Anda di halaman 1dari 12

TUBERKULOSIS PERITONEAL

Pendahuluan Tuberculosis peritoneal merupakan suatu peradangan peritoneum parietal atau visceral yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis, dan terlihat penyakit ini juga sering mengenai seluruh peritoneum, alat-alat system gastrointestinal, mesenterium dan organ genitalia interna.(1) Penyakit ini jarang berdiri sendiri dan biasanya merupakan kelanjutan proses tuberkulosa di tempat lain terutama dari tuberkulosa paru, namun sering ditemukan bahwa pada waktu diagnose ditegakkan proses tuberkulosa diparu sudah tidak kelihatan lagi. Hal ini bisa terjadi karena proses tuberkulosa di paru mungkin sudah sembuh terlebih dahulu sedangkan penyebaran masih berlangsung di tempat lain.(2) Di Negara yang masih berkembang tuberkulosis peritoneal masih sering dijumpai termasuk di Indonesia, sedangkan di Negara Amerika dan Negara Barat lainnya walaupun sudah jarang ada kecenderungan meningkat dengan meningkatnya penderita AIDS dan imigran. Karena perjalanan penyakitnya yang berlangsung secara perlahan-lahan dan sering tanpa keluhan atau gejala yang jelas maka diagnose sering tidah terdiagnosa atau terlambat ditegakkan.(3) Tidak jarang penyakit ini mempunyai keluhan menyerupai penyakit lain seperti sirosis hati atau neoplasma dengan gejala asites yang tidak terlalu menonjol.(2) Insidensi Tuberculosis peritoneal lebih sering dijumpai pada Wanita dibanding Pria dengan perbandingan 1,5:1 dan lebih sering decade ke 3 dan 4 .(4,5) Tuberculosis peritoneal dijumpai 2% dari seluruh tuberkulosis paru dan 59,8% dari tuberculosis abdominal. (5) Di Amerika Serikat penyakit ini adalah keenam terbanyak diantara penyakit extra paru sedangkan peneliti lain menemukan hanya 5-20% dari penderita tuberculosis peritoneal yang mempunyai TB paru yang aktif. (6,7) Pada saat ini dilaporkan bahwa kasus tuberculosis peritoneal di negara maju semakin meningkat dan peningkatan ini sesuai dengan meningkatnya insidensi AIDS di negara maju. (1) Di Asia dan Afrika dimana tuberculosis masih banyak dijumpai, tuberculosis peritoneal masih merupakan masalah yang penting. Manohar dkk melaporkan di Rumah Sakit King Edward III Durban Afrika Selatan menemukan 145 kasus tuberculosis peritoneal selama periode 5 tahun (1984-1988) sedangkan dengan cara peritonoskopi (5). Daldiono menemukan sebanyak 15 kasus di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta selama periode 1975-1979 menemukan sebanyak

30 kasus tuberkulosa peritoneal. Begitu juga Sibuea dkk melaporkan ada 11 kasus Tuberkulosis Peritoneal di Rumah Sakit Tjikini Jakarta untuk periode 1975-1977. (7) Sedangkan di Medan Zain LH melaporkan ada 8 kasus selama periode 1993-1955. (8) Patogenese Peritoneum dapat dikenai oleh tuberculosis melalui beberapa cara (9) 1. 2. 3. 4. Melalui penyebaran hematogen terutama dari paru-paru Melalui dinding usus yang terinfeksi Dari kelenjar limfe mesenterium Melalui tuba falopi yang terinfeksi

