Anda di halaman 1dari 42

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Nyeri abdomen adalah nyeri yang dirasakan di abdomen yang dapat berasal dari dalam abdomen, dinding abdomen, atau merupakan nyeri alih dari suatu sumber di luar abdomen, pada tulang belakang atau thorak. Nyeri abdomen (nyeri perut) adalah keluhan tidak jelas yang sering diderita oleh pasien dengan penyakit gastrointestinal. Banyak kondisi yang dapat menimbulkan akut abdomen, apapun penyebabnya gejala utama yang menonjol adalah nyeri akut pada daerah abdomen. Secara garis besar, akut abdomen dapat disebabkan oleh infeksi atau inflamasi, oklusi obstruksi, dan perdarahan. Keadaan infeksi atau peradangaan misalnya pada kasus apendisitis, kolesistitis, atau penyakit Crohn. Keadaan oklusi obstruksi misalnya pada kasus hernia inkaserata atau volvulus. Sedangkan keadaan perdarahan misalnya pada kasus trauma organ abdominal, kehamilan ektopik terganggu, atau rupture tumor Hepatoma (hepatocellular carcinoma) adalah suatu kanker yang timbul dari hati. Ia juga dikenal sebagai kanker hati primer. Hepatoma adalah kanker kelima yang paling umum di dunia. Suatu kanker yang mematikan, kanker hati akan membunuh hampir semua pasienpasien yang menderitanya dalam waktu satu tahun. Pada tahun 1990, organisasi kesehatan dunia (WHO) memperkirakan bahwa ada kira-kira 430.000 kasus-kasus baru dari kanker hati diseluruh dunia, dan suatu jumlah yang serupa dari pasien-pasien yang meninggal sebagai suatu akibat dari penyakit ini. Sekitar tiga per empat kasus-kasus kanker hati ditemukan di Asia Tenggara (China, Hong Kong, Taiwan, Korea, dan Japan). Kanker hati juga adalah sangat umum di Afrika Sub-Sahara (Mozambique dan Afrika Selatan) Abses hepar merupakan infeksi pada hati yang disebabkan oleh infeksi bakteri, parasit, jamur, maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem GIT; ditandai dengan proses supurasi dengan pembentukan pus, terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel inflamasi, sel darah dalam parenkim hati. 1.2. Batasan Masalah Refrat ini membahas mengenai nyeri abdomen, hepatoma dan abses hepar yang pembahasannya kami batasi mengenai definisi, epidemiologi, factor risiko, diagnosis, tatalaksana, dan komplikasi.

1.3. Tujuan Penulisan Penulisan refrat ini bertujuan untuk memahami serta menambah pengetahuan tentang nyeri abdomen, hepatoma dan abses hepar.

1.4. Metode Penulisan Penulisan refrat ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan mengacu pada berbagai literatur.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Nyeri Abdomen 2.1.1 Definisi Nyeri abdomen adalah nyeri yang dirasakan di abdomen yang dapat berasal dari dalam abdomen, dinding abdomen, atau merupakan nyeri alih dari suatu sumber di luar abdomen, pada tulang belakang atau thorak. Nyeri abdomen (nyeri perut) adalah keluhan tidak jelas yang sering diderita oleh pasien dengan penyakit gastrointestinal. Tujuan awal penanganan adalah menentukan urgensi situasi dan memberikan perawatan darurat yang diperlukan. Evaluasi harus berjalan seiring dengan kecepatan dan kecermatan yang diperlukan oleh beratnya gejala. Sifat yang nonspesifik dari gambaran klinik, pemeriksaan fisik, dan hasil laboratorium tidak memungkinkan diagnosis yang pasti pada permulaan. Observasi terusmenerus dan penilaian berulang kali biasanya dapat menghasilkan dianosis yang benar dan terapi yang tepat. Pada nyeri abdomen akut, interpretasi yang tepat merupakan tantangan bagi klinisi. Oleh karena penatalaksanaannya mungkin memerlukan tindakan segera, kadang kala tidak dapat dilakukan pemeriksaan yang lebih cermat terhadap kondisi lain. Beberapa situasi klinis membutuhkan penilaian yang lebih teliti, karena keadaan-keadaan yang paling berbahaya dapat diramalkan dari gejala dan tanda yang sangat tersamar. Pada keadaan tersebut, anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mendetil dan teliti merupakan hal yang sangat penting. Diagnosis akut abdomen tidak dapat diterima karena seringkali menimbulkan kekeliruan dan konotasi yang salah. Akut abdomen yang paling nyata mungkin tidak membutuhkan tindakan operasi, dan nyeri abdomen yang paling ringan, sebaliknya, mungkin perlu tindakan koreksi segera. Setiap pasien dengan nyeri abdomen yang baru saja terjadi memerlukan evaluasi dini dan menyeluruh serta diagnosis yang akurat.

2.1.2. Epidemiologi Kasus abdominal pain tercatat 5% sampai 10% dari semua kunjungan gawat darurat atau 5 sampai 10 juta pasien di Amerika Serikat. 1 Studi lain menunjukkan bahwa 25% dari pasien yang datang ke gawat darurat mengeluh nyeri perut.2 Diagnosis bervariasi sesuai untuk kelompok usia, yaitu anak dan geriatri. Sebagai contoh nyeri perut pada anak-anak lebih

sering disebabkan oleh apendisitis, sedangkan penyakit empedu, usus infark usus lebih umum terjadi pada bayi.1

diverticulitis, dan

2.1.3 Etiologi Banyak kondisi yang dapat menimbulkan akut abdomen, apapun penyebabnya gejala utama yang menonjol adalah nyeri akut pada daerah abdomen. Secara garis besar, akut abdomen dapat disebabkan oleh infeksi atau inflamasi, oklusi obstruksi, dan perdarahan. Keadaan infeksi atau peradangaan misalnya pada kasus apendisitis, kolesistitis, atau penyakit Crohn. Keadaan oklusi obstruksi misalnya pada kasus hernia inkaserata atau volvulus. Sedangkan keadaan perdarahan misalnya pada kasus trauma organ abdominal, kehamilan ektopik terganggu, atau rupture tumor.3 Menurut survei World Gastroenterology Organization, diagnosis akhir pasien dengan nyeri akut abdomen adalah apendisitis (28%), kolesistitis (10%), obstruksi usus halus

(4%), keadaan akut ginekologi (4%), pancreatitis akut (3%), colic renal (3%), perforasi ulkus peptic (2,5%) atau diverticulitis akut (1,5%).4

2.1.4. Anatomi Dan Fisiologi Abdomen Bagian abdomen sering dibagi menjadi 9 regio maupun 4 kuadran.

Gambar 2.1 Pembagian 9 Regio Abdomen

Pembagian berdasarkan 9 regio: a) Regio hipokondriak kanan b) Regio epigastrika c) Regio hipokondriak kiri d) Regio lumbal kanan e) Regio umbilicus f) Regio lumbal kiri g) Regio iliaka kanan h) Regio hipogastrika i) Regio iliaka kiri Pembagian berdasarkan 4 kuadran: a) Kuadran kanan atas b) Kuadran kiri atas c) Kuadran kanan bawah d) Kuadran kiri bawah

Perkembangan dari anatomi rongga perut dan organ-organ visera mempengaruhi manifestasi, patogenesis dan klinis dari penyakit abdominal peritoneum, dan persarafan sensoris viseral sangat penting untuk evaluasi acute abdominal disease.5 Setelah 3 minggu perkembangan janin, usus primitif terbagi menjadi foregut, midgut, dan hindgut. Arteri mesenterika superior menyuplai dari ke midgut (bagian keempat kolon). Foregut meliputi faring, esofagus, lambung,

duodenum sampai midtransversal

danproksimal duodenum, sedangkan hindgut terdiri dari kolon distal dan rektum. Serabut aferen yang menyertai suplai vaskuler memberikan persarafan sensoris pada terkait peritoneum viseral. Sehingga, penyakit pada proksimal duodenum (foregut) merangsang serabut aferen celiac axis menghasilkan nyeri epigastrium. Rangsangan di sekum atau apendiks (midgut) mengaktifkan saraf aferen yang menyertai arteri mesenterika superior menyebabkan rasa nyeri di periumbilikalis, dan penyakit kolon distal menginduksi serabut saraf aferen sekitar arteri mesenterika inferior menyebabkan nyeri suprapubik. Saraf prenikus dan serabut saraf aferen setinggi C3, C4, dan C5 sesuai dermatom bersama-sama dengan arteri prenikus mempersarafi otot-otot diafragma dan peritoneum sekitar diafragma. usus dan

Rangsangan pada diafragma menyebabkan nyeri yang menjalar ke bahu. Peritoneum parietalis, dinding abdomen, dan jaringan lunak retroperitoneal menerima persarafan somatik sesuai dengan segmen nerve roots.6

Persarafan organ abdominal

Gambar 2.2. Persarafan organ abdomen

Peritoneum parietalis kaya akan inervasi saraf sehingga sensitif terhadap rangsangan. Rangsangan pada permukaan peritoneum parietal akan menghasilkan sensasi yang tajam dan terlokalisir di area stimulus. Ketika peradangan pada viseral mengiritasi pada peritoneum parietal maka akan timbul nyeri yang terlokalisir. Banyak "peritoneal signs" yang berguna dalam diagnosis klinis dari acute abdominal pain. Inervasi dual-sensorik dari kavum abdomen yaitu serabut aferen viseral dan saraf somatik menghasilkan pola nyeri yang khas yang membantu dalam diagnosis. Misalnya, nyeri pada apendisitis akut nyeri akan muncul pada area periumbilikalis dan nyeri akan semakin jelas terlokalisir ke kuadran kanan bawah saat peradangan melibatkan peritoneum parietal. Stimulasi pada saraf perifer akan menghasilkan
6

