Anda di halaman 1dari 22

BAGIAN ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
REFERAT
MARET 2019

“TRAUMA LIEN”

OLEH:
Nama : Yulviana
Stambuk : N 111 17 094

Pembimbing:
dr. Arief Husain, Sp.B

BAGIAN ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT ANUTAPURA PALU
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2019

1
BAB I
PENDAHULUAN

Trauma abdomen merupakan salah satu dampak terbesar dari kecelakaan


lalu lintas yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Ruptur lien terjadi pada
40- 55% dari semua trauma tumpul abdomen. Ruptur lien terjadi akibat adanya
deselerasi cepat, kompresi, transmisi energi melalui dinding dada posterolateral
lalu menuju lien, atau bisa juga akibat fraktur iga sekitar yang menusuk ke dalam
sehingga mengenai lien. Lien memiliki fungsi yang sangat penting bagi tubuh
yang bekerja sebagai reservoar cadangan darah, penghasil respon imun spesifik,
fagositosis zat-zat asing yang ada di dalam sirkulasi dan penghancuran eritrosit
tua.(Hasbi et al, 2014)

Ruptur pada trauma tumpul abdomen adalah terjadinya robekan atau


pecahnya lien yang merupakan organ lunak yang dapat bergerak, yang terjadi
karena trauma tumpul, secara langsung atau tidak langsung. Trauma tumpul
secara langsung maupun tidak langsung tadi, menyebabkan laserasi kapsul linealis
dan avulsi pedikel lien sebagian atau seluruhnya. (Mochamad, 2018)

Trauma Tajam pada ruptur limpa dapat terjadi akibat luka tembak, tusukan
pisau atau benda tajam lainnya. Pada luka jenis ini, biasanya organ lain ikut
terluka, bergantung pada arah trauma. Organ yang sering turut tercederai ialah
paru, lambung, dan yang lebih jarang adalah pancreas, ginjal kiri, dan pembuluh
darah mesenterium. (Sjamsuhidajat, 2013)

Dengan majunya teknik bedah, maka pandangan bahwa setiap ruptur lien
harus dibuang telah diubah. Pandangan sekarang bahwa sedapat mungkin lien
harus dipertahankan, kecuali bila hal tersebut tidak mungkin dilakukan atau
dengan kata lain rupture terjadi pada grade V. (Mochamad, 2018)
Pada trauma lien yang perlu diperhatikan adalah adanya tanda-tanda
perdarahan yang memperlihatkan keadaan hipotensi, syok hipovolemik, dan nyeri
abdomen pada kuadran atas kiri dan nyeri pada bahu kiri karena iritasi diafragma.
(Mochamad, 2018)

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi Lien (Limpa)


limpa berasal dari diferensiasi jaringan mesenkimal mesogastrium dorsale.
Berat limpa rata-rata berkisar antara 75-100 gram ; biasanya ukuan limpa
sedikit mengecil dengan bertambahnya usia dan tidak disertai dengan adanya
patologi. (Sjamsuhidajat, 2013)
Organ ini terletak di kuadran kiri atas dorsal abdomen, menempel pada
permukaan bawah diagfragma, terlindung oleh lengkungan iga.
(Sjamsuhidajat, 2013)
Limpa terdapat pada lipatan peritonium yang di perkuat oleh beberapa
ligamen suspensoria, Ligamen gastrosplenik yang berisi semua vena gastrika
brevis, dan ligamen yang lain yang tak berpembuluh, kecuali pada hipertensi
portal akan sangat banyak mengandung vena kolateral. (Sjamsuhidajat, 2013)
Limpa menerima suplai darahnya terutama pada bagian tengahnya yang di
sebut hilum, yang di batasi oleh kurvatura mayor gastrika dan kauda
pancreas. Pancreas sering berhubungan cukup dekat dengan limpa dan bias
cedera selama splenektomi. Tepi superior limpa terletak diatas diagfragma
tepi posterior berhubungan dengan ginjal kiri dan permukaan inferior diatas
kolon. (Sabiston,2010)
Dalam perkembangan embriologi, pembengkakan mesodermis muncul
dibawah permukaan epitel mesogastrium dorsalis. Dengan bertambahnya usia
perkembangan berlanjut, maka mesogastrium dorsalis melipat kekiri. Kecuali
pada bagian lateralnya, dimana mesogastrium berasal dari ginjal kiri dibagian
ligamentum splenorenalis yang terletak paling dorsal yang mengandung arteri
dan vena splenika, yang melekat kedinding abdomen posterior kiri sebagai
struktur retroperitonium. Ada 2 ligamentum besar lainnyan seperti
splenofrenikus kediagfragma posterior dan splenokolika ke fleksura koli
sinistra. (Sabiston,2010)

