Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN

ABSES HEPAR

A. PENGERTIAN
Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena infeksi
bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem gastrointestinal
yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan pus yang terdiri dari
jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel darah didalam parenkim hati. Organisme
mencapai hati melalui satu jalur berikut: 1) infeksi asendens di saluran empedu
(kolangitis asendens); 2) melalui pembuluh darah, baik porta atau arteri; 3) infeksi
langsung ke hati dari sumber disekitar; 4) luka tembus (Wenas, 2007).
Abses hati timbul pada keadaan defisiensi imun (lanjut usia, imunosupresi,
kemoterapi kanker disertai kegagalan sumsum tulang). Prevalensi yang tinggi sangat erat
hubungannya dengan sanitasi yang jelek, status ekonomi yang rendah serta gizi yang
buruk. Meningkatnya arus urbanisasi menyebabkan bertambahnya kasus abses hati di
daerah perkotaan. Di negara yang sedang berkembang abses hati amuba lebih sering
didapatkan secara endemik dibandingkan dengan abses hati piogenik. Dalam beberapa
dekade terakhir ini telah banyak perubahan mengenai aspek epidemiologis, etiologi,
bakteriologi, cara diagnostik maupun mengenai pengelolaan serta prognosisnya
(Sofwanhadi, 2007).

B. KLASIFIKASI ABSES HEPAR


Secara umum, abses hati terbagi 2, yaitu abses hati amebik (AHA) dan abses hati
piogenik (AHP). AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis ekstraintestinal yang
paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik, termasuk Indonesia. AHP dikenal juga
sebagai hepatic abscess, bacterial liver abscess, bacterial abscess of the liver, bacterial
hepatic abscess. AHP ini merupakan kasus yang relatif jarang, pertama ditemukan oleh
Hippocrates (400 SM) dan dipublikasikan pertama kali oleh Bright pada tahun 1936
(Wenas, 2007).

C. ETIOLOGI ABSES HEPAR


a. Abses Hati Amebik
Didapatkan beberapa spesies amoeba yang dapat hidup sebagai parasit non-
patogen dalam mulut dan usus, tetapi hanya Entamoeba histolytica yang dapat
menyebabkan penyakit. Hanya sebagian kecil individu yang terinfeksi Entamoeba
histolytica yang memberikan gejala amebiasis invasif, sehingga diduga ada 2 jenis
Entamoeba histolytica yaitu strain patogen dan non-patogen. Bervariasinya virulensi

1
berbagai strain Entamoeba histolytica ini berbeda berdasarkan kemampuannya
menimbulkan lesi pada hati (Sofwanhadi, 2007).
b. Abses Hati Piogenik
Etiologi AHP adalah enterobacteriaceae, microaerophilic streptococci,
anaerobic streptococci, klebsiella pneumoniae, bacteriodes, fusobacterium,
staphylococcus aureus, staphylococcus milleri, candida albicans, aspergillus,
actinomyces, eikenella corrodens, yersinia enterolitica, salmonella typhi, brucella
melitensis, dan fungal. Organisme penyebab yang paling sering ditemukan adalah
E.Coli, Klebsiella pneumoniae, Proteus vulgaris, Enterobacter aerogenes dan spesies
dari bakteri anaerob (contohnya Streptococcus Milleri). Staphylococcus aureus
biasanya organisme penyebab pada pasien yang juga memiliki penyakit granuloma
yang kronik. Organisme yang jarang ditemukan sebagai penyebabnya adalah
Salmonella, Haemophillus, dan Yersinia. Kebanyakan abses hati piogenik adalah
infeksi sekunder di dalam abdomen. Bakteri dapat mengivasi hati melalui :
1) Vena porta yaitu infeksi pelvis atau gastrointestinal atau bisa menyebabkan
fileplebitis porta
2) Arteri hepatika sehingga terjadi bakteremia sistemik
3) Komplikasi infeksi intra abdominal seperti divertikulitis, peritonitis, dan
infeksi post operasi
4) Komplikasi dari sistem biliaris, langsung dari kantong empedu atau saluran-
saluran empedu. Obstruksi bilier ekstrahepatik menyebabkan kolangitis.
Penyebab lainnya biasanya berhubungan dengan choledocholithiasis, tumor
jinak dan ganas atau pascaoperasi striktur.
5) Trauma tusuk atau tumpul. Selain itu embolisasi transarterial dan cryoablation
massa hati sekarang diakui sebagai etiologi baru abses piogenik.
6) Kriptogenik tanpa faktor predisposisi yang jelas, terutama pada orang lanjut
usia. Namun insiden meningkat pada pasien dengan diabetes atau kanker
metastatik (Wenas, 2007; Friedman et al., 2008; Nickloes, 2009).

