I. Pendahuluan
Hati adalah organ yang paling sering untuk terjadinya abses. Dari suatu studi
di Amerika, didapatkan 13% abses hati dari 48% abses viseral. Abses hati dapat
berbentuk soliter ataupun multipel. Sekitar 90% dari abses lobus kanan hepar
merupakan abses soliter, sedangkan abses lobus kiri hanya 10% yang merupakan
abses soliter. Hal ini dapat terjadi dari penyebaran hematogen maupun secara
langsung dari tempat terjadinya infeksi di dalam rongga peritoneum. 1
Abses hati terbagi 2 secara umum, yaitu abses hati amuba dan abses hati
piogenik. Angka kejadian abses hati piogenik lebih tinggi dibandingkan abses hati
amuba. Angka kejadian abses hati amuba hanya sekitar 20% dari semua abses hati.
II. Definisi
Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena
infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistim
gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan
pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel darah di dalam
parenkim hati.1
III. Klasifikasi
Abses hati terbagi 2 secara umum, yaitu abses hati amuba dan abses hati
piogenik. Abses hati amuba merupakan salah satu komplikasi amebiasis
ekstraintestinal yang paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik, termasuk
Indonesia. Abses hati piogenik dikenal juga sebagai hepatic abscess, bacterial liver
abscess, bacterial abscess of the liver, bacterial hepatic abscess.1
1
ABSES HATI AMUBA
a. Epidemiologi
Abses hati amuba lebih jarang ditemukan dibandingkan abses hati piogenik,
angka kejadiannya hanya sekitar 20% dari semua abses hati. Infeksi ini sering terjadi
di daerah tropis, dimana sekitar 10-20% populasi mengandung organ ini. Pusat
pengendalian penyakit melaporkan 1,3 kasus amubiasis per 100.000 populasi.3
b. Etiologi
Abses hati amuba terjadi karena Entamoeba histolytica terbawa aliran vena
porta ke hepar, tetapi tidak semua amuba yang masuk ke hepar dapat menimbulkan
abses. Untuk terjadinya abses, diperlukan faktor pendukung atau penghalang
berkembang biaknya amuba tersebut. Faktor tersebut antara lain adalah pernah
terkena infeksi amuba, kadar kolesterol meninggi, pascatrauma hepar, dan ketagihan
alkohol. Akibat infeksi amuba tersebut, terjadi reaksi radang dan akhirnya nekrosis
jaringan hepar. Sel hepar yang jauh dari fokus infeksi juga mengalami sedikit
perubahan meskipun tidak ditemukan amuba. Perubahan ini diduga akibat toksin yang
dikeluarkan oleh amuba.5
2
c. Patogenesis
E. Hystolitica memiliki dua bentuk yaitu tropozoit dan kista. Bentuk kista ini
dapat bertahan di luar tubuh manusia. Kista dipindahkan melalui kontaminasi
makanan dan air minum atau secara langsung. Tropozoid akan berubah dari bentuk
kista dalam usus kecil dan akan terus ke kolon dan dari sini akan memperbanyak diri.
Baik bentuk trophozoit maupun kista dapat ditemukan pada lumen usus. Namun
hanya bentuk trophozoit yang dapat menginvasi jaringan. Amuba ini dapat menjadi
patogen dengan mensekresi enzim cys-teine protease, sehingga melisiskan jaringan
maupun eritrosit dan menyebar keseluruh organ secara hematogen dan
perkontinuinatum. Amuba yang masuk ke submukosa memasuki kapiler darah,
ikut dalam aliran darah melalui vena porta ke hati. Di hati E. hystolitica
mensekresi enzim proteolitik yang melisis jaringan hati, dan membentuk abses.
Lokasi yang sering adalah di lobus kanan (70% - 90%), superfisial serta tunggal.
Kecenderungan ini diperkirakan akibat penggabungan dari beberapa tempat infeksi
mikroskopik, serta disebabkan karena cabang vena porta kanan lebih lebar dan lurus
dari pada cabang vena porta kiri. Ukuran abses bervariasi dari diameter 1-25 cm.
