Anda di halaman 1dari 17

KONSEP PENYAKIT ABSES HEPAR

1. ANATOMI DAN FISIOLOGI HEPAR.

Hati adalah kelenjar terbesar dalam tubuh, berat rat-rata sekitar 1.500 gr.
2 % berat badan orang dewasa normal. Hati merupakan organ lunak yang lentur
dan tercetak oleh struktur sekitar. Hati memiliki permukaan superior yang
cembung dan terletak di bawah kubah merupakan atap dari ginjal, lambunga,
pancreas dan usus. Hati memilikki dua lobus yaitu kiri dan kanan. Setiap lobus
hati terbagi menjadi struktur-struktur yang disebut lobulus, yang merupakan unit
mikroskopi dan fungsional organ. Hati manusia memiliki maksimal 100.000
lobulus. Di antara lempengan sel hati terdapat kapiler-kapiler yang disebut
sebagai sinusoid. Sinusoid dibatasi oleh sel fagostik dan sel kupffer. Sel kupffer
fungsinya adalah menelan bakteri dan benda asing lain dalam darah. (Sylvia a.
Price, 2006).
Hati memiliki dua sumber suplai darah, dari saluran cerna dan limpa
melalui vena porta hepatica, dan dari aorta melalui arteri hepatica. Sekitar
sepertiga darah yyang masuk adalah darah arteri dan dua pertiganya adalah darah
vena porta. Volume total darah yang melewati hati setiap menitnya adalah 1.500
ml. (Sylvia a. Price, 2006).
Hati adalah organ metabolik terbesar dan terpenting dalam tubuh. Organ
ini melakukan berbagai fungsi, mencakup hal-hal berikut:
a. Pengolahan metabolik kategori nutrient utama (karbohidrat, lemak,
protein) setelah penyerapan mereka adalah saluran pencernaan.
b. Detoksifikasi atau degradasi zat-zat sisa dan hormon serta obat dan
senyawa asing lainnya.
c. Sintesis berbagai protein plasma, mencakup protein-protein yang penting
untuk pembekuan darah, serta untuk mengangkut hormon tiroid, steroid
dan kolesterol dalam darah.
d. Penyimpangan glikogen, lemak, besi, tembaga, dan banyak vitamin.
e. Pengaktifan vitamin D.
f. Pengeluaran bakteri dari sel-sel darah merah yang usang berkat adanya
makrofag residen.
g. Ekskresi Kolesterol dan bilirubin

2. PENGERTIAN ABSES HEPAR.


Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan karena infeksi
bakteri, parasit, jamur maupun nekbrosis steril yang bersumber dari sistem
gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan
pembentukan pus di dalam parenkim hati (Aru W Sudoyo, 2010).
Abses adalah pengumpulan cairan nanah tebal, berwarna kekuningan
disebabkan oleh bakteri, protozoa atau invasi jamur kejaringan tubuh. Abses dapat
terjadi di kulit, gusi, tulang, dan organ tubuh seperti hati, paru-paru, bahkan otak,
area yang terjadi abses berwarna merah dan menggembung, biasanya terdapat
sensasi nyeri dan panas setempat (Microsoft Encarta Reference Library, 2009).
Abscess adalah kumpulan nanah setempat dalam rongga yang tidak akibat
kerusakan jaringan, Hepar adalah hati (Dorland, 2008).
Jadi Abses hepar adalah rongga berisi nanah pada hati yang diakibatkan oleh
infeksi.
3. ETIOLOGI.
Abses hati dibagi atas dua secara umum, yaitu abses hati amoeba dan
abses hati pyogenik.
a. Abses hati amoeba
Didapatkan beberapa spesies amoeba yang dapat hidup sebgai parasit
non patogen dalam mulut dan usus, tapi hanya Enteremoeba histolytica yang
dapat menyebabkan penyakit. Hanya sebagian individu yang terinfeksi
Enteremoeba histolytica yang memberi gejala invasif, sehingga di duga ada
dua jenis E. Histolytica yaitu starin patogen dan non patogen. Bervariasinya
virulensi strain ini berbeda berdasarkan kemampuannya menimbulkan lesi
pada hepar (Aru W Sudoyo, 2006).
E.histolytica di dlam feces dapat di temukan dalam dua bentuk
vegetatif atau tropozoit dan bentuk kista yang bisa bertahan hidup di luar
tuibuh manusia. Kista dewasa berukuran 10-20 mikron, resisten terhadap
suasana kering dan asam. Bentuk tropozoit akan mati dalam suasana kering
dan asam. Trofozoit besar sangat aktif bergerak, mampu memangsa eritrosit,
mengandung protease yaitu hialuronidase dan mukopolisakaridase yang
mampu mengakibatkan destruksi jaringan.
b. Abses hati piogenik
Infeksi terutama disebabkan oleh kuman gram negatif dan penyebab
yang terbanyak adalah E.coli. Selain itu, penyebabnya juga adalah
streptococcus faecalis, Proteus vulgaris, dan Salmonellla Typhi. Dapat pula
bakteri anaerob seperti bakteroides, aerobakteria, akttinomesis, dan
streptococcus anaerob. Untuk penetapannya perlu dilakukan biakan darah,
pus, empedu, dan swab secara anaerob maupun aerob (Aru W Sudoyo, 2006).

