FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
REFERAT
MARET 2019
“TRAUMA LIEN”
OLEH:
Nama : Yulviana
Stambuk : N 111 17 094
Pembimbing:
dr. Arief Husain, Sp.B
1
BAB I
PENDAHULUAN
Trauma Tajam pada ruptur limpa dapat terjadi akibat luka tembak, tusukan
pisau atau benda tajam lainnya. Pada luka jenis ini, biasanya organ lain ikut
terluka, bergantung pada arah trauma. Organ yang sering turut tercederai ialah
paru, lambung, dan yang lebih jarang adalah pancreas, ginjal kiri, dan pembuluh
darah mesenterium. (Sjamsuhidajat, 2013)
Dengan majunya teknik bedah, maka pandangan bahwa setiap ruptur lien
harus dibuang telah diubah. Pandangan sekarang bahwa sedapat mungkin lien
harus dipertahankan, kecuali bila hal tersebut tidak mungkin dilakukan atau
dengan kata lain rupture terjadi pada grade V. (Mochamad, 2018)
Pada trauma lien yang perlu diperhatikan adalah adanya tanda-tanda
perdarahan yang memperlihatkan keadaan hipotensi, syok hipovolemik, dan nyeri
abdomen pada kuadran atas kiri dan nyeri pada bahu kiri karena iritasi diafragma.
(Mochamad, 2018)
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Darah arteri dipasok melalui arteri lienalis. Darah balik melalui vena
lienalis yang bergabung dengan vena mesenterika superior mmbentuk vena
porta. (Sjamsuhidajat, 2013)
4
Gambar 2. Anatomi Lien (F Paulsen et al, 2013)
Anatomi Mikroskopis
Limpa terdiri dari 4 komponen berikut :
1. Jaringan pendukung
2. Pulpa putih
3. Pulpa merah
Sistem pembuluh darah
Jaringan pendukung bersifat fibroelastik dan membentuk kapsul, trabekula
kasar, dan retikulum halus.
5
Pulpa putih terdiri dari nodul limfatik, yang tersusun di sekitar arteriol
eksentrik yang disebut sel Malpighian.
Pulpa merah dibentuk oleh kumpulan sel di celah retikulum, di antara
sinusoid. Populasi sel mencakup semua jenis limfosit, sel darah, dan
makrofag. Limfosit secara bebas diubah menjadi sel plasma, yang dapat
menghasilkan sejumlah besar antibodi dan imunoglobulin sistem vaskular
yang melintasi limpa. (Aswin Pai et al, 2014)
2. Fisiologi Lien
Struktur limpa merupakan organ yang berwarna ungu dengan tekstur yang
lunak dan berukuran kurang lebih satu kepalan tangan. Limpa terletak pada pojok
atas kiri abdomen dibawah costae. Limpa memiliki permukaan luar yang konveks
yang berhadapan dengan diagfragma dan permukaan medial yang konkraf yang
berhadapan dengan lambung, Fleksura lienalis, kolon, dan ginjal kiri. (wiwik,
2008)
Limpa terdiri atas jaringan fibroelastin, folikel limpa (masa jaringan limpa),
dan pulpa merah (jaringan ikat, sel eritrosit, sel leukosit). Suplai darah beredar
dari arteri lienalis yang keluar dari arteri colica. (wiwik, 2008)
6
Limpa adalah organ yang memiliki vaskularisasi yang cukup banyak, dan
cedera pada organ ini menyebabkan kehilangan darah yang signifikan baik dari
parenkim , arteri dan vena pada limpa. Limpa adalah organ limfopoietik yang
penting. (Muhammad Waseem et al, 2018)
Pada janin usia 5-8 bulan, limpa berfungsi sebagai tempat pembentukan sel
darah merah dan sel darah putih. Fungsi ini tidak berlanjut dan hilang sama sekali
pada usia dewasa. Selain itu, limpa berfungsi menyaring darah, artinya sel yang
tidak normal, di antaranya eritrosit, leukosit, dan trombosit tua, ditahan dan
dirusak oleh sistem retikuloendotelium. (Sjamsuhidajat, 2013).
