Anda di halaman 1dari 35

REFERAT

FISIOLOGI PERIODE TRANSISI ADAPTASI


PADA BAYI BARU LAHIR

Disusun oleh:
Shabrina Tadjoedin
030.14.173

Pembimbing:
dr. Ani Yuniar, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARAWANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 4 JUNI 2018 - 24 AGUSTUS 2018
KARAWANG
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga referat dengan judul
“Fisiologi Periode Transisi Adaptasi Pada Bayi Baru Lahir” dapat selesai pada
waktunya.
Referat ini dibuat oleh dokter muda Fakultas Kedokteran Universitas
Trisakti demi memenuhi tugas dalam menempuh kepaniteraan di bagian Ilmu
Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Daerah Karawang. Penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. dr. Ani Yuniar, Sp.A, dokter pembimbing yang telah memberikan saran
dan koreksi dalam penyusunan referat ini.
2. Teman-teman dokter muda dan semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini tidak luput dari kekurangan dan masih
jauh dari sempurna. Maka dari itu, penulis memohon maaf kepada para pembaca
atas kekurangan yang ada. Atas semua keterbatasan yang dimiliki, maka semua
kritik dan saran yang membangun akan diterima dengan lapang hati agar ke
depannya menjadi lebih baik.
Akhir kata, demikian yang penulis dapat sampaikan. Semoga referat ini
bermanfaat dalam bidang kedokteran, kususnya bidang ilmu kesehatan anak.

Karawang, 9 Juli 2018

Shabrina Tadjoedin
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

PERSETUJUAN

Referat

Judul:
FISIOLOGI PERIODE TRANSISI ADAPTASI
PADA BAYI BARU LAHIR

Nama: Shabrina Tadjoedin


NIM: 030.14.173

Telah disetujui untuk dipresentasikan

Pada Hari …………, Tanggal ……………… 2018

Pembimbing,

dr. Ani Yuniar, Sp.A


BAB I

PENDAHULUAN

Bayi baru lahir (neonatus) harus menjalani proses adaptasi dari kehidupan
di dalam rahim (intrauterine) ke kehidupan di luar rahim (ekstrauterin).
Pemahaman terhadap adaptasi dan fisiologi bayi baru lahir sangat penting sebagai
dasar dalam memberikan asuhan. Perubahan lingkungan dari dalam uterus ke
ekstrauterin dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kimiawi, mekanik, dan termik
yang menimbulkan berbagai macam perubahan pada sistem di tubuh bayi baru
lahir.(1)

Fisiologi periode transisi adaptasi pada bayi baru lahir adalah proses
penyesuaian fungsional bayi baru lahir dari kehidupan intrauterine sampai
kehidupan pada extrauterine.(1) Fisiologi pada janin (fetus) pada dasarnya berbeda
dari neonatus dengan perbedaan struktural dan fungsional. Janin beradaptasi
dengan baik pada lingkungan intrauterin yang relatif hipoksemik. Transisi dari
kehidupan intrauterine ke ekstrauterine membutuhkan langkah cepat, kompleks
dan diatur dengan baik untuk memastikan kelangsungan hidup neonatus.(2) Lebih
dari 90% bayi yang baru lahir melakukan transisi dari kehidupan intrauterine ke
kehidupan ekstrauterine tanpa kesulitan dengan membutuhkan sedikit atau tidak
ada bantuan. Namun, untuk 10% bayi baru lahir yang membutuhkan bantuan dan
sekitar 1% memerlukan tindakan resusitasi ekstensif untuk bertahan hidup.(3)

Keberhasilan transisi adaptasi dari janin ke kehidupan neonatal


membutuhkan interaksi yang kompleks antara sistem berikut, yaitu : pernapasan
dimana paru paru menjadi organ yang bertugas untuk pertukaran udara setelah
sebelumnya fungsi ini dilakukan oleh sirkulasi uteroplasenta. Kardiovaskular,
dimana adaptasi harus dilakukan sesaat setelah penghilangan tekanan sirkulasi
utero plasenta saat proses kelahiran. Termoregulasi, dimana bayi yang baru lahir
juga harus cepat mengontrol metabolisme energi dan termoregulasi. Mediator
utama yang menyiapkan janin untuk kelahiran dan mendukung transisi multi-organ
adalah kortisol dan katekolamin. Imunologi, dimana sistem imun pada bayi baru
lahir memiliki sedikit perbedaan disbanding sistem imun dewasa dan system imun
pada bayi baru lahir belum adekuat sehingga bayi baru lahir harus bisa beradaptasi
segera untuk melindungi dirinya dari berbagai infeksi.(4)
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Periode Transisi :


Periode transisi adaptasi pada bayi baru lahir (neonatus) adalah proses
penyesuaian fungsional bayi baru lahir dari kehidupan intrauterine sampai
kehidupan pada extrauterine. Masa transisi ini mencerminkan suatu
kombinasi respon simpatik terhadap tekanan persalinan (takipnea dan
takikardi) dan respon parasimpatik (mucus, muntah, dan gerak
peristaltik)(1)

2.2 Definisi Bayi Baru Lahir (Neonatus) :


Neonatus adalah bayi baru lahir sampai usia 28 hari (0 – 28 hari). Periode
neonatal adalah periode yang paling rentan untuk bayi yang sedang
menyempurnakan penyesuaian fisiologis yang dibutuhkan pada kehidupan
ekstrauterin.(5)

2.3 Fase Periode Transisi Neonatus : (3)


1) Fase Reactivity
Terjadi pada 0-30 menit pertama kehidupan sejak bayi lahir. Pada
periode ini neonatus akan mengalami takipnea (s/d 80bpm),
takikardi (s/d 180bpm), retraksi dinding dada ringan, nafas cuping
hidung, terdengar ronki, periodic breathing (berhentinya nafas <10
detik), dan acracynosis (kebiruan pada tangan dan kaki). Periode
ini juga merupakan periode terbaik untuk bayi menyusui langsung
kepada ibunya karena pada periode ini bayi memiliki inisiasi
menghisap terkuat. Early skin to-skin contact (SSC) idealnya
dimulai pada fase ini, dimana bayi diletakan pada dada ibu.
2) Fase Relative Inactivity
Terjadi pada 30 min-2 jam pertama kehidupan sejak bayi lahir.
Pada fase ini neonatus akan tertidur untuk beberapa menit sampai
jam. Saat tertidur denyut nadi nenonatus cenderung stabil menjadi
100-140bpm, pernafasan menurun menjadi 40-60bpm, suara nafas
sudah vesikuler, tidak menunjukan tanda-tanda depresi pernafasan,
dan warna kulit sudah merah muda.
3) Fase Second Reactivity
Terjadi pada 2-8 jam pertama kehidupan sejak bayi lahir. Pada fase
ini denyut nadi dan pernafasan mungkin meningkat dibandingkan
fase relative inactivity tetapi tetap dalam batas normal.

