Anda di halaman 1dari 30

PENILAIAN SISTEMATIS SEBELUM, SAAT, DAN SETELAH BENCANA

PADA KORBAN, SURVIVOR, POPULASI RENTAN, DAN BERBASIS


KOMUNITAS

KEPERAWATAN BENCANA
Bq. Nurainun Apriani Idris, Ners.,M.Kep

DISUSUN OLEH
KELOMPOK II

Maya Novika. W 056 STYC 16 Raudatul. A 084 STYC 16


Mia Anjalia 059 STYC 16 Rifky Noviana Safitri 087 STYC 16
Mulisah 063 STYC 16 Ririn Kurnia 090 STYC 16
Nafiatul Amrah 066 STYC 16 Siti Maimunah 094 STYC 16
Ni Luh Pebri. P 069 STYC 16 Sukran 097 STYC 16
Nila Kurnia. S 073 STYC 16 Ummah 100 STYC 16
Nurhastutik 078 STYC 16 Yeni Sari 104 STYC 16
Putri Ningsih 081 STYC 16 Siti Hardianti Mulia 108 STYC 16

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN JENJANG S1
MATARAM
2019

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bencana (disaster) merupakan fenomena sosial akibat kolektif atas sistem
penyesuaian dalam merespon ancaman. Renspon itu bersifat jangka pendek yang
disebut mekanisme penyesuaian (coping mechanism) atau yang lebih jangka
panjang yang dikenal sebagai mekanisme adaptasi (adaptatif mechanism).
Mekanisme dalam menghadapi perubahan dalam jangka pendek terutama
bertujuan untuk mengakses kebutuhan hidup dasar: keamanan, sandang, pangan,
sedangkan jangka panjang bertujuan untuk memperkuat sumber-sumber
kehidupannya.
Masalah bencana akibat lingkungan mulai semakin mencuat ke
permukaan,baik yang disebabkan oleh proses alam itu sendiri maupun yang
disebabkan karena ulah manusia di dalam membangun sarana dan memenuhi
kebutuhan hidupnya. Kasus-kasus mengenai perubahan tata guna lahan di daerah
tangkapan air hujan di hulu menjadi padat penduduk karena berubah menjadi
pemukiman. Hal tersebut berdampak pada banjir yang sering terjadi di daerah
bawahnya atau daerah hilir. Konversi lahan ini sedikit banyak telah berpengaruh
terhadap menurunnya kualitas lingkungan.
Oleh karena itu di dalam proses pembangunan tidak dengan sendirinya
mengurangi risiko terhadap bahaya alam. Sebaliknya tanpa disadari
pembangunan dapat menciptakan bentuk-bentuk kerentanan baru atau
memperburuk kerentanan yang telah ada. Persoalan-persolaan yang muncul
sebagai akibat dari proses pembangunan ini perlu diarahkan pada suatu
paradigma pembangunan yang ramah lingkungan, yaitu “pembangunan yang
berkelanjutan” maka pembangunan tersebut harus didasarkan atas pengetahuan
yang lebih baik tentang karakteristik alam dan manusia (masyarakat).
Bencana apapun bentuknya memang tidak diinginkan. Sayangnya
kejadian pun terus saja ada. Berbagai usaha tidak jarang dianggap maksimal
tetapi kenyataan sering tidak terelakkan. Masih untung bagi kita yang
mengagungkan Tuhan sehingga segala kehendak-Nya bisa dimengerti, meski itu
berarti derita.

2
Banyak masalah yang berkaitan dengan bencana. Kehilangan dan
kerusakan termasuk yang paling sering harus dialami bersama datangnya bencana
itu. Harta benda dan manusia terpaksa harus direlakan, dan itu semua bukan
masalah yang mudah. Dalam arti mudah difahami dan mudah diterima oleh
mereka yang mengalami. Bayangkan saja harta yang dikumpulkan sedikit demi
sedikit, dipelihara bertahun-tahun lenyap seketika.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana penilaian sistematis sebelum, saat, dan setelah bencana pada korban,
survivor, populasi rentan, dan berbasis komunitas?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan mengidentifikasi penilaian sistematis sebelum, saat,
dan setelah bencana pada korban, survivor, populasi rentan, dan berbasis
komunitas.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui definisi risiko bencana
2. Untuk mengetahui konsep manajemen risiko bencana
3. Untuk mengetahui tujuan manajemen risiko bencana
4. Untuk mengetahui tahapan manajemen risiko bencana
5. Untuk mengetahui identifikasi dan penilaian risiko bencana
6. Untuk mengetahui sumberdaya penanganan bencana
7. Untuk mengetahui komunikasi dalam manajemen bencana
8. Untuk mengetahui investigasi dan pelaporan bencana
9. Untuk mengetahui inspeksi dan audit manajemen bencana

1.4 Sistematika Penulisan


1.4.1 Bab I. Pendahuluan, berisi pendahuluan yang menjelaskan latar belakang
masalah, rumusan masalah, maksud dan tujuan, sistematika penulisan,
metode penulisan.

3
1.4.2 Bab II. Tinjauan Teori, berisi pembahasan yang menjelaskan tentang
penilaian sistematis sebelum, saat, dan setelah bencana pada korban,
survivor, populasi rentan, dan berbasis komunitas.
1.4.3 Bab III. Penutup, berisi kesimpulan, dan saran.

1.5 Metode Penulisan


Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini yaitu dengan studi
keputusan. Studi kepustakaan adalah suatu metode pengumpulan data dengan
cara mencari, mengumpulkan, dan mempelajari materi-materi dari buku maupaun
dari media informasi lainnya dalam hal ini yang berkaitan dengan Ilmu
Keperawatan Kegawatdaruratan Bencana.

4
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi Risiko Bencana


Risiko bencana adalah potensi kerugian yang dinyatakan dalam hidup,
status kesehatan,mata pencaharian, aset dan jasa, yang dapat terjadi pada suatu
komunitas tertentu ataumasyarakat dalam suatu kurun waktu tertentu (UNISDR,
2009). Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana
pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka,
sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan
harta, dan gangguan kegiatan masyarakat.
Definisi risiko bencana mencerminkan konsep bencana sebagai hasil dari
hadirnya risiko secara terus menerus. Risiko bencana terdiri dari berbagai jenis
potensi kerugian yang sering sulit untuk diukur.Namun demikian, dengan
pengetahuan tentang bahaya, pola populasi, dan pembangunansosial-ekonomi,
risiko bencana dapat dinilai dan dipetakan, setidaknya dalam arti luas.