3. Epidemiologi
Untuk sementara cedera kepala merupakan cedera nomor 1 yang
mengakibatkan kematian akibat trauma pada anak, cedera intra-abdominal dan
retroperitoneal merupakan cedera yang masih signifikan. Ketidakpastian
diagnostik dan keterlambatan dalam diagnosis dapat menyebabkan komplikasi
jangka panjang dan dampak negatif kualitas hidup. Cedera pada organ intra
7
abdominal terjadi pada 10-15% anak. Limpa adalah organ yang paling sering
terluka. (George, 2014)
Modalitas yang paling umum dari trauma tumpul adalah tabrakan
kendaraan bermotor, jatuh dari ketinggian, serangan, dan cedera saat olahraga.
Limpa adalah organ kedua yang paling sering cedera setelah trauma tumpul perut
(BAT) setelah hati. Hingga 45% pasien dengan BAT akan mengalami cedera
limpa. Karena itu, cedera limpa dapat mempengaruhi kelompok umur apapun
(Abdullah, 2017)
Blunt abdominal trauma (BAT), merupakan trauma ketiga yang paling
umum di seluruh dunia. Kecelakaan lalu lintas, jatuh, pemukulan masih tetap
menjadi penyebab paling umum dari BAT. Pada anak-anak, BAT biasa berupa
trauma ya ng diakibatkan aktivitas yang terjadi pada saat bersepeda, sepatu roda,
berkuda, dll. (Parikshit,2017)
Sebuah laporan dari Center for Disease Control di Amerika Serikat
kematian dengan kekerasan yang terjadi di 16 negara bagian selama tahun 2006.
Didapatkan Kekerasan tajam sebanyak 1,7%, senjata api (51,3%), gantung /
tercekik / mati lemas (hanging/strangulation/suffocation) 22,1%, dan keracunan
(18,4%). Kekerasan tajam menyumbang 12,1% pada trauma abdomen dapat
menyebabkan kematian karena perdarahan dari organ-organ dalam, dimana organ
limpa dan mesenterium dari semua pembunuhan dibandingkan dengan 65,8%
untuk senjata api dan 4,6% untuk kekerasan tumpul. (Dwi, 2017)
8
ditangani, karena akan berdampak pada homeostasis tubuh. Penentuan skala pada
ruptur lien sangat diperlukan, karena tidak semua ruptur lien perlu dilakukan
tindakan pembedahan. (Hasbi, 2014)
Trauma tajam abdomen adalah suatu ruda paksa yang mengakibatkan luka
pada permukaan tubuh dengan penetrasi ke dalam rongga peritoneum yang
disebabkan oleh tusukan benda tajam. Trauma akibat benda tajam dikenal dalam
tiga bentuk luka yaitu: luka iris atau luka sayat (vulnus scissum), luka tusuk
(vulnus punctum) atau luka bacok (vulnus caesum). (Hasbi, 2014)
Ruptur limpa adalah pecahnya limpa dapat terjadi akibat rudapaksa tajam
atau tumpul. (Sjamsuhidajat, 2013)
Jika splen (lien) pecah (ruptur), terjadi perdarahan yang hebat karena sampai
(kapsul) splen (lien) yang bersifat tipis, sedangkan jaringan parenkim splen (lien)
pun lunak, menyerupai ubur. Ruptur splen (lien) menimbulkan perdarahan
intraabdominal yang hebat, dan syok. (Keith, 2013)
5. Etiologi
Dampak yang paling signifikan terhadap terjadinya trauma limpa adalah
trauma yang diakibatkan karna trauma tumpul yang kebanyakan diakibatkan
karena kecelakuaan lalulintas, selain itu dapat juga diakibatkan karena adanya
trauma tajam seperti luka tusuk dan luka tembak. (Philbert Y V, 2018)
Ruptur lien dapat disebabkan karena trauma tajam, akibat tusukan pisau
atau benda tajam lainnya. Pada luka jenis ini biasanya organ lain ikut terluka,
bergantung pada arah trauma. Organ yang sering turut tercederai ialah paru,
lambung, dan yang paling lebih jarang adalah pankreas, ginjal kiri, dan pembuluh
darah mesenterium. (Hasbi, 2014)
6. Diagnosis
Robekan atau kerusakan lien akibat trauma abdomen dapat bervariasi yaitu
robekan transversal melalui hilus, robekan longitudinal dengan hematom
subcapsular sampai terputusnya arteri dan vena lienalis. (Mochamad, 2018)
9
Luka tusuk maupun luka tembak akan mengakibatkan kerusakan jaringan
karena laserasi ataupun terpotong. Luka tembak dengan kecepatan tinggi akan
menyebabkan transfer energi kinetik yang lebih besar terhadap organ viscera,
dengan adanya efek tambahan berupa temporary cavitation, dan bisa pecah
menjadi fragmen yang mengakibatkan kerusakan lainnya. Kerusakan dapat berupa
perdarahan bila mengenai pembuluh darah atau organ yang padat. Bila mengenai
organ yang berongga, isinya akan keluar ke dalam rongga perut dan menimbulkan
iritasi pada peritoneum. (Hasbi, 2014)
Trauma dapat terjadi baik karena trauma tumpul maupun trauma tembus.