Pada kebanyakan kasus tuberculosis peritoneal terjadi bukan sebagai akibat penyebaran perkontinuitatum tapi sering karena reaktifasi proses laten yang terjadi pada peritoneum yang diperoleh melalui penyebaran hematogen proses primer terlebih dahulu ( infeksi laten Dorman infection) (2) Seperti diketahui lesi tuberkulosa bisa mengalami supresi dan menyembuh, infeksi masih dalam fase laten dimana ia bisa menetap laten selama hidup namun infeksi tadi bias berkembang menjadi tuberkulosa pada setiap saat. Jika organism intraseluler tadi mulai bermultiplikasi secara cepat. (2) Patologi Terdapat 3 bentuk peritonitis tuberkulosa: (2,3) 1. Bentuk eksudatif Bentuk ini dikenal juga sebagai bentuk yang basah atau bentuk asites yang banyak. Gejala menonjol ialah perut membesar dan berisi cairan (asites). Pada bentuk ini perlengketan tidak banyak dijumpai. Tuberkel sering dijumpai kecil-kecil berwarna putih kekuning-kuningan milier, tampak tersebar di peritoneum atau pada alat-alat tubuh yang berada di rongga peritoneum. Disamping partikel yang kecil-kecil juga dijumpai tuberkel yang lebih besar sampai sebesar kacang tanah. Disekitar tuberkel terdapat reaksi jaringan peritoneum berupa kongesti pembuluh darah. Eksudat dapat terbentuk cukup banyak, menutupi tuberkel dan peritoneum sehingga merubah dinding perut menjadi tegang. Cairan asites kadangkadang bercampur darah dan terlihat kemerahan sehingga mencurigakan kemungkinan adanya keganasan. Omentum dapat terkena sehingga terjadi penebalan dan teraba seperti benjolan tumor. 2. Bentuk adhesive Disebut juga bentuk kering atau plastik dimana cairan tidak banyak dibentuk.

Pada jenis ini lebih banyak terjadi perlengketan-perlengketan. Perlengketan yang luas antara usus dan peritoneum sering memberikan gambaran seperti tumor, kadang-kadang terbentuk fistel. Hal ini disebabkan karena adanya perlengketan-perlengketan dinding usus dan peritoneum parietal kemudian timbul proses nekrosis. Bentuk ini sering menimbulkan keadaan ileus obstruksi. Tuberkel-tuberkel ini biasanya lebih besar. 3. Bentuk campuran Bentuk ini kadang-kadang disebut bentuk kista. Pembentukan kista terjadi melalui proses eksudasi bersama-sama dengan adhesi sehingga terbentuk cairan dalam kantongkantong perlengketan tersebut. Beberapa penulis menganggap bahwa pembagian ini lebih bersifat untuk melihat tindakan penyakit, dimana pada mulanya terjadi bentuk exudatif dan kemudian bentuk adhesive.(2) Pemeriksaan histopatologi jaringan biopsy peritoneum akan memperlihatkan jaringan granulasi tuberkulosa yang terdiri dari sel-sel epiteloid dan sel datia langerhans, dan perkejuan umunya ditemukan. (2,9) Gejala klinis Gejala klinis bervariasi, pada umunya keluhan dan gejala timbul perlahan-lahan sampai berbulan-bulan, sering penderita tidak menyadari keadaan ini. Pada penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo lama keluhan berkisar dari 2 minggu s/d 2 tahun dengan rata-rata lebih dari 16 minggu. (1,2,10) Keluhan terjadi secara perlahan lahan sampai berbulan-bulan disertai nyeri perut, pembengkakan perut, disusul tidak ada nafsu makan. (1,2,10,11,12,13) . Pada yang tipe plastic sakit perut lebih terasa dan muncul manifestasi seperti sub obstruksi. (2)

Variasi keluhan pasien tuberkulosa peritoneal menurut beberapa penulis adalah sebagai berikut: Tabel 1. Keluhan pasien tuberculosis peritoneal menurut beberapa penulis (2,4,5)

Keluhan

Sulaiman A 1975-1979 30% pasien

Sandikci

Manohar dkk 1984-1988

135% pasien 82 96 69 73 80 -

45% pasien 35,9 73,1 53,9 46,9 44,1 -

Sakit perut Pembengkakan perut Batuk Demam Keringat malam Anoreksia Berat badan menurun Mencret

