Anda di halaman 1dari 10

ABSES HATI PIOGENIK

1. PENDAHULUAN
Abses hati merupakan salah satu bentuk dari abses abses visceral. Hati merupakan
organ intraabdominal yang paling sering mengalami abses. Abses hati terbagi
menjadi 2 bentuk yaitu abses hati amubik (AHA) dan abses hati piogenik (AHP).
Abses hati piogenik dapat berupa abses tunggal maupun abses multipel. Abses hati
telah dikenal sejak zaman Hippocrates. Namun hingga saat ini AHP masih merupakan
permasalahan kesehatan sehubungan dengan angka kesakitan dan kematian yang
masih cukup tinggi bila terlambat didiagnosis. Adanya peningkatan pengetahuan dan
teknologi di bidang bakteriologi, antibiotika dan teknik drainase secara signifikan
memberikan perbaikan penanganan terhadap AHP.
2. DEFINISI
Abses hati piogenik adalah proses supuratif yang terjadi pada jaringan hati yang
disebabkan oleh invasi bakteri melalui aliran darah, sistem bilier, maupun penetrasi
langsung.
3. EPIDEMIOLOGI
Sekitar 48% kasus abses visceral adalah AHP dan merupakana 13% dari
keseluruhan kasus abses intra-abdominal. Median umur adalah 44 tahun, tidak
terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Data menunjukan Taiwan
memiliki insidensi tertinggi yaitu 17,6 kasus per 100.000 penduduk. Setiap tahun, 7-
20 per 100.000 ribu kasus AHP dirawat di rumah sakit. Pada otopsi, didapatkan 0,29-
1,4% kasus AHP. Hampir 50% kasus merupakan abses multipel. Pada abses tunggal,
75% dilobus kanan, 20% di lobus kiri, dan 5% pada kauda. Factor risiko terjadinya
AHP adalah diabetes mellitus (DM), adanya penyakit dasar pada organ hepatobilier
dan pancreas, serta transplantasi hati. Sekitar 15-25% kasus AHP terjadi pada pasien
dengan DM, 7% pada pasien dengan bakteriernia portal, dan sekitar 50-60% dengan
obstruksi bilier.
4. PATOGENESIS
Infeksi menyebar ke hati melalui aliran vena porta, arteri, saluran empedu,
ataupun infeksi secara langsung melalui penetrasi jaringan daru fokus infeksi yang
berdekatan. Sebelum era antibiotika, penyebab tersering adalah apendisitis dan
pileflebitis (thrombosis supuratif pada vena porta). Saat ini, infeksi yang berasal dari
sistem bilier merupakan penyebab terbanyak terjadinya AHP, diikuti oleh abses
kriptogenik.
Abses hati piogenik dapat juga merupakan komplikasi lanjutan dari tindakan
endoscopic sphincterotomy untuk mengatasi batu saluran empedu, ataupun
komplikasi lanjut yang terjadi 3 sampai 6 minggu setelah dilakukan biliary-intestinal
anastomosis. Di Asia Timur dan Asia Tenggara, AHP dapat merupakan komplikasi
dari kolangitis piogenik rekuren yang ditandai dengan adanya episode kolangitis yang
berulang, pembentukan batu intrahepatic, ataupun adanya infeksi parasite pada sistem
bilier.
5. GEJALA DAN TANDA
Gambaran klinis klasik AHP adalah demam dan nyeri perut kanan atas. Demam
tinggi yang naik turun disertai menggigil merupakan keluhan terbanyak. Nyeri perut
kanan atas biasanya menetap dan dapat menyebar kebahu kanan. Kebanyakan pasien
mengalami keadaan ini kurang dari 2 minggu, sebelum pergi berobat. Gejala tidak
khas lainnya meliputi keringat malam, muntah, anoreksia, kelemahan umum, dan
penurunan berat badan. Sekitar 1/3 kasus disertai dengan diare dan ¼ kasus
mengeluhkan adanya batuk yang tidak produktif. Pesien juga mengkin dating dengan
keluhan pada sumber infeksi primernya, misalnya apendisitis atau divertikulitis,
sebelum gejala AHP berkembang.
