KEPERAWATAN BENCANA
Bq. Nurainun Apriani Idris, Ners.,M.Kep
DISUSUN OLEH
KELOMPOK II
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
Banyak masalah yang berkaitan dengan bencana. Kehilangan dan
kerusakan termasuk yang paling sering harus dialami bersama datangnya bencana
itu. Harta benda dan manusia terpaksa harus direlakan, dan itu semua bukan
masalah yang mudah. Dalam arti mudah difahami dan mudah diterima oleh
mereka yang mengalami. Bayangkan saja harta yang dikumpulkan sedikit demi
sedikit, dipelihara bertahun-tahun lenyap seketika.
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan mengidentifikasi penilaian sistematis sebelum, saat,
dan setelah bencana pada korban, survivor, populasi rentan, dan berbasis
komunitas.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui definisi risiko bencana
2. Untuk mengetahui konsep manajemen risiko bencana
3. Untuk mengetahui tujuan manajemen risiko bencana
4. Untuk mengetahui tahapan manajemen risiko bencana
5. Untuk mengetahui identifikasi dan penilaian risiko bencana
6. Untuk mengetahui sumberdaya penanganan bencana
7. Untuk mengetahui komunikasi dalam manajemen bencana
8. Untuk mengetahui investigasi dan pelaporan bencana
9. Untuk mengetahui inspeksi dan audit manajemen bencana
3
1.4.2 Bab II. Tinjauan Teori, berisi pembahasan yang menjelaskan tentang
penilaian sistematis sebelum, saat, dan setelah bencana pada korban,
survivor, populasi rentan, dan berbasis komunitas.
1.4.3 Bab III. Penutup, berisi kesimpulan, dan saran.
4
BAB II
TINJAUAN TEORI
5
3. Dorfman (1998 dikutip dalam Anonim 2009) Manajemen risiko dikatakan
sebagai suatu proses logis dalam usahanya untuk memahami eksposur
terhadap suatu kerugian.
Manajemen risiko bencana adalah proses sistematis menggunakan arahan
administrasi, organisasi, dan keterampilan operasional dan kapasitas untuk
mengimplementasikan strategi, kebijakan dan peningkatan kapasitas
penanggulangan untuk mengurangi dampak merugikan dari bahaya dan
kemungkinan terjadinya bencana (UNISDR, 2009). Menurut Agus Rahmat
(2006:12) Manajemen Risiko Bencana merupakan seluruh kegiatan yang
meliputi aspek perencanaan dan penanggulangan bencana, pada sebelum, saat,
dan sesudah terjadi bencana yang dikenal sebagai siklus Manajemen Risiko
Bencana yang bertujuan antara lain:
1. Mencegah kehilangan jiwa seseorang
2. Mengurangi penderitaan manusia.
3. Memberikan informasi kepada masyarakat dan juga kepada pihak yang
berwenang mengenai risiko.
4. Mengurangi kerusakan insfrastruktur utama, harta benda dan kehilangan
sumber ekonomis lainnya.
Manajemen risiko bencana dibagi 2, yaitu:
1. Manajemen risiko bencana korektif, merupakan aktivitas pengelolaan yanga
mengatasi dan berupaya untuk mengoreksi atau mengurangi risko bencana
yang sudah ada
2. Manajemen risiko bencana prospektif, merupakan aktivitas-aktivitas
pengelolaan yang menangani dan berupaya menghindarkan berkembangnya
risiko bencana baru atau meningkatnya risiko bencana.
6
1. Mempersiapkan diri menghadapi semua bencana atau kejadian yang tidak
diinginkan.
2. Menekan kerugian dan korban yang dapat timbul akibat dampak suatu
bencana atau kejadian.
3. Meningkatkan kesadaran semua pihakdalam masyarakat atau organisasai
tentang bencana sehingga terlibat dalam proses penanganan bencana
4. Melindungi anggota masyarakatdari bahaya atau dampak bencana sehingga
korban dan penderitaan yang dialami dapat dikurangi.
7
melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Mitigasi adalah upaya untuk mencegah atau mengurangi dampak
yang ditimbulkan akibat suatu bencana. Mitigasi harus dilakukan secara
terencana dan komprehensif melalui berbagai upaya dan pendekatan
antara lain:
1) Pendekatan teknis
Secara teknis mitigasi bencana dilakukan untuk mengurangi dampak
suatu bencana misalnya membuat material yang tahan terhadap
bencana, dan membuat rancanagan pengaman, misalnya tanggul
banjir, lumpur dan lain sebagainya.
