Anda di halaman 1dari 53

BAGIAN ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
REFLEKSI KASUS
JANUARI 2019

“EFUSI PLEURA SINISTRA SUGESTIVE E.C SUSP KARSINOMA


PARU”

OLEH:
Nama : Yulviana
Stambuk : N 111 17 094

Pembimbing:
dr. Raymond, Sp.B

BAGIAN ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT ANUTAPURA PALU
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2019

1
BAB I
PENDAHULUAN

Efusi pleura adalah istilah penimbunan cairan didalam rongga pleura akibat
transudast atau eksudat yang berlebihan dari permukaan pleura. Efusi pleura
bukan merupakan suatu penyakit, akan tetapi merupakan tanda suatu penyakit.
Akibat adanya carian yang cukup banyak dalam rongga pleura, maka kapasitas
paru akan berkurang dan di samping itu juga menyebabkan pendorongan organ-
organ mediastinum, termasuk jantung. Hal ini mengakibatkan insufisiensi
pernafasan dan juga dapat mengakibatkan gangguan pada jantung dan sirkulasi
darah. 1
Penyakit-penyakit yang dapat menimbulkan efusi pleura adalah
tuberkulosis, infeksi paru non tuberkulosis, keganasan, sirosis hati, trauma tajam
atau tumpul pada daerah dada, infark paru, serta gagal jantung kongestif. Di
negara maju efusi pleura terutama disebabkan oleh gagal jantung kongestif, sirosis
hati, keganasan, dan pneumonia bakteri, sementara pada negara yang sedang
berkembang, seperti Indonesia, lazim diakibatkan oleh infeksi tuberkulosis.2
Efusi pleura ganas merupakan salah satu komplikasi yang biasa ditemukan
pada penderita keganasan dan terutama disebabkan oleh kanker paru dan kanker
payudara. Efusi pleura merupakan manifestasi klinik yang dapat dijumpai pada
sekitar 50-60% penderita keganasan pleura primer atau metastatik. Sementara 5%
kasus mesotelioma (keganasan pleura primer) dapat disertai efusi pleura dan
sekitar 50% penderita kanker payudara akhirnya akan mengalami efusi pleura.
Beberapa studi menuliskan bahwa estimasi prevalensi efusi pleura adalah
320 dari 100.000 kasus di negara industri dimana persebaran etiologi tergantung
dari prevalensi penyakit yang mendasarinya. Frekuensi penyebab efusi pleura juga
beragam di bagian tertentu di dunia. Di negara-negara yang sedang berkembang,
efusi pleura akibat tuberculosis dan parapneumonic sering ditemukan. 6
Sedangkan, di negara-negara maju efusi pleura banyak diakibatkan oleh gagal

2
jantung, malignansi, dan pneumonia. 7 Di Amerika Serikat sendiri, insiden efusi
pleura diestimasi mencapai 1,5 juta per tahun.3
Di Indonesia, belum ada data nasional yang menggambarkan prevalensi
efusi pleura. Namun, beberapa studi telah dilakukan oleh beberapa rumah sakit di
Indonesia antara lain hasil catatan medis di RS Dokter Kariadi Semarang jumlah
prevalensi penderita efusi pleura untuk wanita 66,7.% dan laki-laki 33,3%. Dan
studi lain di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2011 dengan 136 kasus
menunjukan prevalensi wanita 34,6% dan laki-laki 65,4%.3
Diperlukan penatalaksanaan yang baik dalam menanggulangi efusi pleura
ini, yaitu pengeluaran cairan dengan segera serta pengobatan terhadap
penyebabnya sehingga hasilnya akan memuaskan.2
Gejala yang paling sering timbul adalah sesak, dipsneu. Nyeri bisa timbul
akibat efusi yang banyak berupa nyeri dada pleuritik atau nyeri tumpul. Diagnosis
efusi pleura dapat ditegakkan melalui anamnesis serta pemeriksaan fisik yang
teliti, diagnosis yang pasti melalui pungsi percobaan, biopsy dan analisa cairan
pleura.4 Penatalaksanaan efusi pleura dapat dilakukan dengan cara pengobatan
kausal, thorakosintesis, Water Sealed Drainage (WSD), dan pleurodesis.2

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi Pleura
Pleura adalah membran tipis terdiri dari 2 lapisan yaitu pleura visceralis
dan parietalis. Kedua lapisan ini bersatu di daerah hilus arteri dan
mengadakan penetrasi dengan cabang utama bronkus, arteri dan vena
bronkialis, serabut saraf dan pembulu limfe Secara histologis kedua lapisan
ini terdiri dari sel mesothelial, jaringaan ikat, pembuluh darah kapiler dan
pembuluh getah bening berisikan lapisan cairan yang sangat tipis.4
Pleura merupakan membran serosa yang tersusun dari lapisan sel yang
embriogenik berasal dari jaringan selom intraembrional dan bersifat
memungkinkan organ yang diliputinya mampu berkembang, mengalami
retraksi atau deformasi sesuai dengan proses perkembangan anatomis dan fi
siologis suatu organisme. Pleura viseral membatasi permukaan luar parenkim
paru termasuk fisura interlobaris, sementara pleura parietal membatasi
dinding dada yang tersusun dari otot dada dan tulang costa, serta diafragma,
mediastinum dan struktur servikal. Pleura viseral dan parietal memiliki
perbedaan inervasi dan vaskularisasi. Pleura viseral diinervasi saraf-saraf
otonom dan mendapat aliran darah dari sirkulasi pulmoner, sementara pleura
parietal diinervasi sarafsaraf interkostalis dan nervus frenikus serta mendapat
aliran darah sistemik. Pleura viseral dan pleura parietal terpisah oleh rongga
pleura yang mengandung sejumlah tertentu cairan pleura. meliputi masing-
masing paru.5

4
Perkembangan Embriologis Pleura Embrio memiliki rongga besar
berbentuk huruf U di bagian ventral yang berasal dari jaringan selom
intraembrionik dan diliputi oleh kulit, jaringan ikat, tulang, otot dan membran
serosa. Rongga ini meliputi organorgan viseral seperti paru, jantung, usus,
hati, limpa, lambung, ginjal dan organ reproduksi. Janin mamalia usia 26 – 28
hari memiliki tiga jenis rongga tubuh yaitu rongga perikardium, rongga
peritoneum dan sepasang kanalis perikardioperitoneum. Kanalis
perikardioperitoneum menghubungkan rongga perikardium dan peritoneum
primitif. Lipatan membran pada bagian kranial dan kaudal ujung kanal
masingmasing kemudian memisahkan rongga pleura dengan rongga
perikardium (disebut membran pleuroperikardium) serta rongga pleura
dengan rongga peritoneum pada usia 32 hari perkembangan janin mamalia.
Proses ini diiringi perkembangan massa mesenkim medialis menjadi
mediastinum yang akan mengisi rongga pleura dan akan memisahkan rongga
pleura menjadi dua sisi. Rongga pleura kanan dan kiri akan meliputi jonjot
paru primordial masing-masing sisi dan berkembang menjadi pleura viseral
yang meliputi masing-masing paru. Pleura parietal berkembang dari bagian
rongga pleura yang menghadap ke pleura viseral.5

5
Struktur Makroskopis Pleura Pleura normal memiliki permukaan licin,
mengkilap dan semitransparan. Luas permukaan pleura viseral sekitar 4.000
cm2 pada laki-laki dewasa dengan berat badan 70 kg. Pleura parietal terbagi
dalam beberapa bagian, yaitu pleura kostalis yang berbatasan dengan iga dan
otot-otot interkostal, pleura diafragmatik, pleura servikal atau kupula
sepanjang 2-3 cm menyusur sepertiga medial klavikula di belakang otot-otot
sternokleidomastoid dan pleura mediastinal yang membungkus organ-organ
mediastinum. Bagian inferior pleura parietal dorsal dan ventral mediastinum
tertarik menuju rongga toraks seiring perkembangan organ paru dan bertahan
hingga dewasa sebagai jaringan ligamentum pulmoner, menyusur vertikal
dari hilus menuju diafragma membagi rongga pleura menjadi rongga anterior
dan posterior. Ligamentum pulmoner memiliki pembuluh limfatik besar yang
merupakan potensi penyebab efusi pada kasus traumatik. Pleura kostalis
mendapat sirkulasi darah dari arteri mammaria interkostalis dan internalis.
Pleura mediastinal mendapat sirkulasi darah dari arteri bronkialis,
diafragmatik superior, mammaria interna dan mediastinum. Pleura servikalis
mendapat sirkulasi darah dari arteri subklavia. Pleura diafragmatik mendapat
sirkulasi darah dari cabang-cabang arteri mammaria interna serta aorta
toraksika dan abdominis. Vena pleura parietal mengikut jalur arteri dan
kembali menuju vena kava superior melalui vena azigos. Pleura viseral

6
mendapat sirkulasi darah dari arteri bronkialis menuju vena pulmonaris.
Ujung saraf sensorik berada di pleura parietal kostalis dan diafragmatika.
Pleura kostalis diinervasi oleh saraf interkostalis, bagian tengah pleura
diafragmatika oleh saraf frenikus. Stimulasi oleh inflamasi dan iritasi pleura
parietal menimbulkan sensasi nyeri dinding dada dan nyeri tumpul pada bahu
ipsilateral. Tidak ada jaras nyeri pada pleura viseral walaupun secara luas
diinervasi oleh nervus vagus dan trunkus simpatikus. Eliminasi akumulasi
cairan pleura terutama diatur oleh sistem limfatik sistemik di pleura parietal.
Cairan masuk ke dalam rongga pleura melalui arteriol interkostalis pleura
parietal melewati mesotel dan kembali ke sirkulasi melalui stoma pada pleura
parietal yang terbuka langsung menuju sistem limfatik. Pleksus limfatikus
superfi sialis terletak pada jaringan ikat di lapisan subpleura viseral dan
bermuara di pembuluh limfe septa lobularis dan lobaris. Jaringan limfatikus
ini dari pleura kostalis menyusur ventral menuju nodus limfatik sepanjang
arteri mammaria interna atau dorsal menuju ujung sendi kostosternal, dari
pleura mediastinal menuju nodus limfatikus trakeobronkial dan mediastinum,
dan dari pleura diafragmatik menuju nodus parasternal, frenikus medialis dan
mediastinum superior. Cairan pleura tidak masuk ke dalam pleksus limfatikus
di pleura viseral karena pleura viseral lebih tebal dibandingkan pleura parietal
sehingga tidak terjadi pergerakan cairan dari rongga pleura ke pleura viseral.
Gangguan duktus torasikus karena limfoma maupun trauma menyebabkan
akumulasi cairan limfe di rongga pleura menyebabkan chylothorax.5

2. Definisi Efusi Pleura


Efusi pleura adalah istilah penimbunan cairan didalam rongga pleura
akibat transudast atau eksudat yang berlebihan dari permukaan pleura. Efusi
pleura bukan merupakan suatu penyakit, akan tetapi merupakan tanda suatu
penyakit.1
Efusi pleura merupakan kondisi di mana terdapat akumulasi cairan
berlebih pada cavitas pleuralis yang disebabkan oleh meningkatnya produksi
atau berkurangnya absorpsi cairan pleura. (1) Cairan biasanya bersumber dari