Onset penyakit biasanya terjadi akut. Onset yang tersamar dapat terjadi pada
orang tua. Onset pada abses tunggal biasanya gradual dan umumnya merupakan abses
kriptogenik. Gambaran klinis pada abses multipel biasanya menunjukan gambaran
akut dan biasanya penyebab primernya diketahui.
Pemeriksaan fisik didapatkan pembesaran hati disertai nyeri pada kuadran kanan
atas. Ikterik dijumpai apabila penyakit telah lanjut. Beberapa pasien tidak
mengeluhkan adanya nyeri perut kuadran kanan atas ataupun tidak didapatkan
hepatomegaly, biasnya gambaran klinik menunjukan fever of unknown origin (FUO).
Adanya kelainan pada paru kanan berupa pekak pada perkusi dan penurunan suara
napas dijumpai apabila proses penyakit terjadi pad segmen superior lobus kanan.
Pada pemeriksaan fisik paru ditemukan kelainan pada sekitar 20-30% kasus. Anemia
dan dehidrasi juga merupakan tanda fisik yang sering ditemukan.
Dengan menggunakan teknik isolasi kuman anaerobic yang ketat, saat ini
ditemukan 45-75% AHP disebabkan oleh bakteri anaerobic ataupun infeksi campuran
bakteri aerobic dan anaerobic. Bacteroides dan Fusobacterium merupakan bakteri
anaerobic penyebab AHP terbanyak.infeksi polimiktobial umumnya disebabkan oleh
bakteri anaerobic.
Escherichia coli dan Klebsiella pneumonia merupakan kuman yang paling banyak
diisolasi pada kelompok bakteri aerobic gram negative. Klesiella terutama ditemukan
pada pasien AHP dengan DM dan intoleransi glukosa. Pada kelompok bakteri gram
positif, staphylococci merupakan bakteri yang paling sering ditemukan pada infeksi
monomikrobial, streptococci dan enterococci paing sering ditemukan pada infeksi
polimikrobial. Pada suatu studi besar, ditemukan S.aureus dan Streptococcus β-
hemolyticus merupakan bakteri penyebab AHP pada trauma, Streptococcus grup D,
K. pneumonia, dan Clostridium sp. Berhubungan dengan infeksi sistem biller serta
Bacteroides dan Clostridium sp. Berhubungan dengan penyakit kolon.
6. DIAGNOSIS
Pemeriksaan pencitraan
Saat ini, pemeriksaan pencitraan merupanakn modalitas penting untuk menegakkan
diagnosis AHP. Adanya temuan klinis meliputi demam, nyeri perut kanan atas, serta
pembesaran hati yang disertai nyeri tekan, menjadi alasan untuk pemeriksaan
ultrasonografi (USG) computerized tomography scan (CT scan), serta magnetic
resonance imaging (MRI). Pemeriksaan pencitraan dapat membedakan AHP dari
kolesistitis, obstruksi sauran empedu, maupun pankreatitis. Penggunaan zat kontras
technetium 99m-sulfur colloid sebelum pemeriksaan USG dan CT sensitif untuk
mengetahui adanya lesi dengan ukuran < 3 cm, serta dapat memprediksi lokalisasi
untuk dilakukan aspirasi perkutaneus maupun drainase.
Pemerikasaan USG memperlihatkan adanya lesi hipoekoik, kadang-kadang dapat
ditemukaninternal eko. Namun demikian, lesi yang terletak pada bagian atas lobus
kanan sulit untuk diidentifikasi. Gambaran AHP dengan CT menunjukan gambaran
lesi densitasrendah, penggunaan kontras memperlihatkan peripheral enhancement.
Pemerikasaan CT juga dapat menunjukan sumber infeksi ekstrahepatik dari AHP,
misalnya apendisitis ataupun diverticulitis. Walaupun pemeriksaan CT dan USG
dapat membedakan abses dari obstruksi saluran empedu, namun tidak dapat
membedakan AHP dari abses hati amebik (AHA). Pemeriksaan dengan MRI,
walaupun masih sedikit digunakan, lebih sensitive untuk menentukan AHP.
Kebanyakan abses, baik AHP maupun AHA, terletaj pada lobus kanan. Adanya
abses multipel sangat mencurigakan suatu AHP. Tumor hati yang telah mengalami
nekrosis serta infeksi sekunder, seringkali memberikan gambaran USG seperti AHP.