Tabel 1. Fase Periode Transisi Neonatus (6)


FASE
REACTIVITY RELATIVE SECOND
0-30 min INACTIVITY REACTIVITY
30 min – 2 hrs 2-8 hrs
Denyut Nadi 160-180bpm 100-120bpm 120 bpm-160bpm
Pernafasan 60-80/min 60/min <60/min
Wheezing + - -
Apnea <10det + - -
Movement Aktif Kurang aktif Aktif
Bising Usus - + +
Saliva Minimal - +
Mekonium - + +
Reaksi Spontan Menangis Jerking Quite especially
Mengunyah when maternal
Pergerakan kepala bonding
Gambar 1. Neonatal Transitional Period (6)

2.4 Fisiologi Transisi Neonatus


2.4.1 Adaptasi Sistem Respirasi
Adaptasi sistem respirasi adalah proses kompleks yang melibatkan interaksi
antara aliran darah pulmonal, produksi surfaktan, otot pernapasan, dan pembersihan
cairan yang melibatkan faktor mekanis untung mendukung pernapasan yang
adekuat.(3)
2.4.1.1 Aliran Darah Pulmonal
Aliran darah pulmonal dirangsang dengan penjepit tali pusat yang akan
mengurangi konsentrasi oksigen, serta meningkatkan konsentrasi karbon dioksida,
dan menurunkan pH darah. Hal ini merangsang kemoreseptor aorta dan karotid
janin sehingga mengaktifkan pusat pernapasan di medula untuk memulai
respirasi.(3)
2.4.1.2 Faktor Mekanis
Faktor mekanis yang mempengaruhi adaptasi sistem respirasi pada bayi baru
lahir adalah kompresi mekanis dari dada selama kelahiran vagina yang memaksa
sekitar 1/3 dari cairan keluar dari paru-paru janin. Saat dada dilahirkan, dada akan
kembali mengembang dan menghasilkan tekanan negative yang akan menarik
udara ke paru-paru. Saat bayi menangis, tekanan intrathoracic positif didirikan yang
membuat alveoli terbuka, dan memaksa sisa cairan paru janin masuk ke dalam
sirkulasi limfatik.(3)
Janin mempunyai paru-paru yang terisi penuh oleh cairan dan pertukaran udara
untuk pernapasan janin terjadi melalui plasenta sebelum proses kelahiran
berlangsung. Pada saat proses lahir, tempat pertukaran udara harus segera
berpindah dari melalui plasenta menjadi melalui paru-paru. Oleh sebab itu, paru-
paru yang sebelumnya terisi oleh cairan harus segera “dibersihkan” dengan caranya
sehingga paru-paru dapat beraerasi. Beraerasinya paru-paru tidak hanya penting
untuk proses pernapasan, namun juga penting untuk memulai perubahan
kardiovaskular saat lahir sehingga sama-sama mendukung transisi ke kehidupan
yang baru. Aerasi paru adalah proses sentral yang penting dalam perubahan
fisiologis pada bayi yang memungkinkan bayi untuk bertransisi dari kehidupan
intrauterine menuju kehidupan extrauterine (kehidupan mandiri setelah lahir).
Mekanisme aerasi paru dalam proses adaptasi system respirasi dibagi menjadi 3
fase, yaitu :(7)
1) Fase 1 – Pembersihan Cairan pada Saluran Pernapasan
Fase ini memfokuskan pada pembersihan cairan yang terdapat dalam
saluran pernapasan dengan cara pergerakan cairan yang terdapat dalam
paru-paru sampai dengan melintasi dinding saluran pernapan bagian distal.
Pada fase ini belum terjadi pertukaran gas dalam saluran pernapasan karena
saluran pernapasan masih terpenuhi oleh cairan, sehingga tujuan utama fase
ini untuk pembersihan cairan agar terjadinya aerasi paru. Fase ini dibagi
berdasarkan waktu terjadinya pembersihan cairan menjadi 3 tahap, yaitu :
a) Pembersihan Cairan Sebelum Proses Kelahiran
Penelitian terdahulu membuktikan bahwa volume cairan saluran
nafas dapat berkurang beberapa hari sebelum proses kelahiran.
Namun, penelitian ini belum dikonfirmasi untuk kehamilan dengan
volume cairan ketuban normal melainkan telah dikonformasi untuk
kehamilan dengan volume cairan ketuban oligohidroamnion karena
terjadi peningkatan transpulmonary. Selain berdasarkan volume
cairan amnion, pengurangan cairan sebelum proses kelahiran juga
ditentukan oleh setiap hal yang dapat mengurangi ruang intrauterine
salah satu contohnya kehamilan kembar.
b) Pembersihan Cairan Selama Proses Kelahiran
 Perubahan Postur Janin
Dalam proses lahir sejumlah literatur mengatakan banyak
cairan yang hilang dalam jumlah yang besar melalui hidung
dan mulut pada saat proses kelahiran kepala bayi.
Mekanisme hilangnya cairan ini disebut “vaginal squeezed”
yang bermakna hilangnya sejumlah cairan yang disebabkan
oleh tekanan yang diberikan oleh vagina selama proses
kelahiran. Lain hal pada kelahiran dengan jumlah cairan
amnion kategori oligohidroamnion, dimana dalam kategori
ini terjadi peningkatan tekanan intrabdominal yang akan
meningkatkan tekanan transpulmonary melalui elevasi
diafragma sehingga terjadi pula hilangnya cairan melalui
hidung dan mulut.
 Reabsorbsi Na
Saat ini, mekanisme utama untuk pembersihan cairan pada
saluran pernapasan selama proses kelahiran adalah dengan
reabsorbsi Na. Reabsorbsi Na terjadi sepanjang epitel
saluran pernapasan dengan membalikan gradien osmotik
yang akan menyebabkan reabsorbsi cairan pada saluran
pernapasan. Mekanisme ini di stimulasi dengan peningkatan
adrenalin dan vasopressin yang terjadi sebagai respon akibat
“stress of labour”. Adrenalin dan vasopressin dapat
menghambat sekresi dari cairan pada saluran pernapasan
bayi dan mengaktivasi reabsorbsi dari cairan di saluran
pernapasan pada usia kehamilan cukup bulan. Mekanisme
reabsorbsi Na untuk membersihkan seluruh cairan pada
saluran pernapasan dapat tercapai dalam waktu hitungan
jam, tetapi dengan terdapatnya adrenalin waktu yang
diperlukan untuk membersihkan saluran pernapasan menjadi
lebih singkat. Normalnya, pada bayi yang sehat proses
pembersihan cairan pada saluran pernapasan dan proses
pertukaran udara terjadi dalam hitungan detik s/d menit
pasca kelahiran.
Mekanisme ini juga menjelaskan penyebab bayi yang
dilahirkan dengan cara section caesaria memiliki faktor
resiko lebih tinggi mengalami transient tachypnoea of the
newborn (TTN). Akan tetapi, mekanisme ini hanya terjadi
pada kehamilan cukup bulan dan tidak terjadi pada
kehamilan kurang bulan karena transkrip RNA encoding
saluran Na (ENaC) hampir tidak terdeteksi dalam paru-paru
bayi yang kurang bulan.
c) Pembersihan Cairan Setelah Proses Kelahiran
Pada saat lahir, cairan masih mengisi sebagian dari saluran
pernapasan bayi khususnya pada bagian distal saluran pernapasan.
Dengan demikian, jumlah cairan yang signifikan harus dibersihkan
setelah lahir, terutama dari saluran pernapasan bagian distal, tetapi
hingga saat ini, peran mekanisme pascanatal telah banyak diabaikan
sebagai mekanisme utama yang mendorong pembersihan cairan
saluran pernapasan. Penelitian baru-baru ini juga menunjukkan
bahwa aktivitas pernapasan memainkan peran paling signifikan
dalam pembersihan cairan setelah lahir.
Studi terbaru menunjukan bahwa sebagian besar aerasi paru-
paru (95%) terjadi selama proses inspirasi. Inspirasi menginduksi
pembersihan cairan pada saluran napas terjadi karena peningkatan
gradien tekanan transepitelial. Gradien ini dihasilkan oleh otot-otot
inspirasi yang mengurangi tekanan intrapleural dan interstitial
jaringan dengan memperluas dinding dada. Hal ini menghasilkan
gradien tekanan di dinding saluran pernapasan, antar jaringan
interstitial, lumen saluran napas, dan antar saluran udara bagian atas
dengan bawah. Akibatnya, cairan digerakkan dari proksimal ke
saluran udara distal, tempat pertama cairan dibersihka namun dari
dinding saluran prernapasan bagian distal cairan akan ke ruang
jaringan interstisial sekitarnya.