57 50 40 30 26 30 23 20

Pada pemeriksaan jasmani gejala yang sering dijumpai adalah asites, demam, pembengkakan perut, nyeri perut, pucat dan kelelahan, tergantung lamanya keluhan. Keadaan umum pasien bias masih cukup baik sampai keadaan yang kurus dan kahexia, pada wanita lebih sering dijumpai tuberkulosa peritoneum disertai oleh proses tuberculosis pada ovarium atau tuba, sehingga alat genital bias ditemukan tanda-tanda peradangan yang sering sukar dibedakan dengan kista ovarium.(1,2)

Gejala yang lebih rinci dapat dilihat pada table 2 dibawah ini:

Tabel 2: Pemeriksaan jasmani pada 30 penderita peritonitis tuberkulosa di rumah sakit Dr.Cipto Mangunkusumo Jakarta Tahun 1975-1979 (2,0)

Gejala

Presentase

Pembengkakan perut dan nyeri Asites Hepatomegali Ronchi pada paru (kanan) Pleura effuse Splenomegali Tumor intra abdomen Fenomena papan catur Limfadenopati Terlibatnya paru dan pleura

51% 43% 43% 33% 27% 30% 20% 13% 13% 63%(atas dasar foto torax)

Fenomena papan catur yang selalu dikatakan karakteristik pada penderita peritonitis tuberkulosa ternyata tidak sering dijumpai (13%). (2,10)

Diagnosis: Laboratorium : Pemeriksaan darah tepi sering dijumpai adanya anemia penyakit kronis, leukositosis ringan ataupun leucopenia, trombositosis, gangguan faal hati dan sering dijumpai laju endapan darah (LED) yang meningkat, sedangkan pada pemeriksaan tes tuberculin hasilnya sering negatif (2,10) Pada pemeriksaan analisa cairan asites umunya memperlihatkan exudat dengan protein > 3gr/dl jumlah sel diatas 100-3000 sel/ml. biasanya lebih dari 90% adalah limfosit, LDH biasanya meningkat. (9,11)

