Anda di halaman 1dari 25

ABSES HEPAR

Sitti Wahidatun Asryani, Asirah Aris


I.

Pendahuluan
Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena

infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem
gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan
pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel darah didalam
parenkim hati .(1)
Secara umum, abses hati terbagi 2, yaitu abses hati amebik (AHA) dan abses
hati piogenik (AHP). AHA merupakan

salah satu

komplikasi

amebiasis

ekstraintestinal yang paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik, termasuk


Indonesia. AHP dikenal juga sebagai hepatic abscess, bacterial liver abscess,
bacterial abscess of the liver, bacterial hepatic abscess. AHP ini merupakan kasus
yang relatif jarang, pertama ditemukan oleh Hippocrates (400 SM) dan
dipublikasikan pertama kali oleh Bright pada tahun 1936. (1)
Prevalensi yang tinggi sangat erat hubungannya dengan sanitasi yang jelek,
status ekonomi yang rendah serta gizi yang buruk. Meningkatnya arus urbanisasi
menyebabkan bertambahnya kasus abses hati di daerah perkotaan. Di negara yang
sedang berkembang abses hati amuba lebih sering didapatkan secara endemik
dibandingkan dengan abses hati piogenik. Dalam beberapa dekade terakhir ini telah
banyak perubahan mengenai aspek epidemiologis, etiologi, bakteriologi, cara
diagnostik maupun mengenai pengelolaan serta prognosisnya. (2)
II.

Insidens dan Epidemiologi


Di negara negara yang sedang berkembang, AHA didapatkan secara

endemik dan jauh lebih sering dibandingkan AHP. AHP ini tersebar di seluruh dunia,
dan terbanyak di daerah tropis dengan kondisi hygiene /sanitasi yang kurang. Secara
epidemiologi, didapatkan 8 15 per 100.000 kasus AHP yang memerlukan perawatan
di RS, dan dari beberapa kepustakaan Barat, didapatkan prevalensi autopsi bervariasi

antara 0,29 1,47% sedangkan prevalensi di RS antara 0,008 0,016%. AHP lebih
sering terjadi pada pria dibandingkan perempuan, dengan rentang usia berkisar lebih
dari 40 tahun, dengan insidensi puncak pada dekade ke 6. (1)
Abses hati piogenik sukar ditetapkan. Dahulu hanya dapat dikenal setelah
otopsi. Sekarang dengan peralatan yang lebih canggih seperti USG, CT Scan dan
MRI lebih mudah untuk membuat diagnosisnya. Prevalensi otopsi berkisar antara
0,29-1,47 % sedangkan insidennya 8-15 kasus/100.000 penderita. (2)
Hampir 10 % penduduk dunia terutama negara berkembang terinfeksi
E.histolytica tetapi hanya 1/10 yang memperlihatkan gejala. Insidens amubiasis hati
di rumah sakit seperti Thailand berkisar 0,17 % sedangkan di berbagai rumah sakit di
Indonesia berkisar antara 5-15% pasien/tahun. Penelitian di Indonesia menunjukkan
perbandingan pria dan wanita berkisar 3:1 sampai 22:1, yang tersering pada dekade
keempat. Penularan umumnya melalui jalur oral-fekal dan dapat juga oral-anal-fekal.
Kebanyakan yang menderita amubiasis hati adalah pria dengan rasio 3,4-8,5 kali
lebih sering dari wanita. Usia yang sering dikenai berkisar antara 20-50 tahun
terutama dewasa muda dan lebih jarang pada anak. Infeksi E.histolytica memiliki
prevalensi yang tinggi di daerah subtropikal dan tropikal dengan kondisi yang padat
penduduk, sanitasi serta gizi yang buruk. (2,7)
III.
3.1

Etiologi dan pathofisiologi


Etiologi
a. Abses Hati Amebik
Didapatkan beberapa spesies amoeba yang dapat hidup sebagai parasit non-

patogen dalam mulut dan usus, tetapi hanya Entamoeba histolytica yang dapat
menyebabkan penyakit. Hanya sebagian kecil individu yang terinfeksi Entamoeba
histolytica yang memberikan gejala amebiasis invasif, sehingga diduga ada 2 jenis
Entamoeba histolytica yaitu strain patogen dan non-patogen. Bervariasinya virulensi
berbagai strain Entamoeba histolytica ini berbeda berdasarkan kemampuannya
menimbulkan lesi pada hati. (2)

Amuba bentuk trofozoit dengan pseupoda ukuran besar(5)


