PRAKTIKUM VI
SIROSIS HEPATIK
KELOMPOK 4
A3A
I. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui tatalaksana penyakit pada kasus ini (Farmakologi & Non-
Farmakologi).
2. Dapat menyelesaikan kasus secara mandiri dengan menggunakan metode
SOAP.
IV. KASUS
Pasien MKS, laki-laki, 64 tahun, Bali. Pekerjaan petani. Dibawa ke IRG dengan
keluhan utama merasakan tidak enak di bagian perut dan mengatakan perut membesar.
Pasien datang sadar dan diantar oleh keluarga ke IRD sebuah Rumah Sakit Umum pada
tanggal 12 Desember 2021 mengeluh perut membesar. Perutnya dikatakan membesar
secara perlahan pada seluruh bagian perut sejak 3 bulan sebelum masuk rumah sakit, dan
merasakan perut semakin membesar dan dirasakan semakin hari semakin membesar dan
bertambah tegang, namun keluhan perut membesar ini tidak sampai membuat pasien
sesak dan kesulitan bernapas. Pasien juga mengeluh nyeri pada ulu hati sejak 1 bulan
namun memberat sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri ulu hati dikatakan
seperti ditusuk-tusuk dan terus-menerus dirasakan oleh pasien sepanjang hari. Keluhan
nyeri juga disertai keluhan mual yang dirasakan hilang timbul namun dirasakan sepanjang
hari, dan muntah yang biasanya terjadi setelah makan. Pasien juga mengeluh lemas sejak
2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Keluhan lemas dikatakan dirasakan terus menerus
dan tidak menghilang walaupun pasien telah beristirahat. Keluhan ini dikatakan dirasakan
di seluruh bagian tubuh dan semakin memberat dari hari ke hari hingga akhirnya
seminggu sebelum masuk rumah sakit pasien tidak bisa melakukan aktivitas sehari-hari.
Selain itu, pasien juga mengeluh adanya bengkak pada kedua kaki sejak 6 minggu
sebelum masuk rumah sakit yang membuat pasien susah berjalan. Keluhan kaki bengkak
ini tidak disertai rasa nyeri dan kemerahan. Riwayat trauma pada kaki disangkal oleh
pasien. Pasien mengatakan bahwa buang air besarnya berwarna hitam seperti aspal
dengan konsistensi sedikit lunak sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit dengan
frekuensi 2 kali per hari dan volume kira-kira ½ gelas setiap buang air besar. Buang air
kecil dikatakan berwarna seperti teh sejak 1 minggu. sebelum masuk rumah sakit, dengan
frekuensi 4-5 kali per hari dan volumenya kurang lebih ½ gelas tiap kali kencing. Rasa
nyeri ketika buang air kecil disangkal oleh pasien. Pasien juga mengatakan bahwa kedua
matanya berwarna kuning sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit. Warna kuning ini
muncul perlahan-lahan. Riwayat kulit tubuh pasien menguning disangkal. Selain itu,
dikatakan pula bahwa beberapa hari terakhir, pasien merasa gelisah dan susah tidur di
malam hari. Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien dalam sakit sedang,
kesadaran kompos mentis, berat badan 69 kg, tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 92x per
menit, laju respirasi 20x per menit, dan suhu axilla 37 °C. Dari pemeriksaan penunjang
yang dilakukan untuk menunjang diagnosis pasien ini, didapatkan bilirubin total, bilirubin
direk, bilirubin indirek, SGOT, SGPT, BUN dan kreatinin pada pasien meningkat,
sedangkan albumin rendah. Pemeriksaan HbsAg dan anti HCV hasilnya nonreaktif. Dari
pemeriksaan USG abdomen didapatkan kesan pengecilan hepar dengan splenomegali
sesuai dengan gambaran sirosis hepatis, ascites, dan curiga nefritis bilateral. Dimana
penatalaksanaan pada pasien ini adalah masuk rumah sakit, diet cair (tanpa protein),
rendah garam, batasi cairan (1 lt/hari), infuse DS 10%: NS: Aminoleban= 1:1:1 → 20
tetes per menit, propanolol 2x10 mg, spironolacton 100 mg (pagi), furosemide 40 mg
(pagi), omeprazole 2x40 mg, sucralfat syr 3 X CI, asam folat 2 x II, lactulosa sirup 3xCI,
paramomycin 4x500 mg, lavement tiap 12 jam, transfusi albumin 20% 1 kolf/hari → s/d
albumin > 3 gr/dl, dan nebul ventolin bila mengalami sesak.
