Anda di halaman 1dari 35

Abses HATI

I. Pendahuluan

Hati adalah organ yang paling sering untuk terjadinya abses. Dari suatu studi
di Amerika, didapatkan 13% abses hati dari 48% abses viseral. Abses hati dapat
berbentuk soliter ataupun multipel. Sekitar 90% dari abses lobus kanan hepar
merupakan abses soliter, sedangkan abses lobus kiri hanya 10% yang merupakan
abses soliter. Hal ini dapat terjadi dari penyebaran hematogen maupun secara
langsung dari tempat terjadinya infeksi di dalam rongga peritoneum. 1

Abses hati terbagi 2 secara umum, yaitu abses hati amuba dan abses hati
piogenik. Angka kejadian abses hati piogenik lebih tinggi dibandingkan abses hati
amuba. Angka kejadian abses hati amuba hanya sekitar 20% dari semua abses hati.

II. Definisi

Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena
infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistim
gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan
pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel darah di dalam
parenkim hati.1

III. Klasifikasi

Abses hati terbagi 2 secara umum, yaitu abses hati amuba dan abses hati
piogenik. Abses hati amuba merupakan salah satu komplikasi amebiasis
ekstraintestinal yang paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik, termasuk
Indonesia. Abses hati piogenik dikenal juga sebagai hepatic abscess, bacterial liver
abscess, bacterial abscess of the liver, bacterial hepatic abscess.1

1
ABSES HATI AMUBA

a. Epidemiologi

Amebiasis merupakan penyakit endemik yang berhubungan dengan aspek


sosial kemasyarakatan yang luas, terutama di daerah dengan sanitasi, status
hygiene yang kurang baik dan status ekonomi yang rendah. Indonesia memiliki
banyak daerah endemik untuk strain virulen E. histolytica. E. histolytica hidup
komensal di usus manusia, namun dengan keadaan gizi yang buruk dapat menjadi
patogen dan menyebabkan angka morbiditas yang tinggi. Penelitian di Indonesia
menunjukan perbandingan pria : wanita berkisar 3:1. Usia penderita berkisar antara
20-50 tahun, terutama pada dewasa muda, jarang pada anak-anak.4

Abses hati amuba lebih jarang ditemukan dibandingkan abses hati piogenik,
angka kejadiannya hanya sekitar 20% dari semua abses hati. Infeksi ini sering terjadi
di daerah tropis, dimana sekitar 10-20% populasi mengandung organ ini. Pusat
pengendalian penyakit melaporkan 1,3 kasus amubiasis per 100.000 populasi.3

b. Etiologi

Abses hati amuba terjadi karena Entamoeba histolytica terbawa aliran vena
porta ke hepar, tetapi tidak semua amuba yang masuk ke hepar dapat menimbulkan
abses. Untuk terjadinya abses, diperlukan faktor pendukung atau penghalang
berkembang biaknya amuba tersebut. Faktor tersebut antara lain adalah pernah
terkena infeksi amuba, kadar kolesterol meninggi, pascatrauma hepar, dan ketagihan
alkohol. Akibat infeksi amuba tersebut, terjadi reaksi radang dan akhirnya nekrosis
jaringan hepar. Sel hepar yang jauh dari fokus infeksi juga mengalami sedikit
perubahan meskipun tidak ditemukan amuba. Perubahan ini diduga akibat toksin yang
dikeluarkan oleh amuba.5

2
c. Patogenesis

E. Hystolitica memiliki dua bentuk yaitu tropozoit dan kista. Bentuk kista ini
dapat bertahan di luar tubuh manusia. Kista dipindahkan melalui kontaminasi
makanan dan air minum atau secara langsung. Tropozoid akan berubah dari bentuk
kista dalam usus kecil dan akan terus ke kolon dan dari sini akan memperbanyak diri.
Baik bentuk trophozoit maupun kista dapat ditemukan pada lumen usus. Namun
hanya bentuk trophozoit yang dapat menginvasi jaringan. Amuba ini dapat menjadi
patogen dengan mensekresi enzim cys-teine protease, sehingga melisiskan jaringan
maupun eritrosit dan menyebar keseluruh organ secara hematogen dan
perkontinuinatum. Amuba yang masuk ke submukosa memasuki kapiler darah,
ikut dalam aliran darah melalui vena porta ke hati. Di hati E. hystolitica
mensekresi enzim proteolitik yang melisis jaringan hati, dan membentuk abses.
Lokasi yang sering adalah di lobus kanan (70% - 90%), superfisial serta tunggal.
Kecenderungan ini diperkirakan akibat penggabungan dari beberapa tempat infeksi
mikroskopik, serta disebabkan karena cabang vena porta kanan lebih lebar dan lurus
dari pada cabang vena porta kiri. Ukuran abses bervariasi dari diameter 1-25 cm.
Dinding abses bervariasi tebalnya, bergantung pada lamanya penyakit.4,7

Abses ini sebetulnya bukan abses yang sebenarnya, tetapi lebih menyerupai
proses pencairan jaringan nekrosis multipel yang makin lama makin besar dan
bergabung membentuk apa yang disebut abses. Cairan abses terdiri atas jaringan hati
yang nekrosis dan eritrosit yang berwarna tengguli. Cairan ini terbungkus oleh
hiperplasia jaringan ikat yang disebut simpai walaupun bukan berupa simpai sejati.
Jaringan ikat ini membatasi perusakan lebih jauh, kecuali bila ada infeksi tambahan.
Kebanyakan abses hati bersifat soliter, steril dan terletak di lobus kanan dekat kubah
diafragma. Jarang ditemukan amuba pada cairan tersebut; bila ada amuba biasanya
terdapat di daerah dekat dengan simpainya. Secara klasik, cairan abses menyerupai
”achovy paste” dan berwarna coklat kemerahan, sebagai akibat jaringan hepar serta
sel darah merah yang dicerna. Evaluasi cairan abses untuk penghitungan sel dan
enzimatik secara umum tidak membantu dalam mendiagnosis abses amuba. Amuba
bisa didapatkan ataupun tidak di dalam cairan pus.4,5

d. Gejala klinis

3
Pada penderita abses hepar amuba tidak selalu ditemukan riwayat diare
sebelumnya. Diare hanya dialami oleh 20-50% penderita. Penyakit ini timbul secara
perlahan, disertai demam, berkeringat, dan berat badan menurun. Tanda lokal yang
paling sering adalah nyeri spontan dan nyeri tekan perut kanan atas, di daerah
lengkung iga dengan hepar yang membesar. Kadang nyeri ditemukan di daerah bahu
kanan akibat iritasi diafragma. Hepatomegali dan nyeri biasanya ditemukan, tetapi
jarang sekali disertai ikterus, prekoma atau koma. Bila lobus kiri yang terkena, akan
ditemukan massa di daerah epigastrium. Gejala khas adalah suhu tubuh yang tidak
lebih dari 38,5°C. Penderita tak kelihatan sakit berat seperti pada abses karena
bakteria. Kadang gejalanya tidak khas, timbul pelan-pelan atau asimptomatis.4,5

e. Pemeriksaan penunjang

• Laboratorium

Jumlah leukosit berkisar antara 5.000 dan 30.000, tetapi umumnya antara
10.000-12.000. Kadar fosfatase alkali serum meningkat pada semua tingkat abses
amuba. Tes serologi titer amuba di atas atau sama dengan 1:128. Dapat ditemukan
anemia ringan sampai sedang. Pada pemeriksaan faal hati, tidak ditemukan kelainan
yang spesifik. Kista dan tropozoit pada kotoran hanya teridentifikasi pada 15-50%
penderita abses amuba hepar, karena infeksi usus besar seringkali telah mereda
saat penderita mengalami abses hepar. Complement fixation test lebih dapat
dipercaya dibanding riwayat diare, pemeriksaan kotoran, dan proktoskop.4,5

