Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

SPLENEKTOMI PADA THALASEMIA

Disusun oleh :
Maria Chindyvita Darung 030.13.117
Ina Uli Tondi Tarigas Siahaan 030.14.094

Pembimbing :
dr. Willy Yulianto, Sp. B

KEPANITERAAN KLINIK BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SOESELO SLAWI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 12 DESEMBER –16 FEBRUARI 2019
SLAWI
LEMBAR PENGESAHAN

Referat
Judul :
SPLENEKTOMI PADA THALASEMIA

Maria Chindyvita Darung 030.13.117


Ina Uli Tondi Tarigas Siahaan 030.14.094

Diajukan untuk memenuhi syarat


Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Bedah RS DR SOESELO SLAWI
Periode 12 Desember – 16 Februari 2019
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

Pembimbing :

dr. Willy Yulianto, Sp. B

i
KATA PENGANTAR

Pertama-tama saya panjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan referat dengan judul “Splenektomi pada Thalasemia”.
Referat ini dibuat demi memenuhi tugas di kepaniteraan klinik bagian Ilmu Kesehatan Bedah
Rumah Sakit DR Soeselo Slawi. Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada :
1. dr.Willy Yulianto, Sp. B, selaku dokter pembimbing yang telah memberikan saran
dan koreksi dalam penyusunan referat ini.
2. Teman-teman dokter muda dan semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
referat ini.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan referat ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu, segala kritik dan saran dari semua pihak yang untuk menyempurnakan referat ini.
Demikian yang penulis dapat sampaikan, semoga referat ini dapat bermanfaat.

Slawi, Januari 2019

Maria Chindyvita Darung 030.13.117


Ina Uli Tondi Tarigas Siahaan 030.14.094

ii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................... i
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 2
BAB III KESIMPULAN................................................................................................. 24
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 25

iii
BAB I
PENDAHULUAN
Limpa merupakan organ penting dalam sistem kekebalan tubuh dan hematopoiesis.
Limpa berfungsi sebagai tempat pembentukan sel darah merah dan sel darah putih. Fungsi ini
tidak berlanjut dan hilang sama sekali pada usia dewasa. Selain itu, limpa berfungsi
menyaring darah artinya sel yang tidak normal, diantaranya eritrosit, leukosit dan trombosit
tua, ditahan dan dirusak oleh sistem retikuloendotelnya. Pasien yang tidak memiliki lien
(asplenia) oleh karena kongenital, dan didapatkan pasca splenektomi karena trauma maupun
penyakit hematologis, memiliki risiko yang lebih tinggi mendapatkan infeksi dan berakibat
fatal.
Splenektomi adalah sebuah metode operasi pengangkatan limpa, biasanya dilakukan
pada trauma limpa, penyakit keganasan tertentu pada limpa serta penyakit hematologis
seperti thalassemia. Pada anak-anak dengan penyakit hematologis seperti thalassemia,
seringkali mengalami splenomegali, yaitu terjadi pembesaran pada limpanya. Oleh karena itu
menjadi salah satu indikasi untuk dilakukannya splenektomi. Seperti diketahui fungsi limpa
bagi kekebalan tubuh sangat penting sehingga akibat dari dilakukannya splenektomi akan
memiliki risiko tinggi mendapatkan infeksi.
Walaupun insiden OPSI (overwhelming post-splenectomy infection) relative jarang,
namun memiliki tingkat mortalitas yang tinggi jika tidak ditangani dengan adekuat. Dengan
tingkat mortalitas yang tinggi tersebut, maka diperlukan pemahaman yang cukup mengenai
splenektomi pada thalassemia ini.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi limpa
Limpa merupakan salah satu sistem organ imun. Limpa berfungsi sebagai
tempat pembentukan sel darah merah dan sel darah putih. Fungsi ini tidk berlanjut
dan hilang sama sekali pada usia dewasa. Limpa berfungsi menyaring darah artinya
sel yang tidak normal, diantaranya eritrosit, leukosit dan trombosit tua, ditahan dan
dirusak oleh sistem retikuloendotelnya. Tetapi karena beberapa penyebab dan salah
satunya adalah infeksi, maka limpa tersebut tidak bekerja sebagaimana mestinya.
Limpa memfiltrasi berlebih unsur sel dalam darah yang dinamakan hipersplenisme.

Gambar 2.1 Anatomi limpa

2.2. Struktur dan fungsi limfa


Limpa adalah organ limforetikuler yang mempunyai empat fungsi fisiologik
utama. Pertama, organ ini merupakan organ system imun dan tempat utama