2) Pendekatan manusia
Pendekatan manusia ditujukan untuk membentuk manusia yang
paham dan sadar mengenai bahaya bencana. Untuk itu perilaku dan
cara hidup manusia harus dapat diperbaiki dan disesuaikan dengan
kondisi lingkungan dan potensi bencana yang dihadapinya.
3) Pendekatan admisnistratif
Pemerintah atau pimpinan organisasi dapat melakukan pendekatan
administratif dalam manajemen bencana, khususnya di tahap mitigasi
sebagai contoh:
a) Penyususnan tata ruang dan tata lahan yang memperhitungkan
aspek risiko bencana
b) Penerapan kajian bencana untuk setiap kegiatan dan pembangunan
industry berisiko tinggi.
c) Menyiapkan prosedur tanggap darurat dan organisasi tanggap
darurat di setiap organisasi baik pemerintahan maupun industry
berisiko tinggi.
4) Pendekatan kultural
Pendekatan kultural diperlukan untuk meningkatkan kesadaran
mengenai bencana. Melalui pendekatan kultural, pencegahan bencana
disesuaikan dengan kearifan masyarakat lokal yang telah mebudaya
sejak lama.
8
2. Saat Bencana
Tahapan paling krusial dalam sistem manajemen bencana adalah saat
bencana sesungguhnya terjadi. Mungkin telah melalui proses peringatan dini,
maupun tanpa peringatan atau terjadi secara tiba-tba. Oleh karena itu
diperlukan langkah-langkah seperti tanggap darurat untuk dapat mengatasi
dampak bencana dengan cepat dan tepat agar jumlah korban atau kerugian
dapat diminimalkan.
1) Tanggap darurat
Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani
dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan
dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar,
perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan
sarana prasarana. Tindakan ini dilakukan oleh Tim penanggulangan
bencana yang dibentuk dimasing-masing daerah atau organisasi.
Menurut PP No. 11, langkah-langkah yangdilakukan dalm kondisi
tanggap darurat antara lain:
a) Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan
sumberdaya, sehingga dapat diketahui dan diperkirakan magnitude
bencana, luas area yang terkena dan perkiraan tingkat kerusakannya.
b) Penentuan status keadaan darurat bencana.
c) Berdasarkan penilaian awal dapat diperkirakan tingkat bencana
sehingga dapat pula ditentukan status keadaan darurat. Jika tingkat
bencana terlalu besar dan berdampak luas, mungkin bencana tersebut
dapat digolongkan sebagai bencana nasional.
d) Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana.
Langkah selanjutnya adalah melakukan penyelamatan dan
evakuasi korban bencana. Hal yang dapat dilakukan antara lain:
a) Pemenuhan kebutuhan dasar
b) Perlindungan terhadap kelompok rentan (anak-anak, lansia, orang
dengan keterbatasan fisik, pasien rumah sakit, dan kelompok yang
dikategorikan lemah)
c) Pemulihan dengan segera sarana dan prasarana vital.
9
Selama kegiatan tanggap darurat, upaya yang dilakukan adalah
menanggulangi bencana yang terjadi sesuai dengan sifat dan jenisnya.
Penanggulangan bencana memerlukan keahlian dan pendekatan khusus
menurut kondisi dan skala kejadian.
Tim tanggap darurat diharapkan mampu menangani segala bentuk
bencana. Oleh karena itu Tim tanggap darurat harus diorganisisr dan
dirancang untuk dapat menangani berbagai jenis bencana.
3. Pasca Bencana
Setelah bencana terjadi dan setelah proses tanggap darurat dilewati,
maka langkah berikutnya adalah melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi.
1) Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek
pelayanan public atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada
wilayah pasca bencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau
berjalannya secara wajarsemua aspek pemerintahan dan kehidupan
masyarakat pada wilayah pascabencana.
2) Rekonstruksi
Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan
sarana, kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat
pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan
berkembangnya kegiatan perekonomian, social, dan budaya, tegaknya
hukum, dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam
segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pasca bencana
10
Unsur berikutnya dalam sistem manajemen bencana adalah identifikasi
dan penilaian risiko bencana. Identifikasi bencana mutlak diperlukan sebelum
mengembangkan sistem manajemen bencana.