2) Fase 2 – Akumulasi Cairan dalan Jaringan Interstisial Paru


Proses pembersihan cairan dalam saluran pernapasan salah satunya
dengan pergerakan cairan melintasi saluran pernapasan bagian distal
menuju jaringan disekitarnya. Proses ini paling sering terjadi saat fase
inspirasi, dimana pergerakan cairan melewati epitelium sangat cepat dan
menghasilkan pembersihan cairan di saluran pernapasan yang mendekati
total dalam 3-5 menit proses bernafas spontan. Penyebab lain proses
pembersihan cairan terjadi saat fase inspirasi adalah karena gradien tekanan
hidrostatik yang dihasilkan selama fase inspirasi lebih besar yaitu sebanyak
20-80cmH20 dibandingkan selama fase ekspirasi yang sebesar 6cmH20.
Perbedaan gradien tekanan tersebut menjadi penyebab mengapa potensi
untuk pembersihan saluran pernapasan lebih besar pada fase inspirasi
dibandingkan fase ekspirasi. Hal ini menjadi alasan mengapa
mempertahankan tekanan udara positif pada bayi baru lahir sangat penting
untuk membantu dinding dada yang sesuai dalam melawan rekoil paru-paru
dan mengurangi gradien tekanan hidrostatik agar cairan tidak kembali ke
saluran pernapasan. Bayi baru lahir mengadopsi strategi ini dengan
menerapkan manuver pengereman ekspirasi dan mendengus segera setelah
lahir. Manuver ini meningkatkan tekanan saluran napas selama ekspirasi,
yang membantu untuk menolak gerakan cairan kembali ke saluran udara
dan mempertahankan FRC.
Disisi lain, pembersihan saluran pernapasan dapat melalui jaringan
limfatik dan pembuluh darah. Namun, pembersihan saluran pernapasan
melalui jalur ini memakan waktu yang lebih lama yaitu sekitar 4-6 jam
setelah proses kelahiran. Hal ini menyebabkan, terdapatnya sisa cairan yang
signifikan pada saluran pernapasan yang menyebabkan odema paru. Hal ini
menjelaskan penyebab terjadinya perluasan dinding dada dan peningkatan
tekanan jaringan interstisial (s/d 6cmH20) segera setelah proses kelahiran.
Tekanan jaringan interstisial ini akan menurun secara bertahap dalam waktu
4-6 jam setelah proses kelahiran hingga mencapai tekanan subatmospheric.

3) Fase 3 – Pertukaran Gas Respirasi


Setelah aerasi paru-paru dan pembersihan cairan dari jaringan, bayi
telah melewati fase transisi kelahiran langsung. Sementara beberapa
karakteristik janin dapat menetap, seperti saluran paten. Pendekatan yang
digunakan untuk membantu fungsi paru-paru dan pertukaran gas
pernapasan saat ini lebih mirip dengan pendekatan tradisional yang
umumnya dipraktikkan oleh perawat di unit intensif neonatal. Ada
kemungkinan bahwa edema paru dan peningkatan tekanan jaringan
interstisial dapat terulang kembali sebagai respons terhadap masalah seperti
hipertensi pulmonal.
Namun, tanpa adanya morbiditas ini, ventilasi dapat lebih terfokus
pada pertukaran gas dan mempertahankan homeostasis gas pernapasan.
Dalam situasi ini, keberhasilan membangun pertukaran gas yang memadai
akan tergantung pada struktur dan fungsi paru-paru, kematangan otot
pernapasan, dan penyesuaian dinding dada.

2.4.1.3 Produksi Surfaktan


Surfaktan disintesis dan disekresikan oleh sel epitelial alveolar Tipe
II yang juga disebut pneumocytes dimulai pada usia kehamilan 22 minggu.
Surfaktan meningkatkan tekanan permukaan sambil menurunkan tegangan
permukaan. Tekanan permukaan tinggi mencegah penurunan luas
permukaan alveolar, sementara tegangan permukaan rendah menstabilkan
paru dengan menurunkan gradien tekanan di seluruh lapisan lapisan
alveolar. Surfaktan terdiri dari 70% hingga 80% fosfolipid, 10% protein dan
10% lipid netral terutama kolesterol. Bahan aktif permukaan utama yang
ditemukan dalam surfaktan adalah fosfolipid,
dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC), sedangkan protein surfaktan
adalah SPA, SP-B, SP-C dan SP-D. Peptida dan SP-B bersifat hidrofobik
dan diposisikan dalam rantai monolayer fosfolipid. Ikatan molekul SP-B,
peptida dan fosfolipid ini akan memberikan stabilitas molekul fosfolipid
dalam monolayer alveolus dan akan mencegah kolaps alveolus. (8)

2.4.2 Adaptasi Sistem Sirkulasi


2.4.2.1 Sirkulasi Fetal (9)
Dalam sirkulasi fetal, ventrikel kanan dan kiri berada dalam sirkuit
parallel. Hal tersebut berbeda dengan sirkuit sirkulasi pada bayi baru lahir
atau dewasa. Pada masa fetal, plasenta yang menyediakan kebutuhan untuk
pertukaran gas/bahan-bahan metabolic karena paru-paru tidak menyediakan
kebutuhan untuk pertukaran udara dan juga pembuluh darah sirkulasi paru
mengalami vasokonstriksi. Pada masa fetal terdapat 3 struktur
kardiovaskular yang khas dan berfungsi untuk menjaga sirkulasi parallel
antara ventrikel kanan dan kiri, yaitu : ductus venosus, foramen ovale, dan
ductus arteriousus. Fungsi dari ke 3 struktur ini adalah :
- Ductus Venosus  mendistribusikan darah yang memiliki kadar
oksigen tinggi dari vena umbilical ke vana cava inferior infant
- Foramen Ovale  menghubungkan aliran darah dari jantung
kanan ke kiri (right to the left shunt)
- Ductus Arteriousus  mengalirkan darah dari arteri pulmonal
menuju aorta desendence
Darah yang membawa oksigen memasuki fetus melalui vena
umbilical. Sekitar 50% darah yang melalui vena umbilical akan memasuki
sirkulasi hepatica. Darah lain yang tidak memasuki sirkulasi hepatica akan
memasuki sirkulasi vena cava inferior melalui ductus venosus, dimana
darah ini akan bercampur dengan darah yang lebih sedikit kadar oksigennya
yang berasal dari tubuh bagian bawah fetus. Semua darah tersebut akan
memasuki atrium kanan lalu masuk ke atrium kiri melalui foramen ovale.
Darah tersebut kemudian mengalir menuju ventrikel kiri dan masuk ke aorta
asendence. Darah fetus yang kadar oksigennya lebih rendah berasal dari
kepala dan tubuh bagian atas fetus akan masuk ke atrium kanan melalui
vena cava superior, dimana darah ini akan bercampur dengan darah yang
kaya akan oksigen yang berasal dari plasenta. Darah ini akan masuk ke
ventrikel kanan melalaui katup tricuspid dan masuk ke arteri pulmonary,
namun karena sirkulasi arteri pulmonari yang mengalami vasokonstriksi
hanya sekitar 10% darah dari ventrikel kanan yang dapat memasuki paru-
paru untuk memperfusi jaringan paru-paru. 90% darah akan ke aorta
desenden melalui ductus arteriousus untuk menyediakan oksigen ke tubuh
fetus bagian distal dan akan masuk kembali ke plasenta via 2 arteri
umbilical. Perfusi untuk tubuh fetus bagian proksimal akan masuk secara
khusus dari ventrikel kiri.
Total cardiac output fetus (output dari ventrikel kanan dan kiri)
adalah 450 mL/Kg/Min. Sekitar 65% dari aliran darah aorta desending akan
kembali ke plasenta, 35% sisanya akan berperfusi ke organ dan jaringan
fetus.