2
pembersihan mikroorganisme dan antigen tertentu dari aliran darah dan yang
menimbulkan reaksi humoral atau seluler terhadap antigen asing. Kedua, limpa
berguna dalam sekustrasi dan pembuangan sel darah normal dan abnormal. Ketiga,
vaskularisasi limpa berperan dalam pengaturan aliran darah porta. Keempat,
sementara hematopoesis pada orang dewasa normal terjadi terutama pada sumsum
tulang, dalam keadaan patologik jika sumsum tulang tidak berfungsi atau sudah
terlalu berlebihan dirangsang, maka limpa dapat menjadi tempat utama hematopoesis
di luar sumsum.
Pada usia 5-8 bulan, limpa berfungsi sebagai tempat pembentukan sel darah
merah dan sel darah putih. Fungsi ini akan hilang pada masa dewasa. Namun limpa
mempunyai peran penting dalam memproduksi sel darah merah jika hematopoiesis
dalam sumsum tulang mengalami gangguan seperti pada gangguan hematologi.
Secara umum fungsi limpa di bagi menjadi 2 yaitu:
1. Fungsi Filtrasi
Lien berfungsi untuk membuang sel darah merah yang sudah tua atau sel
darah merah yang rusak misalnya sel darah merah yang mengalami
gannguan morfologi seperti pada spherosit dan sicled cells, serta
membuang bakteri yang terdapat dalam sirkulasi. Setiap hari limpa akan
membuang sekitar 20 ml sel darah merah yang sudah tua.selain itu sel-sel
yang sudah terikat pada Ig G pada permukaan akan di buang oleh monosit.
Limpa juga akan membuang sel darah putih yang abnormal, platelet, dan
sel-sel debris.
2. Fungsi Imunologi
Limpa termasuk dalam bagian dari sistem limfiod perifer mengandung
limfosit T matur dan limfosit B. Limfosit T bertanggung jawab terhadap
respon cell mediated immune (imun seluler) dan limfosit B bertanggung
jawab terhadap respon humoral. Fungsi imunologi dari limpa dapat di
singkat sebagai berikut:
a. Produksi Opsonin
Limpa menghasilkan tufsin dan properdin. Tufsin mempromosikan
Fagositosis. Properdin menginisiasi pengaktifan komplemen untuk
destruksi bakteri dan benda asing yang terperangkap dalam limpa.
Limpa adalah organ lini kedua dalam sistem pertahanan tubuh jika

3
sistem kekebalam tubuh yang terdapat dalam hati tidak mampu
membuang bakteri dalam sirkulasi.
b. Sintesis Antibodi
Immunoglobulin M (Ig M) diproduksi oleh pulpa putih yang berespon
terhadap antigen yang terlarut dalam sirkulasi
c. Proteksi terhadap infeksi
Splenektomi akan menyebabkan banyak pasien yang terpapar infeksi,
seperti fulminan sepsis. Mengenai bagaimana mekanismenya sampai
saat ini belum diketahui sepenuhnya.
d. Tempat Penyimpanan
Pada dewasa normal sekitar sepertiga (30% ) dari pletelet akan
tersimpan dalam limpa.

Limpa dirancang berdasarkan satuan daerah yang disebut pulpa merah dan
putih. Pulpa merah mengandung sinus berisi darah dan korda pulpa yang dibatasi oleh
sel retikuloendotelial. Pulpa putih mengandung arteriol yang berlokasi di tengah,
dikelilingi oleh limfosit kecil dalam paket yang rapat, yang terutama adalah limfosit T
penolong CD4+. Berdekatan dengan selubung linfosit periarteriol sel T adalah zona
folikuler limfosit B yang juga mengandung pusat germinativum yang terdiri dari sel B
dan makrofag. Bagian paling luar pulpa putih adalah lapisan sel B yang lain yang
disebut zona marginalis yang bercampur dengan daerah pulpa merah.

Gambar 2.2 Histologi limpa

Pasokan darah dan rute aliran darah pada limpa bersifat unik, dan anatomi
limpa paling baik dinyatakan dalam istilah rute aliran darah. Darah masuk kelimpa
melalui arteri lienalis. Arteri lienalis terbagi dalam cabang-cabang yang menembus

4
limpa melalui proyeksi jaringan ikat yang disebut trabekula dan dari trabekula
bercabang menjadi arteri-arteri lebih kecil yang disebut arteri sentralis. Dari arteri
sentralis aliran darah mencapai kapiler arteri. Selubung limfoid periarteriolar berupa
folikel-folikel sel T yang melingkupi sel B menetap disekitar pembuluh arteri sampai
arteri tersebut menjadi arteriole yang kecil. Sebagian darah pada arteriole sentralis
dikosongkan secara langsung melalui kapiler arteri ke dalam venula lienalis dan
kemudian ke vena lienalis. Arteriol sentralis juga dikosongkan ke dalam sinus-sinus
pulpa merah berbatas-makrofag dan kedalam jalinan fibrosa dari sel-sel
retikuloendotelial dan makrofag jaringan yang disebut tali pulpa. Darah dalam sinus
pulpa merah dan tali pulpa dialirkan secara langsung ke system vena lienalis. Selama
sel darah merah lewat dari arteri sentralis ke tali pulpa, dan akhirnya ke sinus lienalis,
sel-sel darah merah dikonsentrasikan di dalam tali-tali pulpa yang kaya makrofag.
Normalnya, sel darah merah yang bersirkulasi berakumulasi di tali pulpa yang
kemudian melalui lubang-lubang kecil pembukaan sinus endothelium ke dalam sinus
pulpa merah dan berlanjut ke system vena lienalis. Pemekatan sel darah merah di tali
pulpa, yang selanjutnya melewati celah-celah kecil menuju sinus disebut erythrocyte
conditioning. Atas pendewasaan, bentuk sel darah merah menjadi sedikit cacat dan
tidak mampu mengalir ke sinus; mereka tertahan di tali-tali pulpa dan difagositosis
oleh makrofag. Proses ini disebut penyisihan (culling). Bahan eritrosit yang utama
seperti materi inti (badan Howell-Jolly), hemoglobin yang terdenaturasi (badan
Heinz), atau parasit malaria dapat dicomot sewaktu sel darah merah lewat dari tali
pulpa ke dalam sinus dna tertahan di limpa, sedangkan sisa sel darah merah mengalir
kembali masuk ke sirkulasi, proses ini disebut pitting.