FIR
No FIR Jawaban
2. Apakah pasien memiliki riwayat alergi obat? Tidak ada riwayat alergi
obat
3. Apakah pasien mengalami konstipasi? Tidak
FORM SOAP
SUBJEKTIF
Pasien MKS, laki-laki, 64 tahun, Bali. Pekerjaan petani. Dibawa ke IRG
dengan keluhan utama merasakan tidak enak di bagian perut dan mengatakan
perut membesar, datang dalam keadaan sadar dan diantar oleh keluarga ke IRD
sebuah Rumah Sakit Umum pada tanggal 12 Desember 2021 mengeluh perut
membesar. Perutnya dikatakan membesar secara perlahan pada seluruh bagian
perut sejak 3 bulan sebelum masuk rumah sakit, dan merasakan perut semakin
membesar dan dirasakan semakin hari semakin membesar dan bertambah tegang,
namun keluhan perut membesar ini tidak sampai membuat pasien sesak dan
kesulitan bernapas. Pasien juga mengeluh nyeri pada ulu hati sejak 1 bulan namun
memberat sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri ulu hati dikatakan
seperti ditusuk-tusuk dan terus-menerus dirasakan oleh pasien sepanjang hari.
Keluhan nyeri juga disertai keluhan mual yang dirasakan hilang timbul namun
dirasakan sepanjang hari, dan muntah yang biasanya terjadi setelah makan. Pasien
juga mengeluh lemas sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Keluhan lemas
dikatakan dirasakan terus menerus dan tidak menghilang walaupun pasien telah
beristirahat. Keluhan ini dikatakan dirasakan di seluruh bagian tubuh dan semakin
memberat dari hari ke hari hingga akhirnya seminggu sebelum masuk rumah sakit
pasien tidak bisa melakukan aktivitas sehari-hari. Selain itu, pasien juga mengeluh
adanya bengkak pada kedua kaki sejak 6 minggu sebelum masuk rumah sakit
yang membuat pasien susah berjalan. Pasien mengatakan bahwa buang air
besarnya berwarna hitam seperti aspal dengan konsistensi sedikit lunak sejak 1
minggu sebelum masuk rumah sakit dengan frekuensi 2 kali per hari dan volume
kira-kira 1⁄2 gelas setiap buang air besar. Buang air kecil dikatakan berwarna
seperti teh sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, dengan frekuensi 4-5 kali
per hari dan volumenya kurang lebih 1⁄2 gelas tiap kali kencing. Pasien juga
mengatakan bahwa kedua matanya berwarna kuning sejak 1 bulan sebelum masuk
rumah sakit. Warna kuning ini muncul perlahan-lahan. Selain itu, dikatakan
beberapa hari terakhir, pasien merasa gelisah dan susah tidur di malam hari.
OBJEKTIF
Berat Badan : 69 Kg
Tinggi Badan : - cm
ASSESSEMENT
PLAN :
1. Pemberian terapi kombinasi NaCl 0,9%, dekstrosa 10%, dan aminoleban
dengan jumlah 20 tetesan per menit
2. Pemberian kombinasi terapi diuretik Spironolakton 100mg 1x1 (pagi) dan
Furosemide 40mg 1x1 (pagi)
3. Pemberian terapi Paromycin 4x500mg, Laktulosa 3xCIpada komplikasi
ensepalopati hepatikum untuk menghentikan progresifitas dan untuk
mengurangi jumlah produksi ammonia di saluran cerna
4. Pemberian terapi Omeprazole 2x40mg, Sucralfat 3xCI untuk melindungi
mukosa lambung agar tidak terjadi pendarahan akibat erosi gastropati
hipertensi porta
5. Pemberian terapi Proponolol 2x10mg untuk menghindari terjadinya
pendarahan saluran cerna akibat pecahnya varises
6. Pemberian terapi Asam folat 2Xii sebagai terapi penunjang pada pasien
penyakit hati
MONITORING
Efektivitas obat :
1. Respon diuretik dapat dimonitor dengan penurunan berat badan0,5kg/hari
tanpa edema kaki atau 1kg/hari dengan edema kaki.