2.2 Konsep Manajemen Risiko Bencana


Suatu risiko dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya akibat buruk
(kerugian) yang tak diinginkan atau tidak terduga. Dengan kata lain
“kemungkinan” itu sudah menunjukkan adanya ketidakpastian. Ketidakpastian
itu merupakan kondisi yang menyebabkan tumbuhnya risiko. Dan jika dikaji
lebih lanjut “kondisi yang tidak pasti” itu timbul karena berbagai sebab, antara
lain; jarak waktu dimulai perencanaan, keterbatasan informasi yang diperlukan,
keterbatasan pengetahuan pengambil keputusan dan sebagainya.
1. Menurut Clough and Sears (1994 dikutip dalam Anonim 2009), Manajemen
risiko didefinisikan sebagai suatu pendekatan yang komprehensif untuk
menangani semua kejadian yang menimbulkan kerugian.
2. Menurut William, et.al (1995 dikutip dalam Anonim 2009) Manajemen risiko
juga merupakan suatu aplikasi dari manajemen umum yang mencoba untuk
mengidentifikasi, mengukur, dan menangani sebab dan akibat dari
ketidakpastian pada sebuah organisasi.

5
3. Dorfman (1998 dikutip dalam Anonim 2009) Manajemen risiko dikatakan
sebagai suatu proses logis dalam usahanya untuk memahami eksposur
terhadap suatu kerugian.
Manajemen risiko bencana adalah proses sistematis menggunakan arahan
administrasi, organisasi, dan keterampilan operasional dan kapasitas untuk
mengimplementasikan strategi, kebijakan dan peningkatan kapasitas
penanggulangan untuk mengurangi dampak merugikan dari bahaya dan
kemungkinan terjadinya bencana (UNISDR, 2009). Menurut Agus Rahmat
(2006:12) Manajemen Risiko Bencana merupakan seluruh kegiatan yang
meliputi aspek perencanaan dan penanggulangan bencana, pada sebelum, saat,
dan sesudah terjadi bencana yang dikenal sebagai siklus Manajemen Risiko
Bencana yang bertujuan antara lain:
1. Mencegah kehilangan jiwa seseorang
2. Mengurangi penderitaan manusia.
3. Memberikan informasi kepada masyarakat dan juga kepada pihak yang
berwenang mengenai risiko.
4. Mengurangi kerusakan insfrastruktur utama, harta benda dan kehilangan
sumber ekonomis lainnya.
Manajemen risiko bencana dibagi 2, yaitu:
1. Manajemen risiko bencana korektif, merupakan aktivitas pengelolaan yanga
mengatasi dan berupaya untuk mengoreksi atau mengurangi risko bencana
yang sudah ada
2. Manajemen risiko bencana prospektif, merupakan aktivitas-aktivitas
pengelolaan yang menangani dan berupaya menghindarkan berkembangnya
risiko bencana baru atau meningkatnya risiko bencana.

2.3 Tujuan Manajemen Risiko Bencana


Banyak pihak yang kurang menyadari pentingnya mengelola bencana
dengan baik. Saah satu faktor adalah karena bencana belum pasti tejadinya dan
tidak diketahui kapan akan terjadi. Sebagai akibatnya, manusia sering kurang
peduli, dan tidak melakukan langkah pengamanan dan pencegahan terhadap
berbagai kemungkinan yang dapat terjadi. Untuk itu diperlukan sistem
manajemen bencana yang bertujuan untuk:

6
1. Mempersiapkan diri menghadapi semua bencana atau kejadian yang tidak
diinginkan.
2. Menekan kerugian dan korban yang dapat timbul akibat dampak suatu
bencana atau kejadian.
3. Meningkatkan kesadaran semua pihakdalam masyarakat atau organisasai
tentang bencana sehingga terlibat dalam proses penanganan bencana
4. Melindungi anggota masyarakatdari bahaya atau dampak bencana sehingga
korban dan penderitaan yang dialami dapat dikurangi.

2.4 Tahapan Manajemen Risiko Bencana


Manajemen bencana merupakan suatu proses terencana yang dilakukan
untuk mengelola bencana dengan baik dan aman melalui 3 (tiga) tahapan sebagai
berikut:
1. Pra bencana
Tahapan manajemen bencana pada kondisi sebelum kejadian atau pra
bencana meliputi kesiagaan, peringatan dini dan mitigasi.
1) Kesiapsiagaan
Kesiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah
yang tepat guna dan berdaya guna. Kesiagaan adalah tahapan yang paling
strategis karena sangat menentukan ketahanan anggota masyarakat dalam
menghadapi datangnya suatu bencana.
2) Peringatan dini
Peringatan dini disampaikan dengan segera kepada semua pihak,
khususnya mereka yang potensi terkena bencana akan kemungkinan
datangnya suatu bencana di daerahnya masing-masing. Peringatan
didasarkan berbagai informasi teknis dan ilmiah yang dimiliki diolah atau
diterima dari pihak berwenang mengenai kemungkinan datangnya suatu
bencana.
3) Mitigasi
Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 tahun 2008, mitigasi
bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik

7
melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Mitigasi adalah upaya untuk mencegah atau mengurangi dampak
yang ditimbulkan akibat suatu bencana. Mitigasi harus dilakukan secara
terencana dan komprehensif melalui berbagai upaya dan pendekatan
antara lain:
1) Pendekatan teknis
Secara teknis mitigasi bencana dilakukan untuk mengurangi dampak
suatu bencana misalnya membuat material yang tahan terhadap
bencana, dan membuat rancanagan pengaman, misalnya tanggul
banjir, lumpur dan lain sebagainya.
2) Pendekatan manusia
Pendekatan manusia ditujukan untuk membentuk manusia yang
paham dan sadar mengenai bahaya bencana. Untuk itu perilaku dan
cara hidup manusia harus dapat diperbaiki dan disesuaikan dengan
kondisi lingkungan dan potensi bencana yang dihadapinya.
3) Pendekatan admisnistratif
Pemerintah atau pimpinan organisasi dapat melakukan pendekatan
administratif dalam manajemen bencana, khususnya di tahap mitigasi
sebagai contoh:
a) Penyususnan tata ruang dan tata lahan yang memperhitungkan
aspek risiko bencana
b) Penerapan kajian bencana untuk setiap kegiatan dan pembangunan
industry berisiko tinggi.
c) Menyiapkan prosedur tanggap darurat dan organisasi tanggap
darurat di setiap organisasi baik pemerintahan maupun industry
berisiko tinggi.
4) Pendekatan kultural
Pendekatan kultural diperlukan untuk meningkatkan kesadaran
mengenai bencana. Melalui pendekatan kultural, pencegahan bencana
disesuaikan dengan kearifan masyarakat lokal yang telah mebudaya
sejak lama.

