Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

ABSES HEPAR

Disusun oleh:

KELOMPOK 1

RANI ASTUTI 14420231029


RAFIKA OTAY 14420231033
RIA INDRIANI SUKRI 14420231042
NURJANNA ADIL WAEL 14420231044
SITTI MAWADDAH NURSIN 144202031045

CI LAHAN CI INSTITUSI

( ) ( )

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

2023
A. Konsep Medis
1. Defenisi
Abses hepar adalah bentuk infeksi pada hepar yang disebabkan karena
infeksi bakteri, parasit, jamur, yang ditandai dengan adanya proses
supurasi dengan pembentukan pus di dalam parenkim hepar (Handayani
et al., 2022). Abses hepar adalah bentuk infeksi pada hati yang
disebabkan oleh suatu mikroorganisme yang bersumber dari sistem
gastrointestinal yang ditandai dengan adanya pembentukan pus hati
sebagai proses invasi dan multiplikasi yang masuk secara langsung dari
cedera pembuluh darah atau sistem ductus biliaris. (Parawira, Rahma, &
Nasir, 2019).
Abses hepar adalah penumpukan jaringan nekrotik dalam suatu rongga
patologis yang dapat bersifat soliter atau multipel pada jaringan hati
(Surya Rini et al., 2022). Abses hati amoebic adalah manifestasi
ekstraintestinal terbanyak pada infeksi dari protozoa entamoeba histolica.
(Paramitha, Kholili, & Setyoboedi, 2020)
Abses hepar adalah salah satu bentuk infeksi pada hepar, yang ditandai
oleh terdapatnya pus yang diselubungi oleh jaringan fibrosa pada
parenkim hepar. (Mahendra & Prasetyo, 2021). Insiden abses hepar
amoeba bervariasi antara 3%-9% dari semua kasus abses. Abses ini
paling sering terjadi pada usia 20-45 tahun dan jarang ditemukan pada
usia ekstrim. (Donaliazarti, 2020)
2. Etiologi
Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh suatu
mikroorganisme yang bersumber dari sistem gastrointestinal yang
ditandai dengan adanya pembentukan pus hati sebagai proses invasi dan
multiplikasi yang masuk secara langsung dari cedera pembuluh darah
atau sistem ductus biliaris. Abses hati yang paling banyak ditemukan
yaitu piogenik, kemudian amoebic ataupun campuran infeksi dari
keduanya (Herman Bintang Parawira, Rahma, 2019).
Abses hati terbagi 2, yaitu abses hati amuba (AHA) dan abses hati
piogenik (AHP). AHA merupakan salah Satu komplikasi amebiasis
ekstraintestinal yang paling sering dijumpai di daerah tropik /subtropik,
termasuk Indonesia. Abses hati amuba disebabkan oleh protozoa
Entamoeba hystolitica, yang mana endemik di negara- negara tropis atau
yang sedang berkembang. Sedangkan AHP merupakan kasus yang relatif
jarang.
Faktor risiko perkembangan abses hati, seperti diabetes melitus, sirosis
hepatis, jenis kelamin laki-laki, lanjut usia, keadaan
immunocompromised, dan orang-orang dengan penggunaan proton pump
inhibitor. (Rini, Christianto, & Nugrohowati, 2022)
Abses hepar umumnya dikelompokkan bedasarkan etiologi, yaitu abses
hati piogenik dan abses hati amuba, yang memberikan gambaran klinis
hampir sama sehingga diagnosis etiologi sulit ditegakkan. (M, Bisanto, &
Firman, 2015)
3. Patofisiologi
Abses hati dibagi menjadi dua berdasarkan penyebab, yaitu bakteri
pyogenik dan amoebik.
Abses hati pyogenic terjadi karena adanya infeksi oleh bakteri aerob
maupun anaerob yang mengarah ke descending infection. Bakteri
tersebut masuk melalui sirkulasi sistemik, seperti sistem portal, yang
akhirnya menyebabkan rusaknya sel pada jaringan hati. Selain sirkulasi
sistemik, abses hati pyogenic juga dapat disebabkan oleh obstruksi dari
saluran empedu. Hal ini menyebabkan kenaikan marker laboratorium,
seperti bilirubin, SGOT dan SGPT, serta didapatkan penurunan Hb dan
albumin pada pasien abses hati pyogenic. Kerusakan yang disebabkan
oleh bakteri kebanyakan multiple pada lobus kanan abses hati (Paramitha
et al., 2020).
Abses hati amoebic adalah manifestasi ekstraintestinal terbanyak pada
infeksi dari protozoa Entamoeba histolytica. Parasit ini masuk melalui
jalur ascending dari GI Tract atau melalui vena portal. Setelah masuk
parasit ini mengeluarkan enzim proteolitik yang akhirnya dapat
meningkatkan kadar leukosit dengan sangat tinggi. Karena memasuki
lewat vena portal maka lobus yang terkena lebih banyak pada lobus
kanan dengan karakteristik single dengan ukuran lebih besar (Paramitha
et al., 2020).
4. Pathway