2.3. Thalassemia
2.3.1. Definisi
Istilah thalassemia berasal dari kata Yunani yaitu Thalassa (laut) dan
Haema (darah) yang mengacu pada adanya gangguan sintesis dari rantai
globin (rantai α dan rantai β) yang merupakan subunit dari hemoglobin Hb A
(α2; β2). Gen untuk sintesis rantai globin terletak di kromosom 11 (β) dan 16
(α). Sindrom Thalasemia diklasifikasikan berdasarkan adanya gangguan dari
rantai globin, α atau β. Thalassemia adalah kelainan herediter yang ditandai
dengan tidak adekuatnya sintesis dari satu atau lebih rantai dari globin.(1-3)
5
2.3.2. Epidemiologi
Penyebaran thalassemia meliputi daerah Mediterania, Afrika, Timur
Tengah, Asia Tenggara termasuk Cina, Semenanjung Malaysia, dan
Indonesia. Thalassemia β banyak ditemukan di Asia Tenggara, sedangkan
Thalassemia α banyak ditemukan di daerah Timur termasuk Cina.
Di Rumah Sakit Dr.Cipto Mangunkusumo sampai dengan akhir tahun
2008 terdapat 1442 pasien thalassemia mayor yang berobat jalan di Pusat
Thallasemia Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM yang terdiri dari
52,5% pasien thalassemia β homozigot 46,5% pasien thalassemia βHbE, serta
1,3% pasien thalassemia α. Sekitar 70-100 pasien baru datang setiap
tahunnya.(1)
Migrasi penduduk dan adanya perkawinan campuran antara berbagai
kelompok etnis telah mengembangkan thalassemia di hampir setiap negara di
dunia, termasuk Eropa Utara di mana sebelumnya thalassemia ternyata tidak ada
dan sekarang thalassemia menjadi masalah kesehatan umum utama. Diperkirakan
1.5% populasi dunia atau sekitar 80–90 juta orang carrier β-thalassemia, dengan
sekitar 60.000 anak lahir pertahun memiliki kasus thalassemia, yang sebagian
besar terjadi di dunia yang sedang berkembang. Hemoglobin E-β-thalassemia
salah satu hemoglobinopati paling sering dijumpai diseluruh dunia. Insiden HbE
banyak terjadi pada 60 populasi di daerah Asia Tenggara. Di daerah pantai
Amerika Utara, prevalensi berkembang pesat. Penyakit α- thalassemia sekarang
juga sudah banyak dilaporkan. HbH, Hb Constants Spring, dan homozigot α-
thalassemia mempengaruhi sekitar satu juta orang di seluruh dunia. 3% dari
populasi di dunia (sekitar 150 juta orang) memiliki gen carrier β-thalassemia.(1,2)

2.3.3. Sintesis dan struktur hemoglobin


Hemoglobin merupakan pigmen yang terdapat didalam eritrosit yang
terdiri dari heme dan globin dan memiliki berat molekul 64-64.4 kDa.
Molekul hemoglobin yang terkandung dalam sel-sel darah merah sangat
penting untuk kehidupan manusia. Heme sangat penting untuk transportasi
oksigen sedangkan globin berfungsi untuk melindungi heme dari oksidasi.
Struktur molekul hemoglobin menghasilkan lingkungan internal hidrofobik
yang melindungi besi pada heme dari air, dan juga dari oksidasi.

6
Hemoglobin berbentuk heterotetramer yang terdiri dari dua pasang
rantai polipeptida yang berkaitan dengan gen α-globin (α like globins) dan dua
pasang rantai polipeptida yang berhubungan dengan gen β-globin (β-like
globins). Rantai Globin polipeptida akan mengikat heme, yang nantinya
hemoglobin di eritrosit berfungsi untuk mengangkut oksigen dan sebagai
transportasi oksigen dari paru-paru ke jaringan.
Lokus gen globin pada β-globin terletak pada kromosom 11, dan lokus
gen α- globin terletak pada kromosom 16. Urutan aktivasi dimulai dari masa
embrional sampai dewasa dari gen δ ke α dari gen Ɛ ke ϒᴳ,ϒᴬ,δ dan β. Maka
hemoglobin utama pada masa embrional adalah Hb Gower 1 (δ₂Ɛ₂), Hb
Gower 2 (α₂Ɛ₂), dan Hb Portland (δ₂ϒ₂). Pada masa janin sampai perinatal
adalah HbF(α₂ϒ₂), dan pada anak yang berumur lebih dari 1 tahun sampai
dewasa normal terdiri dari HbA (α₂β₂) dan HbA2 (α₂δ₂).(3-5)

Gambar 2.3 Struktur hemoglobin


Pada 6 bulan pertama perkembangan janin kehidupan neonatal, terjadi
pola yang kompleks dari ekspresi gen globin yang disebut hemoglobin switch.
Pada awal kehidupan embrional sampai delapan minggu sintesis rantai globin
akan disintesis yolk sac dan hati yaitu rantai δ yang berkombinasi dengan
rantai Ɛ akan membentuk Hb Gower 1, Hb Gower 2 dan Hb Portland.
Ekspresi yang singkat dari gen globin pada masa embrio, maka pada akhir
kehamilan akan dibentuk hemoglobin utama pada janin yaitu Hemoglobin F
(α2γ2) dan organ yang terlibat dalam sintesis rantai globin tersebut adalah
hati, limpa dan sumsum tulang. kemudian akan digantikan oleh rantai β-

7
globin dewasa yaitu hemoglobin A (α2β2), hemoglobin A2 (α₂δ₂) dan
Hemoglobin F (α₂ϒ₂) yang kadarnya <0,5%.