Gambar 2. Sirkulasi Fetal(6)


2.4.2.2 Sirkulasi Transisi(9)
Saat lahir, paparan mekanis terhadap paru-paru dan peningkatan arterial
PO2 akan menyebabkan penurunan dari resistensi vascular pulmonal. Saat yang
bersamaan, pelepasan dari resistensi rendah sirkulasi plasenta akan menyebabkan
peningkatan sistemik vascular resistensi. Output dari ventrikel kanan pada saat ini
akan seluruhnya mengalir ke sirkulasi pulmonal dan karena resistensi sirkulasi
pulmonal sekarang menjadi lebih rendah dibandingkan resistensi sirkulasi sistemik
menyebabkan perubahan arah aliran pada ductus arteriosus dan menjadi dari kiri ke
kanan. Beberapa hari setelah kelahiran, peningkatan tinggi tekanan pada arterial
PO2 akan memberikan signal untuk kontrisksi dari ductus arteriosus dan membuat
ductus arteriousus tertututp dan menjadi ligamentum arteriosum. Peningkatan
volume dari aliran darah pulmonal yang akan kembali ke atrium kiri akan
meningkatkan volume atrium kiri dan tekanannya sehingga terjadi penutupan
foramen ovale.
Pemutusan plasenta dari sirkulasi fetus akan menyebabkan penutupan
ductus venosus. Pada saat ini, ketebalan dinding dan massa otot ventrikel kiri akan
bertambah. Ventrikel kiri yang pada sirkulasi fetal hanya akan memompa darah
untuk tubuh fetus bagian proksimal dan otak fetus, sekarang harus memompa
seluruh sistemik cardiac output (350mL/Kg/Min) dan mencapai 200% output akan
meningkat. Kemampuan peningkatan kerja dari ventrikel kiri ini merupakan tanda
kerjasama yang efektif antara hormonal dan metabolic pada tubuh fetus yang salah
satunya termasuk peningkatan level cathecolamines dan reseptor miokard (beta
adrenergic).
2.4.2.3 Sirkulasi Neonatal
Saat lahir sirkulasi fetus akan segera beradaptasi ke kehidupan extrauterine
sebagaimana terjadi pertukaran gas yang ditransfer dari plasenta ke paru-paru.
Beberapa perubahan adaptasi ini terjadi secara spontan bersamaan dengan saat fetus
bernafas pertama kali. Sesaat setelah lahir, tekanan nadi yang lebih lambat
merupakan hasil dari respon baroreseptor terhadap peningkatan dari systemic
vascular resistance (SVR) ketika sirkulasi plasental diputus. Rata-rata tekanan
aorta pada neonatus ± 70mmHg. (9)
Pada saat bayi baru lahir dan bernafas pertama kali, hal ini berfungsi untuk
meningkatkan kadar oksigen dimana terjadi peningkatan aliran darah ke paru-paru
yang akan menyebabkan penutupan dari foramen ovale.(3) Pada saat bayi baru lahir
juga dilakukan pengkleman dari tali pusat yang membuat plasenta tidak lagi
mengalirkan darah dan menyebabkan peningkatan systemic vascular resistance
(SVR), peningkatan tekanan darah, dan peningkatan tekanan pada sisi kiri jantung.
Pengkleman tali pusat juga menghilangkan kebutuhan aliran darah melalui ductus
venosus sehingga menghilangkan fungsi aliran darah melalui ductus venosus. Hal
tersebut membuat aliran darah vena sistemik langsung melalui sistem portal melalui
sirkulasi hepatic, sehingga pembuluh darah umbilical berkonstriksi disertai dengan
penutupan fungsi pembuluh darah umbilical.(3) Ductus arteriousus yang masih
terbuka pada masa kehamilan juga akan menutup pada hari ke 5-10 pasca kelahiran.
Pada beberapa kasus, ductus arteriosus dapat tidak menutup seperti pada penyakit
jantung kongenital.(9) Dalam masa intrauterine, ductus arteriosus yang belum
menutup terjadi karena efek relaxant dari tekanan oksigen yang rendah dan
produksi prostaglandin. Pada masa extrauterine, untuk neonatus yang cukup bulan
oksigen adalah faktor yang sangat penting untuk penutupan ductus. Dimana, saat
pO2 pada darah ± 50 mmHg, dinding ductus akan berkonstriksi dan menutup. Selain
faktor pO 2, usia gestasi merupakan salah satu faktor yang berperan dalam
penutupan ductus, dimana pada usia gestasi kurang bulan neonates akan kurang
berespon terhadap tekanan 02 .(9)
Periode transisi yang sukses dan penutupan aliran fetus akan menghasilkan
sirkulasi neonatal, dimana darah yang kurang oksigen kembali ke jantung melalui
vena cava superior dan inferior. Darah kemudian akan memasuki atrium kanan
menuju ventrikel kanan dan berjalan melalui vena pulmonal menuju atrium kiri ke
ventrikel kiri menuju aorta untuk ke sirkulasi sistemik.(3)
Gambar 3. Sirkulasi Fetal dan Neonatal(3)