• Pencitraan

Tak ada perbedaan radiologi yang jelas antara abses hati piogenik dan amuba.
Perbedaan terlihat pada hasil tes serologi E. histolytica. Pada foto roentgen pasien
dengan abses hati amuba dapat terlihat kubah diafragma kanan meninggi, efusi pleura,
abses paru dan atelektasis. Pemeriksaan ultrasonografi merupakan pemeriksaan yang
penting untuk membantu diagnosis serta menentukan lokasi abses dan besarnya.
Sensitivitasnya dalam mendiagnosis amebiasis hati adalah 85%-95%. Gambaran
ultrasonografi pada amebiasis hati adalah:

1. Bentuk bulat atau oval

4
2. Tidak ada gema dinding yang berarti
3. Ekogenitas lebih rendah dari parenkim hati normal.
4. Bersentuhan dengan kapsul hati
5. Peninggian sonik distal (distal enhancement)

Pemeriksaan CT-scan hati sama dengan pemeriksaan ultrasonografi. Pada


endoskopi, sebagian penderita tidak menunjukkan tanda kolitis amuba. Kadang abses
amuba baru timbul bertahun-tahun setelah infeksi amuba kolon.3,4,5

f. Diagnosis

Untuk membuat diagnosis abses hati amuba yang penting adalah kesadaran
akan kemungkinan penyakit ini. Bila ada nyeri daerah epigastrium kanan dan
hepatomegali serta demam yang tidak begitu tinggi, dugaan abses hepar harus
dipertimbangkan. Riwayat diare dan ditemukannya amuba dalam feses membantu
diagnosis meskipun tidak ditemukannya kedua hal ini tidak berarti bukan abses hati
amuba.5

Beberapa kriteria diagnosis abnses hepar amubik………

g. Diagnosis banding

Penyakit lain yang gejala klinisnya mirip dengan abses hati amuba antara lain:

• Abses hati piogenik

1) Disebabkan paling banyak oleh bakteri gram negatif yang terbanyak yaitu E.
coli serta kuman yang lainnya yaitu S. faecalis, P. vulgaris dan S. typhi.
Dapat juga disebabkan oleh bakteri anaerob yang berasal dari v. porta,
saluran empedu (yang paling sering), infeksi langsung (seperti luka pada
penetrasi, fokus septik berdekatan), septisemia atau bakterimia pada infeksi
tempat lain, kriptogenik terutama pada usia lanjut.
2) Pus yang diaspirasi kuning kehijauan dan berbau sedangkan pada abses
amuba coklat kemerahan (anchovy sauce) dan tidak berbau.
3) Manifestasi sistemik yang lebih berat, terutama demam yang dapat bersifat
remiten, intermitten dan kontinu yang disertai menggigil.

5
4) Ikterus yang lebih nyata karena adanya penyakit billier seperti kolangitis.
5) Abses biasanya didapatkan pada kedua lobus (53,2%) dan pada lobus kanan
(41,8%) sedangkan pada lobus kiri hanya 4,8%.
6) Pengobatan dilakukan dengan antibiotik.
7) Sering muncul pada pasien berusia diatas 50 tahun
8) Berhubungan dengan ikterus, pruritus, sepsis, dan peningkatan bilirubin dan
alkali fosfatase.
a. Keganasan (Ca. Hepatik primer) tipe febril
b. Kolesistisis akut
c. Hepatitis kronis, hepatitis virus akut
d. Kista hati
e. Massa intra abdomen
f. Kelainan intra torakal kanan bawah
g. Abdomen akut oleh karena adanya apendisitis atau ulkus peptikum

Untuk memastikan diagnosis perlu dilihat hasil pemeriksaan ultrasonografi,


pungsi dan percobaan pengobatan dengan amubisid yang merupakan diagnosis per
eksklusionem.2,5,7

h. Penatalaksanaan

• Pengobatan medis3,4,5

Obat amebisid digolongkan berdasarkan tempat kerjanya menjadi:

 amebisid jaringan atau sistemik, yaitu obat yang bekerja terutama di


dinding usus, hati dan jaringan ekstra intestinal lainnya; contohnya
emetin, dehidroemetin, klorokuin,
 amebisid luminal, yaitu yang bekerja dalam usus dan disebut juga
amebisid kontak contohnya, diyodohidroksikuin,
yodoklorhidroksikuin, kiniofon, glikobiarsol, karbason, klifamid,
diklosanid furoat, tetrasiklin dan paromomisin dan
 amebisid yang bekerja pada lumen maupun jaringan, contohnya
obat-obat golongan nitroimidazol

6
Abses hati ameba tanpa komplikasi lain dapat menunjukan penyembuhan
yang besar bila diterapi hanya dengan antiamuba. Pengobatan yang dianjurkan
adalah:

a) Metronidazole. Metronidazole merupakan derivat nitroimidazole. Dosis


50mg/kgBB/hari. Dosis yang dianjurkan untuk kasus abses hati amuba adalah
3 x 750 mg/hari selama 7-10 hari. Derivat nitroimidazole lainnya yang dapat
digunakan adalah tinidazole dengan dosis 3 x 800 mg perhari selama 5 hari.
Metronidazol merupakan obat terpilih dan telah dilaporkan menyembuhkan
80-100% abses hati amuba. Pasien yang berhasil diterapi dengan metronidazol
mempunyai respon klinis dramatis, biasanya menjadi tidak demam dan bebas
nyeri dalam 24 dan 48 jam.
b) Dehydroemetine (DHE). Merupakan derivat diloxanine furoate. Dosis yang
direkomendasikan untuk mengatasi abses liver sebesar 3 x 500 mg perhari
selama 10 hari.
c) Chloroquin. Dosis yang dianjurkan adalah 1g/hari selama 2 hari dan diikuti
500mg/hari selama 20 hari. Absorbsi klorokuin di usus halus sangat baik dan
lengkap (kadar di hati 200-700 kali di plasma), sehingga kadar dalam kolon
sangat rendah. Oleh karena itu perlu ditambah amebisid luminal untuk
menghindari relaps. Pada penelitian ditemukan bahwa kadar klorokuin setelah
diabsorbsi tertinggi di dalam jaringan hati; maka sangat baik untuk terapi
abses hati amebiasis