Menurut PP No. 21 tahun 2008 , risiko bencana adalah potensi kerugian
yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu
dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman,
mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta. Dan gangguan kegiatan masyarakat.
Persyaratan analisi risiko bencana sebagaimana ditetapkan dalam PP
tersebut antara lain sebagai berikut (Peraturan Kepala BNPB No. 04 Tahun
2008):
1) Tujuan identifikasi bencana adalah untuk mengetahui dan menilai tingkat
risiko dari suatu kondisi atau kegiatan yang dapat menimbulkan bencana.
2) Persyaratan analisis risiko bencana disusun dan ditetapkan oleh kepala BNPB
dengan melibatkan instansi/lembaga terkait.
3) Persyaratan analisi bencana digunakan sebagai dasar dalam penyususnan
analisis mengenai dampak lingkungan, penaataan ruang serta pengambilan
tindakan pencegahan dan mitigasi bencana.
4) Pasal 12: setiap kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi
menimbulkan bencana, wajib dilengkapi dengan analisis risiko bencana.
5) Analisis risiko bencana sebagaimana dimaksud disusun berdasarkan
persyaratan analisis risiko bencana melalui penelitian dan pengkajian
terhadap suatu kondisi atau kegiatan yang mempunyai risiko tinggi
menimbulkan bencana.
6) Analisis risiko bencana dituangkan dalam bentuk dokumen yang disahkan
oleh pejabat pemerintahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
7) BNPB atau BNBD sesuai dengan kewenangannya melakukan pemantauan
dan evaluasi terhadap pelaksaan analisis risiko bencana.
Berdasarkan peraturan di atas, jelas terlihat bahwa setiap organisasi atau
kegiatan yang mengandung risiko bencana tinggi wajib melakukan Analisis
Risiko Bencana (ARISCANA). ARISCANA dilakukan dengan tujuan untuk
memperoleh informasi dan data mengenai potensi bencana yang mungkin dapat
terjadi dilingkungan masing-masing serta potensi atau tingkat risiko atau
keparahannya.
11
Risiko adalah merupakan kombinasi antara kemungkinan dengan tingkat
keparahan bencana yang mungkin terjadi.
Semakin tinggi ancaman bahaya di suatu daerah, maka semakin tinggi
risiko daerah tersebut terkena bencana. Demikian pula semakin tinggi tingkat
kerentanan masayarakat atau penduduk, maka semakin tinggi pula tingkat
risikonya. Tetapi sebaliknya, semakin tinggi tingkat kemampuan masyarakat,
maka semakin kecil risiko yang dihadapinya. Dengan menggunakan perhitungan
analisis risiko dapat ditentukan tingkat besaran risiko yang dihadapi oleh daerah
yang bersangkutan.
Sebagai langkah sederhana untuk pengkajian risiko adalah pengenalan
bahaya/ancaman di daerah yang bersangkutan. Semua bahaya/ancaman tersebut
diinventarisasi, kemudian di perkirakan kemungkinan terjadinya
(probabilitasnya) dengan rincian:
12
3 Sedang 40-60% wilayah rusak
2 Ringan 20-40% wilayah rusak
1 Sangat Ringan < 20% wilayah rusak
Dampak
Probabilitas
1 2 3 4 5
5
Tanah
4 Banjir
longsor
3 kekeringan
Puting
2
beliung
Gempa
1 bumi dan
tsunami
13
Dari uraian di atas dapat disimpulkan proses manajemen bencana melalui tiga
langkah sebagai berikut:
1) Identifikasi bencana
2) Penilaian dan evaluasi risiko bencana
3) Menentukan pengendalian bencana
Identifikasi bencana dilakukan dengan melihat berbagai aspek yang ada
disuatu daerah atau perusahaan, seperti lokasi, jenis kegiatan, kondisi geografis,
cuaca, alam, aktivitas manusia, dan industry, sumberdaya alam serta sumber
lainnya yang berpotensi menimbulkan bencana. Identifikasi bencana ini dapat
didasarkan pada pengalaman bencana sebelumnya dan prediksi kemungkinan
suatu bencana yang dapat terjadi.