3
Darah arteri dipasok melalui arteri lienalis. Darah balik melalui vena
lienalis yang bergabung dengan vena mesenterika superior mmbentuk vena
porta. (Sjamsuhidajat, 2013)

Gambar 1. Anatomi Lien (F Paulsen et al, 2013)

4
Gambar 2. Anatomi Lien (F Paulsen et al, 2013)

Anatomi Mikroskopis
Limpa terdiri dari 4 komponen berikut :
1. Jaringan pendukung
2. Pulpa putih
3. Pulpa merah
Sistem pembuluh darah
Jaringan pendukung bersifat fibroelastik dan membentuk kapsul, trabekula
kasar, dan retikulum halus.

5
Pulpa putih terdiri dari nodul limfatik, yang tersusun di sekitar arteriol
eksentrik yang disebut sel Malpighian.
Pulpa merah dibentuk oleh kumpulan sel di celah retikulum, di antara
sinusoid. Populasi sel mencakup semua jenis limfosit, sel darah, dan
makrofag. Limfosit secara bebas diubah menjadi sel plasma, yang dapat
menghasilkan sejumlah besar antibodi dan imunoglobulin sistem vaskular
yang melintasi limpa. (Aswin Pai et al, 2014)

Gambar 3. Makroskopis Anatomi lien (Aswin Pai et al, 2014)

2. Fisiologi Lien
Struktur limpa merupakan organ yang berwarna ungu dengan tekstur yang
lunak dan berukuran kurang lebih satu kepalan tangan. Limpa terletak pada pojok
atas kiri abdomen dibawah costae. Limpa memiliki permukaan luar yang konveks
yang berhadapan dengan diagfragma dan permukaan medial yang konkraf yang
berhadapan dengan lambung, Fleksura lienalis, kolon, dan ginjal kiri. (wiwik,
2008)
Limpa terdiri atas jaringan fibroelastin, folikel limpa (masa jaringan limpa),
dan pulpa merah (jaringan ikat, sel eritrosit, sel leukosit). Suplai darah beredar
dari arteri lienalis yang keluar dari arteri colica. (wiwik, 2008)

6
Limpa adalah organ yang memiliki vaskularisasi yang cukup banyak, dan
cedera pada organ ini menyebabkan kehilangan darah yang signifikan baik dari
parenkim , arteri dan vena pada limpa. Limpa adalah organ limfopoietik yang
penting. (Muhammad Waseem et al, 2018)

Pada janin usia 5-8 bulan, limpa berfungsi sebagai tempat pembentukan sel
darah merah dan sel darah putih. Fungsi ini tidak berlanjut dan hilang sama sekali
pada usia dewasa. Selain itu, limpa berfungsi menyaring darah, artinya sel yang
tidak normal, di antaranya eritrosit, leukosit, dan trombosit tua, ditahan dan
dirusak oleh sistem retikuloendotelium. (Sjamsuhidajat, 2013).

Limpa memiliki fungsi-fungsi berikut:


a. Fungsi hematologi
- Pematangan sel darah merah
- Ekstraksi sel abnormal melalui fagositosis
- Membuang bakteri opsonized, atau sel berlapis antibodi dari darah.
b. Fungsi imunologis
ukuran limpa normal hingga 250 gram dan panjang hingga 13 cm. Ini
melibatkan usia dan biasanya tidak teraba pada orang dewasa. Limpa pada
orang dewasa, kurang lentur dibandingkan pada anak-anak. (Muhammad
Waseem et al, 2018)
Maka berdasarkan fisiologis dari limpa, maka limpa diedari darah sampai 350
liter sehari sehingga limpa merupakan alat yang paling kaya akan pembuluh
darah. (Sjamsuhidajat, 2013)

3. Epidemiologi
Untuk sementara cedera kepala merupakan cedera nomor 1 yang
mengakibatkan kematian akibat trauma pada anak, cedera intra-abdominal dan
retroperitoneal merupakan cedera yang masih signifikan. Ketidakpastian
diagnostik dan keterlambatan dalam diagnosis dapat menyebabkan komplikasi
jangka panjang dan dampak negatif kualitas hidup. Cedera pada organ intra