2. Kontrol pasien yang teratur pada fase dini diharapkan dapat
memperpanjang status kompensasi dalam jangka panjang dan mencegah
timbulnya komplikasi.
Efek Samping :
1. NaCl 0,9%, dekstrosa 10%, dan 16 aminoleban : Memiliki risiko
terjadinya overload (kelebihan cairan)
2. Spironolactone : Pusing, sakit kepala, mual, muntah, diare
3. Furosemide : Pusing, vertigo, mual dan muntah, diare
4. Paromycin : Diare, mual atau muntah, nyeri perut atau kram perut, hilang
nafsu makan, dan heartburn
5. Laktulosa : Kembung, mual, muntah, dan kram perut
6. Omeprazole : Nyeri perut dan sakit kepala
7. Sucralfat : konstipasi, sakit kepala, mulut kering, pusing, diare, dan
insomnia
8. Proponolol : Konstipasi, diare, dan Lelah yang berlebihan
9. Asam Folat : Mual, kehilangan nafsu makan, kembung, rasa pahit atau
tidak enak di mulut, gangguan tidur, dan perubahan mood
V. PEMBAHASAN
Sirosis hepatis merupakan suatu keadaan patologis yang menggambarkan fibrosis
jaringan parenkim hati tahap akhir, yang ditandai dengan pembentukan nodul regeneratif
yang dapat mengganggu fungsi hati dan aliran darah hati. Sirosis adalah konsekuensi dari
respon penyembuhan luka yang terjadi terus-menerus dari penyakit hati kronis yang
diakibatkan oleh berbagai sebab Akibat dari sirosis hati, maka akan terjadi 2 kelainan
yang fundamental yaitu kegagalan fungsi hati dan hipertensi porta. Manifestasi dari
gejala dan tanda-tanda klinis ini pada penderita sirosis hati ditentukan oleh seberapa
berat kelainan fundamental tersebut. Kegagalan fungsi hati akan ditemukan dikarenakan
terjadinya perubahan pada jaringan parenkim hati menjadi jaringan fibrotik dan
penurunan perfusi jaringan hati sehingga mengakibatkan nekrosis pada hati (Saskara dan
Suryadarma, 2013).
Penatalaksanaan kasus sirosis hepatis dipengaruhi oleh etiologi dari sirosis hepatis.
Terapi yang diberikan bertujuan untuk mengurangi progresifitas dari penyakit.
Menghindarkan bahan-bahan yang dapat menambah kerusakaan hati, pencegahan dan
penanganan komplikasi merupakan prinsip dasar penanganan kasus sirosis (Nurdjanah,
2009). Prinsip penanganan pada pasien ini adalah mengurangi progesifitas penyakit,
menghindarkan dari bahan-bahan yang dapat merusak hati, pencegahan, serta
penanganan komplikasi. Pengobatan pada sirosis hati dekompensata diberikan sesuai
dengan komplikasi yang terjadi.
Pemberian terapi diuretik berupa Spironolakton 100mg 1x1 dan Furosemide 40mg
1x1 pada pagi hari. Kombinasi pemberian terapi spironolakton dan furosemida dapat
menurunkan dan menghilangkan asites pada sebagian besar pasien.Pada sebuah penelitian
menyimpulkan bahwa kombinasi antagonis aldosteron dan furosemid memberikan hasil
yang adekuat pada pasien asites.Spironolakton merupakan antagonis aldosteron yang
bekerja di tubulus distal untuk meningkatkan natriuresis dan mempertahankan
kalium.Spironolakton merupakan pilihan utama saat memulai terapi asites pada
sirosis.Dosis awal 100 mg dapat dinaikkan bertahap sampai 400 mg untuk mencapai
natriuresis yang adekuat. Efek natriuresis akan muncul 3-5 hari setelah penggunaan
spironolakton. Furosemid merupakan loop diuretik, dosis awal 40 mg/hari dan dinaikkan
setiap 2-3 hari mencapai dosis 160 mg/hari (Runyon, 2013).