Derajat trauma lien :
- I : laserasi non-perdarahan < 1 cm atau hematom subkapsuler < 10%
dari luas permukaan lien.
- II : Laserasi 1-3 cm, hematom subkapsuler 10-50% dari luas
permukaan lien, atau perdarahan intraparenkim dengan luas diameter <
10 cm.
- III : Laserasi > 3 cm, hematom subkaspsuler > 50% dari luas
permukaan lien, ruptur hematome subkapsuler, atau perdarahan
intaparenkim > 10 cm.
- IV : Laserasi yang mengenai pembuluh darah segmental atau turpur
hematom intraparenkim
- V : Lien yang remuk total atau trauma hilus dengan devaskularisasi
lien. (Jeffrey et al, 2012)
10
Gambar 4. Grade menurut AAST (American Association for the Surgery of
Trauma)
11
a) Tensi yang menurun, nadi yang meningkat, dengan ada atau
tidaknya tanda-tanda syok dan anemia akibat perdarahan yang
hebat.
b) Pekak pada sisi yang terjadi trauma dengan shifting dullness pada
rongga perut akibat adanya hematom subcapsular atau omentum
yang membungkus suatu hematom subcapsuler yang disebut
Ballance sign.
c) Darah bebas yang memberi rangsangan pada peritoneum sehingga
gejalanya tegang otot perut dan rasa nyeri mencolok. Pada ruptur
yang lambat, biasanya penderita datang dalam keadaan syok, tanda
perdarahan intra abdomen, atau dengan gambaran seperti ada
tumor intra abdomen. Pada bagian kiri atas yang nyeri tekan
disertai tanda anemia. (Mochamad, 2018)
2. Pada pemeriksaan lokal yaitu didapatkan nyeri perut bagian atas tetapi
pada sepertiga kasus mengeluh nyeri perut kuadran kiri atasatau punggung
kiri. Bila darah tertumpuk pada perut kiri atas pada daerah lien akan
memberikan rasa nyeri pada bahu kiri (Kehr’s sign) dijumpai ± 50%.
Semua penderita ruptur lien dan nyeri bahu kiri baru timbul pada posisi
trendelenberg. Penumpukan darah yang ada pada rongga peritoneum dapat
diketahui dengan menggunakan pita ukur untuk mengukur lingkar perut
yang bertambah setiap jamnya. (Mochamad, 2018)
3. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah rutin, yaitu kadar Hemoglobin dan Hematokrit,
akan terjadi penurunan karena adanya perdarahan yang hebat dan
disertai peningkatan leukosit. Hemoglobin diperiksa berulang kali
secara serial untuk mengetahui penurunan yang bertahap. (Mochamad,
2018)
2. Untuk membantu menentukan adanya darah bebas didalam rongga
peritoneum yang meragukan bagi pemeriksa dapat dilakukan:
a) Peritoneum lavage adalah tindakan melakukan bilasan rongga per
ut dengan memasukkan ± 1 liter cairan air garam fisiologis (NaCl
12
0,9%) yang steril melalui kanul dimasukkan kedalam rongga
peritoneum, setelah 10-15 menit cairan tadi dikeluarkan lagi, bila
cairan yang keluar berwarna merah, maka kesimpulannya adalah
ada darah dalam rongga perut. Menurunnya hematokrit disertai
dengan perasaan nyeri yang tetap pada perut kiri atas, ada kalanya
memerlukan peritoneal lavage yang kedua meskipun peritoneal
lavage yang pertama memberi hasil yang negatif.