7
abdominal terjadi pada 10-15% anak. Limpa adalah organ yang paling sering
terluka. (George, 2014)
Modalitas yang paling umum dari trauma tumpul adalah tabrakan
kendaraan bermotor, jatuh dari ketinggian, serangan, dan cedera saat olahraga.
Limpa adalah organ kedua yang paling sering cedera setelah trauma tumpul perut
(BAT) setelah hati. Hingga 45% pasien dengan BAT akan mengalami cedera
limpa. Karena itu, cedera limpa dapat mempengaruhi kelompok umur apapun
(Abdullah, 2017)
Blunt abdominal trauma (BAT), merupakan trauma ketiga yang paling
umum di seluruh dunia. Kecelakaan lalu lintas, jatuh, pemukulan masih tetap
menjadi penyebab paling umum dari BAT. Pada anak-anak, BAT biasa berupa
trauma ya ng diakibatkan aktivitas yang terjadi pada saat bersepeda, sepatu roda,
berkuda, dll. (Parikshit,2017)
Sebuah laporan dari Center for Disease Control di Amerika Serikat
kematian dengan kekerasan yang terjadi di 16 negara bagian selama tahun 2006.
Didapatkan Kekerasan tajam sebanyak 1,7%, senjata api (51,3%), gantung /
tercekik / mati lemas (hanging/strangulation/suffocation) 22,1%, dan keracunan
(18,4%). Kekerasan tajam menyumbang 12,1% pada trauma abdomen dapat
menyebabkan kematian karena perdarahan dari organ-organ dalam, dimana organ
limpa dan mesenterium dari semua pembunuhan dibandingkan dengan 65,8%
untuk senjata api dan 4,6% untuk kekerasan tumpul. (Dwi, 2017)

4. Definisi Trauma Lien


Ruptur pada trauma tumpul abdomen adalah terjadinya robekan atau
pecahnya lien yang merupakan organ lunak yang dapat bergerak, yang terjadi
karena trauma tumpul, secara langsung atau tidak langsung. Penyebab utamanya
adalah cedera langsung atau tidak langsung yang menyebabkan laserasi kapsul
linealis dan avulsi pedikel lien sebagian atau menyeluruh. (Mochamad, 2018)

Trauma tumpul abdomen merupakan salah satu dampak terbesar dari


terjadinya ruptur lien. Perdarahan yang terjadi pada lien harus secepatnya

8
ditangani, karena akan berdampak pada homeostasis tubuh. Penentuan skala pada
ruptur lien sangat diperlukan, karena tidak semua ruptur lien perlu dilakukan
tindakan pembedahan. (Hasbi, 2014)

Trauma tajam abdomen adalah suatu ruda paksa yang mengakibatkan luka
pada permukaan tubuh dengan penetrasi ke dalam rongga peritoneum yang
disebabkan oleh tusukan benda tajam. Trauma akibat benda tajam dikenal dalam
tiga bentuk luka yaitu: luka iris atau luka sayat (vulnus scissum), luka tusuk
(vulnus punctum) atau luka bacok (vulnus caesum). (Hasbi, 2014)

Ruptur limpa adalah pecahnya limpa dapat terjadi akibat rudapaksa tajam
atau tumpul. (Sjamsuhidajat, 2013)

Jika splen (lien) pecah (ruptur), terjadi perdarahan yang hebat karena sampai
(kapsul) splen (lien) yang bersifat tipis, sedangkan jaringan parenkim splen (lien)
pun lunak, menyerupai ubur. Ruptur splen (lien) menimbulkan perdarahan
intraabdominal yang hebat, dan syok. (Keith, 2013)

5. Etiologi
Dampak yang paling signifikan terhadap terjadinya trauma limpa adalah
trauma yang diakibatkan karna trauma tumpul yang kebanyakan diakibatkan
karena kecelakuaan lalulintas, selain itu dapat juga diakibatkan karena adanya
trauma tajam seperti luka tusuk dan luka tembak. (Philbert Y V, 2018)
Ruptur lien dapat disebabkan karena trauma tajam, akibat tusukan pisau
atau benda tajam lainnya. Pada luka jenis ini biasanya organ lain ikut terluka,
bergantung pada arah trauma. Organ yang sering turut tercederai ialah paru,
lambung, dan yang paling lebih jarang adalah pankreas, ginjal kiri, dan pembuluh
darah mesenterium. (Hasbi, 2014)