4. PATOFISIOLOGI.
a. Amoebiasis Hepar
Amebiasis hati penyebab utamanya adalah entamoeba hystolitica.
Hanya sebagian kecil individu yang terinfeksi E.hystolitica yang memberi
gejala amebiasis invasif, sehingga ada dugaan ada 2 jenis E.hystolitica yaitu
strain patogen dan non patogen. Bervariasinya virulensi berbagai strain
E.hystolitica ini berbeda berdasarkan kemampuannya menimbulkan lesi pada
hati. Patogenesis amebiasis hati belum dapat diketahi secara pasti. Ada
beberapa mekanisme yang telah dikemukakan antara lain : faktor virulensi
parasit yang menghasilkan toksin, ketidakseimbangan nutrisi, faktor resistensi
parasit, imunodepresi pejamu, berubah-ubahnya antigen permukaan dan
penurunan imunitas cell-mediated. (Arief Mansjoer, 2010)
Secara singkat dapat dikemukakan 2 mekanisme : (Arief Mansjoer, 2010)
1) Strain E.hystolitica ada yang patogen dan non patogen.
2) Secara genetik E.hystolitica dapat menyebabkan invasi tetapi tergantung
pada interaksi yang kompleks antara parasit dengan lingkungan saluran
cerna terutama pada flora bakteri.
Mekanisme terjadinya amebiasis hati:
1) Penempelan E.hystolitica pada mukus usus.
2) Pengerusakan sawar intestinal.
3) Lisis sel epitel intestinal serta sel radang. Terjadinya supresi respons imun
cell- mediated yand disebabkan enzim atau toksin parasit, juga dapat
karena penyakit tuberkulosis, malnutrisi, keganasan dll.
4) Penyebaran ameba ke hati. Penyebaran ameba dari usus ke hati sebagian
besar melalui vena porta. Terjadi fokus akumulasi neutrofil periportal
yang disertai nekrosis dan infiltrasi granulomatosa. Lesi membesar,
bersatu dan granuloma diganti dengan jaringan nekrotik. Bagian nekrotik
ini dikelilingi kapsul tipis seperti jaringan fibrosa.
Amebiasis hati ini dapat terjadi berbulan atau tahun setelah terjadinya
amebiasis intestinal dan sekitar 50% amebiasis hati terjadi tanpa didahului
riwayat disentri amebiasis. (Aru W Sudoyo, 2006).
5. SKEMA PATOFISIOLOGI
Skema bagan Terjadinya Amoebiasis hepar :
(Bagan patofisiologi terjadinya amobiasishepar, Staf Pengajar Patofisiologi,
Fakultas Kedokteran Unibraw Malang 2010).

PATHWAY ABSES HEPAR


Skema bagan Pengaruh abses hepar terhadap kebutuhan dasar manusiah :
(Bagan pengaruh abses hepar terhadap kebutuhan manusia. Bruner dan Suddarth,
2010)
Penjelasan:
Amuba yang masuk menyebabkan peradangan hepar sehingga mengakibatkan
infeksi. Kerusakan jaringan hepar menimbulkan perasaan nyeri. Infeksi pada hepar
menimbulkan rasa nyeri sehingga mengalami gangguan tidur atas pola tidur. Abses
menyebabkan metabolisme dihati menurun sehingga menimbulkan perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan. Metabolisme nutrisi di hati menurun menyebabkan
produksi energi menurun sehingga dapat terjadi intoleransi aktifitas fisikManifestasi
klinis
a. Abses hati piogenik
Abses hati piogenik dapat terjadi melalui infeksi yang berasal dari:
1) Vena porta yaitu infeksi pelvis atau gastrointestinal, bisa menyebabkan
pielflebitis porta atau emboli septik.
2) Saluran empedu merupakan sumber infeksi yang tersering. Kolangitis
septik dapat menyebabkan penyumbatan saluran empedu seperti juga batu
empedu, kanker, striktura saluran empedu ataupun anomali saluran
empedu kongenital.
3) Infeksi langsung seperti luka penetrasi, fokus septik berdekatan seperti
abses perinefrik, kecelakaan lau lintas.
4) Septisemia atau bakterimia akibat infeksi di tempat lain.
5) Kriptogenik tanpa faktor predisposisi yang jelas, terutama pada organ
lanjut usia.(Aru W Sudoyo, 2006).

6. TANDA DAN GEJALA / MANIFESTASI KLINIS.


Keluhan awal: demam/menggigil, nyeri abdomen, anokresia/malaise,
mual/muntah, penurunan berat badan, keringan malam, diare, demam (T >
38°), hepatomegali, nyeri tekan kuadran kanan atas, ikterus, asites, serta sepsis
yang menyebabkan kematian. (Cameron 2010).
Dicurigai adanya AHP apabila ditemukan sindrom klinis klisik berupa
nyeri spontan perut kanan atas, yang di tandai dengan jalan membungkuk
kedepan dengan kedua tangan diletakan di atasnya. Demam/panas tinggi
merupakan keluhan yang paling utama, keluhan lain yaitu nyeri pada kuadran
kanan atas abdomen, dan disertai dengan keadaan syok. Apabila AHP letaknya
dekat digfragma, maka akan terjadi iritasi diagfragma sehingga terjadi nyeri pada
bahu sebelah kanan, batuk ataupun terjadi atelektesis, rasa mual dan muntah,
berkurangnya nafsu makan, terjadi penurunan berat badan yang unintentional.
Abses adalah tahap terakhir dari suatu infeksi jaringan yang diawali dengan
proses yang disebut peradangan.
Awalnya, seperti bakteri mengaktifkan sistem kekebalan tubuh, beberapa
kejadian terjadi:
a. Darah mengalir ke daerah meningkat.
b. Suhu daerah meningkat karena meningkatnya pasokan darah.
c. Wilayah membengkak akibat akumulasi air, darah, dan cairan lainnya.
d. Kemerahan.
e. Rasanya sakit, karena iritasi dari pembengkakan dan aktivitas kimia.
f. Keempat tanda-panas, bengkak, kemerahan, dan sakit-ciri peradangan

7. PENATALAKSANAAN
a. Medikamentosa
Derivat nitroimidazole dapat memberantas tropozoit
intestinal/ekstraintestinal atau kista. Obat ini dapat diberikan secara oral atau
intravena.
Secara singkat pengobatan amoebiasis hati sebagai berikut :
1) Metronidazole : 3x750 mg selama 5-10 hari dan ditambah dengan ;
2) Kloroquin fosfat : 1 g/hr selama 2 hari dan diikuti 500/hr selama 20 hari,
ditambah;
3) Dehydroemetine : 1-1,5 mg/kg BB/hari intramuskular (maksimum 99
mg/hr) selama 10 hari.
b. Tindakan aspirasi terapeutik
Indikasi :
1) Abses yang dikhawatirkan akan pecah
2) Respon terhadap medikamentosa setelah 5 hari tidak ada.
3) Abses di lobus kiri karena abses disini mudah pecah ke rongga
perikerdium atau peritoneum.
4) Tindakan pembedahan
c. Pembedahan dilakukan bila :
1) Abses disertai komplikasi infeksi sekunder.
2) Abses yang jelas menonjol ke dinding abdomen atau ruang interkostal.
3) Bila terapi medikamentosa dan aspirasi tidak berhasil.
4) Ruptur abses ke dalam rongga intra peritoneal/pleural/pericardial.
Tindakan bisa berupa drainase baik tertutup maupun terbuka, atau tindakan
reseksi misalnya lobektomi.