Entamoeba histolytica adalah protozoa usus kelas Rhizopoda yang
mengadakan pergerakan menggunakan pseupodia/kaki semu. Terdapat 3 bentuk
parasit, yaitu tropozoit yang aktif bergerak dan bersifat invasif, mampu memasuki
organ dan jaringan, bentuk kista yang tidak aktif bergerak dan bentuk prakista yang
merupakan bentuk antara kedua stadium tersebut. Tropozoit adalah bentuk motil yang
biasanya hidup komensal di dalam usus. Dapat bermultiplikasi dengan cara
membelah diri menjadi 2 atau menjadi kista. Tumbuh dalam keadaan anaerob dan
hanya perlu bakteri atau jaringan untuk kebutuhan zat gizinya. Tropozoit ini tidak
penting untuk penularan karena dapat mati terpajan hidroklorida atau enzim
pencernaan. Jika terjadi diare, tropozoit dengan ukuran 10-20 um yang
berpseudopodia keluar, sampai yang ukuran 50 um.Tropozoit besar sangat aktif
bergerak, mampu memangsa eritrosit, mengandung protease yaitu hialuronidase dan
mukopolisakaridase yang mampu mengakibatkan destruksi jaringan. Bentuk tropozoit
ini akan mati dalam suasana kering atau asam. Bila tidak diare/disentri tropozoit akan
membentuk kista sebelum keluar ke tinja. (2,6)
Kista akan berinti 4 setelah melakukan 2 kali pembelahan dan berperan dalam
penularan karena tahan terhadap perubahan lingkungan, tahan asam lambung dan
enzim pencernaan. Kista infektif mempunyai 4 inti merupakan bentuk yang dapat
ditularkan dari penderita atau karier ke manusia lainnya. Kista berbentuk bulat
dengan diameter 8-20 um, dinding kaku. Pembentukan kista ini dipercepat dengan
berkurangnya bahan makanan atau perubahan osmolaritas media. (2,9)

b. Abses Hati Piogenik


Etiologi AHP adalah enterobacteriaceae, microaerophilic streptococci,
anaerobic

streptococci,

klebsiella

pneumoniae,

bacteriodes,

fusobacterium,

staphylococcus aureus, staphylococcus milleri, candida albicans, aspergillus,


actinomyces, eikenella corrodens, yersinia enterolitica, salmonella typhi, brucella
melitensis, dan fungal. Organisme penyebab yang paling sering ditemukan adalah
E.Coli, Klebsiella pneumoniae, Proteus vulgaris, Enterobacter aerogenes dan spesies
dari bakteri anaerob ( contohnya Streptococcus Milleri ). Staphylococcus aureus
biasanya organisme penyebab pada pasien yang juga memiliki penyakit granuloma
yang kronik. Organisme yang jarang ditemukan sebagai penyebabnya adalah
Salmonella, Haemophillus, dan Yersinia. Kebanyakan abses hati piogenik adalah
infeksi sekunder di dalam abdomen. Bakteri dapat mengivasi hati melalui :
1. Vena porta yaitu infeksi pelvis atau gastrointestinal atau bisa menyebabkan
fileplebitis porta
2. Arteri hepatika sehingga terjadi bakteremia sistemik
3. Komplikasi infeksi intra abdominal seperti divertikulitis, peritonitis, dan infeksi
post operasi
4. Komplikasi dari sistem biliaris, langsung dari kantong empedu atau saluransaluran empedu. Obstruksi bilier ekstrahepatik menyebabkan kolangitis.
Penyebab lainnya biasanya berhubungan dengan choledocholithiasis, tumor jinak
dan ganas atau pascaoperasi striktur.
5. Trauma tusuk atau tumpul. Selain itu embolisasi transarterial dan cryoablation
massa hati sekarang diakui sebagai etiologi baru abses piogenik.
6. Kriptogenik tanpa faktor predisposisi yang jelas, terutama pada orang lanjut usia.
Namun insiden meningkat pada pasien dengan diabetes atau kanker metastatik.
(1,7,10,11)

3.2 pathofisiologi
a. Abses Hepar Amebik
Cara penularan umumnya fecal-oral yaitu dengan menelan kista, baik melalui
makanan atau minuman yang terkontaminasi atau transmisi langsung pada orang
4

dengan higiene yang buruk. Kasus yang jarang terjadi adalah penularan melalui seks
oral ataupun anal. (11,12)
E.hystolitica dalam 2 bentuk, baik bentuk trofozoit yang menyebabkan penyakit
invasif maupun kista bentuk infektif yang dapat ditemukan pada lumen usus. Bentuk
kista tahan terhadap asam lambung namun dindingnya akan diurai oleh tripsin dalam
usus halus. Kemudian kista pecah dan melepaskan trofozoit yang kemudian
menginvasi lapisan mukosa usus. Amuba ini dapat menjadi patogen dengan
mensekresi enzim cysteine protease, sehingga melisiskan jaringan maupun eritrosit
dan menyebar keseluruh organ secara hematogen dan perkontinuinatum. Amoeba
yang masuk ke submukosa memasuki kapiler darah, ikut dalam aliran darah melalui
vena porta ke hati. Di hati E.hystolitica mensekresi enzim proteolitik yang melisis
jaringan hati, dan membentuk abses. Di hati terjadi fokus akumulasi neutrofil
periportal yang disertai nekrosis dan infiltrasi granulomatosa. Lesi membesar,
bersatu, dan granuloma diganti dengan nekrotik. Bagian nekrotik ini dikelilingi
kapsul tipis seperti jaringan fibrosa. Lokasi yang sering adalah di lobus kanan (70% 90%) karena lobus kanan menerima darah dari arteri mesenterika superior dan vena
portal sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri mesenterika inferior dan aliran
limfatik. Dinding abses bervariasi tebalnya,bergantung pada lamanya penyakit.
Secara klasik, cairan abses menyerupai achovy paste dan berwarna coklat
kemerahan, sebagai akibat jaringan hepar serta sel darah merah yang dicerna. (2,8,12,13)
b. Abses Hepar Piogenik
Hati adalah organ yang paling sering untuk terjadinya abses. Dari suatu studi
di Amerika, didapatkan 13% abses hati dari 48% abses viseral. Abses hati dapat
berbentuk soliter maupun multipel. Hal ini dapat terjadi dari penyebaran hematogen
maupun secara langsung dari tempat terjadinya infeksi di dalam rongga peritoneum.
Hati menerima darah secara sistemik maupun melalui sirkulasi vena portal, hal ini
memungkinkan terinfeksinya hati oleh karena paparan bakteri yang berulang, tetapi
dengan adanya sel Kuppfer yang membatasi sinusoid hati akan menghindari
terinfeksinya hati oleh bakteri tersebut. Bakteri piogenik dapat memperoleh akses ke
5

