Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

SIROSIS HEPATIS

1.1 Definisi
Sirosis Hepatis (Sirosis Hati) adalah penyakit hati kronis yang tidak diketahui
penyebabnya dengan pasti. Telah diketahui bahwa penyakit ini merupakan stadium
terakhir dari penyakit hati kronis dan terjadinya pengerasan dari hati (Sujono, 2015).
Sirosis Hepatis (Sirosis Hati) adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai
dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan
adanya proses peradangan nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan
usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan
sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan
nodul tersebut (Suzanne C. Smeltzer dan Brenda G. Bare, 2015).
Sirosis Hepatis (Sirosis Hati) adalah penyakit hati menahun yang difus,
ditandai dengan adanya pembentukan jaringan disertai nodul. Dimulai dengan proses
peradangan, nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha
regenerasi nodul (Inayah, 2015).

1.2 Etiologi
Secara morfologis, penyebab sirosis hepatis tidak dapat dipastikan. Tapi ada
dua penyebab yang dianggap paling sering menyebabkan Chirrosis hepatis adalah:
a. Hepatitis virus
Hepatitis virus terutama tipe B sering disebut sebagai salah satu penyebab chirrosis
hati, apalagi setelah penemuan Australian Antigen oleh Blumberg pada tahun 1965
dalam darah penderita dengan penyakit hati kronis, maka diduga mempunyai
peranan yang besar untuk terjadinya nekrosa sel hati sehingga terjadi chirrosisi.
Secara klinik telah dikenal bahwa hepatitis virus B lebih banyak mempunyai
kecenderungan untuk lebih menetap dan memberi gejala sisa serta menunjukan
perjalanan yang kronis, bila dibandingkan dengan hepatitis virus A
b. Zat hepatotoksik atau Alkoholisme.
Beberapa obat-obatan dan bahan kimia dapat menyebabkan terjadinya kerusakan
pada sel hati secara akut dan kronis. Kerusakan hati akut akan berakibat nekrosis
atau degenerasi lemak, sedangkan kerusakan kronis akan berupa sirosis hati. Zat
hepatotoksik yang sering disebut-sebut ialah alcohol. Sirosis hepatis oleh karena
alkoholisme sangat jarang, namun peminum yang bertahun-tahun mungkin dapat
mengarah pada kerusakan parenkim hati.
c. Hemokromatosis
Bentuk chirrosis yang terjadi biasanya tipe portal. Ada dua kemungkinan
timbulnya hemokromatosis, yaitu:
a) Sejak dilahirkan si penderita menghalami kenaikan absorpsi dari Fe.
b) Kemungkinan didapat setelah lahir (acquisita), misalnya dijumpai pada
penderita dengan penyakit hati alkoholik. Bertambahnya absorpsi dari Fe,
kemungkinan menyebabkan timbulnya sirosis hati.

Penyebab lain dari sirosis hepatis, yaitu:


