup melakukan, membantu atau

mengarahkan kinerja aktivitas sehari-hari.

E. Evaluasi

Evaluasi merupakan keputuana atau pendapat tentang Carpenito dan

Moyet (2007) sedangkan menurut Rubenfeld dan Scheffer (1999). Evaluasi

adalah tindakan memeriksa setiap aktivitas dan apakah hasil yang diharapkan

telah tercapai.
Adapun tipe-tipe evaluasi yang harus perawat lakukan dalam asuhan

keperawatan kepada klien meliputi : evaluasi masalah kolaboratip yaitu

mengumpulkan data yang telah dipilih, membandingkan data untuk mencapai

data normal. Menilai data yang di dapat dengan nilai normal. Evaluasi diagnosis

keperawatan dan peningkatan pencapaian tujuan dan evaluasi dari status

perencanaan keperawatan dan hasil yang di dapat.

DAFTAR PUSTAKA
Anggun.Web. (2011). Abses Hati. Web Paling Anggun. Diakses tanggal 16 Juli 2011.
<http://www.anggun.web.id/abses-hati-liver-abscesses.html>.

Artikel bedah. (2011). Abses Hepar. Ilmubedah.Info. diakses tanggal 16 juli 2011.
<http://ilmubedah.info/Abses-Hepar-20110321.html>.

Brunner & Suddarth. (2002). Buku Ajar keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC

Doenges, E., Moorhouse, MF dan Geissler, A. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan.


Jakarta : EGC.

Robin S.L. dan Kumar V. 1995. Buku Ajar Patologi I. Jakarta : EGC.

Junita, A., Widita, H & Soemohardjo, S. ( 2006). Beberapa Kasus Abses Hati Amuba.
Jurnal Penyakit Dalam. V. 7 (2). p. 121-128

Anda mungkin juga menyukai