hati dengan ekstensi langsung dari organ-organ yang berdekatan atau melalui vena
portal atau arteri hepatika. Adanya penyakit sistem biliaris sehingga terjadi obstruksi
aliran empedu akan menyebabkan terjadinya proliferasi bakteri. Adanya tekanan dan
distensi kanalikuli akan melibatkan cabang-cabang dari vena portal dan limfatik
sehingga akan terbentuk formasi abses fileflebitis. Mikroabses yang terbentuk akan
menyebar secara hematogen sehingga terjadi bakteremia sistemik. Penetrasi akibat
trauma tusuk akan menyebabkan inokulasi bakteri pada parenkim hati sehingga
terjadi AHP. Penetrasi akibat trauma tumpul menyebabkan nekrosis hati, perdarahan
intrahepatik dan terjadinya kebocoran saluran empedu sehingga terjadi kerusakan dari
kanalikuli. Kerusakan kanalikuli menyebabkan masuknya bakteri ke hati dan terjadi
pembentukan pus. Lobus kanan hati lebih sering terjadi AHP dibanding lobus kiri, kal
ini berdasarkan anatomi hati, yaitu lobus kanan menerima darah dari arteri
mesenterika superior dan vena portal sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri
mesenterika inferior dan aliran limfatik. (1,10)
IV.

Anatomi dan fisiologi


Hati adalah kelenjar terbesar dalam tubuh, berat rata-rata sekitar 1.500gr atau

2 % berat badan orang dewasa normal. Letaknya sebagian besar di regio hipokondria
dekstra, epigastrika, dan sebagian kecil di hipokondria sinistra. Hati memiliki dua
lobus utama yaitu kanan dan kiri. Lobus kanan dibagi menjadi segmen anterior dan
posterior oleh fisura segmentalis kanan. Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial
dan lateral oleh ligamentum falsiformis. Di bawah peritonium terdapat jaringan ikat
padat yang disebut kapsula Glisson yang meliputi seluruh permukaan hati. Setiap
lobus hati terbagi menjadi struktur-struktur yang disebut sebagai lobulus, yang
merupakan unit mikroskopis dan fungsional organ yang terdiri atas lempeng-lempeng
sel hati dimana diantaranya terdapat sinusoid. Selain sel-sel hati, sinusoid vena
dilapisi oleh sel endotel khusus dan sel Kupffer yang merupakan makrofag yang
melapisi sinusoid dan mampu memfagositosis bakteri dan benda asing lain dalam
darah sinus hepatikus. Hati memiliki suplai darah dari saluran cerna dan limpa
melalui vena porta hepatika dan dari aorta melalui arteria hepatika. (2,3,4)
6

Hati mempunyai fungsi yang sangat beraneka ragam. Beberapa di antaranya yaitu:
(3,4,5,6)

Pembentukan dan ekskresi empedu


Dalam hal ini terjadi metabolisme pigmen dan garam empedu. Garam empedu
penting untuk pencernaan dan absopsi lemak serta vitamin larut-lemak di dalam usus
Pengolahan metabolik kategori nutrien utama (karbohidrat, lemak, protein)
setelah penyerapan dari saluran pencernaan
a. Metabolisme karbohidrat : menyimpan glikogen dalam jumlah besar, konversi
galaktosa dan friktosa menjadi glukosa, glukoneogenesis, serta pembentukan
banyak senyawa kimia dari produk antara metabolisme karbohidrat.
b. Metabolisme lemak : oksidasi asam lemak untuk menyuplai energi bagi fungsi
tubuh yang lain, sintesis kolesterol,fosfolipid,dan sebagian besar lipoprotein,
serta sintesis lemak dari protein dan karbohidrat
c. Metabolisme protein : deaminasi asam amino, pembentukan ureum untuk
mengeluarkan amonia dari cairan tubuh, pembentukan protein plasma, serta
interkonversi beragam asam amino dan sintesis senyawa lain dari asam amino.
Penimbunan vitamin dan mineral
Vitamin larut-lemak ( A,D,E,K ) disimpan dalam hati, juga vitamin B12,
tembaga, dan besi dalam bentuk ferritin. Vitamin yang paling banyak disimpan dalam
hati adalah vitamin A, tetapi sejumlah besar vitamin D dan B 12 juga disimpan secara
normal.

Hati menyimpan besi dalam bentuk ferritin


Sel hati mengandung sejumlah besar protein yang disebut apoferritin, yang
dapat bergabung dengan besi baik dalam jumlah sedikit maupun banyak. Oleh
karena itu, bila besi banyak tersedia dalam cairan tubuh, maka besi akan
berikatan dengan apoferritin membentuk ferritin dan disimpan dalam bentuk
ini di dalam sel hati sampai diperlukan. Bila besi dalam sirkulasi cairan tubuh
mencapai kadar rendah, maka ferritin akan melepaskan besi.