a. Alkohol
Suatu penyebab yang paling umum dari sirosis, terutama di daerah Barat.
Perkembangan sirosis tergantung pada jumlah dan keteraturan mengonsumsi
alkohol. Mengonsumsi alkohol pada tingkat-tingkat yang tinggi dan kronis dapat
melukai sel-sel hati. Alkohol menyebabkan suatu jajaran dari penyakit-penyakit
hati, yaitu dari hati berlemak yang sederhana dan tidak rumit(steatosis), ke hati
berlemak yang lebih serius dengan peradangan(steatohepatitis atau alcoholic
hepatitis), ke sirosis.
b. Sirosis kriptogenik
Disebabkan oleh (penyebab-penyebab yang tidak teridentifikasi, misalnya untuk
pencangkokan hati). Sirosis kriptogenik dapat menyebabkan kerusakan hati yang
progresif dan menjurus pada sirosis, dan dapat pula menjurus pada kanker hati.
c. Kelainan-kelainan genetik yang diturunkan/diwariskan berakibat pada akumulasi
unsur-unsur beracun dalam hati yang menjurus pada kerusakan jaringan dan
sirosis. Contohnya akumulasi besi yang abnormal (hemochromatosis) atau
tembaga (penyakit Wilson). Pada hemochromatosis, pasien mewarisi suatu
kecenderungan untuk menyerap suatu jumlah besi yang berlebihan dari makanan.
d. Primary Biliary Cirrhosis (PBC)
PBC adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh suatu kelainan dari sistem
imun yang ditemukan pada sebagian besar wanita. Kelainan imunitas pada PBC
menyebabkan peradangan dan kerusakan yang kronis dari pembuluh-pembuluh
kecil empedu dalam hati. Pembuluh-pembuluh empedu adalah jalan-jalan dalam
hati yang dilalui empedu menuju ke usus. Empedu adalah suatu cairan yang
dihasilkan oleh hati yang mengandung unsur-unsur yang diperlukan untuk
pencernaan dan penyerapan lemak dalam usus serta produk-produk sisa, seperti
pigmen bilirubin (bilirubin dihasilkan dengan mengurai/memecah hemoglobin dari
sel-sel darah merah yang tua).
e. Primary Sclerosing Cholangitis (PSC)
PSC adalah suatu penyakit yang tidak umum yang seringkali ditemukan pada
pasien dengan radang usus besar. Pada PSC, pembuluh-pembuluh empedu yang
besar diluar hati menjadi meradang, menyempit, dan terhalangi. Rintangan pada
aliran empedu menjurus pada infeksi-infeksi pembuluh-pembuluh empedu dan
jaundice (kulit yang menguning) dan akhirnya menyebabkan sirosis.
f. Hepatitis Autoimun
Adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh suatu kelainan sistem imun yang
ditemukan lebih umum pada wanita. Aktivitas imun yang abnormal pada hepatitis
autoimun menyebabkan peradangan dan penghancuran sel-sel hati
(hepatocytes) yang progresif dan akhirnya menjurus pada sirosis.
g. Bayi-bayi dapat dilahirkan tanpa pembuluh-pembuluh empedu (biliary atresia)
kekurangan enzim-enzim vital untuk mengontrol gula-gula yang menjurus pada
akumulasi gula-gula dan sirosis. Pada kejadian-kejadian yang jarang,
ketidakhadiran dari suatu enzim spesifik dapat menyebabkan sirosis dan luka parut
pada paru (kekurangan alpha 1 antitrypsin).
1.3 Klasifikasi
Secara makroskopik sirosis dibagi atas :
1. Mikronodular
Ditandai dengan terbentuknya septa tebal teratur, di dalam septa parenkim hati
mengandung nodul halus dan kecil merata tersebut di seluruh lobul. Sirosis
mikronodular besar nodulnya sampai 3 mm, sedang sirosis makronodular lebih
dari 3mm. Sirosis mikronodular ada yang berubah menjadi makonodular sehingga
dijumpai campuran mikro an makronodular.
2. Makronodular
Ditandai dengan terbentuknya septa dengan ketebalan bervariasi, mengandung
nodul yang besarnya juga bervariasi ada nodul besar di dalamnya ada daerah
luasdengan parenkim yang masih baik atau terjadi regenerasi parenkim.
3. Campuran
Umumnya sirosis hati adalah jenis campuran ini.