b) Pemeriksaan foto abdomen, yaitu foto polos abdomen 3 posisi,
yang perlu diperhatikan adalah adanya gambaran patah tulang iga
sebelah kiri, peninggian diafragma kiri, bayangan lien yang
membesar, dan udara bebas intra atau retroperitoneal. Pada foto
polos abdomen memperlihatkan terdorongnya lambung atau kolon
transversa, dan peningkata suatu bayangan opak di hipokondrium
atas kiri, obliterasi pada ginjal kiri, bayangan psoas kiri dan
hemidiafragma kiri naik.
c) Pemeriksaan angiografi, khususnya pada penderita yang gawat
dimana dapat diketahui dengan pasti adanya kerusakankerusakan
pada lien baik kerusakan berat maupun ringan.
d) Pemeriksaan CT scan dengan cara sekarang yang sangat populer
ini dapat kita menentukan diagnosis pasti dari ruptur lien. Selain
untuk mendiagnosis, scanning dapat dipakai untuk mengevaluasi
berat ringannya kerusakan, untuk pengamatan lebih lanjut, dan
untuk melihat penyembuhan dan kerusakan pada lien. Hal ini
sangat berguna bila kita mengobati penderita ruptur lien secara
konservatif. Dengan scanning dapat dilihat bahwa 2 sampai 5
bulan setelah trauma pada lien, gambaran lien dapat sudah normal
kembali apabila dibandingkan dengan angiografi, scanning
mempunyai ketelitian yang sama dengan morbiditas yang lebih
rendah. (Mochamad, 2018)
CT scan adalah modalitas diagnostik pilihan untuk mendeteksi
cedera organ padat. CT scan dapat menunjukkan gangguan pada
13
parenkim lien normal, hematoma di sekitarnya, dan darah intra-
abdominal yang bebas. CT scan juga berguna dalam
mengidentifikasi cedera vaskular organ padat. (Muhammad
Waseem et al, 2018)
Penting untuk diingat bahwa perdarahan intraperitoneal tidak selalu ada,
terutama ketika kapsul limpa tetap utuh. Hingga 25% dari cedera limpa tidak
menunjukkan perdarahan intraperitoneal. (Muhammad Waseem et al, 2018)
7. Pentalaksanaan
cedera limpa merupakan cedera paling umum yang terjadi pada trauma
tumpul abdomen. Sebanyak 31-50% dari kasus cedera limpa yang dilaporkan
operasi tetap menjadi standar emas untuk merawat pasien dengan cedera limpa
dengan ketidakstabilan hemodinamik. Namun pada saat ini cedera limpa dengan
hemodinamik yang stabil dilakukan penanganan Non-Operatif Management
(NOM). (Jose, 2019)
Hampir 90-95% cedera pada hati dan limpa dengan grade I dan II pada
anak-anak dapat dikelola secara non operatif dan ini jarangn dilakukan transfusi
darah. Non-Operatif Management dilakukan berdasarkan diagnosis yang
didapatkan melalui Anamnesis, Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
dengan menggunakan Ct-Scan dalam hal ini. Cedera limpa dapat dinilai
perdarahannya beradasarkan skala atau grade menurut American Association for
thr Surgary of Trauma (AAST). Dimana pada grade I disebutkan laserasi yang
berukuran < 1cm dan pada grade V berupa gangguan vascular atau hemodinamik
sampai menyebabkan cedera parenkim. NOM dilakukan apabila hemodinamik
normal atau stabil dan tidak ada tanda-tanda perdarahan yang aktif pada daerah
yang mengalami trauma. Sebagian besar anak-anak yang mengalami cedera limpa
gagal dalam penanganan NOM karena diakibatkan adanya peritonitis
(George,2014)
14
Gambar 5. Algortima penanganan trauma limpa pada orang
Dewasa (Federico C, 2017)
15
kita bias menunda terapi Angioembolisasi. Dan apabila terapi Angioembolisasi ini
tidak efektif langsung kita lakukan splenektomi. Pada pasien yang dapa dilakukan
Angiembolisasi kita lakukan pemeriksaan Radiologi evaluasi dan pemeriksaan
laboratorium ulang. Setelah itu kita nilai hemodinamik pasien, stabilisasinya, dan
apa perlu melakukan tindakan laparotomy. Apabila hemodinamiknya bagus kita
lanjutkan dengan melakukan Non-Operative Managemen.