Gambar 2.4 Organ pembentukan sel darah/hemoglobin

2.3.4. Klasifikasi thalassemia


Secara molekuler, Thalasemia dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu
Thalasemia alfa dan Thalasemia beta sesuai dengan kelainan berkurangnya
produksi rantai-polipeptida.
a. Thalasemia Alfa
Thalasemia ini disebabkan oleh mutasi salah satu atau seluruh
globin rantai alfa yang ada Thalasemia alfa terdiri dari:
- Silent Carrier State
Gangguan pada 1 rantai globin alfa. Keadaan ini tidak timbul
gejala sama sekali atau sedikit kelainan berupa sel darah merah
yang tampak lebih pucat.
- Thalasemia Alfa Trait
Gangguan pada 2 rantai globin alfa. Penderita mengalami
anemia ringan dengan sel darah merah hipokrom dan
mikrositer, dapat menjadi carrier.
- Hemoglobin H Disease
Gangguan pada 3 rantai globin alfa. Penderita dapat bervariasi
mulai tidak ada gejala sama sekali, hingga anemia yang berat
yang disertai dengan perbesaran limpa (splenomegali).
- Thalasemia Alfa Mayor
Gangguan pada 4 rantai globin alfa. Thalasemia tipe ini
merupakan kondisi yang paling berbahaya pada Thalasemia
8
tipe alfa. Kondisi ini tidak terdapat rantai globin yang dibentuk
sehingga tidak ada HbA atau HbF yang diproduksi. Janin yang
menderita alfa Thalasemia mayor pada awal kehamilan akan
mengalami anemia, membengkak karena kelebihan cairan,
perbesaran hati dan limpa. Janin ini biasanya mengalami
keguguran atau meninggal tidak lama setelah dilahirkan.
b. Thalasemia Beta
Thalasemia beta terjadi jika terdapat mutasi pada satu atau dua
rantai globin beta yang ada. Thalasemia beta terdiri dari:
- Thalasemia Beta Trait (Minor)
Thalasemia jenis ini memiliki satu gen normal dan satu gen
yang bermutasi. Penderita mengalami anemia ringan yang
ditandai dengan sel darah merah yang mengecil (mikrositer).
- Thalasemia Intermedia
Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi tetapi masih bisa
produksi sedikit rantai beta globin. Penderita mengalami
anemia yang derajatnya tergantung dari derajat mutasi gen
yang terjadi.
- Thalasemia Mayor (Cooley’s Anemia)
Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi sehingga tidak dapat
memproduksi rantai beta globin. Gejala muncul pada bayi
ketika berumur 3 bulan berupa anemia yang berat. Penderita
Thalasemia mayor tidak dapat membentuk hemoglobin yang
cukup sehingga hampir tidak ada oksigen yang dapat
disalurkan ke seluruh tubuh, yang lama kelamaan akan
menyebabkan kekurangan O2, gagal jantung kongestif, maupun
kematian. Penderita Thalasemia mayor memerlukan transfusi
darah yang rutin dan perawatan medis demi kelangsungan
hidupnya.

9
Gambar 2.5 Thalasemia trait

2.3.5. Patofisiologi
Patofisiologi yang mendasari antara jenis thalassemia hampir sama,
ditandai dengan penurunan produksi hemoglobin dan sel darah merah (RBC) ,
adanya kelebihan rantai globin yang tidak efektif, akan menyebabkan bentuk
homotetramers yang tidak stabil sehingga memicu terjadinya heinz body. Alfa
homotetramers pada β-thalassemia lebih tidak stabil daripada β-
homotetramers di α-thalassemia dan sebelumnya akan terbentuk presipitasi
pada RBC, menyebabkan kerusakan sel darah merah dan hemolisis yang berat
oleh karena eritropoesis yang tidak efektif serta hemolisis ekstramedular.(6)
Pada β-thalassemia patofisiologinya berdasarkan karena berkurang
atau hilangnya rantai globin-β yang akan mengakibatkan berlebihnya rantai-α.
Maka akan terjadi penurunan produksi hemoglobin dan ketidak seimbangan
rantai globin. Ini akan mengarah pada penurunan dari volume hemoglobin
(MCH) dan volume eritrosit (MCV). Pada thalassemia-β yang berat,
eritropoesis yang tidak efektif terjadi di sum-sum tulang akan meluas ke
tulang-tulang normal dan menyebabkan distorsi dari tengkorak kepala, tulang
wajah dan tulang panjang. Aktivitas proliferasi eritroid di ekstramedular, akan
menyebabkan limfadenopati, hepatosplenomegali, dan pada beberapa kasus
terjadi tumor extramedular.(3,6)

10
Tidak efektifnya eritropoesis yang berat pada anemia kronis dan
hipoksia dapat menyebabkan peningkatan absorbsi besi pada saluran
pencernaan. Penderita thalassemia homozigot atau pun thalassemia-β
heterozygot akan meninggal pada usia 5 tahun karena anemia yang berat.
Namun transfusi menyebabkan penumpukan besi yang progressif oleh karena
ekskresi yang tidak baik.(3)

Gambar 2.6 Patofisiologi thalassemia

2.3.6. Diagnosis
- Anamnesis
o Pucat yang lama (kronis)
o Terlihat kuning
o Mudah infeksi
o Perut membesar akibat hepatosplenomegali
o Pertumbuhan terhambat/pubertas terlambat
o Riwayat transfusi berulang (jika sudah pernah transfusi
sebelumnya)
o Riwayat keluarga yang menderita thalassemia
- Pemeriksaan fisik
o Konjungtiva anemis

11
o Ikterus
o Facies Cooley
o Hepatosplenomegali
o Gizi kurang/buruk
o Perawakan pendek
o Hiperpigmentasi kulit
o Pubertas terlambat

