Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PENDAHULUAN

SIROSIS HEPATIS

DISUSUN OLEH:

RESTI PRASTICIA

D0023051

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS BHAMADA SLAWI

2023/2024
TINJAUAN TEORI (LAPORAN PENDAHULUAN)

1. Definisi
Sirosis hepatis adalah penyakit hati menahun yang ditandai dengan adanya pembentukan
jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan proses peradangan, nekrosis sel hati
yang luas, pembentukan jaringan parut dan usaha regenerasi nodul, sehingga
menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro sel hepar tidak teratur akibat
penambahan jaringan parut dan nodul tersebut (Smeltzer & Bare, 2004). Sirosis hepatis
adalah penyakit kronis yang dicirikan dengan penggantian jaringan hati dermal dengan
fibrosis yang menyebar dan mengganggu struktur dan fungsi hati. Sirosis atau jaringan
parut pada hati, dibagi menjadi tiga jenis yaitu alkoholik, paling sering disebabkan oleh
alkoholik kronis, jenis sirosis yang paling umum; pasca nekrotik, akibat hepatis virus
akut sebelumnya; dan biliter, akibat obstruksi bilier kronis dan infeksi (Smeltzer & Bare,
2013).

Cedera pada struktur seluler dari hati menyebabkan fibrosis terkait dengan radang kronis
dan perubahan necrotic menghasilkan sirosis (Digiulio & Donna Jackson, 2014). Sirosis
hepatis adalah penyakit kronik yang ditandai oleh distorsi susunan hati nomal oleh pita-
pita jaringan penyambung dan oleh nodul-nodul sel hati yang mengalami regenerasi yang
tidaj berhubungan dengan susunan normal (Anderson, 2001). Sirosis Hepatis merupakan
penyakit hati menahun ditandai adanya pembentukan jaringan parut disertai nodul.
Biasanya dimulai dengan proses peradangan, nekrosis sel hati yang luas, 9 pembentukan
jaringan parut dan usaha regenerasi nodul, sehingga menimbulkan perubahan sirkulasi
mikro dan makro sel hepar tidak teratur (Nugroho, 2011).

Sirosis adalah penyakit kronis yang dicirikan dengan penggantian jaringan hati normal
dengan fibrosis yang menyebar, yang mengganggu struktur dan fungsi hati. Sirosis, atau
jaringan parut pada hati, dibagi menjadi tiga jenis: alkoholik, paling sering disebabkan
oleh alkoholisme kronis, dan jenis sirosis yang paling umum,; paskanekrotik, akibat
hepatitis virus akut sebelumnya; dan bilierm akibat obstruksi bilier kronis dan infeksi
(jenis sirosis yang paling jarang terjadi) (Brunnerd & Suddart, 2013). Sirosis adalah suatu
kondisi di mana jaringan hati yang digantikan oleh jaringan parut (fibrosis) yang
terbentuk melalui proses bertahap. Jaringan parut ini mempengaruhi stuktur normal dan
regenerasi sel-sel hati. Sel-sel hati menjadi rusak dan mati sehingga hati secara bertahap
kehilangan fungsinya.

2. Etiologi
Penyebab sirosis hepatis belum teridentifikasi dengan jelas, meskipun demikian, Menurut
Black & Hawks, 2009 ada beberapa faktor yang menyebabkan sirosis hepatis yaitu:
a. Sirosis Pascanekrosis (Makronodular) Merupakan bentuk paling umum di seluruh
dunia.Kehilangan masif sel hati, dengan pola regenerasi sel tidak teratur. Faktor yang
menyebabkan sirosis ini pasca- akut hepatitis virus (tipe B dan C).
b. Sirosis Billier Merupakan turunnya aliran empedu bersamaan dengan kerusakan sel
hepatosit disekitar duktus empedu seperti dengan kolestasis atau obstruksi duktus
empedu.
c. Sirosis Kardiak Merupakan penyakit hati kronis terkait dengan gagal jantung sisi kanan
jangka panjang, seperti atrioventrikular perikarditis konstriktif lama.
d. Sirosis Alkoholik (mikronodular Laenec) Merupakan bentuk nodul kecil akibat
beberapa agen yang melukai terusmenerusterkait dengan penyalahgunaan alcohol.