7
pembuluh darah atau pembuluh limfe, kadang juga disebabkan karena adanya
abses atau lesi yang didrainase ke cavitas pleuralis. (2) Efusi pleura
merupakan manifestasi dari banyak penyakit, mulai dari penyakit paru sampai
inflamasi sistemik atau malignansi.3
Efusi pleura merupakan keadaan di mana cairan menumpuk di dalam
rongga pleura. Dalam keadaan normal, rongga pleura diisi cairan sebanyak
10-20 ml yang berfungsi mempermudah pergerakan paru di rongga dada
selama bernapas.6
Efusi pleura adalah akumulasi cairan tidak normal di rongga pleura
yang diakibatkan oleh transudasi atau eksudasi yang berlebihan dari
permukaan pleura. Efusi pleura selalu abnormal dan mengindikasikan
terdapat penyakit yang mendasarinya. Efusi pleura dibedakan menjadi
eksudat dan 1,2 transudat berdasarkan penyebabnya.7

3. Epidemiologi
Efusi pleura banyak terjadi di dalam dunia medis. Lebih dari 3000
orang per 1 juta populasi per tahun mengalami efusi pleura. Efusi pleura
adalah penumpukan cairan dalam rongga pleura. Efusi pleura bergantung
pada wilayah geografis dan prevalensi penyakit yang dapat menyebabkan
efusi pleura. Pada negara maju penyebab terbanyak efusi pleura pada orang
dewasa adalah gagal jantung, kedua adalah keganasan, kemudian pneumonia.
Sedangkan pada negara berkembang etiologi terbanyak adalah tuberkulosis.8
Efusi pleura merupakan manifestasi umum adanya penyakit pleura, paru atau
penyakit sistemik lainnya. Gagal jantung merupakan penyebab tersering
diantara penyebab lainnya seperti pneumonia, keganasan dan emboli paru.
Prevalensi terjadinya efusi pleura kurang lebih 400/100.000 populasi di
Spanyol. Di Amerika serikat setiap tahun ada sekitar 1 juta penduduknya
mengalami efusi pleura. Penyebab umum lainnya adalah keganasan,
diestimasikan efusi pleura akibat keganasan mencapai 150.000 penduduk per
tahun di Amerika Serikat. Hampir semua pasien datang ke dokter dengan
keluhan sesak nafas akibat akumulasi cairan dan kompresi parenkim paru.7,8

8
4. Etiologi Efusi Pleura
Penyebab Efusi pleura yang tersering adalah penyakit ganas yang
persentasenya sekitar 41% dan tuberkulosis untuk 33% dari 100 kasus efusi
pleura eksudatif, 2 pasien (2%) memiliki koeksistensi tuberkulosis dan
keganasan yang dianalisis dengan kelompok ganas. Parapneumoni efusi
ditemukan hanya 6% kasus, penyebab lain gagal jantung kongestif 3%,
komplikasi dari operasi by pass koroner 2%, rheumatoid atritis 2%,
erythematous lupus sistemik 1%, gagal ginjal kronis 1%, kolesistitis akut 1%,
etiologi tidak diketahui 8%. 3 Kasus efusi pleura mencapai 2,7% dari
penyakit infeksi saluran napas lainnya. Tingginya angka kejadian efusi pleura
disebabkan keterlambatan penderita untuk memeriksakan kesehatan sejak
dini. Faktor resiko terjadinya efusi pleura diakibatkan karena lingkungan
yang tidak bersih, sanitasi yang kurang, lingkungan yang padat penduduk,
kondisi sosial ekonomi yang menurun, serta sarana dan prasarana kesehatan
yang kurang dan kurangnya masyarakat tentang pengetahuan kesehatan. 8
Efusi pleura banyak terjadi di dalam dunia medis. Lebih dari 3000 orang per
1 juta populasi per tahun mengalami efusi pleura. Efusi pleura adalah
penumpukan cairan dalam rongga pleura. Etiologi efusi pleura bergantung
pada wilayah geografis dan prevalensi penyakit yang dapat menyebabkan
efusi pleura.Pada negara maju penyebab terbanyak efusi pleura pada orang
dewasa adalah gagal jantung, kedua adalah keganasan, kemudian pneumonia.
Sedangkan pada negara berkembang etiologi terbanyak adalah tuberkulosis. 8
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan
dari dalam kavum pleura diantara pleura parietalis dan pleura viseralis dapat
berupa cairan transudat atau cairan eksudat. Pada keadaan normal rongga
pleura hanya mengandung cairan sebanyak 10-20 ml, cairan pleura
komposisinya sama dengan cairan plasma, kecuali pada cairan pleura
mempunyai kadar protein lebih rendah yaitu < 1,5 gr/dl.4

9
1.1.1 Berdasarkan Jenis Cairan
a. Efusi pleura transudatif terjadi kalau faktor sistemik yang
mempengaruhi pembentukan dan penyerapan cairan pleura
mengalami perubahan.
b. Efusi pleura eksudatif terjadi jika faktor lokal yang mempengaruhi
pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan.
Efusi pleura tipe transudatif dibedakan dengan eksudatif melalui
pengukuran kadar Laktat Dehidrogenase (LDH) dan protein di dalam
cairan pleura2.
Efusi pleura eksudatif memenuhi paling tidak salah satu dari tiga
kriteria berikut ini, sementara efusi pleura transudatif tidak memenuhi satu
pun dari tiga kriteria ini 2:
1. Protein cairan pleura / protein serum > 0,5
2. LDH cairan pleura / cairan serum > 0,6
3. LDH cairan pleura melebihi dua per tiga dari batas atas nilai LDH yang
normal didalam serum.
Transudat Eksudat

Kadar protein dalam efusi (g/dl) <3 >3


Kadar protein dalam efusi <0,5 >0,5
Kadar Protein dalam serum
Kadar LDH dalam efusi (I.U) <200 >200
Kadar LDH dalam efusi < 0,6 >0,6
Kadar LDH dalam serum

Berat jenis cairan efusi <1.016 >1.016


Rivalta Negatif Positif

Tabel 2.1 Perbedaan Biokimia Efusi Pleura2

10
1.1.2 Efusi pleura berupa :
A. Eksudat, disebabkan oleh :
1. Pleuritis karena virus dan mikoplasma: virus coxsackie, Rickettsia,
Chlamydia. Cairan efusi biasanya eksudat dan berisi leukosit antara
100-6000/cc. Gejala penyakit dapat dengan keluhan sakit kepala,
demam, malaise, mialgia, sakit dada, sakit perut, gejala perikarditis.
Diagnosa dapat dilakukan dengan cara mendeteksi antibodi terhadap
virus dalam cairan efusi.5
2. Pleuritis karena bakteri piogenik: permukaan pleura dapat ditempeli
oleh bakteri yang berasal dari jaringan parenkim paru dan menjalar
secara hematogen. Bakteri penyebab dapat merupakan bakteri aerob
maupun anaerob (Streptococcus paeumonie, Staphylococcus aureus,
Pseudomonas, Hemophillus, E. Coli, Pseudomonas, Bakteriodes,
Fusobakterium, dan lain-lain). Penatalaksanaan dilakukan dengan
pemberian antibotika ampicillin dan metronidazol serta mengalirkan
cairan infus yang terinfeksi keluar dari rongga pleura.4
3. Pleuritis karena fungi penyebabnya: Aktinomikosis, Aspergillus,
Kriptococcus, dll. Efusi timbul karena reaksi hipersensitivitas lambat
terhadap organisme fungi.
4. Pleuritis tuberkulosa merupakan komplikasi yang paling banyak
terjadi melalui focus subpleural yang robek atau melalui aliran getah
bening, dapat juga secara hemaogen dan menimbulkan efusi pleura
bilateral. Timbulnya cairan efusi disebabkan oleh rupturnya focus
subpleural dari jaringan nekrosis perkijuan, sehingga
tuberkuloprotein yang ada didalamnya masuk ke rongga pleura,
menimbukan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Efusi yang
disebabkan oleh TBC biasanya unilateral pada hemithoraks kiri dan
jarang yang masif. Pada pasien pleuritis tuberculosis ditemukan
gejala febris, penurunan berat badan, dyspneu, dan nyeri dada
pleuritik. 2

11
5. Efusi pleura karena neoplasma misalnya pada tumor primer pada
paru-paru, mammae, kelenjar linife, gaster, ovarium. Efusi pleura
terjadi bilateral dengan ukuran jantung yang tidak membesar.
Patofisiologi terjadinya efusi ini diduga karena :
a. Invasi tumor ke pleura, yang merangsang reaksi inflamasi dan
terjadi kebocoran kapiler.
b. Invasi tumor ke kelenjar limfe paru-paru dan jaringan limfe
pleura, bronkhopulmonary, hillus atau mediastinum,
menyebabkan gangguan aliran balik sirkulasi.
c. Obstruksi bronkus, menyebabkan peningkatan tekanan-tekanan
negatif intra pleural, sehingga menyebabkan transudasi. Cairan
pleura yang ditemukan berupa eksudat dan kadar glukosa dalam
cairan pleura tersebut mungkin menurun jika beban tumor dalam
cairan pleura cukup tinggi. Diagnosis dibuat melalui pemeriksaan
sitologik cairan pleura dan tindakan blopsi pleura yang
menggunakan jarum (needle biopsy).4
6. Efusi parapneumoni adalah efusi pleura yang menyertai pneumonia
bakteri, abses paru atau bronkiektasis. Khas dari penyakit ini adalah
dijumpai predominan sel-sel PMN dan pada beberapa penderita
cairannya berwarna purulen (empiema). Meskipun pada beberapa
kasus efusi parapneumonik ini dapat diresorpsis oleh antibiotik,
namun drainage kadang diperlukan pada empiema dan efusi pleura
yang terlokalisir. Menurut Light, terdapat 4 indikasi untuk
dilakukannya tube thoracostomy pada pasien dengan efusi para
pneumonik:
a. Adanya pus yang terlihat secara makroskopik di dalam kavum
pleura
b. Mikroorganisme terlihat dengan pewarnaan gram pada cairan
pleura
c. Kadar glukosa cairan pleura kurang dari 50 mg/dl

12
d. Nilai pH cairan pleura dibawah 7,00 dan 0,15 unit lebih rendah
daripada nilai pH bakteri.
Penanganan keadaan ini tidak boleh terlambat karena efusi
parapneumonik yang mengalir bebas dapat berkumpul hanya dalam
waktu beberapa jam saja.4

7. Efusi pleura karena penyakit kolagen: SLE, Pleuritis Rheumatoid,


Skleroderma.
8. Penyakit AIDS, pada sarkoma kapoksi yang diikuti oleh efusi
parapneumonik.4
B) Transudat, disebabkan oleh :
1. Gangguan kardiovaskular
Penyebab terbanyak adalah decompensatio cordis. Sedangkan
penyebab lainnya adalah perikarditis konstriktiva, dan sindroma
vena kava superior. Patogenesisnya adalah akibat terjadinya
peningkatan tekanan vena sistemik dan tekanan kapiler dinding dada
sehingga terjadi peningkatan filtrasi pada pleura parietalis. Di
samping itu peningkatan tekanan kapiler pulmonal akan menurunkan
kapasitas reabsorpsi pembuluh darah subpleura dan aliran getah
bening juga akan menurun (terhalang) sehingga filtrasi cairan ke
rongg pleura dan paru-paru meningkat.5

Tekanan hidrostatik yang meningkat pada seluruh rongga


dada dapat juga menyebabkan efusi pleura yang bilateral. Tapi yang
agak sulit menerangkan adalah kenapa efusi pleuranya lebih sering
terjadi pada sisi kanan.
Terapi ditujukan pada payah jantungnya. Bila kelainan
jantungnya teratasi dengan istirahat, digitalis, diuretik dll, efusi
pleura juga segera menghilang. Kadang-kadang torakosentesis
diperlukan juga bila penderita amat sesak.6