8
2. Saat Bencana
Tahapan paling krusial dalam sistem manajemen bencana adalah saat
bencana sesungguhnya terjadi. Mungkin telah melalui proses peringatan dini,
maupun tanpa peringatan atau terjadi secara tiba-tba. Oleh karena itu
diperlukan langkah-langkah seperti tanggap darurat untuk dapat mengatasi
dampak bencana dengan cepat dan tepat agar jumlah korban atau kerugian
dapat diminimalkan.
1) Tanggap darurat
Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani
dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan
dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar,
perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan
sarana prasarana. Tindakan ini dilakukan oleh Tim penanggulangan
bencana yang dibentuk dimasing-masing daerah atau organisasi.
Menurut PP No. 11, langkah-langkah yangdilakukan dalm kondisi
tanggap darurat antara lain:
a) Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan
sumberdaya, sehingga dapat diketahui dan diperkirakan magnitude
bencana, luas area yang terkena dan perkiraan tingkat kerusakannya.
b) Penentuan status keadaan darurat bencana.
c) Berdasarkan penilaian awal dapat diperkirakan tingkat bencana
sehingga dapat pula ditentukan status keadaan darurat. Jika tingkat
bencana terlalu besar dan berdampak luas, mungkin bencana tersebut
dapat digolongkan sebagai bencana nasional.
d) Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana.
Langkah selanjutnya adalah melakukan penyelamatan dan
evakuasi korban bencana. Hal yang dapat dilakukan antara lain:
a) Pemenuhan kebutuhan dasar
b) Perlindungan terhadap kelompok rentan (anak-anak, lansia, orang
dengan keterbatasan fisik, pasien rumah sakit, dan kelompok yang
dikategorikan lemah)
c) Pemulihan dengan segera sarana dan prasarana vital.

9
Selama kegiatan tanggap darurat, upaya yang dilakukan adalah
menanggulangi bencana yang terjadi sesuai dengan sifat dan jenisnya.
Penanggulangan bencana memerlukan keahlian dan pendekatan khusus
menurut kondisi dan skala kejadian.
Tim tanggap darurat diharapkan mampu menangani segala bentuk
bencana. Oleh karena itu Tim tanggap darurat harus diorganisisr dan
dirancang untuk dapat menangani berbagai jenis bencana.

3. Pasca Bencana
Setelah bencana terjadi dan setelah proses tanggap darurat dilewati,
maka langkah berikutnya adalah melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi.
1) Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek
pelayanan public atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada
wilayah pasca bencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau
berjalannya secara wajarsemua aspek pemerintahan dan kehidupan
masyarakat pada wilayah pascabencana.
2) Rekonstruksi
Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan
sarana, kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat
pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan
berkembangnya kegiatan perekonomian, social, dan budaya, tegaknya
hukum, dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam
segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pasca bencana

2.5 Identifikasi dan Penilaian Risiko Bencana


Langkah awal dalam perspektif manajemen risiko adalah melakukan
identifikasi risiko. Keberhasilan suatu proses manajemen risiko bencana sangat
ditentukan oleh kemampuan dalam menentukan atau mengidentifikasi semua
risiko dan penyebab bencana. Salah satu aspek penting dalam identifikasi risiko
adalah mendaftar risiko sebanyak mungkin. Dalam manajemen risiko bencana,
identifikasi risiko dapat dimulai dari mendaftar jenis risiko, factor bahaya, factor
kerentanan dan kapasitas.

10
Unsur berikutnya dalam sistem manajemen bencana adalah identifikasi
dan penilaian risiko bencana. Identifikasi bencana mutlak diperlukan sebelum
mengembangkan sistem manajemen bencana.
Menurut PP No. 21 tahun 2008 , risiko bencana adalah potensi kerugian
yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu
dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman,
mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta. Dan gangguan kegiatan masyarakat.
Persyaratan analisi risiko bencana sebagaimana ditetapkan dalam PP
tersebut antara lain sebagai berikut (Peraturan Kepala BNPB No. 04 Tahun
2008):
1) Tujuan identifikasi bencana adalah untuk mengetahui dan menilai tingkat
risiko dari suatu kondisi atau kegiatan yang dapat menimbulkan bencana.
2) Persyaratan analisis risiko bencana disusun dan ditetapkan oleh kepala BNPB
dengan melibatkan instansi/lembaga terkait.
3) Persyaratan analisi bencana digunakan sebagai dasar dalam penyususnan
analisis mengenai dampak lingkungan, penaataan ruang serta pengambilan
tindakan pencegahan dan mitigasi bencana.
4) Pasal 12: setiap kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi
menimbulkan bencana, wajib dilengkapi dengan analisis risiko bencana.
5) Analisis risiko bencana sebagaimana dimaksud disusun berdasarkan
persyaratan analisis risiko bencana melalui penelitian dan pengkajian
terhadap suatu kondisi atau kegiatan yang mempunyai risiko tinggi
menimbulkan bencana.
6) Analisis risiko bencana dituangkan dalam bentuk dokumen yang disahkan
oleh pejabat pemerintahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
7) BNPB atau BNBD sesuai dengan kewenangannya melakukan pemantauan
dan evaluasi terhadap pelaksaan analisis risiko bencana.
Berdasarkan peraturan di atas, jelas terlihat bahwa setiap organisasi atau
kegiatan yang mengandung risiko bencana tinggi wajib melakukan Analisis
Risiko Bencana (ARISCANA). ARISCANA dilakukan dengan tujuan untuk
memperoleh informasi dan data mengenai potensi bencana yang mungkin dapat
terjadi dilingkungan masing-masing serta potensi atau tingkat risiko atau
keparahannya.