Pemeriksaan rontgen dada dapat ditemukan adanya elevasi hemidiafragma kanan
serta atelectasis.
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium didapati kelainan meliputi anemia ringan, lekositosis
dengan netrofilia, serta peningkatan laju endap darah. Dapat juga ditemukan
perubahan fungsi hati, yaitu peningkatan kadar serum alkali fosfatase.
Adanya antibody antiamubatik penting untuk membedakan AHA dan AHP. Lebih
dari 90% pasien dengan AHA mempunyai antibody antiamubatik tertinggi terhadap
Entamoeba histylica.
Elemen kunti untuk diagnosis AHP adalah ditemukannya agen penyebab, baik
melalui kultur darah, maupun kultur pus dari aspirasi abses, specimen yang berasal
dari AHP berwarna kekkuningan ataupun kehijauan serta berbau busuk. Specimen
yang berasal dari AHA berwarna merah kecoklatan. Dengan pengecatan gram, pada
AHA ditandai dengan adanya netrofil tanpa bakteri, kecuali bila telah terjadi infeksi
sekunder. Sementara pada AHP, selaluterdapat bakteri.
7. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
Sebelum terdapat hasil kultur, diberikan antibiotika spektrum luas. Ampisilin dan
aminoglikosida diberikan bila sumber infeksi terdapat pada saluran empedu.
Sefalosporin generasi ketiga merupakan pilihan apabila sumber infeksi berasal dari
usus. Metronidazole diberikan pada semua AHP dengan berbagai sumber
infeksiuntuk mengatasi infeksi anaerobik. Bila telah terdapat hasil kultur, antibiotika
disesuaikan dengan kumanyang spesifik. Antibiotika intravena diberikan sedikitnya
selama 2 minggu, dilanjutkan dengan antibiotika oral selama 6 minggu. Apabila
infeksi disebabkan oleh streptococcus, pemberian antibiotika oral dosis tinggi
disarankan selama lebih dari 6 minggu.
Non Medikamentosa
Drainase perkutaneus. Darinase perkutaneus dilakukan dengan tuntunan USG pada
abses berukuran  5 cm, menggunakan indwelling drainage catheter. Pada abses
multipel, hanya abses berukuran besar yang perlu untuk diaspirasi. Abses kecil cukup
dengan penggunaan antibiotika.
Drainase dengan pembedahan. Drainase dengan pembedahan dilakukan pada AHP
yang mengalami kegagalan setelah dilakukan drainase perkutaneus, ikterik yang tidak
sembuh, penurunan fungsi ginjal, serta pada abses multilokuler. Saat ini drainase
dengan pembedahan dilakukan dengan laparoskopik.
8. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi seperti rupture, penyebaran infeksi ke organ sekitar
terutama ke pleura (efusi pleura, empiema) dan paru. Komplikasilain berupa efusi
pericardial, fistula torakal dan abdominal, sepsis, serta trombosis. Trombosis dapat
terjadi pada vena porta maupun vena hepatica disebabkan karena infeksi bakteri
anaerobik.
Trombosis dapat menyebabkan hipertensi portal ataupun sindroma Bud-Chiari
meskipun menanganan abses telah berhasil. Pasien dengan abses yang besar sangat
mudah mengalami sepsis.
9. PENCEGAHAN
Pencegahan terbaik adalah dengan mengetahui sedini mungkin sumber-sumber
infeksi yang dapat menyebabkan AHP, diikuti dengan penanganan yang tepat.
10. PROGNOSIS
Dengan prognosis yang cepat disertai penggunaan antibiotika pada tahap dini dan
drainase perkutaneus, angka kematian karena AHP telah jauh menurun. Angka
kematian pada negara maju sekitar 2-12%. Factor utama penyebab kematian adalah
pembedahan dengan drainase terbuka, keganasan, serta infeksi dari kuman anaerobic.