• Terapi bedah

Terapi bedah berupa aspirasi dan penyaliran. Teknik aspirasi sebaiknya


dengan tuntunan ultrasonografi sehingga dapat mencapai sasaran dengan tepat. Jika
gejala menetap lebih dari 1 minggu dan gambaran radiologi menunjukkan kista yang
tetap ada setelah terapi antibiotika, maka bisa diindikasikan aspirasi per kutis atau
drainase bedah. Sumber lain juga mengatakan, apabila pengobatan medikamentosa
dengan berbagai cara tersebut di atas tidak berhasil (72 jam) atau bila terapi dengan
metronidazol merupakan kontraindikasi seperti pada kehamilan, perlu dilakukan
aspirasi. Aspirasi dapat dilakukan berulang-ulang secara tertutup atau dilanjutkan
dengan pemasangan kateter penyalir. Pada semua tindakan harus diperhatikan
prosedur aseptik dan antiseptik untuk mencegah infeksi sekunder. Cara aspirasi
7
menguntungkan karena tidak mengganggu fungsi vital, sedikit mempengaruhi
kenyamanan penderita, tidak menyebabkan kontaminasi rongga peritoneum dan
murah. Aspirasi harus dilakukan dengan kateter yang cukup besar. Kontraindikasi
adalah asites dan struktur vital menghalangi jalannya jarum.3,4,5

Penyaliran terbuka dilakukan bila pengobatan gagal dengan terapi konservatif,


termasuk aspirasi berulang. Indikasi lain adalah abses hati lobus kiri yang terancam
pecah ke rongga peritoneum dan ke organ lain termasuk ke dinding perut, dan infeksi
sekunder yang tidak terkendali. Angka kematian dengan cara ini lebih tinggi.5

i. Komplikasi

Komplikasi abses hati amuba umumnya berupa perforasi atau ruptur abses ke
berbagai rongga tubuh (pleura, paru, perikardium, usus, intraperitoneal) dan ke kulit,
sebesar 5-5,6%. Perforasi ke kranial dapat terjadi ke pleura dan perikard. Insiden
perforasi ke rongga pleura adalah 10-20%. Akan terjadi efusi pleura yang besar dan
luas yang memperlihatkan cairan cokelat pada aspirasi. Perforasi dapat berlanjut ke
paru sampai ke bronkus sehingga didapat sputum yang berwarna khas cokelat.
Penderita mengeluh bahwa sputumnya terasa seperti rasa hati selain didapatkan
hemoptisis. Perforasi ke rongga perikard menyebabkan efusi perikard dan tamponade
jantung. Bila infeksi dapat diatasi, akan terjadi inflamasi kronik seperti tuberkulosis
perikard dan pada fase selanjutnya terjadi penyempitan jantung (perikarditis
konstriktiva).4,5

Perforasi ke kaudal terjadi ke rongga peritoneum. Perforasi akut menyebabkan


peritonitis umum. Abses kronik, artinya sebelum perforasi, omentum dan usus
mempunyai kesempatan untuk mengurung proses inflamasi, menyebabkan peritonitis
lokal. Perforasi ke depan atau ke sisi terjadi ke arah kulit sehingga menimbulkan
fistel. Infeksi sekunder dapat terjadi melalui sinus ini. Meskipun jarang, dapat juga
terjadi emboli ke otak yang menyebabkan abses amuba otak.5

j. Prognosis

Tidak seperti abses hati piogenik, angka kematian pada abses amuba hepar
tercatat dalam sejarah lebih rendah. Tahun 1935, Ochner melaporkan 9% pasien

8
dengan abses amuba meninggal karena penyakitnya. Para peneliti mengevaluasi
pengobatan dengan antibiotik saja, antibiotik dikombinasikan dengan aspirasi jarum,
dan antibiotik dengan drainase terbuka, telah dilaporkan dengan angka kematian yang
sama antara 2% sampai 3%.14
Beberapa faktor klinis telah dikaitkan dengan prognosis yang jelek pada
pasien-pasien dengan abses amuba hepar. Peningkatan umur, manifestasi klinis yang
lambat, encephalopathy, multipel abses, volume abses > 500 ml, dan komplikasi
seperti ruptur intraperikardial atau komplikasi pulmonum meningkatkan tiga kali
angka kematian. Hiperbilirubinemia (>3,5 mg/dL) juga termasuk faktor resiko,
dengan ruptur timbul lebih sering pada pasien-pasien dengan jaundice. Kadar
hemoglobin 8 g/dL dan serum albumin <2 g/dL juga meningkatkan resiko ruptur.
Meskipun demikian, kebanyakan pasien dengan abses amuba hepar, dengan atau
tanpa komplikasi, memiliki respons yang baik terhadap pengobatan medis dan dapat
sembuh.11,14

EMPIEMA AMUBA

Empiema torasis adalah suatu keadaan terkumpulnya nanah di rongga pleura.3


Empiema amuba disebabkan oleh protozoa Entamoeba histolytica (E. histolytica) dan
sering dihubungkan dengan abses hati annrbaatau amubiasis hati.a Meskipun angka
kekerapannya sangat kecil, empiefira amubasaat ini masihmenjadi masalah kesehatan
di negaraberkernbang. Malhotra e al5melalarkan penelitian terhadap1117 pasien
empiema torasis dan mendapatkan kekerapan empiema amub a sellrusar 4 ,4Vu
sedangkan data penyakit itudi Indonesia belum banyak diketahui. Amubiasis pada
jaringan paru dan pleura merupakanamubiasis ekstraintestinal keduatersering setelah
abses hati
amuba. Amubiasis paru dan pleura terjadi pada 2 -3o/o paien
amutriasis invasif dengan angka mortalitas 5-l6Yo dan dapat
meningkat menjadi 80% bila tidak diterapi.x6 Shamsu zzarnan
dan Hashiguchi6 melaporkan komplikasi amubiasis di paru
.Penyebaran penyakit ini kejaringan paru
dan pleura melalui penetrasi langsung menembus diafragma
sehingga menimbulkan empiema, abses paru atau fistula
bronkopleura.l.T

9
Faktor yang diduga berperan dalam perkembangan
penyakit ini antara lain kondisi sosio-ekonomi dan sanitasi
lingkungan masyarakat yang buruk, tingkat pendidikal
rendah, kemiskinan, pemukiman padat serta sumber air
terkontaminasi. Pada tahun 1998 di Tbilisi, Georgiapernah
dilaporkan 17 7 kans amrfu4 I orang dtantaranya mengalann
abses hati amuba. Kejadian itu diperkirakan berhubungan
dengan keterbatasan sumber air bersih.s Sekilar 5% populasi
masyarakat Amerika Serikat merupakan pemb awa (carri er)
dan sebagianbesar kazus tefiapatpadaimigran dari daerah
endemik atau wisatawan (1,5olo wisatawan yang kembali dari
negara di Asia Tenggara dan 3,6Yo dari negara di Amerika
Tengah).l Faktor risiko tinggi mengalami amubiasis ditemukan
pada perempuan hamil, bayi, pasien terinfeksi Human Immunodeficiency
Virus SIIV), diabetes melitus, malnutrisi,
pengobatan kortikosteroid dan individu homoseksual.xlo

ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN

Definisi
Anemia hemolitik autoimun (autoimmune hemolytic anemia =AIHA/AHA)
merupakan suatu kelainan dimana terdapat antibodi terhadap sel-sel eritrosit sehingga
umur eritrosit memendek.1

Patofisiologi
Perusakan sel-sel eritrosit yang diperantai antibodi ini terjadi melalui aktivasi
sistem komplemen, aktivasi mekanisme seluler, atau kombinasi keduanya.2

Aktivasi sistem komplemen


Secara keseluruhan aktifasi sistem komplemen akan menyebabkan hancurnya
membran sel eritrosit dan terjadilah hemolisis intravaskuler yang ditandai dengan
hemoglobinemia dan hemoglobinuria.