11
Risiko adalah merupakan kombinasi antara kemungkinan dengan tingkat
keparahan bencana yang mungkin terjadi.
Semakin tinggi ancaman bahaya di suatu daerah, maka semakin tinggi
risiko daerah tersebut terkena bencana. Demikian pula semakin tinggi tingkat
kerentanan masayarakat atau penduduk, maka semakin tinggi pula tingkat
risikonya. Tetapi sebaliknya, semakin tinggi tingkat kemampuan masyarakat,
maka semakin kecil risiko yang dihadapinya. Dengan menggunakan perhitungan
analisis risiko dapat ditentukan tingkat besaran risiko yang dihadapi oleh daerah
yang bersangkutan.
Sebagai langkah sederhana untuk pengkajian risiko adalah pengenalan
bahaya/ancaman di daerah yang bersangkutan. Semua bahaya/ancaman tersebut
diinventarisasi, kemudian di perkirakan kemungkinan terjadinya
(probabilitasnya) dengan rincian:

Nilai Probabilitas Keterangan


5 Pasti hampir dipastikan 80 – 99%
60-80% terjadi tahun depan, atau sekali
4 Kemungkinan Besar
dalam 10 tahun mendatang
40-60% terjadi tahun depan, atau sekali
3 Kemungkinan terjadi
dalam 100 tahun
2 Kemungkinan kecil 20-40% terjadi dalam 100 tahun
1 Kemungkinan sangat kecil Hingga 20%

Jika probabilitas di atas dilengkapi dengan perkiraan dampaknya apabila


bencana itu memang terjadi dengan pertimbangan faktor dampak antara lain:
1) Jumlah korban;
2) Kerugian harta benda;
3) Kerusakan prasarana dan sarana;
4) Cakupan luas wilayah yang terkena bencana; dan
5) Dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan,
Maka, jika dampak ini pun diberi bobot sebagai berikut:

Nilai Dampak Keterangan


5 Sangat parah 80 – 90% wilayah hancur dan lumpuh total
4 Parah 60-80% wilayah hancur

12
3 Sedang 40-60% wilayah rusak
2 Ringan 20-40% wilayah rusak
1 Sangat Ringan < 20% wilayah rusak

Maka akan didapat tabel sebagaimana contoh di bawah ini :

No Jenis Ancaman Bahaya Probabilitas Dampak


1 Gempa Bumi diikuti tsunami 1 4
2 Tanah Longsor 4 2
3 Banjir 4 3
4 Kekeringan 3 1
5 Angin Puting beliung 2 2

Gambaran potensi ancaman di atas dapat ditampilkan dengan model lain


dengan tiga warna berbeda yang sekaligus dapat menggambarkan prioritas
seperti berikut:

Dampak
Probabilitas
1 2 3 4 5
5
Tanah
4 Banjir
longsor
3 kekeringan
Puting
2
beliung
Gempa
1 bumi dan
tsunami

Berdasarkan matriks diatas kita dapat memprioritaskan jenis ancaman


bahaya yang perlu ditangani.
Ancaman dinilai tingkat bahayanya dengan skala (3-1)
1) Bahaya/ancaman tinggi nilai 3 (merah)
2) Bahaya/ancaman sedang nilai 2
3) Bahaya/ancaman rendah nilai 1

13
Dari uraian di atas dapat disimpulkan proses manajemen bencana melalui tiga
langkah sebagai berikut:
1) Identifikasi bencana
2) Penilaian dan evaluasi risiko bencana
3) Menentukan pengendalian bencana
Identifikasi bencana dilakukan dengan melihat berbagai aspek yang ada
disuatu daerah atau perusahaan, seperti lokasi, jenis kegiatan, kondisi geografis,
cuaca, alam, aktivitas manusia, dan industry, sumberdaya alam serta sumber
lainnya yang berpotensi menimbulkan bencana. Identifikasi bencana ini dapat
didasarkan pada pengalaman bencana sebelumnya dan prediksi kemungkinan
suatu bencana yang dapat terjadi.
Pengkajian/penilaian risiko bencana dilaksanakan dengan mengkaji dan
memetakan tingkat bahaya, tingkat kerentanan dan tingkat kapasitas berdasarkan
indeks bahaya, indeks penduduk terpapar, indeks kerugian dan indeks kapasitas.
(Ruswandi, 2014).
Pengkajian/penilaian risiko bencana merupakan sebuah pendekatan untuk
memperlihatkan potensi dampak negatif yang mungkin timbul akibat suatu
potensi bencana yang melanda. Potensi dampak negatif yang timbul dihitung
berdasarkan tingkat kerentanan dan kapasitas kawasan tersebut. Potensi dampak
negatif ini dilihat dari potensi jumlah jiwa yang terpapar, kerugian harta benda,
dan kerusakan lingkungan. (BNPB, 2012)
Penting untuk dicatat bahwa pendekatan ini tidak dapat disamakan
dengan rumus matematika. Pendekatan ini digunakan untuk memperlihatkan
hubungan antara ancaman, kerentanan dan kapasitas yang membangun perspektif
tingkat risiko bencana suatu kawasan.
Berdasarkan pendekatan tersebut, terlihat bahwa tingkat risiko bencana
amat bergantung pada :
1) Tingkat ancaman kawasan;
2) Tngkat kerentanan kawasan yang terancam;
3) Tingkat kapasitas kawasan yang terancam.
Upaya pengkajian risiko bencana pada dasarnya adalah menentukan
besaran 3 komponen risiko tersebut dan menyajikannya dalam bentuk spasial
maupun non spasial agar mudah dimengerti. Pengkajian risiko bencana

14
digunakan sebagai landasan penyelenggaraan penanggulangan bencana disuatu
kawasan. Penyelenggaraan ini dimaksudkan untuk mengurangi risiko bencana.
Upaya pengurangan risiko bencana berupa :
1) Memperkecil ancaman kawasan;
2) Mengurangi kerentanan kawasan yang terancam;
3) Meningkatkan kapasitas kawasan yang terancam.