Pengkajian/penilaian risiko bencana dilaksanakan dengan mengkaji dan
memetakan tingkat bahaya, tingkat kerentanan dan tingkat kapasitas berdasarkan
indeks bahaya, indeks penduduk terpapar, indeks kerugian dan indeks kapasitas.
(Ruswandi, 2014).
Pengkajian/penilaian risiko bencana merupakan sebuah pendekatan untuk
memperlihatkan potensi dampak negatif yang mungkin timbul akibat suatu
potensi bencana yang melanda. Potensi dampak negatif yang timbul dihitung
berdasarkan tingkat kerentanan dan kapasitas kawasan tersebut. Potensi dampak
negatif ini dilihat dari potensi jumlah jiwa yang terpapar, kerugian harta benda,
dan kerusakan lingkungan. (BNPB, 2012)
Penting untuk dicatat bahwa pendekatan ini tidak dapat disamakan
dengan rumus matematika. Pendekatan ini digunakan untuk memperlihatkan
hubungan antara ancaman, kerentanan dan kapasitas yang membangun perspektif
tingkat risiko bencana suatu kawasan.
Berdasarkan pendekatan tersebut, terlihat bahwa tingkat risiko bencana
amat bergantung pada :
1) Tingkat ancaman kawasan;
2) Tngkat kerentanan kawasan yang terancam;
3) Tingkat kapasitas kawasan yang terancam.
Upaya pengkajian risiko bencana pada dasarnya adalah menentukan
besaran 3 komponen risiko tersebut dan menyajikannya dalam bentuk spasial
maupun non spasial agar mudah dimengerti. Pengkajian risiko bencana
14
digunakan sebagai landasan penyelenggaraan penanggulangan bencana disuatu
kawasan. Penyelenggaraan ini dimaksudkan untuk mengurangi risiko bencana.
Upaya pengurangan risiko bencana berupa :
1) Memperkecil ancaman kawasan;
2) Mengurangi kerentanan kawasan yang terancam;
3) Meningkatkan kapasitas kawasan yang terancam.
15
3. Pengkajian risiko bencana
Pengkajian risiko bencana dapat dilaksanakan oleh lembaga mana
pun, baik akademisi, dunia usaha maupun LSM atau pun organisasi lainnya
asal tetap dibawah tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah dengan
menggunakan metode yang telah ditetapkan oleh BNPB.
Komponen pengkajian risiko bencana terdiri dari ancaman,
kerentanan dan kapasitas. Komponen ini digunakan untuk memperoleh
tingkat risiko bencana suatu kawasan dengan menghitung potensi jiwa
terpapar, kerugian harta benda dan kerusakan lingkungan. Selain tingkat
risiko, kajian diharapkan mampu menghasilkan peta risiko untuk setiap
bencana yang ada pada suatu kawasan. Kajian dan peta risiko bencana ini
harus mampu menjadi dasar yang memadai bagi daerah untuk menyusun
kebijakan penanggulangan bencana. Ditingkat masyarakat hasil pengkajian
diharapkan dapat dijadikan dasar yang kuat dalam perencanaan upaya
pengurangan risiko bencana.
1) Prasyarat Umum
a. Memenuhi aturan tingkat kedetailan analisis (kedalaman analisis di
tingkat nasional minimal hingga kabupaten/kota, kedalaman analisis
di tingkat provinsi minimal hingga kecamatan, kedalaman analisis di
tingkat kabupaten/kota minimal hingga tingkat kelurahan/desa/kam-
pung/nagari).
b. Skala peta minimal adalah 1:250.000 untuk provinsi; peta dengan
skala 1:50.000 untuk kabupaten/kota di Pulau Sumatera, Kalimantan
dan Sulawesi; peta dengan skala 1:25.000 untuk kabupaten/kota di
Pulau Jawa dan Nusa Tenggara.
c. Mampu menghitung jumlah jiwa terpapar bencana (dalam jiwa).
d. Mampu menghitung nilai kerugian harta benda dan kerusakan
lingkungan (dalam rupiah).
e. Menggunakan 3 kelas interval tingkat risiko, yaitu tingkat risiko
tinggi, sedang dan rendah.
f. Menggunakan GIS dengan Analisis Grid (1 ha) dalam pemetaan risiko
bencana
16
2. Metode Umum
Pengkajian risiko bencana dilaksanakan dengan menggunakan metode pada
gambar 1.