13
2. Hipoalbuminemia
Efusi terjadi karena rendahnya tekanan osmotik protein cairan pleura
dibandingkan dengan tekanan osmotik darah. Efusi yang terjadi
kebanyakan bilateral dan cairan bersifat transudat. Pengobatan adalah
dengan memberikan diuretik dan restriksi pemberian garam. Tapi
pengobatan yang terbaik adalah dengan memberikan infus albumin.
3. Hidrothoraks hepatik
Mekanisme yang utama adalah gerakan langsung cairan pleura
melalui lubang kecil yang ada pada diafragma ke dalam rongga
pleura. Efusi biasanya di sisi kanan dan biasanya cukup besar untuk
menimbulkan dyspneu berat. Apabila penatalaksanaan medis tidak
dapat mengontrol asites dan efusi, tidak ada alternatif yang baik.
Pertimbangan tindakan yang dapat dilakukan adalah pemasangan
pintas peritoneum-venosa (peritoneal venous shunt, torakotomi)
dengan perbaikan terhadap kebocoran melalui bedah, atau torakotomi
pipa dengan suntikan agen yang menyebakan skelorasis.5
4. Meig’s Syndrom
Sindrom ini ditandai oleh ascites dan efusi pleura pada penderita-
penderita dengan tumor ovarium jinak dan solid. Tumor lain yang
dapat menimbulkan sindrom serupa : tumor ovarium kistik,
fibromyomatoma dari uterus, tumor ovarium ganas yang berderajat
rendah tanpa adanya metastasis. Asites timbul karena sekresi cairan
yang banyak oleh tumornya dimana efusi pleuranya terjadi karena
cairan asites yang masuk ke pleura melalui porus di diafragma.
Klinisnya merupakan penyakit kronis.6
5. Dialisis Peritoneal
Efusi dapat terjadi selama dan sesudah dialisis peritoneal. Efusi terjadi
unilateral ataupun bilateral. Perpindahan cairan dialisat dari rongga
peritoneal ke rongga pleura terjadi melalui celah diafragma. Hal ini
terbukti dengan samanya komposisi antara cairan pleura dengan cairan
dialisat.6

14
C) Darah
Adanya darah dalam cairan rongga pleura disebut hemothoraks.
Kadar Hb pada hemothoraks selalu lebih besar 25% kadar Hb dalam
darah. Darah hemothorak yang baru diaspirasi tidak membeku
beberapa menit. Hal ini mungkin karena faktor koagulasi sudah
terpakai sedangkan fibrinnya diambil oleh permukaan pleura. Bila
darah aspirasi segera membeku, maka biasanya darah tersebut berasal
dari trauma dinding dada.4

5. Patogenesis Efusi Pleura


Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung pada keseimbangan antara
cairan dan protein dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal cairan pleura
dibentuk secara lambat sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi
ini terjadi karena perbedaan tekanan osmotik plasma dan jaringan interstisial
submesotelial, kemudian melalui sel mesotelial masuk ke dalam rongga pleura.
Selain itu cairan pleura dapat melalui pembuluh limfe sekitar pleura.
Proses penumpukkan cairan dalam rongga pleura dapat disebabkan oleh
peradangan. Bila proses peradangan itu disebabkan oleh kuman piogenik akan
terbentuk pus/nanah, sehingga terjadi empiema/piotoraks. Bila proses ini
mengenai pembuluh darah sekitar pleura dapat menyebabkan hematothorax.
Cairan Efusi dapat berbentuk transudat, terjadi karena penyakit lain bukan
primer paru seperti gagal jantung kongestif, sirosis hepatis, sindrom nefrotik,
dialisis peritoneum, hipoalbunemia oleh berbagai keadaan, perikarditis
kontrisitiva, keganasan, ateletaksis paru dan pneumothorax.
Sedangkan efusi pleura eksudat terjadi apabila adanya proses infeksi atau
peradangan yang menyebabkan permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura
meningkat sehingga sel mesotelial menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi
pengeluaran cairan ke dalam rongga pleura paru. Penyebab pleuritis eksudativa
pasling sering adalah karena mycobacterium toberkulosis dan dikenal sebagai
pleuritis eksudativa tuberkulosa. Sebab lain seperti parapneumonia, parasit
(amuba, paragonimiosis, ekinokokus), jamur, pneumonia atipik (virus,

15
mikoplasma, fever, legionella), keganasan paru, proses imunologik seperti
pleuritis lupus, pleuritis rematoid, sarkoidosis, radang sebab lain seperti
pankreatitis, asbestosis, pleuritis uremia dan akibat radiasi.4

5. Diagnosis
Diagnosis efusi pleura dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisis,
serta pemeriksaan penunjang.
A. Anamnesis
Anamnesis yang terdiri dari gejala dan riwayat penyakit sebelumnya dapat
membantu diagnosis efusi pleura sekaligus evaluasi terhadap
kemungkinan penyebab efusi pleura. Contohnya riwayat menderita
pneumonia atau demam dapat mengarah ke kausa infeksi, riwayat penyakit
jantung, ginjal atau hepar dapat mengarah ke efusi transudat. Usia tua,
penurunan berat badan dan perokok dapat mengarah ke kausa keganasan.
Gejala klinis yang timbul sangat bergantung pada jumlah cairan efusi dan
kausa dari efusi tersebut. Bahkan ada yang asimptomatik.
Dari anamnesa didapatkan :
Gambaran klinis efusi pleura bergantung pada jumlah cairan yang ada
dan penyebabnya. Banyak pasien tidak memiliki gejala pada saat efusi
pleura ditemukan. Gejala yang mungkin terjadi antara lain nyeri dada,
sesak dan batuk kering yang tidak produktif. Nyeri dada yang terkait
dengan efusi pleura biasanya disebabkan oleh peradangan pleura pleura
parietal akibat gesekan yang berhubungan dengan gerakan antara dua
permukaan pleura. Nyeri dada dapat dilokalisasi, Rasa sakit biasanya
tajam dan diperburuk oleh pergerakan permukaan pleura, seperti inspirasi
mendalam, batuk, dan bersin. Rasa sakit mereda dengan tegak dada atau
akumulasi cairan. Karena sesak dan nyeri dada adalah gejala nonspesifik.8
B. Pemeriksaan Fisik
Temuan fisik adalah tanda-tanda peningkatan volume, pada palpasi
terdapat berkurangnya vokal taktil fremitus, pekak pada perkusi, dan suara
nafas vesikular yang berkurang atau tidak ada dan suara pleural friction

16
rub mungkin juga terdengar selama akhir inspirasi. Efusi pleura yang besar
terjadi dengan tanda pergerakan pernafasan yang sangat menurun dan
tanda-tanda pergeseran mediastinum. Temuan lain mungkin terkait dengan
penyakit sistemik terkait.8,10
1. Dari anamnesa didapatkan :
a) Sesak nafas bila lokasi efusi luas. Sesak napas terjadi pada saat
permulaan pleuritis disebabkan karena nyeri dadanya dan apabila
jumlah cairan efusinya meningkat, terutama kalau cairannya penuh
b) Rasa berat pada dada
c) Batuk pada umumnya non produktif dan ringan, terutama apabila
disertai dengan proses tuberkulosis di parunya, Batuk berdarah
pada karsinoma bronchus atau metastasis
d) Demam subfebris pada TBC, dernarn menggigil pada empiema
2. Dari pemeriksaan fisik didapatkan (pada sisi yang sakit)
a) Dinding dada lebih cembung dan gerakan tertinggal
b) Vokal fremitus menurun
c) Perkusi dull sampal flat
d) Bunyi pernafasan menruun sampai menghilang
e) Pendorongan mediastinum ke sisi yang sehat dapat dilihat atau
diraba pada treakhea
Nyeri dada pada pleuritis : Simptom yang dominan adalah sakit yang
tiba-tiba seperti ditikam dan diperberat oleh bernafas dalam atau batuk.
Pleura visceralis tidak sensitif, nyeri dihasilkan dari pleura parietalis yang
inflamasi dan mendapat persarafan dari nervus intercostal. Nyeri biasanya
dirasakan pada tempat-tempat terjadinya pleuritis, tapi bisa menjalar ke
daerah lain :
 Iritasi dari diafragma pleura posterior dan perifer yang dipersarafi oleh G.
Nervuis intercostal terbawah bisa menyebabkan nyeri pada dada dan
abdomen.
 Iritasi bagian central diafragma pleura yang dipersarafi nervus phrenicus
menyebabkan nyeri menjalar ke daerah leher dan bahu.

17
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Polos Thorax
Pemeriksaan radiografi posteroanterior dan lateral menjadi standar
pada diagnosis radiologi paru. Pada posisi berdiri atau duduk tegak,
cairan bebas pada rongga pleura akan memenuhi lateral kubah
diafragma yang menyebabkan gambaran sudut costofrenikus yang
tumpul dan adanya terlihat perselubungan homogen.8

Gambar 3. X-ray chest, posteroanterior view, with massive effusion and


contralateral mediastinal shift.10
2. USG Thorax
USG Bahkan dapat mendeteksi efusi pleura secara akurat. Gambaran
ultrasonografi efusi pleura ditandai oleh ruang bebas gema antara
pleura viseral dan parietal. Ultrasonografi berguna pada kasus efusi
pleura lokal untuk konfirmasi diagnosis dan untuk menandai lokasi
untuk torakosentesis. Dengan adanya pembesaran hemithorax pada
radiografi dada, ultrasonografi juga membantu dalam membedakan
antara lesi yang mengandung cairan dan padat. Karakteristik sonografi
efusi sangat membantu dalam membedakan transudat dari eksudat.
Menurut echogenisitas internal, efusi dapat dikelompokkan sebagai
anechoic, kompleks nonseptated, complex septated, atau

18
homogenously echogenic. Efusi eksudat biasanya menunjukkan pola
ekogenik yang kompleks atau homogen. Pola echogenik padat paling
sering dikaitkan dengan efusi hemoragik atau empiema. Penebalan
pleura didefinisikan sebagai lesi echogenik fokal yang timbul dari
pleura viseral atau parietal yang lebarnya lebih besar dari 3 mm,
dengan atau tanpa batas tidak teratur. Tumor pleura didefinisikan
dengan baik, hypoechoic, atau lesi nodular yang terletak di parietal
atau viseral pleura jika peningkatan abnormal hemidiaphragm dicatat
pada radiografi dada, efusi subpulmonik dapat dibedakan dari
pengumpulan cairan subfamili dengan ultrasonografi.
USG sangat berguna untuk mendeteksi efusi pleura yang terlokulasi
dan dapat digunakan untuk menentukan lokasi torakosentesis.10

Gambar 4. Ultrasonography of pleura effusion

3. CT-Scan Thorax
CT-scan pada kasus efusi pleura dapat digunakan bila ingin
memastikan lokasi anatomi yang tepat terjadinya efusi pleura yang
tidak dapat diakses dengan menggunakan foto konvensional dan USG,
CT-scan berguna untuk menentukan letak drainase yang tepat untuk
suatu empyema, membedakan empyema dengan abses paru dan dapat
mendeteksi adanya penyakit keganasan.10
Computed tomography (CT) dengan gambar penampang melintangnya
dapat digunakan untuk mengevaluasi situasi kompleks dimana anatomi