1. Prinsip Pengkajian/Penilaian Risiko Bencana


Pengkajian/penilaian risiko bencana memiliki ciri khas yang menjadi prinsip
pengkajian. Oleh karenanya pengkajian dilaksanakan berdasarkan :
1) Data dan segala bentuk rekaman kejadian yang ada
2) Integrasi analisis probabilitas kejadian ancaman dari para ahli dengan
kearifan lokal masyarakat
3) kemampuan untuk menghitung potensi jumlah jiwa terpapar, kerugian
harta benda dan kerusakan lingkungan
4) Kemampuan untuk diterjemahkan menjadi kebijakan pengurangan risiko
bencana
2. Fungsi Pengkajian Risiko Bencana
Pada tatanan pemerintah, hasil dari pengkajian risiko bencana
digunakan sebagai dasar untuk menyusun kebijakan penanggulangan
bencana. Kebijakan ini nantinya merupakan dasar bagi penyusunan Rencana
Penanggulangan Bencana yang merupakan mekanisme untuk
mengarusutamakan penanggulangan bencana dalam rencana pembangunan.
Pada tatanan mitra pemerintah, hasil dari pengkajian risiko bencana
digunakan sebagai dasar untuk melakukan aksi pendampingan maupun
intervensi teknis langsung ke komunitas terpapar untuk mengurangi risiko
bencana. Pendampingan dan intervensi para mitra harus dilaksanakan dengan
berkoordinasi dan tersinkronasi terlebih dahulu dengan program pemerintah
dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Pada tatanan masyarakat
umum, hasil dari pengkajian risiko bencana digunakan sebagai salah satu
dasar untuk menyusun aksi praktis dalam rangka kesiapsiagaan, seperti
menyusun rencana dan jalur evakuasi, pengambilan keputusan daerah tempat
tinggal dan sebagainya.

15
3. Pengkajian risiko bencana
Pengkajian risiko bencana dapat dilaksanakan oleh lembaga mana
pun, baik akademisi, dunia usaha maupun LSM atau pun organisasi lainnya
asal tetap dibawah tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah dengan
menggunakan metode yang telah ditetapkan oleh BNPB.
Komponen pengkajian risiko bencana terdiri dari ancaman,
kerentanan dan kapasitas. Komponen ini digunakan untuk memperoleh
tingkat risiko bencana suatu kawasan dengan menghitung potensi jiwa
terpapar, kerugian harta benda dan kerusakan lingkungan. Selain tingkat
risiko, kajian diharapkan mampu menghasilkan peta risiko untuk setiap
bencana yang ada pada suatu kawasan. Kajian dan peta risiko bencana ini
harus mampu menjadi dasar yang memadai bagi daerah untuk menyusun
kebijakan penanggulangan bencana. Ditingkat masyarakat hasil pengkajian
diharapkan dapat dijadikan dasar yang kuat dalam perencanaan upaya
pengurangan risiko bencana.
1) Prasyarat Umum
a. Memenuhi aturan tingkat kedetailan analisis (kedalaman analisis di
tingkat nasional minimal hingga kabupaten/kota, kedalaman analisis
di tingkat provinsi minimal hingga kecamatan, kedalaman analisis di
tingkat kabupaten/kota minimal hingga tingkat kelurahan/desa/kam-
pung/nagari).
b. Skala peta minimal adalah 1:250.000 untuk provinsi; peta dengan
skala 1:50.000 untuk kabupaten/kota di Pulau Sumatera, Kalimantan
dan Sulawesi; peta dengan skala 1:25.000 untuk kabupaten/kota di
Pulau Jawa dan Nusa Tenggara.
c. Mampu menghitung jumlah jiwa terpapar bencana (dalam jiwa).
d. Mampu menghitung nilai kerugian harta benda dan kerusakan
lingkungan (dalam rupiah).
e. Menggunakan 3 kelas interval tingkat risiko, yaitu tingkat risiko
tinggi, sedang dan rendah.
f. Menggunakan GIS dengan Analisis Grid (1 ha) dalam pemetaan risiko
bencana

16
2. Metode Umum
Pengkajian risiko bencana dilaksanakan dengan menggunakan metode pada
gambar 1.

Gambar 1. Metode Pengkajian Risiko Bencana


Sumber: Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Nomor 02 Tahun 2012
Pengkajian risiko bencana pada Gambar 1, akan menghasilkan indeks
risiko bencana yang disusun berdasarkan komponen bahaya, kerugian dan
kapasitas. Komponen bahaya disusun berdasarkan parameter intensitas dan
probabilitas kejadian. Komponen kerugian disusun berdasarkan parameter
sosial budaya, ekonomi, fisik, dan lingkungan. Komponen kapasitas disusun
berdasarkan parameter kapasitas regulasi, kelembagaan, sistem peringatan
dini, pendidikan, pelatihan, keterampilan, mitigasi, dan sistem kesiapsiagaan.
Hasil pengkajian risiko bencana terdiri dari 2 bagian yaitu peta risiko bencana
dan dokumen kajian risiko bencana.

17
Mekanisme penyusunan Peta Risiko Bencana saling terkait dengan
mekanisme penyusunan Dokumen Kajian Risiko Bencana. Peta Risiko
Bencana menghasilkan landasan penentuan tingkat risiko bencana yang
merupakan salah satu komponen capaian Dokumen Kajian Risiko Bencana.
Selain itu Dokumen Kajian Bencana juga harus menyajikan kebijakan
minimum penanggulangan bencana daerah yang ditujukan untuk mengurangi
jumlah jiwa terpapar, kerugian harta benda dan kerusakan lingkungan.
3. Metode Penyusunan Peta Risiko Bencana
Metode Pemetaan Risiko Bencana dapat dilihat pada gambar 2.

Pada gambar 2 terlihat bahwa Peta Risiko Bencana merupakan overlay


(penggabungan) dari Peta Ancaman, Peta Kerentanan dan Peta Kapasitas.
Peta-peta tersebut diperoleh dari berbagai indeks yang dihitung dari data-
data dan metode perhitungan tersendiri.
Penting untuk dicatat bahwa peta risiko bencana dibuat untuk setiap jenis
ancaman bencana yang ada pada suatu kawasan. Metode perhitungan dan
data yang dibutuhkan untuk menghitung berbagai indeks akan berbeda untuk
setiap jenis ancaman.

18
4. Metode Penyusunan Dokumen Kajian Risiko Bencana
Metode penyusunan Dokumen Kajian Risiko Bencana dapat dilihat pada
gambar 3

Gambar 3 memperlihatkan bahwa Kajian Risiko Bencana diperoleh dari


indeks dan data yang sama dengan penyusunan Peta Risiko Bencana.
Perbedaan yang terjadi hanya pada urutan penggunaan masing-masing
indeks. Urutan ini berubah disebabkan jiwa manusia tidak dapat dinilai
dengan rupiah. Oleh karena itu, Tingkat Ancaman yang telah
memperhitungkan Indeks Ancaman di dalamnya, menjadi dasar bagi
perhitungan Tingkat Kerugian dan Tingkat Kapasitas. Gabungan Tingkat
Kerugian dan Tingkat Kapasitas merupakan Tingkat Risiko Bencana.