Hati membentuk zat-zat yang digunakan untuk koagulasi darah dalam jumlah
banyak
Zat-zat yang dibentuk di hati yang digunakan pada proses koagulasi meliputi
fibrinogen, protrombin, globulin akselerator, faktor VII, dan beberapa faktor
koagulasi lainnya. Vitamin K dibutuhkan oleh proses metabolisme hati, untuk
membentuk protrombin dan faktor VII, IX, dan X.
Hati mengeluarkan atau mengekskresikan obat-obatan, hormon, dan zat
lain
Medium kimia yang aktif dari hati dikenal kemampuannya dalam melakukan
detoksifikasi atau ekskresi berbagai obat-obatan meliputi sulfonamid, penisilin,
ampisilin, dan eritromisin ke dalam empedu. Beberapa hormon yang disekresi oleh
kelenjar endokrin diekskresi atau dihambat secara kimia oleh hati meliputi tiroksin
dan terutama semua hormon steroid seperti estrogen, kortisol, dan aldosteron.
Hati berfungsi sebagai gudang darah dan filtrasi
Hati adalah organ venosa yang mampu bekerja sebagai tempat penampungan
darah yang bermakna saat volume darah berlebihan dan mampu menyuplai darah
ekstra di saat kekurangan volume darah. Sinusoid hati merupakan depot darah yang
mengalir kembali dari vena cava (gagal jantung kanan). kerja fagositik sel Kupffer
membuang bakteri dan debris dari darah.
V. Diagnosis
A. Gambaran klinik
1. Abses Hepar Amebik (2,8,9,13,)

Gejala :
a. Demam internitten ( 38-40 oC)
b. Nyeri perut kanan atas, kadang nyeri epigastrium dan dapat menjalar hingga
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.

bahu kanan dan daerah skapula


Anoreksia
Nausea
Vomitus
Keringat malam
Berat badan menurun
Batuk
Pembengkakan perut kanan atas
Ikterus
Buang air besar berdarah
Kadang ditemukan riwayat diare
Kadang terjadi cegukan (hiccup)

Kelainan fisis :
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Ikterus
Temperatur naik
Malnutrisi
Hepatomegali yang nyeri spontan atau nyeri tekan atau disertai komplikasi
Nyeri perut kanan atas
Fluktuasi

2. Abses hati piogenik (1,2,8,15)


Gambaran klinis abses hati piogenik menunjukkan manifestasi sistemik yang
lebih berat dari abses hati amuba.
Keluhan :
a. Demam yang sifatnya dapat remitten, intermitten atau kontinyu yang disertai
menggigil
b. Nyeri spontan perut kanan atas ditandai dengan jalan membungkuk ke depan
c.
d.
e.
f.
g.
h.

dan kedua tangan diletakkan di atasnya.


Mual dan muntah
Berkeringat malam
Malaise dan kelelahan
Berat badan menurun
Berkurangnya nafsu makan
Anoreksia

Pemeriksaan fisis :
a. Hepatomegali
b. Nyeri tekan perut kanan
c. Ikterus, namun jarang terjadi
d. Kelainan paru dengan gejala batuk, sesak nafas serta nyeri pleura
e. Buang air besar berwarna seperti kapur
f. Buang air kecil berwarna gelap
g. Splenomegali pada AHP yang telah menjadi kronik
B. Gambaran radiologi
1. Foto thoraks
Pada pasien abses hati amebik, foto thoraks menunjukkan peninggian kubah
diafragma kanan dan berkurangnya pergerakan diafragma efusi pleura kolaps paru
dan abses paru. (2)

Gambar 1. Foto Dada Abses Hati(8)

10

Gambar 2. Adanya abses yang ruptur pada rongga pleura(17)

2. Foto polos abdomen


Kelainan pada foto polos abdomen tidak begitu banyak. Berupa gambaran
ileus, hepatomegali atau gambaran udara bebas di atas hati. Jarang didapatkan air
fluid level yang jelas.(2)
3. Ultrasonografi
USG untuk mendeteksi amubiasis hati, USG sama efektifnya dengan CT atau
MRI. Gambaran USG pada amubiasis hati adalah bentuk bulat atau oval tidak ada
gema dinding yang berarti ekogenitas lebih rendah dari parenkim hati normal
bersentuhan dengan kapsul hati dan peninggian sonic distal.(2)

11

Gambar 3. USG Abses hepar(2)

Abses hati amebik berbentuk bulat mengandung bagian hipoekoik, hiperekoik


dan anekoik, batas tegas, tidak rata. Dapat berupa lesi tunggal atau multiple.(2)

Gambar 4. Liver abses amebik yang jelas pada lobus kanan(16)

Abses hati piogenik berbentuk kebulatan mengandung bagian hipoekoik,


hiperekoik, dan anekoik, batas tegas, tidak rata. Seringkali transmisi sonar lebih
baik/kurang pekat dibandingkan abses amuba, meskipun tidak selalu mudah
dibedakan dari abses hati amuba.(2)