D. PATOFISIOLOGI ABSES HEPAR

2
E. TANDA DAN GEJALA ABSES HEPAR
a. Abses Hepar Amebik
Gejala :
1) Demam internitten ( 38-40 oC)
2) Nyeri perut kanan atas, kadang nyeri epigastrium dan dapat menjalar hingga bahu
kanan dan daerah skapula
3) Anoreksia
4) Nausea
5) Vomitus
6) Keringat malam
7) Berat badan menurun
8) Batuk
9) Pembengkakan perut kanan atas
10) Ikterus
11) Buang air besar berdarah
12) Kadang ditemukan riwayat diare
13) Kadang terjadi cegukan (hiccup)
Kelainan fisis :
1) Ikterus
2) Temperatur naik
3) Malnutrisi
4) Hepatomegali yang nyeri spontan atau nyeri tekan atau disertai komplikasi
5) Nyeri perut kanan atas
6) Fluktuasi (Brailita, 2008; Wenas, 2007; Friedman et al., 2008).
b. Abses hati piogenik
Gambaran klinis abses hati piogenik menunjukkan manifestasi sistemik yang lebih
berat dari abses hati amuba.
Gejala :
1) Demam yang sifatnya dapat remitten, intermitten atau kontinyu yang disertai
menggigil
2) Nyeri spontan perut kanan atas ditandai dengan jalan membungkuk ke depan dan
kedua tangan diletakkan di atasnya.
3) Mual dan muntah
4) Berkeringat malam
5) Malaise dan kelelahan
6) Berat badan menurun
7) Berkurangnya nafsu makan
8) Anoreksia
Pemeriksaan fisis :

3
1) Hepatomegali
2) Nyeri tekan perut kanan
3) Ikterus, namun jarang terjadi
4) Kelainan paru dengan gejala batuk, sesak nafas serta nyeri pleura
5) Buang air besar berwarna seperti kapur
6) Buang air kecil berwarna gelap
7) Splenomegali pada AHP yang telah menjadi kronik (Sofwanhadi, 2007; Brailita,
2008).

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pasien abses hati amebik, pemeriksaan hematologi didapatkan hemoglobin
10,4-11,3 g% sedangkan lekosit 15.000-16.000/mL3 . pada pemeriksaan faal hati
didapatkan albumin 2,76-3,05 g%, globulin 3,62-3,75 g%, total bilirubin 0,9-2,44 mg
%, fosfatase alkali 270,4-382,0 u/L, SGOT 27,8-55,9 u/L dan SGPT 15,7-63,0 u/L.
Jadi kelainan yang didapatkan pada amubiasis hati adalah anemia ringan sampai
sedang, leukositosis berkisar 15.000/mL3. Sedangkan kelainan faal hati didapatkan
ringan sampai sedang. Uji serologi dan uji kulit yang positif menunjukkan adanya Ag
atau Ab yang spesifik terhadap parasit ini, kecuali pada awal infeksi. Ada beberapa uji
yang banyak digunakan antara lain hemaglutination (IHA),
countermunoelectrophoresis (CIE), dan ELISA. Real Time PCR cocok untuk
mendeteksi E.histolityca pada feses dan pus penderita abses hepar (Brailita, 2008;
Wenas, 2007; Friedman et al., 2008).
Pada pasien abses hati piogenik, mungkin didapatkan leukositosis dengan
pergeseran ke kiri, anemia, peningkatan laju endap darah, gangguan fungsi hati seperti
peninggian bilirubin, alkalin fosfatase, peningkatan enzim transaminase, serum
bilirubin, berkurangnya konsentrasi albumin serum dan waktu protrombin yang
memanjang menunjukkan bahwa terdapat kegagalan fungsi hati. Kultur darah yang
memperlihatkan bakterial penyebab menjadi standar emas untuk menegakkan
diagnosis secara mikrobiologik. Pemeriksaan biakan pada permulaan penyakit sering
tidak ditemukan kuman. Kuman yang sering ditemukan adalah kuman gram negatif
seperti Proteus vulgaris, Aerobacter aerogenes atau Pseudomonas aeruginosa,
sedangkan kuman anaerib Microaerofilic sp, Streptococci sp, Bacteroides sp, atau
Fusobacterium sp. (Wenas, 2007; Sofwanhadi, 2007).
2. Pemeriksaan Radiologi
Pada pasien abses hati amebik, foto thoraks menunjukkan peninggian kubah
diafragma kanan dan berkurangnya pergerakan diafragma efusi pleura kolaps paru