5. Korelasi Penyusunan Peta dan Dokumen Kajian


Seperti yang terlihat pada gambar 2 dan gambar 3, korelasi antara metode
penyusunan Peta Risiko Bencana dan Dokumen Kajian Risiko Bencana

19
terletak pada seluruh indeks penyusunnya. Indeks-indeks tersebut bila
diperhatikan kembali disusun berdasarkan komponen-komponen yang telah
dipaparkan pada gambar 1. Korelasi penyusunan Peta dan Dokumen Kajian
Risiko Bencana merupakan Metode Umum Pengkajian Risiko Bencana
Indonesia, dapat dilihat pada gambar 4.

6. Metode Penghitungan Indeks


Pengkajian Risiko Bencana disusun berdasarkan indeks-indeks yang telah
ditentukan. Indeks tersebut terdiri dari Indeks Ancaman, Indeks Penduduk
Terpapar, Indeks Kerugian dan Indeks Kapasitas. Kecuali Indeks Kapasitas,
indeks-indeks yang lain amat bergantung pada jenis ancaman bencana. Indeks
Kapasitas dibedakan berdasarkan kawasan administrasi kajian. Pengkhususan
ini disebabkan Indeks Kapasitas difokuskan kepada institusi pemerintah di
kawasan kajian.
Indonesia secara garis besar memiliki 13 Ancaman Bencana.
Ancaman tersebut adalah : 1. Gempabumi 2. Tsunami 3. Banjir 4. Tanah
Longsor 5. Letusan Gunung Api 6. Gelombang Ekstrim dan Abrasi 7. Cuaca
Ekstrim 8. Kekeringan 9. Kebakaran Hutan dan Lahan 10. Kebakaran
Gedung dan Pemukiman 11. Epidemi dan Wabah Penyakit 12. Gagal
Teknologi 13. Konflik Sosial.
1) Analisis tingkat risiko bencana Kabupaten/Kota

20
a. Klasifikasi Data Data yang digunakan merupakan data hasil kajian
risiko yang terdiri dari data: (1) bahaya per jenis bencana, (2) jiwa
terpapar per jenis bencana, (3) kerugian rupiah per jenis bencana, (4)
kerusakan lingkungan (ha) per jenis bencana dan (5) kapasitas
pemerintah daerah per kabupaten/kota.

b. Pembobotan

Penentuan bobot per jenis bahaya (parameter 1) ditentukan


berdasarkan hubungan antara frekuensi kejadian dengan ada tidaknya
peringatan. Dari Tabel 1 di bawah ini terlihat bobot per jenis bahaya
dan nilai tingkat bahaya 1 untuk rendah, 2 untuk sedang dan 3 untuk
tinggi. Bobot kerentanan (parameter 2) berbeda untuk masing-masing
jenis bahaya yang dihitung berdasarkan indeks penduduk terpapar
dalam jiwa, kerugian dalam rupiah dan kerusakan lingkungan dalam
hektar seperti ditunjukkan pada Tabel 1 di bawah. Komponen
kapasitas (parameter 3) disusun untuk semua jenis bencana
21
berdasarkan parameter kapasitas regulasi, kelembagaan, sistem
peringatan dini, pendidikan, pelatihan, keterampilan, mitigasi, dan
sistem kesiapsiagaan. Masing-masing parameter kemudian
dikelompokkan menjadi 3 kelas yang kemudian digunakan untuk
menghitung indeks risiko bencana dengan menggunakan rumus risiko
dibawah ini:

Penentuan interval kelas masingmasing indeks jenis bencana


dilakukan menggunakan nilai indeks dari kelas 1 untuk rendah, kelas
2 untuk sedang dan kelas 3 untuk tinggi. Penentuan skor untuk
masingmasing parameter dilakukan dengan metode pengkalian antara
kelas (1, 2, dan 3) dengan bobot yang telah ditentukan. Skor
masingmasing parameter kemudian dijumlahkan secara keseluruhan
untuk memperoleh skor total bencana di wilayah kabupaten. Tabel
berikut menjelaskan detil parameter, kelas, bobot dan skor yang
digunakan dalam metode ini.

Tabel 1. Penentuan bobot bahaya, kerentanan dan kapasitas per jenis


bahaya.
Skor
No Parameter Nilai Kelas Bobot
(Kelas*Bobot)
A. Bahaya (H)
1 4
1 Gempa bumi 2 4 8
3 12
1 4
2 Tsunami 2 4 8
3 12
100%
1 3
3 Letusan gunung api 2 3 6
3 9
1 4
4 Banjir 2 4 8
3 12

22
1 5
5 Tanah longsor 2 5 10
3 15
1 4
6 Kekeringan 2 4 8
3 12
1 4
Kebakaran lahan dan
7 2 4 8
hutan
3 12
1 4
8 Cuaca ekstrim 2 4 8
3 12
1 4
Gelombang
9 2 4 8
pasang/abrasi
3 12
B. Kerentanan (v)
1. Jiwa Terpapar (per km2)
< 500 1 0.4
Gempa Bumi 40%
1 500 - 1000 2 0.8
>1000 3 1.2
< 500 1 0.4
40%
2 500 - 1000 2 0.8
Tsunami
>1000 3 1.2
< 500 1 0.4
3 Letusan gunung api 500 - 1000 2 40% 0.8
>1000 3 1.2
< 500 1 0.4
4 Banjir 500 - 1000 2 40% 0.8
>1000 3 1.2
< 500 1 0.4
5 Tana longsor 500 - 1000 2 40% 0.8
>1000 3 1.2
< 500 1 0.4
6 Kekeringan 500 - 1000 2 40% 0.8
>1000 3 1.2
< 500 1 0.3
Kebakaran lahan dan
7 500 - 1000 2 30% 0.6
hutan
>1000 3 0.9
< 500 1 0.4
8 Cuaca ekstrim 500 - 1000 2 40% 0.8
>1000 3 1.2
< 500 1 0.4
Gelombang
9 500 - 1000 2 40% 0.8
pasang/abrasi
>1000 3 1.2
2. Kerugian (Miliyar Rupiah)
Gempa Bumi < 1,55 1 0.6
1 60%
1,55 - 3,30 2 1.2