Prognosis baik dengan harapan hidup lebih dari 90% bila abses tunggal dan
terletak pada lobus kanan. Namun, kematian dapat mencapai 100% pada AHP yang
tidak terapi. Angka kematian tinggi juga disebabkan oleh infeksi polimikrobial, pada
sistem bilier, adanya disfungsi multiorgan, adanya komplikasi efusi pleura terutama
pada orang tua, serta sepsis.

ABSES HATI AMUBA


1. PENDAHULUAN
Abses hati amuba adalah manifestasi ekstraintestinal paling umum dari amubiasis.
Dibandingkan dengan orng-orang yang tinggal di daerah endemik, orang yang
mengalami abses hati amuba setelah perjalanan ke daerah endemic dan lebihcenderung
berusia tua dan laki-laki. Abses hati amuba ditandai dengan hepatomegali, dengan abses
besar atau abses multiple. Terjadinya suatu abses hatiamuba pada orang yang belum
bepergian kea tau tinggal di daerah endemikharus meningkatkan kecurigaan keadaan
immunosupresi, khususnya Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS). Faktor
pejamu yang memberikan kontribusi untuk tingkat keparahan penyakit adalah usia muda,
kehamilan, malnutrisi, alkoholisme, penggunaan glukokortikoid, dan keganasan.
2. DEFINISI
Abses hati amuba adalah penimbunan atau akumulasi debris nekro-inflamatori
purulent di dalam parenkim hati yang disebabkan oleh amuba, terutama entamoeba
hystolitica.
3. EPIDEMIOLOGI
Amubiasis terjadi pada 10% dari populasi dunia dan paling umum di daerah tropis
dan subtropik. Penyakit ini sering di derita orang muda dan sering pada etnik Hispanik
dewasa (92%). Terjadi 10 kali lebih umum pada pria seperti pada wanita dan jarang
terjadi pada anak-anak. Amebiasis merupakan infeksi tertinggi ketiga penyebab kematian
setelah schistosomiasis dan malaria. Daerah endemisnya meliputi Afrika, Asia Tenggara,
Meksiko, Venezuela, dan Kolombia. Insiden abses hati amuba di Amerika Serikat
mencapai 0,05% sedangkan di India dan Mesir mencapai 10%-30% pertahun dengan
perbandingan laki-laki:perempuan sebesar 3:1 sampai dengan 22:1.
4. PATOGENESIS
Selama siklus hidupnya, Entamoeba histolytica dapat berbentuk sebagai
trophozoitatau bentuk kista. Setelah menginfeksi, kista amuba melewati saluran
pencernaan dan menjadi trophozoit di usus besar, trophozoit kemudian melekat ke sel
epitel dan mukosa kolon dengan Gal/GalNAc dimana mereka menginvasi mukosa, lesi
awalnya berupa mikroulserasi mukosa caecum, kolon sigmoid dan rectum yang
mengeluarkan eritrosit, sel inflamasi dan sel epitel. Ulserasi yang meluas ke submukosa
menghasilkan ulser khas berbentuk termos (flask-shaped) yang berisi trophozoit dibatas
jaringan matu dan sehat. Organisme dibawa oleh sirkulasi vena portal ke hati, tempat
abses dapat berkembang. Entamoeba histolytica sangat resistenterhadap lisis yang
dimediasi komplemen, oleh karena itu dapat bertahan di aliran darah. Terkadang
organisme ini menginvasi organ selain hati dan dapat membuat abses dalam paru-paru
atau otak. Pecahnya abses hati amuba kedalam pleura, perikard dan ruang peritoneal juga
dapat terjadi. Didalam hati, E.histolytica mengeluarkan enzim proteolitik yang berfungsi
melisiskan jaringan pejamu. Lesi pada hati berupa “well demarcated abcess”
mengandung jaringan nekrotik dan biasanya mengenai lobus kanan hati. Respon awal
pejamu adalah migrasi sel-sel PMN. Amuba juga memiliki kemampuan melisiskan PMN
dengan enzim proteolitiknya, sehingga terjadilah destruksi jaringan. Abses hati
mengandung debris aselular, dan tropozoit hanya dapat ditemukan pada tepi lesi.
