Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN ACUTE KIDNEY INJURY

DI RUMAH SAKIT ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG

Disusun oleh :

Muhammad Irsan Jauhari

40902000057

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG

2023
I. KONSEP DASAR
A. Pengertian
Acute Kidney Injury adalah penurunan fungsi ginjal mendadak dengan
akibat hilangnya kemampuan ginjal untuk mempertahankan homeostatis
tubuh. Acute Kidney Injury juga merupakan suatu sindrom yang ditandai
dengan penurunan fungsi ginjal mendadak dengan akibat terjadinya
penimbunan hasil metabolik persenyawaan nitrogen seperti ureum dan
kreatinin. Diagnosa Acute Kidney Injury (Gagal Ginjal Akut) yaitu
terjadinya peningkatan kadar kreatinin darah secara progresif 0.5 mg/dl per
hari. Peningkatan kadar ureum darah adalah sekitar 10 sampai 20 mg/dl per
hari kecuali bila terjadi hiperkatabolisme dapat mencapai 100 mg/dl per hari
(Simatupang, 2019).

Acute Kidney Injury atau Acute Renal Failure (ARF) adalah fungsi
ginjal yang menurun secara tiba-tiba (penurunan GFR [Glomerular
Filtration Rate]) dan terjadi hampir dalam hitungan jam atau hari. Acute
Kidney Injury biasanya secara mendadak tanpa didahului dengan gejala
penurunan fungsi ginjal. Kasus yang banyak terjadi adalah ketika pasien
bekerja berat, berolah raga, stress, dan sebagainya, tiba-tiba muncul gejala
Acute Kidney Injury ini. Gejala biasanya baru teridentifikasi di rumah sakit
yang berupa oliguria (output urin dalam 24 jam kurang dari 400 cc [Cubic
centimeter]), azotemia progresif dan disertai kenaikan ureum dan kreatinin
(Diyono & Mulyanti, 2019).

Acute Kidney Injury adalah fungsi ginjal yang menurun dengan tiba-
tiba yang dapat menganggu keseimbangan cairan dan elektrolit dalam
tubuh. Biasanya gejalanya ditandai dengan penurunan berkemih atau
peningkatan berkemih dalam 24 jam. Berdasarkan pemeriksaan
laboratorium terjadi peningkatan ureum dan kreatinin (Simatupang, 2019).
B. Etiologi
Diyono & Mulyanti (2019), mengatakan bahwa berdasarkan etiologi
dan proses terjadinya Acute Kidney Injury, dapat diklasifikasikan menurut
tahapan kerusakan ginjal sebagai berikut :