10
Secara komplemen akan diaktifkan melalui jalur klasik ataupun jalur alternatif.
Antibodi - antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah IgM,
IgG1, IgG2, IgG3, IgM disebut sebagai aglutinin tipe dingin, sebab antibodi ini
berikatan dengan antigen polisakarida pada permukaan sel darah merah pada suhu
dibawah suhu tubuh. Antibodi IgG disebut aglutinin hangat karena bereaksi dengan
antigen permukaan sel eritrosit pada suhu tubuh.3

Aktivasi komplemen jalur Klasik


Reaksi diawali dengan aktifasi C1 suatu protein yang dikenal sebagai recognition
unit, C1 akan berikatan dengan kompleks imun antigen antibodi dan menjadi aktif
serta mampu mangkatalisis reaksi-reaksi pada jalur klasik. Fragmen C1 akan
mengaktifkan C4 dan C2 menjadi suatu kompleks C4b,2b ( dikenal sebagai C3-
convertase), C4b,2b akan memecah C3 menjadi fragmen C3b dan C3a. C3b
mengalami perubahan konformational sehingga mampu berikatan secara kovalen
dengan partikel yang mengkatifkan komplemen (sel darah merah berlabel antibodi).
C3 juga akan membelah menjadi C3d,g, dan C3c, C3d dan C3g akan tetap berikatan
pada membran sel darah merah dan merupakan produk final aktivasi C3. C3b akan
membentuk kompleks dengan C4b2b menjadi C4b2b3b (C5 convertase). C5
convertase akan memecah C5 menjadi C5a (anafilaktosin) dan C5b yang berperan
dalam kompleks penghancur membran. Kompleks penghancur membran terdiri dari
molekul C5b,C6,C7,C8 dan beberapa molekul C9. Kompleks ini akan menyisip ke
dalam membran sel sebagai suatu aluran transmembran sehingga permeabilitas
membran normal akan terganggu. Air dan ion akan masuk ke dalam sel sehingga sel
membengkak dan ruptur.4

Aktifasi komplemen jalur alternatif


Aktifator jalur alternatif akan mengaktifkan C3, dan C3b yang terjadi akan
berikatan dengan membran sel darah merah. Faktor B kemudian melekat pad C3b,
dan oleh D faktor B dipecah menjadi Ba dan Bb. Bb merupakan suatu protease serin,
dan tetap melekat pada C3b. Ikatan C3bBb selanjutnya akan memecah molekul C3
lagi menjadi C3a dan C3b. C5 akan berikatan dengan C3b dan oleh Bb dipecah
menjadi C5a dan C5b berperan dalam penghancuran membran.1

Aktivasi Seluler yang menyebabkan Hemolisis Ekstravaskular


11
Jika sel darah disensitasi dengan IgG yang tidak berikatan dengan komplemen
atau berikatan dengan komponen komplemen namun tidak terjadi aktifasi komplemen
lebih lanjut, maka sel darah merah tersebut akan dihancurkan oleh sel-sel
retikuloendotelial. Proses immune adherence ini sangat penting bagi perusakan sel
eritrosit yang diperantai sel. Immunoadherence, terutama yang diperantarai IgG-FcR
akan menyebabkan fagositosis.3

Etiologi
Etiologi pasti dari penyakit autoimun memang belum jelas, kemungkinan terjadi
karena gangguan central tolerance, dan gangguan pada proses pembatasan limfosit
autoreaktif residual.5

Klasifikasi
Anemia Hemolitik imun dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Anemia Hemolitik Auto Imun (AIHA)
a. AIHA tipe Hangat
a) Idiopatik
b) Sekunder (karena cll, limfoma, SLE)
b. AIHA tipe Dingin
a) Idiopatik
b) Sekunder (infeksi mycoplasma, mononucleosis, virus, keganasan
limforetikuler)

II. Paroxysmal Cold Hemoglobinuri


a. Idiopatik
b. Sekunder (viral, dan sifilis)

III. AIHA atipik


a. AIHA tes antiglobulin negatif
b. AIHA kombinasi tipe Hangat dan dingin
- AIHA diinduksi obat
- AIHA diinduksi aloantibodi

IV Reaksi Hemolitik Tranfusi


12
V Penyakit Hemolitik pada Bayi baru lahir

Diagnosis
Pemeriksaan untuk mendeteksi autoantibodi pada eritrosit
Direct Antiglobulin Test (direct coomb’s test )
Sel eritrosit pasien dicuci dari protein -protein yang melekat dan direaksikan
dengan antiserum atau antibodi monoclonal terhadap berbagai imunoglobulin dan
fraksi komplemen. Terutama IgG dan C3d. Bila pada permukaan sel terdapat salah
satu atau kedua IgG dan Cd3 maka akan terjadi aglutinasi.1
Indirect Antiglobulin Test ( indirect Coomb’s Test)
Untuk mendeteksi autoantibodi yang terdapat pada serum. Serum pasien
direaksikan dengan sel-sel reagen. Imunoglobulin yang beredar pada serum akan
melekat pada sel-sel reagen, dan dapat dideteksi dengan antiglobulin sera dengan
terjadinya aglutinasi.1

ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN TIPE HANGAT


Sekitar 70% kasus AIHA memiliki tipe hangat, dimana autoantibodi bereaksi
secara optimal pada suhu 37C. Kurang lebih 50% pasien AIHA tipe hangat disertai
penyakit lain.6

Gejala dan Tanda


Awitan penyakit tersamar, gejala anemia terjadi perlahan-lahan, ikterik dan
demam. Pada beberapa kasus dijumpai perjalanan penyakit mendadak, disertai nyeri
abdomen, dan anemia berat. Urin berwarna gelap karena terjadi hemoglobinuri.
Ikterik terjadi pada 40% pasien. Pada AIHA idiopatik splenomegali terjadi pada 50-
60%, hepatomegali terjadi pada 30%, dan limfadenopati terjadi pada 20% pasien.
Hanya 25 % pasien tidak disertai pembesaran organ dan limfonodi.7

Laboratorium

13
Hemoglobin sering dijumpai dibawah 7 gr/dl pemeriksaan coomb direk biasanya
positip. Autoantibodi tipe hangat biasanya ditemukan dalam serum dan dapat
dipisahkan dari sel-sel eritrosit. Autoantibodi ini berasal dari kelas IgG dan bereaksi
dengan semua sel eritrosit normal. Autoantibodi tipe hangat biasanya bereaksi dengan
antigen pada sel eritrosit pasien sendiri, biasanya antigen Rh.5

Prognosis dan survival


Hanya sebagian kecil pasien mengalami penyembuhan komplit dan sebagian besar
memiliki perjalanan penyakit yang berlangsung kronik, namun terkendali. Survival 10
tahun berkisar 70%. Anemia, DVT, emboli pulmo, infark lien dan kejadian
kardiovaskuler lain bisa terjadi selama periode penyakit aktif. Mortalitas selama 5-10
tahun sebesar 15-25%. Prognosis pada AIHA sekunder tergantung penyakit yang
mendasari.1

Terapi
 Kortikosteroid : 1-1,5 mg/kgBB/hari. Dalam 2 minggu sebagian besar akan
menunjukan respon klinis baik (Hmt meningkat, retikulosit meningkat, tes
coombs direk positif lemah, tes coomb indirek negatip). Nilai normal dan stabil
akan dicapai pada hari ke 30 sampai hari ke 90. Bila ada tanda respon terhadap
steroid, dosis diturunkan tiap minggu 10-20 mg/hari. Terapi steroid dosis < 30
mg/hari diberikan secara selang sehari. Beberapa pasien akan memerlukan terapi
rumatan dengan steroid dosis rendah. Namun bila dosis per hari melebihi 15
mg/hari untuk mempertahankan kadar Hmt, maka perlu segera dipertimbangkan
terapi dengan modalitas lain.1
 Splenektomi: bila terapi steroid tidak adekuat atau tidak bisa dilakukan tappering
dosis selama 3 bulan, maka perlu dipertimbangkan splenektomi. Splenektomi
akan menghilangkan tempat utama penghancuran sel darah merah. Hemolisis
masih bisa terus berlangsung setelah splenektomi, namun akan dibutuhkan
jumlah sel eritrosit terikat antibodi dalam jumlah yang jauh lebih besar untuk
menimbulkan kerusakan eritrosit yang sama. Remisi komplit pasca splenektomi
mencapai 50-75%, namun tidak bersifat permanen. Glukokortikoid dosis rendah
masih sering digunakan setelah splenektomi.3
 Imunosupresi. Azatioprin 50-200 mg/hari (80mg/m2), siklofosfamid 50-150
mg/hari (60 mg/m2)
14
 Terapi lain : danazol 600-800 mg/hari. Biasanya danazol dipakai bersama-sama
steroid. Bila terjadi perbaikan, steroid diturunkan atau dihentikan dan dosis
danazol diturunkan menjadi 200-400 mg/hari. Terapi imunoglobulin
(400mg/kgBB per hari selama 5 hari) menunjukan perbaikan pada beberapa
pasien, namun dilaporkan terapi ini juga tidak efektif pada beberapa pasien lain.
Jadi terapi ini diberikan bersama terpai lain dan responnya bersifat sementara.
Terapi plasmaferesis masih kontroversial.
 Terapi tranfusi : terapi tranfusi bukan merupakan kontraindikasi mutlak. Pada
kondisi yang mengancam jiwa (misal Hb < 3 gr/dl) tranfusi dapat diberikan ,
sambil menunggu steroid dan imunnoglobulin untuk berefek.1

ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN TIPE DINGIN


Terjadinya hemolisis diperantarai antibodi dingin yaitu aglutinin dingin dan
antibodi Donath-Landstainer. Kelainan ini secara karakteristik memiliki aglutinin
dingin IgM monoklonal.
Sering terjadi aglutinasi pada suhu dingin. Hemolisis berjalan kronik. Anemia
biasanya ringan dengan Hb : 9-12 g/dl. Pasien denagan sindrom kronik akan memiliki
survival yang baik dan cukup stabil.
Menghindari udara dingin yang dapat memicu hemolisis. Prednison dan
splenektomi tidak banyak membantu. Klorambucil 2-4 mg/hari. Plasmafaresis untuk
mengurangi antibodi IgM secara teoritis bisa mengurangi hemolisis, namun secara
praktik hal ini sukar dilakukan.1

15
ILUSTRASI KASUS

Telah dirawat seorang pasien laki-laki usia 38 tahun di bagian Penyakit Dalam RSUP
Dr. M. Djamil Padang sejak tanggal 19 Mei 2015 dengan :

Keluhan utama : (auto dan allo anamnesis)


Nyeri perut kanan atas meningkat sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit
Riwayat Penyakit sekarang
 Nyeri perut kanan atas meningkat sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit,
nyeri dirasakan terus menerus, nyeri menjalar ke punggung kanan, nyeri
bertambah jika pasien berubah posisi, nyeri tidak dipengaruhi oleh makanan, nyeri
awalnya sudah dirasakan sejak 3 minggu yang lalu, pasien terlihat membungkuk
sambil memegang perut kanan pada saat berjalan
 Deman sejak 1 bulan yang lalu yang lalu, demam hilang timbul, demam tinggi,
menggigil tidak berkeringat banyak. Deman berkurang jika pasien minum obat.
 Buang air besar encer sejak 3 minggu yang lalu, frekuensi 2-3 kali sehari, jumlah
setengah gelas setiap bab encer, cairan lebih banyak dari ampas, berwarna
kekuningan, lendir ada , darah tidak ada.
 Penurunan nafsu makan sejak 2 minggu yang lalu, makan 3 kali sehari, makan
setengan dari porsi biasa.
 Mual dan muntah sejak 2 minggu yang lalu, frekuensi 2-3 kali sehari, berisi apa
yang dimakan, muntah tidak menyemprot, muntah darah (-)
 Perut kanan atas membengkak sejak 2 minggu yang lalu, dan terasa mendesak ke
ulu hati, sehingga pasien merasa menyesak dan merasa cepat kenyang jika di isi
makanan.
 Buang air kecil seperti teh pekat sejak 2 minggu yang lalu, nyeri buang air kecil
tidak ada, nyeri pada saat buang air kecil tidak ada
 Mata kuning disadari pasien sejak 2 minggu yang lalu, tapi tidak disertai badan
kuning.

16
 Penurunan berat badan tidak ada
 Sesak nafas tidak ada
 Batuk batuk tidak ada
 Badan terasa gatal gatal tidak ada

Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat sakit kuning tidak ada
 Riwayat sakit gula tidak ada
 Riwayat tekanan darah tinggi tidak ada
 Riwayat sakit keganasan sebelumnya tidak ada.

Riwayat Keluarga
 Tidak ada keluarga yang menderita penyakit seperti ini
 Tidak ada anggota keluarga yang menderita buang air besar encer saat ini

Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, Kejiwaan


 Pasien seorang juru parkir di sebuah terminal, tinggal di rumah kontrakan sendiri,
istri pasien tinggal di pasaman, pasien sehari-hari makan di warung-warung
sekitar terminal, pasien tidak terlalu memperhatikan kebersihan badannya.
 Riwayat minum alkohol sejak 20 tahun yang lalu, frekuensi 3- 4 kali dalam
seminggu, baru berhenti sejak 1 bulan yang lalu.
 Riwayat merokok sejak lebih kurang 20 tahun yang lalu, 1-2 bungkus per hari
 Sumber air minum pada pasien ini menggunakan air mineral isi ulang dan pasien
lebih sering makan di warung dari pada di rumah.
 Riwayat sek bebas tidak ada
 Riwayat tato (+)

Pemeriksaan umum :
Keadaaan umum : sedang
Kesadaran : CMC
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 104 x/menit, teratur, pengisian cukup
Nafas : 20 x/menit
17
Suhu : 39,1 C
Tinggi badan : 166 kg
Berat badan : 57 kg
BMI : 22,3 kg/m2 (normal)
VAS :8

Pemeriksaan fisik :
Kulit : Turgor kembali normal
Kelenjar getah Bening : Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening leher,
supraklavikular, axila, inguinal, dan femoral
Kepala : Normocephal, benjolan (-)
Rambut : hitam, tidak mudah di cabut
Mata : Konjungtiva anemis (-) , sklera ikterik (+/+)
Reflek cahaya +/+, diameter pupil 3 mm/ 3 mm
Telinga : aurikula normal, bercak merah di daun telinga kiri dan
kanan
Hidung : deviasi septum (-)
Tenggorokan : Tonsil T1-T1, faring tidak hiperemis
Gigi dan Mulut : carries (+), kandidiasis oral (-), atrofi papil lidah (-)
Bibir : stomatitis di bibir atas
Leher : JVP 5-2 cmH2O, trakhea ditengah, kelenjar tiroid
tidak membesar
Paru :
Thorak : spider naevi (-)
 Paru depan
Inspeksi : statis : tidak simetris,
dinamis : hemithorak kanan tertinggal di banding kiri
Palpasi : fremitus kanan menurun setinggi RIC V ke bawah,
Perkusi : kanan: pekak setinggi RIC V ke bawah
Kiri : sonor
Auskultasi : kanan:suara nafas menghilang setinggi RIC V ke
bawah
Kiri : vesikuler normal ronkhi -/-, wh -/-
18
 Paru belakang
Inspeksi : statis : tidak simetris
dinamis : hemithorak kanan tertinggal di banding kiri
Palpasi : fremitus kanan menurun setinggi thorakal VII ke
bawah
Perkusi : sonor
Auskultasi : kanan:suara nafas menghilang setinggi thorakal VII ke
bawah
Kiri : vesikuler normal ronkhi -/-, wh -/-
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V, tidak
kuat angkat
Perkusi : batas kanan LSD, batas atas RIC II, batas kiri 1 jari
medial LMCS RIC V, pinggang jantung (+)
Auskultasi : bunyi jantung murni reguler, M1> M2, P2< A2,
bising (-)
Abdomen
Inspeksi : tidak tampak membuncit, vena kolateral (-), venektasi
(-)
Palpasi : Hepar teraba 7 jari bawah arkus kostarum dan 8 jari
bawah prosesus xipoideus, pinggir tumpul, permukaan
rata, konsistensi kenyal, fluktuasi (+), nyeri tekan (+),
bruit (-) dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
Punggung : CVA : nyeri tekan dan nyeri ketok tidak ada
Alat kelamin : rambut pubis normal
19
Anggota gerak : Reflek fisiologis +/+, Reflek patologis -/-, edema +/+

Laboratorium :
 Hb : 9,8 g/dl
 Ht : 28 %
 Leukosit : 18.240 /mm3
 Trombosit : 253.000/mm
 LED : 40 mm/jam
 Hitung jenis : 0/1/5/65/25/4
 Gambaran darah tepi :
Eritrosit : anisositosis, normokrom
Leukosit : jumlah meningkat
Trombosit : jumlah cukup, morfologi normal
Urinalisa :
 Protein urine :-
 Glukosa :-
 Bilirubin : negatif
 Leukosit : 1-2 / LPB
 Eritrosit : 0-1 /LPB
 Urobilinogen : positif
Feces rutin
 Warna : coklat
 Konsistensi : lunak
 Leukosit : 1-2 /LPB
 Eritrosit : 0-1/LPB
 Benzidin tes : (-)
 Amuba : (-)
EKG

 Irama : sinus - T inverted (-)

20
 HR : 105 x /1’ - ST elevasi (-)

 Aksis : normal - ST depresi (-)

 Gel P : normal - Q patologis(-)

 PR interval : 0,2 detik - SV1 + RV6 < 35 mm

 QRS komplek : 0,04 detik - R/S di V1 < 1

MASALAH
 Abses hepar
 Ikterus
 Anemia
 Efusi pelura dextra

DIAGNOSIS KERJA
 Abses hepar pyogenik
 Empiema kanan
 Anemia ringan normositik normokrom ec penyakit kronik

DIFERENSIAL DIAGNOSIS
 Abses hepar amubik
 Kista hepar
 Hepatoma
 Anemia ringan normositik normokrom ec hemolitik

TERAPI
 Istirahat/ diet hepar II 2100 kkal (karbohidrat 1500 kkal , protein 60 g , lemak 600
kkal)
 IFVD Aminofusin hepar : triofusin = 1 : 2 8jam /kolf
 Inj ceftazidin 2 x 1 gr (iv)
 Metronidazole 3 x 750 mg (po)
 Hepatoprotektor 3 x 1
 Sistenol 3 x 500 mg

21
 Tramadol 3 x 50 mg

PEMERIKSAAN ANJURAN
 Darah perifer lengkap (MCV, MCH, MCHC, Retikulosit)
 Faal hepar (SGOT.SGPT, albumin, globulin,bilirubin I, II, bilirubin total, Alkali
Fosfatase)
 Fungsi ginjal (ureum, kreatinin)
 Elektrolit (Natrium, Kalium, klorida, kalsium)
 Hepatitis marker
 Analisa cairan pleura
 Kultur cairan pleura
 Aspirasi cairan abses
 Parasitologi cairan abses
 Kultur cairan abses
 Sitologi cairan abses
 Serologi anti amuba
 Rontgen thorak PA
 USG Abdomen

FOLLOW UP
Tanggal 20 mei 2015
S : Nyeri pada perut kanan atas (+), Mata kuning (+), BAK seperti teh pekat (+),
demam (+), diare (-), mual (-)
O :
KU Kesadaran TD F.Nd Fr. nafas Suhu VAS

Sedang CMC 120/70 88 18 38,1 0C 8


mmhg x/menit x/menit

Mata : sklera ikterik (+/+)


Paru
Inspeksi : hemithorak kanan teringgal di banding kiri
Palpasi : fremitus kanan menurun setinggi RIC V ke bawah,
Perkusi : pekak setinggi RIC V ke bawah pada paru kanan
22
Auskultasi : suara nafas menghilang setinggi RIC V ke bawah paru kanan.
Abdomen
Hepar teraba 7 jari BAC dan 8 jari PBX, pinggir tumpul, permukaan rata,
konsistensi kenyal, nyeri tekan (+), bruit (-) dan lien tidak teraba

Hasil laboratorium :
MCV : 83 fL SGOT : 100 u/l
MCH : 29 pg SGPT : 133 u/l
MCHC : 35 % Bil direk : 2,1 mg/dl
Retikulosit : 1,8 % Bil indirek : 0,5 mg/dl
Natrium : 129 mmol/L Ureum : 25 mg/dl
Kalium : 5,2 mmol/L Kreatinin : 0,6 mg/dl
Klorida : 100 mmol/L HBsAg : non reaktif
Albumin : 2,1 g/dl Anti HVC : negatif
Globulin : 2,8 g/dl ALP : 245 u/l

Kesan : Retikulositosis, hiponatremia, hipoalbuminemia, peningkatan SGOT


dan SGPT, peningkatan bilirubin
Sikap : transfusi albumin 20 % 100 cc

23
HAsil Ro Thorak PA

Dilakukan aspirasi cairan paru kanan ,


Keluar cairan 60 cc, kental, warna kuning kehijauan, tidak berbau.
Dikirim analisa, kultur dan parasitologi cairan plura

Jam12.00 wib
Keluar hasil analisa cairan pleura :
Makroskopis
Volume : 35 cc
Kekeruhan : positif
Warna : abu-abu kehijauan
Mikroskopis :
Jumlah sel : 4375
Ht jenis sel : PMN : 70 % MN : 30 %
Hasil parasitologi cairan plura : ditemukan tropozoid amuba.

KONSUL KONSULTAN GASTROENTEROHEPATILOGI


Kesan : Abses hepar amubik
Anjuran : USG Abdomen
Serologi anti amuba

24
KONSUL KONSULTAN PULMONOLOGI
Kesan : Empiyema amuba
Anjuran : terapi sesuai abses hepar amubik

Tanggal 21 mei 2015


S : Nyeri pada perut kanan atas (+) berkurang, mata kuning (+), BAK seperti
the pekat (+), demam (+) berkurang, diare (-), mual (-)
O:
KU Kesadaran TD F.Nd Fr. Suhu VAS
nafas

Sedang CMC 130/80 84 20 38,2 0C 7


mmhg x/menit x/menit

Mata : sclera ikterik (+/+)


Paru
Inspeksi : hemithorak kanan teringgal di banding kiri
Palpasi : fremitus kanan menurun setinggi RIC V ke bawah,
Perkusi : pekak setinggi RIC V ke bawah paru kanan
Auskultasi : suara nafas menghilang setinggi RIC V ke bawah paru
kanan.
Abdomen
Hepar teraba 7 jari BAC dan 8 jari PBX, pinggir tumpul, permukaan rata,
konsistensi kenyal, nyeri tekan (+), bruit (-) dan lien tidak teraba

Hasil USG abdomen :


Hati : membesar, permukaan rata, parenkhim homogen,
pinggir tumpul, vena tidak melebar, duktus
biliaris
tidak melebar, SOL (+), 13,04 x 13,35 cm (Abses),
vena portal (-)
Kandung empedu : normal

25
Pankreas : normal
Lien : normal
Ginjal : normal
Kesan : Abses Hepar

Hasil laboratorium
Albumin : 2 mg/dl
Globulin : 3 mg/dl
Kesan : hipoalbumin ( tidak bisa di minta karena

Tanggal 25 mei 2015


S : Nyeri pada perut kanan atas (+) berkurang, mata kuning (+), BAK seperti
teh
pekat (-), demam (+) menurun, diare (-), mual (-)
O :
KU Kesadaran TD F.Nd Fr. nafas Suhu VAS

Sedang CMC 120/80 88 18 37,7 0C 5


mmhg x/menit x/menit

Keluar hasil Kultur cairan empiyema :


Jenis bakteri : stafilokokkus aureus
Sensitif dengan ceftazidin

KONSUL KONSULTAN PULMONOLOGI


Kesan :
Anjuran :

KONSUL KONSULTAN HEMATOONKOLOGI MEDIK


Kesan : Anemia rinagn normositik normokrom ec hemolitik ec autoimun
DD : Anemia rinagn normositik normokrom ec hemolitik non
autoimun

26
Anjuran : coomb test

Tanggal 27 mei 2015


S : Nyeri pada perut kanan atas (+) berkurang, Mata kuning (-), BAK seperti
teh pekat (-), demam (+) berkurang, diare (-), mual (-)
O :
KU Kesadaran TD F.Nd Fr. nafas Suhu VAS

Sedang CMC 110/70 72 18 37,6 0C 6


mmhg x/menit x/menit

Dilakukan Aspirasi cairan abses dengan bantuan USG :


Keluar cairan abses kental, warna kehijauan, , tidak berbau
Dilakukan pemeriksaan parasitology, kultur dan sitology cairan abses

Hasil comb test : DCT (+)

KONSUL KONSULTAN HEMATOONKOLOGI MEDIK


Kesan : Anemia ringan normositik normokrom ec AIHA
Anjuran : Methi prednisolone 0,8 mg/kg BB
Lansoprazol 1 x 30 mg
Osteocal 1 x 1000 mg
Cek hepatitis marker
Telusuri kemungkinan penyakit sistemik sepert SLE, HIV
Ro Thorak PA
Screening antibody
BMP

Tanggal 28 Mei 2015


S : Nyeri pada perut kanan atas (+) brkurang, Mata kuning (-), BAK seperti
the pekat (-), demam (+) menurun, diare (-), mual (-)

27
O :
KU Kesadaran TD F.Nd Fr. nafas Suhu VAS

Sedang CMC 100/70 80 20 37,6 0C 4


mmhg x/menit x/menit

Paru
Palpasi : fremitus kanan menurun setinggi RIC V ke bawah,
Perkusi : pekak setinggi RIC V ke bawah paru kanan
Auskultasi : vesicular melemah pada paru kanan setinggi RIC
V ke bawah
Abdomen
Hepar teraba 5 jari BAC dan 6 jari PBX, pinggir tumpul, permukaan
rata,konsistensi kenyal, nyeri tekan (+) berkurang, bruit (-) dan lien tidak
teraba

Tanggal 29 Mei 2015


S : Nyeri pada perut kanan atas (-), Mata kuning (-), BAK seperti the pekat
(-), demam (-), diare (-), mual (-)
O :
KU Kesadaran TD F.Nd Fr. Suhu VAS
Nafas

Sedang CMC 100/70 80 20 36,6 0C 3


mmhg x/menit x/menit

Paru
Palpasi : fremitus kanan menurun setinggi RIC V ke bawah,
Perkusi : pekak setinggi RIC V ke bawah paru kanan
Auskultasi : vesicular melemah pada paru kanan setinggi RIC
V ke bawah,

28
Abdomen
Hepar teraba 4 jari BAC dan 5 jari PBX, pinggir tumpul, permukaan rata,
konsistensi kenyal, nyeri tekan (-),bruit (-) dan lien tidak teraba

Tanggal 1 Juni 2015


S : Nyeri pada perut kanan atas (-), Mata kuning (-), BAK seperti the pekat
(-), demam (-), diare (-), mual (-)
O :
KU Kesadaran TD F.Nd Fr. Suhu VAS
Nafas

Sedang CMC 100/70 80 20 36,6 0C 3


mmhg x/menit x/menit

Paru
Palpasi : fremitus kanan menurun setinggi RIC V ke bawah,
Perkusi : pekak setinggi RIC V ke bawah paru kanan
Auskultasi : vesicular melemah pada paru kanan setinggi RIC
V ke bawah,
Abdomen
Hepar teraba 2 jari BAC dan 3 jari PBX, pinggir tumpul, permukaan rata,
konsistensi kenyal, nyeri tekan (-),bruit (-) dan lien tidak teraba

Hasil Kultur : streptokokus aureus


Sensitif : ceftazidin

29
DISKUSI

Telah dirawat seorang pasien laki-laki usia 38 tahun di Bangsal Penyakit


Dalam dengan diagnosis akhir :

 Abses hepar amubik


 Empyema amuba
 Anemia normositik normokrom ec anemia hemolitik auto imun

Diagnosa abses hepar amubik ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan


fisik dan penunjang. Dari anamnesa di dapatkan keluhan nyeri pada perut kanan
yang sangat mengganggu hingga membuat pasien memegang perut kanannya saat
berjalan, adanya demam, diare, mual dan muntah, buang air kecil seperti the
pekat. Dari pemeriksaan fisik ditemukan ikterik, hepatomegali dengan adanya
fluktuasi positif pada palpasi. Diagnosis banding untuk abses piogenik belum bisa
disingkirkan karena keduanya memiliki gejala dan tampilan klinis yang sangat
mirip. Untuk itu, dilakukan aspirasi cairan abses, dan selanjutnya cairan tersebut
diperiksa untuk dilakukan kultur dan sitologi. Untuk mengkonfirmasi abses
karena amubik, dilakukan juga pemeriksaan serologi anti amuba.