cairan asites yang purulen dapat ditemukan begitu juga cairan asites yang bercampur darah (serosanguinous). Pemeriksaan Basil tahan asam (BTA) didapati hasilnya kurang dari 5% yang positif dan dengan kultur cairan ditemukan kurang dari 20% hasilnya yang positif. (13) Ada beberapa penelitian yang mendapatkan hampir 66% kultur BTA nya yang positif dan akan lebih meningkat lagi sampai 83% bila menggunakan kultur cairan asites yang telah disentrifuge dengan jumlah cairan lebih dari 1 liter. Dan hasil kultur cairan asites ini dapat diperoleh dalam waktu 4-8minggu. (3,11) Perbandingan serum asites albumin (SAAG) pada tuberculosis peritoneal ditemukan rasionya < 1,1gr/dl namun hal ini juga bisa dijumpai pada keadaan keganasan, syndrome nefrotik, penyakit pancreas, kandung empedu atau jaringan ikat sedangkan bila ditemukan > 1,1gr/dl ini merupakan cairan asites akibat portal hipertensi.(13) Perbandingan glukosa cairan asites dengan darah pada tuberculosis peritoneal < 0,96 sedangkan pada asites dengan penyebab lain rationya > 0,96.(1) Penurunan pH cairan asites dan peningkatan kadar laktat dapat dijumpai pada tuberculosis peritoneal dan dijumpai signifikan berbeda dengan cairan asites pada sirosis hati yang steril, namun pemeriksaan pH dan kadar laktat cairan asites ini kurang spesifik dan belum merupakan suatu kepastian karena hal ini juga dijumpai pada kasus asites oleh karena keganasaan atau spontaneous bacterial peritonitis. (14) Pemeriksaan cairan asites lain yang sangat membantu, cepat dan non invasive adalah pemeriksaan ADA ( adenosine deaminase actifity ), interferon gama ( IFN ) dan PCR. Dengan kadar ADA > 33u/l mempunyai sensifitas 100%, spesifitas 95% dan dengan Cutt off > 33u/l mengurangi false positif dari sirosis hati atau malignancy (3,7,9). Pada sirosi hati konsentrasi ADA signifikan lebih rendah dari tuberculosis peritoneal (14 10,6u/l). hafta A dkk dalam suatu penelitian yang membandingkan konsentrasi ADA terhadap pasien tuberkulosis peritoneal, tuberculosis peritoneal bersamaan dengan sirosis hati dan pasienpasien yang hanya sirosis hati. Mereka mendapatkan nilai ADA 131,1 38,1u/l pada pasien tuberculosis peritoneal, 29 18,6u/l pada pasien tuberculosis dengan sirosis hati dan 12,9 7u/l pada pasien yang hanya mempunyai sirosis hati, sedangkan pada pasien dengan konsentrasi protein yang rendah dijumpai nilai ADA yang sangat rendah sehingga mereka menyimpulkan pada konsentrasi asites dengan protein yang rendah nilai ADA dapat menjadi false negatif (16). Untuk ini dilakukan Gama interferon ( INF ) adalah lebih baik walaupun nilainya adalah sama dengan pemeriksaan ADA, sedangkan pada pemeriksaan PCR hasilnya lebih rendah lagi dibandingkan kedua pemeriksaan tersebut.(17,18) Fathy ME melaporkan angka sensitifitas untuk pemeriksaan tuberculosis peritoneal terhadap Gama interferon adalah 90,9%, ADA : 81,8%, dan PCR 36,3% dengan masing-masing spesifisitas 100%.(17). Peneliti lain yang meneliti kadar ADA adalah Bargava. Bargava dkk melakukan penelitian terhadap kadar ADA pada cairan asites dan serum penderita peritoneal

tuberculosis. Kadar ADA >36u/l pada cairan asites dan >54u/l pada serum mendukung suatu diagnosis tuberculosis peritoneal. Perbandingan cairan asites dan serum ( ascetic / serum ADA ratio ) lebih tinggi pada tuberculosis peritoneal dari pada kasus lain seperti sirosis, sirosis dengan spontaneous bacterial peritonitis, Budd chiary dan ratio >0,984 menyokong suatu tuberculosis.(19) Pemeriksaan lain adalah pemeriksaan CA-125. CA-125 ( Cancer antigen 125 ) termasuk tumor associated glycoprotein dan terdapat pada permukaan sel. CA-125 merupakan antigen yang terkait karsinoma ovarium, antigen ini tidak ditemukan pada ovarium orang dewasa normal, namun CA-125 ini dilaporkan, juga meningkat pada keadaan benigna dan maligna, dimana kirakira 80% meningkat pada wanita dengan keganasan ovarium, 26% pada wanita dengan tumor jinak ovarium, 66% pada penyakit ginekologi tanpa keganasan seperti trimester pertama kehamilan, menstruasi, endometriosis, adenomiosis, myoma uteri dan salpingitis, juga kanker primer ginekologi yang lain seperti limfoma, melanoma, kanker hati, pancreas, ginjal, colon juga pada kondisi yang bukan keganasaan seperti gagal ginjal kronik, penyakit autoimun, pancreas, sirosis hati, peradangan peritoneum seperti tuberculosis, pericardium dan pleura(20), namun beberapa laporan yang menemukan peningkatan kadar CA-125 pada penderita tuberculosis peritoneal seperti yang dilaporkan oleh Sinsek H ( Tukey 1996 ), Zain LH ( Medan 1996 ). (8,21) Zain LH di Medan pada tahun 1996 menemukan dari 8 kasus tuberculosis peritoneal dijumpai kadar CA-125 meninggi dengan kadar rata-rata 370,7 u/ml (66,2-907 u/ml) dan menyimpulkan bila dijumpai peninggian serum CA-125 disertai dengan cairan asites yang eksudat, jumlah sel >350/m3, limfosit yang dominan maka tuberculosis peritoneal dapat dipertimbangkan sebagai diagnose. (8) Beberapa penelitian menggunakan CA-125 ini untuk melihat respon pengobatan seperti yang dilakukan Mas MR dkk ( Turkey, 2000 ) menemukan CA-125 sama tingginya dengan kanker ovarium dan setelah pemberian anti tuberkulosa kadar serum CA-125 menjadi normal dimana yang sebelumnya kadar rat-rata CA-125, 475,80 106,19 u/ml menjadi 20,80 5,18 u/ml ( Normal <35 u/ml ) setelah 4 bulan pengobatan anti tuberkulosa. (21,22) Akhir-akhir ini Teruya J dkk pada tahun 2000 di Jepang menemukan peningkatan kadar CA 19-9 pada serum dan cairan asites penderita tuberculosis peritoneal dan setelah diobati selama 6 minggu dijumpai penurunan CA 19-9 menjadi normal (23).