Pada hemodinamik yang tidak stabil kita dapat berpikir terjadi adanya FAST
atau adanya perdarahan pada intra abdomen. Pada kasus hemodinamik yang tidak
stabil luka atau lesi berada pada derajat 1-5 menurut AAST dan menurut WSES
derajat 4 kita langsung melakukan tindakan splenektomi. (Federico C, 2017)
Pada kasus trauma lien pada anak hamper sama dengan management
pada orang dewasa tetapi pada trauma limpa pada anak. Lesi terbagi atas tiga
derajat ringan,sedang dan berat. Pada stadium ringan dn sedang kita langsung
lakukan Non-Operatif Management dan memperhatikan tanda-tanda aktif
perdarahan. Apabila perdarahan tidak aktif kita lakukan pemeriksaan evaluasi
radiologi, pemeriksaan laboratorium dan mempertimbangkan terapi
16
angioembolisasi. Pada perdarahan aktif kita lakukan pemeriksaan Ct-Scan untuk
melihat apakah ada perdarahan pada orga tersebut dan merencanakan di lakukan
terapi Angioembolisasi, apabila angiembolisasi tidak di perlukan lagi maka
langsung di lakukan tindakan laparatomi/ splenektomi total. (Federico C, 2017)
Kriteria untuk manajemen nonoperatif pada cedera tumpul limpa:
1. Stabilitas hemodinamik
2. Klasifikasi cedera berdasarakan pemeriksaan Computed Tomography
3. Tidak adanya cedera tambahan yang membutuhkan intervensi operasi
4. Transfusi sel darah merah kurang dari 2 unit (Hadley K. H, 2014)
17
- Setelah keseluruhan cedera dinilai, ligasi selektif pembuluh darah
hilum segmental yang tepat dapat dilakukan. Pada tahap ini dapat
diambil keputusan tentang apakah melakukan splenektomi parsial
diperlukan atau apakah splenorafi dapat dilakukan dengan jahitan
penutup parenkim dan kapsula lien.
b) Splenektomi parsial
Bila keadaan dan ruptur lien tidak total sedapat mungkin lien
dipertahankan, maka dikerjakan splenektomi parsial dianggap lebih
menguntungkan daripada splenektomi total. Caranya ialah eksisi satu
segmen dilakukan jika ruptur lien tidak mengenai hilus dan bagian
yang tidak cedera masih vital.
c) Splenektomi total
Splenoktomi total dilakukan jika terdapat kerusakan parenkim lien
yang luas, avulsi lien, kerusakan pembuluh darah hilum, dan kegagalan
splenorrhapi. Tindakan splenektomi total tidak perlu diragukan,
meskipun ada kemungkinan terjadinya overwhelming post splenectomy
infection sindrome (OPSI). Insiden untuk terjadi OPSI lebih berarti
bila dibandingkan dengan bahaya maut karena perdarahan yang hebat.
Lebih dari 50% dari semua ruptur lien memerlukan splenektomi total
untuk mengurangi OPSI dikemudian hari ada pendapat-pendapat yang
menganjurkan:
- Autotranplantasi/reimplantasi jaringan lien, yaitu jaringan lien yang
telah robek di implantasikan kedalam otot-otot pada dinding perut atau
di pinggang di belakang peritoneum.
- Polyvaleat pneumococcal vaccine atau pneumovaks dapat dipakai
untuk mencegah terjadinya OPSI.
- Prophylaksis dengan antibiotika. Pemberian antibiotika (denicilline,
erythomycin, dan trimethroprim-sulfomethoxazole) setiap bulan
dianjurkan, terutama kali ada infeksi yang menyebabkan demam diatas
38,5°C.