Dinding abses bervariasi tebalnya, bergantung pada lamanya penyakit.4,7
Abses ini sebetulnya bukan abses yang sebenarnya, tetapi lebih menyerupai
proses pencairan jaringan nekrosis multipel yang makin lama makin besar dan
bergabung membentuk apa yang disebut abses. Cairan abses terdiri atas jaringan hati
yang nekrosis dan eritrosit yang berwarna tengguli. Cairan ini terbungkus oleh
hiperplasia jaringan ikat yang disebut simpai walaupun bukan berupa simpai sejati.
Jaringan ikat ini membatasi perusakan lebih jauh, kecuali bila ada infeksi tambahan.
Kebanyakan abses hati bersifat soliter, steril dan terletak di lobus kanan dekat kubah
diafragma. Jarang ditemukan amuba pada cairan tersebut; bila ada amuba biasanya
terdapat di daerah dekat dengan simpainya. Secara klasik, cairan abses menyerupai
”achovy paste” dan berwarna coklat kemerahan, sebagai akibat jaringan hepar serta
sel darah merah yang dicerna. Evaluasi cairan abses untuk penghitungan sel dan
enzimatik secara umum tidak membantu dalam mendiagnosis abses amuba. Amuba
bisa didapatkan ataupun tidak di dalam cairan pus.4,5
d. Gejala klinis
3
Pada penderita abses hepar amuba tidak selalu ditemukan riwayat diare
sebelumnya. Diare hanya dialami oleh 20-50% penderita. Penyakit ini timbul secara
perlahan, disertai demam, berkeringat, dan berat badan menurun. Tanda lokal yang
paling sering adalah nyeri spontan dan nyeri tekan perut kanan atas, di daerah
lengkung iga dengan hepar yang membesar. Kadang nyeri ditemukan di daerah bahu
kanan akibat iritasi diafragma. Hepatomegali dan nyeri biasanya ditemukan, tetapi
jarang sekali disertai ikterus, prekoma atau koma. Bila lobus kiri yang terkena, akan
ditemukan massa di daerah epigastrium. Gejala khas adalah suhu tubuh yang tidak
lebih dari 38,5°C. Penderita tak kelihatan sakit berat seperti pada abses karena
bakteria. Kadang gejalanya tidak khas, timbul pelan-pelan atau asimptomatis.4,5
e. Pemeriksaan penunjang
• Laboratorium
Jumlah leukosit berkisar antara 5.000 dan 30.000, tetapi umumnya antara
10.000-12.000. Kadar fosfatase alkali serum meningkat pada semua tingkat abses
amuba. Tes serologi titer amuba di atas atau sama dengan 1:128. Dapat ditemukan
anemia ringan sampai sedang. Pada pemeriksaan faal hati, tidak ditemukan kelainan
yang spesifik. Kista dan tropozoit pada kotoran hanya teridentifikasi pada 15-50%
penderita abses amuba hepar, karena infeksi usus besar seringkali telah mereda
saat penderita mengalami abses hepar. Complement fixation test lebih dapat
dipercaya dibanding riwayat diare, pemeriksaan kotoran, dan proktoskop.4,5
• Pencitraan
Tak ada perbedaan radiologi yang jelas antara abses hati piogenik dan amuba.
Perbedaan terlihat pada hasil tes serologi E. histolytica. Pada foto roentgen pasien
dengan abses hati amuba dapat terlihat kubah diafragma kanan meninggi, efusi pleura,
abses paru dan atelektasis. Pemeriksaan ultrasonografi merupakan pemeriksaan yang
penting untuk membantu diagnosis serta menentukan lokasi abses dan besarnya.