6. Diagnosis
Robekan atau kerusakan lien akibat trauma abdomen dapat bervariasi yaitu
robekan transversal melalui hilus, robekan longitudinal dengan hematom
subcapsular sampai terputusnya arteri dan vena lienalis. (Mochamad, 2018)

9
Luka tusuk maupun luka tembak akan mengakibatkan kerusakan jaringan
karena laserasi ataupun terpotong. Luka tembak dengan kecepatan tinggi akan
menyebabkan transfer energi kinetik yang lebih besar terhadap organ viscera,
dengan adanya efek tambahan berupa temporary cavitation, dan bisa pecah
menjadi fragmen yang mengakibatkan kerusakan lainnya. Kerusakan dapat berupa
perdarahan bila mengenai pembuluh darah atau organ yang padat. Bila mengenai
organ yang berongga, isinya akan keluar ke dalam rongga perut dan menimbulkan
iritasi pada peritoneum. (Hasbi, 2014)

Trauma dapat terjadi baik karena trauma tumpul maupun trauma tembus.
Derajat trauma lien :
- I : laserasi non-perdarahan < 1 cm atau hematom subkapsuler < 10%
dari luas permukaan lien.
- II : Laserasi 1-3 cm, hematom subkapsuler 10-50% dari luas
permukaan lien, atau perdarahan intraparenkim dengan luas diameter <
10 cm.
- III : Laserasi > 3 cm, hematom subkaspsuler > 50% dari luas
permukaan lien, ruptur hematome subkapsuler, atau perdarahan
intaparenkim > 10 cm.
- IV : Laserasi yang mengenai pembuluh darah segmental atau turpur
hematom intraparenkim
- V : Lien yang remuk total atau trauma hilus dengan devaskularisasi
lien. (Jeffrey et al, 2012)

10
Gambar 4. Grade menurut AAST (American Association for the Surgery of
Trauma)

Diagnosis dapat dtegakan berdasarkan:


A. Anamnesis
Didapatkan adanya trauma. Trauma tersebut dapat berupa trauma berat
atau ringan. Langsung atau tidak langsung akibat kecelakaan atau jatuh
dari ketinggian. Trauma tadi dapat menimbulkan jejas atau tidak terdapat
jejas pada dinding perut. Jejas tersebut dapat juga selain pada perut bagian
kiri atas (contre coupe). (Mochamad, 2018)
B. Pemeriksaan Fisik
1. Tanda fisik yang ditemukan pada ruptur lien tergantung adanya organ-
organ lain yang ikut cedera, banyak sedikitnya perdarahan dan adanya
kontaminasi rongga peritoneum. Ditemukan masa di kiri atas. Terdapat
darah bebas dalam rongga perut secara klinis hal ini penting dan dapat
diketahui dengan cara:

11
a) Tensi yang menurun, nadi yang meningkat, dengan ada atau
tidaknya tanda-tanda syok dan anemia akibat perdarahan yang
hebat.
b) Pekak pada sisi yang terjadi trauma dengan shifting dullness pada
rongga perut akibat adanya hematom subcapsular atau omentum
yang membungkus suatu hematom subcapsuler yang disebut
Ballance sign.
c) Darah bebas yang memberi rangsangan pada peritoneum sehingga
gejalanya tegang otot perut dan rasa nyeri mencolok. Pada ruptur
yang lambat, biasanya penderita datang dalam keadaan syok, tanda
perdarahan intra abdomen, atau dengan gambaran seperti ada
tumor intra abdomen. Pada bagian kiri atas yang nyeri tekan
disertai tanda anemia. (Mochamad, 2018)
2. Pada pemeriksaan lokal yaitu didapatkan nyeri perut bagian atas tetapi
pada sepertiga kasus mengeluh nyeri perut kuadran kiri atasatau punggung
kiri. Bila darah tertumpuk pada perut kiri atas pada daerah lien akan
memberikan rasa nyeri pada bahu kiri (Kehr’s sign) dijumpai ± 50%.
Semua penderita ruptur lien dan nyeri bahu kiri baru timbul pada posisi
trendelenberg. Penumpukan darah yang ada pada rongga peritoneum dapat
diketahui dengan menggunakan pita ukur untuk mengukur lingkar perut
yang bertambah setiap jamnya. (Mochamad, 2018)
3. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah rutin, yaitu kadar Hemoglobin dan Hematokrit,
akan terjadi penurunan karena adanya perdarahan yang hebat dan
disertai peningkatan leukosit. Hemoglobin diperiksa berulang kali
secara serial untuk mengetahui penurunan yang bertahap. (Mochamad,
2018)
2. Untuk membantu menentukan adanya darah bebas didalam rongga
peritoneum yang meragukan bagi pemeriksa dapat dilakukan:
a) Peritoneum lavage adalah tindakan melakukan bilasan rongga per
ut dengan memasukkan ± 1 liter cairan air garam fisiologis (NaCl

