Anda di halaman 1dari 24

BAGIAN RADIOLOGI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN Januari 2020


RUMAH SAKIT UMUM BAHTERAMAS
UNIVERSITAS HALU OLEO

ABSES HEPAR

OLEH:
Nisda, S.Ked
K1A1 15 033

Pembimbing:
dr. Ruslan Duppa, M.Kes., Sp. Rad (K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN RADIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
2020

1
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Nisda, S.Ked

NIM : K1A1 15 033

Judul Referat : Abses Hepar

Telah menyelesaikan Referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada

bagian Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, Januari 2020


Mengetahui
Pembimbing,

dr. Ruslan Duppa, M.Kes., Sp. Rad (K)


NIP. 19730610 200212 1 005

2
ABSES HEPAR
Nisda, Ruslan Duppa
(Subdivisi Gastrointestinal Bagian Radiologi FK UHO)

I. PENDAHULUAN

Abses hati adalah rongga patologis yang timbul dalam jaringan hati

akibat infeksi bakteri, parasit, jamur, yang bersumber dari saluran cerna,

yang ditandai adanya proses supurasi dengan pembentukan pus yang terdiri

dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi, atau sel darah di dalam

parenkim hati. Abses hati dapat terbentuk soliter atau multiple dari

penyebaran hematogen maupun secara langsung dari tempat terjadinya

infeksi di dalam rongga peritoneum. Abses hati terbagi dua yaitu abses hati

amebik (AHA) dan piogenik (AHP).(1)

Abses hati piogenik adalah rongga supuratif pada hati yang timbul

dalam jaringan hati akibat infeksi bakteri seperti Enterobacteriaceae,

Microaerophilic streptococci, Anaerobic streptococci, Klebsiella

pneumonia, Bacteroides, Fusobacterium, Staphylococcus aureus,

Salmonella thypi. Sedangkan abses hati amebik disebabkan infeksi

Entamoeba histolytica. Abses hati amebik lebih banyak terjadi pada laki-

laki dan jarang pada anak-anak.(1)

II. INSIDEN DAN EPIDEMIOLOGI

Prevalensi tertinggi di daerah tropis dan Negara berkembang dengan

keadaan sanitasi yang buruk, status sosial ekonomi yang rendah dan status

gizi yang kurang baik serta dimana strain virulen E. hystolitica masih tinggi.

3
Misalnya di Meksiko, India, Amerika Tengah dan Utara, Asia dan Afrika.

Prevalensi E. Hystoliisua di berbagai daerah di Indonesia berkisar antara 10-

18%. Diperkirakan 10% dari seluruh penduduk dunia terinfeksi oleh E.

Hystolitica dan dari data didapatkan penderita yang memperlihatkan gejala

hanya 10% penderita, selebihnya tidak memperlihatkan gejala.(2)

Pasien yang menerima terapi immunosupresi, dan mereka yang

dengan penyakit keganasan, diabetes melitus dan penyalahgunaan alkohol

kronik secara terpisah memiliki risiko untuk terkena abses hati. Dua pertiga

kejadian abses hati merupakan penyakit yang berdiri sendiri. Pada 60%

kasus abses hati terlokalisir di lobus kanan hati. Pada beberapa kasus sepsis

ditemukan bentuk lesi hepatik supuratif kecil dan multiple yang

mengindikasikan adanya keterlibatan hati pada sedikitnya 1% kasus. Saat

ini, terdapat peningkatan insidensi AHP akibat komplikasi dari sistem

hepatobiliaris, yaitu langsung dari kandung empedu atau melalui saluran

empedu seperti hepatitis, kolangitis dan kolesistitis.(2)

III. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

A. Abses Hati Piogenik (AHP)

Hati menerima aliran darah baik dari sirkulasi sistemik maupun

portal, sehingga rentan terhadap infeksi. Namun keberadaan Sel Kupffer

yang melapisi sinusoid membatasi infeksi bakteri. AHP dapat disebabkan

karena penyebaran hematogen ataupun langsung dari sumber infeksi di

rongga peritoneum. Penyakit saluran empedu menjadi penyebab tersering

4
AHP, diikuti dengan tumor obstruktif, striktur, dan kelainan kongenital

dari cabang bilier. Adanya obstruktif memicu proliferasi bakteri. Tekanan

dan distensi kanalikuli akan melibatkan cabang vena portal dan limfatik

yang mengalami formasi abses. Pada umumnya abses bersifat multiple.