3. Patofisiologi
Menurut Black & Hawks tahun 2009 sirosis adalah tahap akhir pada banyak tipe cedera
hati. Sirosis hati biasanya memiliki konsistensi noduler, dengan berkas fibrosis (jaringan
parut) dan daerah kecil jaringan regenerasi. Terdapat kerusakan luas hepatosit. Perubahan
bentuk hati merubah aliran sistem vaskuler dan limfatik serta jalur duktus empedu.

Periode eksaserbasi ditandai dengan stasis empedu, endapan jauundisInfeksi hepatitis


viral tipe B/C menimbulkan peradangan sel hati. Peradangan ini menyebabkan nekrosis
meliputi daerah yang luas (hepatoseluler), terjadi kolaps lobulus hati dan ini memacu
timbulnya jaringan parut disertai terbentuknya septa fibrosa difus dan nodul sel hati,
walaupun etiologinya berbeda, gambaran histologi sirosis hati sama atau hampir sama,
septa bisa dibentuk dari sel retikulum penyangga yang kolaps dan berubah jadi parut.

Jaringan parut ini dapat menghubungkan daerah porta dengan sentral. Beberapa sel
tumbuh kembali dan membentuk nodul dengan berbagai macam ukuran dan ini
menyebabkan distorsi percabangan pembuluh hepatik dan gangguan aliran darah porta,
dan menimbulkan hipertensi portal. Hal demikian dapat pula terjadi pada sirosis
alkoholik tapi prosesnya lebih lama.

Tahap berikutnya terjadi peradangan pada nekrosis pada sel duktules, sinusoid, retikulo
endotel, terjadi fibrinogenesis dan septa aktif. Jaringan kolagen berubah dari 12
reversible menjadi ireversibel bila telah terbentuk septa permanen yang aseluler pada
daerah porta dan parenkim hati.

Gambaran septa ini bergantung pada etiologi sirosis. Pada sirosis dengan etiologi
hemokromatosis, besi mengakibatkan fibrosis daerah periportal, pada sirosis alkoholik
timbul fibrosis daerah sentral. Sel limposit T dan makrofag menghasilkan limfokin dan
monokin, mungkin sebagai mediator timbulnya fibrinogen. Mediator ini tidak
memerlukan peradangan dan nekrosis aktif. Septal aktif ini berasal dari daerah porta
menyebar ke parenkim hati.
4. Pathway

5. Manifestasi klinis
1) Mimisan Sirosis terkompensasi: biasanya ditemukan secara sekunder dari pemeriksaan
fisik rutin, gejala samar.
2) Sirosis terdekompensasi: gejala penurunan protein, faktor pembekuan dan zat lain serta
manifestasi hipertensi porta.
3) Pembesaran hati di awal penyakit (hati berlemak) pada penyakit lanjut, ukuran hati
berkurang akibat jaringan parut.
4) Obstruksi asites portal: organ menjadi tempat bagi kongesti pasif kronis terjadi
dyspepsia dan perubahan fungsi usus.
5) Infeksi dan peritonit: tanda klinis mungkin tidak ada, diperlukan tindakan parasentesis
untuk menegakkan diagnosis.
6) Varises Gastrointestinal: pembuluh darah abdomen terdistensi dan menonjol pembuluh
darah disepanjang saluran GI terdistensi varises hemoroid hemoragi dari lambung.
7) Edema.
8) Defisiensi vitamin (A, C dan K) dan anemia
9) Perburukan mental diikuti dengan ensefalopati hepatic dan koma hepatik (Brunner &
Suddart, 2013).
10) Eritema Palmaris
11) Spider Angioma
12) Jaundis
(Black & Hawks 2009)

6. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium pada sirosis hati meliputi:
1. kadar Hb yang rendah (anemia), jumlah sel darah putih menurun (leukopenia), dan
trombositopenia.
2. Peningkatan SGOT dan SGPT dan gamma GT akibat kebocoran dari sel- sel yang
rusak. Namun tidak meningkat pada inaktif.
3. Kadar albumin rendah terjadi bila kemampuan sel hati menurun.
4. Masa protrombin yang memanjang menandakan penurunan fungsi hati.
5. Pada sirosis fase lanjut glukosa yang tinggi menandakan kietidakmampuan sel hati
membentuk glikogen.
6. pemeriksaan marker serologi pertanda virus untuk menentukan penyebab sirosis hati
seperi HBsAg, HBeAg, HBV-DNA, HCV-RNA, dan sebagainya.
7. Pemeriksaan alfa feto protein (AFP). Bila terus meninggi atau >500-1.000 berarti telah
terjadi transformasi kearah keganasan yaitu terjadinya kanker hati primer (hepatoma).
Jika pasien dicurigai menderita sirosis hati, maka akan dilakukan pemeriksaan fisik untuk
mengetahui adanya pembesaran hati dan penumpukan cairan (asites dan edema).
Kecurigaan sirosis terutama muncul jika pasien mengalami gejala dan beriwayat
meminum alcohol berat atau terkena hepatitis kronis. Pemeriksaan darah dapat
mengkonfirmasi kegagalan fungsi hati.
8. Pemeriksaan penunjang lainnya adalah USG dapat menunjukkan apakah ada kerusakan
hati. Untuk mengkonfirmasi, biopsy (sampel kecil) dari hati dapat diambil untuk dilihat
dibawah mikrosko. Jika penyebab sirosis tidak jelas, maka pemeriksaan lebih lanjut dapat
dilakukan untuk memperjelas penyebabnya. Misalnya dengan pemeriksaan antibody
virus hepatitis atau autoantibody yang mungkin telah menyerang sel- sel hati, kelebihan
vzat besi atau 17 tembaga di dalam darah. Scan CT atau MRI dilakukan untuk mengkaji
ukuran hepar, derajat obstruksi dan aliran darah hepatic.

7. Penatalaksanaan
Istirahat di tempat tidur sampai terdapat perbaikan ikterus, asites, dan demam. Diet
rendah protein (diet hati III protein 1gr/kg BB, 55 gr protein, 2.000 kalori). Bila ada
asites diberikan diet rendah garam II (600-800 mg) atau III (1.000-2000 mg). Bila proses
tidak aktif diperlukan diet tinggi kalori (2.000-3000 kalori) dan tinggi protein (80-125
gr/hari). Bila ada tanda-tanda prekoma atau koma hepatikum, jumlah protein dalam
makanan dihentikan (diet hati II) untuk kemudian diberikan kembali sedikit demi sedikit
sesuai toleransi dan kebutuhan tubuh. Pemberian protein yang melebihi kemampuan
pasien atau meningginya hasil metabolisme protein, dalam darah viseral dapat
mengakibatkan timbulnya koma hepatikum. Diet yang baik dengan protein yang cukup
perlu diperhatikan.

Mengatasi infeksi dengan antibiotik diusahakan memakai obat-obatan yang jelas tidak
hepatotoksik. Memperbaiki keadaan gizi bila perlu dengan pemberian asam amino
esensial berantai cabang dengan glukosa. Roboransia vitamin B compleks. Dilarang
makan dan minum bahan yang mengandung alkohol. Istirahat dan diet rendah garam.
Dengan istirahat dan diet rendah garam (200-500 mg perhari), kadang-kadang asitesis
dan edema telah dapat diatasi. Adakalanya harus dibantu dengan membatasi jumlah
pemasukan cairan selama 24 jam, hanya sampai 1 liter atau kurang. Bila dengan istirahat
dan diet tidak dapat diatasi, diberikan pengobatan diuretik berupa spironolakton 50-100
mg/hari (awal) dan dapat ditingkatkan sampai 300 mg/hari bila setelah 3-4 hari tidak
terdapat perubahan.