1.4 Patofisiologi
Infeksi hepatitis viral tipe B/C menimbulkan peradangan sel hati. Peradangan
ini menyebabkan nekrosis meliputi daerah yang luas (hepatoseluler), terjadi kolaps
lobulus hati dan ini memacu timbulnya jaringan parut disertai terbentuknya septa
fibrosa difus dan nodul sel hati, walaupun etiologinya berbeda, gambaran histologi
sirosis hati sama atau hampir sama, septa bisa dibentuk dari sel retikulum penyangga
yang kolaps dan berubah jadi parut. Jaringan parut ini dapat menghubungkan daerah
porta dengan sentral. Beberapa sel tumbuh kembali dan membentuk nodul dengan
berbagai macam ukuran dan ini menyebabkan distorsi percabangan pembuluh hepatik
dan gangguan aliran darah porta, dan menimbulkan hipertensi portal. Hal demikian
dapat pula terjadi pada sirosis alkoholik tapi prosesnya lebih lama. Tahap berikutnya
terjadi peradangan pada nekrosis pada sel duktules, sinusoid, retikulo endotel, terjadi
fibrinogenesis dan septa aktif. Jaringan kolagen berubah dari reversible menjadi
ireversibel bila telah terbentuk septa permanen yang aseluler pada daerah porta dan
parenkim hati. Gambaran septa ini bergantung pada etiologi sirosis. Pada sirosis
dengan etiologi hemokromatosis, besi mengakibatkan fibrosis daerah periportal, pada
sirosis alkoholik timbul fibrosis daerah sentral. Sel limposit T dan makrofag
menghasilkan limfokin dan monokin, mungkin sebagai mediator timbulnya
fibrinogen. Mediator ini tidak memerlukan peradangan dan nekrosis aktif. Septal aktif
ini berasal dari daerah porta menyebar ke parenkim hati.
1.5 Pathway/WOC
1.6 Manifestasi Klinis

a. Pembesaran Hati (hepatomegali)


Pada awal perjalanan sirosis, hati cenderung membesar dan sel-selnya dipenuhi
oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi tajam yang dapat
diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi sebagai akibat dari
pembesaran hati yang cepat sehingga mengakibatkan regangan pada selubung
fibrosa hati (kaosukalisoni). Pada perjalanan penyakit yang lebih lanjut, ukuran
hati akan berkurang setelah jaringan parut sehingga menyebabkan pengerutan
jaringan hati.
b. Obstruksi Portal dan Asites:
Manifestasi lanjut sebagian disebabkan oleh kegagalan fungsi hati yang kronis dan
sebagian lagi oleh obstruksi sirkulasi portal. Semua darah dari organ-organ digestif
akan berkumpul dalam vena portal dan dibawa ke hati. Cairan yang kaya protein
dan menumpuk di rongga peritoneal akan menyebabkan asites. Hal ini ditujukan
melalui perfusi akan adanya shifting dullness atau gelombang cairan. Jarring-jaring
telangiektasis atau dilatasi arteri superfisial menyebabkan jarring berwarna biru
kemerahan, yang sering dapat dilihat melalui inspeksi terhadap wajah dan seluruh
tubuh.
c. Varises Gastroinstestinal:
Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan fibrotik yang
mengakibatkan pembentukan pembuluh darah kolateral dalam sistem
gastrolintestinal dan pemintasan (shunting) darah dari pembuluh portal ke dalam
pembulu darah dengan tekanan yang lebih rendah.
d. Edema
Gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh gagal hati yang kronis.
Konsentrasi albumin plasma menurun sehingga menjadi predisposisi untuk
terjadinya edema. Produksi aldosteron yang berlebihan akan menyebabkan retensi
natrium serta air dan ekskresi kalium.
e. Defisiensi Vitamin dan Anemia
Kerena pembentukan, penggunaan, dan penyimpanan vitamin tertentu yang tidak
memadai (terutama vitamin A, C, dan K), maka tanda-tanda defisiensi vitamin
tersebut sering dijumpai khususnya sebagai fenomena hemoragi yang berkaitan
dengan defisiensi vitamin K. Gastritis kronis dan gangguan fungsi gastrointestinal
bersama-sama asupan diet yang tidak adekuat dan gangguan fungsi hati akan
menimbulkan anemia yang sering menyertai sirosis hepatis. Gejala anemia dan
status nutrisi serta kesehatan pasien yang buruk akan mengakibatkan kelelahan
hebat yang mengganggu kemampuan untuk melakukan aktivitas rutin sehari-hari.
f. Kemunduran mental
Manifestasi klinik lainnya adalah kemunduran fungsi mental dengan ensefalopati.
Karena itu, pemeriksaan neurologi perlu dilakukan pada sirosis hepatis yang
mencakup perilaku umum pasien, kemampuan kognitif, orientasi terhadap waktu
serta tempat, dan pola bicara.

