Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI IV

PRAKTIKUM VI
SIROSIS HEPATIK

KELOMPOK 4
A3A

Tgl Praktikum : Kamis, 13 Januari 2022

1. Nyoman Vina Angelina Dewi (18021022) /A3A


2. Ni Kadek Nita Dwihati (18021023) /A3A
3. Ni Luh Nyoman Ari Mayoni (18021024) /A3A
4. Rahmadani Dwi Arisandy (18021025) /A3A
5. Sang Putu Bagus Vidya Dharma Sudhewa (18021026) /A3A
6. Made Galih Dwi Mahayuni (18021027) /A3A

Dosen pengampu:apt. Putu Prayascittadevi Empuadji, S.Farm., M.Sc.

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
2021
PRAKTIKUM VI
SIROSIS HEPATIK

I. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui tatalaksana penyakit pada kasus ini (Farmakologi & Non-
Farmakologi).
2. Dapat menyelesaikan kasus secara mandiri dengan menggunakan metode
SOAP.

II. DASAR TEORI


II.1 Definisi Sirosis hepatic
Sirosis hepatik adalah penyakit kronis yang menyebabkan destruksi sel dan
fibrosis (jaringan parut) dari jaringan hepatis. Fibrosis mengubah struktur dan
vaskularisasi normal hati, merusak aliran darah dan limfe serta mengakibatkan
insufisiensi hepatik dan hipertensi vena portal.Secara histologi, sirosis hepatis
didefinisikan sebagai proses difusi yang ditandai oleh fibrosis dan perubahan
arsitektur hepar yang normal menjadi struktur hepar yang abnormal (bernodul).
Perubahan struktur tersebut terjadi akibat cedera pada sel hepar sehingga terjadi
penghancuran hepatosit dan diganti dengan jaringan parut. Jaringan parut ini
menggantikan parenkim hepar yang normal. (Zahri, 2019).
Sirosis hepatis Biasanya dimulai dengan proses peradangan, nekrosis sel hati
yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul, sehingga
menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro sel hepar tidak teratur akibat
penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut. Sirosis hepatis adalah penyakit kronis
yang dicirikan dengan penggantian jaringan hati dermal dengan fibrosis yang
menyebar dan mengganggu struktur dan fungsi hati. Sirosis atau jaringan parut pada
hati, dibagi menjadi tiga jenis yaitu alkoholik, paling sering disebabkan oleh alkoholik
kronis, jenis sirosis yang paling umum; pasca nekrotik, akibat hepatis virus akut
sebelumnya; dan biliter, akibat obstruksi bilier kronis dan infeksi. (Margarita, 2018)
Sirosis hepatis adalah penyakit kronik yang ditandai oleh distorsi susunan hati
nomal oleh pita-pita jaringan penyambung dan oleh nodul-nodul sel hati yang
mengalami regenerasi yang tidaj berhubungan dengan susunan normal. Sirosis adalah
suatu kondisi di mana jaringan hati yang digantikan oleh jaringan parut(fibrosis) yang
terbentuk melalui proses bertahap. Jaringan parut ini mempengaruhi stuktur normal
dan regenerasi sel-sel hati. Sel-sel hati menjadi rusak dan mati sehingga hati secara
bertahap kehilangan fungsinya. (Margarita, 2018)

II.2 Klasifikasi Sirosis hepatic


Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada
waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau karena kelainan penyakit
lain. Bila sirosis hati sudah lanjut, gejala-gejala lebih menonjol terutama bila timbul
komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi hilangnya rambut badan,
gangguan tidur, dan deman tak begitu tinggi. Mungkin disertai adanya gangguan
pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis, gangguan siklus haid, ikterus dengan
air kemih berwarna seperti teh pekat, muntah darah dan/atau melena, serta perubahan
mental, meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma
(Nurdjanah S et al, 2007)
Tanda-tanda klinik yang dapat terjadi yaitu:
a. Adanya ikterus (penguningan) pada penderita sirosis.
Timbulnya ikterus (penguningan) pada seseorang merupakan tanda bahwa ia sedang
menderita penyakit hati. Penguningan pada kulit dan mata terjadi ketika liver sakit
dan tidak bisa menyerap bilirubin. Ikterus dapat menjadi penunjuk beratnya kerusakan
sel hati. Ikterus terjadi sedikitnya pada 60 % penderita selama perjalanan penyakit.
b. Timbulnya asites dan edema pada penderita sirosis
Ketika liver kehilangan kemampuannya membuat protein albumin, air menumpuk
pada kaki (edema) dan abdomen (ascites). Faktor utama asites adalah peningkatan
tekanan hidrostatik pada kapiler usus . Edema umumnya timbul setelah timbulnya
asites sebagai akibat dari hipoalbuminemia dan resistensi garam dan air.
c. Hati yang membesar
Pembesaran hati dapat ke atas mendesak diafragma dan ke bawah. Hati membesar
sekitar 2-3 cm, dengan konsistensi lembek dan menimbulkan rasa nyeri bila ditekan.
d. Hipertensi portal
Hipertensi portal adalah peningkatan tekanan darah vena portal yang memetap di atas
nilai normal. Penyebab hipertensi portal adalah peningkatan resistensi terhadap aliran
darah melalui hati (Price S.A, 2006)
II.3 Patofisiologi Sirosis hepatic
Penyakit hati kronis menjadi sirosis hati terjadi karena adanya
peradangan,aktivitas sel-sel stella hati dengan munculnya fibermenesis, dan kerusakan
padaparenkim yang disebabkan oleh oklusi vaskular. Proses ini mengarah
padaperubahan mikrovaskuler hepatik ditandai dengan remodeling
sinusoidal(terjadinya deposisi matriks ekstraseluler dari sel-sel stella yang besifat
aktif kemudian berpoliterai atau berkembang vang mengakibatkan kapillarisasi
sinusoid hepatik), pembentukan shunt intra hepatik (terjadi karena angiogenesisdan
hilangnya sel parenkim), dan disfungsi endotel pada hati. Disfungsi endotel ditandai
dengan adanya pelepasan vasodilator yang tidak sempurna. Peningkatanresistensi hati
terhadap aliran darah portal adalah faktor utama peningkatantekanan portal pada
sirosis (Tsochatzis et al., 2014).
Sirosis hepatik terjadi karena adanya cedera kronik yang bersifat
reversibelpada parenkim hati yang ditandai dengan timbulnya jaringan ikat difusi
akibatadanya cider fibrosis, pembentukan nodul degeneratif dengan ukuran
mikronodulsampai makronodul. Hal in diakibatkan karena nekrosis hepatosit,
kolapsnyajaringan penunjang retikulin, disertai dengan deposit jaringan ikat distorsi
jaringanvaskuler yang mengakibatkan terjadinya pembentukan vaskuler intra
hepatikantara pembuluh darah hati eteren (vena portal dan arteri hepatika), eferen
(venahepatika) dan regenerasi nodular parenkim hati sisanya (Pinzani et al., 2011).
Fibrosis hati disebabkan karena adanva aktivasi dari sel stellate hati. Pelepasan
yang dihasilkan hepatosit dan sel Kupffer menjadi pemicu dari aktivasi. Sel stellate
merupakan sel penghasil utama extracelluler matrir (ECM) apabilaterjadi cedera pada
hepar. ECM dibentuk karena adanya pembentukan jaringanmirip fibroblast yang
dihasilkan sel stellate dan dipengaruhi oleh beberapa sitokin,vaitu Tumor Necrosis
Factors (TNF-α) dan Transforming Growth Factor β (TGF-β) (Sherlock & Dooley,
2002),
ECM mengalami deposit di space of disease dapat menyebabkan
perubahanbentuk dan memacu kapilarisasi pembuluh darah. Kapilarisasi sinusoid
mengubahpertukaran aliran vena portal normal dengan hepatosit sehingga material
yangseharusnya dimetabolisme oleh hepatosit akan berlangsung dan mask ke
alirandarah sistemik dan dapat menghambat material yang diproduksi oleh hati
masukke dalam aliran darah. Proses yang terjadi dapat mengakibatkan hipertensi
portaldan penurunan fungi hepatoseluler (Sherlock & Dooley, 2002).
II.4 Etiologi Sirosis hepatic
Sirosis hepatis dapat terjadi disebabkan beberapa etiologi. Etiologi tersering
dari sirosis hepatis adalah infeksi virus hepatitis B atau hepatitis C, serta alcohol use
disorder. Sirosis hepatis juga dapat disebabkan oleh penyakit herediter dan metabolik,
obat atau toksin, serta penyakit noninfeksius dan penyakit hepar kronis yang tidak
tertangani dengan baik (Hart CL, 2010).