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Ronsen: Pemeriksaan sinar tembus pada sistem pencernaan mungkin dapat membantu jika didapat kelainan usus kecil atau usus besar. (2)

Ultrasonografi Pada pemeriksaan ultrasonografi ( USG ) dapat dilihat adanya cairan dalam rongga peritoneum yang bebas atau terfiksasi ( dalam bentuk kantong-kantong ) menurut Rama dan Walter B, gambaran sonografi tuberculosis yang sering dijumpai antara lain cairan yang bebas atau terlokalisasi dalam rongga abdomen, abses dalam rongga abdomen, massa didaerah ileosaecal dan pembesaran kelenjar limfe retroperitoneal, adanya penebalan mesenterium, perlengketan lumen usus dan penebalan omentum, mungkin bias dilihat dan harus diperiksa dengan seksama (1) Mizzunoe dkk berhasil menggunakan USG sebagai alat bantu biopsy secara tertutup dalam menegakkan diagnose peritonitis tuberkulosa. (24) CT Scan Pemeriksaan CT Scan untuk peritoneal tuberculosis tidak ada ditemui suatu gambaran yang khas, namun secara umum ditemui adanya gambaran peritoneum yang berpasir dan untuk pembuktiannya perlu dijumpai bersamaan dengan adanya gejala klinik dari tuberculosis peritoneal. (25) Rodriguez E dkk yang melakukan suatu penelitian yang membandingkan tuberkulosis peritoneal dengan karsinoma peritoneal dimana mereka mendapatkan penemuan yang paling baik untuk membedakan tuberculosis peritoneal dan karsinoma peritoneal dengan melihat gambaran CT Scan terhadap peritoneum parietalis. Adanya peritoneum yang licin dengan penebalan yang minimal dan pembesaran yang jelas menunjukan suatu peritoneal tuberculosis sedangkan adanya nodul yang tertanam dan penebalan peritoneum yang tak teratur menunjukan suatu peritoneal karsinoma. (26) Peritonoskopi ( Laparaskopi ) Peritonoskopi atau laparoskopi merupakan cara yang relative aman, mudah dan terbaik untuk mendiagnosa tuberculosis peritoneal terutama bila ada cairan asites dan sangat berguna untuk mendiagnosa pasien-pasien muda dengan symptom sakit perut dan tak jelas penyebabnya (27,28) dan cara ini dapat mnediagnosa tuberculosis peritoneal 85% sampai 95% dan dengan biopsy yang terarah dapat dilakukan pemeriksaan histologi dan bisa menemukan adanya gambaran granuloma sebesar 85% hingga 90% dari seluruh kasus dan bila dilakukan kultur bias ditemui BTA HAMPIR 75%. Hasil histology yang lebih penting lagi adalah bila didapat granuloma yang lebih spesifik yaitu jika didapati granuloma dengan pengkejuan (3). Gambaran yang dapat dilihat pada tuberculosis peritoneal: (9)