19
tidak dapat dinilai sepenuhnya dengan radiografi polos atau
ultrasonografi. CT dapat berguna untuk membantu pemilihan lokasi
drainase empiema, membedakan empiema dari abses paru-paru, dan
mengidentifikasi lokasi tabung dada dalam drainase empiris yang
gagal. Tanda pleura split yang terlihat pada CT dada yang disematkan
kontras menunjukkan penebalan pleura yang mendasarinya. Ada
peningkatan pleura viseral dan pleura parietal yang menebal, dengan
pemisahan oleh kumpulan cairan pleura. Dalam sebuah penelitian
terhadap 74 pasien, 39 di antaranya menderita penyakit ganas, Leung
dkk menunjukkan bahwa penyakit ganas nodular, mediastinum, dan
parietal pleural thickening lebih besar dari 1 cm. Fitur-fitur ini
memiliki spesifisitas masing-masing 94%, 94%, 88%, dan 100%, dan
sensitivitas 51%, 36%, 56%, dan 41%. Seiring dengan temuan yang
terkait dengan efusi pleura, CT sangat membantu dalam
mengidentifikasi lesi paru parenkim, massa, dan pembesaran kelenjar
getah bening mediastinum. CT angiografi harus dipesan jika
pulmonary embolism sangat dicurigai.10

20
4. Torakosentesis
Thoracocentesis harus dilakukan pada semua pasien efusi pleura
minimal (berdasarkan dengan radiografi, ultrasonografi, atau CT
lateral lateral). Aspirasi tidak boleh dilakukan untuk efusi bilateral
dalam setting klinis yang sangat menandakan efusi pleura berbentuk
transudat, kecuali ada ciri khas atau pasien yang tidak merespons
terapi.10
Thoracentesis adalah prosedur dasar dan berharga tidak hanya
untuk mendapatkan sampel cairan untuk membedakan transudat dari
eksudat, namun juga untuk mengeluarkan cairan pada pasien dengan
sejumlah besar efusi untuk menghilangkan gejala. Indikasi
thoracosintesis diagnostik dengan etiologi yang tidak diketahui yang
paling umum adalah apabila cairan di ruang pleura lebih dari 10 mm
yang diketahui berdasarakan pemeriksaan radiografi posisi lateral
decubitus. Prosedur dapat dilakukan di samping tempat tidur tanpa
panduan gambar oleh operator yang berpengalaman. Namun,
umumnya dianjurkan untuk menggunakan panduan ultrasonografi

21
untuk mendapatkan sampel cairan dari efusi kecil atau loculated dan
untuk menghindari komplikasi potensial. Ultrasound menghemat
waktu dan memperbaiki keberhasilan thoracosinesis tusukan pertama.
Sebuah studi oleh Diacon dkk menunjukkan bahwa pemilihan lokasi
tusukan dengan ultrasound di sisi tempat tidur meningkatkan hasil dan
menurunkan risiko thoracentesis dibandingkan dengan tanpa panduan
gambar. Komplikasi thoracentesis meliputi pneumotoraks,
hemothorax, edema paru reexpansion, dan laserasi organ. Kejadian
pneumotoraks dan hemothoraks masing-masing 2-6% dan 1%. Hanya
separuh kasus pneumotoraks yang memerlukan penyisipan tabung
dada. Edema paru reexpansion atau laserasi organ adalah komplikasi
yang jarang terjadi.10

Gambar 5. Thoracocintesis
5. Biopsi Pleura
Jika dengan torakosentesis tidak dapat ditentukan penyebabnya
maka dilakukan biopsi dimana contoh lapisan pleura sebelah luar
untuk dianalisa. Pemeriksaan histopatologi satu atau beberapa contoh
jaringan pleura dapat menunjukkan 50 -75% diagnosis kasus-kasus
pleuritis tuberkulosa dan tumor pleura. Bila ternyata hasil biopsi

22
pertama tidak memuaskan, dapat dilakukan beberapa biopsi ulangan.
Pada sekitar 20% penderita, meskipun telah dilakukan pemeriksaan
menyeluruh, penyebab dari efusi pleura tetap tidak dapat ditentukan.
Komplikasi biopsi antara lain pneumotoraks, hemotoraks, penyebaran
infeksi atau tumor pada dinding dada.4
6. Analisa Cairan Pleura
Untuk diagnostik cairan pleura, dilakukan pemeriksaan : 4
a. Warna Cairan
Biasanya cairan pleura berwarna agak kekuning-kuningan
(serous-xantho-ctrorn), bila agak kemerah-merahan, ini dapat
terjadi pada trauma, infark paru, keganasan dan adanya kebocoran
aneurisma aorta. Bila kuning kehijauan dan agak purulen, ini
menunjukkan adanya empiema. Bila merah tengguli, ini
menunjukkan adanya abses karena amoeba.
b. Biokimia
Secara biokimia efusi pleura terbagi atas transudat dan
eksudat yang perbedaannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

7. Sitologi
Pemeriksaan sitologi terhadap cairan pleura amat penting untuk
diagnostik penyakit pleura, terutama bila ditemukan sel-sel patologis
atau dominasi sel-sel tertentu. 4
- Sel neutrofil : Menunjukkan adanya infeksi akut.

23
- Sel limfosit : Menunjukkan adanya infeksi kronik seperti pleuritis
tuberkulosa atau limfoma malignum
- Sel mesotel : Bila jumlahnya meningkat, ini menunjukkan adanya
infark paru. Biasanya juga ditemukan banyak sel eritrosit.
- Sel mesotel maligna : Pada mesotelioma
- Sel-sel besar dengan banyak inti : Pada arthritis rheumatoid
- Sel L.E : Pada lupus eritematosus sistemik
6. Penatalaksanaan
Menurut Perhimpunan Spesialis Paru Indonesia bahwa Efusi Pleura timbul
sebagai komplikasi dari penyakit-penyakit lain, maka pengobatan yang
harus dilakukanpun adalah dengan cara menyembuhkan kondisi-kondisi
yang menyebabkannya. Contoh yang bisa diambil di sini adalah pengobatan
kanker dengan radioterapi dan kemoterapi, atau pengobatan pneumonia
dengan antibiotik. Apabila cairan pada efusi pleura sudah terlalu banyak
atau sudah terdapat infeksi, maka dokter akan menggunakan sejumlah
prosedur guna mengeluarkan cairan yang menumpuk,diantaranya:
- Prosedur thoracocentesis atau pungsi pleura selain untuk mengambil
sampel cairan pleura untuk dianalisis, juga dapat untuk mengeluarkan
cairan pleura dengan volume besar.
- Pemasangan selang plastik khusus (chest tube) selama beberapa hari ke
dalam rongga pleura melalui bedah torakotomi
- Pemasangan kateter secara jangka panjang lewat kulit ke dalam ruang
pleura (pleural drain), untuk efusi pleura yang terus muncul.
- Penyuntikan zat pemicu iritasi (talk, doxycycline, atau bleomycin) ke
dalam ruang pleura melalui selang khusus guna mengikat kedua lapisan
pleura, sehingga rongga pleura tertutup. Prosedur yang dinamakan
pleurodesis ini biasanya diterapkan untuk mencegah efusi pleura yang
kambuh.
Selain prosedur-prosedur yang bertujuan mengeluarkan dan mencegah
cairan pleura terakumulasi kembali, prosedur untuk mengangkat jaringan-
jaringan yang tidak sehat atau telah mengalami peradangan juga bisa

24
dilakukan apabila dampak kerusakan efusi pleura telah mencapai tahap
tersebut. Pengangkatan jaringan ini bisa dilakukan melalui bedah
torakoskopi (tanpa membuka rongga dada) atau torakotomi (dengan
membuka rongga dada).13
Pengobatan Efusi Pleura yang terinfeksi perlu sesegara mungkin untuk
dikeluarkan dengan memakai pipa intubasi melalui sela iga tiga, bila cairan
pusnya kental sehingga sulit keluar atau bila empiemanya multilokular,
perlu tindakan operatif. Mungkin sebelumnya perlu dibantu oleh cairan
irigasi garam fisiologis atau larutan antiseptik (betadine). Pengobatan secara
sistemik hendaknya segera diberikan, tetapi ini tidak berarti bila tidak
diiringi pengeluaran yang adekuat.4
Untuk mencegah efusi pleura yang berulang setelah aspirasi (pada efusi
pleura maligna) maka dapat dilakukan pleurodesis yaitu pipa selang
dimasukkan pada ruang antara iga dan cairan efusi pleura dialirkan secara
perlahan-lahan, setelah tidak ada lagi cairan keluar kemudian masukkan 500
mg tetrasiklin yang dilarutkan dalam 20 cc garam fisiologis ke dalam
rongga pleura, selanjutnya diikuti 20 cc garam fisiologis. Kunci selang
sealam 6 jam dan sealam itu pasien diubah-ubah posisinya, sehingga
tetrasiklin dapat di distribusikan ke seluruh rongga pleura. Dan rongga
pleura dibuka kembali sampai cairan didalamnya tidak ada lagi yang tersisa.
Zat-zat lain yang bisa digunakan adalah bleomisin, korniebakterium
parvum, Tio-tepa, 5 Fluorourasil.4
Kemudian untuk kompetensi dokter umum menurut PPD Unsoed yaitu :
Chest tube
Jika efusi yang akan dikeluarkan jumlahnya ≥ 600 cc lebih baik dipasang
selang dada (chest tube), namun tetap dipertimbangkan gejala klinis seperti
sesak pasien. Tidak dianjurkan mengeluarkan lebih dari 500 ml cairan
sekaligus. Selang dapat diklem selama beberapa jam sebelum 500 ml
lainnya dikeluarkan. Drainase yang terlalu cepat akan menyebabkan distres
pada pasien dan di samping itu dapat timbul edema paru.13
Pada trauma toraks WSD dapat berarti: 13

25
1. Diagnostik : menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau
kecil, sehingga dapat ditentukan perlu operasi torakotomi
atau tidak, sebelum penderita jatuh dalam shok.
2. Terapi : Mengeluarkan darah, cairan atau udara yang terkumpul di rongga
pleura. Mengembalikan tekanan rongga pleura sehingga
"mechanic of breathing", dapat kembali seperti yang seharusnya.
3. Preventive : Mengeluarkan udara atau darah yang masuk ke rongga
pleura sehingga "mechanic of breathing" tetap baik.
Macam-macam WSD : 13
1. Single Bottle Water Seal System
Ujung akhir pipa drainase dari dada pasien dihubungkan ke
dalam satu botol yang memungkinkan udara dan cairan mengalir dari
rongga pleura tetapi tidak mengijinkan udara maupun cairan kembali ke
dalam rongga dada. Secara fungsional, drainase tergantung pada gaya
gravitasi dan mekanisme pernafasan, oleh karena itu botol harus
diletakkan lebih rendah. Ketika jumlah cairan di dalam botol meningkat,
udara dan cairan akan menjadi lebih sulit keluar dari rongga dada, dengan
demikian memerlukan suction untuk mengeluarkannya. Sistem satu botol
digunakan pada kasus pneumothoraks sederhana sehingga hanya
membutuhkan gaya gravitasi saja untuk mengeluarkan isi pleura. Water
seal dan penampung drainage digabung pada satu botol dengan
menggunakan katup udara. Katup udara digunakan untuk mencegah
penambahan tekanan dalam botol yang dapat menghambat pengeluaran
cairan atau udara dari rongga pleura. Karena hanya menggunakan satu
botol yang perlu diingat adalah penambahan isi cairan botol dapat
mengurangi daya hisap botol sehingga cairan atau udara pada rongga
intrapleura tidak dapat dikeluarkan.