Gambar 2.7 Tanda, gejala, dan komplikasi thalassemia

- Pemeriksaan penunjang
o Laboratorium
 Darah tepi lengkap:
 Hemoglobin
 Sediaan apus darah tepi (mirkositer, hipokrom,
anisositosis, poikilositosis, sel eritrosit
muda/normoblas, fragmentosit, sel target)
 Indeks eritrosit: MCV, MCH, MCHC menurun,
RDW meningkat. Bila tidak menggunakan cell
counter, dilakukan uji resistensi osmotic I tabung
(fragilitas)
o Konfirmasi dengan analisis hemoglobin menggunakan:
 Elektroforesis hemoglobin: tidak ditemukannya HbA dan
meningkatnya HbA2 dan HbF

12
 Metode HPLC (Beta Short variant Biorad): analisis
kualitatif dan kuantitatif.

2.3.7. Tatalaksana
- Transfusi darah
Prinsipnya: pertimbangkan matang-matang sebelum memberikan transfusi
darah. Tranfusi darah pertama kali diberikan bila:
o Hb < 7 g/dL yang diperiksa 2 kali berturutan dengan jarak 2
minggu
o Hb ≥ 7 g/dL disertai gejala klinis: facies Cooley, gangguan tumbuh
kembang, fraktur tulang, curiga adanya hematopoietic
ekstrameduler, antara lain massa mediastinum. Pada penanganan
selanjutnya transfusi darah diberikan Hb ≤ 8 g/dL sampai kadar Hb
10-11 g/dL.
o Bila tersedia, transfusi darah diberikan dalam bentuk PRC rendah
leukosit (leucodepleted).
- Medikamentosa
o Asam folat 2x1 mg/hari
o Vitamin E: 2x200 IU/hari
o Vitamin C: 2-3 mg/kg/hari (maksimal 50 mg pada anak <10 tahun
dan 100 mg pada anak ≥ 10 tahun, tidak melebihi 200 mg/hari) dan
hanya diberikan saat pemakaian deferioksamin (DFO), tidak
dipakai pada pasien dengan gangguan fungsi jantung.
- Kelasi besi
Dimulai bila:
o Feritin ≥ 1000 ng/mL
o Bila pemeriksaan ferritin tidak tersedia, dapat digantikan dengan
pemeriksaan saturasi transferrin ≥55%.
o Bila tidak memungkinkan dilakukannya pemeriksaan
laboratorium, maka digunakan kriteria sudah menerima 3-5 liter
atau 10-20 kali transfusi.
- Kelasi besi pertama kali dimulai dengan Deferioksamin/DFO:
o Dewasa dan anak ≥ 3 tahun: 30-50 mg/kgbb/hari, 5-7 kali
seminggu subkutan selama 8-12 jam dengan syringe pump.
13
o Pasien dengan gangguan fungsi jantung ≥: 60-100 mg/kgbb/hari
IV kontinu selama 24 jam.
o Ibu menyusui tetap dapat menggunakan kelasi besi ini.
o Jika tidak ada syringe pump dapat diberikan bersama NaCl 0,9%
500 ml melalui infus (selama 8-12 jam).
o Jika kesediaan deferoksamin terbatas: dosis dapat diturunkan tanpa
mengubah frekuensi pemberian.
o Pemberian kelasi besi dapat berupa dalam bentuk parenteral
(desferioksamin) atau oral (deferiprone/deferasirox) ataupun
kombinasi.
o Terapi kombinasi hanya diberikan pada keadaan: ferritin ≥ 3000
ng/mL yang bertahan minimal selama 3 bulan, adanya gangguan
fungsi jantung/kardiomiopati akibat kelebihan besi, untuk jangka
waktu tertentu (6-12 bulan) tergantung pada kadar ferritin dan
fungsi jantung saat evaluasi.

2.3.8. Komplikasi
Anemia pada pasien thalassemia umumnya berat disebabkan oleh
karena tidak efektifnya eritropoesis dan mengakibatkan hematopoesis
ekstramedular pada hati, limpa, dan tempat yang lain seperti paravertebral
mass. Transmisi infeksi dapat terjadi oleh karena transfusi (contohnya
hepatitis B dan C). Besi yang berlebihan dari transfusi menyebabkan
hemosiderosis dan meningkatnya penyerapan besi di saluran pencernaan. Besi
yang mengendap di jantung, hati, dan kelenjar endokrine akan menyebabkan
kerusakan yang berat.(3-5)
Aritmia dan gagal jantung, merupakan penyebab utama yang dapat
menyebabkan pasien thalassemia meninggal. Terganggunya pertumbuhan dan
perkembangan oleh karena besi akan menyebabkan kerusakan sumbu pituitary
yang dapat terjadi tertundanya pertumbuhan pubertas dan perkembangan
seksual. Hampir 90% dari pasien thalassemia mayor memiliki massa tulang
yang rendah yang dikaitkan dengan tingginya kejadian fraktur. Dapat terjadi
peningkatan resiko thromboembolik oleh karena adanya berbagai kelainan
trombosit dan faktor-faktor pembekuan. Telah banyak di laporkan komplikasi

14
thromboembolik pada pasien thalassemia, menggambarkan adanya
thrombotik di otak.(5,6)

2.3.9. Pemantauan
Selain pemantuan efek samping pengobatan, pasien thalassemia
memerlukan pemantauan rutin:
- Sebelum transfusi: darah perifer lengkap, fungsi hati
- Setiap 3 bulan: pertumbuhan (berat badan, tinggi badan)
- Setiap 6 bulan: ferritin
- Setiap tahun: pertumbuhan dan perkembangan, status besi, fungsi
jantung, fungsi endokrin, visual, pendengaran, serologis virus.