1. Pre-Renal
Acute Kidney Injury pre-renal merupakan kelainan fungsional tanpa
adanya kelainan histologik atau morfologik pada nefron. Acute Kidney
Injury pre-renal adalah keadaan paling ringan yang berlangsung secara
cepat dan jika perfusi ginjal ini segera diperbaiki maka fungsi ginjal
akan dapat kembali normal (reversible) Namun, bila hipoperfusi ginjal
tidak segera diperbaiki, maka akan menimbulkan terjadinya Nekrosis
Tubular Akut (NTA).
Penyebab terjadnya Acute Kidney Injury pre-renal adalah semua faktor
atau kondisi yang menyebabkan penurunan jumlah darah yang sampai
ke ginjal sehingga terjadi hipoperfusi renal. Kondisi yang dapat
menyebabkan hipoperfusi ginjal atau renal antara lain :
a. Penurunan Volume Vaskular
Hal ini dapat terjadi pada pasien yang mengalami kehilangan
plasma atau darah karena perdarahan, luka bakar atau kehilangan
cairan ekstraseluler karena muntah dan diare.
b. Kenaikan Kapasitas Vaskuler
Penyempitan pembuluh darah dapat meningkatkan kapasitas atau
tahanan vaskuler sehingga aliran darah ke ginjal menurun. Kondisi
ini dapat terjadi sepsis, blokade ganglion, dan reaksi anafilaksis.
c. Penurunan Curah Jantung
Ginjal membutuhkan perfusi ginjal dari jantung sebanyak 25
sampai 30% dari COP (Cardiac Output). Jika jumlah tersebut
kurang maka ginjal dapat mengalami penurunan fungsi secara akut.
Kondisi yang dapat menyebabkan penurunan COP diantaranya
adalah renjatan atau syok kardiogenik, payah jantung kongestif,
tamponade jantung, disritmia, emboli paru, dan infark jantung.
2. Intrarenal
Acute Kidney Injury yang disebabkan oleh kerusakan atau penyakit
primer dari ginjal yang menyebabkan Acute Tubuler Necrosis.
Gangguan ginjal ini mencakup masalah seperti yaitu :
a. Infeksi
Glomerulonefritis merupakan infeksi yang dapat menyebabkan
penurunan filtrasi glomerulus.
b. Crush Injury
Trauma hebat dan luas pada otot dan jaringan lunak dapat
menyebabkan peningkatan myoglobulin (pelepasan protein
akibat kerusakan otot yang berkaitan dengan hemoglobulin)
merupakan toxic atau racun bagi nefron.
c. Reaksi Transfusi Berat
Hati-hati dengan tindakan transfusi karena jika terjadi kesalahan
dan menyebabkan reaksi transfusi berupa hemolisis kemudian
menyebabkan peningkatan konsentrasi darah menuju ginjal,
maka ginjal akan sulit di filtrasi.
d. Obat-obatan
Obat merupakan zat kimia di mana ginjal sebagai jalan
pengeluaran racun yang ada pada obat. Beberapa obat yang
mempunyai sifat toksik terhadap ginjal (nefrotoxic) bila
diberikan dalam jumlah berlebihan. Obat khususnya golongan
Nonsteroidal Anti-inflammantory Drugs (NSAIDs) dan ACE
(Angiotensin-Converting Enzyme) inhibitors mempunyai efek
antara yang secara mekanisme autoregulasi dapat menyebabkan
hipoperfusi ginjal renal dan iskemik renal.
e. Racun/Zat Kimia
Ada beberapa zat kimia beracun yang apabila masuk ke dalam
tubuh baik secara inhalasi ataupun ingesti dapat merusak fungsi
ginjal. Zat tersebut diantaranya arsen, merkuri, asam jengkolat
dan sebagainya.
3. Post-Renal
Acute Kidney Injury post-renal adalah suatu keadaan di mana
pembentukkan urin sudah cukup, tetapi aliran urin di dalam saluran
kemih terhambat. Penyebab yang paling sering adalah obstruksi
saluran kemih karena batu, penyempitan/striktur, dan pembesaran
prostat. Namun, postrenal juga dapat terjadi akibat proses
ekstravasasi

C. Patofisiologi
Diyono & Mulyanti (2019), mengatakan bahwa perubahan patologi
yang mendasari Acute Kidney Injury adalah terjadinya Nekrosis Tubulus
Akut. Kondisi ini mengakibatkan deskuamasi sel tubulus nekrolit dan bahan
protein lainnya. Kemudian membentuk silinder dan menyumbaat lumen
tubulusl sehingga tekanan intratubuler meningkat. Tekanan intratubulus
yang meningkat menyebabkan gangguan filtrasi glomerulus sehingga GFR
menurun. Obstruksi tubulus merupakan faktor penting pada ARF (Acute
Renal Failure) yang disebabkan oleh logam berat. Etilen glikol atau iskemia
berkepanjangan. Pada keadaan sel endotel kapiler glomerulus dan/atau sel
membran basalis mengalami perubahan sehingga luas permukaan filtrasi
menurun mengakibatkan penurunan ultrafiltrasi glomerulus.

Muttaqin dan Sari (2014), mengatakan bahwa pada ginjal normal, 90%
aliran darah di distribusi ke korteks (letak glomerulus) dan 10% menuju ke
medula, dengan demikian ginjal dapat memekatkan urin dan menjalankan
fungsinya. Sebaliknya, pada ARF perbandingan antara distribusi korteks
daan medula ginjal menjadi terbalik sehingga terjadi iskemia relatif pada
korteks ginjal. Konstriksi dan arteriol aferen merupakan dasar penurunan
laju filtrasi glomerulus. Iskemia ginjal akan mengaktivasi sistem renin-
angiotensin dan memperbera iskemia korteks luar ginjal setelah hilangnya
rangsangan awal.