26
Gambar 6. Sistem Satu Botol
2. Two Bottle System
System ini terdiri dari botol water-seal ditambah botol penampung
cairan. Drainase sama dengan system satu botol, kecuali ketika cairan
pleura terkumpul, underwater seal system tidak terpengaruh oleh volume
drainase. Sistem dua botol menggunakan dua botol yang masing-masing
berfungsi sebagai water seal dan penampung. Botol pertama adalah
penampung drainage yang berhubungan langsung dengan klien dan botol
kedua berfungsi sebagai water seal yang dapat mencegan peningkatan
tekanan dalam penampung sehingga drainage dada dapat dikeluarkan
secara optimal. Dengan sistem ini jumlah drainage dapat diukur secara
tepat.

27
Gambar 7. Sistem dua botol
3. Three Bottle System
Pada system ini ada penambahan botol ketiga yaitu untuk
mengontrol jumlah cairan suction yang digunakan. Sistem tiga botol
menggunakan 3 botol yang masing-masing berfungsi sebagai penampung,
"water seal" dan pengatur; yang mengatur tekanan penghisap. Jika
drainage yang ingin, dikeluarkan cukup banyak biasanya digunakan mesin
penghisap (suction) dengan tekanan sebesar 20 cmH20 untuk
mempermudah pengeluaran. Karena dengan mesin penghisap dapat diatur
tekanan yang dibutuhkan untuk mengeluarkan isi pleura. Botol pertama
berfungsi sebagai tempat penampungan keluaran dari paru-paru dan tidak
mempengaruhi botol "water seal". Udara dapat keluar dari rongga
intrapelura akibat tekanan dalam bbtol pertama yang merupakan sumber-
vacum. Botol kedua berfungsi sebagai "water seal" yang mencegah udara
memasuki rongga pleura. Botol ketiga merupakan pengatur hisapan.

28
Gambar 8. Sistem tiga botol
Botol tersebut merupakan botol tertutup yang mempunyai katup atmosferik
atau tabung manometer yang berfungsi untuk mengatur dan mongendalikan
mesin penghisap yang digunakan.15
Jika jumlah cairan cukup banyak, sebaiknya dipasang selang toraks
dihubungkan dengan WSD, sehingga cairan dapat dikeluarkan secara lambat
dan aman. Pemasangan WSD menggunakan trocar (teknik tajam) dilakukan
sebagai berikut: 13
a. Tempat untuk memasukkan selang toraks biasanya di sela iga 7, 8, 9 linea
aksilaris media atau ruang sela iga 2 atau 3 linea medioklavikuralis.
b. Setelah dibersihkan dan dianastesi, dilakukan sayatan transversal selebar
kurang lebih 2 cm sampai subkutis.
c. Dibuat satu jahitan matras untuk mengikat selang.
d. Jaringan subkutis dibebaskan secara tumpul dengan klem sampai
mendapatkan pleura parietalis.
e. Selang dan trokar dimasukkan ke dalam rongga pleura dan kemudian
trokar ditarik. Pancaran cairan diperlukan untuk memastikan posisi
selang toraks.
f. Setelah posisi benar, selang dijepit dan luka kulit dijahit serta dibebat
dengan kasa dan plester.

29
g. Selang dihubungkan dengan botol penampung cairan pleura. Ujung
selang dihubungkan dengan botol penampung cairan pleura. Ujung
selang diletakkan dibawah permukaan air sedalam sekitar 2 cm, agar
udara dari luar tidak dapat masuk ke dalam rongga pleura.
h. WSD perlu diawasi tiap hari dan jika sudah tidak terlihat undulasi pada
selang, kemungkinan cairan sudah habis dan jaringan paru mengembang.
Untuk memastikan dilakukan foto toraks.
i. Selang torak dapat dicabut jika produksi cairan/hari <100ml dan jaringan
paru telah mengembang. Selang dicabut pada saat ekspirasi maksimum.

Gambar 9. WSD Trocar (teknik tajam)


Dapat juga dilakukan teknik pemasangan WSD dengan teknik
blunt dissection, dengan cara sebagai berikut:
1. Bila mungkin penderita dalam posisi duduk. Bila tidak mungkin
setengah duduk, bila tidak mungkin dapat juga penderita tiduran
dengan sedikit miring ke sisi yang sehat.
2. Ditentukan tempat untuk pemasangan WSD. Bila kanan sela iga
(s.i) VII atau VIII, kalau kiri di s.i VIII atau IX linea aksilaris
posterior atau kira-kira sama tinggi dengan sela iga dari angulus
inferius skapulae. Bila di dada bagian depan dipilih s.i II di garis
midklavikuler kanan atau kiri.

30
3. Ditentukan kira-kira tebal dinding toraks.
4. Secara steril diberi tanda pada slang WSD dari lobang terakhir
slang WSD tebal dinding toraks (misalnya dengan ikatan benang).
5. Cuci tempat yang akan dipasang WSD dan sekitarnya dengan
cairan antiseptik.
6. Tutup dengan duk steril
7. Daerah tempat masuk slang WSD dan sekitarnya dianestesi
setempat secara infiltrate dan "block".
8. Insisi kulit subkutis dan otot dada ditengah s.i.
9. Irisan diteruskan secara tajam (tusukan) menembus pleura.
10. Dengan klem arteri lurus lobang diperlebar secara tumpul.
11. Selang WSD diklem dengan arteri klem dan didorong masuk ke
rongga pleura (sedikit dengan tekanan).
12. Fiksasi selang WSD sesuai dengan tanda pada selang WSD.
13. Daerah luka dibersihkan dan diberi zalf steril agar kedap udara.
14. Selang WSD disambung dengan botol SD steril.
15. Bila mungkin dengan continous suction dengan tekanan -24
sampai -32 cmH20.13
6. Komplikasi
1. Infeksi
Pengumpulan cairan dalam ruang pleura dapat mengakibatkan infeksi
(empiema primer), dan efusi pleura dapat menjadi terinfeksi setelah
tindakan torasentesis {empiema sekunder). Empiema primer dan
sekunder harus didrainase dan diterapi dengan antibiotika untuk
mencegah reaksi fibrotik. Antibiotika awal dipilih gambaran klinik.
Pilihan antibiotika dapat diubah setelah hasil biakan diketahui. 4
2. Fibrosis
Fibrosis pada sebagian paru-paru dapat mengurangi ventilasi dengan
membatasi pengembangan paru. Pleura yang fibrotik juga dapat menjadi
sumber infeksi kronis, menyebabkan sedikit demam. Dekortikasi-reseksi

31
pleura lewat pembedahan-mungkin diperlukan untuk membasmi infeksi
dan mengembalikan fungsi paru-paru. Dekortikasi paling baik dilakukan
dalam 6 minggu setelah diagnosis empiema ditegakkan, karena selama
jangka waktu ini lapisan pleura masih belum terorganisasi dengan baik
(fibrotik) sehingga pengangkatannya lebih mudah.4
7. Prognosis
Prognosis pada efusi pleura bervariasi sesuai dengan etiologi yang
mendasari kondisi itu. Namun pasien yang memperoleh diagnosis dan
pengobantan lebih dini akan lebih jauh terhindar dari komplikasi daripada
pasien yang tidak memedapatkan pengobatan dini.
Efusi ganas menyampaikan prognosis yang sangat buruk, dengan
kelangsungan hidup rata-rata 4 bulan dan berarti kelangsungan hidup
kurang dari 1 tahun. Efusi dari kanker yang lebih responsif terhadap
kemoterapi, seperti limfoma atau kanker payudara, lebih mungkin untuk
dihubungkan dengan berkepanjangan kelangsungan hidup, dibandingkan
dengan mereka dari kanker paru-paru atau mesothelioma.
Efusi parapneumonic, ketika diakui dan diobati segera, biasanya
dapat di sembuhkan tanpa gejala sisa yang signifikan. Namun, efusi
parapneumonik yang tidak terobati atau tidak tepat dalam pengobatannya
dapat menyebabkan fibrosis konstriktif. 4,13

Karsinoma Paru
Insiden kanker paru dilaporkan meningkat di seluruh dunia. Seiring
dengan itu angka kematian akibat kanker paru meningkat dengan cepat. Keadaan
ini tidak hanya terjadi di negara berkembang. Di negara majupun peningkatan
insiden ini sangat nyata. Indonesia sebagai negara berkembang dengan laju
industri yang cukup pesat tentu mengalami kemungkinankemungkinan tersebut
(Tjahjono dkk, 2001). Kanker paru seringkali menyebabkan penimbunan cairan di
sekitar paru-paru (efusi pleura). Efusi pleura dapat menjadi indikasi suatu proses
maligna, keadaan ini ditemukan pada 10-20% karsinoma bronkogenik, 8% dari
limfoma maligna dan leukimia.

32
Kanker paru seringkali menyebabkan penimbunan cairan di sekitar
paruparu (efusi pleura), sehingga penderita mengalami sesak. Efusi dan adanya
obstruksi pada bronkus oleh karsinoma paru jenis epidermoid akan menyebabkan
sesak napas hebat, kadar oksigen darah yang rendah dan gagal jantung. Meskipun
pada penderita dilakukan aspirasi cairan pleura (torako sintesis) yang berulang-
ulang, tetapi jumlah cairan efusi pleura tetap banyak dan selalu berakumulasi
kembali dengan cepat. Efusi pada penyakit keganasan biasanya mempunyai
prognosis yang buruk, dengan harapan hidup kurang dari satu tahun.
1. Definisi
Definisi Efusi pleura ganas didefinisikan sebagai efusi yang terjadi
berhubungan dengan keganasan yang dibuktikan dengan penemuan sel
ganas pada pemeriksaan sitologi cairan pleura atau biopsi pleura.1,2
Kenyataannya sel ganas tidak dapat ditemukan pada sekitar 25% kasus
efusi pleura yang berhubungan dengan penyakit keganasan, sehingga jika
hanya menggunakan definisi di atas dapat terjadi kekeliruan pada kasus
dengan sitologi / histologi negatif.15 Pada kasus efusi pleura bila tidak
ditemukan sel ganas pada cairan atau hasil biopsi pleura tetapi ditemukan
kanker primer di paru atau organ lain, Departemen Pulmonologi dan Ilmu
Kedokteran Respirasi FKUI dan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
(PDPI) memasukkannya sebagai EPG. Pada beberapa kasus, diagnosis
EPG didasarkan pada sifat keganasan secara klinis, yaitu cairan eksudat
yang serohemoragik/ hemoragik, berulang, masif, tidak respons terhadap
antiinfeksi atau sangat produktif meskipun telah dilakukan torakosentesis
untuk mengurangi volume cairan intrapleura.2,12
2. Patofisiologi
Patofisiologi EPG belum jelas benar tetapi berkembang beberapa hipotesis
untuk menjelaskan mekanisme EPG itu. Akumulasi efusi di rongga pleura
terjadi akibat peningkatan permeabiliti pembuluh darah karena reaksi
inflamasi yang ditimbulkan oleh infiltrasi sel kanker pada pleura parietal
dan/ atau viseral. Pendapat lain dikemukakan oleh Rodriguez-Panadero
dkk,10 setelah meneliti 55 kasus postmortem tumor pleura. Ditemukan