Sensitivitasnya dalam mendiagnosis amebiasis hati adalah 85%-95%. Gambaran
ultrasonografi pada amebiasis hati adalah:
4
2. Tidak ada gema dinding yang berarti
3. Ekogenitas lebih rendah dari parenkim hati normal.
4. Bersentuhan dengan kapsul hati
5. Peninggian sonik distal (distal enhancement)
f. Diagnosis
Untuk membuat diagnosis abses hati amuba yang penting adalah kesadaran
akan kemungkinan penyakit ini. Bila ada nyeri daerah epigastrium kanan dan
hepatomegali serta demam yang tidak begitu tinggi, dugaan abses hepar harus
dipertimbangkan. Riwayat diare dan ditemukannya amuba dalam feses membantu
diagnosis meskipun tidak ditemukannya kedua hal ini tidak berarti bukan abses hati
amuba.5
g. Diagnosis banding
Penyakit lain yang gejala klinisnya mirip dengan abses hati amuba antara lain:
1) Disebabkan paling banyak oleh bakteri gram negatif yang terbanyak yaitu E.
coli serta kuman yang lainnya yaitu S. faecalis, P. vulgaris dan S. typhi.
Dapat juga disebabkan oleh bakteri anaerob yang berasal dari v. porta,
saluran empedu (yang paling sering), infeksi langsung (seperti luka pada
penetrasi, fokus septik berdekatan), septisemia atau bakterimia pada infeksi
tempat lain, kriptogenik terutama pada usia lanjut.
2) Pus yang diaspirasi kuning kehijauan dan berbau sedangkan pada abses
amuba coklat kemerahan (anchovy sauce) dan tidak berbau.
3) Manifestasi sistemik yang lebih berat, terutama demam yang dapat bersifat
remiten, intermitten dan kontinu yang disertai menggigil.
5
4) Ikterus yang lebih nyata karena adanya penyakit billier seperti kolangitis.
5) Abses biasanya didapatkan pada kedua lobus (53,2%) dan pada lobus kanan
(41,8%) sedangkan pada lobus kiri hanya 4,8%.
6) Pengobatan dilakukan dengan antibiotik.
7) Sering muncul pada pasien berusia diatas 50 tahun
8) Berhubungan dengan ikterus, pruritus, sepsis, dan peningkatan bilirubin dan
alkali fosfatase.
a. Keganasan (Ca. Hepatik primer) tipe febril
b. Kolesistisis akut
c. Hepatitis kronis, hepatitis virus akut
d. Kista hati
e. Massa intra abdomen
f. Kelainan intra torakal kanan bawah
g. Abdomen akut oleh karena adanya apendisitis atau ulkus peptikum
h. Penatalaksanaan
• Pengobatan medis3,4,5
6
Abses hati ameba tanpa komplikasi lain dapat menunjukan penyembuhan
yang besar bila diterapi hanya dengan antiamuba. Pengobatan yang dianjurkan
adalah:
• Terapi bedah
i. Komplikasi
Komplikasi abses hati amuba umumnya berupa perforasi atau ruptur abses ke
berbagai rongga tubuh (pleura, paru, perikardium, usus, intraperitoneal) dan ke kulit,
sebesar 5-5,6%. Perforasi ke kranial dapat terjadi ke pleura dan perikard. Insiden
perforasi ke rongga pleura adalah 10-20%. Akan terjadi efusi pleura yang besar dan
luas yang memperlihatkan cairan cokelat pada aspirasi. Perforasi dapat berlanjut ke
paru sampai ke bronkus sehingga didapat sputum yang berwarna khas cokelat.
Penderita mengeluh bahwa sputumnya terasa seperti rasa hati selain didapatkan
hemoptisis. Perforasi ke rongga perikard menyebabkan efusi perikard dan tamponade
jantung. Bila infeksi dapat diatasi, akan terjadi inflamasi kronik seperti tuberkulosis
perikard dan pada fase selanjutnya terjadi penyempitan jantung (perikarditis
konstriktiva).4,5
j. Prognosis
Tidak seperti abses hati piogenik, angka kematian pada abses amuba hepar
tercatat dalam sejarah lebih rendah. Tahun 1935, Ochner melaporkan 9% pasien
8
dengan abses amuba meninggal karena penyakitnya. Para peneliti mengevaluasi
pengobatan dengan antibiotik saja, antibiotik dikombinasikan dengan aspirasi jarum,
dan antibiotik dengan drainase terbuka, telah dilaporkan dengan angka kematian yang
sama antara 2% sampai 3%.14
Beberapa faktor klinis telah dikaitkan dengan prognosis yang jelek pada
pasien-pasien dengan abses amuba hepar. Peningkatan umur, manifestasi klinis yang
lambat, encephalopathy, multipel abses, volume abses > 500 ml, dan komplikasi
seperti ruptur intraperikardial atau komplikasi pulmonum meningkatkan tiga kali
angka kematian. Hiperbilirubinemia (>3,5 mg/dL) juga termasuk faktor resiko,
dengan ruptur timbul lebih sering pada pasien-pasien dengan jaundice. Kadar
hemoglobin 8 g/dL dan serum albumin <2 g/dL juga meningkatkan resiko ruptur.