5. GEJALA DAN TANDA
Abses hati amuba lebih sering dikaitkan dengan presentasi klinis yang akut
dibandingkan abses piogenik hati. Gejala terjadi rata-rata 2 minggu pada saat diagnosis
dibuat.dapat terjadi sebuah periode laten antara infeksi hari usus dan selanjutnya sampai
bertahun-tahun dan kurnag dari 10% pasien melaporkan riwayat diare berdarah dengan
disentri amuba,
Nyeri perut kanan atas dirasakan pada 75-90% pasien, lebih berat dibandingkan
piogenik terutama di kuadran kanan atas. Kadang yeri disertai mual, muntah, anoreksia,
penurunan berat badan, kelemahan tubuh dan pembesaran hati yang juga terasa nyeri.
Nyeri spontan perut kanan atas disertai dengan jalan membungkuk ke depan dengan
kedua tangan diletakkan di atasnya merupakan gambaran klinis khas yang sering
dijumpai. Dua puluh persen penderita dengan kecurigaan abses hati amuba mempunyai
riwayat penyakit diare atau disentri.
Demam umum terjadi, tetapi mungkin pula polanya intermiten. Malaise, mialgia,
arthralgia umum terjadi. Icterus jarang ditemukan dan bila ada menendakan prognosis
yang buruk. Gejala dan tanda paru dapat terjadi, tetapi pericardial rub dan peritonitis
jarang ditemukan. Kadang-kadang friction rub terdengar di hati. Gambaran laboratorium
mirip dengan yang ditemukan di abses piogenik. Koinfeksi dengan bakteri patogen jarang
ditemukan. Komplikasi yang jarang terjadi adalah pecah di intra-peritoneal, intratorakal,
dan perikardinal serta kegagalan multiorgan
6. ETIOLOGI
Parasit amuba, yang tersering yaitu Entamoeba histolytica.
7. DIAGNOSIS
Anamnesis dan pemeriksaan fisik memberikan petunjuk penting dalam menegakkan
diagnosis, pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan yaitu laboratorium, tes
serologi (amuba), kultur darah, kultur cairan aspirasidan pencitraan (USG, CT scan).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan temperature, pembesaran hatidan
nyeri tekan. Jaundice cukup jarang didapatkan, tetapi jika didapatkan maka harus diduga
adanya obstruksi traktus biliaris atau sudah terdapat penyakit hati kronik sebelumnya.
Organisme diisolasi dari tinja pada 50% pasien. Aspirasi pada abses amuba harus
dilakukan jika diagnosis masih belum jelas dengan gambaran pasta coklat kemerahan dan
berbau sedikit. Trophozoit hanya didapatkan pada 20% aspirasi. Hasil foto thoraks
obnormal didapatkan pada 50-80% pasien dngan gambaran atelectasis paru lobus kanan
bawah, efusi pleura kanan dan kenaikan hemidiafragma kanan.
USG abdomen merupakan pilihan utama untuk tes awal, karena non invasif dan
sensitivitasnya tinggi (80-90%) untuk mendapatkan lesi hypoechoic dengan internal
echoes. CT scan kontras digunakan terutama untuk mendiagnosis abses yang lebih kecil,
dapat melihat seluruh kavitas peritoneal yang mungkin dapat memberikan informasi
tentang lesi primer. MRI tidak memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan CT
scan, tetapi berguna jika hasil masih meragukan, diagnosis membutuhkan potongan
koronal atau sagittal dan untuk pasien yang intoleran terhadap kontras. Pencitraan hepar
tidak bias membedakan abses hati amuba dengan piogenik. Abses amuba umumnya
menyerang lobus kanan hepar dekat dengan diafragma dan biasanya tunggal.
Tes serologi yang bias digunakan meliputi ELISA, indirect hemagglutination
cellulose acetate precipitin counterimmunoelectrophoresis, immuflurescent antibody, dan
tes rapid latex agglutination. Hasil tes serologi harus diinterpretasikan dengan
klinispasien karena kadar serum antibody mungkin masih tinggi selama beberapa
tahunsetelah perbaikan atau penyembuhan. Sensitivitas tes ± 95% dan spesifitasnya lebih
dari 95%. Hasil negative palsu mungkin terjadi dalam 10 hari pertama infeksi. Tes
berbasis PCR untuk mendeteksi DNA amuba dan pemeriksaan ELISA untuk mendeteksi
antigen amuba pada serum sudah sering dilakukan pada penelitian.