II.5 DiagnosaSirosis hepatik


Pemeriksaan Fisik:
a. Tampak lemah
b. Peningkatan suhu, peningkatan tekanan darah (bila ada kelebihan cairan)
c. Scleraikterik, konjungtiva anemis
d. Distensi vena jugularis dileher
e. Dada : 1) Ginekomastia (pembesaran payudara pada laki-laki) 2)
Penurunan ekspansi paru 3) Penggunaan otot-otot asesoris pernapasan 4)
Disritmia, gallop5) Suara abnormal paru (rales)
f. Abdomen : 1) Perut membuncit, peningkatan lingkar abdomen 2)
Penurunan bunyi usus 3) Ascites/ tegang pada perut kanan atas, hati teraba
keras 4) Nyeri tekan ulu hati
g. Urogenital : 1) Atropi testis 2) Hemoroid (pelebaran vena sekitar rektum)
h. Integumen : Ikterus, palmar eritema, spider naevi, alopesia, ekimosis
i. Ekstremitas : Edema, penurunan kekuatan otot
Pemeriksaan penunjang:
a. Pemeriksaan laboratorium Menurut Smeltzer & Bare (2001) yaitu: 1)
Darah lengkap Hb/ Ht dan SDM mungkin menurun karena perdarahan.
Kerusakan SDM dan anemia terlihat dengan hipersplenisme dan defisiensi
besi. Leukopenia mungkin ada sebagai akibat hiperplenisme. 2) Kenaikan
kadar SGOT, SGPT 3) Albumin serum menurun 4) Pemeriksaan kadar
elektrolit : hipokalemia 5) Pemanjangan masa protombin 6) Glukosa
serum : hipoglikemi 7) Fibrinogen menurun 8) BUN meningkat
Pemeriksaan diagnostik Menurut smeltzer & Bare (2001) yaitu:
a. Radiologi Dapat dilihat adanya varises esofagus untuk konfirmasi
hipertensi portal.
b. Esofagoskopi Dapat menunjukkan adanya varises esofagus.
c. USG
d. Angiografi Untuk mengukur tekanan vena porta
e. Skan/ biopsi hati Mendeteksi infiltrat lemak, fibrosis, kerusakan jaringan
hati.
f. Partografi transhepatik perkutaneus Memperlihatkan sirkulasi sistem vena
portal

II.6 Tatalaksana Sirosis hepatik


a. Manajemen Nyeri
Agen analgesik harus dipilih secara hati-hati pada pasien dengan sirosis. Karena
risiko gagal ginjal akut dan perdarahan gastrointestinal, obat antiinflamasi nonsteroid
dikontraindikasikan, kecuali aspirin dosis rendah pada pasien yang tingkat keparahan
penyakit kardiovaskularnya melebihi tingkat keparahan sirosis. Opiat harus digunakan
dengan hati-hati atau dihindari, karena dapat memicu atau memperburuk ensefalopati
hepatik. Tramadol aman dalam dosis rendah, dan obat topikal seperti lidokain patch
umumnya aman (Ge, et al., 2016).
Acetaminophen efektif dan aman pada pasien dengan penyakit hati, asalkan
pasien tidak minum alkohol. Food and Drug Administration telah merekomendasikan
untuk membatasi total dosis harian acetaminophen hingga 4 g pada semua pasien.
Meskipun dosis ini secara teoritis aman pada pasien dengan sirosis.banyak ahli
hepatologi membatasi acetaminophen dengan dosis 2 g setiap hari (Ge, et al., 2016)..
b. Penghambat Pompa Proton/Proton Pump Inhibitor
Inhibitor pompa proton sangat banyak diresepkan pada pasien rawat inap
dengan sirosis, seringkali tanpa indikasi yang terdokumentasi. Sebuah penelitian besar
yang melibatkan pasien dengan sirosis yang dirawat di rumah sakit dengan infeksi
awal menunjukkan bahwa risiko infeksi berikutnya meningkat di antara pasien yang
memakai inhibitor pompa proton dan mereka yang menerima agen antibiotik jangka
panjang sebagai profilaksis untuk peritonitis bakteri spontan (O’Leary et al., 2015).
Penggunaan sembarangan tanpa indikasi yang tepat harus dihindari.
c. Agen Sedatif
Benzodiazepin harus dihindari pada pasien dengan ensefalopati hepatik. Untuk
pasien dengan hepatitis alkoholik atau sirosis dengan gejala parah penarikan alkohol
akut berkembang, benzodiazepin shortacting seperti lorazepam dan oxazepam lebih
disukai untuk meminimalkan risiko oversedasi. Untuk pasien dengan insomnia,
hidroksizin dengan dosis 25 mg sebelum tidur dapat menjadi alternatif yang masuk
akal dan telah dipelajari dalam percobaan kecil secara acak.28 Kami telah meresepkan
trazodone dengan dosis 100 mg sebelum tidur dengan keberhasilan yang lebih besar
daripada hidroksizin untuk pengobatan insomnia
d. Statin
3-Hydroxy-3-methylglutaryl coenzyme Inhibitor reduktase A (statin) dapat
dimulai dengan aman dan dilanjutkan pada pasien dengan sirosis. Statin telah
menetapkan manfaat kardiovaskular dalam pengobatan penyakit hati berlemak
nonalkohol.29 Percobaan besar yang berlangsung selama 5 sampai 10 tahun telah
menunjukkan bahwa kejadian kejadian kardiovaskular utama adalah 33% lebih
rendah di antara pasien yang memakai statin daripada di antara mereka yang
menerima plasebo.30 Tingkat keseluruhan gagal hati akut yang diinduksi statin adalah
0,2 hingga 1 kasus per juta orang yang menggunakan statin, meskipun perkiraan
pasien yang tidak menerima statin karena kekhawatiran tentang hepatotoksisitas
berkisar antara 10 hingga 30% (Bader, 2010). Data dari Drug-Induced Liver Injury
Network menguatkan kelebihan kemungkinan cedera hati yang sangat rendah karena
statin, dengan hanya 22 kasus cedera hati akibat obat yang dikaitkan dengan statin
selama periode 8 tahun (Russo, et al., 2014). Pemantauan rutin tingkat alanin
aminotransferase pada pasien yang menggunakan statin tidak lagi direkomendasikan.
e. Vaptan
Antagonis reseptor vasopresin V selektif (vaptans) telah dievaluasi untuk
digunakan pada hiponatremia dan asites. Sebuah studi besar, terkontrol plasebo yang
melibatkan pasien dengan sirosis dan asites menunjukkan bahwa meskipun satavaptan
mengurangi hiponatremia, mortalitas lebih tinggi di antara pasien dengan asites
berulang yang menerima satavaptan daripada di antara mereka yang menerima
plasebo (Wong., et al., 2012). Karena temuan ini serta hepatotoksisitas dilaporkan
sehubungan dengan tolvaptan, penggunaan vaptans pada pasien dengan sirosis dan
asites tidak dianjurkan (Torres, et al., 2012).
f. Agen Antihipertensi
Pada pasien dengan sirosis, pengobatan harus mempertimbangkan rasio manfaat
dan risiko. Pasien dengan sirosis yang memiliki riwayat hipertensi secara bertahap
menjadi normotensif dan akhirnya hipotensi seiring dengan perkembangan sirosis.
Studi tekanan darah pada pasien dengan sirosis dan asites menunjukkan bahwa
tekanan arteri rata-rata 82 mm Hg atau kurang adalah variabel tunggal yang paling
kuat berkorelasi dengan penurunan kemungkinan bertahan hidup (Llach, et al., 1988).
Probabilitas kelangsungan hidup di antara pasien dengan tekanan arteri rata-rata 82
mm Hg atau kurang adalah 20% pada 24 bulan dan 0% pada 48 bulan, dibandingkan
dengan 70% pada 24 bulan dan 50% pada 48 bulan di antara pasien dengan tekanan
arteri rata-rata. tekanan lebih dari 82 mm Hg. Dalam penelitian serupa, hipotensi
dengan indeks jantung di bawah 1,5 liter per menit per meter persegi luas permukaan
tubuh memprediksi perkembangan sindrom hepatorenal dan penurunan kemungkinan
bertahan hidup di antara pasien dengan sirosis dan asites.14 Karena perubahan
hemodinamik ini, obat antihipertensi harus dihentikan pada pasien dengan sirosis
dekompensasi dengan asites atau hipotensi (Krag, et al., 2012; Ge and Runyon, 2014).
Beta-blocker nonselektif mengurangi tekanan portal dan digunakan dalam
profilaksis primer dan sekunder dari perdarahan varises (Lebrec, et al., 1981; Pascal
and Cales, 1987). Namun, berbagai penelitian memperingatkan penggunaan beta-
blocker dalam situasi seperti sirosis dekompensasi dengan asites refrakter, (Sersté, et
al., 2011; Sersté, et al., 2010) peritonitis bakteri spontan (Mandorfer, et al., 2014), dan
hepatitis alkoholik berat (Sersté, et al., 2015). Studi-studi ini mengarah pada
"hipotesis jendela," yang mendalilkan bahwa beta-blocker dikaitkan dengan tingkat
kelangsungan hidup yang lebih tinggi hanya dalam jendela klinis (Krag, et al., 2012).
Pada pasien yang memiliki sirosis dini tanpa varises sedang hingga besar, beta-
blocker tidak mencegah perkembangan varises dan juga mengakibatkan efek samping
(Groszmann, et al., 2005). Jendela klinis terbuka ketika varises esofagus sedang
hingga besar berkembang, dengan atau tanpa perdarahan varises, dan beta-blocker
diindikasikan untuk profilaksis primer dan sekunder perdarahan varises (Lebrec, et
al., 1981; Pascal and Cales, 1987). Pada pasien dengan hipotensi stabil, midodrine
dapat memperbaiki variabel hemodinamik splanknik dan sistemik, fungsi ginjal, dan
natrium. ekskresi. Kombinasi octreotide dan midodrine digunakan untuk pengobatan
sindrom hepatorenal tipe 1 (Angeli, 1999). Pada pasien tanpa sindrom hepatorenal,
midodrine terbukti meningkatkan volume urin, ekskresi natrium urin, dan tekanan
arteri rata-rata dan dikaitkan dengan penurunan mortalitas secara keseluruhan (Singh,
et al., 2012).Pedoman konsensus Baveno VI terbaru mengenai hipertensi portal
merekomendasikan penghentian beta-blocker ketika tekanan darah sistolik kurang
dari 90 mm Hg, konsentrasi natrium serum kurang dari 120 mmol per liter, atau telah
terjadi cedera ginjal akut(de Franchis, 2015).
III. ALAT DAN BAHAN
3.1 ALAT :
1. Form SOAP.
2. Form Medication Record.
3. Catatan Minum Obat.
4. Kalkulator Scientific.
5. Laptop dan koneksi internet.
3.2 BAHAN:
1. Text Book (Dipiro, Koda Kimble, DIH).
2. Data nilai normal laboraturium.
3. Evidence terkait (Journal, Systematic Review, Meta Analysis).