Meskipun demikian, kebanyakan pasien dengan abses amuba hepar, dengan atau
tanpa komplikasi, memiliki respons yang baik terhadap pengobatan medis dan dapat
sembuh.11,14
EMPIEMA AMUBA
9
Faktor yang diduga berperan dalam perkembangan
penyakit ini antara lain kondisi sosio-ekonomi dan sanitasi
lingkungan masyarakat yang buruk, tingkat pendidikal
rendah, kemiskinan, pemukiman padat serta sumber air
terkontaminasi. Pada tahun 1998 di Tbilisi, Georgiapernah
dilaporkan 17 7 kans amrfu4 I orang dtantaranya mengalann
abses hati amuba. Kejadian itu diperkirakan berhubungan
dengan keterbatasan sumber air bersih.s Sekilar 5% populasi
masyarakat Amerika Serikat merupakan pemb awa (carri er)
dan sebagianbesar kazus tefiapatpadaimigran dari daerah
endemik atau wisatawan (1,5olo wisatawan yang kembali dari
negara di Asia Tenggara dan 3,6Yo dari negara di Amerika
Tengah).l Faktor risiko tinggi mengalami amubiasis ditemukan
pada perempuan hamil, bayi, pasien terinfeksi Human Immunodeficiency
Virus SIIV), diabetes melitus, malnutrisi,
pengobatan kortikosteroid dan individu homoseksual.xlo
Definisi
Anemia hemolitik autoimun (autoimmune hemolytic anemia =AIHA/AHA)
merupakan suatu kelainan dimana terdapat antibodi terhadap sel-sel eritrosit sehingga
umur eritrosit memendek.1
Patofisiologi
Perusakan sel-sel eritrosit yang diperantai antibodi ini terjadi melalui aktivasi
sistem komplemen, aktivasi mekanisme seluler, atau kombinasi keduanya.2
10
Secara komplemen akan diaktifkan melalui jalur klasik ataupun jalur alternatif.
Antibodi - antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah IgM,
IgG1, IgG2, IgG3, IgM disebut sebagai aglutinin tipe dingin, sebab antibodi ini
berikatan dengan antigen polisakarida pada permukaan sel darah merah pada suhu
dibawah suhu tubuh. Antibodi IgG disebut aglutinin hangat karena bereaksi dengan
antigen permukaan sel eritrosit pada suhu tubuh.3
Etiologi
Etiologi pasti dari penyakit autoimun memang belum jelas, kemungkinan terjadi
karena gangguan central tolerance, dan gangguan pada proses pembatasan limfosit
autoreaktif residual.5
Klasifikasi
Anemia Hemolitik imun dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Anemia Hemolitik Auto Imun (AIHA)
a. AIHA tipe Hangat
a) Idiopatik
b) Sekunder (karena cll, limfoma, SLE)
b. AIHA tipe Dingin
a) Idiopatik
b) Sekunder (infeksi mycoplasma, mononucleosis, virus, keganasan
limforetikuler)
Diagnosis
Pemeriksaan untuk mendeteksi autoantibodi pada eritrosit
Direct Antiglobulin Test (direct coomb’s test )
Sel eritrosit pasien dicuci dari protein -protein yang melekat dan direaksikan
dengan antiserum atau antibodi monoclonal terhadap berbagai imunoglobulin dan