33
tumor di pleura viseral pada 51 kasus sedangkan di pleura parietal pada 31
kasus. Hanya pada kasus tumor dengan perluasan langsung, tumor
ditemukan pada pleura parietal tetapi tidak pada viseral. Berdasarkan hasil
itu disimpulkan bahwa implikasi sel ganas di pleura viseral terjadi akibat
emboli tumor ke paru sedangkan pada pleura parietal adalah akibat
kelanjutan proses yang terjadi di pleura viseral. Mekanisme lain yang
mungkin adalah invasi langsung tumor yang berdekatan dengan pleura,
obstruksi pada kelenjar limfe, penyebaran hematogen atau tumor primer
pleura (mesotelioma). Gangguan penyerapan cairan oleh pembuluh limfe
pada pleura parietal akibat deposit sel kanker itu menjadi penyebab
akumulasi cairan di rongga pleura.16 Teori lain menyebutkan terjadi
peningkatan permeabiliti yang disebabkan oleh gangguan fungsi beberapa
sitokin antara lain tumor necrosing factor-α (TNF-α), tumor growth factor-
β (TGF-β) dan vascular endothelial growth factor (VEGF). Penulis lain
mengaitkan EPG dengan gangguan metabolisme, menyebabkan
hipoproteinemia dan penurunan tekanan osmotik yang memudahkan
perembesan cairan ke rongga pleura.17-18
3. Diagnosis
EPG dengan mudah dan cepat dapat ditegakkan hanya dengan prosedur
diagnosis dan alat bantu diagnostik yang sederhana, misalnya berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisis, foto toraks dan torakosentesis saja.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia dalam alur diagnosis dan
penatalaksanaannya menuliskan langkah awal yang paling penting untuk
diagnosis EPG adalah memastikan apakah cairan bersifat eksudat dan/atau
menemukan tumor primer di paru atau organ lain. Selain itu disingkirkan
juga penyebab lain misalnya pleuritis akibat infeksi bakteri atau penyakit
nonkeganasan lain.2 Alur diagnosis EPG secara skematis dapat dilihat
pada gambar 1.

34
Gambar 1. Alur diagnosis EPG secara sistematis
4. Gejala klinis
Pada anamnesis kecuali gejala klinis seperti sesak napas yang berkaitan
dengan volume cairan atau keluhan lain maka riwayat perjalanan klinis
yang mengarah ke penyakit keganasan rongga toraks dan organ luar toraks
lain harus dapat digali secara baik, sistematik dan tepat. Faktor risiko
untuk penyakit keganasan lain yang dipunyai pasien dapat memperkuat
analisis, misalnya lakilaki usia lebih dari 40 tahun dan perokok atau
perempuan dengan riwayat pernah dikemoterapi untuk kanker payudara.
Kebanyakan kasus EPG simptomatis meskipun sekitar 15% datang tanpa
gejala, terutama pasien dengan volume cairan kurang dari 500ml.7-19 Sesak
napas adalah gejala tersering pada kasus EPG terutama jika volume cairan
sangat banyak.20-22 Sesak napas terjadi karena refleks neurogenik paru dan
dinding dada karena penurunan keteregangan (compliance) paru,
penurunan volume paru ipsilateral, pendorongan mediastinum ke arah

35
kontralateral dan penekanan diafragma ipsilateral.1,21,22 Estenne dkk
menyimpulkan bahwa meskipun terjadi perubahan fungsi paru pada
penderita EPG misalnya perubahan volume ekspirasi paksa detik pertama
(VEP1) tetapi perubahan itu saja belum memadai untuk dapat menjelaskan
mekanisme sesak. Mereka membuat hipotesis lain yaitu sesak napas terjadi
karena berkurangnya kemampuan meregang otot inspirasi akibat terjadi
restriksi toraks oleh cairan.20 Gejala lain adalah nyeri dada sebagai akibat
reaksi inflamasi pada pleura parietal terutama pada mesotelioma, batuk,
batuk darah (pada karsinoma bronkogenik), anoreksia dan berat badan
turun.21,22
5. Pemeriksaan klinis
Pemeriksaan fisis bukan hanya berguna untuk menentukan lokasi dan
perkiraan volume cairan saja, tetapi untuk menemukan kelainan lain di
tubuh penderita, misalnya tumor di daerah leher, supraklavikula, aksila,
payudara, dinding dada, intraabdomen atau pembesaran prostat pada laki-
laki. Dengan pemeriksaan yang teliti juga dapat memprediksi kegawatan,
misalnya tandatanda sindrom vena kava superior (SVCS), karena
penekanan oleh tumor. Tanda-tanda yang dapat ditemukan antara lain
edema pada wajah dan lengan kanan disertai peningkatan tekanan vena
jugularis dan tampak venektasi di dada. Masalah SVCS sering terjadi pada
tumor paru dan mediastinum yang kadang membutuhkan penatalaksanaan
segera meskipun diagnosis pasti belum dapat ditegakkan.2
6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan EPG harus segera dilakukan sebagai terapi paliatif setelah
diagnosis dapat ditegakkan. Tujuan utama penatalaksanaan segera ini
adalah untuk mengatasi keluhan akibat volume cairan dan meningkatkan
kualiti hidup penderita.19 Pada pedoman penatalaksanaan KPKBSK
menurut PDPI, EPG dengan cairan masif yang menimbulkan gejala klinis
sehingga mengganggu kualiti hidup penderita maka dapat dilakukan
torakosentesis berulang atau jika perlu dengan pemasangan water sealed
drainage (WSD).2 Pada kasus-kasus tertentu harus dilakukan pleurodesis

36
yaitu dengan memasukkan bahan tertentu ke rongga pleura. Intervensi
bedah dilakukan jika semua usaha telah dilakukan dan gagal. Pada EPG
yang tidak masif dan gejala klinis ringan terapi khusus tidak dibutuhkan.
Efek terapi diharapkan timbul dari pemberian kemoterapi yang menjadi
pilihan terapi kanker paru. Pilihan kemoterapi berdasarkan jenis sel kanker
paru (KPKBSK atau KPKSK), stage penyakit dan tampilan pasien.
Kemoterapi adalah pilihan terapi dengan tujuan paliatif untuk KPKSK dan
KPKBSK stage IIIB dan IV. Jika EPG disebabkan tumor lain di luar paru
maka penatalaksanaan EPG hanya untuk mengatasi masalah klinis di paru
yang ditimbulkan. Tindakan yang dilakukan sama dengan penatalaksanaan
EPG masif pada kanker paru. Sedangkan jika EPG dengan klinis ringan
terapi berdasarkan tumor primer penyebab. Alur penatalaksanaan dapat
dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Alur penatalaksanaan EPG

Volume cairan yang harus dikeluarkan saat torakosentesis pada


EPG massif tidak baku untuk semua kasus, untuk memutuskan jumlah
cairan yang akan dikeluarkan penting diperhatikan reaksi tubuh pasien,
umumnya tidak dianjurkan mengeluarkan > 1.500 ml satu kali punksi
untuk mencegah terjadi syok karena hipovolemik mendadak dan/ atau

37
reaksi pemutaran organ mediastinum (jantung). Pengosongan dalam
jumlah banyak dan tiba-tiba juga dapat menyebabkan terjadi peningkatan
permeabiliti kapiler sehingga menyebabkan edema paru reekspansi.1,2,7
Demikian juga pada kondisi jika harus dilakukan pemasangan WSD, pada
awalnya dilakukan pengaliran secara bertahap dengan jumlah 100-300 ml
per 4 jam sampai terjadi produksi harian yang stabil pada posisi WSD
terpasang dan aliran tetap terbuka. Rekomendasi dari BTS tentang
torakosentesis pada EPG; melakukan punksi berulang untuk mengatasi
sesak napas dan WSD hanya dianjurkan bila direncanakan akan dilakukan
pleurodesis untuk mencegah terjadi rekurensi.7 Pada kondisi cairan yang
terus diproduksi dilakukan usaha untuk mengurangi produksi cairan
dengan target sel tumor yang ada di rongga pleura (kemoterapi
intrapleura). Biasanya dilakukan setelah volume cairan yang diproduksi
sudah tidak terlalu banyak (< 400 ml/hari). Jenis obat yang sering
digunakan untuk tujuan itu adalah bleomisin dengan dosis 45-60 mg/kali
atau adriamisin 45 mg/kali. 2,7
7. Kemoterapi intrapleura dan pleurodesis
Kemoteapi intrapleura dan pleurodesis adalah terapi paliatif pada kasus
EPG dengan keluhan (simptomatik) dan/ atau berulang. Kemoterapi
intrapleura pada dasarnya istilah yang tidak terlalu tepat karena
mekanisme kerjanya tidak sama dengan kemoterapi sistemik yaitu
membunuh sel kanker melalui proses apoptosis. Pemberian obat
antikanker intrapleura mengharapkan terjadi penyumbatan pada vena atau
limphe di pleura parietalis sehingga produksi cairan dapat berkurang.
Penggunaan obat antikanker (kemoterapi ) dengan prinsip pleurodesis
dilakukan bila paru sudah mengembang dan tidak ditemukan obstruksi
bronkus atau fibrosis yang luas, dan sebaiknya segera dilakukan setelah
jumlah cairan minimal (<150 ml/ hari) dan paru mengembang.7,19.
Kemoterapi intrapleura diindikasikan untuk kanker paru dengan masalah
efusi pleura yang produktif setelah dilakukan punksi berulang atau setelah
pemasangan WSD. Penggunaan continous suction sebelum atau sesudah

38
tindakan masih pro dan kontra, tetapi apabila tetap digunakan sebaiknya
dengan volume besar dan tekanan rendah.7 Penggunaan antikanker
misalnya bleomisin atau adriamisin digunakan untuk kemoterapi
intapleura lebih disukai karena prosedur lebih sederhana, tinggi efektiviti
dan ringan efek samping tetapi mahal harganya. Obat itu juga dapat
digunakan untuk pleurodesis. Dosis bleomisin atau adriamisin yang
direkomendasikan adalah 30-60 mg intrapleura perkali.2 Dosis yang sering
digunakan adalah 45 mg/kali dan dapat dilakukan hingga 3x dengan
evaluasi 1 minggu. Tindakan invasif atau bedah dapat dipikirkan jika
setelah pemberian kemoterapi intrapleura 3x belum memberi respons yang
baik. Bahan lain yang juga sering digunakan untuk pleudesis adalah
tetrasiklin 500 mg/kali, doksisiklin 500 mg/kali atau minosiklin 300
mg/kali diencerkan dengan 50-100ml cairan salin steril.2,4,7,19 Penggunaan
bahan ini sedikit lebih rumit karena sifat iritan yang sering menimbulkan
syok akibat nyeri yang ditimbulkannya dan membutuhkan premedikasi,
antara lain anestetik intrapleura dan analgesik (pain killer) injeksi yang
kuat. Talk steril (Mg3Si4010[OH]2), metilprednisolon, povidon iodine dan
sitokin (IL-2, IFN-γ dan TNF-α) adalah bahan yang juga dapat digunakan
2,4,7,19
untuk pleurodesis meski masih dalam uji klinis. Pada kasusgagal
atau berulang maka pleurodesis dapat diulang,2 sampai 3 kali dengan
selang waktu 1 minggu
8. Intervensi beda
Bedah pintas pleuroperitoneal yaitu tindakan pilihan untuk pasien
dengan efusi yang menetap setelah dilakukan pleurodesis. Pada kasus
dengan produktifiti yang gagal diatasi dengan usaha di atas perlu tindakan
pleurektomi yaitu tindakan membuang pleura parietal. 2,19