sensasi yang tajam, tiba-tiba, dan terlokalisir dengan baik. Rangsangan pada saraf sensorik aferen intraperitoneal pada acute abdominal pain menimbulkan nyeri yang tumpul (tidak jelas pusat nyerinya), nyeri tidak terlokalisasi dengan baik, dengan onset gradual/ bertahap dan durasi yang lebih lama. Nervus vagus tidak mengirimkan impuls nyeri dari usus. Sistem saraf aferen simpatik mengirimkan nyeri dari esofagus ke spinal cord. Saraf aferen dari kapsul hepar, ligamen hepar, bagian central dari diafragma, kapsul lien, dan perikardium memasuki sistem saraf pusat dari C3 sampai C5. Spinal cord dari T6 sampai T9 menerima serabut nyeri dari bagian diafragma perifer, kantong empedu, pankreas, dan usus halus. Serabut nyeri dari colon, appendik, dan visera dari pelvis memasuki sistem saraf pusat pada segmen T10 sampai L11. Kolon sigmoid, rektum, pelvic renalis beserta kapsulnya, ureter dan testis memasuki sistem saraf pusat pada T11 dan L1. Kandung kemih dan kolon rektosigmoid dipersarafi saraf aferen dari S2 sampai atau terbakar biasanya S4. Pemotongan, robek, hancur,

tidak menghasilkan nyeri di visera pada abdomen. Namun,

peregangan atau distensi dari peritoneum akan menghasilkan sensasi nyeri. Peradangan peritoneum akan menghasilkan nyeri viseral, seperti halnya iskemia. Kanker dapat menyebabkan intraabdominal pain jika mengenai saraf sensorik. Abdominal pain dapat berupa viseral pain, parietal pain, atau reffered pain. Visceral pain bersifat tumpul dan kurang terlokalisir dengan baik, biasanya di epigastrium, regio periumbilikalis atau regio suprapubik. Pasien dengan nyeri viseral mungkin juga mengalami gejala berkeringat, gelisah, dan mual. Nyeri parietal atau nyeri somatik yang terkait dengan gangguan intraabdominal akan menyebabkan nyeri yang lebih inten dan terlokalisir dengan baik. Referred pain merupakan sensasi nyeri dirasakan jauh dari lokasi sumber stimulus yang

sebenarnya. Misalnya, iritasi pada diafragma dapat menghasilkan rasa sakit di bahu. Penyakit saluran empedu atau kantong empedu dapat menghasilkan nyeri bahu. Distensi dari small bowel dapat menghasilkan rasa sakit ke bagian punggung bawah. Selama minggu ke-5 perkembangan janin, usus berkembang diluar rongga peritoneal, menonjol melalui dasar umbilical cord, dan mengalami rotasi 180 berlawanan dengan arah jarum jam. Selama proses ini, usus tetap berada di luar rongga peritoneal sampai kira-kira minggu 10, rotasi embryologik menempatkan organ-oragan visera pada posisi anatomis dewasa, dan pengetahuan tentang proses rotasi semasa embriologis penting secara

klinis untuk evaluasi pasien dengan acute abdominal pain karena variasi dalam posisi (misalnya, pelvic atau retrocecal appendix).

2.1.5. Patofisiologi a. Nyeri viseral Nyeri viseral terjadi bila terdapat rangsangan pada organ atau struktur dalam rongga perut, misalnya cedera atau radang. Peritoneum viserale yang menyelimuti organ perut dipersarafi oleh sistem saraf otonom dan tidak peka terhadap perabaan, atau pemotongan. Dengan demikian sayatan atau penjahitan pada usus dapat dilakukan tanpa rasa nyeri pada pasien. Akan tetap bila dilakukan penarikan atau peregangan organ atau terjadi kontraksi yang berlebihan pada otot sehingga menimbulkan iskemik, misalnya pada kolik

atau radang pada appendisitis maka akan timbul nyeri. Pasien yang mengalami nyeri viseral biasanya tidak dapat menunjukkan secara tepat letak nyeri sehingga biasanya ia menggunakan seluruh telapak tangannya untuk menunjuk daerah yang nyeri. Nyeri viseral kadang disebut juga nyeri sentral. Penderita memperlihatkan pola yang khas sesuai dengan persarafan embrional organ yang terlibat. Saluran cerna berasal dari foregut yaitu lambung, duodenum, sistem hepatobilier dan pankreas yang menyebabkan nyeri di ulu hati atau epigastrium. Bagian saluran cerna yang berasal dari midgut yaitu usus halus usus besar sampai pertengahan kolon transversum yang menyebabkan nyeri di sekitar umbilikus. Bagian saluran cerna yang lainnya adalah hindgut yaitu pertengahan kolon transversum sampai dengan kolon sigmoid yang menimbulkan nyeri pada bagian perut bawah. bergerak.7 Jika tidak disertai dengan rangsangan

peritoneum nyeri tidak dipengaruhi oleh gerakan sehingga penderita biasanya dapat aktif

b. Nyeri somatik Nyeri somatik terjadi karena rangsangan pada bagian yang dipersarafi saraf tepi, misalnya regangan pada peritoneum parietalis, dan luka pada dinding perut. Nyeri dirasakan seperti disayat atau ditusuk, dan pasien dapat menunjuk dengan tepat dengan jari lokasi nyeri. Rangsang yang menimbulkan nyeri dapat berupa tekanan, rangsang kimiawi atau proses radang. Gesekan antara visera yang meradang akan menimbulkan rangsang peritoneum dan dapat menimbulkan nyeri. Perdangannya sendiri maupun gesekan antara kedua peritoneum dapat menyebabkan perubahan intensitas nyeri. Gesekan inilah yang menjelaskan nyeri kontralateral pada appendisitis akut. Setiap gerakan penderita, baik gerakan tubuh maupun gerakan nafas yang dalam atau batuk, juga akan menambah intensitas nyeri

sehingga penderita pada akut abdomen berusaha untuk tidak bergerak, bernafas dangkal dan menahan batuk. 7

c.Nyeri alih Nyeri alih terjadi jika suatu segmen persarafan melayani lebih dari satu daerah. Misalnya diafragma yang berasal dari regio leher C3-C5 pindah ke bawah pada masa embrional sehingga rangsangan pada diafragma oleh perdarahan atau peradangan akan dirasakan di bahu. Demikian juga pada kolestitis akut, nyeri dirasakan pada daerah ujung belikat. Abses dibawah diafragma atau rangsangan karena radang atau trauma pada permukaan limpa atau hati juga dapat menyebabkan nyeri di bahu. Kolik ureter atau kolik pielum ginjal, biasanya dirasakan sampai ke alat kelamin luar seperti labia mayora pada wanita atau testis pada pria. 7

d. Nyeri proyeksi Nyeri proyeksi adalah nyeri yang disebabkan oleh rangsangan saraf sensoris akibat cedera atau peradangan saraf. Contoh yang terkenal adalah nyeri phantom setelah amputasi, atau nyeri perifer setempat akibat herpes zooster. Radang saraf pada herpes zooster dapat menyebabkan nyeri yang hebat di dinding perut sebelum gejala tau tanda herpes menjadi jelas. 7

e. Hiperestesia Hiperestesia atau hiperalgesia sering ditemukan di kulit jika ada peradangan pada rongga di bawahnya. Pada akut abdomen, tanda ini sering ditemukan pada peritonitis setempat maupun peritonitis umum. Nyeri peritoneum parietalis dirasakan tepat pada tempat terangsangnya peritoneum sehingga penderita dapat menunjuk dengan tepat lokasi nyerinya, dan pada tempat itu terdapat nyeri tekan, nyeri gerak, nyeri batuk serta tanpa rangsangan peritoneum lain dan defans muskuler yang sering disertai hipersetesi kulit setempat. Nyeri yang timbul pada pasien akut abdomen dapat berupa nyeri kontinyu atau nyeri kolik. 7

f. Nyeri kontinyu Nyeri akibat rangsangan pada peritoneum parietal akan dirasakan terus menerus karenaberlangsung terus menerus, misalnya pada reaksi radang. Pada saat pemeriksaan penderita peritonitis, ditemukan nyeri tekan setempat. Otot dinding perut menunjukkan

defans muskuler secara refleks untuk melindungi bagian yang meraadang dan menghindari gerakan atau tekanan setempat. 7

g. Nyeri kolik Kolik merupakan nyeri viseral akibat spasme otot polos organ berongga dan biasanya diakibatkan oleh hambatan pasase dalam organ tersebut (obstruksi usus, batu ureter, batu empedu, peningkatan tekanan intraluminer). Nyeri ini timbul karena hipoksia yang dialami oleh jaringan dinding saluran. Karena kontraksi berbeda maka kolik

dirasakan hilang timbul. Kolik biasanya disertai dengan gejala mual sampai muntah. Dalam serangan, penderita sangat gelisah. Yang khas ialah trias kolik yang terdiri dari serangan nyeri perut yang hilang timbul mual atau muntah dan gerak paksa. 7

h. Nyeri iskemik Nyeri perut juga dapat berupa nyeri iskemik yang sangat hebat, menetap, dan tidak mereda. Nyeri merupakan tanda adanya jaringan yang terancam nekrosis. Lebih lanjut akan tampak tanda intoksikasi umum seperti takikardia, keadaan umum yang jelek dan syok karena resorbsi toksin dari jaringan nekrosis. 7

2.1.6. Penegakkan Diagnosis 1. Anamnesis Dalam anamnesis penderita akut abdomen, perlu ditanyakan dahulu permulaan nyerinya, letaknya, keparahannya dan, perubahannya, lamanya dan faktor yang

mempengaruhinya. Adakah riwayat keluhan serupa. Muntah sering didapatkan pada pasien akut abdomen. Pada obstruksi usus tinggi, muntah tidak akan berhenti dan bertambah berat. Konstipasi didapatkan pada obstruksi usus besar dan pada peritonitis umum. Nyeri tekan didapatkan pada iritasi peritoneum. Jika ada radang peritoneum setempat ditemukan tanda rangsang peritoneum yang sering disertai defans muskuler. Pertanyaan mengenai defekasi, miksi daur haid, dan gejala lain seperti keadaan sebelum serangan akut abdomen harus dimasukkan dalam anamnesis. 7

Letak nyeri perut Nyeri viseral dari suatu organ biasanya sesuai letaknya sama dengan asal organ tersebut pada masa embrional, sedangkan letak nyeri somatik biasanya dekat dengan organ
10

sumber nyeri sehingga relatif mudah menentukan penyebabnya. Nyeri pada anak presekolah sulit ditentukan letaknya karena mereka selalu menunjuk daerah sekitar pusat bila ditanya tentang nyerinya. Anak yang lebih besar baru dapat menentukan letak nyeri. 7