fraksi komplemen. Terutama IgG dan C3d. Bila pada permukaan sel terdapat salah
satu atau kedua IgG dan Cd3 maka akan terjadi aglutinasi.1
Indirect Antiglobulin Test ( indirect Coomb’s Test)
Untuk mendeteksi autoantibodi yang terdapat pada serum. Serum pasien
direaksikan dengan sel-sel reagen. Imunoglobulin yang beredar pada serum akan
melekat pada sel-sel reagen, dan dapat dideteksi dengan antiglobulin sera dengan
terjadinya aglutinasi.1
Laboratorium
13
Hemoglobin sering dijumpai dibawah 7 gr/dl pemeriksaan coomb direk biasanya
positip. Autoantibodi tipe hangat biasanya ditemukan dalam serum dan dapat
dipisahkan dari sel-sel eritrosit. Autoantibodi ini berasal dari kelas IgG dan bereaksi
dengan semua sel eritrosit normal. Autoantibodi tipe hangat biasanya bereaksi dengan
antigen pada sel eritrosit pasien sendiri, biasanya antigen Rh.5
Terapi
Kortikosteroid : 1-1,5 mg/kgBB/hari. Dalam 2 minggu sebagian besar akan
menunjukan respon klinis baik (Hmt meningkat, retikulosit meningkat, tes
coombs direk positif lemah, tes coomb indirek negatip). Nilai normal dan stabil
akan dicapai pada hari ke 30 sampai hari ke 90. Bila ada tanda respon terhadap
steroid, dosis diturunkan tiap minggu 10-20 mg/hari. Terapi steroid dosis < 30
mg/hari diberikan secara selang sehari. Beberapa pasien akan memerlukan terapi
rumatan dengan steroid dosis rendah. Namun bila dosis per hari melebihi 15
mg/hari untuk mempertahankan kadar Hmt, maka perlu segera dipertimbangkan
terapi dengan modalitas lain.1
Splenektomi: bila terapi steroid tidak adekuat atau tidak bisa dilakukan tappering
dosis selama 3 bulan, maka perlu dipertimbangkan splenektomi. Splenektomi
akan menghilangkan tempat utama penghancuran sel darah merah. Hemolisis
masih bisa terus berlangsung setelah splenektomi, namun akan dibutuhkan
jumlah sel eritrosit terikat antibodi dalam jumlah yang jauh lebih besar untuk
menimbulkan kerusakan eritrosit yang sama. Remisi komplit pasca splenektomi
mencapai 50-75%, namun tidak bersifat permanen. Glukokortikoid dosis rendah
masih sering digunakan setelah splenektomi.3
Imunosupresi. Azatioprin 50-200 mg/hari (80mg/m2), siklofosfamid 50-150
mg/hari (60 mg/m2)
14
Terapi lain : danazol 600-800 mg/hari. Biasanya danazol dipakai bersama-sama
steroid. Bila terjadi perbaikan, steroid diturunkan atau dihentikan dan dosis
danazol diturunkan menjadi 200-400 mg/hari. Terapi imunoglobulin
(400mg/kgBB per hari selama 5 hari) menunjukan perbaikan pada beberapa
pasien, namun dilaporkan terapi ini juga tidak efektif pada beberapa pasien lain.
Jadi terapi ini diberikan bersama terpai lain dan responnya bersifat sementara.
Terapi plasmaferesis masih kontroversial.