2.4.3 Adaptasi Sistem Endokrin


 Kortisol
Kortisol adalah hormone utama untuk pematangan fetus dan adaptasi
neonatus. Kortisol memiliki beberapa fungsi diantaranya adalah : “Cortisol Surge”
dimulai dengan peralihan dari kortikosteroid yang dihasilkan dari transplasental ibu
ke kemampuan adrenal fetus untuk mensintesis dan menghasilkan kortisol dibawah
kontrol dari hipotalamus fetus. Level kortisol pada fetus cenderung rendah yaitu 5-
10µg/ml dan akan meningkat menuju level yang normal pada usia gestasi 30
minggu. Level kortisol akan terus meningkat secara bertahap menjadi 20µg/ml pada
usia gestasi 36 minggu dan semakin meningkat pada usia gestasi cukup bulan
menjelang melahirkan menjadi 45µg/ml. Level kortisol akan mencapai puncak
yaitu 200µg/ml pada saat beberapa jam setelah lahir. Peningkatan kadar kortisol
secara progresif berfungsi untuk membantu masa transisi pada bayi baru lahir,
seperti pematangan paru baik dari segi anatomi ataupun surfaktan, pembersihan
cairan paru pada fetus, peningkatan β reseptor, pematangan fungsi Gut, meregulasi
pelepasan katekolamin, dan mengontrol energy metabolisme. Fungsi lain kortisol
adalah meningkatkan aktivitas hormone tiroid yang akan mengaktivasi pompa Na+,
dimana Na+ berfungsi untuk membersihkan cairan yang terdapat pada paru saat
proses melahirkan.(4) Selain itu, kortisol juga berfungsi terhadap pematangan ezim
metabolisme glukosa dan menjaga kadar glukosa setelah proses kelahiran.(2)
Pada kelahiran dengan usia gestasi kurang bulan akan menghalangi
peningkatan kadar kortisol secara bertahap karena belum matangnya glandula
adrenal. Bayi yang prematur mungkin memiliki tingkat kortisol yang rendah di
sekitar kelahiran dengan gejala seperti tekanan darah rendah yang responsif
terhadap pengobatan kortisol. Sebaliknya paparan antenatal untuk korioamnionitis
dapat meningkatkan kadar kortisol janin sebelum persalinan.(4)
 Katekolamin
Pada bayi baru lahir cukup bulan dapat menghasilkan katekolamin
(norepinefrin, epinefrin, dan dopamine) dari medulla adrenal sebagai respon dari
berbagai macam stress janin. Meningkatnya katekolamin, renin angiotensin, dan
vasopressin merupakan respon yang normal pada proses kelahiran dan sangat
penting untuk adaptasi fetus. Katekolamin berfungsi untuk meningkatkan tekanan
darah, meningkatkan curah jantung, untuk adaptasi energi metabolisme (glukosa
dan asam lemak bebas) yang akan berfungsi untuk menstabilkan gula darah pada
neonatus dan menginisiasi thermogenesis. (4,2)
 Hormon Tiroid
Pematangan tiroid terjadi pada akhir masa gestasi, dimana hal ini bersamaan
dengan meningkatnya kortisol dan peningkatan tyroid stimulating hormone (TSH),
T3, dan T4. Bersamaan dengan usia kehamilan cukup bulan, peningkatan TSH, T3,
T4 merupakan respon dari peningkatan kortisol yang terjadi saat penjepitan tali
pusat dan mendapat stimulasi dingin akibat perubahan lingkungan intrauterine
dengan extrauterine. Adaptasi tiroid sangat penting untuk bayi baru lahir, karena
jika terjadi hambatan dari fungsi tiroid dapat berdampak terhadap adaptasi bayi baru
lahir tersebut, sebagai contoh pada masa fetus T3 dan kortisol dapat mengaktivasi
Na+, K+, dan ATPase yang akan membantu membersihkan cairan paru pada fetus
setelah lahir.(4)
2.4.4 Adaptasi Sistem Metabolisme
 Energi
Kebutuhan energi fetus didapatkan dari glukosa yang berasal dari transfer
transplasental. Akan tetapi, liver fetus dapat melakukan gluconeogenesis sejak usia
kehamilan awal yang akan disimpan dalam bentuk glikogen dan lemak sampai usia
kehamilan cukup bulan sebagai antisipasi pada proses kelahiran jika terjadi keadaan
fetus dengan tinggi insulin dan rendah kadar glikogennya. Saat proses persalinan
dan ketika dilakukan penjepitan tali pusat, bantuan glukosa yang berasal dari ibu
melewati transfer transplasental akan terputus dan akan menyebabkan penurunan
kadar glukosa plasma. Dalam keadaan glukosa plasma yang rendah, tubuh fetus
akan menyesuaikan dengan menurunkan kadar insulin dan meningkatkan kadar
glikogen hingga terjadi homeostatic glukosa yang normal.(1) Glukoneogenesis dan
glikogenolisis di liver berfungsi untuk menstabilkan kadar gula darah hingga
asupan oral masuk ke neonatus. Selain itu, badan keton dan laktat yang didapat dari
peningkatan hepatic ketogenesis selama 12 jam pertama pasca kelahiran juga
berfungsi untuk memberikan energi tambahan untuk otak.(2) Cara lain yang
dilakukan tubuh fetus untuk menghadapi perubahan metabolisme ini dengan
bantuan dari adaptasi system endokrin dimana terjadi peningkatan kortisol dan
katekolamin.(4)
 Termoregulasi
Termoregulasi adalah kemampuan untuk menyeimbangkan produksi panas dan
kehilangan panas untuk mempertahankan suhu tubuh dalam kisaran normal
tertentu. Temperatur tubuh normal dihasilkan dari keseimbangan antara produksi
dan kehilangan panas tubuh. Salah satu masalah khusus pada bayi, terutama bayi
baru lahir adalah kemampuannya untuk mempertahankan suhu tubuh yang normal.
Ada beberapa perbedaan tentang range nilai normal suhu untuk bayi baru lahir,
dimana American Academy of Pediatrics (AAP), American College of
Obstetricians dan Gynecologists (ACOG), dan World Health Organization (WHO)
mendefinisikan suhu normal aksila antara 36,5 ° C dan 37,5 ° C. Disisi lain,
Perawatan Acute at-Risk Newborns Neonatal Society (ACoRN) mendefinisikan
suhu aksila normal berada di antara keduanya 36,3 °C-37,2 °C. (4,10)
Pada bayi baru lahir kehilangan panas dapat terjadi melalui 4 cara, yaitu :(11)
- Evaporasi
Penguapan terjadi pertama kali ketika air ketuban menguap dari
kulit. Kehilangan evaporatif mungkin tidak terlihat (dari kulit
dan pernapasan) atau terlihat (berkeringat). Faktor lain yang
berkontribusi pada hilangnya panas melalui proses penguapan
adalah luas permukaan bayi baru lahir, tekanan uap dan
kecepatan udara. Ini adalah sumber kehilangan panas terbesar
saat lahir.
- Konduksi
Konduksi terjadi dengan perpindahan panas antara dua benda
padat yang menyentuh. Hal ini terjadi ketika bayi yang baru lahir
ditempatkan telanjang di permukaan yang lebih dingin, seperti
meja/tempat tidur/timbangan saat ditimbang pertama kali.
- Konveksi
Konveksi adala transfer panas yang terjadi secara sederhana dari
selisih temperatur antara permukaan kulit bayi dan aliran udara
yang dingin di permukaan tubuh bayi. Sumber kehilangan panas
disini dapat berupa: inkubator dengan jendela yang terbuka, atau
pada waktu proses transportasi neonatus ke Rumah Sakit.
- Radiasi
Radiasi adalah perpindahan suhu dari suatu objek panas ke objek
yang dingin, misalnya dari bayi dengan suhu yang hangat
dikelilingi suhu lingkungan yang lebih dingin. Sumber
kehilangan panas dapat berupa suhu lingkungan yang dingin ,
atau suhu inkubator yang dingin.
Gambar 4. Kehilangan Panas pada Bayi Baru Lahir (10)

Pada bayi baru lahir panas tubuh dapat diproduksi dengan beberapa cara, yaitu :

Tabel 2. Mekanisme Produksi Panas pada Bayi Baru Lahir (10)