IV. KASUS

Pasien MKS, laki-laki, 64 tahun, Bali. Pekerjaan petani. Dibawa ke IRG dengan
keluhan utama merasakan tidak enak di bagian perut dan mengatakan perut membesar.
Pasien datang sadar dan diantar oleh keluarga ke IRD sebuah Rumah Sakit Umum pada
tanggal 12 Desember 2021 mengeluh perut membesar. Perutnya dikatakan membesar
secara perlahan pada seluruh bagian perut sejak 3 bulan sebelum masuk rumah sakit, dan
merasakan perut semakin membesar dan dirasakan semakin hari semakin membesar dan
bertambah tegang, namun keluhan perut membesar ini tidak sampai membuat pasien
sesak dan kesulitan bernapas. Pasien juga mengeluh nyeri pada ulu hati sejak 1 bulan
namun memberat sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri ulu hati dikatakan
seperti ditusuk-tusuk dan terus-menerus dirasakan oleh pasien sepanjang hari. Keluhan
nyeri juga disertai keluhan mual yang dirasakan hilang timbul namun dirasakan sepanjang
hari, dan muntah yang biasanya terjadi setelah makan. Pasien juga mengeluh lemas sejak
2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Keluhan lemas dikatakan dirasakan terus menerus
dan tidak menghilang walaupun pasien telah beristirahat. Keluhan ini dikatakan dirasakan
di seluruh bagian tubuh dan semakin memberat dari hari ke hari hingga akhirnya
seminggu sebelum masuk rumah sakit pasien tidak bisa melakukan aktivitas sehari-hari.
Selain itu, pasien juga mengeluh adanya bengkak pada kedua kaki sejak 6 minggu
sebelum masuk rumah sakit yang membuat pasien susah berjalan. Keluhan kaki bengkak
ini tidak disertai rasa nyeri dan kemerahan. Riwayat trauma pada kaki disangkal oleh
pasien. Pasien mengatakan bahwa buang air besarnya berwarna hitam seperti aspal
dengan konsistensi sedikit lunak sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit dengan
frekuensi 2 kali per hari dan volume kira-kira ½ gelas setiap buang air besar. Buang air
kecil dikatakan berwarna seperti teh sejak 1 minggu. sebelum masuk rumah sakit, dengan
frekuensi 4-5 kali per hari dan volumenya kurang lebih ½ gelas tiap kali kencing. Rasa
nyeri ketika buang air kecil disangkal oleh pasien. Pasien juga mengatakan bahwa kedua
matanya berwarna kuning sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit. Warna kuning ini
muncul perlahan-lahan. Riwayat kulit tubuh pasien menguning disangkal. Selain itu,
dikatakan pula bahwa beberapa hari terakhir, pasien merasa gelisah dan susah tidur di
malam hari. Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien dalam sakit sedang,
kesadaran kompos mentis, berat badan 69 kg, tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 92x per
menit, laju respirasi 20x per menit, dan suhu axilla 37 °C. Dari pemeriksaan penunjang
yang dilakukan untuk menunjang diagnosis pasien ini, didapatkan bilirubin total, bilirubin
direk, bilirubin indirek, SGOT, SGPT, BUN dan kreatinin pada pasien meningkat,
sedangkan albumin rendah. Pemeriksaan HbsAg dan anti HCV hasilnya nonreaktif. Dari
pemeriksaan USG abdomen didapatkan kesan pengecilan hepar dengan splenomegali
sesuai dengan gambaran sirosis hepatis, ascites, dan curiga nefritis bilateral. Dimana
penatalaksanaan pada pasien ini adalah masuk rumah sakit, diet cair (tanpa protein),
rendah garam, batasi cairan (1 lt/hari), infuse DS 10%: NS: Aminoleban= 1:1:1 → 20
tetes per menit, propanolol 2x10 mg, spironolacton 100 mg (pagi), furosemide 40 mg
(pagi), omeprazole 2x40 mg, sucralfat syr 3 X CI, asam folat 2 x II, lactulosa sirup 3xCI,
paramomycin 4x500 mg, lavement tiap 12 jam, transfusi albumin 20% 1 kolf/hari → s/d
albumin > 3 gr/dl, dan nebul ventolin bila mengalami sesak.