Diyono & Mulyanti (2019), mengatakan bahwa secara umum faktor-


faktor yang terlibat dalam proses potagenesis ARF diawali dengan adanya
gangguan iskemia atau nefrotoksin yang ada pada tubulus atau glomerulus
sehingga menurunkan aliran darah ke ginjal. Acute Kidney Injury yang
kemudian bersifat menetap dapat terjadi melalui beberapa akibat cedera
awal. Masih banyak hal yang belum diketahui mengenai patofisiologi ARF.
Selain itu, masih banyak yang harus diteliti lebih jauh untuk mengetahui
hubungan antara beberapa faktor yang memengaruhinya. Tahapan Acute
Kidney Injury secara patologi berlangsung melalui 4 tahap sebagai berikut:

a. Tahap Inisiasi
Tahap dimana ginjal mulai mengalami penurunan ginjal. Pada tahap ini
biasanya pasien belum merasakan gejala yang berarti. Rata-rata pasien
mengeluh badan yang tiba-tiba terasa lemas, nyeri sendi, kadang diikuti
nyeri pinggang hebat bahkan sampai kolik abdomen. Serangan ini
berlangsung selama beberapa saat, jam atau beberapa hari.
b. Fase Oliguri-Anuri
Volume urin (<400 sampai 500ml/24 jam) ditandai dengan peningkatan
konsentrasi urin yang biasanya dikeluarkan oleh ginjal. Terdapat
penurunan fungsi ginjal dengan peningkatan retensi nitrogen,
peningkatan BUN, ureum dan kreatinin.
c. Fase Diuretik
Dimulai ketika dalam waktu 24 jam volume urin yang keluar mencapai
500 ml dan bahkan mulai normal. Berakhir ketika BUN serta serum
kreatinin tidak bertambah lagi. Pada tahap ini perawat harus terus
mengobservasi kondisi pasien, karena kadang pasien dapat mengalami
dehidrasi yang ditandai dengan peningkatan ureum.
d. Fase Penyembuhan (recovery)
Walaupun kerusakan nefron bersifat irreversible, namun apabila
kerusakan belum berlangsung lama dan segera di perfusi dengan baik
maka Acute Kidney Injury dapat dicegah agar tidak berlanjut dan
nefron dapat berfungsi kembali. Biasanya proses ini berlangsung
beberapa bulan (tiga bulan sampai dengan satu tahun) namun, kadang-
kadang terjadi jaringan parut yang tidak selalu menyebabkan ginjal
kehilangan fungsi.

D. Pathways

(Diyono & Mulyanti, 2019).

E. Manifestasi Klinik
Hampir setiap sistem tubuh dipengaruhi ketika terjadi kegagalan
pengaturan ginjal normal.
1. Pasien tampak sangat menderita dan letargi.
2. Mual persisten, muntah, diare.
3. Kulit dan membran mukosa kering akibat dehidrasi.
4. Nafas berbau urin (fetor uremik)
5. Manifestasi sistem saraf pusat mencakup : rasa lemah, sakit kepala,
kedutan otot,dan kejang.
6. Perubahan haluaran urin (urin sedikit, dapat mengandung darah,
gravitasi spesifiknya rendah).
7. Peningkatan BUN dan kadar kreatinin.
8. Hiperkalemia.
9. Asidosis metabolik.
10. Abnormalitas kalsium dan fosfat.
11. Anemia.
F. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah menjaga keseimbangan dan mencegah
komplikasi yang meliputi hal-hal sebagai berikut dialisis, koreksi
hiperkalemi, terapi cairan dan diet rendah protein tinggi karbohidrat serta
koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat dan dialisis. Dialisis dapat
dilakukan untuk mencegah komplikasi Acute Kidney Injury yang serius,
seperti hiperkalemia, perikarditis, dan kejang. Dialisis memperbaiki
abnormalitas biokimia, menyebabkan cairan, protein, dan natrium dapat
dikonsumsi secara bebas, menghilangkan kecenderungan perdarahan dan
membantu penyembuhan luka. Koreksi hiperkalemi ialah peningkatan kadar
kalium dapat dikurangi dengan pemberian enema. Natrium polistriren
sulfonat bekerja dengan mengubah ion kalium menjadi natrium di saluran
interstinal (Simatupang, 2019).