Sifat nyeri Berdasarkan letak atau penyebarannya nyeri dapat bersifat nyeri alih, dan nyeri yang diproyeksikan. Untuk penyakit tertentu, meluasnya rasa nyeri dapat membantu menegakkan diagnosis. Nyeri bilier khas menjalar ke pinggang dan ke arah belikat, nyeri pankreatitis dirasakan menembus ke bagian pinggang. Nyeri pada bahu kemungkinan terdapat rangsangan pada diafragma. 7

Permulaan nyeri dan intensitas nyeri Bagaimana bermulanya nyeri pada akut abdomen dapat menggambarkan sumber nyeri. Nyeri dapat tiba-tiba hebat atau secara cepat berubah menjadi hebat, tetapi dapat pula bertahap menjadi semakin nyeri. Misalnya pada perforasi organ berongga, rangsangan peritoneum akibat zat kimia akan dirasakan lebih cepat dibandingkan proses inflamasi. Demikian juga intensitas nyerinya. Sesorang yang sehat dapat pula tiba-tiba langsung merasakan nyeri perut hebat yang disebabkan oleh adanya sumbatan, perforasi atau pluntiran. Nyeri yang bertahap biasanya disebabkan oleh proses radang, misalnya pada kolesistitis atau pankreatitis. 7

Posisi pasien Posisi pasien dalam mengurangi nyeri dapat menjadi petunjuk. Pada pankreatitis akut pasien akan berbaring ke sebelah kiri dengan fleksi pada tulang belakang, panggul dan lutut. Kadang penderita akan duduk bungkuk dengan fleksi sendi panggul dan lutut. Pasien dengan abses hati biasanya berjalan sedikit membungkuk dengan menekan daerah perut bagian atas seakan-akan menggendong absesnya. Appendisitis akut yang letaknya retrosaekum mendorong penderitanya untuk berbaring dengan fleksi pada sendi panggul sehingga melemaskan otot psoas yang teriritasi. Akut abdomen yang menyebabkan diafragma teritasi akan menyebabkan pasien lebih nyaman pada posisi setengah duduk yang sedangkan pasien dengan kolik terpaksa bergerak karena nyerinya. 7 memudahkan

bernafas. Penderita pada peritonitis lokal maupun umum tidak dapat bergerak karena nyeri,

11

2. Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik perlu diperhatikan keadaan umum, wajah, denyut nadi, pernafasan, suhu badan dan sikap berbaring. Gejala dan tanda dehidrasi, perdarahan, syok dan infeksi atau sepsis juga perlu diperhatikan.

Inspeksi Pada ileus obstruksi terlihat distensi abdomen bila obstruksinya letak rendah, dan bila orangnya kurus kadang-kadang terlihat peristalik usus (Darm-steifung). Tanda-tanda khusus pada trauma daerah abdomen. Keadaan nutrisi penderita. Cullens sign (daerah kebiruan pada periumbilical) dan grey turners sign (daerah kebiruan pada bagian flank) merupakan tanda pancreatitis. Bekas-bekas trauma pada dinding abdomen, memar, luka, prolaps omentum atau usus. Kadang-kadang pada trauma tumpul abdomen sukar ditemukan tanda-tanda khusus, maka harus dilakukan pemeriksaan berulang oleh dokter yang sama untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya perubahan pada pemeriksaan fisik. Pada ileus obstruksi terlihat distensi abdomen bila obstruksinya letak rendah, dan bila orangnya kurus kadang-kadang terlihat peristalsis usus (Darm-steifung).

Palpasi Palpasi akan menunjukkan 2 gejala yaitu nyeri dan muscular rigidity / defense musculaire. Nyeri yang memang sudah dan akan bertambah saat palpasi sehingga dikenal gejala nyeri tekan dan nyeri lepas. Pada peitonitis lokal akan timbul rasa nyeri di daerah peradangan dan daerah penekanan dinding abdomen. defense musculaire/ muscular rigidity ditimbulkan karena rasa nyeri peritonitis diffusa dan rangsangan palpasi bertambah sehingga terjadi defense musculaire. Kebanyakan kasus nyeri epigastrik atau nyeri perut atas akan didapatkan nyeri tekan. Ada beberapa teknik palpasi khusus murphy sign (palpasi dalam di perut bagian kanan atas menyebabkan nyeri hebat dan berhentinya nafas sesaat) untuk cholecystitis, rovsing sign (nyeri di perut kanan bawah saat palpasi di daerah kiri bawah/samping kiri) pada appendicitis. Nyeri lepas di perut kanan bawah pada appendicitis dan nyeri lepas di hampir seluruh bagian perut pada kasus peritonitis. Palpasi pada kasus akut abdomen memberikan rangsangan peritoneum melalui peradangan atau iritasi peritoneum secara lokal atau umum tergantung dari luasnya daerah yang terkena iritasi.

12

Hepatomegali menandakan hepatitis dan abses hepar jika hepar teraba lunak, atau ca liver jika teraba keras dan berbenjol-benjol. Benjolan di daerah epigastrik dapat berupa kanker lambung atau pancreas.

Perkusi Perkusi pada akut abdomen dapat menunjukkan 2 hal yaitu perasaan nyeri oleh ketokan jari yang disebut sebagai nyeri ketok dan bunyi timpani karena meteorismus disebabkan distensi usus yang berisikan gas karena ileus obstruksi letak rendah. Pekak hati yang menghilang merupakan tanda khas terjadinya perforasi (tanda pneumoperitoneum, udara menutupi pekak hati).

Auskultasi Auskultasi dapat memberikan informasi yang berguna tentang saluran pencernaan dan sistem vaskular. Suara usus biasanya dievaluasi kuantitas dan kualitasnya.Data ini kemudian dapat dibandingkan dengan temuan selama palpasi dan dievaluasi untuk konsistensi. Meskipun beberapa pasien sengaja mencoba untuk menipu dokter mereka, beberapa mungkin melebih-lebihkan keluhan rasa sakit mereka sehingga tidak dapat diabaikan atau dianggap enteng. Cruveilhier-Baumgarten sign, adanya murmur pada auskultasi caput medusa pasien dengan hipertensi portal, akibat rekanalisasi dari vena umbilical dengan aliran balik dari vena porta.

Rectal Toucher Pemeriksaan rectal toucher atau perabaan rektum dengan jari telunjuk juga merupakan pemeriksaan rutin untuk mendeteksi adanya trauma rektum atau keadaan ampulla recti apakah berisi faeces atau teraba tumor.Colok dubur dapat membedakan antara obstruksi usus dengan paralisis usus karena pada paralisis dijumpai ampula rekti yang melebar, sedangkan pada obstruksi usus ampulanya kolaps. Pemeriksaan vagina menambah informasi kemungkinan kelainan di organ ginekologis.

3. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan laboratorium 1) Pemeriksaan darah rutin

13

Pemeriksaan Hb diperlukan untuk memantau kemungkinan terjadinya perdarahan terus menerus. Demikian pula dengan pemeriksaan hematokrit. Pemeriksaan leukosit yang melebihi 20.000/mm tanpa terdapatnya infeksi menunjukkan adanya perdarahan cukup banyak terutama pada kemungkinan ruptura lienalis. Serum amilase yang meninggi menunjukkan kemungkinan adanya trauma pancreas atau perforasi usus halus. Kenaikan transaminase menunjukkan kemungkinan trauma pada hepar.

2) Pemeriksaan urine rutin Menunjukkan adanya trauma pada saluran kemih bila dijumpai hematuri. Urine yang jernih belum dapat menyingkirkan adanya trauma pada saluran urogenital.

b. Pemeriksaan radiologi 1) Foto thoraks Selalu harus diusahakan pembuatan foto thoraks dalam posisi tegak untuk menyingkirkan adanya kelainan pada thoraks atau trauma pada thoraks. Harus juga diperhatikan adanya udara bebas di bawah diafragma atau usus dalam rongga thoraks pada hernia diafragmatika. adanya gambaran

2) Plain abdomen foto tegak Akan memperlihatkan udara bebas dalam rongga peritoneum, udara bebas retroperitoneal dekat duodenum, corpus alienum, perubahan gambaran usus.

3) IVP (Intravenous Pyelogram) Karena alasan biaya biasanya hanya dimintakan bila ada persangkaan trauma pada ginjal.

4) Pemeriksaan Ultrasonografi dan CT-scan Berguna sebagai pemeriksaan tambahan pada penderita yang belum dioperasi disangsikan adanya trauma pada hepar dan

dan retroperitoneum.Pencitraan yang di

rekomendasi menurut lokasi nyeri akut abdomen. Lokasi nyeri Pencitraan : Kuadran kanan atas Ultrasonografi Kuadran kiri atas CT Kuadran kanan bawah CT dengan media kontras IV
14

Kuadran kiri bawah CT dengan media kontras IV dan oral Suprapubis Ultrasonografi

c. Pemeriksaan khusus 1) Abdominal paracentesis Merupakan pemeriksaan tambahan yang sangat berguna untuk menentukan adanya perdarahan dalam rongga peritoneum. Lebih dari 100.000 eritrosit/mm dalam larutan NaCl yang keluar dari rongga peritoneum setelah dimasukkan 100--200 ml larutan

NaCl 0.9% selama 5 menit, merupakan indikasi untuk laparotomi.

2) Pemeriksaan laparoskopi Dilaksanakan bila ada akut abdomen untuk mengetahui langsung sumber penyebabnya.

3) Rektosigmoidoskopi Bila dijumpai perdarahan dan anus perlu dilakukan rektosigmoidoskopi.

4) NGT Pemasangan nasogastric tube (NGT) untuk memeriksa cairan yang keluar dari lambung pada trauma abdomen.

Dari data yang diperoleh melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan tambahan dan pemeriksaan khusus dapat diadakan analisis data untuk memperoleh diagnosis kerja dan masalah-masalah sampingan yang perlu diperhatikan. Dengan demikian dapat ditentukan tujuan pengobatan bagi penderita dan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan pengobatan.

2.1.7. Diagnosis Banding Kadang sukar membedakan kelainan akut di perut yang disertai nyeri perut dengan kelainan akut di toraks yang menyebabkan nyeri perut. Umumnya pada anamnesis nyata bahwa penyakit organ toraks tidak didahului atau disertai dengan mual atau muntah. Kelainan perut umumnya tidak mulai dengan panas tinggi atau menggigil (kecuali pada apendisitis dan tifus abdominalis), sedangkan panas tinggi yang disertai menggigil lazim

15

ditemukan sebagai tanda awal kelainan akut toraks seperti pleuritis. Pada pemeriksaan perut pun tidak ditemukan tanda rangsangan peritoneum.