12
0,9%) yang steril melalui kanul dimasukkan kedalam rongga
peritoneum, setelah 10-15 menit cairan tadi dikeluarkan lagi, bila
cairan yang keluar berwarna merah, maka kesimpulannya adalah
ada darah dalam rongga perut. Menurunnya hematokrit disertai
dengan perasaan nyeri yang tetap pada perut kiri atas, ada kalanya
memerlukan peritoneal lavage yang kedua meskipun peritoneal
lavage yang pertama memberi hasil yang negatif.
b) Pemeriksaan foto abdomen, yaitu foto polos abdomen 3 posisi,
yang perlu diperhatikan adalah adanya gambaran patah tulang iga
sebelah kiri, peninggian diafragma kiri, bayangan lien yang
membesar, dan udara bebas intra atau retroperitoneal. Pada foto
polos abdomen memperlihatkan terdorongnya lambung atau kolon
transversa, dan peningkata suatu bayangan opak di hipokondrium
atas kiri, obliterasi pada ginjal kiri, bayangan psoas kiri dan
hemidiafragma kiri naik.
c) Pemeriksaan angiografi, khususnya pada penderita yang gawat
dimana dapat diketahui dengan pasti adanya kerusakankerusakan
pada lien baik kerusakan berat maupun ringan.
d) Pemeriksaan CT scan dengan cara sekarang yang sangat populer
ini dapat kita menentukan diagnosis pasti dari ruptur lien. Selain
untuk mendiagnosis, scanning dapat dipakai untuk mengevaluasi
berat ringannya kerusakan, untuk pengamatan lebih lanjut, dan
untuk melihat penyembuhan dan kerusakan pada lien. Hal ini
sangat berguna bila kita mengobati penderita ruptur lien secara
konservatif. Dengan scanning dapat dilihat bahwa 2 sampai 5
bulan setelah trauma pada lien, gambaran lien dapat sudah normal
kembali apabila dibandingkan dengan angiografi, scanning
mempunyai ketelitian yang sama dengan morbiditas yang lebih
rendah. (Mochamad, 2018)
CT scan adalah modalitas diagnostik pilihan untuk mendeteksi
cedera organ padat. CT scan dapat menunjukkan gangguan pada

13
parenkim lien normal, hematoma di sekitarnya, dan darah intra-
abdominal yang bebas. CT scan juga berguna dalam
mengidentifikasi cedera vaskular organ padat. (Muhammad
Waseem et al, 2018)
Penting untuk diingat bahwa perdarahan intraperitoneal tidak selalu ada,
terutama ketika kapsul limpa tetap utuh. Hingga 25% dari cedera limpa tidak
menunjukkan perdarahan intraperitoneal. (Muhammad Waseem et al, 2018)

7. Pentalaksanaan
cedera limpa merupakan cedera paling umum yang terjadi pada trauma
tumpul abdomen. Sebanyak 31-50% dari kasus cedera limpa yang dilaporkan
operasi tetap menjadi standar emas untuk merawat pasien dengan cedera limpa
dengan ketidakstabilan hemodinamik. Namun pada saat ini cedera limpa dengan
hemodinamik yang stabil dilakukan penanganan Non-Operatif Management
(NOM). (Jose, 2019)
Hampir 90-95% cedera pada hati dan limpa dengan grade I dan II pada
anak-anak dapat dikelola secara non operatif dan ini jarangn dilakukan transfusi
darah. Non-Operatif Management dilakukan berdasarkan diagnosis yang
didapatkan melalui Anamnesis, Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
dengan menggunakan Ct-Scan dalam hal ini. Cedera limpa dapat dinilai
perdarahannya beradasarkan skala atau grade menurut American Association for
thr Surgary of Trauma (AAST). Dimana pada grade I disebutkan laserasi yang
berukuran < 1cm dan pada grade V berupa gangguan vascular atau hemodinamik
sampai menyebabkan cedera parenkim. NOM dilakukan apabila hemodinamik
normal atau stabil dan tidak ada tanda-tanda perdarahan yang aktif pada daerah
yang mengalami trauma. Sebagian besar anak-anak yang mengalami cedera limpa
gagal dalam penanganan NOM karena diakibatkan adanya peritonitis
(George,2014)