39
KASUS
I. IDENTITAS
Nama : Tn. F Tanggal Masuk : 17/01/2019
Umur : 62 tahun Ruangan : Rajawali Atas
JK : Laki-laki Rumah Sakit : RSU Anutapura Palu

II. ANAMNESIS
Keluhan utama : Sesak Nafas
Anamnesis Terpimpin :
Seorang pasien laki-laki umur 62 tahun masuk Rumah Sakit Anutapura
dengan keluhan sesak nafas. Sesak nafas dialami sejak 1 minggu yang lalu dan
memberat 1 hari terakhir. Sesak nafas disertai dengan nyeri dada sebelah kiri.
Pasien juga mengeluhkan batuk berlendir (bukan berdarah) berwarna putih
sejek 4 hari yang lalu, dan mengalami kesulitan tidur tiap malamnya, pasien
merasa nyaman apabila dengan posisi duduk. Sakit kepala (+), pusing (-),
mual (-), muntah(-), nyeri uluhati(-). Pasien memiliki riwayat di rawat di
Rumah Sakit Samaritan 3 bula yang lalu dan dilakukan pungsi paru. Cairan
yang dsedot sekitar 1.200 cc. Setelah dirawat di RS Samaritan 4 hari pasien di
bolehkan pulang dan kontrol di poli, setelah di lakukan pungsi pasien merasa
lebih sehat dan sesak mulai kambuh 1 minggu terakhir. Pada saat pasien di
rawat di Rumah Sakit Anutapura pasien di lakukan kembali pungsi untuk ke
2x tetapi pungsi yang di lakukan ke 2x cairannya tidak keluar karna terasa
padat. akhir-akhir ini pasien kurang nafsu makan sehingga mengalami
penurunan berat badan. Pasien memiliki riwayat merokok (+), BAK lancar,
BAB biasa.

Riwayat penyakit dahulu :


Pasien mempunyai riwayat dengan keluhan yang sama sekitar 3 bulan yang
lalu dan di lakukan pungsi paru. Riwayat hipertensi (-), diabetes (-)
Riwayat penyakit keluarga :
Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan sama dengan pasien.

40
III. STATUS GENERALISATA
KU : Sakit sedang
GCS : E4 V5 M6
Tanda-tanda Vital
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Nadi : 88 Kali/menit
Pernapasan : 28 Kali/menit
Suhu : 36,7 ºC
Pemeriksaan Fisik :
Kepala
Simetri muka : simetris
Bibir : Sinosis (-)
Rambut : warna hitam, sulit dicabut
Mata
Konjungtiva : anemis (-)
Exophthalmus : (-)
Sklera : ikterik (-)
Visus : normal
Leher
Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Peningkatan JVP (-)
Pembesarat tiroid (-)
Thorax
Inspeksi : Gerakan dada simetris bilateral
Palpasi : Vocal fremitus (+/↓), massa (-)
Perkusi : Sonor pada hemithoraks kanan seluruh lapang paru, pekak pada
hemithoraks kiri seluruh lapang paru.
Auskultasi : Bunyi pernafasan vesikular (+/↓), Rhonki (- /-),wheezing (- /-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V midclavicular sinistra

41
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : Bunyi jantung S1/S2 murni, regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : tampak datar, kesan normal
Auskultasi : peristaltik (+), kesan normal
Perkusi : Tympani (+)
Palpasi : Nyeri tekan abdomen (-), massa (-)
Ekstremitas
Ekstremitas Atas : Akral hangat, edema (-)
Ekstremitas Bawah : Akral hangat, edema (+)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


- Laboratorium :
o RBC : 3,74 x 106/mm3
o HGB : 12,6 g/dL
o HCT : 37,9 %
o PLT : 307 x 103/mm3
o WBC : 12,3 x 103
o HbsAg : Negatif
o Anti HCV : Negatif
o Urea :125 mg/dL
o Creatinin : 1,29 mg/dL
o Albumin 1 : 3,8 g/dl
o Albumin 2 : 3,7 g/dl
o Kolesterol : 106 mg/dl
o HDL Kolesterol: 42 mg/dl
o LDL Kolesterol : 47 mg/dl
o Trigliserid : 76 mg/dl
o Kalium : 4,32 mmol/L
o Natrium : 124,00 mmol/L
o Kalium : 90,08 mmol/L

42
o LED 1 : 25/jam
o Xpert MTB : negatif
- Pemeriksaan Radiologi
CT-Scan thorax :
1) Sugestif masa paru sinistra disertai multiple nodul metastasis paru
2) Efusi pleura sinistra disertai volume loose pau sinistra
3) Efusi pericard dan asites
Foto Thorax AP :
1) Perselubungan homogen pada hemithorax kiri yang menutupi sinus
dan diagfragma kiri serta mendesak cor dan organ mediastinum
lainnya ke kanan
2) Cor : sulit dinila
3) Sinus dan diagfragma kanan baik
4) Tulang-tulang intak
USG Abdomen :
1) Hepatomegaly
2) Asites
3) Efusi pleura sinistra

43
V. RESUME:
Pasen laki-laki umur 62 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan dispnea
yang di alami sejak 1 minggu yang lalu. Dispnea di sertai dengan batuk
berlendir berwarna putih. Pasien merasa nyaman dalam posisi duduk, sakit
kepala (+). Pasen memiliki riwayat Masuk Rumah Sakit Samaritan dan di
lakukan pungsi paru, cairan yang di pungsi sebanyak 1.200cc. Pada saat
pasien di rawat di Rumah Sakit Anutapura pasien di lakukan kembali
pungsi untuk ke 2x tetapi pungsi yang di lakukan ke 2x cairannya tidak
keluar karna terasa padat. BAK lancar BAB biasa.
Dari pemeriksaan fisik thorax didapatkan:
 Thorax
Inspeksi : Gerakan dada simetris bilateral
Palpasi : Vocal fremitus (N/ ↓), massa (-)
Perkusi : Sonor pada hemithoraks kanan seluruh lapang paru, pekak pada
hemithoraks kiri seluruh lapang paru.
Auskultasi :Bunyi pernafasan vesikular (+ / ↓), Rhonki (-/-),wheezing (-/-)
Dari pemeriksaan penunjang didapatkan:
 Laboratorium :
WBC : 12,3 x 103
HGB : 12,6 g/dL
HCT : 37,9 %

44
 CT-Scan thorax :
 Sugestif masa paru sinistra disertai multiple nodul metastasis paru
 Efusi pleura sinistra disertai volume loose pau sinistra
 Efusi pericard dan asites
 Foto Thorax AP :
 Perselubungan homogen pada hemithorax kiri yang menutupi sinus
dan diagfragma kiri serta mendesak cor dan organ mediastinum
lainnya ke kanan
 Cor : sulit dinila
 Sinus dan diagfragma kanan baik
 Tulang-tulang intak
 USG :
 Hepatomegaly
 Asites
 Efusi pleura sinistra
 Xpert MTB : negatif
VI. DIAGNOSIS : Efusi pleura sinistra sugestive e.c susp. Karsinoma Paru
VII. PENATALAKSANAAN
- Non-Medikamentosa :
o O2 3 lpm
- Medikamentosa :
IVFD Nacl 3%
Inj. Ceftriaxone 2 gr/24 jam/IV
Combivent,Flexotide/8jam
Inj. Pantoprazole/8 jam
Asetilsistein 3x1
Curcuma 2x1
Lasix 1am/hari
VIII. PROGNOSIS : Dubia et Bonam

45
FOLLOW UP
Tanggal S O A P
25/01/201 - KU sakit sedang TTV - Efusi O2 3 lpm
9 - Sesak napas (+) TD : 130/90 mmHg pleura IVFD Nacl 3%
- Batuk berdahak N : 86 x/menit sinistra Inj. Ceftriaxone 2 gr/24 jam/IV
(+) mulai R : 28 x/menit sugestive Combivent,Flexotide/8jam
berkurang S : 36,7o C e.c susp. Inj. Pantoprazole/8 jam
- Nyeri dada kiri (- Karsinoma Asetilsistein 3x1
) Thorax Paru Curcuma 2x1
- Sulit tidur (+) Inspeksi : Gerakan dada Lasix 1am/hari
- Nyeri uluhati (+) simetris bilateral
- Mual (-) Palpasi : Vocal fremitus
- Kedua tungkai (N /↓ ), massa (-)
bawah terasa Perkusi : Sonor pada
keram hemithoraks kanan
- BAB dan BAK seluruh lapang paru,
biasa pekak pada hemithoraks
kiri seluruh lapang paru.
Auskultasi : Bunyi
pernafasan vesikular (N /
↓), Rhonki (- / -),
wheezing (- / -)

46
BAB III
PEMBAHASAN

Efusi pleura adalah pengumpulan cairan dalam rongga pleura yang terletak
diantara permukaan visceral dan parietal. Efusi Pleura merupakan proses penyakit
primer yang jarang terjadi tetapi biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap
penyakit lain. Secara normal, ruang pleura mengandung sejumlah kecil cairan (5-
15 ml) berfungsi sebagai pelumas yang memungkinkan permukaan pleural
bergerak tanpa adanya friksi.
Pada pasien ini dari hasil anamnesis Seorang pasien laki-laki umur 62 tahun
masuk Rumah Sakit Anutapura dengan keluhan sesak nafas. Sesak nafas dialami
sejak 1 minggu yang lalu dan memberat 1 hari terakhir. Sesak nafas disertai
dengan nyeri dada sebelah kiri. Pasien juga mengeluhkan batuk berlendir (bukan
berdarah) berwarna putih sejek 4 hari yang lalu, dan mengalami kesulitan tidur
tiap malamnya, pasien merasa nyaman apabila dengan posisi duduk. Sakit kepala
(+), pusing (-), mual (-), muntah(-), nyeri uluhati(-). Pasien memiliki riwayat di
rawat di Rumah Sakit Samaritan 3 bula yang lalu dan dilakukan pungsi paru.
Cairan yang dsedot sekitar 1.200 cc. Setelah dirawat di RS Samaritan 4 hari
pasien di bolehkan pulang dan kontrol di poli, setelah di lakukan pungsi pasien
merasa lebih sehat dan sesak mulai kambuh 1 minggu terakhir. akhir-akhir ini
pasien kurang nafsu makan sehingga mengalami penurunan berat badan. Pasien
memiliki riwayat merokok (+), BAK lancar, BAB biasa..
Anamnesis yang terdiri dari gejala dan riwayat penyakit sebelumnya dan
riwayat keluarga dapat membantu diagnosis efusi pleura. Pada pasien ini
mempunyai riwayat dengan keluhan yang sama sekitar 3 bulan yang lalu dan di
lakukan pungsi lalu keluhan mulai hilang. Tidak ada keluarga pasien yang
mengalami keluhan sama dengan pasien.
Sekaligus evaluasi terhadap kemungkinan penyebab efusi pleura adalah
carninoma paru. Hal ini dapat dibuktikan dengan penurunan berat badan dan
kebiasaan meorkok pasien yang dapat mengarah ke kausa keganasan. 15

47
Pada kasus pada anamnesis didapatkan pasien mempunyai riwayat
dilakukan pungsi torakosintetis sebanyak 2x dan pada saat pungsi yang ke 2x
cairan berupa cairan eksudat dan berulang karena sebelumnya pasien telah
dilakukan pungsi. Menurut teori, Pada beberapa kasus, diagnosis EPG didasarkan
pada sifat keganasan secara klinis, yaitu cairan eksudat yang serohemoragik/
hemoragik, berulang, masif, tidak respons terhadap antiinfeksi atau sangat
produktif meskipun telah dilakukan torakosentesis untuk mengurangi volume
cairan intrapleura. Hal ini sesuai pada kasus dimana pasien tidak di lakukan
pemeriksaan PA biopsi hanya mengarah ke pemeriksaan klinis berupa
thorakosintetis.