Gambar 2.3 Diagnosis Banding

Perkiraan penyebab berdasarkan fakta bahwa patologi struktur yang mendasari di setiap regio cenderung memberikan nyeri perut maksimal di regio tersebut.

16

Gambar 2.4 Diagnosis berdasarkan lokasi nyeri

2.1.8 Penatalaksanaan 2.1.8.1 Penatalaksanaan secara umum 1. Puasa 2. Dekompresi lambung dengan cara pemasangan NGT 3. Rehidrasi dengan pemasangan infus 4. Pemasangan Kateter 5. Pemeriksaan Laboratorium: - Darah rutin - Amilase, Lipase - Na, K - Ureum, Kreatinin
17

- GDS 6. Rontgen Foto 2 posisi : - BNO Tegak dan BNO Datar, atau - LLD dan BNO Datar Foto 3 posisi : BNO Tegak, LLD, BNO Datar

2.1.8.2 Penatalaksanaan akut abdomen berdasarkan kegawatan dan gejala klinis

Prioritas I. Nyeri, kolaps, shock (catastrophic) seperti ulkus perforasi,ruptur kehamilan ektopik, pankreatitis akut, thrombosis mesenterica, ruptur aneurisma dan lainlain. II. Nyeri (intermittent),

Mekanisme Perforasi,hemor rhage, thrombosis,nekr osis

Gambaran klinik Nyeri hebat tiba-tiba, shock atau tahap seperti shock, perasaan tidak enak di abdomen, tegang,reaksi sistemik yang hebat, silent abdomen

Penatalaksanaan Resusitasi segera dan tindak suportif, operasi segera jika ada indikasi

Obstruksi dari

Nyeri kram rekuren, muntah, distensi, noisy abdomen, reaksi sistemik yang ringan sampai berat, Ray dapat digunakan

Tegakkan diagnosis jika memungkinkan, koreksi keseimbangan sistemik, operasi segera jika ada indikasi

colic seperti obstruksi organ muskular intestinal akut, kolik obstruksi biliaris, kolik uereter. yang lemah (otot polos), strangulasi dapat impending atau ada III. Nyeri, rasa tidak enak, inflamasi seperti appendicitis Iritasi oleh bakteri, kimia, faktos ischemic

Nyeri yang bervariasi, biasanya meningkat, rasa tidak

Diagnosis klinik biasanya memungkinkan,

18

akut, cholecystitis akut, diverticulitis akut, salpingitis akut

nyaman yang terlokalisasi, lalu diffuse dengan ruptur, spasme otot, biasanya terdapat massa, reaksi sistemik dari yang sedang sampai berat.

operasi segera pada appendicitis, persiapkan waktu untuk semua terapi (cairan, antibiotik, operasi)

19

2.2. Hepatoma 2.2.1 Definisi Hepatoma (hepatocellular carcinoma) adalah suatu kanker yang timbul dari hati. Ia juga dikenal sebagai kanker hati primer. Hati terbentuk dari tipe-tipe sel yang berbeda. Bagaimanapun, sel-sel hati (hepatocytes) membentuk sampai 80% dari jaringan hati. Jadi, mayoritas dari kanker-kanker hati primer (lebih dari 90 sampai 95%) timbul dari sel-sel hati dan disebut kanker hepatoselular (hepatocellular cancer) atau Karsinoma.8

2.2.2 Epidemiologi Hepatoma adalah kanker kelima yang paling umum di dunia. Suatu kanker yang mematikan, hepatoma akan membunuh hampir semua pasien-pasien yang menderitanya dalam waktu satu tahun. Pada tahun 1990, organisasi kesehatan dunia (WHO) memperkirakan bahwa ada kira-kira 430.000 kasus-kasus baru dari kanker hati diseluruh dunia, dan suatu jumlah yang serupa dari pasien-pasien yang meninggal sebagai suatu akibat dari penyakit ini. Sekitar tiga per empat kasus-kasus kanker hati ditemukan di Asia Tenggara (China, Hong Kong, Taiwan, Korea, dan Japan). Kanker hati juga adalah sangat umum di Afrika Sub-Sahara (Mozambique dan Afrika Selatan).9 Frekuensi kanker hati di Asia Tenggara dan Afrika Sub-Sahara adalah lebih besar dari 20 kasus-kasus per 100.000 populasi. Berlawanan dengannya, frekwensi kanker hati di Amerika Utara dan Eropa Barat adalah jauh lebih rendah, kurang dari lima per 100.000 populasi. Bagaimanapun, frekwensi kanker hati diantara pribumi Alaska sebanding dengan yang dapat ditemui pada Asia Tenggara. Lebih jauh, data terakhir menunjukan bahwa frekwensi kanker hati di Amerika secara keseluruhannya meningkat. Peningkatan ini disebabkan terutama oleh hepatitis C kronis, suatu infeksi hati yang menyebabkan kanker hati.9 Di Amerika frekuensi kanker hati yang paling tinggi terjadi pada imigranimigran dari negara-negara Asia, dimana kanker hati adalah umum. Frekuensi kanker hati diantara orang-orang kulit putih (Caucasians) adalah yang paling rendah, sedangkan diantara orang-orang Amerika keturunan Afrika dan Hispanics, ia ada diantaranya. Frekwensi kanker hati adalah tinggi diantara orang-orang Asia karena kanker hati dihubungkan sangat dekat dengan infeksi hepatitis B kronis. Ini terutama

20

begitu pada individu-individu yang telah terinfeksi dengan hepatitis B kronis untuk kebanyakan dari hidup-hidupnya.10

2.2.3. Etiologi Dewasa ini hepatoma dianggap terjadi dari hasil interaksi sinergis multifaktor dan multifasik, melalui inisiasi, akselerasi dan transformasi dan proses banyak tahapan, serta peran serta banyak onkogen dan gen terkait, mutasi multigenetik. Etiologi hepatoma belum jelas, menurut data yang ada, virus hepatitis, aflatoksin dan pencemaran air minum merupakan 3 faktor utama yang terkait dengan timbulnya hepatoma.9,11 1. Virus hepatitis HBV Hubungan antara infeksi kronik HBV dengan timbulnya hepatoma terbukti kuat, baik secara epidemiologis, klinis maupun eksperimental. Karsinogenisitas HBV terhadap hati mungkin terjadi melalui proses inflamasi kronik, peningkatan proliferasi hepatosit, integrasi HBV DNA ke dalam DNA sel pejamu, dan aktifitas protein spesifik-HBV berinteraksi dengan gen hati. Pada dasarnya, perubahan hepatosit dari kondisi inaktif (quiescent) menjadi sel yang aktif bereplikasi menentukan tingkat karsinogenesis hati. HCV Infeksi HCV berperan penting dalam patogenesis hepatoma pada pasien yang bukan pengidap HBV. Pada kelompok pasien penyakit hati akibat transfusi darah dengan anti-HCV positif, interval antara saat transfusi hingga terjadinya HCC dapat mencapai 29 tahun. Hepatokarsinogenesis akibat infeksi HCV diduga melalui aktifitas nekroinfiamasi kronik dan sirosis hati.

Gambar 2.6. Hepatocellular carcinoma pada individu dengan hepatitis C positif. Hasil Autopsi specimen
21

2.2.4. Faktor risiko a. Infeksi Hepatitis B Hepatitis B adalah penyebab tertinggi timbulnya kanker hati di daerah yang tinggi prevalensinya seperti di Cina dan Indonesia. Penderita hepatitis B kronis dan pembawa virus hepatitis B (carrier) memiliki risiko terkena kanker hati yang lebih tinggi dari populasi normal. Hal ini dibuktikan pada penelitian di Taiwan, dimana lebih dari 20.000 pria diteliti secara prospektif untuk mengetahui terjadinya kanker hati. Ternyata risiko untuk terkena kanker hati pada penderita hepatitis B yang HbsAg-nya positif meningkat lebih dari 100 kali dibandingkan populasi normal.9 Golongan dengan risiko tinggi ini tampaknya terbanyak mengenai penderita yang tinggal di daerah endemi Hepatitis B seperti di Indonesia, dimana penularan lebih banyak terjadi secara vertical (dari ibu ke bayi) dibanding penderita yang memperolehnya secara horizontal pada saat dewasa. Di samping dapat menimbulkan kanker hati, hepatitis B kronis juga dapat mengakibatkan Sirosis hati (pengerasan organ hati) akibat reaksi peradangan berulang. Sebagai tambahan, pasien-pasien dengan virus hepatitis B yang berada pada risiko yang paling tinggi untuk kanker hati adalah pria-pria dengan sirosis, virus hepatitis B dan riwayat kanker hati keluarga.8

b. Infeksi Hepatitis C Infeksi virus hepatitis C (HCV) juga dihubungkan dengan

perkembangan kanker hati. Di Jepang, virus hepatitis C hadir pada sampai dengan 75% dari kasus-kasus kanker hati. Seperti dengan virus hepatitis B, kebanyakan dari pasien-pasien virus hepatitis C dengan kanker hati mempunyai sirosis yang berkaitan dengannya. Pada beberapa studi-studi retrospektif-retrospektif (melihat kebelakang dan kedepan dalam waktu) dari sejarah alami hepatitis C, waktu rata-rata untuk mengembangkan kanker hati setelah paparan pada virus hepatitis C adalah kira-kira 28 tahun. Kanker hati terjadi kira-kira 8 sampai 10 tahun setelah perkembangan sirosis pada pasienpasien ini dengan hepatitis C. Beberapa studi-studi prospektif Eropa melaporkan bahwa kejadian tahunan kanker hati pada pasien-pasien virus hepatitis C yang ber-sirosis berkisar dari 1.4 sampai 2.5% per tahun.