Mikroabses yang terbentuk akan menyebar secara hematogen dan

menyebabkan bakteremia.(3)

Mekanisme yang lainnya adalah adanya embolisasi koagulum

septik dan infeksi intra-abdomen. Emboli septik dapat berasal dari

apendisitis, diverticulitis, Inflammatory Bowel Disease (IBD), dan

perforasi rongga visera. Dapat juga diakibatkan penyebaran hematogen

bakteremia sistemik dari endocarditis atau pielonefritis. Penetrasi

langsung pada trauma tusuk akan menyebabkan inokulasi langsung

bakteri pada parenkim hati dan dapat mencetuskan AHP.(3)

Sedangkan pada trauma tumpul, akan terjadi nekrosis hati,

perdarahan intrahepatik, dan kebocoran saluran empedu sehingga terjadi

kerusakan kanalikuli. Kerusakan kanalikuli menjadi tempat tumbuhnya

bakteri dan proses supurasi sehingga terbentuknya pus berlanjut.

Biasanya abses yang terbentuk soliter. Lobus kanan hati dua kali lebih

sering terkena AHP dibandingkan lobus kiri. Pada 5% kasus ditemukan

pada kedua lobus. Hal tersebut disebabkan struktur anatomi dimana lobus

kanan menerima darah dari arteri mesenterika superior dan vena portal.

Sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri mesenterika inferior dan

aliran limfatik.(3)

5
B. Abses Hati Amebik (AHA)

Infeksi umumnya dimulai di kolon, yang ditransmisikan melalui air

atau sayur yang terkontaminasi dan kemudian tertelan kistanya. Kista

tersebut kemudian ruptur di dalam lumen traktus intestinal menjadi

tropozoit metakistik. Melalui tropozoit tersebut kemudian penyakit

menyebar ke hati melalui vena porta.(3)

AHA merupakan jaringan hepatik yang lisis dengan berbagai

ukuran. Abses berwarna kecoklatan yang terdiri dari jaringan nekrotik,

empedu, lemak, dan produk lainnya. Pada umumnya abses steril, namun

dapat mengalami infeksi sekunder.(3)

IV. ANATOMI DAN FISIOLOGI

Gambar 1. Anatomi Hepar Tampak Depan dan Tampak Belakang (Gambar


dikutip dari kepustakaan 12).

6
Hati adalah kelenjar terbesar dalam tubuh, berat rata-rata sekitar 1.500

gr, 2% berat badan orang dewasa normal. Hati merupakan organ lunak yang

lentur dan tercetak oleh struktur disekitarnya. Hati memiliki permukaan

superior yang cembung dan terletak di bawah kubah kanan diafragma dan

sebagian kubah kiri. Bagian bawah hati berbentuk cekung dan merupakan

atap dari ginjal kanan, lambung, pankreas, dan usus.(4)

Hati memiliki dua lobus utama yaitu kanan dan kiri. Lobus kanan

dibagi menjadi segmen anterior dan posterior oleh fisura segmentalis kanan

yang tidak terlihat dari luar. Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial dan

lateral oleh ligamentum falsiformis yang terlihat dari luar.(4)

Hati memiliki dua sumber suplai darah, dari saluran cerna dan limpa

melalui vena porta hepatica, dan dari aorta melalui arteri hepatica. Sekitar

sepertiga darah yang masuk adalah darah arteri dan dua pertiganya adalah

darah vena porta. Volume total darah yang melewati hati setiap menitnya

adalah 1.500 ml.(4)

Hati adalah organ metabolik terbesar dan terpenting dalam tubuh.