Sherlock membuat kriteria diagnosis abses hati amuba:
1. Adanya riwayat berasal dari daerah andemik
2. Pembesaran hati pada laki-laki muda
3. Respon baik terhadap metronidazole
4. Lekositosis tanpa anemia pada riwayat sakit yang tidal lama dan lekositosis
dengan pada riwayat sakit yang lama
5. Ada dugaan amubiasis pada pemeriksaan foto toraks PA dan lateral
6. Pada pemeriksaan scan didapatkan filling defect
7. Tes fluorescen antibody amuba positif
Bila ke-7 kriteriaini dipenuhi maka diagnosis abses hati amuba sudah hampir
pasti dapat ditegakkan.
Diagnosis banding:
1. Kista hepar
2. Keganasan pada hati
3. Abses hati piogenik
Berikut rangkuman perbedaan gambaran abses hati piogenik dengan abses hati
amuba
Abses hati piogenik Abses hati Amuba
Usia 20-40 tahun
Usia 50-70 tahun
Demografi Jenis kelamin: lakiperempuan
Jenis kelamin: laki-laki=perempuan
(10:1)
Bepergian atau menetap di
Faktor risiko Infeksi bakteri akut, khususnya intra
daerah endemic (pernah
mayor abdominal
menetap)
Akut: demam tinggi,
Obstruksi bilier/manipulasi
menggigil, nyeri abdomen,
Diabetes mellitus
sepsis
Nyeri perut region kuadran kanan atas,
Sub akut: penurunan berat
Gejala klinis demam, menggigil, rigor, lemah,
badan, demam dan nyeri
malaise, anoreksia,penurunan berat
abdomen jarang
badan, diare, batuk, nyeri dada
Khas: taka da gejala kolonisasi
pleuritik
usus dan colitis
Hepatomegaly disertai nyeri tekan, Nyeri tekan perut region kanan
Tanda klinis
massa abdomen, ikterus atas bervariasi
Lekositosis, anemia, peningkatan
Serologi ameba positif (70-
Laboratorium enzim-enzim hati, peningkatan
95%)
bilirubin, hipoalbuminemia
Pencitraan Abses multifocal (50%) Lekositosis bervariasi dan
Biasanya lobus kanan anemia
Tepi ireguler Tidak ditemukan eosinophilia
Alkali fosfotase meningkat,
namun aminotransferase
biasanya normal
Khas: abses tunggal (80%)
Biasanya lobus kanan
Rounded atau oval, bersepta
wall enhancenment pada CT
scan dengan kontras intravena
konsistensi dan warna
Purulent
bervariasi
Cairan aspirasi Tampak koman pada pewarnaan gram
Steril
kultur positif (80%)
Tropozoit jarang ditemukan

8. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
 Jika didapatkan pasien muda yang telah melakukan perjalanan ke daerah endemic,
pada pencitraan didapatkan lesi tunggal, pasien tidak terlihat toksik, dengan
dugaan kuat abses amuba, maka pemeriksaan feses harus dilakukan untuk
mencaru kista dan trophozoit amuba dan serum harus diperiksa antibody
E.Histolitica.
 Terapi dimulai dengan Metrinidazole 3 x 750 mg per oral selama 7-10 hari atau
nitoimidazole kerja panjang (Tinidazole 2 gram PO dan ornidazole 2 gram PO)
dilaporkan efektif sebagai terapi dosis tunggal. Terapi kemudian dilanjutkan
dengan preparat lumenalamubisida untuk eradikasi kista dan mencegahtransmisi
lebih lanjut, yaitu: Iodoquinol 3 x 650 mg selama 20 hari, Diloxanide furoate 3x
500 mg selama 10 hari, Aminosidine (Paromomcin25-35 mg/kg perhari TID
selama 7-10 hari). Lebih dari 90% pasien mengalami respon yang dramatis
dengan terapi metronidazole, baik berupa penurunan nyeri maupun demam dalam
72 jam.
 Paromomycin 25-35 mg/kg/hari per oral terbagi dalam 3 dosis selama 7 hari atau
lini kedua Diloksanide furoate 3 x 500 mg per oral selama 10 hari.