2.4.5 Adaptasi Sistem Imunologi
Neonatus memiliki sedikit memori imunologi dan sistem kekebalan
tubuh yang sedang berkembang sehingga meningkat kerentanan neonatus
terhadap agen infeksi. Neonatus memiliki sistem kekebalan yang
berkembang dan berbeda dari orang dewasa sebagai akibat dari awalnya
hidup di lingkungan semi-steril (intrauterine) yang kemudian terkena
mikroba di lingkungan sekitarnya (extrauterine), hal ini membuat bayi yang
baru lahir sangat rentan terhadap infeksi. Diperkirakan bahwa 40% dari 3
juta kematian neonatal di seluruh dunia adalah hasil dari infeksi. Sebelum
berkembangnya kekebalan tubuh neonatus, kekebalan tubuh janin didapat
dari imunitas pasif yang di dapat dari transfer transplacental antibodi ibu
yang berkontribusi terhadap pertahanan awal melawan organisme patogen
pada neonatus. Namun, perlindungan pasif ini berumur pendek dan meluruh
saat anak berusia sekitar 6 bulan. Perlindungan pasif ini berfungsi untuk
mengimbangi immaturitas imunologi yang ada pada periode janin, neonatal,
dan bulan-bulan pertama kehidupan. Secara alamiah telah mengembangkan
mekanisme perlindungan yang didapat yang disediakan oleh ibu, yaitu :
transplasental transfer antibody ditransfer ke bayi melalui ASI. Kelas
imunoglobulin utama yang ditransfer adalah IgA, yang bekerja pada
permukaan mukosa, di mana ia mampu mencegah masuknya patogen.
Namun yang penting lainnya faktor-faktor yang ditransfer, termasuk
komplemen dan bakteri komensal - yang dapat memberikan perlindungan
melawan asma dan alergi di kemudian hari. Mekanisme perlindungan lain
berupa factor anti-infeksi dalam cairan ketuban serta mekanisme
perlindungan extrauterine berupa kolostrum dan susu (ASI).(12,13)
Kolostrum (susu yang diproduksi selama hari-hari pertama
setelahnya lahir), selain menjadi sumber nutrisi yang kaya, mengandung
konsentrasi berbagai faktor pelindung yang tinggi dengan tindakan anti-
infeksi, seperti enzim (lisozim, laktoferin, dll.), imunoglobulin, sitokin,
melengkapi komponen sistem, leukosit, oligosakarida, nukleotida, lipid, dan
hormon yang berinteraksi satu sama lain dan dengan selaput lender saluran
pencernaan dan saluran pernapasan atas bayi, menyediakan kekebalan pasif
serta rangsangan untuk perkembangan dan pematangan system kekebalan
bayi. Faktor antimikroba hadir di kolostrum dan susu memiliki beberapa
karakteristik umum, seperti resistensi untuk degradasi oleh enzim
pencernaan, perlindungan permukaan mukosa dan eliminasi bakteri tanpa
memicu reaksi inflamasi tipe 4. Kehadiran dari berbagai komponen bioaktif
dalam ASI dengan multifungsi dan menyediakan sifat anti-inflamasi
menjadi bukti untuk rekomendasi ASI eksklusif.(12)
2.4.5.1 Respon Imun(14)
Pada manusia diperkirakan bahwa maturasi respon imun sudah
dimulai pada fetus sejak kehamilan 2-3 bulan. Perkembangan ditujukan
pada diferensiasi fungsi imunologik sel nonspesifik dan spesifik. Keduanya
berasal dari populasi stem cell yaitu sel yang mempunyai kesanggupan
untuk bereplikasi dan berdiferensiasi menjadi sel mature. Sel asal pada
embrio yang sedang berkembang terletak pada jaringan hematopoietik
yolksac, pada kehamilan 6 minggu di hati dan mulai usia kehamilan 2 bulan
serta selanjutnya pada sumsum tulang. Pada kehamilan 3-5 bulan, limpa
juga berperan sebagai jaringan hematopoietic. Setelah bayi lahir, sumsum
tulang merupakan satu-satunya organ hematopoeitik. Jika sumsum tulang
tidak dapat menjalankan fungsinya, maka hati dan limpa dapat berfungsi
sebagai hematopoiesis ekstramedular.
Respon imun adalah respon tubuh berupa suatu kejadian kompleks
terhadap antigen untuk mengeliminasi antigen tersebut. Respon tubuh
dalam upaya mekanisme pertahanan tubuh terdiri atas mekanisme
pertahanan non spesifik dan mekanisme pertahanan spesifik. Mekanisme
pertahanan non spesifik (nonadaptive/innate immunity/imunitas alamiah)
artinya mekanisme pertahanan yang tidak ditujukan hanya untuk satu jenis
antigen. Imunitas alamiah sudah ada sejak bayi lahir. Mekanisme
pertahanan tubuh spesifik (adaptive/imunitas didapat) adalah mekanisme
pertahanan yang ditujukan khusus terhadap satu jenis antigen. Mekanisme
pertahanan tubuh ini didapat jika terdapat kontak dengan antigen tertentu.
Mekanisme pertahanan non spesifik terdiri dari 1)permukaan tubuh,
mukosa, kulit, 2)kelenjar dengan enzimnya, dimana produksi kelenjar dapat
menghambat penetrasi mikroorganisme serta enzim lisozim yang dihasilkan
dapat merusak dinding sel mikroorganisme. 3)Komplemen dan makrofag,
dimana jalur komplemen dapat diaktivasi oleh pajanan bakteri secra
langsung sehingga terjadi eliminasi antigen melalui proses lisis/fagositosis
(oleh makrofag/neutrophil) yang distimulasi oleh zat kemotaktik karena zat
ini memiliki reseptor untuk komponen komplemen. Zat kemotaktik akan
memanggil sel monosit dan polimorfonuklear ke tempat mikroorganisme
dan mefagositnya. 4)Sel Natural Killer (NK) adalah suatu limfosit (total
10% dari limfosit di darah dan organ limfoid premier) yang berespon
terhadap mikroba intraseluler dengan cara membunuh sel yang terinfeksi
dan memproduksi sitokin untuk mengaktivasi makrofag (IFN-γ). Reseptor
pengaktivasi pada sel NK memiliki tugas untuk mengenali molekul
permukaan sel pejamu yang terinfeksi virus dan reseptor pengaktivasi lain
yang berfungsi sebagai reseptor penginhibisi (MHC kelas I) yang berfungsi
menghambat aktivasi sel NK jika mengenali permukaan sel yang tidak
terinhibisi. 5)Interferon adalah zat yang diproduksi oleh sel leukosit dan sel
yang terinfeksi virus yang dapat menghambat replikasi virus di dalam sel
dan meningkatkan aktivasi sel NK.
Mekanisme pertahanan tubuh spesifik diperankan oleh sel limfosit
T, sel limfosit B, dan antigen presenting cell (APC). Sel limfosit T dan sel
linfosit B berperan pada imunitas seluler dan humoral. Sel limfosit T akan
melisiskan sel target yang dihuni antigen dan sel limfosit B akan
berdiferensiasi menjadi sel plasma dan memproduksi antibody yang akan
menetralkan atau meningkatkan fagositosis antigen dan lisis antigen oleh
komplemen.

2.4.5.2 Immunoglobulin

Antibodi (Immunoglobulin) adalah suatu soluble protein yang


termasuk kelas protein globulin karena struktur globularnya yang akan
berinteraksi secara spesifik atau berikatan dengan suatu antigen sehingga
terjadi inaktivasi pathogen seperti aglutinasi bakteri yang akan
mencegahnya masuk ke sel pejamu. Antibodi juga dapat mengaktifkan
komplemen dan menyebabkan lisisnya bakteri dimana antibody itu melekat.
Antibodi juga terbagi dalam 5 kelas antibody yang memiliki fungsi
berbeda.(15)
Kelas yang pertama adalah immunoglobulin G (IgG), dimana
jumlah IgG paling banyak (±75%) yang dijumpai dalam serum. IgG
merupakan suatu opsonizing antibody yang memudahkan proses
fagositosis. IgG merupakan satu satunya immunoglobulin yang melewati
plasenta karena difasilitasi oleh IgG protection receptor (FcRn) yang
diekspresikan oleh sel-sel plasenta. Pada kehamilan bulan ke 3 dan ke 4
terdapat peningkatan IgG fetus yang berasal dari ibunya, karena pada saat
itu ia belum dapat mensintesis Ig sendiri. Mulai bulan ke 5 kehamilan, fetus
sudah mulai mensintesis IgM dan IgA, karena kadar IgG dari ibu mulai
menurun dan bayi mulai mensintesis Ig-nya sendiri. Sehingga, daya tahan
fetus dan neonatus terutama diperankan oleh IgG ibunya. FcRn selain
diekspresikan oleh sel-sel plasenta juga diekspresikan oleh jaringan usus
pada neonatus untuk mereabsorbsi IgG ibu yang berasal dari kolostrum.
FcRn akan hilang dari jaringan usus setelah usia 2 minggu.(15)
Kelas kedua adalah immunoglobulin M (IgM), dimana IgM
merupakan 10% dari seluruh jumlah immunoglobulin. Antibodi IgM adalah
antibody yang pertama kali timbul pada respon imun terhadap antigen dan
antibodi. Kadar IgM akan meningkat berkaitan dengan infeksi yang baru.
IgM memiliki 10 potential antigen binding site, hal ini lah yang
menyebabkan IgM menjadi antibody paling efisien dalam mengaglutinasi
bakteri dan mengaktifkan komplemen.(14,15)
Kelas ketiga adalah immunoglobulin A (IgA) yang jumlahnya
paling banyak dijumpai dalam cairan sekresi yang diproduksi oleh sel B di
Payer Patches, tonsils, dan jaringan limfoid sub mukosa lain. IgA terdiri dari
2 jenis, yaitu IgA dalam serum (20% dari total immunoglobulin, dimana
80% dalam bentuk monomer di darah dan 20% dalam bentuk dimer/ polimer
di cairan sekresi) dan IgA mukosa. Pada IgA dimer/polimer digabungkan
oleh J chain dan secretory component, dimana secretory component ini
berfungsi untuk melindungi IgA dimer dari proteolysis dan juga untuk
mempermudah transfer melewati epitel mukosa. IgA merupakan pertahanan
pertama pada daerah mukosa dengan cara menghambat perkembangan
antigen local dan telah dibuktikan dapat menghambat virus menembus
mukosa.(14,15)
Kelas keempat adalah immunoglobulin E (IgE) yang memiliki
jumlah paling sedikit di dalam serum (0,004%), akan tetapi IgE ini sangat
penting untuk kelainan alergi. (DRD) Kelas kelima adalah immunoglobulin
D (IgD) yang fungsi utamanya belum diketahui tetapi merupakan
immunoglobulin permukaan sel limfosit B Bersama dengan IgM dan diduga
berperan dalam diferensiasi sel ini.(14)