17
Mekanisme penyusunan Peta Risiko Bencana saling terkait dengan
mekanisme penyusunan Dokumen Kajian Risiko Bencana. Peta Risiko
Bencana menghasilkan landasan penentuan tingkat risiko bencana yang
merupakan salah satu komponen capaian Dokumen Kajian Risiko Bencana.
Selain itu Dokumen Kajian Bencana juga harus menyajikan kebijakan
minimum penanggulangan bencana daerah yang ditujukan untuk mengurangi
jumlah jiwa terpapar, kerugian harta benda dan kerusakan lingkungan.
3. Metode Penyusunan Peta Risiko Bencana
Metode Pemetaan Risiko Bencana dapat dilihat pada gambar 2.
18
4. Metode Penyusunan Dokumen Kajian Risiko Bencana
Metode penyusunan Dokumen Kajian Risiko Bencana dapat dilihat pada
gambar 3
19
terletak pada seluruh indeks penyusunnya. Indeks-indeks tersebut bila
diperhatikan kembali disusun berdasarkan komponen-komponen yang telah
dipaparkan pada gambar 1. Korelasi penyusunan Peta dan Dokumen Kajian
Risiko Bencana merupakan Metode Umum Pengkajian Risiko Bencana
Indonesia, dapat dilihat pada gambar 4.
20
a. Klasifikasi Data Data yang digunakan merupakan data hasil kajian
risiko yang terdiri dari data: (1) bahaya per jenis bencana, (2) jiwa
terpapar per jenis bencana, (3) kerugian rupiah per jenis bencana, (4)
kerusakan lingkungan (ha) per jenis bencana dan (5) kapasitas
pemerintah daerah per kabupaten/kota.
b. Pembobotan
22
1 5
5 Tanah longsor 2 5 10
3 15
1 4
6 Kekeringan 2 4 8
3 12
1 4
Kebakaran lahan dan
7 2 4 8
hutan
3 12
1 4
8 Cuaca ekstrim 2 4 8
3 12
1 4
Gelombang
9 2 4 8
pasang/abrasi
3 12
B. Kerentanan (v)
1. Jiwa Terpapar (per km2)
< 500 1 0.4
Gempa Bumi 40%
1 500 - 1000 2 0.8
>1000 3 1.2
< 500 1 0.4
40%
2 500 - 1000 2 0.8
Tsunami
>1000 3 1.2
< 500 1 0.4
3 Letusan gunung api 500 - 1000 2 40% 0.8
>1000 3 1.2
< 500 1 0.4
4 Banjir 500 - 1000 2 40% 0.8
>1000 3 1.2
< 500 1 0.4
5 Tana longsor 500 - 1000 2 40% 0.8
>1000 3 1.2
< 500 1 0.4
6 Kekeringan 500 - 1000 2 40% 0.8
>1000 3 1.2
< 500 1 0.3
Kebakaran lahan dan
7 500 - 1000 2 30% 0.6
hutan
>1000 3 0.9
< 500 1 0.4
8 Cuaca ekstrim 500 - 1000 2 40% 0.8
>1000 3 1.2
< 500 1 0.4
Gelombang
9 500 - 1000 2 40% 0.8
pasang/abrasi
>1000 3 1.2
2. Kerugian (Miliyar Rupiah)
Gempa Bumi < 1,55 1 0.6
1 60%
1,55 - 3,30 2 1.2
23
>3,30 3 1.8
< 1,55 1 0.5
2 Tsunami 1,55 - 3,30 2 50% 1.0
>3,30 3 1.5
< 1,55 1 0.5
3 Letusan gunung api 1,55 - 3,30 2 50% 1.0
>3,30 3 1.5
< 1,55 1 0.5
4 Banjir 1,55 - 3,30 2 50% 1.0
>3,30 3 1.5
< 1,55 1 0.5
5 Tana longsor 1,55 - 3,30 2 50% 1.0
>3,30 3 1.5
< 1,55 1 0.3
6 Kekeringan 1,55 - 3,30 2 30% 0.6
>3,30 3 0.9
< 1,55 1 0.3
Kebakaran lahan dan
7 1,55 - 3,30 2 30% 0.6
hutan