 Emetine dan chloroquine dapat digunakan sebagai terapi alternatif, terapi
sebaiknya dihindari sebisa mungkin karena efek kardiovaskuler dan
gastrointestinal, selain Karena tingginya angka relaps.chloroquine phosphate 1000
mg (Chloroquine base 600 mg) diberikan oral selama 2 hari dan dilanjutkan
dengan 500 mg (Chloroquine base 300mg) diberikan oral selama 2-3 minggu,
perbaikan klinis diharapkan dalam 3 hari.
Aspirasi Jarum Perkutan
Indikasi aspirasi jarum perkutan:
 Risiko tinggi untuk terjadinya rupture abses yang didefinisikan dengan ukuran
kavitas lebih dari 5 cm
 Abses pada lobus kiri hati yang dihubungkan dengan mortalitas tinggi dan
frekuensi tinggi bocor ke peritoneum atau pericardium
 Tak ada respons klinis terhadap terapi dalam 3-5 hari
 Untuk menyingkirkan kemungkinan abses piogenik, khususnya pasien dengan lesi
multipel.
Drainase perkutan
Drainase perkutan abses dilakukan dengan tuntunan USG abdomen atau CT scan
abdomen. Penyulit yang dapat terjadi : pendarahan, perforasi organ intra abdomen,
infeksi, ataupun terjadi kesalahan dalam penempatan kateter untuk drainase.

Drainase secara operasi


Tindakan ini sekarang jarang dikerjakan kecuali pada kasustertentu seperti abses dengan
ancaman retour atau secara teknis susah dicapai atau gagaldengan aspirasi biasa/drainase
perkutan.
Reseksi Hati
Pada abses hati piogenik multipel kadang diperlukan reseksi hati. Indikasi spesifik
jika didapatkan abses hati dengan karbunel dan disertai denganhepatolitiasis, terutama
pada lobus kiri hati.
Berdasarkan kesepakatan PEGI dan PPHI di Surabaya pada tahun 1996:
 Abses hati dengan diameter 1-5 cm : terapi medikamentosa, bila respon negative
dilakukan aspirasi
 Abses hati dengan diameter 5-8 cm : terapi aspirasi berulang
 Abses hati dengan diameter ≥ 8 cm : drainase perkutan

9. KOMPLIKASI
Tanpa terapi, abses akan membesar, meluas ke diafragma atau rupture ke kavitas
peritoneal:
1. Rupture abses ke dalam:
 Region toraks, menyebabkan:
- Fistula hepatobronkial
- Abses paru
- Empyema ameba (20-30%)
 Pericardium, menyebabkan:
- Gagaal jantung
- Pericarditis
- Tamponade jantung
 Peritoneum, menyebabkan:
- Peritonitis
- Asites
2. Infeksi sekunder (biasanya bersifat latrogenik setelah tindakan aspirasi)
3. Lain-lain (jarang):
- Gagal hati filminan
- Hemobilia
- Obstruksi vena kava inferior
- Sindrom Budd-Chiari
- Abses cerebri (penyebaran hematogen) : 0,1%
10. PENCEGAHAN
Infeksi amuba disebarkan melalui konsumsi makanan atau air yang tercemar dengan
kista. Karena pembawa asimtomatik dapat mengeluarkan hingga 15 juta kista per hari,
pencegahan infeksi membutuhkan sanitasi yang memadai dan pemberantasan pembawa
kista. Pada daerah beresiko tinggi, infeksi dapat diminimalkan dengan menghindari
konsumsi buah dan sayur yang tidak dikupas dan penggunaan air kemasan. Karena kista
tahan terhadap klo, desinfeksi oleh iodine dianjurkan. Sampai saat ini tidak ada
profilaksis yang efektif.

11. PROGNOSIS
 Abses hati amuba merupakan penyakit yang sangat “treatable”
 Angka kematian < 1% bila tanpa penyulit
 Penegakan diagnosis yang terlambat dapat memberikan penyulit abses ruptur
sehingga meningkatkan angka kematian:
- Ruptur ke dalam peritoneum, angka kematian 20%
- Ruptur ke dalam pericardium, angka kematian 32-100%

Anda mungkin juga menyukai