22

Pada sisi lain, ada beberapa individu-individu yang terinfeksi virus hepatitis C kronis yang menderita kanker hati tanpa sirosis. Jadi, telah disarankan bahwa protein inti (pusat) dari virus hepatitis C adalah tertuduh pada pengembangan kanker hati. Protein inti sendiri (suatu bagian dari virus hepatitis C) diperkirakan menghalangi proses alami kematian sel atau mengganggu fungsi dari suatu gen (gen p53) penekan tumor yang normal. Akibat dari aksi-aksi ini adalah bahwa sel-sel hati terus berlanjut hidup dan reproduksi tanpa pengendalian-pengendalian normal, yang adalah apa yang terjadi pada kanker.10

c. Alkohol Sirosis hati yang disebabkan konsumsi alkohol yang berlebih ternyata merupakan penyebab utama terjadinya kanker hati di usia lanjut. Hal ini didukung oleh data yang dibuat di Amerika Serikat terhadap para veteran. Karena dari berbagai penelitian menunjukan bahwa konsumsi alkohol >50-70 gram per hari dan dalam jangka waktu yang lama ternyata tidak hanya meningkatkan risiko terbentuknya sirosis hati namun juga mempercepat terjadinya sirosis pada penderita hepatitis C dan kanker hati.12

d. Obesitas Suatu penelitian kohort prospektif pada lebih dari 900.000 individu di Amerika Serikat dengan masa pengamatan selama 16 tahun mendapat terjadinya peningkatan angka mortalitas sebesar 5 kali akibat kanker hati pada kelompok individu dengan berat badan tertinggi (IMT 35-40) dibandingkan dengan kelompok individu yang IMT-nya normal. Seperti diketahui, obesitas merupakan faktor resiko utama untuk non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD), khususnya non-alcoholic steatoheptitis (NASH) yang dapat berkembang menjadi sirosis hati dan kemudian dapat berlanjut menjadi kanker hati.12

e. Diabetes Melitus (DM) Telah lama ditengarai bahwa DM merupakan faktor risiko baik untuk penyakit hati kronik maupun kanker hati melalui terjadinya perlemakan hati dan steatohepatitis non-alkoholik (NASH). Disamping itu, DM dihubungkan
23

dengan peningkatan kadar insulin dan insulin-like growth factors (IGFs) yang merupakan faktor promotif potensial untuk kanker. Indikasi kuat asosiasi antara DM dan kanker hati terlihat dari banyak penelitian, antara lain penelitian kasus-kelola oleh hasan dkk yang melaporkan bahwa dari 115 kasus kanker hati dan 230 pasien non-kanker hati, rasio odd dari DM adalah 4.3, meskipun diakui bahwa sebagian dari kasus DM sebelumnya sudah menderita sirosis hati. Penelitian kohort besar oleh El Serag dkk yang melibatkan 173.643 pasien DM dan 650.620 pasien bukan-DM menemukan bahwa insidens kanker hati pada kelompok DM lebih dari 2 kali lipat dibandingkan dengan insidens kanker hati kelompok bukan-DM. Insidens juga semakin tinggi seiring dengan lamanya pengamatan (kurang dari 5 tahun hingga lebih dari 10 tahun). DM merupakan faktor risiko HCC tanpa memandang umur, jenis kelamin dan ras.9,11

f. Idiopatik Antara 15 - 40% kanker hati ternyata tidak diketahui penyebabnya walaupun sudah dilakukan pemeriksaan yang menyeluruh. Beberapa penjelasan akhir-akhir ini menyebutkan peranan perlemakan hati - fatty liver disease - yang bukan disebabkan oleh alkohol (NASH = Non Alcohol Steato Hepatitis), dipercaya dapat menyebabkan kerusakan sel hati yang luas yang pada akhirnya menimbulkan sirosis dan kanker hati.12

g. Sirosis Individu-individu dengan kebanyakan tipe-tipe sirosis hati berada pada risiko yang meningkat mengembangkan kanker hati. Sebagai tambahan pada kondisi-kondisi yang digambarkan diatas (hepatitis B, hepatitis C, alkohol, dan hemochromatosis), kekurangan alpha 1 anti-trypsin, suatu kondisi yang diturunkan/diwariskan yang dapat menyebabkan sirosis, mungkin menjurus pada kanker hati. Kanker hati juga dihubungkan sangat erat dengan kelainan biokimia pada masa kanak-kanak yang berakibat pada sirosis dini. Penyebab-penyebab tertentu dari sirosis lebih jarang dikaitkan dengan kanker hati daripada penyebab-penyebab lainnya. Contohnya, kanker hati jarang terlihat dengan sirosis pada penyakit Wilson (metabolisme tembaga yang abnormal) atau primary sclerosing cholangitis (luka parut dan
24

penyempitan pembuluh-pembuluh empedu yang kronis). Begitu juga biasanya diperkirakan bahwa kanker hati adalah jarang ditemukan pada primary biliary cirrhosis (PBC). Studi-studi akhir ini, bagaimanapun, menunjukan bahwa frekuensi kanker hati pada PBC adalah sebanding dengan yang pada bentukbentuk lain sirosis.8,10 2.2.5.Patogenesis Inflamasi, nekrosis, fibrosis, dan regenerasi dari sel hati yang terus berlanjut merupaka proses khas dari sirosis hepatis yang juga merupakan proses dari pembentukan hepatoma walaupun pada pasien pasien dengan hepatoma, kelainan cirrhosis tidak selalu ada. Hal ini mungkin berhubungan dengan proses replikasi DNA virus dari virus hepatitis yang juga memproduksi HBV X protein yang tidak dapat bergabung dengan DNA sel hati, yang merupakan host dari infeksi Virus hepatitis, dikarenakan protein tersebut merupakan suatu RNA. RNA ini akan berkembang dan mereplikasi diri di sitoplasma dari sel hati dan menyebabkan suatu perkembangan dari keganasan yang nantinya akan mengahambat apoptosis dan meningkatkan proliferasi sel hati. Para ahli genetika mencari gen gen yang berubah dalam perkembangan sel hepatoma ini dan didapatkan adanya mutasi dari gen p53, PIKCA, dan -Catenin.9 Sementara pada proses sirosis terjadi pembentukan nodul - nodul di hepar, baik nodul regeneratif maupun nodul diplastik. Penelitian prospektif menunjukan bahwa tidak ada progresi yang khusus dari nodul - nodul diatas yang menuju kearah hepatoma tetapi, pada nodul displastik didapatkan bahwa nodul yang terbentuk dari sel - sel yang kecil meningkatkan proses pembentukan hepatoma. Sel sel kecil ini disebut sebagai stem cel dari hati. 9 Sel - sel ini meregenerasi sel - sel hati yang rusak tetapi sel - sel ini juga berkembang sendiri menjadi nodul nodul yang ganas sebagai respons dari adanya penyakit yang kronik yang disebabkan oleh infeksi virus. Nodul - nodul inilah yang pada perkembangan lebih lanjut akan menjadi hepatoma. 9

25

Gambar 2.7. Patogenesis sirosis hepatis

2.2.6.Gejala Klinis Pada permulaannya penyakit ini berjalan perlahan, dan banyak tanpa keluhan. Lebih dari 75% tidak memberikan gejala - gejala khas. Ada penderita yang sudah ada kanker yang besar sampai beberapa centimeter pun tidak merasakan apa-apa. Keluhan utama yang sering adalah keluhan sakit perut atau rasa penuh ataupun ada rasa bengkak di perut kanan atas dan nafsu makan berkurang, berat badan menurun, dan rasa lemas. Keluhan lain terjadinya perut membesar karena ascites (penimbunan cairan dalam rongga perut), mual, tidak bisa tidur, nyeri otot, berak hitam, demam, bengkak kaki, kuning, muntah, gatal, muntah darah, perdarahan dari dubur, dan lainlain.15 a. Hepatoma fase subklinis Yang dimaksud hepatoma fase subklinis atau stadium dini adalah pasien yang tanpa gejala dan tanda fisik hepatoma yang jelas, biasanya ditemukan melalui pemeriksaan AFP dan teknik pencitraan. Caranya adalah dengan gabungan pemeriksaan AFP dan pencitraan, teknik pencitraan terutama dengan USG lebih dahulu, bila perlu dapat digunakan CT atau MRI. Yang dimaksud kelompok risiko tinggi hepatoma umumnya adalah: masyarakat di daerah insiden tinggi hepatoma; pasien dengan riwayat hepatitis atau HBsAg positif; pasien dengan riwayat keluarga hepatoma; pasien pasca reseksi hepatoma primer8,11.

26

b. Hepatoma fase klinis Hepatoma fase klinis tergolong hepatoma stadium sedang, lanjut, manifestasi utama yang sering ditemukan adalah: (1) Nyeri abdomen kanan atas: hepatoma stadium sedang dan lanjut sering dating berobat karena kembung dan tak nyaman atau nyeri samar di abdomen kanan atas. Nyeri umumnya bersifat tumpul( dullache) atau menusuk intermiten atau kontinu, sebagian merasa area hati terbebat kencang, disebabkan tumor tumbuh dengan cepat hingga menambah regangan pada kapsul hati. Jika nyeri abdomen bertambah hebat atau timbul akut abdomen harus pikirkan ruptur hepatoma. (2) Massa abdomen atas: hepatoma lobus kanan dapat menyebabkan batas atas hati bergeser ke atas, pemeriksaan fisik menemukan hepatomegali di bawah arkus kostae berbenjol benjol; hepatoma segmen inferior lobus kanan sering dapat langsung teraba massa di bawah arkus kostae kanan; hepatoma lobus kiri tampil sebagai massa di bawah prosesus xifoideus atau massa di bawah arkus kostae kiri. (3) Perut kembung: timbul karena massa tumor sangat besar, asites dan gangguan fungsi hati. (4) Anoreksia: timbul karena fungsi hati terganggu, tumor mendesak saluran

gastrointestinal, perut tidak bisa menerma makanan dalam jumlah banyak karena terasa begah. (5) Letih, mengurus: dapat disebabkan metabolit dari tumor ganas dan berkurangnya masukan makanan dll, yang parah dapat sampai kakeksia. (6) Demam: timbul karena nekrosis tumor, disertai infeksi dan metabolit tumor, jika tanpa bukti infeksi disebut demam kanker, umumnya tidak disertai menggigil. (7) Ikterus: tampil sebagai kuningnya sclera dan kulit, umumnya karena gangguan fungsi hati, biasanya sudah stadium lanjut, juga dapat karena sumbat kanker di saluran empedu atau tumor mendesak saluran empedu hingga timbul ikterus obstruktif. (8) Asites: juga merupakan tanda stadium lanjut. Secara klinis ditemukan perut membuncit dan pekak bergeser, sering disertai udem kedua tungkai. (9) Lainnya: selain itu terdapat kecenderungan perdarahan, diare, nyeri bahu belakang kanan, udem kedua tungkai bawah, kulit gatal dan lainnya, juga manifestasi sirosis hati seperti splenomegali, palmar eritema, lingua hepatik, spider nevi,
27

venodilatasi dinding abdomen dll. Pada stadium akhir hepatoma sering timbul metastasis paru, tulang dan banyak organ lain.8,11