4
dan abses paru. Kelainan pada foto polos abdomen tidak begitu banyak. Mungkin
berupa gambaran ileus, hepatomegali atau gambaran udara bebas di atas hati.
Jarang didapatkan air fluid level yang jelas, USG untuk mendeteksi amubiasis hati,
USG sama efektifnya dengan CT atau MRI. Gambaran USG pada amubiasis hati
adalah bentuk bulat atau oval tidak ada gema dinding yang berarti ekogenitas lebih
rendah dari parenkim hati normal bersentuhan dengan kapsul hati dan peninggian
sonic distal. Gambaran CT scan : 85 % berupa massa soliter relatif besar,
monolokular, prakontras tampak sebagai massa hipodens berbatas suram. Densitas
cairan abses berkisar 10-20 H.U. Pasca kontras tampak penyengatan pada dinding
abses yang tebal. Septa terlihat pada 30 % kasus. Penyengatan dinding terlihat baik
pada fase porta (Sofwanhadi, 2007).
Pada pasien abses hati piogenik, foto polos abdomen kadang-kadang
didapatkan kelainan yang tidak spesifik seperti peninggian diafragma kanan, efusi
pleura, atelektasis basal paru, empiema, atau abses paru. Pada foto thoraks PA,
sudut kardiofrenikus tertutup, pada posisi lateral sudut kostofrenikus anterior
tertutup. Secara angiografik abses merupakan daerah avaskuler. Kadang-kadang
didapatkan gas atau cairan pada subdiafragma kanan. Pemeriksaan USG,
radionuclide scanning, CT scan dan MRI mempunyai nilai diagnosis yang tinggi.
CT scan dan MRI dapat menetapkan lokasi abses lebih akurat terutama untuk
drainase perkutan atau tindakan bedah. Gambaran CT scan : apabila mikroabses
berupa lesi hipodens kecil-kecil < 5 mm sukar dibedakan dari mikroabses jamur,
rim enhancement pada mikroabses sukar dinilai karena lesi terlalu kecil. Apabila
mikroabses > 10 mm atau membentuk kluster sehingga tampak massa agak besar
maka prakontras kluster piogenik abses tampak sebagai masa low density berbatas
suram. Pasca kontras fase arterial tampak gambaran khas berupa masa dengan rim
enhancement dimana hanya kapsul abses yang tebal yang menyengat. Bagian
tengah abses terlihat hipodens dengan banyak septa-septa halus yang juga
menyengat, sehingga membentuk gambaran menyerupai jala. Fase porta
penyengatan dinding kapsul abses akan semakin menonjol dan sekitar dinding
abses tampak area yang hipodens sebagai reaksi edema di sekitar abses. Sebagian
kecil piogenik bersifat monokuler, tidak bersepta, dan menyerupai abses
amoebiasis. Pembentukan gas di dalam abses biasanya pada infeksi oleh kuman
Klebsiella (Wenas, 2007; Sofwanhadi, 2007).

5
Karateristik abses pada pemeriksaan MRI adalah lesi dengan penyengatan
kontras yang berbentuk cincin dan bagian sentral yang tidak tampak penyengatan.
Cincin penyengatan tetap terlihat pada fase tunda.(2) Sangat sukar dibedakan
gambaran USG antara abses piogenik dan amebik. Biasanya sangat besar, kadang-
kadang multilokular. Struktur eko rendah sampai cairan ( anekoik ) dengan adanya
bercak-bercak hiperekoik (debris) di dalamnya. Tepinya tegas, ireguler yang makin
lama makin bertambah tebal (Iljas, 2008).
G. PENATALAKSANAAN
1. Abses Hati Amebik
a. Medikamentosa
Abses hati amoeba tanpa komplikasi lain dapat menunjukkan penyembuhan yang
besar bila diterapi hanya dengan antiamoeba. Pengobatan yang dianjurkan adalah:
1) Metronidazole
Metronidazole merupakan derivat nitroimidazole, efektif untuk amubiasis
intestinal maupun ekstraintestinal., efek samping yang paling sering adalah
sakit kepala, mual, mulut kering, dan rasa kecap logam. Dosis yang dianjurkan
untuk kasus abses hati amoeba adalah 3 x 750 mg per hari selama 5 – 10 hari.
Sedangkan untuk anak ialah 35-50 mg/kgBB/hari terbagi dalam tiga dosis.
Derivat nitroimidazole lainnya yang dapat digunakan adalah tinidazole dengan
dosis 3 x 800 mg perhari selama 5 hari, untuk anak diberikan 60 mg/kgBB/hari
dalam dosis tunggal selama 3-5 hari.
2) Dehydroemetine (DHE)
Merupakan derivat diloxanine furoate. Dosis yang direkomendasikan untuk
mengatasi abses liver sebesar 3 x 500 mg perhari selama 10 hari atau 1-1,5
mg/kgBB/hari intramuskular (max. 99 mg/hari) selama 10 hari. DHE relatif
lebih aman karena ekskresinya lebih cepat dan kadarnya pada otot jantung lebih
rendah. Sebaiknya tidak digunakan pada penyakit jantung, kehamilan, ginjal,
dan anak-anak
3) Chloroquin
Dosis klorokuin basa untuk dewasa dengan amubiasis ekstraintestinal ialah
2x300 mg/hari pada hari pertama dan dilanjutkan dengan 2x150 mg/hari
selama 2 atau 3 minggu. Dosis untuk anak ialah 10 mg/kgBB/hari dalam 2
dosis terbagi selama 3 minggu. Dosis yang dianjurkan adalah 1 g/hari selama 2
hari dan diikuti 500 mg/hari selama 20 hari.
6
b. Aspirasi
Apabila pengobatan medikamentosa dengan berbagai cara tersebut di atas tidak
berhasil (72 jam), terutama pada lesi multipel, atau pada ancaman ruptur atau bila
terapi dcngan metronidazol merupakan kontraindikasi seperti pada kehamilan,
perlu dilakukan aspirasi. Aspirasi dilakukan dengan tuntunan USG.
c. Drainase Perkutan
Drainase perkutan indikasinya pada abses besar dengan ancaman ruptur atau
diameter abses > 7 cm, respons kemoterapi kurang, infeksi campuran, letak abses
dekat dengan permukaan kulit, tidak ada tanda perforasi dan abses pada lobus kiri
hati. Selain itu, drainase perkutan berguna juga pada penanganan komplikasi paru,
peritoneum, dan perikardial.
d. Drainase Bedah
Pembedahan diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil mcmbaik
dengan cara yang lebih konservatif, kemudian secara teknis susah dicapai dengan
aspirasi biasa. Selain itu, drainase bedah diindikasikan juga untuk perdarahan yang
jarang tcrjadi tetapi mengancam jiwa penderita, disertai atau tanpa adanya ruptur
abses. Penderita dengan septikemia karena abses amuba yang mengalami infeksi
sekunder juga dicalonkan untuk tindakan bedah, khususnya bila usaha dekompresi
perkutan tidak berhasil Laparoskopi juga dikedepankan untuk kemungkinannya
dalam mengevaluasi tcrjadinya ruptur abses amuba intraperitoneal (Sofwanhadi,
2007; Fauci, 2008; Junita, 2006).
2. Abses hati piogenik
a. Pencegahan
Merupakan cara efektif untuk menurunkan mortalitas akibat abses hati piogenik
yaitu dengan cara:
1) Dekompresi pada keadaan obstruksi bilier baik akibat batu ataupun tumor
dengan rute transhepatik atau dengan melakukan endoskopi
2) Pemberian antibiotik pada sepsis intra-abdominal
b. Terapi definitive
Terapi ini terdiri dari antibiotik, drainase abses yang adekuat dan menghilangkan
penyakit dasar seperti sepsis yang berasal dari saluran cerna. Pemberian antibiotika
secara intravena sampai 3 gr/hari selama 3 minggu diikuti pemberian oral selama
1-2 bulan. Antibiotik ini yang diberikan terdiri dari:

7
1) Penisilin atau sefalosporin untuk coccus gram positif dan beberapa jenis
bakteri gram negatif yang sensitif. Misalnya sefalosporin generasi ketiga
seperti cefoperazone 1-2 gr/12jam/IV
2) Metronidazole, klindamisin atau kloramfenikol untuk bakteri anaerob terutama
B. fragilis. Dosis metronidazole 500 mg/6 jam/IV
3) Aminoglikosida untuk bakteri gram negatif yang resisten.
4) Ampicilin-sulbaktam atau kombinasi klindamisin- metronidazole,
aminoglikosida dan siklosporin.
c. Drainase abses
Pengobatan pilihan untuk keberhasilan pengobatan adalah drainase terbuka
terutama pada kasus yang gagal dengan pengobatan konservatif. Penatalaksanaan
saat ini adalah dengan menggunakan drainase perkutaneus abses intraabdominal
dengan tuntunan abdomen ultrasound atau tomografi komputer.
d. Drainase bedah
Drainase bedah dilakukan pada kegagalan terapi antibiotik, aspirasi perkutan,
drainase perkutan, serta adanya penyakit intra-abdomen yang memerlukan
manajemen operasi (Sofwanhadi, 2007; Fauci, 2008).

H. KOMPLIKASI
1. Abses Hepar Amoeba
Komplikasi yang paling sering adalah ruptur abses sebesar 5 - 5,6 %. Ruptur
dapat terjadi ke pleura, paru, perikardium, usus, intraperitoneal atau kulit. Kadang-
kadang dapat terjadi superinfeksi, terutama setelah aspirasi atau drainase. Infeksi
pleuropneumonal adalah komplikasi yang paling umum terjadi. Mekanisme infeksi
termasuk pengembangan efusi serosa simpatik, pecahnya abses hati ke dalam rongga
dada yang dapat menyebabkan empiema, serta penyebaran hematogen sehingga
terjadi infeksi parenkim. Fistula hepatobronkial dapat menyebabkan batuk produktif
dengan bahan nekrotik mengandung amoeba. Fistula bronkopleural mungkin jarang
terjadi. Komplikasi pada jantung biasanya dikaitkan pecahnya abses pada lobus kiri
hati dimana ini dapat menimbulkan kematian. Pecah atau rupturnya abses dapat ke
organ-organ peritonium dan mediastinum. Kasus pseudoaneurysm arteri hepatika
telah dilaporkan terjadi sebagai komplikasi (Fauci, 2008; Junita, 2006).
2. Abses Hepar Piogenik
Saat diagnosis ditegakkan, menggambarkan keadaan penyakit berat seperti
septikamia/bakterimia dengan mortalitas 85%, ruptur abses hati disertai peritonitis
generalisata dengan mortalitas 6-7%, kelainan pleuropulmonal, gagal hati, perdarahan
ke dalam rongga abses, hemobilia, empiema, fistula hepatobronkial, ruptur ke dalam

8
perikard atau retroperineum. Sesudah mendapatkan terapi, sering terjadi diatesis
hemoragik, infeksi luka, abses rekuren, perdarahan sekunder dan terjadi rekurensi
atau reaktifasi abses (Sofwanhadi, 2007).

KONSEP ASKEP PADA PASIEN DENGAN ABSES HEPAR

A. PENGKAJIAN
RUANG RAWAT :
TANGGAL RAWAT :
NO MEDREC :
TANGGAL PENGKAJIAN :
I. PENGUMPULAN DATA
a. IDENTITAS KLIEN
Nama :
Umur :
Jenis kelamin :
Pendidikan :
Agama :
Pekerjaan :
Status marital :
Diagnosa medis :
Alamat :
b. RIWAYAT KEPERAWATAN
1. Riwayat Penyakit Sekarang
a. Keluhan Utama
b. Kronologis keluhan
2. Riwayat Penyakit Masa Lalu
3. Riwayat Psikososial dan Spiritual
4. Pola kebiasaan sehari-hari
c. PEMERIKSAAN FISIK
Tanda-tanda vital :
Kesadaran
Kesadaran umum
d. Data Penunjang
e. Terapi

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan pasien dengan Abses hepar meliputi :
1) Pola napas, tidak efektif berhubungan dnegan Neuromuskular, ketidakseimbangan
perceptual/kognitif.

9
2) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual
karena desakan pada saluran pencernaan.
3) Kekurangan volume cairan, resiko tinggi terhadap pembatasan pemasukan cairan
secara oral (proses/prosedur medis/adanya rasa mual).
4) Nyeri (akut) berhubungan dengan gangguan pada kulit, jaringan, dan integritas
otot.
5) Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan post operasi drainase.
6) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka operasi dan prosedur invasif.
7) Gangguan kebutuhan tidur berhubungan dengan proses penyakit, efek hospitalisasi,
perubahan lingkungan
8) Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi/situasi, prognosis,
kebutuhan pengobatan.

C. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


Keperawatan
1. Kerusakan integritas Setelah dilakukan asuhan Wound care
jaringan berhubungan keperawatan selama ...x 24 1. Jaga kulit sekitar luka
dengan post operasi jam kerusakan integritas tetap bersih dan kering
drainase kulit teratasi dengan kriteria 2. Lakukan perawatan luka
hasil : secara steril
Wound healing 3. Observasi keadaan luka
- Menunjukkan terjadi meliputi lokasi,
proses penyembuhan kedalaman, ukuran,
luka karakteristik, warna
- Perfusi jaringan sekitar cairan, nekrotik,
luka normal epitelisasi, granulasi dan
tanda-tanda infeksi lokal
4. Berikan posisi yang
mengurang tekanan
pada area luka
5. Gunakan dressing
sesuai indikasi
2. Ketidakseimbangan Setelah dilakukan asuhan Nutritional Management
nutrisi kurang dari keperawatan selama 3 x 24 1. Kaji adanya alergi
kebutuhan tubuh jam ketidakseimbangan makanan
berhubungan dengan nutrisi kurang dari 2. Monitor mual dan
mual karena desakan kebutuhan tubuh teratasi muntah

10
pada saluran dengan kriteria hasil: 3. Monitor intake nutrisi
pencernaan Nutritional status: food and 4. Informasikan pada klien
fluid intake tentang manfaat nutrisi
- Menunjukkan 5. Pertahankan terapi IV
peningkatan nafsu line
makan 6. Kolaborasi dengan ahli
- Menghabiskan porsi gizi untuk menetukan
yang dianjurkan jumlah kalori dan nutrisi
- Keseimbangan antara yang dibutuhkan klien
intake dan output 7. Anjurkan makan sedikit
makanan tetapi sering
Nutritional status: adequacy 8. Monitor hasil lab
of nutrient (albumin, Ht, Hb).
- Albumin serum dalam
rentang normal (3,5 - 5,5
g/dL)
- Hematokrit dalam
rentang normal (38 -
42%)
- Hb dalam rentang
normal (11,4 - 14,1
gr/dL)