Pada pasien sirosis hati dengan ascites, target penggunaan diuretik ini adalah
tercapainya balance cairan negatif, yaitu output cairan yang lebih besar dibandingkan
input cairan. Target minimal yang ingin dicapai adalah -500 cc/hari. Diharapkan target
diuretik dalam menurunkan berat badan 0,5-1 kg/hari sebanding dengan berkurangnya
volume cairan 0,5-1 L/hari (Runyon, 2013). Regimen dosis kombinasi diuretik yang
direkomendasikan American Association for the Study of Liver Diseases (AASLD)
adalah spironolakton 100 mg/hari dan furosemid 40 mg/hari. Jika dengan dosis tersebut
pasien belum menunjukkan penurunan berat badan harian dan natriuresis yang cukup,
maka dapat dilakukan peningkatan dosis tiap 3- 5 hari dengan dosis maksimum
spironolakton 400 mg/hari dan furosemid 160 mg/hari (EASL, 2010).
Pemberian paramomycin 4x500 mg dan laktulosa 3xCI, pada pasien ini, ditemukan
perdarahan saluran cerna yang ditunjukkan dengan melena sehingga dilakukan beberapa
terapi diantaranya adalah kumbah lambung dengan air dingin tiap 4 jam, kemudian
dipantau warna dan isi kurasan lambungnya, kemudian dilakukan sterilisasi usus dengan
pemberian paramomycin 4x500 mg.Sementara itu, komplikasi ensepalopati hepatikum
ditangani upaya menghentikan progresifitas dengan pemberian paramomycin 4x500 mg
dan laktulosa 3xCI seperti yang telah dijelaskan diatas untuk mengurangi jumlah produksi
amonia di saluran cerna. (Pande Made A and Suryadarma, 2012). Antibiotik dapat
menurunkan produksi amonia dengan menekan pertumbuhanbakteri yang bertanggung
jawab menghasilkan amonia, sebagai salah satufaktor presipitasi EH. Selain itu antibiotik
juga memiliki efek antiinflamasi dan downregulation aktivitas glutaminase. Antibiotik
yang menjadi pilihan saat ini adalah rifaximin, berspektrum luas dan diserap secara
minimal. Dosis yang diberikan adalah 2 x 550 mg dengan lama pengobatan 3-6 bulan.
Rifaximin dipilih untuk menggantikan antibiotik yang telah digunakan pada pengobatan
HE sebelumnya, yaitu neomycin, metronidazole, paromomycin, dan vancomycin oral
karena rifaximin memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan antibiotik
lainnya (Hasanet al, 2014).
Terapi utama pada hepatik ensefalopati adalah laktulosa yang beperan dalam proses
asidifikasi kolon, berkontribusi dalam mempercepat eliminasi produkproduk nitrogen di
usus yang merupakan penyebab terjadinya HE. Laktulosa oral untuk terapi hepatik
ensefalopati akut diberikan dalam dosis 30 ml tiga sampai empat kali sehari yang dititrasi
untuk menghasilkan dua sampai tiga kali tinja per hari. Jika diberikan secara rektal
misalnya pada keadaan pasien yang sulit menelan, dosis laktulosa adalah 300 ml dalam
700 ml saline atau sorbitol sebagai enema retensi untuk 30-60 menit. Dapat diulang tiap
4-6 jam (Alhamid, 2019) . Laktulosa memiliki beberapa efek samping seperti mual,
muntah, kembung, kram abdominal, flatulence dan diare. Singh et al (2017) melakukan
penelitian dengan membandingkan gejala gangguan tidur pada pasien sirosis dengan
Minimal Hepatic Encephalophaty (MHE) sebelum dan sesudah terapi laktulosa. Setelah
terapi laktulosa selama 3 bulan, parameter tidur menunjukkan adanya perbaikan yang
signifikan.
Obat saluran pencernaan sering diberikan kepada pasien sirosis hati, bertujuan untuk
mencegah komplikasi pada pasien dengan varises lambung atau perdarahan lambung.
Sirosis hati dengan tukak lambung dapat meningkatkan prevalensi ulkus peptikum dan
risiko perdarahan lambung (David dan Alexander, 2016). Pemberian obat-obatan
pelindung mukosa lambung seperti Omeprazole 2x40 mg dan sucralfat 3xCI dilakukan
agar tidak terjadi perdarahan akibat erosi gastropati hipertensi porta.