14
Gambar 5. Algortima penanganan trauma limpa pada orang
Dewasa (Federico C, 2017)

Pada pasein dewasa menurut algoritma di atas, pasien yang mengalami


trauma limpa, kita nilai terlebih dahulu hemodinamiknya stabil atau tidak. Dimana
hemodinamik stabil itu seperti pernapasan leih dari 20x/menit, tekanan sistol >90
mmHg, kesadaran baik. Apabila hemodinamik stabil melakukan pemeriksaan
radiologi Ct-Scan dan eksplorasi local pada daerah luka. Setalah dilakukan ct-scan
kita nilai lesi luka dengan menggunakan derajat ringan sedang dan berat dan
menurut grade dari AAST (American Association for the Surgery of Trauma).
Apabila lesi luka derajat ringan-sedang dengan grade 1-3 , namun pada World
Society of Emergency Surgery (WSES) masuk katogori 1-2 itu kita lakukan NOM
(Non-Operative Management) sambil memperhatikan adanya tanda-tanda
perdarahan yang aktif. Namun pada luka atau lesi grade 4-5 menurut AAST dan
derajat 3 menurut WSES di lakukan pemeriksaan Angigrafi dan lihat tanda-tanda
perdrahan. Apabila ada tanda-tanda perdarahan, kita nilai lagi apakah aktif untuk
dilakukannya terapi angioembolisasi. Dimana Angioembolisasi merupakan terapi
yang dilakukan untuk menghentikan perdarahan. Kalo tidak aktif perdarahannya

15
kita bias menunda terapi Angioembolisasi. Dan apabila terapi Angioembolisasi ini
tidak efektif langsung kita lakukan splenektomi. Pada pasien yang dapa dilakukan
Angiembolisasi kita lakukan pemeriksaan Radiologi evaluasi dan pemeriksaan
laboratorium ulang. Setelah itu kita nilai hemodinamik pasien, stabilisasinya, dan
apa perlu melakukan tindakan laparotomy. Apabila hemodinamiknya bagus kita
lanjutkan dengan melakukan Non-Operative Managemen.
Pada hemodinamik yang tidak stabil kita dapat berpikir terjadi adanya FAST
atau adanya perdarahan pada intra abdomen. Pada kasus hemodinamik yang tidak
stabil luka atau lesi berada pada derajat 1-5 menurut AAST dan menurut WSES
derajat 4 kita langsung melakukan tindakan splenektomi. (Federico C, 2017)

Gambar 6. Algortima penanganan trauma limpa pada anak-


Anak (Federico C, 2017)

Pada kasus trauma lien pada anak hamper sama dengan management
pada orang dewasa tetapi pada trauma limpa pada anak. Lesi terbagi atas tiga
derajat ringan,sedang dan berat. Pada stadium ringan dn sedang kita langsung
lakukan Non-Operatif Management dan memperhatikan tanda-tanda aktif
perdarahan. Apabila perdarahan tidak aktif kita lakukan pemeriksaan evaluasi
radiologi, pemeriksaan laboratorium dan mempertimbangkan terapi

16
angioembolisasi. Pada perdarahan aktif kita lakukan pemeriksaan Ct-Scan untuk
melihat apakah ada perdarahan pada orga tersebut dan merencanakan di lakukan
terapi Angioembolisasi, apabila angiembolisasi tidak di perlukan lagi maka
langsung di lakukan tindakan laparatomi/ splenektomi total. (Federico C, 2017)
Kriteria untuk manajemen nonoperatif pada cedera tumpul limpa:
1. Stabilitas hemodinamik
2. Klasifikasi cedera berdasarakan pemeriksaan Computed Tomography
3. Tidak adanya cedera tambahan yang membutuhkan intervensi operasi
4. Transfusi sel darah merah kurang dari 2 unit (Hadley K. H, 2014)