2.4.5.3 Downstream Effects pada Respon Imun Neonatus

Downstream effects adalah efek yang terjadi pada respon imun


neonatus berupa penurunan fungsi antigent presenting cell (APC) yang
disebabkan oleh immaturitas dari respon imun tersebut. Efek yang terjadi
pada keadaan ini adalah peningkatan resiko infeksi, penurunan kemanjuran
dari vaksin, dan berkembangnya asma dan alergi. Pada kehidupan awal
neonatus, system imun neonatus terpapar oleh berbagai macam antigen.
Sebagian dari antigen ini tidak berbahaya sehingga dapat di toleransi dan
sebagian antigen ini berbahaya sehingga akan merangsang respon imun
nenonatus. Pada APC neonatus terjadi penurunan kepekaan terhadap
identifikasi suatu antigen, dimana hal ini berhubungam dengam level
pattern recognition receptors (PRP) yang menurun atau penurunan dari
fungsi adaptor molekulnya sehingga terjadi penurunan respon system imun
terhadap antigen tersebut.(16)

Gambar 5. Downstream effects in early life (16)

2.4.6 Adaptasi Sistem Traktus Urinarius(17)

Fungsi ginjal tidak hanya berbeda antara janin dan neonatus tetapi
terus berkembang dan beradaptasi selama perkembangan neonatus. Selama
periode perkembangan awal, plasenta bertanggung jawab untuk
mempertahankan homeostasis cairan-elektrolit janin, keseimbangan asam-
basa, dan kebutuhan ekskretoris janin. Ginjal selama periode fetal sebagian
besar terlibat dalam mempertahankan tingkat cairan ketuban dan mengatur
tekanan darah janin. Produksi urin terjadi ketika janin mencapai usia
kehamilan 16 minggu. Nephrogenesis selesai pada minggu ke 34–36
kehamilan, namun kematangan ginjal terus berlanjut hingga periode
pascanatal. Setelah kelahir, terjadi peningkatan filtrasi glomerulus dan
penurunan resistensi vaskular ginjal sebagai respon untuk peningkatan
tekanan darah arteri rata-rata. Perkembangan sistem urogenital mulai terjadi
saat masa embrio dimulai sejak minggu ke-3 kehamilan. Sistem ini berasal
dari mesoderm intermediate. Mesoderm intermediate berkembang menjadi
nefrotom yang akhirnya menjadi pronephros (ginjal yang belum sempurna),
mesonephros (ginjal nonfungsional), dan metanephros (ginjal permanen).
Sementara pronephros benar-benar hancur, mesonefros mungkin berfungsi
sesaat selama periode janin awal, menghasilkan air seni pada minggu ke-5
kehamilan, tetapi dapat berdegenerasi hampir seluruhnya pada minggu ke-
11 sampai minggu ke-12 kehamilan. Metanefros, di sisi lain, berkembang
menjadi tunas ureter (pertumbuhan duktus mesonefrik) dan metanephric
blastema. Tunas ureter berkembang menjadi ureter, pelvis ginjal, dan
tubulus koledikus, sedangkan metanephric blastema membentuk nefron
yang membentuk sistem ekskretoris ginjal.