23
>3,30 3 1.8
< 1,55 1 0.5
2 Tsunami 1,55 - 3,30 2 50% 1.0
>3,30 3 1.5
< 1,55 1 0.5
3 Letusan gunung api 1,55 - 3,30 2 50% 1.0
>3,30 3 1.5
< 1,55 1 0.5
4 Banjir 1,55 - 3,30 2 50% 1.0
>3,30 3 1.5
< 1,55 1 0.5
5 Tana longsor 1,55 - 3,30 2 50% 1.0
>3,30 3 1.5
< 1,55 1 0.3
6 Kekeringan 1,55 - 3,30 2 30% 0.6
>3,30 3 0.9
< 1,55 1 0.3
Kebakaran lahan dan
7 1,55 - 3,30 2 30% 0.6
hutan
>3,30 3 0.9
< 1,55 1 0.6
8 Cuaca ekstrim 1,55 - 3,30 2 60% 1.2
>3,30 3 1.8
< 1,55 1 0.5
Gelombang
9 1,55 - 3,30 2 50% 1.0
pasang/abrasi
>3,30 3 1.5
3. Kerusakan Lingkungan (HA)
0 1 0
Gempa Bumi
1 0 2 0% 0
0 3 0
< 55 1 0.1
2 Tsunami 55 - 155 2 10% 0.2
> 155 3 0.3
< 65 1 0.1
3 Letusan gunung api 65 - 185 2 10% 0.2
> 185 3 0.3
< 70 1 0.1
4 Banjir 70 - 205 2 10% 0.2
> 205 3 0.3
< 65 1 0.1
5 Tana longsor 65 - 185 2 10% 0.2
> 185 3 0.3
< 65 1 0.3
6 Kekeringan 65 - 185 2 30% 0.6
> 185 3 0.9
< 65 1 0.4
Kebakaran lahan dan
7 65 - 185 2 40% 0.8
hutan
> 185 3 1.2

24
0 1 0
8 Cuaca ekstrim 0 2 0% 0
0 3 0
< 70 1 0.1
Gelombang
9 70 - 205 2 10% 0.2
pasang/abrasi
> 205 3 0.3
C. Kapasitas (C)
< 55 1 1
Kapasitas Daerah 55 - 85 2 100% 2
> 85 3 3
D. Indeks Risiko (R = H * V/C)
C1 C2 C3
Rendah 4.00 2.00 1.33
Gempa Bumi
1 Sedang 16.00 8.00 5.33
Tinggi 36.00 18.00 12.00
Rendah 4.00 2.00 1.33
2 Tsunami Sedang 16.00 8.00 5.33
Tinggi 36.00 18.00 12.00
Rendah 4.00 2.00 1.33
3 Letusan gunung api Sedang 16.00 8.00 5.33
Tinggi 36.00 18.00 12.00
Rendah 4.00 2.00 1.33
4 Banjir Sedang 16.00 8.00 5.33
Tinggi 36.00 18.00 12.00
Rendah 4.00 2.00 1.33
5 Tana longsor Sedang 16.00 8.00 5.33
Tinggi 36.00 18.00 12.00
Rendah 4.00 2.00 1.33
6 Kekeringan Sedang 16.00 8.00 5.33
Tinggi 36.00 18.00 12.00
Rendah 4.00 2.00 1.33
Kebakaran lahan dan
7 Sedang 16.00 8.00 5.33
hutan
Tinggi 36.00 18.00 12.00
Rendah 4.00 2.00 1.33
8 Cuaca ekstrim Sedang 16.00 8.00 5.33
Tinggi 36.00 18.00 12.00
Rendah 4.00 2.00 1.33
Gelombang
9 Sedang 16.00 8.00 5.33
pasang/abrasi
Tinggi 36.00 18.00 12.00

7. Analisis tingkat risiko bencana Provinsi


Data yang digunakan pada analisis tingkat risiko provinsi adalah data
klasifikasi tingkat risiko bencana kabupaten/kota pada provinsi yang akan
dianalisis. Data lainnya adalah jumlah kabupaten dan kota di provinsi
tersebut. Dengan menggunakan skoring maksimal (S maks ) dan skoring
25
minimal (S min ), klasifikasi tingkat risiko bencana tingkat provinsi adalah
sebagai berikut :

Total Skoring Klasifikasi Resiko Tingkat Warna di Peta


Provinsi
Smin – ( Smin + Tingkat Risiko Rendah Hijau
X)
( Smin + X ) - ( Tingkat Risiko Sedang Kuning
Smin + 2X )
( Smin + 2X ) - Tingkat Risiko Berat Merah
Smaks

Dimana :
Tingkat Risiko Rendah, nilai : 1
Tingkat Risiko Sedang, niai : 2
Tingkat Risiko Tinggi, nilai : 3
N = jumlah kabupaten/kota dalam provinsi tersebut
Smin = N x 1
Smaks = N x 3
X = (Smaks – Smin)/3
Penggunaan metodologi ini dapat berubah pada waktu mendatang sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pembaruan data akan
terus dilakukan dan bekerjasama dengan instansi terkait dan pemerintah
daerah.
Berdasarkan hasil identifikasi bencana dilakukan penilaian kemungkinan
dan skala dampak yang mungkin ditimbulkan oelh bencana tersebut. Dengan
demikian dapat diketahui, apakah potensi sebuah bencana di suatu daerah
tergolong tinggi atau rendah.
1) Penilaian Risiko Bencana
Untuk menentukan tingkat risiko bencana tersebut, dapat dilakukan melalui
penilaian Risiko Bencana. Banyak Metoda yang dapat dilakukan untuk
menilai tingkat risiko bencana. Misalnya dengan menggunakan sistem
matriks seperti yang diuraikan di atas atau dengan menggunakan teknik yang
lebih kuantitatif missal dengan permodelan risiko.
2) Evaluasi Risiko

26
Berdasarkan hasil penilaian risiko tersebut, selanjutnya ditentukan peringkat
risiko yang mungkin timbul denganmempertimbangkan kerentanan dan
kemampuan menahan atau menanggung risiko. Risiko tersebut di bandingkan
dengan kriteria yang ditetapkan, misalnya oleh pemerintah atau berdasarkan
referensi yang ada.

8. Pengendalian Risiko Bencana


Berdasarkan hasil identifikasi dan analisa risiko yang telah dilakukan maka
langkah selanjutnya adalah menetapkan strategi pengendalian yang sesuai.
Pengendalian risiko bencana menurut konsep manajemen risiko dapat
dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut:
1) Mengurangi kemungkinan
Strategi pertama adalah dengan mengurangi kemungkinan terjadinya
bencana. Semua bencana pada dasarnya dapat dicegah, namun untuk
bencana alam terdapat pengecualian.
2) Mengurangi dampak atau keparahan
Jika kemungkinan bencana tidak dapat dikurangi atau dihilangkan, maka
langkah yang harus dilakukan adalah mengurangi keparahan atau
konsekuensi yang ditimbulkan. Berdasarkan hasil identifikasi bahaya,
penilaian risiko bencana dan langkah pengendalaian tersebut dapat
disusun analisa risiko bencana yang terperinci dan mendasar untuk
selanjutnya dikembangkan program kerja penerapannya.