2.3.10. Pencegahan
- Pencegahan primer
Pencegahan primer adalah mencegah seseorang agar tidak
menderita Thalasemia ataupun menjadi carrier Thalasemia.
Pencegahan primer yang dapat dilakukan adalah konseling genetik
pranikah. Konseling ini ditujukan kepada pasangan pranikah
terutama pada populasi yang beresiko tinggi agar mereka
memeriksakan diri apakah mereka carrier Thalasemia atau tidak.
Konseling ini juga ditujukan kepada mereka yang memiliki kerabat
penderita Thalasemia. Tujuan utama konseling pranikah ini adalah
mencegah terjadinya pernikahan antar carrier Thalasemia karena
berpeluang 50% untuk mendapat keturunan carrier Thalasemia,
25% Thalasemia mayor, dan 25% bebas Thalasemia.
- Pencegahan sekunder
o Skrining
Skrining merupakan pemantauan perjalanan penyakit dan
pemantauan hasil terapi yang lebih akurat. Pemeriksaan ini
meliputi Hematologi rutin untuk mengetahui kadar Hb dan
ukuran sel darah, gambaran darah tepi untuk melihat
bentuk, warna, dan kematangan sel-sel darah, feritin dan
iron serum (SI) untuk melihat status besi, analisis
hemoglobin untuk diagnosis dan menentukan jenis
15
Thalasemia, serta analisis DNA untuk diagnosis prenatal
(pada janin) dan penelitian.
o Medikamentosa
Pemberian iron chelating agent (desferoxamine) diberikan
setelah kadar feritin serum sudah mencapai 1000mg/l atau
saturasi transferin lebih dari 50%, atau sekitar 10 – 20 kali
transfusi darah. Desferoxamine, dosis 25 – 50 mg/kg berat
badan/hari subkutan melalui pompa infus dalam waktu 8 –
12 jam dengan minimal selama 5 hari berturut-turut setiap
selesai transfusi darah. Vitamin C 100 - 250 mg/hari selama
pemberian khelasi besi, untuk meningkatkan efek khelasi
besi. Asam folat 2 – 5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan
yang meningkat. Vitamin E 200 – 400 IU setiap hari
sebagai antioksidan dapat memperpanjang umur sel darah
merah.
o Splenektomi
Splenektomi perlu dilakukan untuk mengurangi kebutuhan
darah. Splenektomi harus ditunda sampai pasien berusia > 6
tahun karena tingginya resiko infeksi yang berbahaya pasca
splenektomi. Splenektomi dilakukan dengan indikasi:
 Limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak
penderita akan menimbulkan peningkatan tekanan
intra abdominal dan memungkinkan terjadinya
ruptur.
 Hiperplenisme ditandai dengan peningkatan
kebutuhan transfusi darah atau kebutuhan suspensi
eritrosit melebihi 250 ml/kg berat badan dalam satu
tahun.
o Transfusi Darah
Pengobatan paling umum pada penderita Thalasemia adalah
transfusi komponen sel darah merah. Transfusi bertujuan
untuk menyuplai sel darah merah sehat bagi penderita.
Transfusi darah yang teratur perlu dilakukan untuk
mempertahankan hemoglobin penderita diatas 10 g/dL
16
setiap saat. Hal ini biasanya membutuhkan 2 – 3 unit tiap 4
– 6 minggu.21 Keadaan ini akan mengurangi kegiatan
hemopoesis yang berlebihan di dalam sum-sum tulang dan
juga mengurangi absorbs Fe di traktus digestivus, serta
dapat mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan
penderita.
- Pencegahan tersier
Pencegahan tersier adalah mengurangi ketidakmampuan dan
mengadakan rehabilitasi bagi penderita Thalasemia. Pencegahan
tersier bagi penderita Thalasemia adalah dengan mendirikan pusat
rehabilitasi medis bagi penderita Thalasemia.

2.4. Splenektomi
2.4.1. Definisi
Splenektomi adalah tindakan pengangkatan lien dengan pembedahan.
Splenektomi dilakukan jika terdapat kerusakan limpa yang tidak dapat diatasi
dengans plenorafi, splenektomi parsial, atau pembungkusan.
Splenektomi parsial yang bisa terdiridari eksisi satu segmen
dilakukan jika ruptur limpa tidak mengenai hilus dan bagian
yangtidak cedera masih vital. Splenektomi total yang menutut pengangkatan
limpa, misalnya pada hipersplenisme atau kelainan hematologi tertentu.
splenektomi total harus selalu diikuti dengan impalantasi limpa yang
merupakan suatu autotransplantasi. Caranya ialah dengan membungkus
pecahan parenkim limpa dengan omentum dan meletakkannya di bekas tempat
limpa atau menanamnya di pinggang di belakang peritoneum dengan harapan
limpa dapat tumbuh dan berfungsi kembali.(7)

2.4.2. Indikasi
Indikasi mutlak
- Tumor primer
- Kelainan hematologic dengan hiperslenisme jelas yang tak dapat
diatasi dengan pengobatan lain (anemia hemolitik kongenital)
Indikasi relatif

17
- Kelainan hematologic tanpa hiperslenisme jelas, tetapi splenektomi
dapat memulihkan kelainan hematologic
- Ruptur limpa
- Hipersplenisme pada sirosis hati dengan varises esophagus
- Splenomegaly yang mengganggu karena besarnya limpa
- Sewaktu operasi radikal onkologik diperut bagian atas ( lambung,
pancreas )
Indikasi splenektomi pada thalassemia
Transfusi yang optimal sesuai panduan saat ini biasanya dapat
menghindarkan pasien dari tindakan splenektomi, namun splenektomi dapat
dipertimbangkan pada beberapa indikasi di bawah ini:
1. Kebutuhan transfusi meningkat hingga lebih dari 200-250 mL PRC
/kg/tahun atau 1,5 kali lipat dibanding kebutuhan biasanya (kebutuhan
transfusi pasien thalassemia umumnya 180 mL/kg/tahun).
2. Kondisi hipersplenisme ditandai oleh splenomegali dan leukopenia atau
trombositopenia persisten, yang bukan disebabkan oleh penyakit atau
kondisi lain.
3. Splenektomi dapat mengurangi kebutuhan transfusi darah secara signifikan
hingga berkisar 30-50% dalam jangka waktu yang cukup lama.
Splenomegali masif yang menyebabkan Perasaan tidak nyaman dan
berisiko untuk terjadinya infark dan ruptur bila terjadi trauma.