Organ ini melakukan berbagai fungsi, mencakup hal-hal berikut:

A. Pengolahan metabolik kategori nutrient utama (karbohidrat, lemak,

protein)

B. Detoksifikasi atau degradasi zat-zat sisa dan hormon serta obat dan

senyawa asing lainnya

7
C. Sintesis berbagai protein plasma, mencakup protein-protein yang penting

untuk pembekuan darah, serta untuk mengangkut hormon tiroid, steroid

dan kolesterol dalam darah

D. Penyimpanan glikogen, lemak, besi, tembaga, dan banyak vitamin

E. Pengaktifan vitamin D

F. Pengeluaran bakteri dari sel-sel darah merah yang lama berkat adanya

makrofag

G. Menyekresi hormone trombopoietin

H. Memproduksi protein fase akut yang penting dalam inflamasi

I. Ekskresi kolesterol.(5)

V. DIAGNOSIS

A. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

1. Abses Hati Piogenik (AHP)

Abses hati piogenik umumnya berkaitan dengan defisiensi imun

ataupun trauma. Tanda dan gejala yang muncul tidak spesifik dan

sama dengan penyakit hepatobilier atau proses infeksi lainnya.(3)

Gejala pada anamnesis antara lain :

a. Demam, biasanya demam tinggi dan dapat disertai menggigil

b. Nyeri perut kanan atas, nyeri terkadang muncul tiba-tiba dengan

intensitas berat sehingga pasien tampak berjalan membungkuk,

nyeri menjalar ke bahu (25% kasus)

8
c. Batuk, jika abses berdekatan dengan diafragma dapat menyebabkan

iritasi diafragma sehingga dapat memicu batuk

d. Ikterus

e. BAB pucat

f. Urin berwarna gelap

g. Anoreksia

h. Malaise

i. Mual muntah

j. Penurunan berat badan.(3)

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan febris, hepatomegali

dengan nyeri tekan hepar, diperberat dengan pergerakan abdomen,

splenomegali (pada AHP kronik), asites, ikterus, ataupun tanda-tanda

hipertensi portal.(3)

2. Abses Hati Amebik (AHA)

Dibandingkan dengan AHP, pasien AHA umumnya lebih muda

(25-40 tahun). Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang sering

ditemukan adalah nyeri abdomen, demam, dan anoreksia.

a. Nyeri abdomen, biasanya memiliki intensitas sedang dan

terlokalisasi di kuadran kanan atas. Nyeri dapat menjalar ke

epigastrium, dada, atau bahu kanan. Nyeri epigastrium sering

ditemukan pada abses lobus kiri.

9
b. Demam, pada umumnya bersifat remiten, terkadang disertai dengan

demam tinggi dan menggigil. Jika disertai menggigil, perlu

dicurigai adanya infeksi sekunder.

c. Anoreksia, ditemukan pada sebagian kasus.

d. Ikterik, dapat ditemukan pada sepertiga kasus. Patofisiologi ikterik

sendiri masih kontroversial, diduga akibat peningkatan tekanan

rongga abses pada duktus hepatikus sehingga menyebabkan

kolestasis atau disebabkan adanya fistula bilio-vaskular. Ikterik

berat biasanya terjadi pada ukuran abses yang besar, multiple, atau

terletak di porta hepatis.

e. Hepatomegali, pada 80% pasien teraba hepatomegali dengan

konsistensi lunak dan permukaan rata.

f. Batuk dengan atau tanpa dahak.

g. Diare (jarang).(3)

B. Pemeriksaan Laboratorium

1. Abses Hati Piogenik (AHP)

a. Leukositosis berat, neutrofilia, anemia normositik normokrom

b. Peningkatan alkalin fosfatase, enzim transaminase dan serum

bilirubin, serta penurunan albumin serum dan pemanjangan waktu

protrombin (menunjukkan adanya kegagalan fungsi hati)

c. Peningkatan LED.(3)

10
C. Pemeriksaan Radiologi

1. Ultrasonografi (USG)

a. Abses Hati Piogenik (AHP)

USG abdomen merupakan gold standar untuk mendiagnosis

abses hati. Dapat menjadi pemeriksaan awal dengan sensitivitas

tinggi (80-90%). Mampu mengidentifikasi lesi dengan diameter >2

cm. Abses memiliki gambaran massa hipoekoik dengan batas

ireguler, septasi interna atau kavitas debris, dengan penilaian

saluran bilier serta ada tidaknya aspirasi simultan ke dalam

kavitas.(3)

b. Abses Hati Amebik (AHA)

USG abdomen merupakan pilihan utama untuk tes awal,

karena non invasif dan sensitivitasnya tinggi (80-90%) untuk

mendapatkan lesi hipoechoic dengan internal echoes.(9)

Gambar 2. (A) Gambaran massa hypoechoic dengan batas ireguler, septasi dan
internal debris (B) Menunjukkan massa hypoechoic (Gambar dikutip dari
kepustakaan 6 dan 10).