2.2.7. Diagnosis Kanker hati selular yang kecil pun sudah bisa dideteksi lebih awal terutamanya dengan pendekatan radiologi yang akurasinya 70 95% dan pendekatan laboratorium alphafetoprotein yang akurasinya 60 70%. Kriteria diagnosa Kanker Hati Selular (KHS) menurut PPHI (Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia), yaitu: 1. Hati membesar berbenjol-benjol dengan/tanpa disertai bising arteri. 2. AFP (Alphafetoprotein) yang meningkat lebih dari 500 mg per ml. 3. Ultrasonography (USG), Nuclear Medicine, Computed Tomography Scann (CT Scann), Magnetic Resonance Imaging (MRI), Angiography, ataupun Positron Emission Tomography (PET) yang menunjukkan adanya KHS. 4. Peritoneoscopy dan biopsi menunjukkan adanya KHS. 5. Hasil biopsi atau aspirasi biopsi jarum halus menunjukkan KHS. Diagnosa KHS didapatkan bila ada dua atau lebih dari lima kriteria dan atau hanya satu yaitu kriteria empat atau lima.14

Stadium Penyakit Stadium I : Satu fokal tumor berdiametes < 3cm yang terbatas hanya pada salah satu segment tetapi bukan di segment I hati. Stadium II : Satu fokal tumor berdiameter > 3 cm. Tumor terbatas pada segement I atau multi-fokal terbatas pada lobus kanan/kiri Stadium III : Tumor pada segment I meluas ke lobus kiri (segment IV) atas ke lobus kanan segment V dan VIII atau tumor dengan invasi peripheral ke sistem pembuluh darah (vascular) atau pembuluh empedu (billiary duct) tetapi hanya terbatas pada lobus kanan atau lobus kiri hati. Stadium IV : Multi-fokal atau diffuse tumor yang mengenai lobus kanan dan lobus kiri hati. atau tumor dengan invasi ke dalam pembuluh darah hati (intra hepaticvaskuler) ataupun pembuluh empedu (biliary duct)

28

atau tumor dengan invasi ke pembuluh darah di luar hati (extra hepatic vessel) seperti pembuluh darah vena limpa (vena lienalis)

atau vena cava inferior atau adanya metastase keluar dari hati (extra hepatic metastase).

2.2.8. Pemeriksaan Penunjang a. Alphafetoprotein Sensitivitas Alphafetoprotein (AFP) untuk mendiagnosa KHS 60% 70%, artinya hanya pada 60% 70% saja dari penderita kanker hati ini menunjukkan peninggian nilai AFP, sedangkan pada 30% 40% penderita nilai AFP nya normal. Spesifitas AFP hanya berkisar 60% artinya bila ada pasien yang diperiksa darahnya dijumpai AFP yang tinggi, belum bisa dipastikan hanya mempunyai kanker hati ini sebab AFP juga dapat meninggi pada keadaan bukan kanker hati seperti pada sirrhosis hati dan hepatitis kronik, kanker testis, dan terratoma.16

b. AJH (aspirasi jarum halus) Biopsi aspirasi dengan jarum halus (fine needle aspiration biopsy) terutama ditujukan untuk menilai apakah suatu lesi yang ditemukan pada pemeriksaan radiologi imaging dan laboratorium AFP itu benar pasti suatu hepatoma. Tindakan biopsi aspirasi yang dilakukan oleh ahli patologi anatomi ini hendaknya dipandu oleh seorang ahli radiologi dengan menggunakan peralatan ultrasonografi atau CT scann fluoroscopy sehingga hasil yang diperoleh akurat. Cara melakukan biopsi dengan dituntun oleh USG ataupun CT scann mudah, aman, dan dapat ditolerir oleh pasien dan tumor yang akan dibiopsi dapat terlihat jelas pada layar televisi berikut dengan jarum biopsi yang berjalan persis menuju tumor, sehingga jelaslah hasil yang diperoleh mempunyai nilai diagnostik dan akurasi yang tinggi karena benar jaringan tumor ini yang diambil oleh jarum biopsi itu dan bukanlah jaringan sehat di sekitar tumor.

29

c. Ultrasonography (USG) Abdomen Dengan USG hitam putih (grey scale) yang sederhana (conventional) hati yang normal tampak warna ke-abuan dan texture merata (homogen). Bila ada kanker langsung dapat terlihat jelas berupa benjolan (nodule) berwarna kehitaman, atau berwarna kehitaman campur keputihan dan jumlahnya bervariasi pada tiap pasien bisa satu, dua atau lebih atau banyak sekali dan merata pada seluruh hati, ataukah satu nodule yang besar dan berkapsul atau tidak berkapsul. Sayangnya USG conventional hanya dapat memperlihatkan benjolan kanker hati diameter 2 cm 3 cm saja. Tapi bila USG conventional ini dilengkapi dengan perangkat lunak harmonik sistem bisa mendeteksi benjolan kanker diameter 1 cm 2 cm, namun nilai akurasi ketepatan diagnosanya hanya 60%. Rendahnya nilai akurasi ini disebabkan walaupun USG conventional ini dapat mendeteksi adanya benjolan kanker namun tak dapat melihat adanya pembuluh darah baru (neo-vascular).14

Gambar 2.8. Hasil USG pasien dengan Hepatoma

d. CT Scan Di samping USG diperlukan CT scann sebagai pelengkap yang dapat menilai seluruh segmen hati dalam satu potongan gambar yang dengan USG gambar hati itu hanya bisa dibuat sebagian-sebagian saja. CT scann yang saat ini teknologinya berkembang pesat telah pula menunjukkan akurasi yang tinggi apalagi dengan menggunakan teknik hellical CT scann, multislice yang sanggup membuat irisan-irisan yang sangat halus sehingga kanker yang paling kecil pun tidak terlewatkan. Lebih canggih lagi sekarang CT scann sudah dapat membuat gambar kanker dalam tiga dimensi dan empat dimensi dengan

30

sangat jelas dan dapat pula memperlihatkan hubungan kanker ini dengan jaringan tubuh sekitarnya.

Gambar 2.9. Gambaran CT Scan pasien dengan Hepatoma

e. Angiografi Dicadangkan hanya untuk penderita kanker hati-nya yang dari hasil pemeriksaan USG dan CT scann diperkirakan masih ada tindakan terapi bedah atau non-bedah masih yang mungkin dilakukan untuk menyelamatkan penderita. Pada setiap pasien yang akan menjalani operasi reseksi hati harus dilakukan pemeriksaan angiografi. Dengan angiografi ini dapat dilihat berapa luas kanker yang sebenarnya. Kanker yang kita lihat dengan USG yang diperkirakan kecil sesuai dengan ukuran pada USG bisa saja ukuran sebenarnya dua atau tiga kali lebih besar. Angigrafi bisa memperlihatkan ukuran kanker yang sebenarnya. Lebih lengkap lagi bila dilakukan CT angiography yang dapat memperjelas batas antara kanker dan jaringan sehat di sekitarnya sehingga ahli bedah sewaktu melakukan operasi membuang kanker hati itu tahu menentukan di mana harus dibuat batas sayatannya.12

2.2.9. Penatalaksanaan Pengobatan hepatoma masih belum memuaskan, banyak kasus didasari oleh sirosis hati. Pasien sirosis hati mempunyai toleransi yang buruk pada operasi segmentektomi pada hepatoma. Selain operasi masih ada banyak cara misalnya transplantasi hati, kemoterapi, emboli intra arteri, injeksi tumor dengan etanol agar terjadi nekrosis tumor, tetapi hasil tindakan tersebut masih belum memuaskan dan angka harapan hidup 5 tahun masih sangat rendah.11

31

Karena sirosis hati yang melatarbelakanginya serta seringnya multinodularitas, resektabilitas kanker hati sangat rendah. Di samping itu kanker hati juga sering kambuh meskupin sudah menjalani reseksi bedah kuratif. Pilihan terapi ditetapkan berdasarkan atas ada-tidaknya sirosis, jumlah dan ukuran tumor, serta derajat pemburukan hepatik. a. Transplantasi hati Bagi pasien kanker hati dan sirosis hati, transplantasi hati memberikan kemungkinan untuk menyingkirkan tumor dan menggantikan parenkim hati yang mengalami disfungsi. Kematian pasca transplantasi tersering disebabkan oleh rekurensi tumor di dalam maupun di luar transplan. Rekurensi tumor bahkan mungkin diperkuat oleh obat antirejeksi yang harus diberikan. Tumor yang berdiameter kurang dari 3 cm lebih jarang kambuh dibandingkan dengan tumor yang diamternya lebih dari 5 cm.11 b. Reseksi hepatik Untuk pasien dalam kelompok non-sirosis yang biasanya mempunyai fungsi hati normal pilihan utama terapi adalah reseksi hepatik. Namun untuk pasien sirosis diperlukan kriteria seleksi karena operasi dapat memicu timbulnya gagal hati yang harapan hidupnya menurun. Parameter yang dapat digunakan adalah skor child plug dan derajat hipertensi portal atau kadar bilirubin serum dan derajat hipertensi portal saja. Subjek yang bilirubin normal tanpa hipertensi portal yang m bermakna, harapan hidup 5 tahunnya dapat mencapai 70%. Kontraindikasi tindakan ini adalah adanya metastatis ekstrahepatik,kanker hati difus atau multifokal, sirosis stadium lanjut dan penyakit penyerta yang dapat mempengaruhi ketahanan pasien menjalani operasi 9,12. c. Ablasi tumor perkutan Destruksi dari sel neoplastik dapat dicapai dengan bahan kimia (alkohol, asam asetat) atau dengan memodifikasi suhunya (radiofrequency, microwave, laser, cryoablation). Injeksi etanol perkutan (PEI) merupakan teknik terpilih untuk tumor kecil karena efikasinya tinggi, efek sampingnya rendah serta relatif murah. Dasar kerjanya adalah menimbulkan dehidrasi, nekrosis, oklusi vaskular dan fibrosis. Untuk tumor kecil (diameter <5 cm) pada pasien sirosis Child-Pugh A, angka harapan hidup 5 atahun dapat mencapai 50%. PEI bermanfaat untuk pasien dengan tumor kecil yang resektabilitasnya terbatas karena adanya sirosis hati nonChild A.
32