Klinisi perlu mencermati kemungkinan splenomegali yang disebabkan


pemberian tranfusi darah yang tidak adekuat. Pada kondisi tersebut ukuran
limpa dapat mengecil dengan transfusi darah adekuat dan kelasi besi yang
intensif selama beberapa bulan kemudian dilakukan evaluasi ulang apakah
tindakan splenektomi dapat dihindari. Mengingat risiko komplikasi
splenektomi yang berat, maka splenektomi sedapat mungkin dihindari dan
hanya dilakukan dengan indikasi yang kuat. Pasien yang terindikasi
splenektomi sedapat mungkin menunda splenektomi hingga pasien berusia 5
tahun untuk mengurangi risiko terjadinya sepsis berat pasca tindakan.

18
2.4.3. Persiapan
1. Pastikan catatan medis pasien lengkap dengan memperhatikan jumlah
darah yang telah ditransfusikan dan riwayat pemakain kelasi besi.
2. Nilai apakah pasien memiliki masalah kardiak, endokrin dan gangguan
metabolik. Permasalahan yang ada dikoreksi terlebih dahulu.
3. Nilai Hb optimal sebelum operasi adalah 10-12 g/dL
4. Pasien mendapatkan penjelasan kemungkinan infeksi setelah operasi,
sehingga penting untuk melengkapi catatan imunisasi pasien;
pneumokokus, Hib, meningitis.
5. Pasien yang akan menjalani operasi, dipertimbangkan juga untuk
menjalani biopsy hati, dan kolesistektomi. Bila perlu pasien menjalani
USG pra-operasi untuk membantu menentukan batu empedu. Prosedur
dilakukan bersamaan.
6. Pasca-operasi pasien diharuskan untuk mengonsumi antibiotic profilaksis
dan memiliki kartu splenektomi.

2.4.4. Prosedur
a. Splenektomi elektif
Langkah pertama dan terpenting adalah memotong ligamen lieno-
renalis. Dengan berdiri di sebelah kanan pasien, dan dengan asisten menarik
perlahan pinggir kiri dari luka operasi, jalankan satu tangan pada limpa ke
bawah sampai ligamen lieno-renalis. Dengan lembut, tarik limpa dan potong
ligamen lieno-renalis, mulai dari bagian bawah dan bergerak ke atas kutup
atas dengan menggunakan gunting dengan gagang panjang.
Sekarang geser limpa ke atas dengan tangan kiri dan perlahan-lahan
dorong peritoneum dengan swab pada stick. Jaringan terus disapu dari
belakang limpa, saat limpa dibawa kea rah luar. Kemudian omentum bisa
dilepas dari kutup bawah dengan memotong vasa gastroepiploica sinsitra
antara forsep arteri dan ligasi dengan benang serap. Pada tahap ini, vasa brevia
yang berjalan dari kutup atas limpa ke lambung melalui ligamen gastro-
lienalis harus diikat dan dipotong sendiri-sendiri. Jaga untuk tidak merusak
lambung.

19
Gambar 2.8 Prosedur splenektomi

Kemudian perhatian dialihkan ke pembuluh limpa. Jalankan beberapa


jari kiri ke sekeliling hilus dan palpasi cabang-cabang arteri lienalis saat arteri
tersebut memasuki limpa. Dengan ibu jari pada kauda pankreas untuk
melindunginya, klip dan pisahkan cabang-cabang ini beserta vena-venanya.

Selanjutnya sisa ligamen gastro-lienalis bisa dipotong. Limpa bisa


diangkat dan pembuluh- pembuluh utama diikat rangkap dua, arteri sebelum
vena. Suction drain ditempatkan pada rongga subfrenik dan dinding abdomen
ditutup lapis demi lapis.

b. Splenektomi darurat
Pada kasus ruptur limpa, perdarahan massif bisa mengaburkan
inspeksi. Prosedur pertama adalah mengevakuasi bekuan secara manual dan
dengan bantuan suction. Jalankan tangan anda ke hilus untuk mengendalikan
perdarahan dengan menekan arteri dan vena lienalis di antara telunjuk dan ibu
jari. Jika perdarahan tidak berhenti, gunakan klem non-crushing untuk
menjepit hilus. Ini memungkinkan penilaian terhadap tingkat kerusakan limpa.
Jika tatalaksana konservatif tidak berhasil, maka harus dilakukan splenektomi
formal.
Jika pada laparoskopi perdarahan terlihat berasal dari laserasi tunggal
ini bisa dijahit (splenorafi). Sebagai alternatif, jika ada avulsi lengkap atau
parsial dari fragmen limpa, splenektomi parsial bisa dikerjakan dengan
20
memotong arteri dan vena lienalis yang memasok kutup bersangkutan.
Kemudian fragmen direseksi dan pinggir dijahit dengan jahitan matras benang
serap. Kecelakaan yang melepas kapsul, seperti ruptur dari hematoma
subkapsular bisa ditangani dengan aplikasi zat hemostatik topikal dan
membungkus limpa dengan jala serap (absorbable mesh).