FIR

No FIR Jawaban

1. Bagimana life style pasien? Apakah pasien Sering mengkonsumsi


mengkomsumsi alcohol akhir-akhir ini? alcohol dan merokok
pola makan cukup
teratur 2-3x sehari
namun lebih gemar
mengkonsumsi makanan
berlemak. Tidak pernah
melakukan aktivitas
seksual multipartner

2. Apakah pasien memiliki riwayat alergi obat? Tidak ada riwayat alergi
obat
3. Apakah pasien mengalami konstipasi? Tidak

4. Apakah pasien memiliki riwayat penyakit Penyakit kuning saat


lain? usia 50 tahun namun
sudah diobati dan
sembuh

5. Berapakah kadar PT pasien? PT 9

6. Berapakah kadar bilirubin total, direk, • Bilirubin total = 4


bilirubin indirek, SGOT, SGPT, BUN, dan (meningkat)
kreatinin pasien yang dikatakan meningkat? • Bilirubin direk = 3
(meningkat
• SGOT = 240 U/L
• SGPT = 450 U/L
• BUN = 50 mg/dl
(abnormal)
• Kreatinin = 2,0
mg/dl (abnormal)

FORM SOAP

SUBJEKTIF
Pasien MKS, laki-laki, 64 tahun, Bali. Pekerjaan petani. Dibawa ke IRG
dengan keluhan utama merasakan tidak enak di bagian perut dan mengatakan
perut membesar, datang dalam keadaan sadar dan diantar oleh keluarga ke IRD
sebuah Rumah Sakit Umum pada tanggal 12 Desember 2021 mengeluh perut
membesar. Perutnya dikatakan membesar secara perlahan pada seluruh bagian
perut sejak 3 bulan sebelum masuk rumah sakit, dan merasakan perut semakin
membesar dan dirasakan semakin hari semakin membesar dan bertambah tegang,
namun keluhan perut membesar ini tidak sampai membuat pasien sesak dan
kesulitan bernapas. Pasien juga mengeluh nyeri pada ulu hati sejak 1 bulan namun
memberat sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri ulu hati dikatakan
seperti ditusuk-tusuk dan terus-menerus dirasakan oleh pasien sepanjang hari.
Keluhan nyeri juga disertai keluhan mual yang dirasakan hilang timbul namun
dirasakan sepanjang hari, dan muntah yang biasanya terjadi setelah makan. Pasien
juga mengeluh lemas sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Keluhan lemas
dikatakan dirasakan terus menerus dan tidak menghilang walaupun pasien telah
beristirahat. Keluhan ini dikatakan dirasakan di seluruh bagian tubuh dan semakin
memberat dari hari ke hari hingga akhirnya seminggu sebelum masuk rumah sakit
pasien tidak bisa melakukan aktivitas sehari-hari. Selain itu, pasien juga mengeluh
adanya bengkak pada kedua kaki sejak 6 minggu sebelum masuk rumah sakit
yang membuat pasien susah berjalan. Pasien mengatakan bahwa buang air
besarnya berwarna hitam seperti aspal dengan konsistensi sedikit lunak sejak 1
minggu sebelum masuk rumah sakit dengan frekuensi 2 kali per hari dan volume
kira-kira 1⁄2 gelas setiap buang air besar. Buang air kecil dikatakan berwarna
seperti teh sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, dengan frekuensi 4-5 kali
per hari dan volumenya kurang lebih 1⁄2 gelas tiap kali kencing. Pasien juga
mengatakan bahwa kedua matanya berwarna kuning sejak 1 bulan sebelum masuk
rumah sakit. Warna kuning ini muncul perlahan-lahan. Selain itu, dikatakan
beberapa hari terakhir, pasien merasa gelisah dan susah tidur di malam hari.

OBJEKTIF

Berat Badan : 69 Kg

Tinggi Badan : - cm

Pemeriksaan Fisik :Sakit Sedang , Kesadaran Kompos Mentis,

Tanda Tanda Vital ( Normal Range ) 12/12/21

Tekanan darah (90/60 – 120/80 mmHg) 110/80mmHg

Heart Rate (60-100 x / menit) 92 x/ menit

Respiratory Rate ( 12 – 20 x / menit ) 20 x/menit

Suhu ( 36,5 – 37,2 ° C) 37o C


LABORATORY TEST

Test ( Normal Range ) 12/12/21

SGOT ( 0 – 35 u/L ) Meningkat

SGPT ( 0 – 37 u/L ) Meningkat

BUN ( 10- 24 mg/dl ) Meningkat

Bilirubin direct ( < 0,4 mg/dL) Meningkat

Bilirubin indirect Meningkat

Bilirubin total ( 0,1 - 1,2 mg/dL ) Meningkat

HbsAg Non Reaktif

Anti HCV Non Reaktif

Hasil USG Abdomen : Pengecilan Hepar dengan Splenomegali sesuai gambar


Sirosis Hepatis, Ascites dan Curiga Nefritis Bilateral.

ASSESSEMENT

PM (Problem Medik) Terapi DRP

Terapi pengganti Pemberian kombinasi Tidak ada DRP


cairan NaCl 0,9%, dekstrosa  Pemberian
10%, dan aminoleban kombinasi NaCl
dengan jumlah 20 tetesan 0,9%, dekstrosa
per menit 10%, dan
aminoleban
dengan jumlah
20 tetesan per
menit dilanjutkan
Ascites - Spironolakton Tidak ada DRP
100mg 1x1 (pagi)  Pemberian
- Furosemide 40mg Spironolakton
1x1 (pagi) 100mg 1x1
(pagi) dan
Furosemide
40mg 1x1 (pagi)
dilanjutkan
Ensekfalopati Hepatic - Paromycin Tidak ada DRP
4x500mg  Pemberian
- Laktulosa 3xCI Paromycin
4x500mg dan
Laktulosa 3xCI

Hipertensi porta berat- - Omeprazole Tidak ada DRP


varises esofagus stage 2x40mg  Pemberian
1 - Sucralfat 3xCI Omeprazole
- Proponolol 2x40mg,
2x10mg Sucralfat 3xCI,
Proponolol
2x10mg
dilanjutkan
Anemia akibat Sirosis - Asam folat 2xII Tidak ada DRP
Hepatik  Pemberian asam
folat 2x II
dilanjutkan
Hipoalbumin - Transfusi Tidak ada DRP
albumin 20% 1  Pemberian
kolf/hari transfusi albumin
20% 1 kolf/hari
→ s/d albumin >
3 gr/dl
EBM:
1. Pemberian kombinasi NaCl 0,9%, dekstrosa 10%, dan aminoleban
dengan jumlah 20 tetesan per menit
Pemberian kombinasi NaCl 0,9%, dekstrosa 10%, dan 16 aminoleban
dengan jumlah 20 tetesan per menit.Pada kasus pasien diberikan diet cair
tanpa protein, rendah garam, serta pembatasan jumlah cairan kurang lebih
1 liter per hari. Jumlah kalori harian dapat diberikan sebanyak 2000-3000
kkal/hari. Diet protein tidak diberikan pada pasien ini karena pasien
sempat mengalami ensepalopati hepatikum, sehingga pemberian protein
yang dapat dipecah menjadi amonia di dalam tubuh dikurangi. Pembatasan
pemberian garam juga dilakukan agar gejala ascites yang dialami pasein
tidak memberat. Diet cair diberikan karena pasien mengalami perdarahan
saluran cerna. Hal ini dilakukan karena salah satu faktor resiko yang dapat
menyebabkan pecahnya varises adalah makanan yang keras dan
mengandung banyak serat. Selain melalui nutrisi enteral, pasien juga diberi
nutrisi secara parenteral dengan pemberian infus kombinasi NaCl 0,9%,
dekstrosa 10%, dan aminoleban dengan jumlah 20 tetesan per menit
sebagai terapi nutri secara parenteral (Pande Made A and Suryadarma,
2012).
2. Pemberian Diuretik = Spironolakton 100mg 1x1 (pagi) dan
Furosemide 40mg 1x1 (pagi)
Pada pasien ini diberikanterapi kombinasi spironolakton 100 mg dan
furosemide 40 mg pada pagi hari. kombinasi spironolakton dan furosemida
dapat menurunkan dan menghilangkan asites pada sebagian besar
pasien.Pada sebuah penelitian menyimpulkan bahwa kombinasi antagonis
aldosteron dan furosemid memberikan hasil yang adekuat pada pasien
asites rekuren, namun tidak pada asites baru.
Spironolakton merupakan antagonis aldosteron yang bekerja di tubulus
distal untuk meningkatkan natriuresis dan mempertahankan kalium.
Spironolakton merupakan pilihan utama saat memulai terapi asites pada
sirosis. Dosis awal 100 mg dapat dinaikkan bertahap sampai 400 mg untuk
mencapai natriuresis yang adekuat. Efek natriuresis akan muncul 3-5 hari
setelah penggunaan spironolakton. Furosemid merupakan loop diuretik,
dosis awal 40 mg/hari dan dinaikkan setiap 2-3 hari mencapai dosis 160
mg/hari (Runyon, 2013).
Pada pasien sirosis hati dengan ascites, target penggunaan diuretik ini
adalah tercapainya balance cairan negatif, yaitu output cairan yang lebih
besar dibandingkan input cairan. Target minimal yang ingin dicapai adalah
-500 cc/hari. Diharapkan target diuretik dalam menurunkan berat badan
0,5-1 kg/hari sebanding dengan berkurangnya volume cairan 0,5-1 L/hari
(Runyon, 2013).
Regimen dosis kombinasi diuretik yang direkomendasikan American
Association for the Study of Liver Diseases (AASLD) adalah
spironolakton 100 mg/hari dan furosemid 40 mg/hari. Jika dengan dosis
tersebut pasien belum menunjukkan penurunan berat badan harian dan
natriuresis yang cukup, maka dapat dilakukan peningkatan dosis tiap 3- 5
hari dengan dosis maksimum spironolakton 400 mg/hari dan furosemid
160 mg/hari. Peningkatan dosis harus tetap mempertahankan rasio
spironolakton 100 mg : furosemid 40 mg untuk menjaga normokalemia
(EASL, 2010)
3. Paromycin 4x500mg
Pada pasien ini, ditemukan perdarahan saluran cerna yang ditunjukkan
dengan melena sehingga dilakukan beberapa terapi diantaranya adalah
kumbah lambung dengan air dingin tiap 4 jam, kemudian dipantau warna
dan isi kurasan lambungnya, kemudian dilakukan sterilisasi usus dengan
pemberian paramomycin 4x500 mg.Sementara itu, komplikasi
ensepalopati hepatikum ditangani upaya menghentikan progresifitas
dengan pemberian paramomycin 4x500 mg dan laktulosa 3xCI seperti
yang telah dijelaskan di atas untuk mengurangi jumlah produksi amonia di
saluran cerna. (Pande Made A and Suryadarma, 2012).
Antibiotik dapat menurunkan produksi amonia dengan menekan
pertumbuhanbakteri yang bertanggung jawab menghasilkan amonia,
sebagai salah satufaktor presipitasi EH. Selain itu antibiotik juga memiliki
efek antiinflamasi dan downregulation aktivitas glutaminase. Antibiotik
yang menjadi pilihan saat ini adalah rifaximin, berspektrum luas dan
diserap secara minimal. Dosis yang diberikan adalah 2 x 550 mg dengan
lama pengobatan 3-6 bulan. Rifaximin dipilih untuk menggantikan
antibiotik yang telah digunakan pada pengobatan HE sebelumnya, yaitu
neomycin, metronidazole, paromomycin, dan vancomycin oral karena
rifaximin memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan
antibiotik lainnya (Hasanet al, 2014).
4. Laktulosa 3xCI
Terapi utama pada hepatik ensefalopati adalah laktulosa yang beperan
dalam proses asidifikasi kolon, berkontribusi dalam mempercepat
eliminasi produkproduk nitrogen di usus yang merupakan penyebab
terjadinya HE. Laktulosa oral untuk terapi hepatik ensefalopati akut
diberikan dalam dosis 30 ml tiga sampai empat kali sehari yang dititrasi
untuk menghasilkan dua sampai tiga kali tinja per hari. Jika diberikan
secara rektal misalnya pada keadaan pasien yang sulit menelan, dosis
laktulosa adalah 300 ml dalam 700 ml saline atau sorbitol sebagai enema
retensi untuk 30-60 menit. Dapat diulang tiap 4-6 jam (Alhamid, 2019) .
Laktulosa memiliki beberapa efek samping seperti mual, muntah,
kembung, kram abdominal, flatulence dan diare. Singh et al (2017)
melakukan penelitian dengan membandingkan gejala gangguan tidur pada
pasien sirosis dengan Minimal Hepatic Encephalophaty (MHE) sebelum
dan sesudah terapi laktulosa. Setelah terapi laktulosa selama 3 bulan,
parameter tidur menunjukkan adanya perbaikan yang signifikan.
5. Omeprazole 2x40mg
Obat saluran pencernaan sering diberikan kepada pasien sirosis hati,
bertujuan untuk mencegah komplikasi pada pasien dengan varises
lambung atau perdarahan lambung. Sirosis hati dengan tukak lambung
dapat meningkatkan prevalensi ulkus peptikum dan risiko perdarahan
lambung (David dan Alexander, 2016). Pemberian obat-obatan pelindung
mukosa lambungseperti Omeprazole 2x40 mgdan sucralfat 3xCI dilakukan
agar tidak terjadi perdarahan akibat erosi gastropati hipertensi porta.
Omeprazole merupakan suatu prodrug yang bersifat basa lemah
dengan mekanisme kerjanya memblokir enzim H+, K+, dan ATPase yang
merupakan enzim pemompa proton, sehingga dapat menghambat sekresi
asam lambung. Bioavailabilitas omeprazole 30-40% dengan waktu paruh
0,5-1jam, 95% terikat dengan protein plasma dan 80% diekskresi di urin
(Ganiswara, 2007).
6. Sucralfat 3xCI
Pemberian sucralfat 3xCI dilakukan agar tidak terjadi perdarahan
akibat erosi gastropati hipertensi porta.Sukralfat bekerja melalui pelepasan
kutub aluminium hidroksida yang berikatan dengan kutub positif molekul
protein membentuk lapisan fisikokemikal pada dasar tukak, yang
melindungi tukak dari pengaruh asam dan pepsin. Efek lainnya adalah
membantu sintesa prostaglandin, menambah sekresi bikarbonat dan
mukus, sehingga meiningkatkan daya pertahanan dan perbaikan mukosal
(Setiawati, 2015).
7. Proponolol 2x10mg
Pemberian Propranolol (golongan Beta Blocker) secara oral dapat
menurunkan tekanan portal pada pasien sirosis hati, sebagai akibat
penurunan isi semenit jantung dan aliran darah ke dalam hati (liver blood
flow), dalam jangka panjang dapat menurunkan resiko perdarahan dan
memperbaiki ketahanan hidup pasien pada sirosis hati kompensata yang
tanpa asites,baik sebagai profilaktik maupun pengobatan (Kusumobroto,
2004).
Propranolol banyak digunakan pada pasien sirosis hati dengan
komplikasi hipertensi porta. Menurut penelitian Purnomo, dkk (2012)
tekanan dinding varises merupakan faktor utama yang menentukan
rupturnya varises. Berdasarkan resiko perdarahan varises pada pasien
sirosis hati dengan hipertensi porta yang dapat menyebabkan kematian
maka penggunaan propranolol diharapkan dapat menekan angka kejadian
perdarahan varises.
8. Asam folat 2 x II
Multivitamin dan mineral digunakan sebagai terapi penunjang pada pasien
penyakit hati. Biasanya penyakit hati menimbulkan gejala seperti malaise,
lemah dan lain-lain sehingga pasien memerlukan suplemen vitamin dan
mineral. Penggunaan multivitamin dan mineral pada pasien sirosis hati
diantaranya yaitu asam folat. (Rezki, 2017). Asam folat pada dosis normal
atau terlalu tinggi tidak menyebabkan cedera hepar atau kelainan fungsi
hepar. Penggunaan asam folat dosis tinggi (hingga 15 mg setiap hari)
belum dikaitkan dengan efek samping yang cukup besar peningkatan ALT
atau hepatotoksisitas. Asam folat disimpan di hepar tetapi dimetabolisme
di banyak jaringan dan tidak memiliki efek pada sistem enzim mikrosom
hepar. (Robiyanto, 2019).

PLAN :
1. Pemberian terapi kombinasi NaCl 0,9%, dekstrosa 10%, dan aminoleban
dengan jumlah 20 tetesan per menit
2. Pemberian kombinasi terapi diuretik Spironolakton 100mg 1x1 (pagi) dan
Furosemide 40mg 1x1 (pagi)
3. Pemberian terapi Paromycin 4x500mg, Laktulosa 3xCIpada komplikasi
ensepalopati hepatikum untuk menghentikan progresifitas dan untuk
mengurangi jumlah produksi ammonia di saluran cerna
4. Pemberian terapi Omeprazole 2x40mg, Sucralfat 3xCI untuk melindungi
mukosa lambung agar tidak terjadi pendarahan akibat erosi gastropati
hipertensi porta
5. Pemberian terapi Proponolol 2x10mg untuk menghindari terjadinya
pendarahan saluran cerna akibat pecahnya varises
6. Pemberian terapi Asam folat 2Xii sebagai terapi penunjang pada pasien
penyakit hati

MONITORING
Efektivitas obat :
1. Respon diuretik dapat dimonitor dengan penurunan berat badan0,5kg/hari
tanpa edema kaki atau 1kg/hari dengan edema kaki.
2. Kontrol pasien yang teratur pada fase dini diharapkan dapat
memperpanjang status kompensasi dalam jangka panjang dan mencegah
timbulnya komplikasi.
Efek Samping :
1. NaCl 0,9%, dekstrosa 10%, dan 16 aminoleban : Memiliki risiko
terjadinya overload (kelebihan cairan)
2. Spironolactone : Pusing, sakit kepala, mual, muntah, diare
3. Furosemide : Pusing, vertigo, mual dan muntah, diare
4. Paromycin : Diare, mual atau muntah, nyeri perut atau kram perut, hilang
nafsu makan, dan heartburn
5. Laktulosa : Kembung, mual, muntah, dan kram perut
6. Omeprazole : Nyeri perut dan sakit kepala
7. Sucralfat : konstipasi, sakit kepala, mulut kering, pusing, diare, dan
insomnia
8. Proponolol : Konstipasi, diare, dan Lelah yang berlebihan
9. Asam Folat : Mual, kehilangan nafsu makan, kembung, rasa pahit atau
tidak enak di mulut, gangguan tidur, dan perubahan mood

V. PEMBAHASAN
Sirosis hepatis merupakan suatu keadaan patologis yang menggambarkan fibrosis
jaringan parenkim hati tahap akhir, yang ditandai dengan pembentukan nodul regeneratif
yang dapat mengganggu fungsi hati dan aliran darah hati. Sirosis adalah konsekuensi dari
respon penyembuhan luka yang terjadi terus-menerus dari penyakit hati kronis yang
diakibatkan oleh berbagai sebab Akibat dari sirosis hati, maka akan terjadi 2 kelainan
yang fundamental yaitu kegagalan fungsi hati dan hipertensi porta. Manifestasi dari
gejala dan tanda-tanda klinis ini pada penderita sirosis hati ditentukan oleh seberapa
berat kelainan fundamental tersebut. Kegagalan fungsi hati akan ditemukan dikarenakan
terjadinya perubahan pada jaringan parenkim hati menjadi jaringan fibrotik dan
penurunan perfusi jaringan hati sehingga mengakibatkan nekrosis pada hati (Saskara dan
Suryadarma, 2013).
Penatalaksanaan kasus sirosis hepatis dipengaruhi oleh etiologi dari sirosis hepatis.
Terapi yang diberikan bertujuan untuk mengurangi progresifitas dari penyakit.
Menghindarkan bahan-bahan yang dapat menambah kerusakaan hati, pencegahan dan
penanganan komplikasi merupakan prinsip dasar penanganan kasus sirosis (Nurdjanah,
2009). Prinsip penanganan pada pasien ini adalah mengurangi progesifitas penyakit,
menghindarkan dari bahan-bahan yang dapat merusak hati, pencegahan, serta
penanganan komplikasi. Pengobatan pada sirosis hati dekompensata diberikan sesuai
dengan komplikasi yang terjadi.
Pemberian terapi diuretik berupa Spironolakton 100mg 1x1 dan Furosemide 40mg
1x1 pada pagi hari. Kombinasi pemberian terapi spironolakton dan furosemida dapat
menurunkan dan menghilangkan asites pada sebagian besar pasien.Pada sebuah penelitian
menyimpulkan bahwa kombinasi antagonis aldosteron dan furosemid memberikan hasil
yang adekuat pada pasien asites.Spironolakton merupakan antagonis aldosteron yang
bekerja di tubulus distal untuk meningkatkan natriuresis dan mempertahankan
kalium.Spironolakton merupakan pilihan utama saat memulai terapi asites pada
sirosis.Dosis awal 100 mg dapat dinaikkan bertahap sampai 400 mg untuk mencapai
natriuresis yang adekuat. Efek natriuresis akan muncul 3-5 hari setelah penggunaan
spironolakton. Furosemid merupakan loop diuretik, dosis awal 40 mg/hari dan dinaikkan
setiap 2-3 hari mencapai dosis 160 mg/hari (Runyon, 2013).
Pada pasien sirosis hati dengan ascites, target penggunaan diuretik ini adalah
tercapainya balance cairan negatif, yaitu output cairan yang lebih besar dibandingkan
input cairan. Target minimal yang ingin dicapai adalah -500 cc/hari. Diharapkan target
diuretik dalam menurunkan berat badan 0,5-1 kg/hari sebanding dengan berkurangnya
volume cairan 0,5-1 L/hari (Runyon, 2013). Regimen dosis kombinasi diuretik yang
direkomendasikan American Association for the Study of Liver Diseases (AASLD)
adalah spironolakton 100 mg/hari dan furosemid 40 mg/hari. Jika dengan dosis tersebut
pasien belum menunjukkan penurunan berat badan harian dan natriuresis yang cukup,
maka dapat dilakukan peningkatan dosis tiap 3- 5 hari dengan dosis maksimum
spironolakton 400 mg/hari dan furosemid 160 mg/hari (EASL, 2010).
Pemberian paramomycin 4x500 mg dan laktulosa 3xCI, pada pasien ini, ditemukan
perdarahan saluran cerna yang ditunjukkan dengan melena sehingga dilakukan beberapa
terapi diantaranya adalah kumbah lambung dengan air dingin tiap 4 jam, kemudian
dipantau warna dan isi kurasan lambungnya, kemudian dilakukan sterilisasi usus dengan
pemberian paramomycin 4x500 mg.Sementara itu, komplikasi ensepalopati hepatikum
ditangani upaya menghentikan progresifitas dengan pemberian paramomycin 4x500 mg
dan laktulosa 3xCI seperti yang telah dijelaskan diatas untuk mengurangi jumlah produksi
amonia di saluran cerna. (Pande Made A and Suryadarma, 2012). Antibiotik dapat
menurunkan produksi amonia dengan menekan pertumbuhanbakteri yang bertanggung
jawab menghasilkan amonia, sebagai salah satufaktor presipitasi EH. Selain itu antibiotik
juga memiliki efek antiinflamasi dan downregulation aktivitas glutaminase. Antibiotik
yang menjadi pilihan saat ini adalah rifaximin, berspektrum luas dan diserap secara
minimal. Dosis yang diberikan adalah 2 x 550 mg dengan lama pengobatan 3-6 bulan.
Rifaximin dipilih untuk menggantikan antibiotik yang telah digunakan pada pengobatan
HE sebelumnya, yaitu neomycin, metronidazole, paromomycin, dan vancomycin oral
karena rifaximin memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan antibiotik
lainnya (Hasanet al, 2014).
Terapi utama pada hepatik ensefalopati adalah laktulosa yang beperan dalam proses
asidifikasi kolon, berkontribusi dalam mempercepat eliminasi produkproduk nitrogen di
usus yang merupakan penyebab terjadinya HE. Laktulosa oral untuk terapi hepatik
ensefalopati akut diberikan dalam dosis 30 ml tiga sampai empat kali sehari yang dititrasi
untuk menghasilkan dua sampai tiga kali tinja per hari. Jika diberikan secara rektal
misalnya pada keadaan pasien yang sulit menelan, dosis laktulosa adalah 300 ml dalam
700 ml saline atau sorbitol sebagai enema retensi untuk 30-60 menit. Dapat diulang tiap
4-6 jam (Alhamid, 2019) . Laktulosa memiliki beberapa efek samping seperti mual,
muntah, kembung, kram abdominal, flatulence dan diare. Singh et al (2017) melakukan
penelitian dengan membandingkan gejala gangguan tidur pada pasien sirosis dengan
Minimal Hepatic Encephalophaty (MHE) sebelum dan sesudah terapi laktulosa. Setelah
terapi laktulosa selama 3 bulan, parameter tidur menunjukkan adanya perbaikan yang
signifikan.
Obat saluran pencernaan sering diberikan kepada pasien sirosis hati, bertujuan untuk
mencegah komplikasi pada pasien dengan varises lambung atau perdarahan lambung.
Sirosis hati dengan tukak lambung dapat meningkatkan prevalensi ulkus peptikum dan
risiko perdarahan lambung (David dan Alexander, 2016). Pemberian obat-obatan
pelindung mukosa lambung seperti Omeprazole 2x40 mg dan sucralfat 3xCI dilakukan
agar tidak terjadi perdarahan akibat erosi gastropati hipertensi porta.
Pemberian sucralfat 3xCI dilakukan agar tidak terjadi perdarahan akibat erosi
gastropati hipertensi porta.Sukralfat bekerja melalui pelepasan kutub aluminium
hidroksida yang berikatan dengan kutub positif molekul protein membentuk lapisan
fisikokemikal pada dasar tukak, yang melindungi tukak dari pengaruh asam dan pepsin.
Efek lainnya adalah membantu sintesa prostaglandin, menambah sekresi bikarbonat dan
mukus, sehingga meiningkatkan daya pertahanan dan perbaikan mukosal (Setiawati,
2015).
Pemberian terapi Propanolol dengan dosis 2x10 mg pada pasien dengan tujuan untuk
menghindari terjadinya perdarahan saluran cerna akibat pecahnya varises. Propranolol
banyak digunakan pada pasien sirosis hati dengan komplikasi hipertensi porta.Menurut
penelitian Purnomo, dkk (2012) tekanan dinding varises merupakan faktor utama yang
menentukan rupturnya varises.Berdasarkan resiko perdarahan varises pada pasien sirosis
hati dengan hipertensi porta yang dapat menyebabkan kematian maka penggunaan
propranolol diharapkan dapat menekan angka kejadian perdarahan varises.Pemberian
terapi Propranolol secara oral dapat menurunkan tekanan portal pada pasien sirosis hati,
dalam jangka panjang dapat menurunkan resiko perdarahan dan memperbaiki ketahanan
hidup pasien pada sirosis hati (Kusumobroto, 2004).
Pemberian Asam folat 2 x II, pembeian multivitamin dan mineral digunakan sebagai
terapi penunjang pada pasien penyakit hati. Biasanya penyakit hati menimbulkan gejala
seperti malaise, lemah dan lain-lain sehingga pasien memerlukan suplemen vitamin dan
mineral. Penggunaan multivitamin dan mineral pada pasien sirosis hati diantaranya yaitu
asam folat. (Rezki, 2017). Asam folat pada dosis normal atau terlalu tinggi tidak
menyebabkan cedera hepar atau kelainan fungsi hepar. Penggunaan asam folat dosis
tinggi (hingga 15 mg setiap hari) belum dikaitkan dengan efek samping yang cukup besar
peningkatan ALT atau hepatotoksisitas. Asam folat disimpan di hepar tetapi
dimetabolisme di banyak jaringan dan tidak memiliki efek pada sistem enzim mikrosom
hepar. (Robiyanto, 2019).
Terapi non farmakologi yang dapat direkomendasikan untuk pasien ini adalah diet
cair tanpa protein, rendah garam, serta pembatasan jumlah cairan kurang lebih 1 liter per
hari. Jumlah kalori harian dapat diberikan sebanyak 2000- 3000 kkal/hari. Diet protein
tidak diberikan pada pasien ini karena pasien sempat mengalami ensepalopati hepatikum,
sehingga pemberian protein yang dapat dipecah menjadi amonia di dalam tubuh
dikurangi. Pembatasan pemberian garam juga dilakukan agar gejala ascites yang dialami
pasein tidak memberat. Diet cair diberikan karena pasien mengalami perdarahan saluran
cerna. Hal ini dilakukan karena salah satu faktor resiko yang dapat menyebabkan
pecahnya varises adalah makanan yang keras dan mengandung banyak serat (Saskara dan
Suryadarma, 2013).
DAFTAR PUSTAKA