Pemberian sucralfat 3xCI dilakukan agar tidak terjadi perdarahan akibat erosi
gastropati hipertensi porta.Sukralfat bekerja melalui pelepasan kutub aluminium
hidroksida yang berikatan dengan kutub positif molekul protein membentuk lapisan
fisikokemikal pada dasar tukak, yang melindungi tukak dari pengaruh asam dan pepsin.
Efek lainnya adalah membantu sintesa prostaglandin, menambah sekresi bikarbonat dan
mukus, sehingga meiningkatkan daya pertahanan dan perbaikan mukosal (Setiawati,
2015).
Pemberian terapi Propanolol dengan dosis 2x10 mg pada pasien dengan tujuan untuk
menghindari terjadinya perdarahan saluran cerna akibat pecahnya varises. Propranolol
banyak digunakan pada pasien sirosis hati dengan komplikasi hipertensi porta.Menurut
penelitian Purnomo, dkk (2012) tekanan dinding varises merupakan faktor utama yang
menentukan rupturnya varises.Berdasarkan resiko perdarahan varises pada pasien sirosis
hati dengan hipertensi porta yang dapat menyebabkan kematian maka penggunaan
propranolol diharapkan dapat menekan angka kejadian perdarahan varises.Pemberian
terapi Propranolol secara oral dapat menurunkan tekanan portal pada pasien sirosis hati,
dalam jangka panjang dapat menurunkan resiko perdarahan dan memperbaiki ketahanan
hidup pasien pada sirosis hati (Kusumobroto, 2004).
Pemberian Asam folat 2 x II, pembeian multivitamin dan mineral digunakan sebagai
terapi penunjang pada pasien penyakit hati. Biasanya penyakit hati menimbulkan gejala
seperti malaise, lemah dan lain-lain sehingga pasien memerlukan suplemen vitamin dan
mineral. Penggunaan multivitamin dan mineral pada pasien sirosis hati diantaranya yaitu
asam folat. (Rezki, 2017). Asam folat pada dosis normal atau terlalu tinggi tidak
menyebabkan cedera hepar atau kelainan fungsi hepar. Penggunaan asam folat dosis
tinggi (hingga 15 mg setiap hari) belum dikaitkan dengan efek samping yang cukup besar
peningkatan ALT atau hepatotoksisitas. Asam folat disimpan di hepar tetapi
dimetabolisme di banyak jaringan dan tidak memiliki efek pada sistem enzim mikrosom
hepar. (Robiyanto, 2019).
Terapi non farmakologi yang dapat direkomendasikan untuk pasien ini adalah diet
cair tanpa protein, rendah garam, serta pembatasan jumlah cairan kurang lebih 1 liter per
hari. Jumlah kalori harian dapat diberikan sebanyak 2000- 3000 kkal/hari. Diet protein
tidak diberikan pada pasien ini karena pasien sempat mengalami ensepalopati hepatikum,
sehingga pemberian protein yang dapat dipecah menjadi amonia di dalam tubuh
dikurangi. Pembatasan pemberian garam juga dilakukan agar gejala ascites yang dialami
pasein tidak memberat. Diet cair diberikan karena pasien mengalami perdarahan saluran
cerna. Hal ini dilakukan karena salah satu faktor resiko yang dapat menyebabkan
pecahnya varises adalah makanan yang keras dan mengandung banyak serat (Saskara dan
Suryadarma, 2013).
DAFTAR PUSTAKA
Alhamid, S. 2019. Studi Penggunaan Laktulosa pada Pasien Sirosis Hati dengan Hepatik
Ensefalopati. Universitas Muhammadiyah Malang
Angeli P, Volpin R, Gerunda G, et al. 1999. Reversal of type 1 hepatorenal syndrome with
the administration of midodrine and octreotide. Hepatology 1999; 29: 1690-7.
Bader T. 2010. The myth of statin-induced hepatotoxicity. Am J Gastroenterol; 105: 978-
80.
David J.G dan Alexander C.F., 2016, The Possible Risks of Proton Pump Inhibitors, Med
J. Aust, 205(7):292-293.
De Franchis R. 2015. Expanding consensus in portal hypertension: report of the Baveno
VI Consensus Workshop: stratifying risk and individualizing care for portal
hypertension. J Hepatol; 63: 743-52.