2.6 Sumberdaya Penanganan Bencana


Penanganan bencana memerlukan sumberdaya yang memadai sesuai
dengan tingkat dan jenis bencana yang akan dihadapi. Oleh karena itu,
manajemen atau pimpinan tertinggi harus menyediakan sumberdaya yang
diperlukan untuk mengelola bencana di lingkungan masing-masing. Berbagai
sumberdaya yang diperlukan untuk menangani suatu bencana anta lain:
1. Sumberdaya manusia
Penanganan bencana memerlukan sumberdaya manusia yang memadai baik
dari segi jumlah mapun kompetensi dan kemampuannya. Oelh karena itu

27
sebelum menyusun sistem manajemen bencana yang baik, terlebih dahulu
harus diidentifikasi kebutuhan sumberdaya manusia yang diperlukan,
misalnya untuk Tim penanggulangan bencana, Tim medis, logistic, Tim
teknis, dan lain-lain.
2. Prasarana dan Material
Bencana tidak dapat ditanggulangi secara efektif dan cepat tanpa didukung
oleh prasarana dan logistic yang memadai. Prasarana dan material merupakan
unsur penting dalam mendukung keberhasilan penanggulangan bencana.
Banyak kejadian, dimana korban tidak berhasil ditolong karena tidak
tersedianya prasarana atau peralatan yang memadai sehingga jumlah korban
meningkat.
Oleh karena itu setiap daerah harus memiliki sarana minimal yang
diperlukan dalam suatu bencana sehingga keterlambatan dalam membantu
korban dapat dihindarkan. Jenis sarana yang diperlukan tentunya disesuaikan
dengan sifat bencana dan skala bencana yang mungkin terjadi sesuai hasil
identifikasi.
3. Sumberdaya finansial.
Kegiatan manajemen tanggap darurat jelas membutuhkan biaya, baik sebelum
maupun saat dan setelah bencana. Oleh karena itu komitmen manajemen atau
pimpinan tertinggi sangat diperlukan.

2.7 Komunikasi Dalam Manajemen Bencana


Selama keadaan darurat berlangsung, diperlukan komunikasi yang baik guna
menjamin kelancaran upaya penanggulangan. Komunikasi diperlukan dalam
sistem manajemen bencana mulai tahap perencanaaan, mitigasi, tanggap darurat,
sampai ke rehabilitasi. Komunikasi dalam manejemn bencana dapat
dikategorikan sebagai berikut:
1. Komunikasi organisasi tanggap darurat
2. Komunikasi kepada masyarakat
3. Komunikasi dengan pihak eksternal baik nasional maupun internasional.

28
2.8 Investigasi dan Pelaporan Bencana
Setiap kejadian bencana yang terjadi di suatu wilayah harus diinvestigasi dan
dilaporkan kepada instansi atau pihak yang ditunjuk, misalnya BNPB atau BPBD
kabupaten/kota. Investigasi atau penyelidikan bencana sangat diperlukan dengan
tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apa penyebab terjadinya bencana
2. Mengetahui kelemahan atau kelebihan yang terdapat dalam pelaksanaan
penanganan bencana yang dilakukan
3. Mengetahui efektivitas organisasi penanganan bencana yang ada
4. Menentukan langkah perbaikan atau pencegahan terulangnya suatu bencana
5. Sebagai masukan dalam melakukan perbaikan atau penyempurnaan sistem
manajemen bencana dan dalam menentukan kebijakan pembangunan.

2.9 Inspeksi dan Audit Manajemen Bencana


Elemen terakhir dalam sistem manajemen bencana adalah inspeksi dan
audit manajemen bencana. Salah satu upaya untuk mengevaluasi pelaksanaan
manajemen bencana adalah dengan melakukan audit.
Inspeksi adalah suatu upaya pemeriksaan rutin atau berkala untuk
memeriksa kesiapan penanganan bencana. Semua peralatan penanganan bencana
harus diperiksa dan diuji kelayakannya sehingga siap digunakan setiap saat.
Audit adalah salah satu upaya untuk mengevaluasi penerapan manajemen
bencana dalam suatu organisasi, apakah sudah sesuai atau telah memenuhi
persyaratan atau tolak ukur yang ditetapkan.

29
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Risiko bencana adalah potensi kerugian yang dinyatakan dalam hidup, status
kesehatan,mata pencaharian, aset dan jasa, yang dapat terjadi pada suatu
komunitas tertentu ataumasyarakat dalam suatu kurun waktu tertentu (UNISDR,
2009).
Manajemen risiko bencana adalah proses sistematis menggunakan arahan
administrasi, organisasi, dan keterampilan operasional dan kapasitas untuk
mengimplementasikan strategi, kebijakan dan peningkatan kapasitas
penanggulangan untuk mengurangi dampak merugikan dari bahaya dan
kemungkinan terjadinya bencana (UNISDR, 2009).
Manajemen bencana merupakan suatu proses terencana yang dilakukan untuk
mengelola bencana dengan baik dan aman melalui 3 (tiga) tahapan yaitu : Pra
bencana, saat Bencana dan pasca bencana.

3.2 Saran
Suatu risiko dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya akibat buruk
(kerugian) yang tak diinginkan atau tidak terduga. Dengan kata lain
“kemungkinan” itu sudah menunjukkan adanya ketidakpastian. Ketidakpastian
itu merupakan kondisi yang menyebabkan tumbuhnya risiko. Oleh sebab itu
masyarakat dituntut untuk lebih memahami mengenai hal-hal yang harus
dilakukan baik sebelum bencana, saat bencana maupun setelah terjadi bencana,
agar masyarakat dapat mempersiapkan diri menghadapi semua bencana atau
kejadian yang tidak diinginkan, menekan kerugian dan korban yang dapat timbul
akibat dampak suatu bencana atau kejadian, meningkatkan kesadaran semua
pihakdalam masyarakat atau organisasai tentang bencana sehingga terlibat dalam
proses penanganan bencana dan melindungi anggota masyarakat dari bahaya atau
dampak bencana sehingga korban dan penderitaan yang dialami dapat dikurangi.

30

Anda mungkin juga menyukai