Alhamid, S. 2019. Studi Penggunaan Laktulosa pada Pasien Sirosis Hati dengan Hepatik
Ensefalopati. Universitas Muhammadiyah Malang
Angeli P, Volpin R, Gerunda G, et al. 1999. Reversal of type 1 hepatorenal syndrome with
the administration of midodrine and octreotide. Hepatology 1999; 29: 1690-7.
Bader T. 2010. The myth of statin-induced hepatotoxicity. Am J Gastroenterol; 105: 978-
80.
David J.G dan Alexander C.F., 2016, The Possible Risks of Proton Pump Inhibitors, Med
J. Aust, 205(7):292-293.
De Franchis R. 2015. Expanding consensus in portal hypertension: report of the Baveno
VI Consensus Workshop: stratifying risk and individualizing care for portal
hypertension. J Hepatol; 63: 743-52.
European Association for the Study of the Liver. EASL: clinical practice guidelines on the
management of ascites. spontaneous bacterial peritonitis, and hepatorenal
syndrome in cirrhosis. J Hepatol.2010:53:397-417
Ganiswara, S., 2007, Bagian Farmakologi dan Terapi, edisi kelima, Bagian Farmakologi
FKUI, Jakarta, Universitas Indonesia Press.
Ge PS, Runyon BA.2014. The changing role of beta-blocker therapy in patients with
cirrhosis. J Hepatol; 60: 643-53.
Ge, Phillip S.; Ruyon, Bruce A.2016. Treatment of patients with cirrhosis. New England
Journal of Medicine, , 375.8: 767-777.
Groszmann RJ, Garcia-Tsao G, Bosch J, et al. 2005. Beta-blockers to prevent
gastroesophageal varices in patients with cirrhosis.N Engl J Med 2005; 353:
2254-61.
Hart CL, Morrison DS, Batty GD, Mitchell RJ, Smith GD. Effect of body mass index and
alcohol consumption on liver disease: analysis of data from two prospective
cohort studies. Bmj. 2010 Mar 12;340:c1240.
Hassan, M., El-Khattouti, A., Haikel, Y., & Megahed, M. (2014). Signaling pathways as
therapeutic target in tumor treatment. Vedic Research International Cell
Signaling, 2(1), 1. https://doi.org/10.14259/cs.v2i1.97
Krag A, Bendtsen F, Henriksen JH, M.ller S. 2010. Low cardiac output predicts
development of hepatorenal syndrome and survival in patients with cirrhosis
and ascites. Gut; 59: 105-10.
Krag A, Wiest R, Albillos A, Gluud LL. The window hypothesis: haemodynamic and non-
haemodynamic effects of β-blockers improve survival of patients with
cirrhosis during a window in the disease. Gut 2012; 61: 967-9.
Kusumobroto, H. “Sirosis Hati”. In : Noer, Sjaifoellah., et al., ed.2004 , Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Lebrec D, Poynard T, Hillon P, Benhamou J-P. Propranolol for prevention of recurrent
gastrointestinal bleeding in patients with cirrhosis — a controlled study. N
Engl J Med 1981; 305: 1371-4.
Llach J, Ginès P, Arroyo V, et al. Prognosticvalue of arterial pressure, endogenous
vasoactive systems, and renal function in cirrhotic patients admitted to the
hospital for the treatment of ascites. Gastroenterology 1988; 94: 482-7.
Mandorfer M, Bota S, Schwabl P, et al. 2014. Nonselective β blockers increase risk for
hepatorenal syndrome and death in patients with cirrhosis and spontaneous
bacterial peritonitis. Gastroenterology 2014; 146(7): 1680-90.e1.
Margarita, Inca Kolloh. 2018. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Sirosis Hepatis Di
Ruang Teratai RSUD PROF. Dr. W.Z. Johannes Kupang. Kupang : Politeknik
Kesehatan Kemenkes Kupang
Nurdjanah S. Sirosis hati. Dalam: Sudoyo WA, Setiyohadi B, Alwi I, et al, editor. 2007.
Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Edisi keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI,
Nurdjanah, S. Sirosis Hepatis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alvi I, Simadibrata MK,
Setiati S (eds). 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 5th ed. Jakarta;
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia. Page 668-
673.
O’Leary JG, Reddy KR, Wong F, et al. 2015. Long-term use of antibiotics and proton
pump inhibitors predict development of infections in patients with cirrhosis.
Clin Gastroenterol Hepatol; 13(4): 753-9.e1.
Pande Made Aditya Saskara dan IGA Suryadarma. 2012. Laporan Kasus: Sirosis Hepatis.
Bali:Universitas Udayana.
Pascal J-P, Cales P, Multicenter Study Group. 1987. Propranolol in the prevention of first
upper gastrointestinal tract hemorrhage in patients with cirrhosis of the liver
and esophageal varices. N Engl J Med; 317: 856-61
Pinzani, M., Rosselli, M., Zuckermann, M., & Surgeon, C. 2011. Best Practice &
Research Clinical Gastroenterology Liver cirrhosis. Best Practice & Research
Clinical
Gastroenterology,25(2),281-290.https://doi.org/10.1016/j.bpg.2011.02.009
Price S.A. 2006. Patofisiologi konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi VI. Jakarta:
EGC.
Purnomo, Eka, Djoko Wahyono, dan Dewa Putu Pramantara 2012, “Akibat Penggunaan
Obat Antihipertensi Portal terhadap Episode Kejadian HematemesisMelena
Pada Pasien Sirosis Hati Di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta”, Majalah
Farmasuetik, Volume 8(3): 208-213, Farmasi UGM, Yogyakarta.
Rezki, Putri Triananda., Akib, Yuswar., Robiyanto. 2017. Pola Penggunaan Obat-Obatan
Pada Pasien Sirosis Hati Rawat Inap Rsud Dr. Soedarso Pontianak.
Pontianak : Universitas Tanjungpura
Robiyanto., Jesica, Liana., Nera, Umilia Purwanti. 2019. Kejadian Obat-Obatan
Penginduksi Kerusakan Liver pada Pasien Sirosis Rawat Inap di RSUD Dokter
Soedarso Kalimantan Barat, J Sains Farm Klin 6(3),274–285
Rumack BH. 2002. Acetaminophen hepatotoxicity: the first 35 years. J Toxicol Clin
Toxicol; 40: 3-20.
Runyon BA. Management of Adult Patients with Ascites Due to Cirrhosis: Update 2012.
Am Assoc Study Liver Dis Pract Guidel. 2013:2087-2107.
Russo MW, Hoofnagle JH, Gu J, et al. 2014. Spectrum of statin hepatotoxicity: experience
of the Drug-Induced Liver Injury Network. Hepatology 2014; 60: 679-86.
Saskara, P. M. A., & Suryadarma, I. G. A. 2013. Laporan Kasus: Sirosis Hepatis. Bagian
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, 1-19.
Sersté T, Francoz C, Durand F, et al. 2011. Beta-blockers cause paracentesis-induced
circulatory dysfunction in patients with cirrhosis and refractory ascites: a
crossover study. J Hepatol; 55: 794-9.
Sersté T, Melot C, Francoz C, et al. 2010. Deleterious effects of beta-blockers on survival
in patients with cirrhosis and refractory ascites. Hepatology 2010; 52: 1017-
22.
Sersté T, Njimi H, Degré D, et al. 2015. The use of beta-blockers is associated with the
occurrence of acute kidney injury in severe alcoholic hepatitis. Liver Int; 35:
1974-82.
Setiawati, S., Alwi, S., Sudoyo, A.W., Simadibrata, M.K., Setiyohadi, B., dan Syam, A.F.
(2015). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI. Jakarta: Interna
Publishing.
Sherlock, S., & Dooley, J. 2002. Hepatic Cirrhosis in S. Sherlock and J. Dooley.Diseases
of the Liver and Biliary System 11th edition
Singh V, Dhungana SP, Singh B, et al. 2012. Midodrine in patients with cirrhosis and
refractory or recurrent ascites: a randomized pilot study. J Hepatol 2012; 56:
348-54.
Singh, et al. 2017. Randomized controlled trial comparing lactulose plus albumin versus
lactulose alone for treatment of hepatic encephalopathy. Journal of
gastroenterology and hepatology, 2017, 32.6: 1234-1239.
Smeltzer, S. C., Bare, B. G., 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner
&Suddarth. Vol. 2. E/8”, EGC, Jakarta.
Torres VE, Chapman AB, Devuyst O, et al. 2012. Tolvaptan in patients with autosomal
dominant polycystic kidney disease. N Engl J Med; 367: 2407-18.
Tsochatzis, E. A., Bosch, J., & Burroughs, A. K. 2014. Liver cirrhosis. The
Lancet,6736(14), 1-13. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(14)60121-5
Wong F, Watson H, Gerbes A, et al. Satavaptan for the management of ascites in cirrhosis:
efficacy and safety across the spectrum of ascites severity. Gut 2012; 61: 108-
16.
Zahri, Darni. 2019. Pelaksanaan Pengukuran Tanda Tanda Vital Pada Pasien Sirosis
Hepatis Untuk Mencegah Hipertensi Portal, Jurnal Ilmiah Keperawatan
Ortopedi Vol 3 (2) : 47-54.

Anda mungkin juga menyukai