European Association for the Study of the Liver. EASL: clinical practice guidelines on the
management of ascites. spontaneous bacterial peritonitis, and hepatorenal
syndrome in cirrhosis. J Hepatol.2010:53:397-417
Ganiswara, S., 2007, Bagian Farmakologi dan Terapi, edisi kelima, Bagian Farmakologi
FKUI, Jakarta, Universitas Indonesia Press.
Ge PS, Runyon BA.2014. The changing role of beta-blocker therapy in patients with
cirrhosis. J Hepatol; 60: 643-53.
Ge, Phillip S.; Ruyon, Bruce A.2016. Treatment of patients with cirrhosis. New England
Journal of Medicine, , 375.8: 767-777.
Groszmann RJ, Garcia-Tsao G, Bosch J, et al. 2005. Beta-blockers to prevent
gastroesophageal varices in patients with cirrhosis.N Engl J Med 2005; 353:
2254-61.
Hart CL, Morrison DS, Batty GD, Mitchell RJ, Smith GD. Effect of body mass index and
alcohol consumption on liver disease: analysis of data from two prospective
cohort studies. Bmj. 2010 Mar 12;340:c1240.
Hassan, M., El-Khattouti, A., Haikel, Y., & Megahed, M. (2014). Signaling pathways as
therapeutic target in tumor treatment. Vedic Research International Cell
Signaling, 2(1), 1. https://doi.org/10.14259/cs.v2i1.97
Krag A, Bendtsen F, Henriksen JH, M.ller S. 2010. Low cardiac output predicts
development of hepatorenal syndrome and survival in patients with cirrhosis
and ascites. Gut; 59: 105-10.
Krag A, Wiest R, Albillos A, Gluud LL. The window hypothesis: haemodynamic and non-
haemodynamic effects of β-blockers improve survival of patients with
cirrhosis during a window in the disease. Gut 2012; 61: 967-9.
Kusumobroto, H. “Sirosis Hati”. In : Noer, Sjaifoellah., et al., ed.2004 , Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Lebrec D, Poynard T, Hillon P, Benhamou J-P. Propranolol for prevention of recurrent
gastrointestinal bleeding in patients with cirrhosis — a controlled study. N
Engl J Med 1981; 305: 1371-4.
Llach J, Ginès P, Arroyo V, et al. Prognosticvalue of arterial pressure, endogenous
vasoactive systems, and renal function in cirrhotic patients admitted to the
hospital for the treatment of ascites. Gastroenterology 1988; 94: 482-7.
Mandorfer M, Bota S, Schwabl P, et al. 2014. Nonselective β blockers increase risk for
hepatorenal syndrome and death in patients with cirrhosis and spontaneous
bacterial peritonitis. Gastroenterology 2014; 146(7): 1680-90.e1.
Margarita, Inca Kolloh. 2018. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Sirosis Hepatis Di
Ruang Teratai RSUD PROF. Dr. W.Z. Johannes Kupang. Kupang : Politeknik
Kesehatan Kemenkes Kupang
Nurdjanah S. Sirosis hati. Dalam: Sudoyo WA, Setiyohadi B, Alwi I, et al, editor. 2007.
Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Edisi keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI,
Nurdjanah, S. Sirosis Hepatis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alvi I, Simadibrata MK,
Setiati S (eds). 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 5th ed. Jakarta;
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia. Page 668-
673.
O’Leary JG, Reddy KR, Wong F, et al. 2015. Long-term use of antibiotics and proton
pump inhibitors predict development of infections in patients with cirrhosis.
Clin Gastroenterol Hepatol; 13(4): 753-9.e1.
Pande Made Aditya Saskara dan IGA Suryadarma. 2012. Laporan Kasus: Sirosis Hepatis.
Bali:Universitas Udayana.
Pascal J-P, Cales P, Multicenter Study Group. 1987. Propranolol in the prevention of first
upper gastrointestinal tract hemorrhage in patients with cirrhosis of the liver
and esophageal varices. N Engl J Med; 317: 856-61
Pinzani, M., Rosselli, M., Zuckermann, M., & Surgeon, C. 2011. Best Practice &
Research Clinical Gastroenterology Liver cirrhosis. Best Practice & Research
Clinical
Gastroenterology,25(2),281-290.https://doi.org/10.1016/j.bpg.2011.02.009
Price S.A. 2006. Patofisiologi konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi VI. Jakarta:
EGC.