1. Tuberkel kecil ataupun besar dengan ukuran yang bervariasi yang dijumpai tersebar luas pada dinding peritoneum dan usus dan dapat pula dijumpai permukaan hati atau alat lain. Tuberkel dapat bergabung dan merupakan sebagai nodul. 2. Perlengketan yang dapat bervariasi dari hanya sederhana sampai hebat (luas) diantara alat-alat didalam rongga peritoneum. Sering keadaan ini merubah letak anatomi yang normal. Permukaan hati dapat melengket pada dinding peritoneum dan sulit untuk dikenali. Perlengketan diantara usus mesenterium dan peritoneum dapat sangat ekstensif. 3. Peritoneum sering mengalami perubahan dan dengan permukaan yang kasar yang kadang-kadang berubah gambarannya menyerupai suatu nodul. 4. Cairan asites sering dijumpai berwarna kuning jernih. Kadang-kadang cairan tidak jernih lagi tetapi menjadi keruh. Cairan hemorrhagis juga dapat dijumpai. Biopsi dapat ditujukan pada tuberkel-tuberkel secara terarah atau pada jaringan lain yang tersangka mengalami kelainan dengan menggunakan alat biopsy khusus sekaligus cairan dapat dikeluarkan. Walaupun pada umunya gambaran peritonoskopi peritonitis tuberculosis dapat dikenal dengan mudah, namun gambaran gambarannya bias menyerupai penyakit lain seperti peritonitis karsinomatosis, karena itu biopsy harus selalu diusahakan dan pengobatan sebaiknya diberikan jika hasil pemeriksaan patologi anatomi menyokong suatu peritonitis tuberkulosa. Peritonoskopi tidak selalu mudah dikerjakandan dari 30 kasus, 4 kasus tidak dilakukan peritonoskopi karena secara tehnis dianggap mengandung bahaya dan sukar dikerjakan. Adanya jaringan perlengketan yang luas akan merupakan hambatan dan kesulitan dalam memasukkan trokar dan lebih lanjut ruangan yang sempit didalam rongga abdomen juga menyulitkan pemeriksaan dan tidak jarang alat peritonoskopi terperangkap didalam suatu rongga yang penuh dengan perlengketan, sehingga sulit untuk mengenal gambaran anatomi alat-alat yang normal dan dalam keadaan demikian maka sebaiknya dilakukan laparatomi diagnostic. (1) Laparatomi Dahulu laparatomi eksplorasi merupakan tindakan diagnose yang sering dilakukan, namun saat ini banyak penulis menganggap pembedahan hanya dilakukan jika dengan cara yang lebih sederhana tidak memberikan kepastian diagnose atau jika dijumpai indikasi yang mendesak seperti obstruksi usus, perforasi, adanya cairan asites yang bernanah (2,29)

Pengobatan Pada dasarnya pengobatan sama dengan pengobatan tuberculosis paru, obat-obat seperti Streptomisin, INH, Rifampicin, Pirazinamid memberikan hasil yang baik, dan perbaikan akan

terlihat setelah 2 bulan pengobatan dan lamanya pengobatan biasanya mencapai 9 bulan sampai dengan 18 bulan atau lebih. (1,30) Beberapa penulis berpendapat bahwa kortikosteroid dapat mengurangi perlengketan peradangan dan mengurangi terjadinya asites. Dan juga terbukti bahwa kortikosteroid dapat mengurangi angka kesakitan dan kematian. Namun pemberian kortikosteroid ini harus dicegah pada daerah endemis dimana terjadi resistensi terhadap Mikobakterium Tuberkulosis. (31,32) Alrajhi dkk yang mengadakan penelitian secara retrospektif terhadap 35 pasien dengan tuberculosis peritoneal mendapatkan bahwa pemberian kortikosteroid sebagai obat tambahan terbukti dapat mengurangi insidensi sakit perut dan sumbatan pada usus (32,33) Pada kasus-kasus yang dilakukan peritonoskopi sesudah pengobatan terlihat bahwa tuberkel menghilang namun di beberapa tempat masih dilihat adanya perlengketan (1).