G. Pemeriksaan Penunjang
Setelah ada kecurigaan adanya penurunan fungsi renal, maka
pemeriksaan penunjang segera harus dilakukan untuk mengetathui
penyebab penurunan fungsi renal. Kecepatan peeriksaan lanjutan ini ikut
berperan penting dalam penatalaksanaan ARF dan mencegah terjadinya
CHF (Congestive Heart Failure). Pemeriksaan penunjang difokuskan pada
faktor etiologi pre-renal, intrarenal, atau post-renal. Diyono & Mulyanti
(2019), mengatakan bahwa pemeriksaan yang sering dilakukan menurut
yaitu :

1. Hematologi, biasanya akan terjadi peningkatan ureum, kreatinin, BUN,


hipokalemia, hipokalsemia, anemia.
2. USG (Ultrasound Sonography) untuk mengetahui kemungkinan faktor
post-renal seperti batu atau tumor saluran kemih.
3. Radiologi (BNO [Blass Nier Overzicht] – IVP [Intra Venous
Pyelography], Cystogram), dilakukan jika dengan USG hasilnya tidak
begitu jelas.
4. Arteriogram, dilakukan untuk mengetahui faktor penyebab pre-renal,
misalnya oclusi arteri renalis.

II. KONSEP KEPERAWATAN


A. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dan dasar dalam proses keperawatan.
Pengkajian merupakan tahap yang paling menentukan bagi tahap
berikutnya. Kemampuan mengidentifikasi masalah keperawatan yang
terjadi pada tahap ini akan menetukan diagnosis keperawatan (Rohmah &
Walid, 2016).

1. Pola Kesehatan Fungsional


Doenges (2014), mengatakan bahwa pola kesehatan fungsional pada
Acute Kidney Injury ialah sebagai berikut :
a. Aktivitas dan Istirahat
Gejala : Keletihan, kelemahan, malaise.
Tanda : Kelemahan otot, kehilangan tonus.
b. Sirkulasi
Tanda : Hipotensi/hipertensi (termasuk hipertensi malignan,
eklampsia/hipertensi akibat kehamilan), disritmia jantung, nadi
lemah, hipotomi ortostatik (hypovolemia), distensi vena jugularis,
nadi kuat, oedema jaringan umum (termasuk area periorbital, mata
kaki, sacrum), pucat/kecenderungan perdarahan.
c. Pola eliminasi
Tanda : Perubahan warna urin contoh kuning pekat, merah, coklat,
berawan, oliguria (biasanya 12-21 hari), polyuria (2-6 L/hari).
Gejala : Perubahan pola berkemih biasanya peningkatan
frekuensi/polyuria (kegagalan dini), atau penurunan
berkemih/oliguria (fase akhir), dysuria, ragu-ragu, dorongan dan
retensi (inflamasi/obstruksi, infeksi), abdomen kembung, diare
atau konstipasi, riwayat BPH (Benigna Prostat Hiperplasia),
batu/kalkuli.
d. Makanan dan cairan
Tanda : Perubahan turgor kulit/kelembapan, oedema (umum,
bagian bawah).
Gejala : Peningkatan berat badan (oedema), penurunan berat badan
(dehidrasi), mual, muntah, anoreksia, nyeri ulu hati, penggunaan
diuretik.
e. Neurosensori
Tanda : Gangguan status mental contoh penurunan lapang
perhatian, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori,
kacau, penurunan tingkat kesadaran (azotemia, ketidak
seimbangan elektrolit/asam/basa).
Gejala : Sakit kepala, penglihatan kabur, kram otot/kejang,
sindrom “kaki gelisah”.
f. Nyeri/Kenyamanan
Tanda : Perilaku berhati-hati/distraksi, gelisah.
Gejala : Nyeri tubuh, sakit kepala.
g. Pernapasan
Tanda : Nafas pendek.
Gejala : Takipnea, dyspnea, peningkatan frekuensi, kedalaman
(pernafasan Kussmaul); nafas ammonia, batuk produktif dengan
sputum kental merah muda (oedema paru)
h. Keamanan
Tanda : Demam (sepsis, dehidrasi), petekie, area kulit ekimosis,
pruritus, kulit kering.
Gejala : Adanya reaksi transfusi