2.4.6.1 Aliran Darah Ginjal


Aliran darah ginjal (RBF) hanya sekitar 3–7% dari curah jantung
pada fetus. Pada neonatus, aliran darah ginjal bergantung terhadap berat
badan, berat ginjal, dan luas permukaan. Aliran darah ginjal pada neonatus
tetap lebih rendah daripada tingkat dewasa dan hanya 10% dari curah
jantung pada minggu pertama kehidupan. Peningkatan RBF ke 25% output
jantung diakibatkan oleh peningkatan tekanan perfusi ginjal dan penurunan
resistensi vaskular ginjal.
Pembersihan p-aminohippurate secara tradisional telah digunakan
untuk mencerminkan ukuran aliran plasma ginjal yang efektif (ERPF).
ERPF telah dilaporkan serendah 20 ml / menit / 1,73 m2 pada bayi prematur
dibandingkan dengan 45 ml / menit / 1,73 m2 dengan usia kehamilan 35
minggu dan 83 ml / menit / 1,73 m2 pada bayi cukup bulan. ERPF semakin
meningkat mencapai 300 ml / menit / 1,73 m2 pada usia balita, dan akhirnya
mencapai tingkat dewasa 650 ml / min / 1,73 m2 pada usia 2 tahun.
2.4.6.2 Laju Filtrasi Glomerulus
Laju filtrasi glomerulus (GFR) ditentukan oleh keseimbangan
kekuatan di dinding kapiler, laju aliran plasma, permeabilitas dinding
glomerulus, dan luas permukaan total kapiler. GFR dibentuk selama
kehidupan intrauterus, tetapi tidak signifikan karena ginjal tidak berfungsi
sebagai organ pengatur air dan cairan melainkan plasenta. GFR dimulai
segera setelah lahir ketika ginjal mengambil perannya dalam regulasi cairan,
air, dan elektrolit. GFR pada bayi baru lahir adalah sekitar 40 ml / menit /
1,73 m2 dan mencapai 66 ml / menit / 1,73 m2 pada usia 2 minggu. Tingkat
dewasa 100–125 ml / menit / 1,73 m2 dicapai pada sekitar usia 2 tahun.
Selain itu, kapasitas konsentrasi urin maksimal bayi cukup bulan (700
mOsm) dan mencapai tingkat dewasa (1400 mOsm) pada usiai 6–12 bulan.
2.4.6.3 Pembersihan Kreatinin
Kreatinin adalah produk metabolik yang diubah secara ireversibel
dan kreatinin yang juga merupakan produk sampingan otot rangka dan oleh
karena itu kadar kreatinin serum berkorelasi dengan massa otot tubuh.
Namun, hubungan ini menjadi rumit pada bayi yang baru lahir. Beberapa
penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa kreatinin plasma pada
kebanyakan bayi benar-benar meningkat setelah lahir. Reabsorpsi kreatinin
hanya terjadi pada hari-hari pascakelahiran pertama dengan reabsorpsi pasif
dari kreatinin yang disaring di tubulus yang belum matang yang
menyebabkan kadar kreatinin tidak dapat untuk menentukan GFR. Penanda
lain yang digunakan untuk mewakili GFR adalah cystatin C. Cystatin C
secara bebas disaring di kapiler glomerulus dan benar-benar diserap kembali
oleh tubulus proksimal. Kemampuannya untuk mendeteksi perubahan
dalam perkiraan GFR telah dilaporkan lebih baik daripada kreatinin,
sehingga penggunaan klinisnya telah direkomendasikan pada populasi
neonatal. Meskipun ada upaya untuk mengembangkan bio-penanda yang
lebih baik untuk estimasi GFR, kreatinin tetap menjadi indeks terbaik
ukuran GFR dalam populasi ini.
2.4.6.4 Keseimbangan Cairan dan Elektrolit
Keseimbangan nutrisi, zat terlarut, dan air dalam cairan ketuban
sepanjang kehamilan memastikan homeostasis janin dan konsentrasi
elektrolit stabil pada janin. Saat lahir, air merupakan sekitar 80% dari total
berat badan. Segera setelah lahir, redistribusi cairan tubuh terjadi, dengan
penurunan berat badan pascakelahiran dini yang sesuai dengan kontraksi
isotonik air ekstraselular melalui pembuangan kelebihan natrium dan air
melalui ginjal. Diuresis postnatal ini menghasilkan penurunan 5–10% dari
berat badan. Saat lahir, cairan ekstraseluler (ECF) adalah sekitar 44% dari
total berat badan yang kemudian menurun menjadi 30% dalam 6 bulan
pertama kehidupan dan kemudian menjadi 20% pada masa remaja. ECF
terdiri dari cairan interstisial dan cairan intravaskular. Namun, sebagian
besar kelebihan ECF pada neonatus adalah karena cairan interstisial yang
lebih tinggi.
Tempat dimana sebagian besar pertukaran natrium dilakukan adalah
di tubulus distal. Bayi yang sedang tumbuh mempertahankan keseimbangan
natrium yang positif sedangkan bayi prematur di bawah usia kehamilan 35
minggu cenderung memiliki keseimbangan natrium negatif dalam 3 minggu
pertama setelah kelahiran yang dapat menyebabkan hiponatremia (o130
mEq / L). Hal ini disebabkan pemberian natrium yang lebih tinggi dan
reabsorpsi yang lebih rendah di tubulus distal serta usus bayi prematur
dibandingkan dengan bayi cukup bulan.
Ginjal juga memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan
kalium dalam tubuh. Kalium secara bebas disaring oleh glomerulus dan
reabsorpsi terjadi di tubulus proksimal. Ada beberapa reabsorpsi di loop
asending, tetapi konsentrasi urin akhir ditentukan oleh sekresi di tubulus
distal. Janin membutuhkan keseimbangan kalium positif untuk
pertumbuhan normal.
Keseimbangan kalsium dalam tubuh dijaga oleh mekanisme
terkoordinasi dengan baik antara saluran pencernaan, tulang, dan ginjal.
Ginjal mempertahankan homeostasis kalsium dengan regulasi reabsorpsi di
seluruh nefron melalui berbagai proses aktif dan pasif. Fraksi kalsium yang
secara fisiologis aktif dalam darah adalah kalsium terionisasi yang diatur
secara ketat oleh hormon paratiroid. Meskipun ada korelasi kuat antara
kadar kalsium total serum dan kalsium terionisasi serum, total kalsium dapat
menjadi prediktor yang buruk terhadap status kalsium terutama pada
neonatus.
Fosfor juga sama dan diatur secara bersamaan dengan kalsium. Ia
memiliki peran penting dalam struktur tulang dan berbagai proses
metabolisme. Tingkat fosfor plasma normal adalah 3-4 mg / dl, dan tingkat
ini dijaga melalui keseimbangan antara penyerapan usus versus ekskresi
ginjal. Ekskresi ginjal adalah mekanisme utama yang mengatur fosfor
dalam tubuh. Hormon paratiroid (PTH) adalah hormon paling kuat yang
mengontrol ekskresi fosfor urin. Peningkatan kadar fosfor menginduksi
sekresi PTH, yang pada gilirannya menyebabkan sekresi fosfor melalui
ginjal. Fosfor berlebih mengembangkan kompleks dengan kalsium sehingga
terjadi penurunan.
2.4.6.5 Keseimbangan Asam Basa
Keseimbangan asam basa diatur oleh kombinasi dari sistem
pernapasan, penyangga, dan ginjal. Sistem buffer menyangga buffer asam
bikarbonat-karbonat, buffer hemoglobin-oxyhe-moglobin, buffer protein,
dan mekanisme buffer fosfor. Sistem buffer diadaptasi untuk berfungsi
sebagai mekanisme utama untuk mempertahankan keseimbangan asam basa
pada bayi baru lahir. Keseimbangan asam basa dijaga erat oleh interaksi
kompleks antara sistem pernapasan dan ginjal. Nilai yang dapat diterima
pada bayi cukup bulan dibandingkan dengan bayi prematur (o28 minggu)
adalah sebagai berikut: pH 7,30, PaCO2 40–50, bicar-bonate (HCO3) 20-
24 (18-24), dan PaO2 50–70.
2.4.6.6 Sistem Renin-Angiotensin
Sistem renin-angiotensin (RAS) bertanggung jawab untuk mengatur
tekanan darah, hemodinamik ginjal, dan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Renin adalah komponen kunci dari sistem. Ini diproduksi di ginjal oleh sel-
sel juxta-glomerulus dan memicu pembentukan angiotensin I yang
kemudian diubah menjadi angiotensin II (ATII) oleh enzim pengubah
angiotensin. ATII meningkatkan tekanan darah sistemik dengan
meningkatkan resistensi perifer melalui aktivitas vasokonstriktor pada
pembuluh darah kecil. Selanjutnya, ATII dapat meningkatkan curah jantung
melalui peningkatan kontraktilitas miokard. Selain efek endokrin dari RAS,
efek autokrin intra-ginjal juga ada yang mengatur fungsi ginjal sebagai ATII
adalah vasokonstriktor utama dari vasculature ginjal yang dapat
memodulasi reabsorpsi natrium dan air oleh ginjal.
Komponen RAS hadir selama kehamilan awal, tetapi aktivitas dan
fungsinya agak berbeda dari yang terlihat pada orang dewasa. Saat lahir,
aktivitas renin plasma meningkat dan terus tetap meningkat pada masa bayi
dan mulai menurun ke tingkat orang dewasa pada usia 6-9 tahun. RAS juga
kemungkinan bertanggung jawab untuk mengatur pertumbuhan dan
perkembangan nefron. Aldosterone adalah salah satu komponen di mana
angiotensin mengatur reabsorpsi natrium di ginjal untuk mengatur
keseimbangan cairan dan elektrolit.
DAFTAR PUSTAKA

1. Armini N, Sriasih N, Marhaeni G. Asuhan Kebidanan Neonatus,


Balita, dan Anak Prasekolah.Ed 1st.Yogyakarta:Penerbit
ANDI;2017.
2. Morton S, Brodsky D. Fetal Physiology and the Transition to
Extrauterine Life.Boston:HHS Public Access;2016;43(3):395-407.
3. Interprofessional Education and Research Committee of the
Champlain Maternal Newborn Regional Program.Newborn
Adaptation to Extrauterine Life and Newborn Assessment;2013.
4. Hilman N, Kallapur S, Jobe A. Physiology of Transition from
intrauterine to extrauterine life.Boston:NIH Public
Access;2012;39(4):769-783.
5. Kliegman R,et all. Nelson Textbook of Pediatrics.Ed
20th.Philadelphia:Elsavier;2016.
6. Snell B, Gardner S. Care of The Well Newborn. USA:Jones&Barlett
Learning;2017.
7. Hooper S,Pas A,Kitchen M. Respiratory Transition in The Newborn
A Three Phase Process.Australia: The Ritchie Centre, Hudson
Institute of Medical Research;2015.
8. Nkadi P, Merritt A, Pillers D. An Overview of Pulmonary Surfactant
in the Neonate: Genetics, Metabolism, and the Role of Surfactant in
Health and Disease.Wisconsin:NIH Public Access;2009;97(2):95-
101.
9. Nelson Ramer
10. Interprofessional Education and Research Committee of the
Champlain Maternal Newborn Regional Program.Newborn
Thermoregulation;2013.
11. Kosim M, et all. Buku Ajar Neonatologi.Ed 1st.Jakarta:Ikatan
Dokter Indonesia;2014.
12. Palmeira P, Sampaio M. Immunology of Breast Milk.Brazil:Rev
Assoc Med Bras;2016;62(6):584-593.
13. Basha S, Naveen S, Pichichero M. Immune Responses in
Neonates.New York:Rev Clin Immunol;2014;10(9):1171-1184.
14. Akib A, Munasir Z, Kurniati N. Buku Ajar Alergi-Imunologi
Anak.Ed 2nd.Jakarta:Ikatan Dokter Indonesia;2010.
15. Wiradharma D, Pusparini, Alvina. Konsep Dasar
Imunologi.Jakarta:Sagung Seto;2015.
16. Tregoning J. Neonatal Immunology.UK.Imperial Collage London,
British Society Immunology. Available at :
https://www.immunology.org/file/1963/download?token=8gz6oxG
8 . Accessed at June 26th 2018.
17. Sulemanji M, Vakili K. Neonatal Renal
Physiology.Boston:Elsevier:Seminars in Pediatric
Surgery;2013;22:195-198.

Anda mungkin juga menyukai