Infeksi kuman

Masuk dalam sistem pencernaan

Vena portal sistem biller

Sistem arteri hepatik

Merangsang Hepar
ujung syaraf
mengeluarkan Merangsang
Mengalami
bradikinin, pengeluaran
kerusakan jaringan
serotonin, dan sistensis zat
hepar
prostatglandin pirogen oleh
Infeksi leukosit pada
peradangan jaringan yang
Impuls meradang
disampaikan SPP
bagian korteks Rongga abses yang
penuh cairan yang
serebri
berisi leukosit mati Melepaskan zat IL
dan hidup, sel hati prostatglandin E2
Thalamus yang mencair serta (pirogen leukosit
bakteri dan pirogen
Abses
endogren
Nyeri
Metabolisme
menurun Mencapai
Produksi energi
hepolatum

Intek nutrisi menurun


Intoleransi
aktivitas hipertermi

Gangguan nutrisi
5. Manifestasi klinis
Gejala klinis yang ditemukan antara lain: demam tinggi, nyeri perut
kanan atas, mual, muntah, anoreksia, lemas, dan penurunan berat badan.
Pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan adalah hepatomegali, nyeri
tekan lokal pada lokasi abses, ikterik. Kelainan pemeriksaaan
laboratorium yang sering ditemukan adalah peningkatan jumlah leukosit
dengan predominan polimorfonuklear (>70%), anemia normositik
normokrom dan meningkatnya laju endap darah. 2-10 Pada beberapa
kasus, gangguan fungsi hati dapat juga ditemukan. Pada pemeriksaan
laboratorium tambahan dapat dilihat adanya peningkatan transaminase
serum pada 25-50% kasus, dan peningkatan alkali fosfatase pada 38-84%
kasus (Novia & Cahyadi, 2018)
Gejala klinis AHA dan AHP tidak bisa dibedakan. Pasien biasanya
datang dengan demam dan nyeri kuadran kanan atas. (Salim, Sabir,
Diana, & Wahyuni, 2023). Keluhan awal yaitu demam/menggigil, nyeri
abdomen, anokresia/malaise, mual/muntah, penurunan berat badan,
keringat malam, diare, demam, hepatomegaly, nyeri tekan kuadran kanan
atas, icterus asites, serta sepsis yang menyebabkan kematian. (Cameeron,
2017)
6. Komplikasi
Komplikasi pada pasien abses hati lebih banyak terjadi pada abses hati
pyogenic dari pada amoebic Komplikasi dapat berupa empyema, efusi
pleura, perforasi, sepsis, dan lain-lain. Diketahui bahwa pada kedua jenis
abses hati didapatkan komplikasi terbanyak adalah efusi pleura dan
sepsis (Paramitha et al., 2020).
Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus abses hepar adalah penyebaran
ke rongga lain, seperti pleura dan perineum. Hal tersebut dapat terjadi
akibat inflamasi pada dinding rongga tersebut. Namun, pada kasus abses
paru dengan penyebaran ke rongga pleura, salah satu yang perlu
diperhatikan adalah adanya fistula hepatopleura yang kasusnya jarang
ditemukan, tetapi dapat mempengaruhi mortalitas(Kamelia, 2016).
Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus abses hepar adalah penyebaran
ke rongga lain, seperti pleura dan perineum. (Kamelia, 2016)
7. Pemeriksaan penunjang
Diagnosis abses hepar amoeba ditegakkan berdasarkan adanya gejala di
antaranya nyeri perut kanan atas dan demam. Gejala klinisnya tidak khas
sehingga diperlukan pemeriksaan penunjang di antaranya pemeriksaan
laboratorium serologi deteksi antibodi atau deteksi antigen, USG, dan
aspirasi abses pada kondisi tertentu (Donaliazarti, 2021).
CT Scan diperlukan untuk menentukan luas abses sehingga dapat
dipertim- bangkan dilakukannya drainase abses yang bertujuan untuk
mengeluarkan abses dan Kultur bakteri untuk menentukan mikroor-
ganisme penyebab abses hati (Herman Bintang Parawira, Rahma, 2019)
Diagnosis abses hepar dapat dilakukan dengan beberapa modalitas.
Pemeriksaan foto polos toraks pada beberapa kasus menunjukkan adanya
pneumonitis bilateral, atelektasis, maupun efusi. Pada pemeriksaan
ultrasonografi (USG) dapat ditemukan gambaran non-homogen,
hypoechoic, massa berbentuk oval atau bulat dengan batas tegas. Untuk
membedakan abses amebik dan piogenik, dapat dilakukan aspirasi abses
untuk pemeriksaan mikrobiologi. CT scan dapat digunakan untuk
memberikan gambaran patologi, terutama pada saat gejala masih timbul.
Modalitas ini dapat digunakan untuk melihat gambaran abses hepar, efusi
pleura, atelektasis, dan gambaran abses paru. Pemeriksaan dengan MRI
tidak menunjukkan adanya kelebihan (Kamelia, 2016).
Ultrasonografi hepar merupakan modalitas pencitraan yang akurat untuk
penyakit hati fokal atau difus, menentukan staging tumor primer,
mendeteksi deposit sekunder, pemeriksaan penunjang untuk kalkulus dan
jaundice, dan sebagai bantuan pada biopsi hati atau prosedur
intervensional. (Hadinata, Loho, & Timban, 2015)
8. Penatalaksanaan
Prinsip dari pengobatan/penatalaksaan untuk abses hati adalah
mengeluarkan abses atau nanah dan memberi pengobatan terhadap
penyebabnya. Beberapa jenis tindakan pengobatan/pelaksanaan yang
dilakukan adalah (Handayana, 2017):
a. Pengobatan dengan pemberian antibiotik metronidazole 750 mg
sebanyak 3x1 selama 5-10 hari.
b. Operasi
1) Operasi tertutup dengan berdasarkan hasil CT Scan atau USG
selama operasi (intraoperasi) dilakukan irisan minimal dengan
menusukkan alat untuk mengeluarkan nanah di hati.
2) Operasi terbuka, baik dengan irisan maupun dengan laparoskopi
bedah minimal invasif bertujuan untuk mengeluarkan nanah dan
dialirkan keluar tubuh disertai dengan pemberian obat untuk
menghilangkan penyebabnya.