Radiofrequency Ablation (RFA) menunjukkan angka keberhasilan yang lebih tinggi dari pada PEI dan efikasinya tertinggi untuk tumor yang lebih besar dari 3 cm, namun tetap tidak berpengaruh terhadap harapan hidup pasien. Selain itu, RFA lebih mahal dan efek sampingnya lebih banyak dibandingkan dengan PEI. Guna mencegah terjadinya rekurensi tumor, pemberian asam poliprenoik (polyprenoic acid) selama 12 bulan dilaporkan dapat menurunkan angka rekurensi pada bulan ke 38 secara bermakna dibandingkan dengan kelompok plasebo (kelompok plasebo 49%, kelompok terapi PEI atau reseksi kuratif 22%).9,12 d. Terapi paliatif Sebagian besar pasien kanker hati didiagnosis pada stasium menengah-lanjut (intermediate-advanced stage) yang tidak ada terapi standarnya. Berdasarkan meta analisis, pada stadium ini hanya TAE/TACE (transarterial embolization/chemo embolization) saja yang menunjukkan penuruanan pertumbuhan tumor serta dapat meningkatkan harapan hidup pasien dengan kanker hati yang tidak resektabel. TACE dengan frekuensi 3 hingga 4 kali setahun dianjurkan pada pasien yang fungsi hatinya cukup baik (Child-Pugh A) serta tumor multinodular asimtomatik tanpa invasi vaskular atau penyebaran ekstrahepatik, yang tidak bisa diberi terapi radikal. Namun bagi pasien yang dalam keadaan gagal hati (Child-Pugh B-C), serangan iskemik akibat terapi ini dapat mengakibatkan efek samping berat. Adapun beberapa jenis terapi lain untuk kanker hati yang tidak resektabe; seperti imunoterapi dengan interferon, terapi antiestrogen, antiandrogen, oktreotid, radiasi internal, kemoterapi arterial atau sistemik masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan penilaian yang meyakinkan. 9,12 e. Tatalaksana komplikasi sirosis hati 1. Asites dan edema Untuk mengurangi edema dan asites, pasien dianjurkan membatasi asupan garam dan air. Jumlah diet garam yang dianjurkan biasanya sekitar dua gram per hati, dan cairan sekitar satu liter sehari. Kombinasi diuretik spironolakton dan furosemid dapat menurunkan dan menghilangkan edema dan asites pada sebagian besar pasien. Bila pemakaian diuretik tidak berhasil (asites refrakter), dapat dilakukan parasintesis abdomen untuk mengambil cairan asites sedemikian besar sehingga menimbulkan keluhan nyeri akibat distensi abdomen, dan atau kesulitan bernapas karena keterbatasan geralan diafragma, parasintesis dapat
33

dilakukan dalam jumlah lebih dari 5 liter (large volume paracentesis = LVP). Pengobatan lain untuk asites refrakter adalah TIPS (Transjugular intravenous portosystemic shunting) atau transplantasi hati.16 2. Perdarahan varises Bila varises telah timbul di bagian diatal esofagus atau proksimal lambung, pasien sirosis berisiko mengalami perdarahan serius akibat pecahnya varises. Sekali varises mangalami perdarahan, bertendensi perdarahan ulang dan setiap kali berdarah, pasien berisiko meninggal. Karena itu pengobatan ditujukan untuk pencegahan perdarahan pertama maupun pencegahan perdarahan ulang dikemudian hari. Untuk tujuan tersebut, ada beberapa cara pengobatan yang dianjurkan, termasuk pemberian obat dan prosedur untuk menurunkan tekanan vena porta, maupun prosedur untuk menurunkan tekanan vena porta, maupun prosedur untuk merusak atau mengeradikasi varises Propanolol atau nadolol, merupakan obat penyekat reseptor beta non-selektif. Efektif menurunkan tekanan vena porta, dan dapat dipakai untuk mencegah perdarahan pertama maupun perdarahan ulang varises pasien sirosis. 3. Ensefalopati hepatik Pasien dengan siklus tidur abnormal, gangguan berpikir, perubahan kepribadian, atau tanda-tanda lain enselopati hepatik, biasanya harus mulai diobati dengan diet rendah protein dan laktulosa oral. Untuk mendapat efek laktulosa, dosisnya harus sedemikian rupa sehingga pasien buang air besar dua sampai tiga kali sehari. Bila gejala enselopati masih tetap ada, antibiotika oral seperti neomisin atau metronidazol dapat ditambahkan. Pada pasien enselopati hepatik yang semakin jelas, ada tiga tindakan yang harus segera diberikan : 1) singkirkan penyebab enselopati yang lain, 2) perbaiki atau singkirkan faktor pencetus dan 3) segera mulai pengobatan empiris yang dapat berlangsung lama, seperti : klisma, diet rendah atau tanpa protein, laktulosa, antibiotika (neomisin, metronidazol atau vankomisin), asam amino rantai cabang, bromokriptin, preparat zenk, dan atau ornitin aspartat. Bila enselopati tetap ada, atau timbul berulang kali dengan pengobatan empiris, dapat dipertimbangkan transplantasi hati.15

34

2.2.10. Pencegahan Pencegahan terhadap kanker disini adalah suatu tindakan yang berupaya untuk menghindari segala sesuatu yang menjadi faktor resiko terjadinya kanker dan memperbesar faktor protektif untuk mencegah kanker. Prinsip utama pencegahan kanker hati adalah dengan melakukan skrining kanker hati sedini mungkin. Pencegahan hepatoma adalah dengan mencegah penularan virus hepatitis B ataupun C. Vaksinasi merupakan pilihan yang bijaksana, tetapi saat ini baru tersedia vaksinasi untuk virus hepatitis B.

2.2.11. Prognosis Klasifikasi child-pugh14 Nilai 1 Ensefalopati Asites Bilirubin(mg/dl) Albumin PT Nihil <2 >3,5 <1,7 2 Minimal Minimal 2-3 2,8-3,5 1,7-2,3 3 Berat/koma Masif >3 <2,8 >2,3

(Ket : child A = 5-6, child B = 7,9, child C = 10-15)

35

2.3 Abses Hepar 2.3.1. Definisi Abses hepar merupakan infeksi pada hati yang disebabkan oleh infeksi bakteri, parasit, jamur, maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem GIT; ditandai dengan proses supurasi dengan pembentukan pus, terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel inflamasi, sel darah dalam parenkim hati. Organisme mencapai hati melalui satu jalur berikut: 1) infeksi asendens di saluran empedu (kolangitis asendens); 2) melalui pembuluh darah, baik porta atau arteri; 3) infeksi langsung ke hati dari sumber disekitar; 4)luka tembus. Abses hepar timbul pada keadaan defisiensi imun (lanjut usia, imunosupresi, kemoterapi kanker disertai kegagalan sumsum tulang). Abses hepar bakteri secara relatif jarang. ini telah dijelaskan sejak waktunya hippocrates (400 masehi), dengan review pertama yang diterbitkan oleh Bright muncul pada 1936. Pada 1938, review Ochsner' klasik menggembar-gemborkan drainase bedah sebagai terapi definitif.

2.3.2. Epidemiologi Prevalensi abses piogenik sukar ditetapkan. Dahulu hanya dapat dikenal setelah autopsi. Sekarang dengan peralatan yang lebih canggih seperti USG, CT scan dan MRI lebih mudah untuk membuat diagnosisnya. Prevalensi autopsi berkisar antara 0,29 - 1,47%, sedangkan di rumah sakit didapatkan antara 0,008 - 0,016%. Sedangkan pada negara maju seperti Amerika prevalensinya sangat berbeda dibanding dengan negara-negara berkembang. Menurut penyebabnya liver abses pada negara maju dapat dirata-ratakan sebagai berikut : 1. Abses hati pyogenic, disebabkan oleh lebih dari satu mikrobakteri, 80 % pada negara maju. 2. Amebiasis hati, penyebab utamanya entamoeba hystolitica, 10% dari seluruh kasus liver abses. 3. Fungal abses, paling sering disebabkan oleh spesies candida, kurang dari 10% kasus liver abses.

36

Perbandingan jumlah penderita liver abses menurut jenis kelamin adalah pria lebih banyak yang terinfeksi dibandingkan wanita dan menurut prevalensi jumlah penderita paling banyak pada usia dekade keempat sampai kelima.

2.3.3 Etiologi dan Patogenesis Abses hati terbagi 2 secara umum, yaitu abses hati amebic (AHA) dan abses hati piogenik (AHP/ Hepatic Abcess, Bacterial Liver Abcess). AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis ekstraintestinal, paling sering terjadi di daerah tropis/subtropik. AHA lebih sering terjadi endemic di negara berkembang dibanding AHP. AHA terutama disebabkan oleh E. Histolytica. AHP tersebar di seluruh dunia, dan terbanyak di daerah tropis dengan sanitasi kurang. Etiologi AHP adalah enterobacteriaceae, microaerophilic streptococci, anaerobic

streptococci, klebsiella pneumonia, bacteroides, fusobacterium, S. aureus, S. milleri, candida albicans, aspergillus, actinomyces, eikenella corrodens, yersinia enterolitica, S. typhi, brucella militensis, dan fungal. Pada era pre-antibiotik, AHP terjadi akibat komplikasi apendisitis bersamaan dengan fileflebitis. Bakteri patogen melalui a. hepatica atau sirkulasi vena portal masuk ke dalam hati, sehingga terjadi bakterimia sistemik, atau menyebabkan komplikasi infeksi intraabdominal (diverticulitis, peritonitis, dan infeksi post operasi). Sedangkan saat era antibiotik, terjadi peningkatan insidensi AHP akibat komplikasi dari sistem biliaris (kolangitis, kolesistitis). Hal ini karena makin tinggi angka harapan hidup dan makin banyak pula orang lanjut usia dikenai penyakit sistem biliaris ini. AHP juga bisa akibat trauma, luka tusuk / tumpul, dan kriptogenik Abses hati piogenik dapat terjadi melalui infeksi yang berasal dari : 1. Vena porta yaitu infeksi pelvis atau gastrointestinal, bisa menyebabkan pielflebitis porta atau emboli septik. 2. Saluran empedu merupakan sumber infeksi yang tersering. Kolangitis septik dapat menyebabkan penyumbatan saluran empedu seperti juga batu empedu, kanker, striktura saluran empedu ataupun anomali saluran empedu kongenital. 3. Infeksi langsung seperti luka penetrasi, fokus septik berdekatan seperti abses perinefrik, kecelakaan lau lintas. 4. Septikemia atau bakterimia akibat infeksi di tempat lain.
37