12

Gambar 5. Liver abses piogenik yang menunjukkan massa hipoechoic(2)

Gambar 6. Segmen hipoechoic(2)


4. CT Scan
Gambaran CT scan : 85 % berupa massa soliter relatif besar, monolokular,
prakontras tampak sebagai massa hipodens berbatas suram. Densitas cairan abses
berkisar 10-20 H.U. Pasca kontras tampak penyengatan pada dinding abses yang

13

tebal. Septa terlihat pada 30 % kasus. Penyengatan dinding terlihat baik pada fase
porta. (2)

Gambar 7. CT Scan pada abses hati amebic(8)

Pemeriksaan USG, radionuclide scanning, CT scan dan MRI mempunyai nilai


diagnosis yang tinggi. CT scan dan MRI dapat menetapkan lokasi abses lebih akurat
terutama untuk drainase perkutan atau tindakan bedah. Gambaran CT scan : apabila
mikroabses berupa lesi hipodens kecil-kecil < 5 mm sukar dibedakan dari mikroabses
jamur, rim enhancement pada mikroabses sukar dinilai karena lesi terlalu kecil.
Apabila mikroabses > 10 mm atau membentuk kluster sehingga tampak massa agak
besar maka prakontras kluster piogenik abses tampak sebagai masa low density
berbatas suram. Pasca kontras fase arterial tampak gambaran khas berupa masa
dengan rim enhancement dimana hanya kapsul abses yang tebal yang menyengat.
Bagian tengah abses terlihat hipodens dengan banyak septa-septa halus yang juga
menyengat, sehingga membentuk gambaran menyerupai jala. Fase porta penyengatan
dinding kapsul abses akan semakin menonjol dan sekitar dinding abses tampak area
yang hipodens sebagai reaksi edema di sekitar abses. Sebagian kecil piogenik bersifat

14

monokuler, tidak bersepta, dan menyerupai abses amoebiasis. Pembentukan gas di


dalam abses biasanya pada infeksi oleh kuman Klebsiella. (1,2,)

Gambar 8. CT Scan dengan multifokal abses hati piogenik pada segmen IV. Abses lainnya terdapat
pada segmen VII dan VIII.(8)

Karateristik abses pada pemeriksaan MRI adalah lesi dengan penyengatan


kontras yang berbentuk cincin dan bagian sentral yang tidak tampak penyengatan.
Cincin penyengatan tetap terlihat pada fase tunda. (2) Sangat sukar dibedakan
gambaran USG antara abses piogenik dan amebik. Biasanya sangat besar, kadangkadang multilokular. Struktur eko rendah sampai cairan ( anekoik ) dengan adanya
bercak-bercak hiperekoik (debris) di dalamnya. Tepinya tegas, ireguler yang makin
lama makin bertambah tebal. (16)

15

Gambar 9. Liver abses terlihat pada lobus kanan hepar(18)

Gambar 10. Abses hati anterior yang melibatkan lobus kiri hepar (8)

16

Gambar 11. Abses amebik unilokus

Gambar 12. Koronal liver abses piogenik dengan gambaran klasik cluster sign

C. Pemeriksaan laboratorium dan PA


Pada pasien abses hati amebik, pemeriksaan hematologi didapatkan
hemoglobin 10,4-11,3 g% sedangkan lekosit 15.000-16.000/mL3 . pada pemeriksaan
faal hati didapatkan albumin 2,76-3,05 g%, globulin 3,62-3,75 g%, total bilirubin 0,92,44 mg%, fosfatase alkali 270,4-382,0 u/L, SGOT 27,8-55,9 u/L dan SGPT 15,763,0 u/L. Jadi kelainan yang didapatkan pada amubiasis hati adalah anemia ringan
sampai sedang, leukositosis berkisar 15.000/mL3. Sedangkan kelainan faal hati

17

didapatkan ringan sampai sedang. Uji serologi dan uji kulit yang positif menunjukkan
adanya Ag atau Ab yang spesifik terhadap parasit ini, kecuali pada awal infeksi. Ada
beberapa uji yang banyak digunakan antara lain hemaglutination (IHA),
countermunoelectrophoresis (CIE), dan ELISA. Real Time PCR cocok untuk
mendeteksi E.histolityca pada feses dan pus penderita abses hepar. (2,7,9)
Pada pasien abses hati piogenik, mungkin didapatkan leukositosis dengan
pergeseran ke kiri, anemia, peningkatan laju endap darah, gangguan fungsi hati
seperti peninggian bilirubin, alkalin fosfatase, peningkatan enzim transaminase,
serum bilirubin, berkurangnya konsentrasi albumin serum dan waktu protrombin
yang memanjang menunjukkan bahwa terdapat kegagalan fungsi hati. Kultur darah
yang memperlihatkan bakterial penyebab menjadi standar emas untuk menegakkan
diagnosis secara mikrobiologik. Pemeriksaan biakan pada permulaan penyakit sering
tidak ditemukan kuman. Kuman yang sering ditemukan adalah kuman gram negatif
seperti Proteus vulgaris, Aerobacter aerogenes atau Pseudomonas aeruginosa,
sedangkan kuman anaerib Microaerofilic sp, Streptococci sp, Bacteroides sp, atau
Fusobacterium sp. (1,2)
VI.

Differensial diagnosis

Differential Diagnosis
Hepatoma

Manifestasi Klinis
Merupakan tumor ganas hati primer.
Anamnesis: penurunan berat badan, nyeri perut kanan
atas, anoreksia, malaise, benjolan perut kanan atas.
Pemeriksaaan fisik : hepatomegali berbenjol-benjol,
stigmata penyakit hati kronik.
Laboratorium : peningkatan AFP, PIVKA II, alkali
fosatase

Kolesistitis akut

USG : lesi lokal/ difus di hati


Merupakan reaksi inflamasi kandung empedu akibat
infeksi bakterial akut yang disertai keluhan nyeri perut
kanan atas, nyeri tekan, dan panas badan.
18

Anamnesis : nyeri epigastrium atau perut kanan atas


yang dapat menjalar ke daerah scapula kanan, demam.
Pemeriksaan fisik : teraba massa kandung empedu,
nyeri tekan disertai tanda-tanda peritoitis lokal,
Murphy sign (+), ikterik biasanya menunjukkan
adanya batu di saluran empedu ekstrahepatik.
Laboratorium: leukositosis
USG : penebalan dining kandung empedu, sering
ditemukan pula sludge atau batu.
VII.

Komplikasi
Komplikasi yang paling sering adalah ruptur abses sebesar 5 - 5,6 %. Ruptur

dapat terjadi ke pleura, paru, perikardium, usus, intraperitoneal atau kulit. Kadangkadang dapat terjadi superinfeksi, terutama setelah aspirasi atau drainase. Infeksi
pleuropneumonal adalah komplikasi yang paling umum terjadi. Mekanisme infeksi
termasuk pengembangan efusi serosa simpatik, pecahnya abses hati ke dalam rongga
dada yang dapat menyebabkan empiema, serta penyebaran hematogen sehingga
terjadi infeksi parenkim. Fistula hepatobronkial dapat menyebabkan batuk produktif
dengan bahan nekrotik mengandung amoeba. Fistula bronkopleural mungkin jarang
terjadi. Komplikasi pada jantung biasanya dikaitkan pecahnya abses pada lobus kiri
hati dimana ini dapat menimbulkan kematian. Pecah atau rupturnya abses dapat ke
organ-organ peritonium dan mediastinum. Kasus pseudoaneurysm arteri hepatika
telah dilaporkan terjadi sebagai komplikasi. (12,13,14)
Saat diagnosis ditegakkan, menggambarkan keadaan penyakit berat seperti
septikamia/bakterimia dengan mortalitas 85%, ruptur abses hati disertai peritonitis
generalisata dengan mortalitas 6-7%, kelainan pleuropulmonal, gagal hati, perdarahan
ke dalam rongga abses, hemobilia, empiema, fistula hepatobronkial, ruptur ke dalam
perikard atau retroperineum. Sesudah mendapatkan terapi, sering terjadi diatesis

19

hemoragik, infeksi luka, abses rekuren, perdarahan sekunder dan terjadi rekurensi
atau reaktifasi abses. (1)
VIII.
Penatalaksanaan
a.
Abses hati amebik (2,12,14,17)
1. Medikamentosa
Abses hati amoeba tanpa komplikasi lain dapat menunjukkan penyembuhan
yang besar bila diterapi hanya dengan antiamoeba. Pengobatan yang dianjurkan
adalah:
a. Metronidazole
Metronidazole merupakan derivat nitroimidazole, efektif untuk amubiasis
intestinal maupun ekstraintestinal., efek samping yang paling sering adalah sakit
kepala, mual, mulut kering, dan rasa kecap logam. Dosis yang dianjurkan untuk kasus
abses hati amoeba adalah 3 x 750 mg per hari selama 5 10 hari. Sedangkan untuk
anak ialah 35-50 mg/kgBB/hari terbagi dalam tiga dosis. Derivat nitroimidazole
lainnya yang dapat digunakan adalah tinidazole dengan dosis 3 x 800 mg perhari
selama 5 hari, untuk anak diberikan 60 mg/kgBB/hari dalam dosis tunggal selama 3-5
hari.
b. Dehydroemetine (DHE)
Merupakan derivat diloxanine furoate. Dosis yang direkomendasikan untuk
mengatasi abses liver sebesar 3 x 500 mg perhari selama 10 hari atau 1-1,5
mg/kgBB/hari intramuskular (max. 99 mg/hari) selama 10 hari. DHE relatif lebih
aman karena ekskresinya lebih cepat dan kadarnya pada otot jantung lebih rendah.
Sebaiknya tidak digunakan pada penyakit jantung, kehamilan, ginjal, dan anak-anak
c. Chloroquin
Dosis klorokuin basa untuk dewasa dengan amubiasis ekstraintestinal ialah
2x300 mg/hari pada hari pertama dan dilanjutkan dengan 2x150 mg/hari selama 2
atau 3 minggu. Dosis untuk anak ialah 10 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis terbagi selama
3 minggu. Dosis yang dianjurkan adalah 1 g/hari selama 2 hari dan diikuti 500
mg/hari selama 20 hari.

20

2. Aspirasi
Apabila pengobatan medikamentosa dengan berbagai cara tersebut di atas
tidak berhasil (72 jam), terutama pada lesi multipel, atau pada ancaman ruptur atau
bila terapi dcngan metronidazol merupakan kontraindikasi seperti pada kehamilan,
perlu dilakukan aspirasi. Aspirasi dilakukan dengan tuntunan USG.
3.