18
- Anjuran praktis adalah agar setiap penderita post splenektomi
dianjurkan supaya segera memeriksakan ke dokter setiap kali
menderita panas. Penderita tersebut supaya langsung diberi pengobatan
antibiotika dan dievaluasi lebih lanjut, untuk mendapat perawatan
medis yang sempurna.
Pada pasien dengan keadaan hemodinamik tidak stabil,
splenektomi tetap merupakan terapi pilihan. Jika ruptur lien sangat serius
(skala V) pemelihan pembedahan splenektomi sangat dianjurkan.
(Mochamad,2018)
8. Diagnosis Banding
a. Trauma hati
b. Trauma pankreas
c. Trauma organ berongga
d. Fraktur kosta
e. Trauma Intratoraks
f. Ruptur lien yang tertunda
g. Kemungkinan perdarahan kembali (Jeffrey et al, 2012)
h. Kematian (Muhammad Waseem et al, 2018)
9. Prognosis / Komplikasi
a. Semua pasien dengan trauma lien sebaiknya dirawat di rumah sakit
(pasien dengan trauma grade I mungkin tampak stabil).
b. Trauma lien yang tidak memberikan hasil dengan penatalaksanaan non-
bedah mempunyai angka kejadian yang lebih besar dibanding dengan
trauma hati.
c. Bahkan trauma derajat I sederhana mungkin perlu menjalani embolisasi
sebagai akibat perdarahan yang menetap.
d. Tidak terdiagnosisnya perdarahan lien mengakibatkan ruptur lien yang
terlambat beberapa hari sampai beberapa minggu pasca – trauma. (Jeffrey
et al, 2012)
19
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Tariq, Huda et al. 2017. The Incidence of Splenic Injury Following
Blunt Abdominal Trauma (BAT), Sultan Qaboos University Hospital
Experience. College of Medicine & Health Sciences, Sultan Qaboos
University, Muscat, Sultanate of Oman 8(-): 312-318.[cited 2019 Maret 19]
Availablehttps://www.researchgate.net/publication/318596060_The_Inciden
ce_of_Splenic_Injury_Following_Blunt_Abdominal_Trauma_BAT_Sultan_
Qaboos_University_Hospital_Experience
Dwi Fitrianti Arieza Putri, Soekry Erfan Kusuma. 2017. Kekerasan Tajam Pada
Abdomen Yang Mengakibatkan Kematian. The Indonesian Association of
Forensic Medicine, Pekanbaru [cited 2019 March 20] Avaible
http://fk.unri.ac.id/wp-content/uploads/2017/08/20.-DWI-FITRIANI-
ARIEZA-PUTRI-SOEKRY.pdf
20
Hasbi A, Ani M, Abdul M. 2014. Hubungan antara skala ruptur lien pada
trauma tumpul abdomen yang memerlukan pembedahan dan yang tidak
memerlukan pembedahan di rsup dr kariadi semarang. Jurnal media medika
muda program pendidikan sarjana kedokteran fakultas kedokteran
Universitas Diponegoro. -(-):-. [cited 2019 Feb 14] Available
https://media.neliti.com/media/publications/108865-ID-none.pdf
Jeffrey M.C, Scott K. 2012. Master Plan Kedaduratan Medik. Tangerang Selatan
: BINA PURA AKSARA.
Keith L.M, Anne M.R. 2013. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta : HIPOKRATES.
Mochamad A.S. 2018. Kasus serial ruptur lien akibat trauma abdomen:
bagaimana pendekatan diagnosis dan penatalaksanaannya. Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang. 14(1): 16-24. [cited 2019
Feb 14] Available
from:http://ejournal.umm.ac.id/index.php/article/view/2377
21
Parkshit M, Dhruv S, Sanjiv G et al. 2017. Clinico Epidemiological Study Of
Blunt Abdominal Trauma in Tertiary Care Hospital In North Western
Himalayas. Departement Of Surgery. 4(3): 874-882. [cited 2019 Maret 19]
Available https://www.ijsurgery.com/index.php/isj/article/view/947
Wiwik H, Andi S H. 2010. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan
Gangguan Sistem Hematologi. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.
22