11
Gambar 3. Gambaran USG Doppler menunjukkan hipervaskularitas perifer di
sekitar rongga abses pada abses hepar piogenik (Gambar dikutip dari kepustakaan
6).

2. CT-Scan

a. Abses Hati Piogenik (AHP)

Gambaran AHP dengan CT-Scan menunjukkan gambaran

lesi densitas rendah, penggunaan kontras memperlihatkan

peripheral enhancement. Pemeriksaan CT juga dapat menunjukkan

sumber infeksi ekstrahepatik dari AHP, misalnya apendisitis

ataupun diverticulitis.(9)

b. Abses Hati Amebik (AHA)

CT Scan kontras digunakan terutama untuk mendiagnosis

abses yang lebih kecil, dapat melihat seluruh kavitas peritoneal

yang mungkin dapat memberikan informasi tentang lesi primer.(9)

12
A B

Gambar 4. (A) Abses Hati Piogenik (B) Menunjukkan massa hati shaggy cystic
yang besar, mewakili abses amoeba tipikal (Gambar dikutip dari kepustakaan 7
dan 10).

Gambar 5. Seorang pria berusia 50 tahun dengan abses hati Klebsiella


pneumoniae kelompok A. CT scan kontras menunjukkan adanya abses hati
tunggal di lobus kanan hati. Abses dengan multiloculated dan berdinding tipis
tanpa rim enhancement (Gambar dikutip dari kepustakaan 8).

13
Gambar 6. Seorang pria berusia 46 tahun dengan abses hati Klebsiella
pneumoniae kelompok B. CT scan kontras menunjukkan abses tunggal,
multiloculated dengan cystic appearance, penebalan dinding, dan rim
enhancement di lobus kanan hati (Gambar dikutip dari kepustakaan 8).

Gambar 7. Seorang pria berusia 81 tahun dengan abses hati Klebsiella


pneumoniae kelompok C. CT scan kontras menunjukkan abses hati tunggal tanpa
rim enhancement (Gambar dikutip dari kepustakaan 8).

14
Gambar 8. Seorang Pria berusia 61 tahun dengan abses hati Klebsiella
pneumonia kelompok D. CT scan kontras menunjukkan abses tunggal,
multiloculated dengan gambaran kistik, dan dinding tebal di lobus kanan hati.
Abses berhasil diobati dengan drainase kateter perkutan. Pasien dipulangkan dari
rumah sakit 29 hari kemudian (Gambar dikutip dari kepustakaan 8).

3. MRI

Pemeriksaan dengan MRI walaupun masih sedikit digunakan,

tetapi pemeriksaan ini lebih sensitif untuk menentukan AHP.(9)

Gambar 9. Menunjukkan beberapa rongga abses hiperintens kecil di lobus kanan


hati (panah biru) (Gambar dikutip dari kepustakaan 6).

15
Gambar 10. Gambaran MRI tanpa kontras menunjukkan berbagai tingkat
hiperintensitas rongga abses dengan proteinaceous debris (Gambar dikutip dari
kepustakaan 6).

Gambar 11. Gambar MRI post kontras menunjukkan peningkatan periferal atau
tepi di sekitar masing-masing abses (Gambar dikutip dari kepustakaan 6).

16
D. Mikrobiologi

Kultur cairan hasil aspirasi merupakan gold standart dalam

menegakkan diagnosis abses hati. Berperan dalam menegakkan

mikrobiologi abses. Kultur darah positif hanya pada 50% kasus.(3)

E. Tes Serologi

Tes serologi yang biasa dilakukan pada abses hati amebik meliputi

ELISA, indirect hemagglutination, cellulose acetate precipitin,

counterimmunoelectrophoresis, immufluorescent antibody, dan tes rapid

latex agglutination.(9)

VI. DIAGNOSIS BANDING

A. Kista Hepar

A B

Gambar 12. (A) Kista Hepar (B) Abses Hati Piogenik (Gambar dikutip dari
kepustakaan 7).