Bila terjadi asites refrakter (asites yang tidak dapat dikendalikan dengan terapi
medikamentosa yang intensif), dilakukan terapi parasentesis.. Pada umunya parasentesis
aman apabila disertai dengan infus albumin sebanyak 6-8 gr untuk setiap liter cairan
asites. Selain albumin dapat pula digunakan dekstran 70%. Walaupun demikian untuk
mencegah pembentukan asites setelah parasentesis, pengaturan diet rendah garam dan
diuretik biasanya tetap diperlukan. Pengendalian cairan asites. Diharapkan terjadi
penurunan berat badan 1 kg/hari. Hati-hati bila cairan terlalu banyak dikeluarkan dalam
suatu saat, dapat mencetuskan ensefalopati hepatik.

8. Diagnosa keperawatan
Terdapat beberapa diagosis menurut Marilynn E. Doenges (2000) yang berhubungan
dengan masalah, di antaranya:
1. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan tidak mampuan
mengabsorbsi nutrisi
2. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi
(malnutrisi)

Terdapat beberapa diagosis menurut SDKI (2017) yang berhubungan dengan masalah, di
antaranya:
1. ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan tidak mampu
mengabsorbsi nutrisi ditandai dengan berat badan menurun, cepat merasa kenyang
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspensi paru, ansietas di
tandai dengan dipsnea, ortopnea

9. Intervensi keperawatan
1. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan tidak mampu
mengabsorbsi nutrisi (D.0019)
Tujuan dan kriteria hasil :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam diharapkan ketidak seimbangan
nutrisi menurun dengan kriteria hasil: (L.03030)
a. Porsi makan meningkat
b. Kekuatan otot pengunyah meningkat
c. Kekuatan otot menelan meningkat
d. Pengetahuan tentang pilihan makan sehat meningkat
e. Pengetahuan tentang minuman sehat meningkat
f. Pengetahuan tentang standart nutrisi yang tepat meningkat
g.Penyiapan dan penyimpanan manakan yang tepat meningkat
h.Penyiapan dan penyimpananan minuman yang tepat meningkat

a. Perasaan cepat kenyang menurun


b. Nyeri abdomen menurun
c. Sariawan menurun
d. Rambut rontok menurun
e. Diare menurun

a. Berat badan membaik


b. Indek masa tubuh membaik
c. Nafsu makan membaik
d. Bisisng usus membaik
e. Membrane mukosa membaik
Intervensi:
Mangemen nutrisi (1. 03119)
Observasi:
1. Idetifikasi status nutrisi
2. Idetifikasi alergi
3. Identifikasi makanan kesukaan
4. Identifikasi perlunya pemasangan nasogstrik
5. Monitor asupan makanan
Terapeutik:
1. Fasilitasi menentukan pedoman idet
2. Sajikan makana secara menarik dan masih dalam suhu yang sesuai
3. Berikan makana tinggi serat untuk mencegah konstipasi
4. Berikan makana tinggi kalori dan tinggi protein
5. Berikan suplemen makanan jika perlu
6. Mentikan selang NGT jika asupan oral dapat di toleransi
Edukasi:
1. Anjurkan posisi duduk
2. Anujurkan diet yang di programkan
Kolaborasi:
1. Kolabosaari pemberan medikasi sebelum makan jika perlu
2.Kolanborasi dengan alhi gizi untuk jumlah kalori dan jenis nutrient
3. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat dan cairan.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, L.W. dan D.R. Krathwohl. 2001. A Taxonomy for Learning, Teaching, and
Assesing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives.
New York: Addison Wesley Longman, Inc.
DiGiulio Mary, Donna Jackson, Jim Keogh (2014), Keperawatan Medikal bedah, Ed.
I, Yogyakarta: Rapha publishing

Nugroho, Taufan. (2011). Asuhan keperawatan maternitas,anak,bedah,penyakit


dalam. Yogyakarta : Nuha Medika

Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
& Suddarth, edisi 8. Jakarta : EGC.

Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
& Suddarth, edisi 8. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai