Anda di halaman 1dari 15

ABSES HEPAR

I. Pendahuluan
Hati adalah organ yang paling sering untuk terjadinya abses. Dari suatu studi di Amerika,
didapatkan 13% abses hati dari 48% abses viseral. abses hati dapat berbentuk soliter
ataupun multipel. Sekitar 90% dari abses lobus kanan hepar merupakan abses soliter,
sedangkan abses lobus kiri hanya 10% yang merupakan abses soliter. Hal ini dapat terjadi
dari penyebaran hematogen maupun secara langsung dari tempat terjadinya infeksi di
dalam rongga peritoneum. Abses hati terbagi 2 secara umum, yaitu abses hati amuba dan
abses hati piogenik. Angka kejadian abses hati piogenik lebih tinggi dibandingkan abses
hati amuba. Angka kejadian abses hati amuba hanya sekitar 20% dari semua abses hati.

II. Definisi
Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena infeksi bakteri,
parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistim gastrointestinal yang
ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan pus yang terdiri dari
jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel darah di dalam parenkim hati.1

III. Klasifikasi
Abses hati terbagi 2 secara umum, yaitu abses hati amuba dan abses hati piogenik. Abses
hati amuba merupakan salah satu komplikasi amebiasis ekstraintestinal yang paling sering
dijumpai di daerah tropik/subtropik, termasuk Indonesia. Abses hati piogenik dikenal juga
sebagai hepatic abscess, bacterial liver abscess, bacterial abscess of the liver, bacterial
hepatic abscess.1

1. Abses Hati Amuba


A. Epidemiologi
Amebiasis merupakan penyakit berhubungan dengan aspek sosial kemasyarakatan
yang luas, terutama didaerah dengan sanitasi, status hygiene yang kurang baik dan
yang rendah. Indonesia memiliki banyak daerah endemik untuk strain virulen E.
histolytica. E.histolytica hidup komensal di usus manusia, namun dengan keadaan gizi
yang buruk dapat menjadi patogen dan menyebabkan angka morbiditas yang tinggi.

1
Penelitian di Indonesia menunjukan perbandingan pria : wanita berkisar 3:1. Usia
penderita berkisar antara 20-50 tahun, terutama pada dewasa muda, jarang pada anak-
anak.4 Abses hati amuba lebih jarang ditemukan dibandingkan abses hati piogenik,
angka kejadiannya hanya sekitar 20% dari semua abses hati. Infeksi ini sering terjadi di
daerah tropis, dimana sekitar 10-20% populasi mengandung organ ini. Pusat
pengendalian penyakit melaporkan 1,3 kasus amubiasis per 100.000 populasi.3
B. Etiologi
Abses hati amuba terjadi karena Entameba histolytica terbawa aliran vena porta ke hepar,
tetapi tidak semua amuba yang masuk ke hepar dapat menimbulkan abses. Untuk
terjadinya abses, diperlukan faktor pendukung atau penghalang berkembang biaknya
amuba tersebut. Faktor tersebut antara lain adalah pernah terkena infeksi amuba, kadar
kolesterol meninggi, pascatrauma hepar, dan ketagihan alkohol. Akibat infeksi amuba
tersebut, terjadi reaksi radang dan akhirnya nekrosis jaringan hepar. Sel hepar yang jauh
dari fokus infeksi juga mengalami sedikit perubahan meskipun tidak ditemukan amuba.
Perubahan ini diduga akibat toksin yang dikeluarkan oleh amuba.

C. Patogenesis
Hystolitica memiliki dua bentuk yaitu tropozoit dan kista. Bentuk kista ini dapat
bertahan di luar tubuh manusia. Kista dipindahkan melalui kontaminasi makanan dan air
minum atau secara langsung. Tropozoid akan berubah dari bentuk kista dalam usus kecil
dan akan terus ke kolon dan dari sini akan memperbanyak diri.
Baik bentuk trophozoit maupun kista dapatditemukan pada lumen usus. Namun
trophozoit yang dapat menginvasi jaringan. Amuba ini dapat menjadi patogen dengan
mensekresi enzim cys-teine protease, sehingga melisiskan jaringan maupun eritrosit dan
menyebar keseluruh organ secara hematogen dan perkontinuinatum. Lokasi yang sering
adalah di lobus kanan (70%-90%), superfisial serta tunggal.
Kecenderungan ini diperkirakan akibat penggabungan dari beberapa tempat infeksi
mikroskopik, serta disebabkan karena cabang vena porta kanan lebih lebar dan lurus dari
pada cabang vena porta kiri. Ukuran abses bervariasi dari diameter 1-25 cm. Dinding
abses bervariasi tebalnya, bergantung pada lamanya penyakit.4,7
Abses ini sebetulnya bukan abses yang sebenarnya, tetapi lebih menyerupai proses
pencairan jaringan nekrosis multipel yang makin lama makin besar dan bergabung
membentuk apa yang disebut abses. Cairan abses terdiri atas jaringan hati yang nekrosis
dan eritrosit yang berwarna tengguli. Cairan ini terbungkus oleh hiperplasia jaringan ikat

2
yang disebut simpai walaupun bukan berupa simpai sejati. Jaringan ikat ini membatasi
perusakan lebih jauh, kecuali bila ada infeksi tambahan. Kebanyakan abses hati bersifat
soliter, steril dan terletak di lobus kanan dekat kubah diafragma. Jarang ditemukan
amuba pada cairan tersebut; bila ada amuba biasanya terdapat di daerah dekat dengan
simpainya. Secara klasik, cairan abses menyerupai achovy paste dan berwarna coklat
kemerahan, sebagai akibat jaringan hepar serta sel darah merah yang dicerna. Evaluasi
cairan abses untuk penghitungan sel dan enzimatik secara umum tidak membantu dalam
mendiagnosis abses amuba. Amuba bisa didapatkan ataupun tidak di dalam cairan pus.4.5

D. Gejala klinis
Pada penderita abses hepar amuba tidak selalu ditemukan riwayat diare sebelumnya.
Diare hanya dialami oleh 20-50% penderita. Penyakit ini timbul secara perlahan, disertai
demam, berkeringat, dan berat badan menurun. Tanda lokal yang paling sering adalah
nyeri spontan dan nyeri tekan perut kanan atas, di daerah lengkung iga dengan hepar
yang membesar. Kadang nyeri ditemukan di daerah bahu kanan akibat iritasi diafragma.
Hepatomegali dan nyeri biasanya ditemukan, tetapi jarang sekali disertai ikterus,
prekoma atau koma. Bila lobus kiri yang terkena, akan ditemukan massa di daerah
epigastrium. Gejala khas adalah suhu tubuh yang tidak lebih dari 38,5C. Penderita tak

3
kelihatan sakit berat seperti pada abses karena bakteria. Kadang gejalanya tidak
khas, timbul pelan-pelan atau asimptomatis.4,5
E. Pemeriksaan penunjang
Laboratorium
Jumlah leukosit berkisar antara 5.000 dan 30.000, tetapi umumnya antara 10.000-12.000.
Kadar fosfatase alkali serum meningkat pada semua tingkat abses amuba. Tes serologi
titer amuba di atas atau sama dengan 1:128. Dapat ditemukan anemia ringan sampai
sedang. Pada pemeriksaan faal hati, tidak ditemukan kelainan yang spesifik. Kista dan
tropozoit pada kotoran hanya teridentifikasi pada 15-50% penderita abses amuba
hepar, karena infeksi usus besar sering kali telah
mereda saat penderita mengalami abses hepar. Complement fixation test lebih dapat
dipercaya dibanding riwayat diare, pemeriksaan kotoran, dan proktoskop.4,5
Pencitraan
Tak ada perbedaan radiologi yang jelas antara abses hati piogenik dan amuba. Perbedaan
terlihat pada hasil tes serologi E. histolytica. Pada foto roentgen pasien dengan abses hati
amuba dapat terlihat kubah diafragma kanan meninggi, efusi pleura, abses paru dan
atelektasis. Pemeriksaan ultrasonografi merupakan pemeriksaan yang penting untuk
membantu diagnosis serta menentukan lokasi abses dan besarnya. Sensitivitasnya dalam
mendiagnosis amebiasis hati adalah 85%-95%. Gambaran ultrasonografi pada
amebiasis hati adalah:
1. Bentuk bulat atau oval
2. Tidak ada gema dinding yang berarti
3. Ekogenitas lebih rendah dari parenkim hati normal.
4. Bersentuhan dengan kapsul hati
5. Peninggian sonik distal (distal enhancement)
Pemeriksaan CT-scan hati sama dengan pemeriksaan ultrasonografi. Pada endoskopi,
sebagian penderita tidak menunjukkan tanda kolitis amuba. Kadang abses amuba baru
timbul bertahun-tahun setelah infeksi amuba kolon.3,4,5

F. Diagnosis
Untuk membuat diagnosis abses hati amuba yang penting adalah kesadaran akan
kemungkinan penyakit ini. Bila ada nyeri daerah epigastrium kanan dan hepatomegali
serta demam yang tidak begitu tinggi, dugaan abses hepar harus dipertimbangkan.

4
Riwayat diare dan ditemukannya amuba dalam feses membantu diagnosis meskipun
tidak ditemukannya kedua hal ini tidak berarti bukan abses hati amuba.

Untuk selengkapnya dapat kita lihat berbagai kriteria yang ada pada tabel berikut ini:

Kriteria Sherlock Kriteria Ramachandran Kriteria Lamont & Pooler


1. Hepatomegali yang nyeri 1. Hepatomegali yang 1. Hepatomegali yang nyeri
tekan nyeri 2. Kelainan hematologis
2. Respon yang baik 2. Riwayat disentri 3. Kelainan radiologis
terhadap obat amebisid 3. Leukositosis 4. Pus amebik
3. Leukositosis 4. Kelainan radiologis 5. Tes serologis (+)
4. Peninggian diafragma 5. Respon terhadap 6. Kalainan sidikan hati
kanan dan pergerakan amebisid 7. Respon yang baik
yang kurang Ket : terhadap amebisid
5. Aspirasi pus Bila terdapat 3 atau lebih Ket :
6. Pada USG didapatkan dari gejala diatas Bila didapatkan 3 atau lebih
rongga di dalam hati
7. Tes haemaglutinasi (+)

F. Diagnosis banding
Penyakit lain yang gejala klinisnya mirip dengan abses hati amuba antara lain:
Abses hati piogenik
1) Disebabkan paling banyak oleh bakteri gram negatif yang terbanyak yaitu E. coli serta
kuman yang lainnya yaitu S. faecalis, P. vulgaris dan S. typhi. Dapat juga disebabkan
oleh bakteri anaerob yang berasal dari v. porta, saluran empedu (yang paling sering),
infeksi langsung (seperti luka pada penetrasi, fokus septik berdekatan), septisemia
atau bakterimia pada infeksi tempat lain, kriptogenik terutama pada usia lanjut.
2) Pus yang diaspirasi kuning kehijauan dan berbau sedangkan pada abses amuba coklat
kemerahan (anchovy sauce) dan tidak berbau.
3) Manifestasi sistemik yang lebih berat, terutama demam yang dapat bersifat remiten,
intermitten dan kontinu yang disertai menggigil.
4) Ikterus yang lebih nyata karena adanya penyakit billier seperti kolangitis.
5) Abses biasanya didapatkan pada kedua lobus (53,2%) dan pada lobus kanan (41,8%)
sedangkan pada lobus kiri hanya 4,8%.
6) Pengobatan dilakukan dengan antibiotik.

5
7) Sering muncul pada pasien berusia diatas 50 tahun
8) Berhubungan dengan ikterus, pruritus, sepsis, dan peningkatan bilirubin dan alkali
fosfatase.
Keganasan (Ca. Hepatik primer) tipe febris.
Kolesistisis akut
Hepatitis kronis, hepatitis virus akut
Kista hati
Massa intra abdomen
Kelainan intra torakal kanan bawah
Abdomen akut oleh karena adanya apendisitis atau ulkus peptikum
Untuk memastikan diagnosis perlu dilihat hasil pemeriksaan ultrasonografi, pungsi dan
percobaan pengobatan dengan amubisid yang merupakan diagnosis per eksklusionem.2,5,7

G. Penatalaksanaan
Pengobatan medis.3,4,5
1) Obat amebisid digolongkan berdasarkan tempat kerjanya menjadi:
(1) amebisid jaringan atau sistemik, yaitu obat yang bekerja terutama di dinding
usus, hati dan jaringan ekstra intestinal lainnya; contohnya emetin, dehidroemetin,
klorokuin,
(2) amebisid luminal, yaitu yang bekerja dalam usus dan disebut juga amebisid
kontak contohnya, diyodohidroksikuin, yodoklorhidroksikuin, kiniofon,
glikobiarsol, karbason, klifamid, diklosanid furoat, tetrasiklin dan paromomisin dan
(3) amebisid yang bekerja pada lumen maupun jaringan, contohnya obat-obat
golongan nitroimidazol.
Abses hati ameba tanpa komplikasi lain dapat menunjukan penyembuhan yang
besar bila diterapi hanya dengan antiamuba. Pengobatan yang dianjurkan adalah:
2) Metronidazole.
Metronidazole merupakan derivat nitroimidazole. Dosis 50mg/kgBB/hari. Dosis
yang dianjurkan untuk kasus abses hati amuba adalah 3 x 750 mg/hari selama 7-10
hari. Derivat nitroimidazole lainnya yang dapat digunakan adalah tinidazole dengan
dosis 3 x 800 mg perhari selama 5 hari. Metronidazol merupakan obat terpilih dan
telah dilaporkan menyembuhkan 80-100% abses hati amuba. Pasien yang berhasil
diterapi dengan metronidazol mempunyai respon klinis dramatis, biasanya menjadi
tidak demam dan bebas nyeri dalam 24 dan 48 jam.
6
b) Dehydroemetine (DHE). Merupakan derivat diloxanine furoate. Dosis
yang direkomendasikan untuk mengatasi abses liver sebesar 3 x 500 mg perhari
selama 10 hari.
c) Chloroquin. Dosis yang dianjurkan adalah 1g/hari selama 2 hari dan diikuti
500mg/hari selama 20 hari. Absorbsi klorokuin di usus halus sangat baik dan
lengkap (kadar di hati 200-700 kali di plasma), sehingga kadar dalam kolon sangat
rendah. Oleh karena itu perlu ditambah amebisid luminal untuk menghindari relaps.
Pada penelitian ditemukan bahwa kadar klorokuin setelah diabsorbsi tertinggi di
dalam jaringan hati; maka sangat baik untuk terapi abses hati amebiasis
Terapi bedah
Terapi bedah berupa aspirasi dan penyaliran. Teknik aspirasi dapat dilakukan secara
buta, tetapi sebaiknya dengan tuntunan ultrasonografi sehingga dapat mencapai sasaran
dengan tepat. Jika gejala menetap lebih dari 1 minggu dan gambaran radiologi
menunjukkan kista yang tetap ada setelah terapi antibiotika, maka bisa diindikasikan
aspirasi per kutis atau drainase bedah. Sumber lain juga mengatakan, apabila
pengobatan medikamentosa dengan berbagai cara tersebut di atas tidak berhasil (72
jam) atau bila terapi dengan metronidazol merupakan kontraindikasi seperti pada
kehamilan, perlu dilakukan aspirasi. Aspirasi dapat dilakukan berulang-ulang secara
tertutup atau dilanjutkan dengan pemasangan kateter penyalir. Pada semua tindakan
harus diperhatikan prosedur aseptik dan antiseptik untuk mencegah infeksi sekunder.
Cara aspirasi menguntungkan karena tidak mengganggu fungsi vital, sedikit
mempengaruhi kenyamanan penderita, tidak menyebabkan kontaminasi rongga
peritoneum dan murah. Aspirasi harus dilakukan dengan kateter yang cukup besar.
Kontraindikasi adalah asites dan struktur vital menghalangi jalannya jarum.3,4,5
Penyaliran terbuka dilakukan bila pengobatan gagal dengan terapi konservatif, termasuk
aspirasi berulang. Indikasi lain adalah abses hati lobus kiri yang terancam pecah ke
rongga peritoneum dan ke organ lain termasuk ke dinding perut, dan infeksi sekunder
yang tidak terkendali. Angka kematian dengan cara ini lebih tinggi.5
H. Komplikasi
Komplikasi abses hati amuba umumnya berupa perforasi atau ruptur abses ke berbagai
rongga tubuh (pleura, paru, perikardium, usus, intraperitoneal) dan ke kulit, sebesar 5-
5,6%. Perforasi ke kranial dapat terjadi ke pleura dan perikard. Insiden perforasi ke
rongga pleura adalah 10-20%. Akan terjadi efusi pleura yang besar dan luas yang
memperlihatkan cairan cokelat pada aspirasi. Perforasi dapat berlanjut ke paru sampai
7
ke bronkus sehingga didapat sputum yang berwarna khas cokelat. Penderita mengeluh
bahwa sputumnya terasa seperti rasa hati selain didapatkan hemoptisis. Perforasi ke
rongga perikard menyebabkan efusi perikard dan tamponade jantung. Bila infeksi dapat
diatasi, akan terjadi inflamasi kronik seperti tuberkulosis perikard dan pada fase
selanjutnya terjadi penyempitan jantung (perikarditis konstriktiva).4,5
Perforasi ke kaudal terjadi ke rongga peritoneum. Perforasi akut menyebabkan
peritonitis umum. Abses kronik, artinya sebelum perforasi, omentum dan usus
mempunyai kesempatan untuk mengurung proses inflamasi, menyebabkan peritonitis
lokal. Perforasi ke depan atau ke sisi terjadi ke arah kulit sehingga menimbulkan fistel.
Infeksi sekunder dapat terjadi melalui sinus ini. Meskipun jarang, dapat juga terjadi
emboli ke otak yang menyebabkan abses amuba otak.5
I. Prognosis
Tingkat kematian dengan fasilitas yang memadai di RS 2%, sedangkan pada fasilitas
yang kurang 10%, pada kasus yang membutuhkan operasi 12%, jika ada peritonitis
amebik 4050%. Tingkat kematian akan semakin meningkat dengan keadaan umum
yang jelek, malnutrisi, ikterus atau renjatan. Kematian biasanya disebabkan oleh sepsis
atau sindrom hepatorenal.

2. Abses Hati Piogenik


Abses hati piogenik merupakan 75% dari semua abses hati. Abses ini pada anak dan
dewasa muda terjadi akibat komplikasi apendisitis dan pada orang tua sebagai
komplikasi penyakit saluran empedu. Biasanya abses berbentuk soliter dan ini
membutuhkan pembedahan, sedangkan yang bentuk multipel kecil-kecil tersebar di
kedua lobus hati tidak memerlukan pembedahan. Abses hati piogenik merupakan kondisi
serius dengan angka kematian tinggi bila diagnosis tidak dibuat secara dini. Bila terapi
dilakukan dini dan tepat, angka kematian cenderung mengecil.
A. Epidemiologi
Abses hati piogenik tersebar di seluruh dunia dan terbanyak di daerah tropis dengan
kondisi higiene/sanitasi yang kurang. Secara epidemiologi, didapatkan 8-15 per 100.000
kasus abses hati piogenik yang memerlukan perawatan di RS dan dari beberapa
kepustakaan Barat didapatkan prevalensi autopsi bervariasi antara 0,29-1,47%
sedangkan prevalensi di RS antara 0,008-0,016%. Penyakit ini lebih sering terjadi pada
pria dibandingkan perempuan, dengan rentang usia berkisar lebih dari 40 tahun dengan
insidensi puncak pada dekade ke-6.

8
B. Etiologi dan Patogenesis
Hampir semua organisme patologik dapat menimbulkan abses hati piogenik. Yang
terpenting ialah E. Coli, Staphylococcus aureus, Proteus, Klebsiella, Pseudomonas dan
bakteri anaerob, seperti Bacteroides dan Clostridium. Pada dua per tiga kasus dapat
dibiakkan lebih dari satu organisme. Kecurigaan kuman anaerob lebih besar bila didapat
nanah yang berbau busuk, gas dalam abses dan tidak ada kuman pada pembiakan aerob.
Mungkin juga terjadi infeksi sekunder pada kelainan intrahepatik seperti abses
tuberkulosis atau infeksi askariasis. Bila organisme Streptococcus milleiri dapat
dibiakkan dalam darah, dapat diduga ada abses hati yang tidak tampak (abses tersamar).
Abses hati dapat berasal dari radang bilier, dari daerah splanknik melalui vena porta atau
sistemik dari manapun di tubuh melalui arteri hepatika. Sebagian sumber tidak diketahui.
Kadang disebabkan oleh trauma atau infeksi langsung ke hati atau sistem di sekitarnya.
Penyakit bilier/kandung empedu
Obstruksi saluran empedu karena kolelitiasis atau karsinoma merupakan penyebab
utama abses hati piogenik. Kolesistitis akut dan pankreatitis akut juga dapat
menyebabkan abses hati piogenik. Infeksi pada saluran empedu yang mengalami
obstruksi naik ke cabang saluran empedu intrahepatik menyebabkan kolangitis yang
menimbulkan kolangiolitis dengan akibat abses multipel. Abses hati piogenik multipel
terdapat pada 50% kasus. Hati dapat membengkak dan daerah yang mengandung abses
menjadi pucat kekuningan, berbeda dengan hati sehat di sekitarnya yang berwarna merah
tua. Kebanyakan terdapat pada lobus kanan dengan perbandingan 5 kali lobus kiri. Abses
hati piogenik juga dapat timbul sebagai penyulit pankreatitis kronik.
Infeksi melalui sistim porta (piemia porta)
Sebelum era antibiotik, sepsis intraabdomen, terutama apendisitis, divertikulitis, disentri
basiler, infeksi daerah pelvik, hemoroid yang terinfeksi dan abses perirektal, merupakan
penyebab utama abses hati piogenik. Biasanya berawal sebagai pileflebitis perifer
disertai pernanahan dan trombosis yang kemudian menyebar melalui aliran vena porta ke
dalam hati.
Apabila abses hati piogenik berhubungan dengan pileflebitis, vena porta dan cabangnya
tampak melebar dan mengandung nanah, bekuan darah, dan bakteria. Di sekitar abses
terdapat infiltrasi radang. Apabila abses merupakan penyulit penyakit bilier, biasanya
abses berisi nanah yang berwarna hijau.

9
C. Gambaran Klinis
Manifestasi sistemik abses hati piogenik biasanya lebih berat daripada abses hati amuba.
Dicurigai adanya Abses hati piogenik apabila ditemukan sindrom klinis klasik berupa
nyeri spontan perut kanan atas, yang ditandai dengan jalan membungkuk ke depan
dengan kedua tangan diletakkan di atasnya.
Demam/panas tinggi merupakan keluhan paling utama, keluhan lain yaitu nyeri pada
kuadran kanan atas abdomen di bawah iga kanan dan disertai dengan keadaan syok.
Nyeri sering berkurang bila penderita berbaring pada sisi kanan. Dapat dijumpai gejala
dan tanda efusi pleura. Setelah era pemakaian antibiotik yang adekuat, gejala dan
manifestasi klinis abses hati piogenik adalah malaise, demam yang tidak terlalu tinggi,
dan nyeri tumpul pada abdomen yang menghebat dengan adanya pergerakan. Apabila
abses hati piogenik letaknya dekat dengan diafragma, maka akan terjadi iritasi diafragma
sehingga terjadi nyeri pada bahu sebelah kanan, batuk ataupun terjadi atelektasis. Gejala
lainnya adalah mual dan muntah, berkurangnya nafsu makan, penurunan berat badan,
kelemahan badan, ikterus, buang air besar berwarna seperti kapur, dan buang air kecil
berwarna gelap.
Pada pemeriksaan mungkin didapatkan febris yang sumer-sumer hingga demam/panas
tinggi yang hilang timbul atau menetap bergantung pada jenis abses dan kuman
penyebabnya. Pada palpasi terdapat hepatomegali atau ketegangan pada perut kuadran
lateral atas abdomen atau pembengkakan pada daerah interkostal. Ketegangan lebih
nyata pada perkusi. Apabila abses terdapat pada lobus kiri, mungkin dapat diraba tumor
di epigastrium. Splenomegali didapatkan apabila abses telah menjadi kronik, selain itu
bisa didapatkan asites, ikterus, serta tanda-tanda hipertensi portal. Ikterus terutama
terdapat pada abses hati piogenik karena penyakit saluran empedu yang disertai dengan
kolangitis supurativa dan pembentukan abses multipel. Jenis ini prognosisnya buruk.
Dapat terjadi penyulit berupa pecahnya abses ke dalam rongga perut, rongga dada atau
perikard. Dapat pula terjadi septikemia dan syok. Akan tetapi,banyak juga yang tidak
menunjukkan gejala khas. Oleh karena itu, kemungkinan abses hati piogenik patut
dipikirkan pada setiap penderita dengan demam tanpa sebab yang jelas, terutama
pascabedah abdomen.
Tabel berikut ini menampilkan tanda dan gejala dari abses hati piogenik :
Gejala Persentase Tanda Persentase
Sakit perut 89-100 Temuan normal 38
Demam 67-100 Nyeri kuadran kanan atas 41-72

10
Menggigil 33-88 Hepatomegali 51-92
Anoreksia 38-80 Teraba massa 17-18
Penurunan berat badan 25-68 Ikterus 23-43
Batuk 11-28 Kelainan paru 11-48
Nyeri dada 9-24