Terapi tranfusi : terapi tranfusi bukan merupakan kontraindikasi mutlak. Pada
kondisi yang mengancam jiwa (misal Hb < 3 gr/dl) tranfusi dapat diberikan ,
sambil menunggu steroid dan imunnoglobulin untuk berefek.1
15
ILUSTRASI KASUS
Telah dirawat seorang pasien laki-laki usia 38 tahun di bagian Penyakit Dalam RSUP
Dr. M. Djamil Padang sejak tanggal 19 Mei 2015 dengan :
16
Penurunan berat badan tidak ada
Sesak nafas tidak ada
Batuk batuk tidak ada
Badan terasa gatal gatal tidak ada
Riwayat Keluarga
Tidak ada keluarga yang menderita penyakit seperti ini
Tidak ada anggota keluarga yang menderita buang air besar encer saat ini
Pemeriksaan umum :
Keadaaan umum : sedang
Kesadaran : CMC
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 104 x/menit, teratur, pengisian cukup
Nafas : 20 x/menit
17
Suhu : 39,1 C
Tinggi badan : 166 kg
Berat badan : 57 kg
BMI : 22,3 kg/m2 (normal)
VAS :8
Pemeriksaan fisik :
Kulit : Turgor kembali normal
Kelenjar getah Bening : Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening leher,
supraklavikular, axila, inguinal, dan femoral
Kepala : Normocephal, benjolan (-)
Rambut : hitam, tidak mudah di cabut
Mata : Konjungtiva anemis (-) , sklera ikterik (+/+)
Reflek cahaya +/+, diameter pupil 3 mm/ 3 mm
Telinga : aurikula normal, bercak merah di daun telinga kiri dan
kanan
Hidung : deviasi septum (-)
Tenggorokan : Tonsil T1-T1, faring tidak hiperemis
Gigi dan Mulut : carries (+), kandidiasis oral (-), atrofi papil lidah (-)
Bibir : stomatitis di bibir atas
Leher : JVP 5-2 cmH2O, trakhea ditengah, kelenjar tiroid
tidak membesar
Paru :
Thorak : spider naevi (-)
Paru depan
Inspeksi : statis : tidak simetris,
dinamis : hemithorak kanan tertinggal di banding kiri
Palpasi : fremitus kanan menurun setinggi RIC V ke bawah,
Perkusi : kanan: pekak setinggi RIC V ke bawah
Kiri : sonor
Auskultasi : kanan:suara nafas menghilang setinggi RIC V ke
bawah
Kiri : vesikuler normal ronkhi -/-, wh -/-
18
Paru belakang
Inspeksi : statis : tidak simetris
dinamis : hemithorak kanan tertinggal di banding kiri
Palpasi : fremitus kanan menurun setinggi thorakal VII ke
bawah
Perkusi : sonor
Auskultasi : kanan:suara nafas menghilang setinggi thorakal VII ke
bawah
Kiri : vesikuler normal ronkhi -/-, wh -/-
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V, tidak
kuat angkat
Perkusi : batas kanan LSD, batas atas RIC II, batas kiri 1 jari
medial LMCS RIC V, pinggang jantung (+)
Auskultasi : bunyi jantung murni reguler, M1> M2, P2< A2,
bising (-)
Abdomen
Inspeksi : tidak tampak membuncit, vena kolateral (-), venektasi
(-)
Palpasi : Hepar teraba 7 jari bawah arkus kostarum dan 8 jari
bawah prosesus xipoideus, pinggir tumpul, permukaan
rata, konsistensi kenyal, fluktuasi (+), nyeri tekan (+),
bruit (-) dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
Punggung : CVA : nyeri tekan dan nyeri ketok tidak ada
Alat kelamin : rambut pubis normal
19
Anggota gerak : Reflek fisiologis +/+, Reflek patologis -/-, edema +/+
Laboratorium :
Hb : 9,8 g/dl
Ht : 28 %
Leukosit : 18.240 /mm3
Trombosit : 253.000/mm
LED : 40 mm/jam
Hitung jenis : 0/1/5/65/25/4
Gambaran darah tepi :
Eritrosit : anisositosis, normokrom
Leukosit : jumlah meningkat
Trombosit : jumlah cukup, morfologi normal
Urinalisa :
Protein urine :-
Glukosa :-
Bilirubin : negatif
Leukosit : 1-2 / LPB
Eritrosit : 0-1 /LPB
Urobilinogen : positif
Feces rutin
Warna : coklat
Konsistensi : lunak
Leukosit : 1-2 /LPB
Eritrosit : 0-1/LPB
Benzidin tes : (-)