B. Keganasan Pada Hati

Untuk tumor dengan diameter lebih dari 2 cm, adanya penyakit hati

kronik, hipervaskularisasi arterial dari nodul (dengan CT dan MRI).(11)

17
A B

Gambar 13. (A) Hepatoblastoma (B) Abses Hati Piogenik (Gambar dikutip dari
kepustakaan 7).

VII. PENATALAKSANAAN

A. Abses Hati Piogenik

Standar tatalaksana abses hati adalah drainase perkutaneus atau

aspirasi dengan bantuan USG abdomen atau CT-Scan. Jika terdapat

obstruksi saluran bilier lakukan dekompresi secara transhepatik atau

dengan endoskopi. Antibiotik tetap diberikan setelah dilakukan

drainase.(3)

1. Antibiotik, berikan antibiotik empiris spektrum luas parenteral atau

antibiotik sesuai dengan hasil kultur. Durasi antibiotik sekitar 2-3

minggu dan dilanjutkan dengan regimen antibiotik yang berbeda 2-4

minggu setelah terjadi resolusi komplit secara klinis, laboratoris dan

radiologis. Pada abses berukuran kecil (<3 cm) dapat diberikan

antibiotik tanpa aspirasi abses. Regimen antibiotik yang dapat

digunakan antara lain :

18
a. Penisilin dan ampisilin atau aminoglikosida

b. Sefalosporin generasi III dan klindamisin atau metronidazole

c. Regimen sesuai uji sensitivitas bakteri.(3)

2. Bedah, intervensi bedah dilakukan sesuai indikasi dan sebaiknya tidak

dilakukan pada pasien dengan keadaan umum buruk (syok, gagal

organ). Indikasi intervensi bedah antara lain :

a. Tidak ada respon klinis setelah drainase via kateter selama 4-7 hari

b. Abses multiple, besar, dan terlokalisasi

c. Abses berdinding tebal dengan pus kental

d. Drainase perkutan gagal

e. Terdapat proses intraabdomen (peritonitis).(3)

3. Tindak lanjut, sebaiknya drainase dipertahankan hingga keluaran

<10cc/hari :

a. Demam menetap hingga 2 minggu pasca terapi, memerlukan

drainase abses yang lebih agresif

b. Perhatikan kemungkinan berkembangnya komplikasi (sepsis,

empiema, ruptur abses yang berujung peritonitis).(3)

B. Abses Hati Amebik

Meliputi kombinasi obat anti amoeba dan aspirasi abses. Obat yang

dapat diberikan antara lain :

1. Metronidazole 3x500-750 mg selama 7-10 hari memberikan angka

kesembuhan hingga lebih dari 90%. Metronidazole diabsorbsi dengan

baik melalui saluran pencernaan.

19
2. Alternatif lainnya menggunakan 600 mg Kloroquin selama 2 hari

pertama, dilanjutkan dengan Kloroquin 300 mg selama 2-3 minggu.

3. Berikan amebisidal luminal setelah abses hepar diterapi dengan

amebisida jaringan (Metronidazole, Kloroquin). Hal tersebut bertujuan

untuk membunuh koloni amoeba dalam usus sehingga mencegah

terjadinya relaps. Dapat diberikan amomycin 25-35 mg/KgBB dibagi

dalam tiga dosis, dan diberikan selama 5-10 hari.(3)

VIII. KOMPLIKASI

A. Abses Hati Piogenik

Komplikasi yang dapat terjadi seperti ruptur, penyebaran infeksi ke

organ sekitar terutama ke pleura (efusi pleura, emfiema) dan paru.

Komplikasi lain berupa efusi pericardial, fistula torakal dan abdominal,

sepsis, serta thrombosis. Thrombosis dapat terjadi pada vena porta

maupun vena hepatica disebabkan karena infeksi bakteri anaerobik.