>3,30 3 0.9
< 1,55 1 0.6
8 Cuaca ekstrim 1,55 - 3,30 2 60% 1.2
>3,30 3 1.8
< 1,55 1 0.5
Gelombang
9 1,55 - 3,30 2 50% 1.0
pasang/abrasi
>3,30 3 1.5
3. Kerusakan Lingkungan (HA)
0 1 0
Gempa Bumi
1 0 2 0% 0
0 3 0
< 55 1 0.1
2 Tsunami 55 - 155 2 10% 0.2
> 155 3 0.3
< 65 1 0.1
3 Letusan gunung api 65 - 185 2 10% 0.2
> 185 3 0.3
< 70 1 0.1
4 Banjir 70 - 205 2 10% 0.2
> 205 3 0.3
< 65 1 0.1
5 Tana longsor 65 - 185 2 10% 0.2
> 185 3 0.3
< 65 1 0.3
6 Kekeringan 65 - 185 2 30% 0.6
> 185 3 0.9
< 65 1 0.4
Kebakaran lahan dan
7 65 - 185 2 40% 0.8
hutan
> 185 3 1.2
24
0 1 0
8 Cuaca ekstrim 0 2 0% 0
0 3 0
< 70 1 0.1
Gelombang
9 70 - 205 2 10% 0.2
pasang/abrasi
> 205 3 0.3
C. Kapasitas (C)
< 55 1 1
Kapasitas Daerah 55 - 85 2 100% 2
> 85 3 3
D. Indeks Risiko (R = H * V/C)
C1 C2 C3
Rendah 4.00 2.00 1.33
Gempa Bumi
1 Sedang 16.00 8.00 5.33
Tinggi 36.00 18.00 12.00
Rendah 4.00 2.00 1.33
2 Tsunami Sedang 16.00 8.00 5.33
Tinggi 36.00 18.00 12.00
Rendah 4.00 2.00 1.33
3 Letusan gunung api Sedang 16.00 8.00 5.33
Tinggi 36.00 18.00 12.00
Rendah 4.00 2.00 1.33
4 Banjir Sedang 16.00 8.00 5.33
Tinggi 36.00 18.00 12.00
Rendah 4.00 2.00 1.33
5 Tana longsor Sedang 16.00 8.00 5.33
Tinggi 36.00 18.00 12.00
Rendah 4.00 2.00 1.33
6 Kekeringan Sedang 16.00 8.00 5.33
Tinggi 36.00 18.00 12.00
Rendah 4.00 2.00 1.33
Kebakaran lahan dan
7 Sedang 16.00 8.00 5.33
hutan
Tinggi 36.00 18.00 12.00
Rendah 4.00 2.00 1.33
8 Cuaca ekstrim Sedang 16.00 8.00 5.33
Tinggi 36.00 18.00 12.00
Rendah 4.00 2.00 1.33
Gelombang
9 Sedang 16.00 8.00 5.33
pasang/abrasi
Tinggi 36.00 18.00 12.00
Dimana :
Tingkat Risiko Rendah, nilai : 1
Tingkat Risiko Sedang, niai : 2
Tingkat Risiko Tinggi, nilai : 3
N = jumlah kabupaten/kota dalam provinsi tersebut
Smin = N x 1
Smaks = N x 3
X = (Smaks – Smin)/3
Penggunaan metodologi ini dapat berubah pada waktu mendatang sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pembaruan data akan
terus dilakukan dan bekerjasama dengan instansi terkait dan pemerintah
daerah.
Berdasarkan hasil identifikasi bencana dilakukan penilaian kemungkinan
dan skala dampak yang mungkin ditimbulkan oelh bencana tersebut. Dengan
demikian dapat diketahui, apakah potensi sebuah bencana di suatu daerah
tergolong tinggi atau rendah.
1) Penilaian Risiko Bencana
Untuk menentukan tingkat risiko bencana tersebut, dapat dilakukan melalui
penilaian Risiko Bencana. Banyak Metoda yang dapat dilakukan untuk
menilai tingkat risiko bencana. Misalnya dengan menggunakan sistem
matriks seperti yang diuraikan di atas atau dengan menggunakan teknik yang
lebih kuantitatif missal dengan permodelan risiko.