Prognosis: Peritonitis tuberkulosa jika dapat segera ditegakkan diagnosanya dan mendapat pengobatan umumnya akan menyembuh dengan pengobatan yang adequate. (1)

Kesimpualan: 1. Tuberculosis peritoneal biasanya merupakan proses kelanjutan tuberkulosa ditempat lain. 2. Oleh karena gejala klinis yang bervariasi dan timbulnya perlahan-lahansering didiagnosa terlambat baru diketahui. 3. Dengan pemeriksaan diagnostik, laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya dapat membantu menegakkan diagnosa. 4. Dengan pemberian obat anti tuberkulosa yang adequate biasanya pasien akan sembuh.

Kepustakaan : 1. Zain LH. Tuberkulosis peritoneal. Dalam : Noer S ed. Buku ajar ilmupenyakit dalam, Jakarta : Balai penerbit FKUI, 1996 : 403-6 2. Sulaiman A. Peritonitis tuberkulosa. Dalam : Sulaiman A, Daldiyono, Akbar N, Rani A. Buku ajar gatroenterologi hepatologi. Jakarta ; Infomedika 1990: 456-61 3. Ahmad M. Tuberkulosis peritonitis : fatality associated with delayed diagnosis. South Med J 1999:92:406-408. 4. Sandikci MU, Colacoglus, ergun Y. presentation and role of peritonoscopy in the diagnosis of tuberculous peritonitis. J Gastroenterol hepato 1992;7:298-301

5. Manohar A, SimjeeAE, Haffejee AA, Pettengell E. Symptoms and investigative findings in 145 patiens with tuberculous peritonitis diagnosed by peritoscopy and biopsy over a five years period. Gut, 1990;31:1130-2 6. Marshall JB. Tuberculosis of the gastrointestinal tract and peritoneum, AMJ Gastroenteral 1993;88:989-99 7. Sibuea WH, Noer S, Saragih JB, Napitupulu JB. Peritonitis tuberkulosa di RS DGI Tjikini (abstrak) KOPAPDI IV Medan;1978:131 8. Zain LH. Peran analisa cairan asites dan serum Ca 125 dalam mendiagnosa TBC peritoneum. Dalam : Acang N, Nelwan RHH, Syamsuru W ed. Padang : KOPAPDI X, 1996:95. 9. Spiro HM. Peritoneal tuberculosis: clinical gastroenterology 4 th ed New York; Mc Graw hill NC 1993:551-2 10. Sulaiman A. peritonitis tuberkulosa dalam : Hadi S, Thahir G, Daldiyono, Rani A, Akbar N. endoskopi dalam bidang GatroenteroHepatologi Jakarta: PEGI 1980: 265-70 11. Small PM, Seller UM. Abdominal tuberculosis in : Strickland GT ed. Hunters tropical medicine and emerging infection disease. 8 th Philadelpia : WB sounders company 2000:503-4 12. Mc Quaid KR, Tuberculous peritonitis in : Tierny LM, Mc Phee SJ, Papadakis MA. Current medical diagnosis and treatment 38 th London Prentice hall international 1999:561-62 13. Lyche KD. Miscelaneous disease of the peritoneum and mesentery in: Grendell Jh, Mc Quaid KR, Friedman s led Current diagnosis and treatment Gastroenterologi New York: prentice Hall international 1996:144-5 14. Lombrana S, Vega dl, Linares et al. Tuberculous peritonitis: Diagnostic value of ascetic flid PH and lactate. Scandinavian journal Gastroenterology. 1995;30:87-91 15. Voigt, Kalvaria I, Trey C, Berman P, Lombard C, Kirsdi PE, Diagnostic value of ascites adenosine deaminase in tuberculous peritonitis Lancet 1989;1:751-4 16. Hafta A. Adenosin deaminase activity in the diagnosis of peritoneal tuberculosis with cirrhosis.http://wwwcu.edu.tr/fakulteler/tf/tfd/97-2-9.htm 17. Fathy EM, EL Salam FA, Lashin AH et al A Comparative study of different procedures for diagnosis of tuberculous ascites : http: members, tripod. Com/ejimunology/prviuos/jan99/jan99-9.html 18. SatharMA, SimjeeAE, Coovadia YM et al. ascetic fluid gamma interferon concentration and adenosine deaminase activity in tuberculous peritonitis http://gut BMJ journals com/cgi/content/abstract/36/3/419 19. Bhargava DK, Gupta M, Nijhawan S, Dasarathy S. Adenosin deaminase (ADA) in peritoneal tuberculosis: diagnostic value in ascetic fluid and serum. Tubercle 1990;71:121-6.20 20. Ibrahim G, Gelzayd B, Demantia f, Mas. CA-125 Tumor associated antigen in a patien with