Thrombosis dapat menyebabkan hipertensi portal ataupun sindroma

Budd-Chiari meskipun penanganan abses telah berhasil. Pasien dengan

abses yang besar sangat mudah mengalami sepsis.(9)

B. Abses Hati Amebik

Tanpa terapi abses akan membesar, meluas ke diafragma atau

ruptur ke kavitas peritoneal :

20
1. Ruptur abses ke dalam :

a. Regio toraks, menyebabkan

1) Fistula hepatobronkial

2) Abses paru

3) Emfiema amoeba (20-30%)

b. Perikardium, menyebabkan

1) Gagal jantung

2) Pericarditis

3) Tamponade jantung

c. Peritoneum, menyebabkan

1) Peritonitis

2) Asites

2. Infeksi sekunder (biasanya bersifat iatrogenik setelah tindakan

aspirasi)

3. Lain-lain (jarang):

a. Gagal hati fulminant

b. Hemobilia

c. Obstruksi vena cava inferior

d. Sindrom Budd-Chiari

e. Abses serebri (penyebaran hematogen) (0,1%).(9)

21
IX. PROGNOSIS

A. Abses Hati Piogenik

Dengan diagnosis yang cepat disertai penggunaan antibiotik pada

tahap dini dan drainase perkutaneus, angka kematian karena AHP telah

jauh menurun. Angka kematian pada negara maju sekitar 2-12%. Faktor

utama penyebab kematian adalah pembedahan dengan drainase tebuka,

keganasan, serta infeksi dari kuman anaerobik.(9)

Prognosis baik dengan harapan hidup lebih dari 90% bila abses

tunggal dan terletak pada lobus kanan. Namun kematian dapat mencapai

100% pada AHP yang tidak diterapi. Angka kematian tinggi juga

disebabkan oleh infeksi polimikrobial, abses multiple terutama dengan

sumber infeksi pada sistem bilier, adanya disfungsi multiorgan,

keganasan, hiperbilirubinemia, hipoalbuminemia, adanya komplikasi

efusi pleura terutama pada orang tua, serta sepsis.(9)

B. Abses Hati Amebik

Abses hati amoeba merupakan penyakit yang sangat “treatable”.

Angka kematiannya <1% bila tanpa penyulit. Penegakan diagnosis yang

terlambat dapat memberikan penyulit abses ruptur sehingga

meningkatkan angka kematian : ruptur ke dalam peritoneum angka

kematian 20%, ruptur ke dalam pericardium angka kematian 32-100%.(9)

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Alwi I, Salim S, Hidayat R, Kurniawan J, Tahapary DL. Penatalaksanaan di

bidang ilmu penyakit dalam panduan praktis klinis. Jakarta : Interna

Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam; 2019 hal 217.

2. Parawira HB, Rahma, Nasir M. Abses hati pada infeksi hepatitis B. Jurnal

Medical Profession (MedPro). 2019;1(2) : 122-127.

3. Putra ST, Asmoro SS, Silman E, Tumbelaka AR, Hamdani C, Kusdijanto

dkk. Ilmu penyakit dalam subbab hepatologi kapita selekta kedokteran Edisi

IV jilid II. Jakarta : Media Aesculapius; 2014 hal 670-672.

4. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit

edisi 6 volume 1 bagian lima; gangguan sistem gastrointestinal, bab 27;

gangguan hati, kandung empedu, dan pankreas. Jakarta : EGC; 2006 hal 472-

475.

5. Sherwood L. Sistem pencernaan sekresi pankreas dan empedu fisiologi

manusia: dari sel ke sistem Edisi 8. Jakarta : EGC; 2014 hal 647-648.

6. Mavilla MG, Molina M, Wu GY. The evolving nature of hepatic abscess : A

review. Journal of Clinical and Translational Hepatology. 2016;4 : 158-168.

7. Jin TY, Gaillard F. Hepatic abscess. Radiopedia (cited 2019/12/29) Available

from : https://radiopaedia.org/articles/hepatic-abscess-1.

8. Baek SC, Lee J, Kang MH, Yi KS, Kim Y, Cho BS dkk. Features of hepatic

abscesses on computed tomography : predicting the outcomes of

percutaneous catheher drainage or needle aspiration. Iran J Radiol.

2017;14(1).

23
9. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF.

Hepatologi buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II Edisi VI. Jakarta : Interna

Publishing; 2014 hal 1991-1996.

10. Jeffrey, Woodward, Borhani. Diagnostic imaging abdomen second edition.

Amirsys. Canada; 2010.

11. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF.

Onkologi medik khusus buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III Edisi VI.

Jakarta : Interna Publishing; 2014 hal 3044.

12. Putz R, Pabst R. Atlas anatomi manusia sobotta jilid 2 Edisi 21. Jakarta :

EGC; 2013 hal 142.

24

Anda mungkin juga menyukai