2) Evaluasi Risiko
26
Berdasarkan hasil penilaian risiko tersebut, selanjutnya ditentukan peringkat
risiko yang mungkin timbul denganmempertimbangkan kerentanan dan
kemampuan menahan atau menanggung risiko. Risiko tersebut di bandingkan
dengan kriteria yang ditetapkan, misalnya oleh pemerintah atau berdasarkan
referensi yang ada.
27
sebelum menyusun sistem manajemen bencana yang baik, terlebih dahulu
harus diidentifikasi kebutuhan sumberdaya manusia yang diperlukan,
misalnya untuk Tim penanggulangan bencana, Tim medis, logistic, Tim
teknis, dan lain-lain.
2. Prasarana dan Material
Bencana tidak dapat ditanggulangi secara efektif dan cepat tanpa didukung
oleh prasarana dan logistic yang memadai. Prasarana dan material merupakan
unsur penting dalam mendukung keberhasilan penanggulangan bencana.
Banyak kejadian, dimana korban tidak berhasil ditolong karena tidak
tersedianya prasarana atau peralatan yang memadai sehingga jumlah korban
meningkat.
Oleh karena itu setiap daerah harus memiliki sarana minimal yang
diperlukan dalam suatu bencana sehingga keterlambatan dalam membantu
korban dapat dihindarkan. Jenis sarana yang diperlukan tentunya disesuaikan
dengan sifat bencana dan skala bencana yang mungkin terjadi sesuai hasil
identifikasi.
3. Sumberdaya finansial.
Kegiatan manajemen tanggap darurat jelas membutuhkan biaya, baik sebelum
maupun saat dan setelah bencana. Oleh karena itu komitmen manajemen atau
pimpinan tertinggi sangat diperlukan.
28
2.8 Investigasi dan Pelaporan Bencana
Setiap kejadian bencana yang terjadi di suatu wilayah harus diinvestigasi dan
dilaporkan kepada instansi atau pihak yang ditunjuk, misalnya BNPB atau BPBD
kabupaten/kota. Investigasi atau penyelidikan bencana sangat diperlukan dengan
tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apa penyebab terjadinya bencana
2. Mengetahui kelemahan atau kelebihan yang terdapat dalam pelaksanaan
penanganan bencana yang dilakukan
3. Mengetahui efektivitas organisasi penanganan bencana yang ada
4. Menentukan langkah perbaikan atau pencegahan terulangnya suatu bencana
5. Sebagai masukan dalam melakukan perbaikan atau penyempurnaan sistem
manajemen bencana dan dalam menentukan kebijakan pembangunan.
29
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Risiko bencana adalah potensi kerugian yang dinyatakan dalam hidup, status
kesehatan,mata pencaharian, aset dan jasa, yang dapat terjadi pada suatu
komunitas tertentu ataumasyarakat dalam suatu kurun waktu tertentu (UNISDR,
2009).
Manajemen risiko bencana adalah proses sistematis menggunakan arahan
administrasi, organisasi, dan keterampilan operasional dan kapasitas untuk
mengimplementasikan strategi, kebijakan dan peningkatan kapasitas
penanggulangan untuk mengurangi dampak merugikan dari bahaya dan
kemungkinan terjadinya bencana (UNISDR, 2009).
Manajemen bencana merupakan suatu proses terencana yang dilakukan untuk
mengelola bencana dengan baik dan aman melalui 3 (tiga) tahapan yaitu : Pra
bencana, saat Bencana dan pasca bencana.
3.2 Saran
Suatu risiko dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya akibat buruk
(kerugian) yang tak diinginkan atau tidak terduga. Dengan kata lain
“kemungkinan” itu sudah menunjukkan adanya ketidakpastian. Ketidakpastian
itu merupakan kondisi yang menyebabkan tumbuhnya risiko. Oleh sebab itu
masyarakat dituntut untuk lebih memahami mengenai hal-hal yang harus
dilakukan baik sebelum bencana, saat bencana maupun setelah terjadi bencana,
agar masyarakat dapat mempersiapkan diri menghadapi semua bencana atau
kejadian yang tidak diinginkan, menekan kerugian dan korban yang dapat timbul
akibat dampak suatu bencana atau kejadian, meningkatkan kesadaran semua
pihakdalam masyarakat atau organisasai tentang bencana sehingga terlibat dalam
proses penanganan bencana dan melindungi anggota masyarakat dari bahaya atau
dampak bencana sehingga korban dan penderitaan yang dialami dapat dikurangi.
30