5. Kriptogenik tanpa faktor predisposisi yang jelas, terutama pada organ lanjut usia. Pada amebiasis hati penyebab utamanya adalah entamoeba hystolitica. Hanya sebagian kecil individu yang terinfeksi E.hystolitica yang memberi gejala amebiasis invasif, sehingga ada dugaan ada 2 jenis E.hystolitica yaitu strain patogen dan non patogen. Bervariasinya virulensi berbagai strain E.hystolitica ini berbeda berdasarkan kemampuannya menimbulkan lesi pada hati. Patogenesis amebiasis hati belum dapat diketahi secara pasti. Ada beberapa mekanisme yang telah dikemukakan antara lain : faktor virulensi parasit yang menghasilkan toksin, ketidakseimbangan nutrisi, faktor resistensi parasit, imunodepresi pejamu, berubah-ubahny antigen permukaan dan penurunan imunitas cell-mediated. Secara singkat dapat dikemukakan 2 mekanisme : 1. Strain E.hystolitica ada yang patogen dan non patogen. 2. Secara genetik E.hystolitica dapat menyebabkan invasi tetapi tergantung pada interaksi yang kompleks antara parasit dengan lingkungan saluran cerna terutama pada flora bakteri. Mekanisme terjadinya amebiasis hati : 1. Penempelan E.hystolitica pada mukus usus. 2. Pengerusakan sawar intestinal. 3. Lisis sel epitel intestinal serta sel radang. Terjadinya supresi respons imun cellmediated yand disebabkan enzim atau toksin parasit, juga dapat karena penyakit tuberkulosis, malnutrisi, keganasan dll. 4. Penyebaran ameba ke hati. Penyebaran ameba dari usus ke hati sebagian besar melalui vena porta. Terjadi fokus akumulasi neutrofil periportal yang disertai nekrosis dan infiltrasi granulomatosa. Lesi membesar, bersatu dan granuloma diganti dengan jaringan nekrotik. Bagian nekrotik ini dikelilingi kapsul tipis seperti jaringan fibrosa. Amebiasis hati ini dapat terjadi berbulan atau tahun setelah terjadinya amebiasis intestinal dan sekitar 50% amebiasis hati terjadi tanpa didahului riwayat disentri amebiasis.

38

2.3.4. Manifestasi Klinis Manifestasi sistemik AHP biasanya lebih berat dari pada AHA. Sindrom klinis klasik AHP berupa nyeri spontan perut kanan atas, ditandai jalan membungkuk ke depan dengan dua tangan ditaruh diatasnya. Selain itu, demam tinggi (keluhan utama) disertai keadaan syok. Setelah era pemakaian antibiotik yang adekuat, gejala dan manifestasi AHP adalah malaise, demam tidak terlalu tinggi dan nyeri tumpul pada abdomen yang menghebat dengan adanya pergerakan. Apabila AHP letaknya dekat diafragma, akan timbul iritasi diafragma sehingga terjadi nyeri bahu kanan, batuk, ataupun atelektasis (terutama akibat AHA). Gejala lain, mual, muntah, anoreksia, berat badan turun yang unintentional, badan lemah, ikterus, berak seperti kapur, dan urin berwarna gelap.

2.3.5. Pemeriksaan Penunjang Pada laboratorium didapatkan leukositosis dengan pergeseran ke kiri, anemia; laju endap darah, alkali fosfatase, transaminase dan serum bilirubin meningkat; konsentrasi albumin serum menurun dan waktu protrombin yang memanjang. Tes serologi digunakan untuk menyingkirkan diagnosis banding. Kultur darah memperlihatkan bacterial penyebab menjadi standar emas penegakan diagnosis secara mikrobiologik. Pemeriksaan foto thoraks dan foto polos abdomen: diafragma kanan meninggi, efusi pleura, atelektasis basiler, empiema atau abses paru. Pada foto thoraks PA: sudut kardiofrenikus tertutup; foto thoraks lateral: sudut kostofrenikus anterior tertutup. Di bawah diafragma terlihat air fluid level. Abses lobus kiri akan mendesak kurvatura minor. Secara angiografik, abses merupakan daerah avaskular. Abdominal CT-Scan atau MRI, USG abdominal, dan Biopsi Hati memiliki sensitivitas yang tinggi.

2.3.6. Diagnosis Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium dan penunjang. Kadang sulit ditegakkan sebab gejala dan tanda klinis yang tidak spefisik. CT-scan dan tes serologis sangat

39

membantu. Diagnosis berdasarkan penemuan bakteri penyebab dengan kultur darah hasil aspirasi (merupakan standar emas).

2.3.7. Penatalaksaan Secara konvensional dengan drainase terbuka secara operasi dan antibiotik spektrum luas. Penatalaksanaan saat ini, dengan menggunakan drainase perkutaneus abses intraabdominal dengan tuntunan abdomen ultrasound atau tomografi computer, komplikasi yang bisa terjadi adalah perdarahan, perforasi organ intraabdominal, infeksi, atau kesalahan penempatan kateter untuk drainase. Kadang pada AHP multiple dilakukan reseksi hati. Penatalaksanaan dengan antibiotik, pada terapi awal digunakan penisilin. Selanjutnya dikombinasikan dengan antara ampisilin, aminoglikosida, atau sefalosporin generasi III dan klindamisin atau metronidazol. Jika dalam waktu 48-72 jam, belum ada perbaikan klinis dan laboratoris, maka antibiotik diganti dengan antibiotik sesuai hasil kultur sensitivitas aspirat abses hati. Pengobatan secara perenteral dapat dirubah menjadi oral setelah 10-14 hari, dan kemudian dilanjutkan kembali hingga 6 minggu kemudian. Pengelolaan dengan dekompresi saluran biliaris dilakukan jika terjadi obstruksi sistem bilaris yaitu dengan rute transhepatik atau dengan melakukan endoskopi.

2.3.8. Komplikasi Saat dignosis ditegakan, menggambarkan keadaan penyakit yang berat, seperti septikaemia/bakteriemia dengan mortalitas 85%, ruptur abses hati disertai peritonitis generalisata dengan mortalitas 6-7% kelainan plueropulmonal, gagal; hati, kelainan didalam rongga abses, henobilia, empiema, fisistula hepatobronkial, ruptur kedalam perikard atau retroperitoneum. Sistem plueropulmonum merupakan sistem tersering terkena. Secara khusus, kasus tersebut berasal dari lesi yang terletak di lobus kanan hepar. Abses menembus diagfragma dan akan timbul efusi pleura, empyema abses pulmonum atau pneumonia. Fistula bronkopleura, biliopleura dan biliobronkial juga dapat timbul dari reptur abses amuba. Pasien-pasien dengan fistula ini akan menunjukan ludah yang berwarna kecoklatan yang berisi amuba yang ada.

40

2.3.9. Prognosis Prognosis yang buruk, apabila terjadi keterlambatan diagnosis dan pengobatan, jika hasil kultur darah yang memperlihatkan penyebab becterial organisme multiple, tidak dilakukan drainase terhadap abses, adanya ikterus, hipoalbuminemia, efusi pleural atau adanya penyakit lain. Peningkatan umur, manifestasi yang lambat, dan komplikasi seperti reptur intraperikardi atau komplikasi pulmonum meningkatkan tiga kali angka kematian. Hiperbilirubinemia juga termasuk faktor resiko, dengan reptur timbul lebih sering pada pasien-pasien yang juendice

41

Daftar Pustaka 1. Graff LG, Robinson D. Abdominal pain and emergency department evaluation. Emerg Med Clin North Am. 2001;19:123-136. 2. Cordell WH. Online evidence-based emergency medicine. Ann Emerg Med . February2002;39:178-180. 3. Sinha A et all. Gastric Duplicatiob Cyst With Macrocopis Serosal Heterotropic Pancreas. JOP. J. Pancreas (Online) 2010 Sep 6. 4. Mariano. Scaglione, Ulrich H. Linsenmaier, Gerd. Schueller. Emergency Radiology of the Abdomen: Imaging Features and Differential Diagnosis for a Timely Management Approach. Springer. 2012 5. Henry Gray. The Concise Gray's Anatomy. Wordsworth Editions, 1997 - 296 pages 6. Diethelm AG, Stanley RJ, Robbin ML. The acute abdomen. In: Sabiston DC, ed. Textbook of surgery, 14th ed. Philadelphia: WB Saunders, 1997:825-846 7. Sjamsuhidajat, R., dan. De Jong, W., ed. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC 8. Hepatoma dan Sindrom Hepatorenal. Diakses tanggal 20 Mei 2011. Di unduh dari : http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/08_150_HepatomaHepatorenal.pdf/08_150 Hepa toma-Hepatorenal.html 9. Budiharso, U. Karsinoma Hati. Dalam : Sudoyo A W, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4 Jilid I. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2010. hlm.691-685 10. Hepatocelluler Carcinoma. Diakses tanggal 20 Mei 2011. Diunduh dari : http://emedicine.medscape.com/article/369226-overview 11. Bardiman, Syadra. Kumpulan Kuliah Hepatologi, Penyakit Pankreas, dan Kandung Empedu. Sub Bagian Gastroentero-Hepatologi Bagian Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Hal 476-469. 12. Kanker Hati. Diakses tanggal 20 Mei 2011. Diunduh dari : http://www.totalkesehatananda.com/kankerhati.html 13. Abdul Rasyad. Pentingnya Peranan Radiologi Dalam Deteksi Dini dan Pengobatan Kanker Hati Primer. USU Press: 2006. 14. Hepatoma dan Sindrom Hepatorenal. Diakses tanggal 20 Mei 2011. Diunduh dari http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/08_150_HepatomaHepatorenal.pdf/08_150_He patomaHepatorenal.html 15. Sirosis Hepatis. Diakses tanggal 20 Mei 2011. Diunduh dari http://library.usu.ac.id/download/fk/penydalam-srimaryani5.pdf

42

Anda mungkin juga menyukai