B. Diagnosa Keperawatan
Doenges (2014), mengatakan bahwa diagnosa keperawatan yang sering
terjadi pada pasien dengan Acute Kidney Injury adalah sebagai berikut :

1. Hipervolemia berhubungan dengan mempengaruhi mekanisme


regulator (gagal ginjal) dengan retensi (GFR), pemasukkan lebih besar
dari pengeluaran, oliguria, oedema jaringan umum, peningkatan berat
badan, perubahan status mental, penurunan Hb/Ht, gangguan elektrolit,
kongestif paru pada foto dada.
2. Risiko penurunan curah jantung ditandai dengan faktor resiko meliputi
kelebihan cairan, perpindahan cairan, defisit cairan, ketidak
seimbangan elektrolit, efek uremia pada otot jantung.
3. Risiko defisit nutrisi ditandai dengan faktor resiko meliputi katabolisme
protein, peningkatan kebutuhan metabolik, anoreksia, mual/muntah,
ulkus mukosa mulut.
4. Keletihan berhubungan dengan penurunan produksi energi
metabolik/pembatasan diet, peningkatan kebutuhan energi.
5. Risiko infeksi ditandai dengan faktor resiko meliputi depresi
pertahanan imunologi (sekunder terhadap uremia).
6. Risiko hipovolemia ditandai dengan faktor resiko meliputi kehilangan
cairan berlebihan.
7. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpajan/mengingat,
salah interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi.
C. Intervensi Keperawatan
1. Hipervolemia
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam, maka
keseimbangan cairan meningkat, dengan kriteria hasil:
a. Asupan cairan meningkat
b. Output urin meningkat
c. Membrane mukoa lembab meningkat
d. Edema menurun
e. Dehidrasi menurun
f. Tekanan darah membaik
g. Frekuensi nadi membaik
h. Kekuatan nadi membaik
i. Tekanan arteri rata-rata membaik
j. Mata cekung membaik
k. Turgor kulit membaik

Manajemen Hipervolemia (I.03114)

Observasi
 Periksa tanda dan gejala hypervolemia (mis: ortopnea, dispnea,
edema, JVP/CVP meningkat, refleks hepatojugular positif, suara
napas tambahan)
 Identifikasi penyebab hypervolemia
 Monitor status hemodinamik (mis: frekuensi jantung, tekanan
darah, MAP, CVP, PAP, PCWP, CO, CI) jika tersedia
 Monitor intake dan output cairan
 Monitor tanda hemokonsentrasi (mis: kadar natrium, BUN,
hematokrit, berat jenis urine)
 Monitor tanda peningkatan tekanan onkotik plasma (mis: kadar
protein dan albumin meningkat)
 Monitor kecepatan infus secara ketat
 Monitor efek samping diuretic (mis: hipotensi ortostatik,
hypovolemia, hipokalemia, hiponatremia)

Terapeutik
 Timbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama
 Batasi asupan cairan dan garam
 Tinggikan kepala tempat tidur 30 – 40 derajat

Edukasi
 Anjurkan melapor jika haluaran urin < 0,5 mL/kg/jam dalam 6 jam
 Anjurkan melapor jika BB bertambah > 1 kg dalam sehari
 Ajarkan cara membatasi cairan

Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian diuretic
 Kolaborasi penggantian kehilangan kalium akibat diuretic
 Kolaborasi pemberian continuous renal replacement therapy
(CRRT) jika perlu

2. Risiko penurunan curah jantung


Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam, maka
curah jantung meningkat, dengan kriteria hasil:
a. Kekuatan nadi perifer meningkat
b. Ejection fraction (EF) meningkat
c. Palpitasi menurun
d. Bradikardia menurun
e. Takikardia menurun
f. Gambaran EKG Aritmia menurun
g. Lelah menurun
h. Edema menurun
i. Distensi vena jugularis menurun
j. Dispnea menurun
k. Oliguria menurun
l. Pucat/sianosis menurun
m. Paroximal nocturnal dyspnea (PND) menurun
n. Ortopnea menurun
o. Batuk menurun
p. Suara jantung S3 menurun
q. Suara jantung S4 menurun
r. Tekanan darah membaik
s. Pengisian kapiler membaik