Adapun Tindakan Operative yang dapat dilakukan pada pasien berupa :


a) Splenorafi
Splenorafi adalah operasi yang bertujuan mempertahankan limpa
yang fungsional dengan tehnik bedah. Tindakan ini dapat dilakukan pada
trauma tumpul maupun tajam. Tindak bedah ini terdiri atas membuang
jaringan nonvital, mengikat pembuluh darah yang terbuka, dan menjahit
kapsul limpa yang terluka.
Splenorafi dilakukan pada trauma lien dengan hemodinamik yang
stabil, adanya cedera intraabdomen lain dan sesuai dengan skala trauma
lien. Pada skala III dan IV memerlukan mobilisasi untuk melihat hilus.
Jika pejahitan laserasi saja kurang memadai, dapat di tambahkan dengan
pemasangan kantong khusus dengan atau tanpa penjahitan omentum.
Prosedur pada splenorafi yaitu :
- Lien dimobilisasi sepenuhnya dari semua perlekatannya sehingga
dapat di inspeksi secara cermat. Jika perdarahan banyak,
dianjurkan mengendalikan arteri lienalis segera dengan
menggunakan loop pembuluh darah.
- Setelah lien dimobilisasi, lien biasanya diperiksa dengan melepas
bekuan darah di daerah yang cedera sehingga tempat-tempat
perdarahan di dalam laserasi lien dapat diidentifikasi.

17
- Setelah keseluruhan cedera dinilai, ligasi selektif pembuluh darah
hilum segmental yang tepat dapat dilakukan. Pada tahap ini dapat
diambil keputusan tentang apakah melakukan splenektomi parsial
diperlukan atau apakah splenorafi dapat dilakukan dengan jahitan
penutup parenkim dan kapsula lien.
b) Splenektomi parsial
Bila keadaan dan ruptur lien tidak total sedapat mungkin lien
dipertahankan, maka dikerjakan splenektomi parsial dianggap lebih
menguntungkan daripada splenektomi total. Caranya ialah eksisi satu
segmen dilakukan jika ruptur lien tidak mengenai hilus dan bagian
yang tidak cedera masih vital.
c) Splenektomi total
Splenoktomi total dilakukan jika terdapat kerusakan parenkim lien
yang luas, avulsi lien, kerusakan pembuluh darah hilum, dan kegagalan
splenorrhapi. Tindakan splenektomi total tidak perlu diragukan,
meskipun ada kemungkinan terjadinya overwhelming post splenectomy
infection sindrome (OPSI). Insiden untuk terjadi OPSI lebih berarti
bila dibandingkan dengan bahaya maut karena perdarahan yang hebat.
Lebih dari 50% dari semua ruptur lien memerlukan splenektomi total
untuk mengurangi OPSI dikemudian hari ada pendapat-pendapat yang
menganjurkan:
- Autotranplantasi/reimplantasi jaringan lien, yaitu jaringan lien yang
telah robek di implantasikan kedalam otot-otot pada dinding perut atau
di pinggang di belakang peritoneum.
- Polyvaleat pneumococcal vaccine atau pneumovaks dapat dipakai
untuk mencegah terjadinya OPSI.
- Prophylaksis dengan antibiotika. Pemberian antibiotika (denicilline,
erythomycin, dan trimethroprim-sulfomethoxazole) setiap bulan
dianjurkan, terutama kali ada infeksi yang menyebabkan demam diatas
38,5°C.

18
- Anjuran praktis adalah agar setiap penderita post splenektomi
dianjurkan supaya segera memeriksakan ke dokter setiap kali
menderita panas. Penderita tersebut supaya langsung diberi pengobatan
antibiotika dan dievaluasi lebih lanjut, untuk mendapat perawatan
medis yang sempurna.
Pada pasien dengan keadaan hemodinamik tidak stabil,
splenektomi tetap merupakan terapi pilihan. Jika ruptur lien sangat serius
(skala V) pemelihan pembedahan splenektomi sangat dianjurkan.
(Mochamad,2018)

8. Diagnosis Banding
a. Trauma hati
b. Trauma pankreas
c. Trauma organ berongga
d. Fraktur kosta
e. Trauma Intratoraks
f. Ruptur lien yang tertunda
g. Kemungkinan perdarahan kembali (Jeffrey et al, 2012)
h. Kematian (Muhammad Waseem et al, 2018)

9. Prognosis / Komplikasi
a. Semua pasien dengan trauma lien sebaiknya dirawat di rumah sakit
(pasien dengan trauma grade I mungkin tampak stabil).
b. Trauma lien yang tidak memberikan hasil dengan penatalaksanaan non-
bedah mempunyai angka kejadian yang lebih besar dibanding dengan
trauma hati.
c. Bahkan trauma derajat I sederhana mungkin perlu menjalani embolisasi
sebagai akibat perdarahan yang menetap.
d. Tidak terdiagnosisnya perdarahan lien mengakibatkan ruptur lien yang
terlambat beberapa hari sampai beberapa minggu pasca – trauma. (Jeffrey
et al, 2012)