Amuba : (-)
EKG
20
HR : 105 x /1’ - ST elevasi (-)
MASALAH
Abses hepar
Ikterus
Anemia
Efusi pelura dextra
DIAGNOSIS KERJA
Abses hepar pyogenik
Empiema kanan
Anemia ringan normositik normokrom ec penyakit kronik
DIFERENSIAL DIAGNOSIS
Abses hepar amubik
Kista hepar
Hepatoma
Anemia ringan normositik normokrom ec hemolitik
TERAPI
Istirahat/ diet hepar II 2100 kkal (karbohidrat 1500 kkal , protein 60 g , lemak 600
kkal)
IFVD Aminofusin hepar : triofusin = 1 : 2 8jam /kolf
Inj ceftazidin 2 x 1 gr (iv)
Metronidazole 3 x 750 mg (po)
Hepatoprotektor 3 x 1
Sistenol 3 x 500 mg
21
Tramadol 3 x 50 mg
PEMERIKSAAN ANJURAN
Darah perifer lengkap (MCV, MCH, MCHC, Retikulosit)
Faal hepar (SGOT.SGPT, albumin, globulin,bilirubin I, II, bilirubin total, Alkali
Fosfatase)
Fungsi ginjal (ureum, kreatinin)
Elektrolit (Natrium, Kalium, klorida, kalsium)
Hepatitis marker
Analisa cairan pleura
Kultur cairan pleura
Aspirasi cairan abses
Parasitologi cairan abses
Kultur cairan abses
Sitologi cairan abses
Serologi anti amuba
Rontgen thorak PA
USG Abdomen
FOLLOW UP
Tanggal 20 mei 2015
S : Nyeri pada perut kanan atas (+), Mata kuning (+), BAK seperti teh pekat (+),
demam (+), diare (-), mual (-)
O :
KU Kesadaran TD F.Nd Fr. nafas Suhu VAS
Hasil laboratorium :
MCV : 83 fL SGOT : 100 u/l
MCH : 29 pg SGPT : 133 u/l
MCHC : 35 % Bil direk : 2,1 mg/dl
Retikulosit : 1,8 % Bil indirek : 0,5 mg/dl
Natrium : 129 mmol/L Ureum : 25 mg/dl
Kalium : 5,2 mmol/L Kreatinin : 0,6 mg/dl
Klorida : 100 mmol/L HBsAg : non reaktif
Albumin : 2,1 g/dl Anti HVC : negatif
Globulin : 2,8 g/dl ALP : 245 u/l
23
HAsil Ro Thorak PA
Jam12.00 wib
Keluar hasil analisa cairan pleura :
Makroskopis
Volume : 35 cc
Kekeruhan : positif
Warna : abu-abu kehijauan
Mikroskopis :
Jumlah sel : 4375
Ht jenis sel : PMN : 70 % MN : 30 %
Hasil parasitologi cairan plura : ditemukan tropozoid amuba.
24
KONSUL KONSULTAN PULMONOLOGI
Kesan : Empiyema amuba
Anjuran : terapi sesuai abses hepar amubik
25
Pankreas : normal
Lien : normal
Ginjal : normal
Kesan : Abses Hepar
Hasil laboratorium
Albumin : 2 mg/dl
Globulin : 3 mg/dl
Kesan : hipoalbumin ( tidak bisa di minta karena
26
Anjuran : coomb test
27
O :
KU Kesadaran TD F.Nd Fr. nafas Suhu VAS
Paru
Palpasi : fremitus kanan menurun setinggi RIC V ke bawah,
Perkusi : pekak setinggi RIC V ke bawah paru kanan
Auskultasi : vesicular melemah pada paru kanan setinggi RIC
V ke bawah
Abdomen
Hepar teraba 5 jari BAC dan 6 jari PBX, pinggir tumpul, permukaan
rata,konsistensi kenyal, nyeri tekan (+) berkurang, bruit (-) dan lien tidak
teraba
Paru
Palpasi : fremitus kanan menurun setinggi RIC V ke bawah,
Perkusi : pekak setinggi RIC V ke bawah paru kanan
Auskultasi : vesicular melemah pada paru kanan setinggi RIC
V ke bawah,
28
Abdomen
Hepar teraba 4 jari BAC dan 5 jari PBX, pinggir tumpul, permukaan rata,
konsistensi kenyal, nyeri tekan (-),bruit (-) dan lien tidak teraba
Paru
Palpasi : fremitus kanan menurun setinggi RIC V ke bawah,
Perkusi : pekak setinggi RIC V ke bawah paru kanan
Auskultasi : vesicular melemah pada paru kanan setinggi RIC
V ke bawah,
Abdomen
Hepar teraba 2 jari BAC dan 3 jari PBX, pinggir tumpul, permukaan rata,
konsistensi kenyal, nyeri tekan (-),bruit (-) dan lien tidak teraba
29
DISKUSI
Dari hasil parasitologi cairan abses, tidak ditemukan adanya amuba. Dari
hasil sitologi cairan abses mengesankan adanya suatu radang akut supurativa, dan
tidak ditemukan adanya amuba, hasil kultur terdapat kuman stfilokokus aureus.