Perawatan Jantung (I.02075)

Observasi
 Identifikasi tanda/gejala primer penurunan curah jantung (meliputi:
dispnea, kelelahan, edema, ortopnea, PND, peningkatan CVP).
 Identifikasi tanda/gejala sekunder penurunan curah jantung
(meliputi: peningkatan berat badan, hepatomegaly, distensi vena
jugularis, palpitasi, ronkhi basah, oliguria, batuk, kulit pucat)
 Monitor tekanan darah (termasuk tekanan darah ortostatik, jika
perlu)
 Monitor intake dan output cairan
 Monitor berat badan setiap hari pada waktu yang sama
 Monitor saturasi oksigen
 Monitor keluhan nyeri dada (mis: intensitas, lokasi, radiasi, durasi,
presipitasi yang mengurangi nyeri)
 Monitor EKG 12 sadapan
 Monitor aritmia (kelainan irama dan frekuensi)
 Monitor nilai laboratorium jantung (mis: elektrolit, enzim jantung,
BNP, NTpro-BNP)
 Monitor fungsi alat pacu jantung
 Periksa tekanan darah dan frekuensi nadi sebelum dan sesudah
aktivitas
 Periksa tekanan darah dan frekuensi nadi sebelum pemberian obat
(mis: beta blocker, ACE Inhibitor, calcium channel blocker,
digoksin)

Terapeutik
 Posisikan pasien semi-fowler atau fowler dengan kaki ke bawah
atau posisi nyaman
 Berikan diet jantung yang sesuai (mis: batasi asupan kafein,
natrium, kolesterol, dan makanan tinggi lemak)
 Gunakan stocking elastis atau pneumatik intermitten, sesuai
indikasi
 Fasilitasi pasien dan keluarga untuk modifikasi gaya hidup sehat
 Berikan terapi relaksasi untuk mengurangi stress, jika perlu
 Berikan dukungan emosional dan spiritual
 Berikan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen > 94%

Edukasi
 Anjurkan beraktivitas fisik sesuai toleransi
 Anjurkan beraktivitas fisik secara bertahap
 Anjurkan berhenti merokok
 Ajarkan pasien dan keluarga mengukur berat badan harian
 Ajarkan pasien dan keluarga mengukur intake dan output cairan
harian

Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian antiaritmia, jika perlu
 Rujuk ke program rehabilitasi jantung

3. Risiko defisit nutrisi


Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam, maka
status nutrisi membaik, dengan kriteria hasil:
a. Porsi makan yang dihabiskan meningkat
b. Berat badan membaik
c. Indeks massa tubuh (IMT) membaik

Manajemen Nutrisi (I.03119)


Observasi
 Identifikasi status nutrisi
 Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
 Identifikasi makanan yang disukai
 Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrien
 Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastrik
 Monitor asupan makanan
 Monitor berat badan
 Monitor hasil pemeriksaan laboratorium

Terapeutik
 Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
 Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis: piramida makanan)
 Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
 Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
 Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
 Berikan suplemen makanan, jika perlu
 Hentikan pemberian makan melalui selang nasogastik jika asupan
oral dapat ditoleransi

Edukasi
 Ajarkan posisi duduk, jika mampu
 Ajarkan diet yang diprogramkan

Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (mis: Pereda
nyeri, antiemetik), jika perlu
 Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan
jenis nutrien yang dibutuhkan, jika perlu
4. Keletihan
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam, maka
tingkat keletihan menurun, dengan kriteria hasil:
a. Verbalisasi kepulihan energi meningkat
b. Tenaga meningkat
c. Kemampuan melakukan aktivitas rutin meningkat
d. Verbalisasi Lelah menurun
e. Lesu menurun

Manajemen Energi (I.05178)

Observasi
 Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan
 Monitor kelelahan fisik dan emosional
 Monitor pola dan jam tidur
 Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan aktivitas

Terapeutik
 Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus (mis: cahaya,
suara, kunjungan)
 Lakukan latihan rentang gerak pasif dan/atau aktif
 Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan
 Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur, jika tidak dapat berpindah atau
berjalan