19
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Tariq, Huda et al. 2017. The Incidence of Splenic Injury Following
Blunt Abdominal Trauma (BAT), Sultan Qaboos University Hospital
Experience. College of Medicine & Health Sciences, Sultan Qaboos
University, Muscat, Sultanate of Oman 8(-): 312-318.[cited 2019 Maret 19]
Availablehttps://www.researchgate.net/publication/318596060_The_Inciden
ce_of_Splenic_Injury_Following_Blunt_Abdominal_Trauma_BAT_Sultan_
Qaboos_University_Hospital_Experience

Ashwin Pai, MBBS, MS (GenSurg). 2014. Spleen Anatomy. MRCS Honorary


Assistant Medical Officer, Department of Surgery, Kasturba Medical
College, India [cited 2019 Feb 14] Available
https://emedicine.medscape.com/article/1948863-overview#a3

Dwi Fitrianti Arieza Putri, Soekry Erfan Kusuma. 2017. Kekerasan Tajam Pada
Abdomen Yang Mengakibatkan Kematian. The Indonesian Association of
Forensic Medicine, Pekanbaru [cited 2019 March 20] Avaible
http://fk.unri.ac.id/wp-content/uploads/2017/08/20.-DWI-FITRIANI-
ARIEZA-PUTRI-SOEKRY.pdf

Federico C, Giulia M, Fausto Ca, et al. 2017. Splenic trauma: WSES


classification and guidelines for adult and pediatric patients. World Journal
of Emergency Surgery. 12(40): 2-26. [cited 2019 Feb 14] Available
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/28828034

Goerge W, Ptrick J, Daniel J. Ashcraft’s Pediatric Surgery Edition 6. In USA :


Elsevier Saunders

20
Hasbi A, Ani M, Abdul M. 2014. Hubungan antara skala ruptur lien pada
trauma tumpul abdomen yang memerlukan pembedahan dan yang tidak
memerlukan pembedahan di rsup dr kariadi semarang. Jurnal media medika
muda program pendidikan sarjana kedokteran fakultas kedokteran
Universitas Diponegoro. -(-):-. [cited 2019 Feb 14] Available
https://media.neliti.com/media/publications/108865-ID-none.pdf

Jeffrey M.C, Scott K. 2012. Master Plan Kedaduratan Medik. Tangerang Selatan
: BINA PURA AKSARA.

John L C, Andrew M C. 2014. Surgical Therapy Edition 11. In USA : Elsevier


Saunders

Jose M, Cristina S, Peter F et al. 2019. Endovascular Interventions. Garingtong


Road Oxford Library of Congress Cataloging In Publishing Data.

Keith L.M, Anne M.R. 2013. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta : HIPOKRATES.

Mochamad A.S. 2018. Kasus serial ruptur lien akibat trauma abdomen:
bagaimana pendekatan diagnosis dan penatalaksanaannya. Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang. 14(1): 16-24. [cited 2019
Feb 14] Available
from:http://ejournal.umm.ac.id/index.php/article/view/2377

Muhammad W, Scott B. 2018. Splenic Injury. Treasure Island (FL): StatPearls


Publishing; -(-): -. [cited 2019 Feb 14] Available
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441993/#article-29381.s2

21
Parkshit M, Dhruv S, Sanjiv G et al. 2017. Clinico Epidemiological Study Of
Blunt Abdominal Trauma in Tertiary Care Hospital In North Western
Himalayas. Departement Of Surgery. 4(3): 874-882. [cited 2019 Maret 19]
Available https://www.ijsurgery.com/index.php/isj/article/view/947

Paulsen, F. & Waschke, J. 2013. Sobotta Atlas Anatomi Manusia Organ-Organ


Manusia. Edisi 23. Jakarta: EGC.

Philbert Y. V. 2018. Splenic Injury. Department of Surgery, Oregon Health and


Science University [cited 2019 Feb 14] Available
https://www.msdmanuals.com/professional/injuries-poisoning/abdominal-
trauma/splenic-injury

Sabiston. 2010. Buku Ajar Bedah Bagian 2. Jakarta : EGC.

Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Theddeus O.H et al. 2013. Buku Ajar Ilmu


Bedah. Edisi 3. Jakarta : EGC.

Wiwik H, Andi S H. 2010. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan
Gangguan Sistem Hematologi. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.

22

Anda mungkin juga menyukai