Gejala klinis yang didapatkan biasanya Pada anamnesis seperti sesak napas
yang berkaitan dengan volume cairan atau keluhan lain maka riwayat perjalanan
klinis yang mengarah ke penyakit keganasan rongga toraks dan organ luar toraks
lain harus dapat digali secara baik, sistematik dan tepat. Faktor risiko untuk
penyakit keganasan lain yang dipunyai pasien dapat memperkuat analisis,
19
misalnya laki-laki usia lebih dari 40 tahun dan perokok. Sesak napas adalah
gejala tersering pada kasus EPG terutama jika volume cairan sangat banyak.20-22
Sesak napas terjadi karena refleks neurogenik paru dan dinding dada karena
penurunan keteregangan (compliance) paru, penurunan volume paru ipsilateral,
pendorongan mediastinum ke arah kontralateral dan penekanan diafragma
ipsilateral.1,21,22 Estenne dkk menyimpulkan bahwa meskipun terjadi perubahan
fungsi paru pada penderita EPG misalnya perubahan volume ekspirasi paksa detik
pertama (VEP1) tetapi perubahan itu saja belum memadai untuk dapat
menjelaskan mekanisme sesak. Mereka membuat hipotesis lain yaitu sesak napas
terjadi karena berkurangnya kemampuan meregang otot inspirasi akibat terjadi
restriksi toraks oleh cairan.20 Gejala lain adalah nyeri dada sebagai akibat reaksi
inflamasi pada pleura parietal terutama pada mesotelioma, batuk, batuk darah
(pada karsinoma bronkogenik), anoreksia dan berat badan turun. Di mana
anamnesis pada pasien ini sesuai dengan teori di mana pasien berumur lebih dari

48
40 tahun, pasien mengeluhkan sesak napas, batuk dan nyeri dada, penurunan
nafsu makan dan juga memiliki riwayat merokok.

Pada pemeriksaan fisik thorax pasien didapatkan Palpasi Vocal fremitus dada
kiri menurun dibandingkan dada kanan. Pada perkusi didapatkan sonor pada
hemithoraks kanan seluruh lapang paru, pekak pada hemithoraks kiri seluruh
lapang paru. Sedangkan pada auskultasi didapatkan bunyi pernafasan hemithoraks
kiri menghilang, sedangkan hemithoraks kanan vesicular seluruh lapang paru.
Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan sesak yang ditandai dengan
digunakannya otot-otot bantu pernafasan, pergerakan hemithoraks yang sakit akan
tertinggal dibandingkan sisi yang sehat, palpasi taktil vokal fremitus menurun atau
menghilang, perkusi pada daerah efusi akan redup atau pekak. Pada auskultasi,
bunyi pernafasan akan menurun atau tidak terdengar pada hemithoraks kiri. Pada
efusi pleura masif dapat ditemui kurangnya usaha untuk bernafas dan tanda-tanda
pergesaran mediastinum.

Pada pemeriksaan penunjang kasus dilakukan pemeriksaan laboratorium


darah dan foto polos thorax. Hasil pemeriksaan darah lengkap didapatkan
leukositosis yang berarti dapat disebabkan oleh infeksi bakteri. Sedangkan
pemeriksaan sputum BTA hasilnya negatif. Pada pemeriksan foto Thorax AP
didapatkan Perselubungan homogen pada hemithorax kiri yang menutupi sinus
dan diagfragma kiri serta mendesak cor dan organ mediastinum lainnya ke kanan,
dimana Cor sulit dinila, Sinus dan diagfragma kanan baik, dan Tulang-tulang
intak. Pada efusi pleura masif akan ditandai dengan adanya pergeseran organ
mediastinum kearah kontralateral dari efusi, itu ditandai dengan pemeriksaan
USG berkesimpulan Hepatomegaly, Asites, Efusi pleura sinistra, Posisi jantung
terdesak ke kanan, Efusi pleura sinistra massive. Pada pemeriksaan CT-Scan
thorax Sugestif masa paru sinistra disertai multiple nodul metastasis paru, Efusi
pleura sinistra disertai volume loose pau sinistra, Efusi pericard dan asites
Pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dapat
disimpulkan Efusi pleura massive sinistra susp. Karsinoma Paru

49
Pentalaksanaan yang diberikan pada pasien ini berupa non medikamentosa dan
medikamentosa. Pada non medikamentosa pasien dilakukan chest tube dengan
pemberian oksigen 02 3 lpm untuk mengurangi sesak. Sedangkan pada
medikamentosa diberikan IVFD Nacl 3% untuk mengatasi kebutuhan cairan per
hari, Inj. Ceftriaxone 2 gr/24 jam/IV untuk mengatasi infeksi bakteri karena
merujuk dari hasil pemeriksaan laboratorium pasien mengalami leukositosis,di
berikan combivent,Flexotide/8jam sebagai nebulizer untuk mengurangi sesak, Inj.
Pantoprazole/8 jam untuk mengurangi nyeri ulu hati akibat asam lambung
berlebih, di berikan Asetilsistein tablet 3x1 untuk mengencerkan batuk pasien,
diberikan Curcuma 2x1 untuk mengembalikan nafsu makan dari pasien, dan di
berikan inj. Lasix 1amp/ hari untuk mengeluarkan cairan dari tubuh pasien..
Tujuan penatalaksanaan efusi pleura adalah terlebih dahulu meringankan
gejala simptomatik dengan cara mengeluarkan akumulasi cairan dari kavum
pleura dan menangani penyebab dari efusi pleura. Pemilihan terapi biasanya
bergantung pada jenis efusi pleura, jumlah efusi pleura dan penyakit yang
mendasari. Prinsip penatalaksanaan pertama adalah menentukan jenis efusi pleura,
transudat atau eksudat. Dibawah ini disajikan tabel perbedaan antara transudat dan
eksudat.4

Adapun kriteria lainnya untuk membedakan cairan pleura eksudat atau


transudat yaitu dengan menggunakan kriteria lights (sensitivitas 98% dan
spesifisitas 74%). Berikut ini disajikan tabel dari kriteria lights.4

50
Berdasarkan kriteria lights maka efusi transudat tergolong efusi tanpa
komplikasi, dapat ditangani dengan penanganan konservatif atau antibiotik saja.
Akan tetapi efusi eksudat atau efusi transudat dalam jumlah yang sangat banyak
harus ditangani dengan jalan drainase. Pilihan terapi dapat berupa pemasangan
chest tube dan water sealed drainage, pleurodesis dan pembedahan.4
Pemasangan chest tube dan water sealed drainage (WSD) dilakukan untuk
terapi efusi pleura dengan cara mengalirkan secara kontinyu produksi cairan
dalam kavum pleura. Prosedur sebaiknya dilakukan dengan posisi pasien
berbaring dan tergantung dari gejala klinik. Titik pemasangan chest tube pada
anterior linea aksilaris media pada ICS V. Setelah melakukan proses asepsis,
antisepsis dan drapping, maka dilakukan infiltrasi lidokain 2% secukupnya pada
tempat pemasangan. Insisi kulit dilakukan di ICS V kira-kira sepanjang ¾ inci
hingga 1,5 inci, kemudian secara perlahan lakukan diseksi secara tumpul untuk
menembus jaringan yang lebih dalam hingga menembus pleura parietalis.
Masukkan chest tube sesuai ukuran dengan klem penuntun, setelah selesai maka
drain yang terpasang harus disambungkan dengan sistem drainase yang tepat.
Biasanya digunakan botol yang telah berisi air dengan ketinggian 2 cm untuk
sistem drainase. Dilakukan fiksasi jahitan pada luka bekas insisi dengan jahit
matras horizontal dan simpul hidup menggunakan benang silk ukuran 1,0. Luka
kemudian ditutup dengan kasa steril, lalu dilakukan follow up terhadap undulasi,
bubble, warna cairan, produksi cairan dan klinis pasien. Pada pasien sudah
dilakukan pemasangan WSD pada 3 bulan yang lalu di Rumah Sakit Samaritan
Palu yang mana WSD ini merupakan suatu sistem drainage yang menggunakan
water seal untuk mengalirkan udara atau cairan dari cavum pleura. Adapun
indikasi dilakukannya tindakan WSD pada pasien ini adalah adanya Efusi pleura
sinistra sugestive e.c susp. Karsinoma Paru

51
DAFTAR PUSTAKA

1. Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis


Proses-Proses Penyakit. Vol 2. Ed. 6. Jakarta EGC.
2. Putu Bayu Dian Tresna Dewi: Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Efusi pleura masif: sebuah laporan kasus. http://download. Portalgaruda.
org/article.php?article=14479&val=970
3. Priscilla Dwianggita Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana: Etiologi Efusi Pleura pada Pasien Rawat Inap di
Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar, Bali Tahun 2013 : e- issn:
2503-3638, print issn: 2089-9084 ism vol. 7 no.1, September-Desember, hal
57-66 57 http://isainsmedis.id/ojs/

4. Halim, Hadi. 2007. Penyakit-penyakit Pleura. Dalam: Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam, Sudoyo AW, et al. Edisi 4, Jilid II. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen IPD FKUI.
5. Irandi Putra Pratomo, Faisal Yunus,. Anatomi dan Fisiologi Pleura ,.
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia/ RSUP Persahabatan, Jakarta, Indonesia:
file:///E:/file/bedah/05_205Anatomi%20dan%20Fisiologi%20Pleura.pdf
6. Simanjuntak ES., Fakultas Kedokteran Universitas Lampung Efusi pleura
kanan yang disebabkan oleh carcinoma mammae dextra metastase ke
paru. Medula, Volume 2, Nomor 1, Januari 2014 : [Medula Unila.2014;2(1) :
22-29]
7. Rita Khairani, Elisna Syahruddin, Lia Gardenia Partakusuma., Departemen
Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, RS Persahabatan, Jakarta. Departemen Patologi Klinik
RS Persahabatan / RS Fatmawati, Jakarta : Karakteristik Efusi Pleura di
Rumah Sakit Persahabatan : J Respir Indo Vol. 32, No. 3, Juli 2012.
http://jurnalrespirologi.org/wp-content/uploads/2012/11/jri-2012-32-3-155-
60.pdf

52
8. Imelda Puspita, Tri Umiana Soleha, Gabriella Berta Fakultas Kedokteran,
Universitas Lampung Penyebab Efusi Pleura di Kota Metro pada tahun
2015 : J AgromedUnila | Volume 4| Nomor 1 | Juni 2017.
9. McGrath E. Diagnosis of Pleural Effusion: A Systematic Approach.
American Journal of Critical Care 2011; 20: 119-128.
10. Vinaya S Karkhanis and Jyotsna M Joshi : Pleural effusion: diagnosis,
treatment, and management. Open Access Emerg Med. 2012; 4: 31–52.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4753987/
11. Yu H. Management of Pleural Effusion, Empyema and Lung
Abscess.Semin Intervent Radiol.2011;28:75–86.
12. Perhimpunanan spesialis paru Indonesia
13. Saryono Lab. Keterampilan Medik PPD Unsoed Modul Skillab A-JILID
I. Modul 3B Water Seal Drainage. Diakses pada Januari 2019.

53

Anda mungkin juga menyukai