8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK.
Menurut Julius, ilmu penyakit dalam jilid I, (2011). Pemeriksaan penunjang
antara lain:
a. Laboratorium
Untuk mengetahui kelainan hematologi antara lain hemoglobin,
leukosit, dan pemeriksaan faal hati.
b. Foto dada
Dapat ditemukan berupa diafragma kanan, berkurangnya pergerakkan
diafragma, efusi pleura, kolaps paru dan abses paru.
c. Foto polos abdomen
Kelainan dapat berupa hepatomegali, gambaran ileus, gambaran udara
bebas diatas hati.
d. Ultrasonografi
Mendeteksi kelainan traktus bilier dan diafragma.
e. Tomografi
Melihat kelainan di daerah posterior dan superior, tetapi tidak dapat
melihat integritas diafragma.
f. Pemeriksaan serologi
Menunjukkan sensitifitas yang tinggi terhadap kuman.
Menurut Julius, ilmu penyakit dalam jilid I (2011) Pengobatan dilakukan tiga
cara :
a. Kemotrapi
Obat-obat dapat diberikan secara oral atau intravena sebagai contoh
untuk gram negatif diberi Metranidazol, Clindamisin atau Kloramfenikal.
b. Aspirasi Jarum
Panda abses yang kecil atau tidak toksik tidak perlu dilakukan aspirasi.
Hanya dilakukan pada ancaman ruktur atau gagal pengobatan konserfatif.
Sebaliknya aspirasi ini dilakukan dengan tuntunan USG.

9. PROGNOSIS
a. Virulensi parasite
b. Status imunitas dan keadaan nutrisi penderita
c. Usia penderita, lebih buruk pada usia tua
d. Cara timbulnya penyakit, tipe akut mempunyai prognosa lebih buruk letak dan
jumlah abses, prognosis lebih buruk bila abses di lobus kiri atau multiple.
Sejak digunakan pemberian obat seperti emetine, metronidazole, dan
kloroquin, mortalitas menurun secara tajam. Sebab kematian biasanya karena
sepsis atau sindrom hepatorenal.

10. KOMPLIKASI.
Komplikasi yang paling sering adalah berupa rupture abses sebesar 5 – 15,6%,
perforasi abses keberbagai organ tubuh seperti ke pleura, paru, pericardium, usus,
intraperitoneal atau kulit. Kadang-kadang dapat terjadi superinfeksi, terutama
setelah aspirasi atau drainase. (Menurut Julius, Ilmu penyakit dalam, jilid I,
2011).
Dapat juga komplikasi seperti:
a. Infeksi sekunder
Merupakan komplikasi paling sering, terjadi pada 10-20% kasus.
b. Ruptur atau penjalaran langsung
Rongga atau organ yang terkena tergantung pada letak abses. Perforasi paling
sering ke pleuropulmonal, kemudian kerongga intraperitoneum, selanjutnya
pericardium dan organ-organ lain.
c. Komplikasi vaskuler
Ruptur kedalam v. porta, saluran empedu atau traktus gastrointestinal jarang
terjadi.
d. Parasitemia, amoebiasis serebral
E. histolytica bisa masuk aliran darah sistemik dan menyangkut di organ lain
misalnya otak yang akan memberikan gambaran klinik dari lesi fokal
intrakranial.
11. KONSEP KEPERAWATAN.
a. Pengkajian
Adalah pendekatan sistematis untuk mengumpulkan data dan
menganalisanya sehingga dapat diketahui kebutuhan perawatan pasien
tersebut.
Menurut Doenges,E.M (2010), data dasar pengkajian pasien dengan
Abses Hepar, meliputi:
1) Aktivitas/istirahat, menunjukkan adanya kelemahan, kelelahan, terlalu
lemah, latergi, penurunan massa otot/tonus.
2) Sirkulasi, menunjukkan adanya gagal jantung kronis, kanker, distritmia,
bunyi jantung ekstra, distensi vena abdomen.
3) Eliminasi, Diare, Keringat pada malam hari menunjukkan adanya flatus,
distensi abdomen, penurunan/tidak ada bising usus, feses warna tanah
liat, melena, urine gelap pekat.
4) Makanan/cairan, menunjukkan adanya anoreksia, tidak toleran terhadap
makanan/tidak dapat mencerna, mual/muntah, penurunan berat badan dan
peningkatan cairan, edema, kulit kering, turgor buruk, ikterik.
5) Neurosensori, menunjukkan adanya perubahan mental, halusinasi, koma,
bicara tidak jelas.
6) Nyeri/kenyamanan, menunjukkan adanya nyeri abdomen kuadran kanan
atas, pruritas, sepsi perilaku berhati-hati/distraksi, focus pada diri sendiri.
7) Pernapasan, menunjukkan adanya dispnea, takipnea, pernapasan dangkal,
bunyi napas tambahan, ekspansi paru terbatas, asites, hipoksia.
8) Keamanan, menunjukkan adanya pruritas, demam, ikterik, ekimosis,
patekis, angioma spider, eritema.
9) Seksualitas, menunjukkan adanya gangguan menstruasi, impotent, atrofi
testis.