1.7 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Urine
Dalam urine terdapat urobilnogen juga terdapat bilirubin bila penderita ada
ikterus. Pada penderita dengan asites, maka ekskresi Na dalam urine
berkurang (urine kurang dari 4 meq/l) menunjukkan kemungkinan telah
terjadi syndrome hepatorenal.
b. Tinja
Terdapat kenaikan kadar sterkobilinogen. Pada penderita dengan ikterus,
ekskresi pigmen empedu rendah. Sterkobilinogen yang tidak terserap oleh
darah, di dalam usus akan diubah menjadi sterkobilin yaitu suatu pigmen yang
menyebabkan tinja berwarna cokelat atau kehitaman.
c. Darah
Biasanya dijumpai normostik normokronik anemia yang ringan, kadang-
kadang dalam bentuk makrositer yang disebabkan kekurangan asam folik dan
vitamin B12 atau karena splenomegali. Bilamana penderita pernah mengalami
perdarahan gastrointestinal maka baru akan terjadi hipokromik anemi. Juga
dijumpai likopeni bersamaan dengan adanya trombositopeni.
d. Tes Faal Hati
Penderita sirosis banyak mengalami gangguan tes faal hati, lebih lagi
penderita yang sudah disertai tanda-tanda hipertensi portal. Pada sirosis
globulin menaik, sedangkan albumin menurun. Pada orang normal tiap hari
akan diproduksi 10-16 gr albumin, pada orang dengan sirosis hanya dapat
disintesa antara 3,5-5,9 gr per hari. Kadar normal albumin dalam darah 3,5-
5,0 g/dL. Jumlah albumin dan globulin yang masing-masing diukur melalui
proses yang disebut elektroforesis protein serum. Perbandingan normal
albumin : globulin adalah 2:1 atau lebih. Selain itu, kadar asam empedu juga
termasuk salah satu tes faal hati yang peka untuk mendeteksi kelainan hati
secara dini.
2. Sarana Penunjang Diagnostik
a. Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang sering dimanfaatkan ialah,: pemeriksaan
fototoraks, splenoportografi, Percutaneus Transhepatic Porthography (PTP)
b. Ultrasonografi
Ultrasonografi (USG) banyak dimanfaatkan untuk mendeteksi kelaianan di
hati, termasuk sirosi hati. Gambaran USG tergantung pada tingkat berat
ringannya penyakit. Pada tingkat permulaan sirosis akan tampak hati
membesar, permulaan irregular, tepi hati tumpul, . Pada fase lanjut terlihat
perubahan gambar USG, yaitu tampak penebalan permukaan hati yang
irregular. Sebagian hati tampak membesar dan sebagian lagi dalam batas
nomal.
c. Peritoneoskopi (laparoskopi)
Secara laparoskopi akan tampak jelas kelainan hati. Pada sirosis hati akan
jelas kelihatan permukaan yang berbenjol-benjol berbentuk nodul yang besar
atau kecil dan terdapatnya gambaran fibrosis hati, tepi biasanya tumpul.
Seringkali didapatkan pembesaran limpa.
1.8 Diagnosa Banding
Diagnosis banding yang paling mendekati sirosis adalah sebagai berikut:
1. Hiperplasia nodular regeneratif, hipertensi portal nonsirosis, dan hepatoportal
sklerosis tidak memiliki tanda dan gejala yang dapat dibedakan, sehingga harus
dilakukan biopsi hepar untuk memastikan diagnosisnya.
2. Fibrosis hepatika kongenital biasanya terjadi pada anak-anak.
3. Sindroma Budd-Chiari memiliki tanda dan gejala yang dapat dibedakan, seperti
nyeri perut, diare, dan asites yang diperparah secara progresif. Sindroma ini dapat
dibedakan dengan pemeriksaan USG dengan hasil tidak adanya pengisian vena
hepatika. Trombosis vena porta dapat dibedakan dengan tanda dan gejala khas
pada pankreatitis.
4. Trombosis Vena Porta
5. Hepatoportal Sklerosis