tuberculousperitonitis:http//www.medscqape.com/SMA/SMJ/1999/V92.nii/smj9211.13.i bra/pnt-smj.9211,13.ibra.html 21. Mas MR.Comert B, Saglamkaya V, Ca 125 a new marker for diagnosis and follow up patiens with tuberculous peritonitis Dig liver dis 2000:32;595-7 22. Simsek H, Kadayifci A Savas E, Okan E. Elevated serum CA-125 level in patiens with peritoneal tuberculosis Gastroenterologi 1996:110:59 23. Teruya JU, Deguchi S, Takeshima Y, Nakachi A, muto Y. tuberculous peritonitis with high level of Ca 19-9 in serum acitic fluid, Jpn J Gastroenterolsurg 2000;33:230-34 24. Mizuenoe S, Morinaga R, Umeki K, et al A case of tuberculous peritonitis diagnosed by USG Guide by peritoneal biopsy. Kanseushogaku Zasshi 2000;74:589-93 25. Yanshan Xue, Zhi ji, Xiumei liu, Form of peritoneal ostosis by tuberculosis: CT findings with pathologic correlation: http:www.Cmj.org/xueyanshanz:htm 26. Rodriguez E, Pombo F. Peritoneal tuberculosis versus peritoneal carsimatosis distingtion based on CT findings J Conput assist tomogr 1996;20;269-72 27. Hossan J, Al-aska, al- mofleh I. Laparascopy in tebrculous peritonitis. JR Soe Med 1992;85:89-91 28. Lannello A, Bianco B, Botti G. A Case of peritoneal tuberculosis contribution of mini endoscopy. Minerva ginecol 1999;51:149-52 29. Isaev GB, Guseinov SA. Gasanov VM, Aliva EA Mirzoev EB. Diagnosis and treatment of tuberculos peritonitis Khiruggiia (Mosk) 1999;7:16-8 30. Ellis H. Primary and special types of peritonitis in : Schawarz Si, Ellis H, Hussic, WC eds Maingots abdominal operations 1 st ed, New York Prenticehall international inc 1990:355-56 31. Rohmi S, Hasan I, Bahar A, Lesmana La, Simadibrata M, Yuwono V. penatalaksanaan tuberculosis paru dan ektra paru pada usia muda bergizi baik: http://www interna.fkuiac.id/ami.online/ami3203/ami3203 kasus 1/hyml. 32. Alrajhi AA, Halim MA, al-hokail. AlrabiahF: Al Omran K=k. Corticosteroid treatment of peritoneal tuberculosis clin infect Dis 1998:27:52-6 33. Varon J. corticosteroid for tuberculosis : http//www post grandmed.com/issues/2000/0400/cc-cc-aproo.htm.

Anda mungkin juga menyukai