12. DIAGNOSA KEPERAWATAN.


Menurut Doenges,E.M (2010), diagnosa keperawatan pasien dengan Abses Hepar
meliputi :
a. Pola napas, tidak efektif berhubungan dengan Neuromuskular,
ketidakseimbangan perceptual/kognitif.
b. Perubahan persepsi/sensori: proses pikir berhubungan dengan perubahan
kimia: penggunaan obat-obat farmasi.
c. Kekurangan volume cairan, resiko tinggi terhadap pembatasan pemasukan
cairan secara oral (proses/prosedur medis/adanya rasa mual).
d. Nyeri (akut) berhubungan dengan gangguan pada kulit, jaringan, dan
integritas otot.
e. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan interupsi mekanisme pada
kulit/jaringan.
f. Resiko tinggi infeksi berubungan dengan luka oprasi dan prosedur invasif.
g. Gangguan kebutuhan tidur berhubungan dengan proses penyakit, efek
hospitalisasi, perubahan lingkungan
h. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi/situasi, prognosis,
kebutuhan pengobatan.

13. INTERVENSI KEPERAWATAN.


Intervensi / Perencanaan berdasarkan Doenges,E.M (2010) perawatan pasien
pasca operatif :
a. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan ketidakseimbangan
perseptual/kognitif.
Tujuan : pola pernapasan normal/efektif dan bebas dari sianosis atau tanda-
tanda hipoksia.
Intervensi :
1) Pertahankan jalan udara pasien memiringkan kepala
2) Auskultasi suara napas.
3) Observasi frekuensi dan kedalaman pernapasan, pemakaian otot-otot
bantu pernapasan.
4) Pantau tanda-tanda vital secara terus-menerus
5) Lakukan gerak sesegera mungkin
6) Observasi terjadinya yang berlebih
7) Lakukan penghisapan lendir bila perlu
8) Berikan tambahan oksigen sesuai kebutuhan
9) Berikan terapi sesuai instruksi
b. Perubahan persepsi/sensori: proses pikir berhubungan dengan penggunaan
obat-obatan farmasi.
Tujuan: meningkatnya tingkat kesadaran
Intervensi:
1) Orientasikan kembali pasien secara terus-menerus setelah keluar dari
pengaruh anestasi.
2) Bicara dengan pasien dengan suara yang jelas dan normal.
3) Minimalkan diskusi yang bersifat negatif.
4) Gunakan bantalan pada tepi lakukan pengikatan jika perlu.
5) Observasi akan adanya halusinasi, depresi dan lain-lain.
6) Pertahankan lingkungan tenang dan nyaman.
c. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan
pembatasan pemasukan cairan secara oral (proses penyakit/prosedur
medis/adanya rasa mual)
Tujuan: terdapat keseimbangan cairan yang adekuat.
Intervensi:
1) Ukur dan catat pemasukan dan pengeluaran.
2) Kaji pengeluaran urinarius, terutama untuk tipe prosedur operasi yang
dilakukan.
3) Pantau tanda-tanda vital.
4) Catat munculnya mual/muntah, riwayat pasien mabuk perjalanan.
5) Periksa pembalut, alat drein pada interval regular, kaji luka untuk
terjadinya pembengkakan.
6) Berikan cairan parenteral, produksi darah dan/atau plasma ekspander
sesuai petunjuk. Tingkat kecepatan IV jika diperlukan.
7) Berikan kembali pemasukan oral secara berangsur-angsur sesuai
petunjuk.
8) Berikan antiemetik sesuai kebutuhan.
d. Nyeri berhubungan dengan gangguan pada kulit, jaringan dan integritas otot,
trauma musculoskeletal/tulang, munculnya saluran dan selang.
Tujuan: rasa nyeri/sakit telah terkontrol/dihilangkan, klien dapat beristirahat
dan beraktifitas sesuai kemampuan.
Intervensi:
1) Kaji skala nyeri, intensitas, dan frekuensinya.
2) Evaluasi rasa sakit secara regular.
3) Kaji tanda-tanda vital.
4) Kaji penyebab ketidaknyamanan yang mungkin sesuai prosedur operasi.
5) Letakkan reposisi sesuai petunjuk.
6) Dorong penggunaan teknik relaksasi.
7) Berikan obat sesuai petunjuk.
e. Kerusakan integeritas kulit berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan
dan ketahanan kesehatan.
Tujuan: klien memperlihatkan tindakan untuk meningkatan metabolik.
Intervensi:
1) Kaji kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional
2) Letakkan klien pada posisi tertentu.
3) Pertahankan kesejahteraan tubuh secara fungsional.
4) Bantu atau tindakan untuk melakukan latihan rentang gerak.
5) Berikan perawatan kulit dengan cermat.
6) Pantau haluaran urine.

f. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka operasi dan prosedur invasif.
Tujuannya; tidak terdapat tanda-tanda dan gejala infeksi
Intervensi:
1) Berikan perawatan aseptik dan anti septik, pertahankan cuci tangan yang
baik.
2) Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan (luka jahitan) daerah
yang terpasan alat invasif.
3) Pantau seluruh tubuh secara teratur, catat adanya demam, menggigil dan
diaphoresis
4) Awasi atau jumlah penggunjung
5) Observasi warna dan banyaknya urin
6) Berikan anti biotik sesuai indikasi
g. Gangguan kebutuhan istrahat tidur berhubungan dengan perubahan lingkungan
dan efek hopitalisasi.
Tujuan: kebutuhan istrahat dapat terpenuhi
Intervensi:
1) Kaji kemampuan dan kebiasaan tidur klien
2) Berikan tempat tidur yang nyaman dengan beberapa barang milik
pribadinya contoh : Sarung, guling
3) Dorong aktifitas ringan
4) Intruksikan tindakan relaksasi
5) Dorong keluarga untuk selalu menemani.
6) Awasi dan batasi jumlah penggunjung.
h. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi/situasi, pragnosis
kebutuhan pengobatan.
Tujuan: Menyatakan, pemahaman proses penyakit/pragnosis.
Intervensi:
1) Tinjau ulang pembedahan/prosedur khusus yang dilakukan dan harapan
masa datang.
2) Diskusikan terapi obat-obatan, meliputi penggunaan resep.
3) Identifkasi keterbatasan aktivitas khusus
4) Jadwalkan priode istirahat adekuat.
5) Tekankan pentingnya kunjungan lanjut.
6) Libatkan orang terkenal dalam program pengajaran. Menyediakan instruksi
tertulis/materi pengajaran.
7) Ulangi pentingnya diita nutrisi dan pemasukan cairan adekuat.
DAFTAR PUSTAKA

Aru, W. Sudoyo, dkk. (2006). Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid 1 Edisi Empat.
Jakarta : Balai Penerbitan FK-UI.
Bruner dan Suddarth. ( 2010 ). Buku Ajaran KMB. Edisi 8. Jakarta: EGC.
Cameeron. (2009). Prinsip-prinsip Penyakit Dalam. Jakarta: Binarupa Aksara.
Doenges, E., Moorhouse, MF dan Geissler, A. (2010). Rencana Asuhan
Keperawatan. Jakarta : EGC.
Harjono, dkk. (2010). Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 26. Jakarta: Buku
kedokteran EGC.
Mansjoer, Arief. dkk. (2011). Kapita Selekta Kedokteran; Jilid 1, Edisi Ketiga.
Jakarta : Media Aesculapius. Halaman 512.
Microsoft Encantta Reference Library.( 2008 ). Liver, Amebiasis Abses and Calf
Diphteria/ Fusa bakteriun necrosphorum.
Sherwood. (2010). System Pencernaan, dalam Fisiologi Manusia dari Sel ke sistem.
Jakarta : EGC. Halaman 565.
Sylvia a. Price. (2006). Gangguan System Gastro Intestinal, dalam buku Patofiologi.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteranm EGC. Halaman 472-474.

Anda mungkin juga menyukai