3. Nyeri akut Setelah dilakukan asuhan Pain Management


keperawatan selama 2 x 1. Lakukan pengkajian
24 jam nyeri dapat teratasi nyeri secara
dengan kriteria hasil: komprehensif
Pain Control 2. Observasi reaksi
- Mampu mengontrol nyeri nonverbal dari
(tahu penyebab nyeri, ketidaknyamanan
mampu menggunakan 3. Ajarkan teknik
teknik nonfarmakologi nonfarmakologi seperti
untuk mengurangi nyeri) distraksi, relaksasi nafas
- Melaporkan rasa dalam, dsb)
nyaman setelah nyeri 4. Berikan informasi
berkurang mengenai nyeri seperti
Pain level penyebab, berapa lama

11
- Melaporkan nyeri nyeri akan berkurang
berkurang dan antipasi pada
- Skala nyeri berkurang ketidaknyamanan dari
- TTV dalam rentang prosedur
normal (TD: 100-120/80- 5. Monitor TTV
90 mmHg, N : 60-100 6. Kolaborasi pemberian
x/menit, RR : 16-20 analgesik
o
x/menit, S: 36-37,5 C)

4. Risiko infeksi Setelah dilakukan asuhan Infection Control


berhubungan dengan keperawatan selama 3 x 24 1. Pertahankan teknik
luka operasi dan jam tidak terjadi infeksi aseptik
prosedur invasif dengan kriteria hasil: 2. Batasi pengunjung, bila
Risk Control perlu
- Klien terbebas dari tanda 3. Cuci tangan sebelum
dan gejala infeksi dan sesudah tindakan
- Menunjukkan keperawatan
kemampuan mencegah 4. Tingkatkan intake nutrisi
infeksi 5. Monitor tanda dan gejala
- Jumlah leukosit dalam infeksi baik lokal
batas normal ( 4,4 – maupun sistemik
3
10,4.10 /µL) 6. Ajarkan klien dan
keluarga untuk
mencegah timbulnya
infeksi
7. Kolaborasi pemberian
antibiotik

12
DAFTAR PUSTAKA

Brailita, Daniel. Amebic liver abscesses. September 19th, 2008. November 1st. 2011.
(Online) http://emedicine.medscape.com/article/183920-overview#showall.

Fauci. 2008. Infectious disease. In : Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th


edition. USA: Ashford Colour Press.

Friedman, Lawrence S. Rosenthal, Philip J. Goldsmith, Robert S. 2008. Liver, biliary


tract and pancreas. Protozoal and helminthic infections. In : Papadakis, Maxine
A. McPhee, Stephen J. Tierney, Lawrence M. Current medical diagnosis and
treatment 2008 forty-seventh edition. (Online)
http://emedicine.medscape.com/article/193182-overview#showall.

Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2008. Hati sebagai Suatu Organ. Dalam : Buku ajar
fisiologi kedokteran edisi 11. Jakarta : EGC.

Iljas, Mohammad. 2008. Ultrasonografi Hati. Dalam : Rasad, Sjahriar. Radiologi


diagnostik edisi kedua. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Junita, Arini dan Widita, Haris. 2006. Kasus Abses Hati Amuba. Dalam : Jurnal penyakit
dalam vol. 7 nomor 2. Mei 2006 http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/beberapa
%20kasus%20abses%20hati%20amuba%20(dr%20arini).pdf.

Sofwanhadi, Rio. Widjaja, Patricia. Koan, Tan Siaw. Julius. Zubir, Nasrul. 2007. Anatomi
hati. Gambar tomografi dikomputerisasi (CT SCAN). Magnetic resonance
imaging (MRI) hati. Abses hati. Penyakit hati parasit. Dalam : Sulaiman, Ali.
Akbar, Nurul. Lesmana, Laurentius A. Noer, Sjaifoellah M. Buku ajar ilmu
penyakit hati edisi pertama. Jakarta : Jayabadi.

Soedarto. 2007. Penyakit Protozoa. Dalam : Sinopsis kedokteran tropis. Surabaya :


Airlangga University Press.

Wenas, Nelly Tendean. 2007. Abses Hati. Dalam : Sudoyo,Aru W. Buku ajar ilmu
penyakit dalam jilid I edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

13

Anda mungkin juga menyukai