2.4.5. Komplikasi pasca-splenektomi dan tatalaksana komplikasi


Komplikasi tersering pasca-splenektomi adalah infeksi berat dan
trombositosis. Pasien pasca-splenektomi memiliki risiko lebih tinggi
mengalami infeksi berat dibandingkan dengan populasi normal.
Angka kematian akibat infeksi cukup tinggi yaitu 38-69%.
Streptococcus pneumoniae ditemukan sebagai mikroorganisme penyebab
infeksi pada 38-69% pasien asplenia, sedangkan haemophilus, neisseria, dan
kuman gram negatif berkapsul lainnya juga kerap dilaporkan. Infeksi
protozoa, termasuk malaria, juga dapat menimbulkan manifestasi klinis yang
lebih berat pada pasien asplenia.
c. Infeksi berat post-splenektomi (overwhelming post- splenectomy
infection / OPSI)
Karakteristik dari OPSI adalah demam mendadak tinggi dan
menggigil, muntah, dan sakit kepala. Perburukan dapat terjadi
dengan cepat hingga terjadi syok sepsis dan koagulasi intravaskular
diseminata (KID). Overwhelming post-splenectomy infection
(OPSI) lebih banyak ditemukan pada anak berusia <4 tahun dan
dalam durasi dua tahun pertama pasca-splenektomi. Risiko infeksi
akan menurun seiring perjalanan waktu.
Pasien dengan OPSI harus segera mendapatkan antibiotik intravena
spektrum luas yaitu sefalosforin generasi ketiga dan
aminoglikosida. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk
mencegah OPSI adalah vaksinasi sebelum splenektomi
(imunoprofilaksis) dan antibiotik profilaksis setelah splenektomi
(kemoprofilaksis):
Pasien dan orangtua perlu diedukasi untuk mengenali gejala infeksi
yaitu episode demam, khususnya dalam waktu 2 tahun setelah
splenektomi.
21
terhadap infeksi pada pasien asplenia. Jika dicurigai terdapat
bakteremia maka antibiotik intravena yang ditujukan untuk
pneumokokus dan haemofilus segera diberikan.
a. Profilaksis dengan penisilin oral selama 2 tahun pasca-
splenektomi. Pasien dan orangtua harus terus diedukasi
secara kontinu untuk meningkatkan kepatuhan. Penggunaan
penisilin terbukti mengurangi risiko sepsis walaupun tidak
mendapatkan imunisasi sebelumnya. Benzatin penisilin
intramuskular setiap 3-4 minggu dapat diberikan sebagai
alternatif.
b. Untuk pasien dengan alergi penisilin dapat diberikan
alternatif eritromisin, kotrimoksazol dan moxifloksasin.
d. Trombosis pascasplenektomi
Fenomena tromboembolik lebih sering dijumpai pada thalassemia
mayor (0,9-4%) dan intermedia (4-10%). Pasien thalassemia
intermedia yang sudah displenektomi memiliki risiko lebih tinggi
hingga 30%. Penggunaan antikoagulan dalam jangka pendek
terindikasi selama periode imobilisasi pascaoperasi untuk
mencegah trombosis. Pada pasien dengan trombositosis pasca-
splenektomi dapat dipertimbangkan pemberian aspirin dosis rendah
atau dipiridamol jika hitung trombosit lebih dari 800.000/uL.
e. Atelectasis
Dapat terjadi atelektasis lobuh bawah paru kiri disebabkan karena
gerakan diafgragma sebelah kiri pada pernafasan kurang bebas.

22
BAB III
KESIMPULAN

23
DAFTAR PUSTAKA
1. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoiati ED.
Pedoman pelayanan medis. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia; 2009.p.299-302.
2. Arijanty L, Nasar SS. Masalah nutrisi pada thalassemia. Sari Pediatri 2003:5(1):21-6.
3. DeBaun MR, Frei-Jones MJ, Vichinsky EP. Thalassemia syndromes. In: Kliegman
RM, Staton BF, Geme JW, Schor NF, Behrman RE, editors. Nelson textbook of
pediatrics. 20th ed. Philadelphia: Elsevier; 2016. p. 2249-52.
4. Giardina PJ, Rivella S. Thalassemia syndromes. In: Hoffman R, Benz EJ, Silberstein
LE, Heslop H, Weitz J, Anastasi J, editors. Hematology: basic principles and practice.
6th ed. Philadelphia: Elsevier. 2013. p.506-35
5. Sherwood L. Human physiology; from cells to systems. 7th ed. Belmont: Brooks/Cole;
2010. p.391-416.
6. Kline NE. Alterations of hematologic function in children. In: McCance KL, Huether
SE, Brashers VL, Rote NS, editors. Pathophysiology: the biologic basis for disease in
adults and children. 7th ed. 2014.p. 1055-62.
7. De Jong, Sjamsuhidajat. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed 3. Jakarta: EGC. 2010. p. 727-9
8. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Thalasemia. Kemenkes. 2018.
Available at https://www.persi.or.id/images/regulasi/kepmenkes/kmk12018.pdf [
accessed on Nov 2018 ]
9. Cuschieri A, Grace PA, Darzi A, Borley N, Rowley DI. Clinical Surgery. Ed 2.
Oxford: Blackwell Publishing. 2013. p. 380-5.
10. Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE.
Schwartz’s Manual of Surgery. Ed 8. McGraw-Hill: Medical Publishing Division.
2015. p. 879-896

24

Anda mungkin juga menyukai