1.9 Penatalaksanaan
Penatalaksaan pasien sirosis biasanya didasarkan pada gejala yang ada.
Sebagai contoh, antasid diberikan untuk mengurangi distress lambung dan
meminimalkan kemungkinan perdarahan gastrointestinal. Vitamin dan suplemen
nutrisi akan meningkatkan proses kesembuhan pada sel-sel hati yang rusak dan
memperbaiki status gizi pasien. Pemberian preparat diuretik yang mempertahankan
kalium (spironolakton) mungkin diperlukan untuk mengurangi asites dan
meminimalkan perubahan cairan serta elektrolit yang umum terjadi pada penggunaan
jenis diuretik lainnya (Sjaifoellah, 2009).
1. Penatalaksaan lainnya pada sirosis hepatis, yaitu:
a. Istirahat yang cukup sampai terdapat perbaikan ikterus, asites, dan demam.
b. Diet rendah protein (diet hati III: protein 1 g/kg BB, 55 g protein, 2.000
kalori). Bila ada ascites diberikan diet rendah garam II (600-800 mg) atau III
(1.000-2.000 mg). Bila proses tidak aktif, diperlukan diet tinggi kalori
(2.000-3.000 kalori) dan tinggi protein (80-125 g/hari).
2. Penatalaksanaan pada asites dan edema, yaitu:
a. Istirahat dan diet rendah garam.
b.Bila istirahat dan diet rendah garam tidak dapat mengatasi, diberikan
pengobatan diuretik berupa spironolakton 50-100 mg/hari (awal) dan dapat
ditingkatkan sampai 300 mg/hari bila setelah 3-4 hari tidak terdapat
perubahan.
3. Bila terjadi asites refrakter (asites yang tidak dapat dikendalikan dengan terapi
medikamentosa yang intensif) lakukan terapi parasentesis.
4. Pengendalian cairan asites
Diharapkan terjadi penurunan berat badan 1kg/2 hari atau keseimbangan cairan
negative 600-800 ml/hari. Hati-hati bila cairan terlalu banyak dikeluarkan dalam
satu saat, dapat mencetus ensefalopati hepatic.