30
Hal ini justru mengesankan bahwa abses yang diderita pasien adalah abses
piogenik.
Pada pasien kita tegakkan juga dengan empiyema amubik, karena dari
pemeriksaan fisik di dapatkan adanya efusi pleura, dan setelah dilakukan aspirasi
keluar cairan kental warna kuning kehijauan, dan tidak berbau. Kemudian
dilakukan pemeriksaan parasitologi dan ditemukan trofozoid dan hasil kultur di
dapatkan stafilokokus aereus, dari hasil hasil ini kita kita simpulkan adanya
empyema campuran atau empyema amuba terinfeksi. Empiema ini merupakan
salah satu komplikasi dari abses hepar. Dari literatur disebutkan 20-35% pasien
dengan abses hepar amubik mengalami komplikasi efusi plura sampai empyema.
Mekaninsme terjadinya empyema bisa karena rupture abses hati langsung melalui
diafragma, penyebaran langsung abses hati ke paru secra perkontinuitatum, secara
hematogen ataupun limfogen.
31
Terapi terpilih pada pasien abses hati amubik adalah metronidazole.
Metronidazole merupakan derivat nitroimidazole, yang diberikan dengan dosis
50mg/kgBB/hari. Dosis yang dianjurkan untuk kasus abses hati amuba adalah 3 x
750 mg/hari selama 7-10 hari. Berdasarkan kepustakaan, metronidazol merupakan
obat terpilih dan telah dilaporkan menyembuhkan 80-100% abses hati amuba.
Pasien yang berhasil diterapi dengan metronidazol mempunyai respon klinis
dramatis, biasanya menjadi tidak demam dan bebas nyeri dalam 24 dan 48 jam.
Hal ini sesuai dengan yang terjadi pada pasien dimana keluhan nyeri perut dan
demam segera berkurang dengan pemberian metronidazol. Pada pasien ini tetap
diberikan antibiotik sefalosporin generasi ketiga. Indikasi pemberiannya adalah
adanya keluhan demam, nyeri perut kanan atas, dan adanya leukositosis. Secara
klinis, sukar membedakan abses karena amubik ataupun piogenik.
Pada pasien kita lakukan aspirasi cairan pleura, karena pemberian terapi
medikamentosa belum memberikan perbaikan yang berarti, ini di lihat dari rasa
nyeri perut kanan atas dan demam yang masih tinggi, dan dari USG abdomen di
dapatkan abses hepar dengan ukuran yang besar yaiti 13 x 13 cm, dmana menurut
literatur aspirasi terapeutik dipertimbangkan pada keadaan resiko tinggi abses
akan rupture (ukuran kavitas > 5 cm), dantidak respon dengan pengobatan setelah
5-7 hari.
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo, Aru. W., dkk.. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi IV.
Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006
2. Way. Lawrence. W. Current Surgical Diagnosis and Treatment. Lange USA :
Medical Publication. 2003
3. Kortz, Warren J. & Sabiston, David C. Sabiston Buku Ajar Bedah, Bagian 2.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1994
4. Junita, A., dkk. 2006. Jurnal Penyakit Dalam, Volume 7 Nomor 2 : Beberapa
Kasus Abses hati Amuba. Available from: Http://ejournal.unud.ac.id/. Accessed
on : June 02nd, 2009.
5. Sjamsuhidayat, R., Jong, Wim de. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. Jakarta :
EGC. 2005
33
6. Moore, L. Keith., Agur, Anne. M. R. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta :
Hipokrates. 2002
34
35