C. Pemeriksaan penunjang
Laboratorium
Leukosit meningkat jelas (>10.000/mm3) pada 75-96% pasien, dengan pergeseran
ke kiri, walaupun beberapa kasus menunjukkan nilai normal. Laju endapan darah
biasanya meningkat dan dapat terjadi anemia ringan (50-80% pasien),
meningkatnya alkali fosfatase (pada 95-100% pasien), enzim transaminase dan
serum bilirubin (pada 28-73% pasien), berkurangnya kadar albumin serum (<3
g/dl), meningkatnya nilai globulin (>3 g/dl) dan waktu protrombin yang memanjang
(71-87% pasien) menunjukkan adanya kegagalan fungsi hati yang disebabkan abses
hati piogenik. Prognosis buruk bila kadar serum amino transferase meningkat. Tes
serologi digunakan untuk menyingkirkan diagnosis diferensial. Kultur darah yang
memperlihatkan bakteri penyebab menjadi standar emas untuk menegakkan
diagnosis secara mikrobiologik.
Pencitraan
Pada foto polos rontgen, elevasi atau perubahan diafragma kanan terlihat pada 50%
kasus. Dapat dijumpai efusi pleural, atelektasis basiler, pleuritis, empiema, abses
paru, dan jarang sekali fistel bronkopleural. Kadang dapat dilihat garis batas udara
dan cairan yang terdapat di dalam rongga abses. Pada foto toraks PA, sudut
kardiofrenikus tertutup, pada posisi lateral sudut kostofrenikus anterior tertutup.
Abses lobus kiri akan mendesak kurvatura minor. Secara angiografik, abses
merupakan daerah avaskuler. Pemeriksaan penunjang yang lain yaitu CT-scan
abdomen atau MRI, ultrasonografi abdomen dan biopsi hati, kesemuanya saling
menunjang sehingga memiliki nilai diagnostik semakin tinggi. CT-scan abdomen
memiliki sensitivitas 95-100% dan dapat mendeteksi luasnya lesi hingga kurang
dari 1 cm. Ultrasonografi abdomen memiliki sensitivitas 80-90%, Ultrasound-
Guided Aspiraate for Culture and Special Stains didapatkan positif 90% kasus,
sedangkan gallium and technectium radionuclide scanning memiliki sensitivitas 50-
90%.1,5

11
D. Diagnosis
Menegakkan diagnosis abses hati piogenik berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan laboratorium serta pemeriksaan penunjang. Diagnosis kadang-kadang sulit
ditegakkan sebab gejala dan tanda klinis sering tidak spesifik. Sedangkan diagnosis dini
memberikan arti penting dalam pengelolaan karena penyakit ini dapat disembuhkan.
Sebaliknya, diagnosis dan pengobatan yang terlambat akan meningkatkan angka
kejadian morbiditas dan mortalitas. Diagnosis dapat ditegakkan bukan hanya dengan
CT-scan saja, meskipun pada akhirnya dengan CT-scan mempunyai nilai prediksi yang
tinggi untuk diagnosis, demikian juga dengan tes serologi yang dilakukan. Tes serologi
yang negatif menyingkirkan diagnosis abses hati amuba, meskipun terdapat pada sedikit
kasus, tes ini menjadi positif setelah beberapa hari kemudian. Diagnosis berdasarkan
penyebab adalah dengan menemukan bakteri penyebab pada pemeriksaan kultur hasil
aspirasi, ini merupakan standar emas untuk diagnosis.
F. Penatalaksanaan
1. Aspirasi
Aspirasi tertutup dapat dilakukan dengan bimbingan ultrasonografi atau tomografi
komputer. Pungsi ini dilakukan untuk tujuan aspirasi berulang, memasukkan antibiotik ke
dalam rongga abses, serta memasang pipa penyalir, baik sebagai tindakan diagnosis
maupun pengobatan. Komplikasi yang bisa terjadi adalah perdarahan, pneumotoraks,
kebocoran dinding abses ke dalam rongga peritoneum, perforasi organ intraabdominal,
infeksi ataupun terjadi kesalahan dalam penempatan kateter untuk drainase. Drain dilepas
jika dinding abses kolaps, yang dikonfirmasi lewat pemeriksaan CT-scan. Adanya asites
dan struktur yang menghalangi drainase merupakan kontraindikasi. Keberhasilan
tindakan ini sebesar 80-87%. Pertimbangkan terjadinya kegagalan drainase perkutan bila
tidak ada perbaikan terjadi dan kondisi memburuk dalam 72 jam,atau bila abses berulang
meskipun drainase awal memadai. Kegagalan drainase perkutan dapat ditangani dengan
pemasangan ulang kateter, atau melakukan drainase bedah terbuka.
Pengobatan medis
Pemberian antibiotik disesuaikan dengan hasil tes kepekaan kuman. Bila hasil tes
belum ada, sedangkan pengobatan harus dimulai, pada terapi awal digunakan
penisilin. Selanjutnya dikombinasikan antara ampisilin, aminoglikosida atau
sefalosporin generasi III dan klindamisin atau metronidazol. Metronidazol dan
klindamisin baik untuk melawan bakteri anaerob dan mampu melakukan penetrasi ke
dalam kavitas abses. Aminoglikosida dan sefalosporin generasi III mampu melawan

12
bakteri gram negatif. Floroquinolon dapat dijadikan alternatif bagi pasien yang alergi
terhadap golongan penisilin. Terapi ini biasanya efektif pada pasien dengan abses
unilokular dengan ukuran <3 cm. Jika dalam waktu 48-72 jam belum ada perbaikan
klinis dan laboratoris maka antibiotik yang digunakan diganti dengan antibiotik yang
sesuai dengan hasil kultur sensitivitas aspirat abses hati. Pengobatan secara parenteral
dapat dirubah menjadi oral setelah pengobatan parenteral selama 10-14 hari dan
kemudian dilanjutkan kembali hingga 6 minggu kemudian. Bilamana perlu, antibiotik
dapat diberikan langsung ke saluran empedu melalui penyalir T yang dipasang
sewaktu melakukan laparatomi atau langsung ke sistem porta melalui vena
umbilikalis. Keberhasilan pengobatan bergantung pada ukuran, letak dan jumlah
abses.
Pengobatan bedah
Penyaliran tertutup dan pemberian antibiotik melalui penyalir ternyata efektif pada
banyak penderita. Pembedahan dilakukan pada penderita yang tidak menunjukkan
hasil baik dengan pengobatan nonbedah. Indikasi untuk drainase bedah adalah sebagai
berikut:
a) Adanya penyakit intra-abdomen yang membutuhkan tindakan operatif
b) Kegagalan terapi antibiotik
c) Kegagalan aspirasi perkutan
d) Kegagalan drainase perkutan
Kontraindikasi relatif untuk tindakan operatif:
a) Abses multipel
b) Infeksi polimikroba
c) Adanya penyakit imunosupresif atau keganasan pada pasien
d) Adanya masalah kesehatan lain pada pasien yang mempersulit tindakan.
Laparatomi dilakukan dengan sayatan subkostal kanan. Abses dibuka, dilakukan
penyaliran, dicuci dengan larutan garam fisiologik dan larutan antibiotik serta
dipasang penyalir. Apabila letak abses jauh dari permukaan, penentuan lokasi
dilakukan dengan ultrasonografi intraoperatif, kemudian dilakukan aspirasi dengan
jarum. Abses multipel bukan indikasi untuk pembedahan dan pengobatannya hanya
dengan pemberian antibiotik dan pungsi. Kadang-kadang abses hati piogenik multipel
diperlukan reseksi hati.

13
G. Komplikasi
Saat diagnosis ditegakkan, menggambarkan keadaan penyakit yang berat, seperti
septikemia/bakteremia dengan mortalitas 85%, ruptur abses hati disertai peritonitis
generalisata dengan mortalitas 6-7%, kelainan pleuropulmonal, gagal hati, perdarahan
ke dalam rongga abses, hemobilia, empiema, fistula hepatobronkial, ruptur ke dalam
perikard atau retroperitoneum. Sesudah mendapat terapi, sering terjadi diatesis
hemoragik, infeksi luka, abses rekuren, perdarahan sekunder dan terjadi rekurensi atau
reaktivasi abses.
H. Prognosis
Jika disertai septikemia, mortalitas dan morbiditas tinggi. Mortalitas abses hati piogenik
yang diobati dengan antibotika yang sesuai bakterial penyebab dan dilakukan drainase
adalah 10-16%. Prognosis juga dipengaruhi oleh umur penderita, adanya penyakit
saluran empedu, adanya hubungan dengan keganasan dan penyulit di paru-paru.
Prognosis buruk apabila terjadi keterlambatan diagnosis dan pengobatan, jika hasil
kultur darah yang memperlihatkan penyebab bakterial organisme multipel, tidak
dilakukan drainase terhadap abses, adanya ikterus, hipoalbuminemia, efusi pleural atau
adanya penyakit lain.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo, Aru. W., dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi IV.
Jakarta Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
2. Way. Lawrence. W., 2003. Current Surgical Diagnosis and Treatment. Lange USA
:Medical Publication.
3. Kortz, Warren J. & Sabiston, David C., 1994. Sabiston Buku Ajar Bedah, Bagian 2.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
4. Junita, A., dkk. 2006. Jurnal Penyakit Dalam, Volume 7 Nomor 2 : Beberapa Kasus
Abses Hati Amuba. Available from: Http://ejournal.unud.ac.id/. Accessed on : June
02nd, 2009.
5. Sjamsuhidayat, R., Jong, Wim de. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. Jakarta :
EGC.
6. Moore, L. Keith., Agur, Anne. M. R., 2002. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta :
Hipokrates.
7. Hetti. 2010. Liver Abses. Available from Http://wordpress.com/2010/03/17/liver-
abses. Accessed on : June 02nd, 2009.
8. Nickloes, Todd. A., 2009. Pyogenic Hepatic Abscess. Available from:
Http://emedicine/193182.htm. Accessed on : June 02nd, 2009.

15

Anda mungkin juga menyukai