Purnomo, Eka, Djoko Wahyono, dan Dewa Putu Pramantara 2012, “Akibat Penggunaan
Obat Antihipertensi Portal terhadap Episode Kejadian HematemesisMelena
Pada Pasien Sirosis Hati Di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta”, Majalah
Farmasuetik, Volume 8(3): 208-213, Farmasi UGM, Yogyakarta.
Rezki, Putri Triananda., Akib, Yuswar., Robiyanto. 2017. Pola Penggunaan Obat-Obatan
Pada Pasien Sirosis Hati Rawat Inap Rsud Dr. Soedarso Pontianak.
Pontianak : Universitas Tanjungpura
Robiyanto., Jesica, Liana., Nera, Umilia Purwanti. 2019. Kejadian Obat-Obatan
Penginduksi Kerusakan Liver pada Pasien Sirosis Rawat Inap di RSUD Dokter
Soedarso Kalimantan Barat, J Sains Farm Klin 6(3),274–285
Rumack BH. 2002. Acetaminophen hepatotoxicity: the first 35 years. J Toxicol Clin
Toxicol; 40: 3-20.
Runyon BA. Management of Adult Patients with Ascites Due to Cirrhosis: Update 2012.
Am Assoc Study Liver Dis Pract Guidel. 2013:2087-2107.
Russo MW, Hoofnagle JH, Gu J, et al. 2014. Spectrum of statin hepatotoxicity: experience
of the Drug-Induced Liver Injury Network. Hepatology 2014; 60: 679-86.
Saskara, P. M. A., & Suryadarma, I. G. A. 2013. Laporan Kasus: Sirosis Hepatis. Bagian
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, 1-19.
Sersté T, Francoz C, Durand F, et al. 2011. Beta-blockers cause paracentesis-induced
circulatory dysfunction in patients with cirrhosis and refractory ascites: a
crossover study. J Hepatol; 55: 794-9.
Sersté T, Melot C, Francoz C, et al. 2010. Deleterious effects of beta-blockers on survival
in patients with cirrhosis and refractory ascites. Hepatology 2010; 52: 1017-
22.
Sersté T, Njimi H, Degré D, et al. 2015. The use of beta-blockers is associated with the
occurrence of acute kidney injury in severe alcoholic hepatitis. Liver Int; 35:
1974-82.
Setiawati, S., Alwi, S., Sudoyo, A.W., Simadibrata, M.K., Setiyohadi, B., dan Syam, A.F.
(2015). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI. Jakarta: Interna
Publishing.
Sherlock, S., & Dooley, J. 2002. Hepatic Cirrhosis in S. Sherlock and J. Dooley.Diseases
of the Liver and Biliary System 11th edition
Singh V, Dhungana SP, Singh B, et al. 2012. Midodrine in patients with cirrhosis and
refractory or recurrent ascites: a randomized pilot study. J Hepatol 2012; 56:
348-54.
Singh, et al. 2017. Randomized controlled trial comparing lactulose plus albumin versus
lactulose alone for treatment of hepatic encephalopathy. Journal of
gastroenterology and hepatology, 2017, 32.6: 1234-1239.
Smeltzer, S. C., Bare, B. G., 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner
&Suddarth. Vol. 2. E/8”, EGC, Jakarta.
Torres VE, Chapman AB, Devuyst O, et al. 2012. Tolvaptan in patients with autosomal
dominant polycystic kidney disease. N Engl J Med; 367: 2407-18.
Tsochatzis, E. A., Bosch, J., & Burroughs, A. K. 2014. Liver cirrhosis. The
Lancet,6736(14), 1-13. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(14)60121-5
Wong F, Watson H, Gerbes A, et al. Satavaptan for the management of ascites in cirrhosis:
efficacy and safety across the spectrum of ascites severity. Gut 2012; 61: 108-
16.
Zahri, Darni. 2019. Pelaksanaan Pengukuran Tanda Tanda Vital Pada Pasien Sirosis
Hepatis Untuk Mencegah Hipertensi Portal, Jurnal Ilmiah Keperawatan
Ortopedi Vol 3 (2) : 47-54.