Pada saat dilakukan aspirasi cairan abses, didapatkan cairan abses


berwarna kehijauan dan tidak berbau. Hal ini sebenarnya lebih ke arah abses
pyogenik , dimana cairan aspirasi abses pada abses hati amubik biasanya
berwarna coklat kemerahan. Berdasarkan kepustakaan, cairan abses pada abses
piogenik biasanya berwarna kuning kehijauan, dan berbau. Hal ini didasarkan
kepustakaan bahwa terdapat beberapa bakteri penyebab abses hepar, dan warna
cairan abses bisa berbeda-beda tergantung bakteri penyebab. Untuk
mengkonfirmasi hal ini, perlu dilakukan pemeriksaan parasitologi, sitologi dan
kultur cairan abses, serta pemeriksaan serologi antiamuba.

Dari hasil parasitologi cairan abses, tidak ditemukan adanya amuba. Dari
hasil sitologi cairan abses mengesankan adanya suatu radang akut supurativa, dan
tidak ditemukan adanya amuba, hasil kultur terdapat kuman stfilokokus aureus.

30
Hal ini justru mengesankan bahwa abses yang diderita pasien adalah abses
piogenik.

Berdasarkan kepustakaan, tidak ditemukannya amuba pada sediaan


aspirasi abses tidak langsung meniadakan diagnosis abses amubik. Amuba tidak
selalu terdapat pada cairan abses. Amuba juga bisa ditemukan pada dinding
kantong abses, yang mungkin luput dari pemeriksaan, sehingga mengesankan
bahwa abses pada pasien bukanlah suatu abses amubik. Dari kultur cairan abses,
ditemukan adanya pertumbuhan kuman aerob yang patogen, tapi ini tidak
menyingkirkan adanya abses hepar amubik karena nilai positif pada pemeriksaan
serologi anti amuba. Serologi anti amuba menyatakan bahwa pasien telah
memiliki antibodi terhadap amuba (E.hystolitica) yang beredar di dalam darah.
Normalnya, serologi anti amuba bernilai negatif, karena Entamuba hystolitica
hidup di dalam saluran cerna, bukan di dalam darah. Pada saat terjadi infiltrasi dan
kerusakan saluran cerna karena penyebab tertentu, penetrasi E. Hystolitica dapat
terjadi, dan amuba dapat ditemukan dalam darah, dan beredar dalam sirkulasi.
Nilai positif serologi anti amuba pada pasien abses hati tidak menjamin penuh
bahwa penyebab abses adalah amuba, karena amuba yang beredar dalam darah
belum tentu selalu menyebabkan abses hati. Jadi dari data yang kita dapatkan
abses yang terjadi pada pasien ini mungkin abses hepar tipe campuran atau abses
hepar amubik terinfeksi.

Pada pasien kita tegakkan juga dengan empiyema amubik, karena dari
pemeriksaan fisik di dapatkan adanya efusi pleura, dan setelah dilakukan aspirasi
keluar cairan kental warna kuning kehijauan, dan tidak berbau. Kemudian
dilakukan pemeriksaan parasitologi dan ditemukan trofozoid dan hasil kultur di
dapatkan stafilokokus aereus, dari hasil hasil ini kita kita simpulkan adanya
empyema campuran atau empyema amuba terinfeksi. Empiema ini merupakan
salah satu komplikasi dari abses hepar. Dari literatur disebutkan 20-35% pasien
dengan abses hepar amubik mengalami komplikasi efusi plura sampai empyema.
Mekaninsme terjadinya empyema bisa karena rupture abses hati langsung melalui
diafragma, penyebaran langsung abses hati ke paru secra perkontinuitatum, secara
hematogen ataupun limfogen.

31
Terapi terpilih pada pasien abses hati amubik adalah metronidazole.
Metronidazole merupakan derivat nitroimidazole, yang diberikan dengan dosis
50mg/kgBB/hari. Dosis yang dianjurkan untuk kasus abses hati amuba adalah 3 x
750 mg/hari selama 7-10 hari. Berdasarkan kepustakaan, metronidazol merupakan
obat terpilih dan telah dilaporkan menyembuhkan 80-100% abses hati amuba.
Pasien yang berhasil diterapi dengan metronidazol mempunyai respon klinis
dramatis, biasanya menjadi tidak demam dan bebas nyeri dalam 24 dan 48 jam.
Hal ini sesuai dengan yang terjadi pada pasien dimana keluhan nyeri perut dan
demam segera berkurang dengan pemberian metronidazol. Pada pasien ini tetap
diberikan antibiotik sefalosporin generasi ketiga. Indikasi pemberiannya adalah
adanya keluhan demam, nyeri perut kanan atas, dan adanya leukositosis. Secara
klinis, sukar membedakan abses karena amubik ataupun piogenik.

Pada pasien kita lakukan aspirasi cairan pleura, karena pemberian terapi
medikamentosa belum memberikan perbaikan yang berarti, ini di lihat dari rasa
nyeri perut kanan atas dan demam yang masih tinggi, dan dari USG abdomen di
dapatkan abses hepar dengan ukuran yang besar yaiti 13 x 13 cm, dmana menurut
literatur aspirasi terapeutik dipertimbangkan pada keadaan resiko tinggi abses
akan rupture (ukuran kavitas > 5 cm), dantidak respon dengan pengobatan setelah
5-7 hari.

Pasien ini di diagnosa juga dengan anemia ringan normositik normokrom


ec anemia hemoliti auto imun (AIHA), dimana pada awalnya di dapatkan Hb 9,8
dan setelah ditelusurk i gambaran darah perifer lengkap di temukan normositik
normokrom dengan retikulosis, kemudian di lakukan pemeriksaan comb test
dengan hasil DCT (+), sehingga pasien kita teggakkan dengna anemia ringan
normositik normokrom ec AIHA. Selanjutnya pasien di anjurkan untuk
pemeriksaan screening anti bodi. Pada pasien ini telah dilakukan pemeriksaan
untuk kemungkinan anemia hemolitik sekunder, seperti hepatitis merker, test
antibody HIV, dan penyakit Sistemik lain, tapi hasilnya negative. Pasien di
berikan terapi methyl prednisolone 0.8 mg/kg BB.

32
DAFTAR PUSTAKA

1.    Sudoyo, Aru. W., dkk.. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi IV.
Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006

2.    Way. Lawrence. W. Current Surgical Diagnosis and Treatment. Lange USA :
Medical Publication. 2003

3.    Kortz, Warren J. & Sabiston, David C. Sabiston Buku Ajar Bedah, Bagian 2.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1994

4.    Junita, A., dkk. 2006. Jurnal Penyakit Dalam, Volume 7 Nomor 2 : Beberapa
Kasus Abses hati Amuba. Available from: Http://ejournal.unud.ac.id/. Accessed
on : June 02nd, 2009.

5.    Sjamsuhidayat, R., Jong, Wim de. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. Jakarta :
EGC. 2005

33
6.    Moore, L. Keith., Agur, Anne. M. R. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta :
Hipokrates. 2002

7.   Hetti. Liver Abses. Available from Http://wordpress.com/2010/03/17/liver-


abses. Accessed on : June 02nd, 2009.

8.    Nickloes, Todd. A. Pyogenic Hepatic Abscess. Available from: Http://


wordpress.com /193182.htm. Accessed on : June 02nd, 2009.

34
35

Anda mungkin juga menyukai