Edukasi
 Anjurkan tirah baring
 Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
 Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan gejala kelelahan
tidak berkurang
 Ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan
Kolaborasi
 Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan
makanan

5. Risiko infeksi
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam, maka
tingkat infeksi menurun, dengan kriteria hasil:
a. Demam menurun
b. Kemerahan menurun
c. Nyeri menurun
d. Bengkak menurun
e. Kadar sel darah putih membaik

Pencegahan Infeksi (I.14539)

Observasi
 Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik

Terapeutik
 Batasi jumlah pengunjung
 Berikan perawatan kulit pada area edema
 Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan
lingkungan pasien
 Pertahankan teknik aseptic pada pasien berisiko tinggi

Edukasi
 Jelaskan tanda dan gejala infeksi
 Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
 Ajarkan etika batuk
 Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi
 Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
 Anjurkan meningkatkan asupan cairan
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu

6. Risiko hipovolemia
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam, maka
status cairan membaik, dengan kriteria hasil:
a. Output urin meningkat
b. Membran mukosa lembab meningkat
c. Tekanan darah membaik
d. Frekuensi nadi membaik
e. Turgor kulit membaik

Manajemen hipovolemia (I.03116)

Observasi
 Periksa tanda dan gejala hipovolemia (mis: frekuensi nadi
meningkat, nadi teraba lemah, tekanan darah menurun, tekanan
nadi menyempit, turgor kulit menurun, membran mukosa kering,
volume urin menurun, hematokrit meningkat, haus, lemah)
 Monitor intake dan output cairan

Terapeutik
 Hitung kebutuhan cairan
 Berikan posisi modified Trendelenburg
 Berikan asupan cairan oral

Edukasi
 Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral
 Anjurkan menghindari perubahan posisi mendadak

Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian cairan IV isotonis (mis: NaCL, RL)
 Kolaborasi pemberian cairan IV hipotonis (mis: glukosa 2,5%,
NaCl 0,4%)
 Kolaborasi pemberian cairan koloid (albumin, plasmanate)
 Kolaborasi pemberian produk darah

7. Defisit pengetahuan
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam, maka
status tingkat pengetahuanmeningkat, dengan kriteria hasil:
a. Perilaku sesuai anjuran meningkat
b. Verbalisasi minat dalam belajar meningkat
c. Kemampuan menjelaskan pengetahuan tentang suatu topik
meningkat
d. Kemampuan menggambarkan pengalaman sebelumnya yang
sesuai dengan topik meningkat
e. Perilaku sesuai dengan pengetahuan meningkat
f. Pertanyaan tentang masalah yang dihadapi menurun
g. Persepsi yang keliru terhadap masalah menurun

Edukasi Kesehatan (I.12383)

Observasi
 Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi
 Identifikasi faktor-faktor yang dapat meningkatkan dan
menurunkan motivasi perilaku hidup bersih dan sehat

Terapeutik
 Sediakan materi dan media Pendidikan Kesehatan
 Jadwalkan Pendidikan Kesehatan sesuai kesepakatan
 Berikan kesempatan untuk bertanya

Edukasi
 Jelaskan faktor risiko yang dapat mempengaruhi Kesehatan
 Ajarkan perilaku hidup bersih dan sehat
 Ajarkan strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan
perilaku hidup bersih dan sehat
DAFTAR PUSTAKA

Diyono & Mulyanti. 2019. Keperawatan Medikal Bedah : Sistem Urologi.


Yogyakarta

Doenges. 2014. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan dan


Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3. Jakarta : EGC.

PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator


Diagnostik, Edisi 1 Cetakan III (Revisi). Jakarta: PPNI.

PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan


Keperawatan, Edisi 1 Cetakan II. Jakarta: PPNI.

PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1 Cetakan II. Jakarta: PPNI.

Rohmah & Walid. (2016). Proses Keperawatan : Teori & Aplikasi. Yogyakarta:
Ar- Ruzz Media.

Simatupang, U. P. (2019). Asuhan Keperawatan pada Tn. N dengan Acute Kidney


Injury di Ruang Dahlia A Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan Provinsi
Kalimantan Utara. Universitas Borneo Tarakan, 01, 1–7.

Anda mungkin juga menyukai