9. Prognosi
Prognosis dapat dilihat dengan evaluasi klinis, biokimia, maupun USG.
Kadar bilirubin >3,5mg/dl, ensefalopati, volume abses, hipoalbuminemia
dengan serum albumin <2,0g/dL merupakan faktor risiko mortalitas.
Panjangnya masa gejala dan tatalaksana tidak mempengaruhi kejadian
mortalitas (Kamelia, 2016).
B. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah awal dari proses keperawatan tujaun
pengkajian adalah memberikan suatu gambaran yang terus menerus
mengenai kesehatan pasien. Tahap pengkajian dari proses keperawatan
merupakan proses dinamis yang terorgansasi yang meliputi tiga aktifitas
dasar yaitu : pertama mengumpulkan data secara sistematis; kedua,
memilah dan mengatur data yang dikumpulkan; dan ketiga,
mendokumentasikan data dalam yang dapat dibuka kembali
Dalam melakukan pengkajian diperlukan keahlian-keahlian (skill) seperti
wawancara, pemeriksaan fisik, dan observasi, hasil pengumpulan data
kemudian diklasifikasikan dalam data subjektif dan objektif.Data
subjektif merupakan ungkapan atau persepsi yang diungkapkan oleh
pasien.Data objektif merupakan data yang didapat dari hasil observasi,
pengukuran, dan pemeriksaan fisik.
Ada beberapa cara pengelompokan data, yaitu berdasarkan sistem tubuh,
berdasarkan kebutuhan dasar (Maslow). berdasarkan teori keperavsatan,
berdasarkan pola kesehatan fungsional. Pengumpulan data bisa
digunakan dengan menggunakan metode observasi, wawancara,
pemeriksaan fisik.dokumentasi dari catatan medis, status klien, dan hasil
perneriksaan penunjang seperti laboratorium dan radiologi. Pemeriksaan
fisik adalah cara pengumpulan data melalui inspeksi, palpasi. perkusi dan
auskultasi. Inspeksi didefinisikan sebagai kegiatan melihat atau
memperhatikan secara seksama status kesehatan klien seperti inspeksi
kesimetrisan pergerakan dinding dada, penggunaan otot bantu napas,
inspeksi adanya lesi pada kulit dan sebagainya. Palpasi adalah jenis
pemeriksaan dengan cara meraba atau merasakan kulit klien. Auskultasi
adalah cara pemeriksaan fisik dengan menggunakan stetoskop yang
memungkinkan pemeriksa mendengar bunyi yang keluar dari rongga
tubuh klien. Perkusi adalah perneriksaan fisik dengan cara mengetuk
secara pelan jari tengah menggunakan jari yang Iain untuk menentukan
posisi, ukuran, dan konsistensi struktur suatu organ tubuh
Menurut Doenges,E.M (2010), data dasar pengkajian pasien
dengan Abses Hepar, meliputi (Rahman, 2016):
a. Aktivitas/istirahat, menunjukkan adanya kelemahan, kelelahan,
terlalu lemah, latergi, penurunan massa otot/tonus.
b. Sirkulasi, menunjukkan adanya gagal jantung kronis, kanker,
distritmia, bunyi jantung ekstra, distensi vena abdomen.
c. Eliminasi, Diare, Keringat pada malam hari menunjukkan adanya
flatus, distensi abdomen, penurunan/tidak ada bising usus, feses
warna tanah liat, melena, urine gelap pekat.
d. Makanan/cairan, menunjukkan adanya anoreksia, tidak toleran
terhadap makanan/tidak dapat mencerna, mual/muntah, penurunan
berat badan dan peningkatan cairan, edema, kulit kering, turgor
buruk, ikterik.
e. Neurosensori, menunjukkan adanya perubahan mental, halusinasi,
koma, bicara tidak jelas.
f. Nyeri/kenyamanan, menunjukkan adanya nyeri abdomen kuadran
kanan atas, pruritas, sepsi perilaku berhati- hati/distraksi, focus pada
diri sendiri.
g. Pernapasan, menunjukkan adanya dispnea, takipnea, pernapasan
dangkal, bunyi napas tambahan, ekspansi paru terbatas, asites,
hipoksia.
h. Keamanan, menunjukkan adanya pruritas, demam, ikterik, ekimosis,
patekis, angioma spider, eritema.
i. Seksualitas, menunjukkan adanya gangguan menstruasi, impotent,
atrofi testis

2. Diagnosa keperawatan
a. Nyeri (akut) berhubungan dengan gangguan pada kulit, jaringan, dan
integritas otot.
b. Gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan interupsi
mekanisme pada kulit/jaringan.
c. Resiko infeksi berubungan dengan luka oprasi dan prosedur invasif.
3. Intervensi keperawatan
No Diagnosa Kriteria Hasil Intervensi keperawatan
Keperawatan
1 Nyeri Setelah dilakukan Manajemen nyeri
tindakan Tindakan
keperawatan selama Observasi
3 X 24 jam, nyeri 1. Identifikasi lokasi,
akut membaik karakteristik, durasi,
dengan kriteria: frekuensi, kualitas,
Tingkat nyeri intensitas nyeri
(L.08066) 2. Indentifikasi skala
1. Keluhan nyeri nyeri
menurun 3. Identifikasi respons
2. meringis nyeri non verbal
menurun 4. Indentifikasi pengaruh
3. nafsu makan nyeri pada kualitas
membaik hidup.
4. pola tidur Terapeutik
membaik 5. Berikan teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa
nyeri dengan kompres
hangat/dingin
6. Kontrol lingkungan
yang memperberat
rasa nyeri (mis. Suhu
ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
7. Fasilitasi istirahat dan
tidur
8. Pertimbangkan jenis
dan sumber nyeri
dalam pemilihan
strategi meredakan
nyeri
Edukasi
1. Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri
2. Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri
3. Anjurkan
menggunakan
analgetik secara tepat
4. Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
5. Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
2 Gangguan Setelah dilakukan Perawatan Integritas
integritas tindakan Kulit
Kulit/jaringan keperawatan selama Observasi
3 X 24 jam, 1. Identifikasi penyebab
integritas kulit gangguan integritas
membaik dengan kulit
kriteria: Terapeutik
Integritas kulit dan 2. Ubah posisi tiap 2 jam
jaringan (L.14125) jika tirah baring
1. Elastisitas Edukasi
meningkat 3. Anjurkan
Kerusakan jaringan menggunakan
kerusakan lapisan pelembab
kulit 4. Anjurkan minum air
2. Nyeri menurun yang cukup
3. Kemerahan 5. Anjurkan
menurun meningkatkan asupan
4. Hematoma nutrisi
menurun 6. Anjurkan
5. Pigmentasi meningkatkan buah
abnormal dan sayur
menurun
3 Risiko infeksi Pencegahan infeksi
Observasi
1. Monitor tanda dan
gejala infeksi lokal dan
sistemik
Terapeutik
2. Batasi jumlah
pengujung
3. Berikan perawatan kulit
pada area edema
4. Pertahankan teknik
aseptik pada pasien
berisiko tinggi
Edukasi
5. Jelaskan tanda dan
gejala infeksi
6. Ajarkan cara
memeriksa kondisi luka
atau luka operasi
Kolaborasi
7. Kolaborasi pemberian
imunisasi jika perlu

6. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan
cara melakukan seiauh mana dari rencana keperawatan tercapai. Evaluasi
bertujuan untuk menilai efektifitas rencana dan strategi asuhan
keperawatan. Ada empat alternative dalam menafsirkan hail evaluasi
yaitu
a. Masalah teratasi Masalah teratasi apabila pasien menunjukkan
perubahan tingkah laku dan perkembangan kesehatan sesuai dengan
criteria pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
b. Masalah sebagian teratasi Masalah sebagian teratasi apabila pasien
menunjukkan perubahan dan perkembangan kesehatan hanya
sebagian dari criteria pencapaian tujuan yang telah ditetapkan
c. Masalah belum teratasi masalah belum teratasi apabila pasien sama
sekali tidak menunjukkan perubahan perilaku dan perkembangan
kesehatan atau bahkan timbul masalah yang baru.
d. Timbul masalah yang baru
e. Masalah yang timbul atau muncul baru lagi pada pasien dengan
menunjukkan perubahan perilaku dan perkembangan kesehatan yang
baru pada kondisi kesehatan klien.
Evaluasi disusun dengan menggunakan SOAP yang operasional dengan
pengertian
S: adalah ungkapan perasaan dan keluhan yang dirasakan secara objektif
oleh klien setelah diberikan implementasi keperawatan.
O: adalah kegiatan objektif yang dapat diidentifikasi oelh perawat
menggunakan pengamat atau pengamatan objektif setelah implementasi
keperawatan.
A: merupakan analisa perawat setalah mengetahui respon subjektif dan
objektif pasien yang dibandingkan dengan criteria dan standar yang telah
ditentukan mengacu pada tujuan rencana keperawatan.
P: adalah perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan analisa
DAFTAR PUSTAKA

Cameeron. (2017). Prinsip-prinsip Penyakit Dalam. Jakarta: Binarupa Aksara.

Donaliazarti, D. (2021). Analisis Pemeriksaan Laboratorium Pada Kasus


Leptospirosis Disertai Abses Hati Amoeba. Collaborative Medical Journal
(CMJ), 3(3), 131–139. https://doi.org/10.36341/cmj.v3i3.1657

Hadinata, R., Loho, E., & Timban, J. F. (2015). Gambaran Ultrasonografi Hepar
di Bagian Radiologi FK Unsrat Blu RSUP PROF DR. R. D. Kandou
Manado Periode Maret - Juni 2014. Jurnal e-Clinic (eCi), 3(1), 277-281.

Handayana, A. Y. (2017). Deteksi Dini & Atasi 31 Penyakit Bedah Saluran Cerna
(Digestif).
https://www.google.co.id/books/edition/Deteksi_Dini_Atasi_31_Penyakit_B
edah_Sal/QrRFDwAAQBAJ?hl=id&gbpv=1&dq=abses+hati+adalah&pg=P
A74&printsec=frontcover

Handayani, N. D., Madjid, M., & Safitri, A. (2022). Terapi Nutrisi Pada Pasien
Abses Hepar Lobus Sinistra Dengan Pleuropneumonia Dan Gizi Buruk.
Indonesian Journal of Clinical Nutrition Physician, 5(1), 21–30.

Herman Bintang Parawira, Rahma, M. N. (2019). Abses hati pada infeksi hepatitis
b. Medical Profession Program, Faculty of Medicine, Tadulako University –
Palu, INDONESIA, 1(2), 122–127.

Kamelia, T. (2016). Abses Hepar dan Empiema dengan Fistula Hepatopleura.


Indonesian Journal Of CHEST Critical and Emergency Medicine, 3(3), 95–
100. htttps://indonesiajournalchest.com

Mahendra, & Prasetyo, A. D. (2021). Abses Hepar : Sebuah Laporan Kasus.


Collaborative Medical Journal (CMJ), 4(1), 1-7.

M, Y. P., Bisanto, J., & Firman, K. (2015). Abses Hati Pada Anak. Sari Pediatri,
7(1), 50-56.
Novia, J., & Cahyadi, A. (2018). Gangguan Fungsi Hati pada Pasien Abses Hati
Amebadengan Lama Perawatan di Rumah Sakit Atmajaya. Journal Of The
Indonesian Medical Association, 68(2), 72–75.

Paramitha, A. D., Kholili, U., & Setyoboedi, B. (2020). Perbedaan Profil Abses
Hati Pyogenic dengan Amoebic pada Pasien Abses Hati Rawat Inap di
RSUD Dr Soetomo Tahun 2016-2019. Jurnal Kesehatan Andalas, 9(3), 297.
https://doi.org/10.25077/jka.v9i3.1391

Parawira, H. B., Rahma, & Nasir, M. (2019). Abses Hati Pada Infeksi Hepatitis B.
Jurnal Medical Profession (MedPro), 1(2), 122-127.

Rahman, M. (2016). Asuhan Keperawatan Pada Bapak A Yang Mengalami Abses


Hepar Post Op Laparatomi Di Ruang Cempaka Rumah Sakit Umum Daerah
Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. Stikes Muhammadiyah Samarinda.

Rini, F. S., Christianto, F., & Nugrohowati, A. K. (2022). Terapi Gizi Pada Laki-
laki 70 Tahun Dengan Abses Hepar, Bronkopneumonia, Refeeding
Syndrome, Malnutrisi Berat, Sarkopneia, Frailty, dan Sindroma Geriatri.
Indonesian Journal of Clinical Nutrition Physician, 5(1), 31-46.

Salim, R., Sabir, M., Diana, V., & Wahyuni, R. D. (2023). Abses Hepar:
Daignosis dan Manajemen. Jurnal Medical Profession (MedPro), 5(1), 8-
15.

Surya Rini, F., Febe Christianto, & Annta Kern Nugrohowati. (2022). Terapi Gizi
Pada Laki – Laki, 70 Tahun Dengan Abses Hepar, Bronkopneumonia,
Refeeding Syndrome, Malnutrisi Berat, Sarkopenia, Frailty, Dan Sindroma
Geriatri. Ijcnp (Indonesian Journal of Clinical Nutrition Physician), 5(1),
31–46. https://doi.org/10.54773/ijcnp.v5i1.93

Anda mungkin juga menyukai