Drainase Perkutan
Drainase perkutan indikasinya pada abses besar dengan ancaman ruptur atau

diameter abses > 7 cm, respons kemoterapi kurang, infeksi campuran, letak abses
dekat dengan permukaan kulit, tidak ada tanda perforasi dan abses pada lobus kiri
hati. Selain itu, drainase perkutan berguna juga pada penanganan komplikasi paru,
peritoneum, dan perikardial.
4.

Drainase Bedah
Pembedahan diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil

mcmbaik dengan cara yang lebih konservatif, kemudian secara teknis susah dicapai
dengan aspirasi biasa. Selain itu, drainase bedah diindikasikan juga untuk perdarahan
yang jarang tcrjadi tetapi mengancam jiwa penderita, disertai atau tanpa adanya
ruptur abses. Penderita dengan septikemia karena abses amuba yang mengalami
infeksi sekunder juga dicalonkan untuk tindakan bedah, khususnya bila usaha
dekompresi perkutan tidak berhasil Laparoskopi juga dikedepankan untuk
kemungkinannya dalam mengevaluasi tcrjadinya ruptur abses amuba intraperitoneal.
b. Abses hati piogenik (1,2,7,10)
a. Pencegahan
Merupakan cara efektif untuk menurunkan mortalitas akibat abses hati
piogenik yaitu dengan cara:
a. Dekompresi pada keadaan obstruksi bilier baik akibat batu ataupun tumor dengan
rute transhepatik atau dengan melakukan endoskopi
b. Pemberian antibiotik pada sepsis intra-abdominal
b. Terapi definitive

21

Terapi ini terdiri dari antibiotik, drainase abses yang adekuat dan
menghilangkan penyakit dasar seperti sepsis yang berasal dari saluran cerna.
Pemberian antibiotika secara intravena sampai 3 gr/hari selama 3 minggu diikuti
pemberian oral selama 1-2 bulan. Antibiotik ini yang diberikan terdiri dari:
a. Penisilin atau sefalosporin untuk coccus gram positif dan beberapa jenis bakteri
gram negatif yang sensitif. Misalnya sefalosporin generasi ketiga seperti
cefoperazone 1-2 gr/12jam/IV
b. Metronidazole, klindamisin atau kloramfenikol untuk bakteri anaerob terutama
B. fragilis. Dosis metronidazole 500 mg/6 jam/IV
c. Aminoglikosida untuk bakteri gram negatif yang resisten.
d. Ampicilin-sulbaktam atau kombinasi klindamisin-metronidazole, aminoglikosida
dan siklosporin.
c. Drainase abses
Pengobatan pilihan untuk keberhasilan pengobatan adalah drainase terbuka
terutama pada kasus yang gagal dengan pengobatan konservatif. Penatalaksanaan saat
ini adalah dengan menggunakan drainase perkutaneus abses intraabdominal dengan
tuntunan abdomen ultrasound atau tomografi komputer.
d. Drainase bedah
Drainase bedah dilakukan pada kegagalan terapi antibiotik, aspirasi perkutan,
drainase perkutan, serta adanya penyakit intra-abdomen yang memerlukan
manajemen operasi.
IX.

Prognosis
Pada kasus AHA, sejak digunakan obat seperti dehidroemetin atau emetin,

metronidazole dan kloroquin, mortalitas menurun tajam. Mortalitas di rumah sakit


dengan fasilitas menurun tajam. Mortalitas di rumah sakit dengan fasilitas memadai
sekitar 2% dan pada fasilitas yang kurang memadai mortalitasnya 10%. Pada kasus
yang membutuhkan tindakan operasi mortalitas sekitar 12%. Jika ada peritonitis
amuba, mortalitas dapat mencapai 40-50%. Kematian yang tinggi ini disebabkan
keadaan umum yang jelek, malnutrisi, ikterus, dan renjatan. Sebab kematian biasanya
sepsis atau sindrom hepatorenal. Selain itu, prognosis penyakit ini juga dipengaruhi

22

oleh virulensi penyakit, status imunitas, usia lanjut, letak serta jumlah abses dan
terdapatnya komplikasi. Kematian terjadi pada sekitar 5% pasien dengan infeksi
ektraintestinal, serta infeksi peritonial dan perikardium. (2,13)
Abses piogenik sangat ditentukan diagnosis dini, lokasi yang akurat dengan
ultrasonografi, perbaikan dalam mikrobiologi seperti kultur anaerob, pemberian
antibiotik perioperatif dan aspirasi perkutan atau drainase secara bedah. Faktor utama
yang menentukan mortalitas antara lain umur, jumlah abses, adanya komplikasi serta
bakterimia

polimikrobial

dan

gangguan

fungsi

hati

seperti

ikterus

atau

hipoalbuminemia. Komplikasi yang berakhir mortalitas terjadi pada keadaan sepsis


abses subfrenik atau subhepatik, ruptur abses ke rongga peritonium, ke pleura atau ke
paru, kegagalan hati, hemobilia, dan perdarahan dalam abses hati. Penyakit penyerta
yang menyebabkan mortalitas tinggi adalah DM, penyakit polikistik dan sirosis hati.
Mortalitas abses hati piogenik yang diobati dengan antibiotika yang sesuai bakterial
penyebab dan dilakukan drainase adalah 10-16 %. Prognosis buruk apabila: terjadi
umur di atas 70 tahun, abses multipel, infeksi polimikroba, adanya hubungan dengan
keganasan atau penyakit immunosupresif, terjadinya sepsis, keterlambatan diagnosis
dan pengobatan, tidak dilakukan drainase terhadap abses, adanya ikterus,
hipoalbuminemia, efusi pleural atau adanya penyakit lain. (1,2)
Daftar Pustaka
1. Wenas,Nelly Tendean. Waleleng,B.J. Abses hati piogenik. Dalam : Sudoyo,Aru
W. Setiyohadi,Bambang. Alwi,Idrus. Simadibrata,Marcellus. Setiati,Siti. Buku
ajar ilmu penyakit dalam jilid I edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. Hal 460461.
2. Sofwanhadi, Rio. Widjaja, Patricia. Koan, Tan Siaw. Julius. Zubir, Nasrul.
Anatomi hati. Gambar tomografi dikomputerisasi (CT SCAN). Magnetic
resonance imaging (MRI) hati. Abses hati. Penyakit hati parasit. Dalam :
Sulaiman, Ali. Akbar, Nurul. Lesmana, Laurentius A. Noer, Sjaifoellah M. Buku

23

ajar ilmu penyakit hati edisi pertama. Jakarta : Jayabadi. 2007. Hal 1, 80-83, 9394, 487-491, 513-514.
3. Lindseth, Glenda N. Gangguan hati, kandung empedu, dan pankreas. Dalam :
Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. Patofisiologi konsep klinis proses-proses
penyakit vol.1 edisi 6. Jakarta : EGC. 2006. Hal 472-476.
4. Guyton, Arthur C. Hall, John E. Hati sebagai suatu organ. Dalam : Buku ajar
fisiologi kedokteran edisi 11. Jakarta : EGC. 2008. Hal 902-906.
5. Sherwood, Lauralee. Sistem pencernaan. Dalam : Fisiologi manusia dari sel ke
sistem edisi 2. Jakarta : EGC. 2001. Hal 565.
6. Keshav, Satish. Structure and function. In : The gastrointestinal system at a
glance. United Kingdom : Ashford Colour Press, Gosport. 2004. Chapter 27-28.
7. Friedman, Lawrence S. Rosenthal, Philip J. Goldsmith, Robert S. Liver, biliary
tract and pancreas. Protozoal and helminthic infections. In : Papadakis, Maxine
A. McPhee, Stephen J. Tierney, Lawrence M. Current medical diagnosis and
treatment 2008 forty-seventh edition. Jakarta : PT. Soho Industri Pharmasi. 2008.
Page 596, 1304-1306.
8. Krige,J. Beckingham, I.J. Liver abscesses and hydatid disease. In : Beckingham,
I.J. ABC of Liver, Pancreas, and Gall Bladder. Spain : GraphyCems,Navarra.
2001. Chapter 40-42
9. Soedarto. Penyakit protozoa. Dalam : Sinopsis kedokteran tropis. Surabaya :
Airlangga University Press. 2007. Hal 23-24, 27-29.
10. Nickloes, Todd A. Pyogenic liver abcesses. January 23 th, 2009. November 1st,
2011.

Available

from

http://emedicine.medscape.com/article/193182-

overview#showall.
11. Crawford, James M. Hati dan saluran empedu. Dalam : Kumar. Cotran. Robbins.
Robbins buku ajar patologi vol.2 edisi 7. Jakarta : EGC. 2007. Hal 684.
12. Fauci. et all. Infectious disease. In : Harrisons principles of internal medicine
17th edition. USA. 2008. Chapter 202.
13. Brailita, Daniel. Amebic liver abscesses. September 19 th, 2008. April 26rd, 2014.
Available

from

http://emedicine.medscape.com/article/183920-

overview#showall.

24

14. Junita,Arini. Widita,Haris. Soemohardjo,Soewignjo. Beberapa kasus abses hati


amuba. Dalam : Jurnal penyakit dalam vol. 7 nomor 2. Mei 2006. 26 April 2014.
Diunduh dari :
http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/beberapa%20kasus%20abses%20hati
%20amuba%20(dr%20arini).pdf.
15. Kliegman. Behrman. Jenson. Stanton. The digestive system. In : Nelson textbook
of pediatric 18th edition. USA. 2007. Chapter 356.
16. Iljas, Mohammad. Ultrasonografi hati. Dalam : Rasad, Sjahriar. Radiologi
diagnostik edisi kedua. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2008. Hal 469.
17. Syarif, Amir. Elysabeth. Amubisid. Dalam : Gunawan, Sulistia Gan. Setiabudy,
Rianto. Nafrialdi. Farmakologi dan terapi edisi 5. Jakarta : Balai Penerbit UI.
2008. Hal 551-554.
18. Rani, Aziz. Soegondo, Sidartawan. Nasir, Anna Uyainah. Wijaya, Ika Prasetya.

Nafrialdi. Mansjoer, Arif. Abses hati. Kolesistitis akut. Dalam : Panduan


pelayanan medik perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam Indonesia. Jakarta
: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. 2009. Hal 321-324.

25

Anda mungkin juga menyukai