1.10 Komplikasi
Komplikasi yang sering timbul pada penderita Sirosis Hepatis diantaranya
adalah:
a. Perdarahan Gastrointestinal
Setiap penderita Sirosis Hepatis dekompensata terjadi hipertensi portal, dan timbul
varises esophagus. Varises esophagus yang terjadi pada suatu waktu mudah pecah,
sehingga timbul perdarahan yang massif. Sifat perdarahan yang ditimbulkan
adalah muntah darah atau hematemesis biasanya mendadak dan massif tanpa
didahului rasa nyeri di epigastrium. Darah yang keluar berwarna kehitam-hitaman
dan tidak akan membeku, karena sudah tercampur dengan asam lambung. Setelah
hematemesis selalu disusul dengan melena.
b. Koma hepatikum
Komplikasi yang terbanyak dari penderita Sirosis Hepatis adalah koma hepatikum.
Timbulnya koma hepatikum dapat sebagai akibat dari faal hati sendiri yang sudah
sangat rusak, sehingga hati tidak dapat melakukan fungsinya sama sekali. Ini
disebut sebagai koma hepatikum primer. Dapat pula koma hepatikum timbul
sebagai akibat perdarahan, parasentese, gangguan elektrolit, obat-obatan dan lain-
lain, dan disebut koma hepatikum sekunder.
c. Ulkus peptikum
Timbulnya ulkus peptikum pada penderita Sirosis Hepatis lebih besar bila
dibandingkan dengan penderita normal. Beberapa kemungkinan disebutkan
diantaranya ialah timbulnya hiperemi pada mukosa gaster dan duodenum,
resistensi yang menurun pada mukosa, dan kemungkinan lain ialah timbulnya
defisiensi makanan.
d. Karsinoma hepatoselular
Kemungkinan timbulnya karsinoma pada Sirosis Hepatis terutama pada bentuk
postnekrotik ialah karena adanya hiperplasi noduler yang akan berubah menjadi
adenomata multiple kemudian berubah menjadi karsinoma yang multiplel
e. Infeksi
Setiap penurunan kondisi badan akan mudah kena infeksi, termasuk juga
penderita sirosis, kondisi badannya menurun. Menurut Schiff, spellberg infeksi
yang sering timbul pada penderita sirosis, diantaranya adalah peritonitis,
bronchopneumonia, pneumonia, tbc paru-paru, glomeluronefritis kronik,
pielonefritis, sistitis, perikarditis, endokarditis, erysipelas maupun septikemi
(Sujono, 2015).

1.11 Proses Keperawatan


11.1 Pengkajian
Pengkajian keperawatan
1. Identitas Klien
2. Riwayat Sakit dan Kesehatan
3. Riwayat Kesehatan Sekarang
Mengapa pasien masuk Rumah Sakit dan apa keluahan utama pasien, sehingga
dapat ditegakkan prioritas masalah keperawatan yang dapat muncul.
4. Riwayat Kesehatan Sebelumnya
Apakah pasien pernah dirawat dengan penyakit yang sama atau penyakit lain yang
berhubungan dengan penyakit hati, sehingga menyebabkan penyakit Sirosis
hepatis. Apakah pernah sebagai pengguna alkohol dalam jangka waktu yang lama
disamping asupan makanan dan perubahan dalam status jasmani serta rohani
pasien. Selain itu apakah pasien memiliki penyakit hepatitis, obstruksi empedu,
atau bahkan pernah mengalami gagal jantung kanan.
5. Riwayat Kesehatan Keluarga
Adakah penyakit-penyakit yang dalam keluarga sehingga membawa dampak berat
pada keadaan atau yang menyebabkan Sirosis hepatis, seperti keadaan sakit DM,
hipertensi,ginjal yang ada dalam keluarga. Hal ini penting dilakukan bila ada
gejala-gejala yang memang bawaan dari keluarga pasien.
6. Riwayat Sosial Ekonomi
Apakah pasien suka berkumpul dengan orang-orang sekitar yang pernah
mengalami penyakit hepatitis, berkumpul dengan orang-orang yang dampaknya
mempengaruhi perilaku pasien yaitu peminum alcohol, karena keadaan lingkungan
sekitar yang tidak
7. Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda vital dan pemeriksaan fisik kepala – kaki, TD, Nadi, Respirasi,
Temperatur yang merupakan tolak ukur dari keadaan umumpasien / kondisi pasien
dan termasuk pemeriksaan dari kepala sampai kaki dan lebih fokus pada
pemeriksaan organ seperti hati, abdomen, limpa dengan menggunakan prinsip-
prinsip inspeksi, auskultasi, palpasi, perkusi), disamping itu juga penimbangan BB
dan pengukuran tinggi badan dan LLA untuk mengetahui adanya penambahan BB
karena retreksi cairan dalam tubuh disamping juga untuk menentukan tingakat
gangguan nutrisi yang terjadi, sehingga dapat dihitung kebutuhan Nutrisi yang
dibutuhkan.
a. Hati
Perkiraan besar hati, bila ditemukan hati membesar tanda awal adanya cirosis
hepatis, tapi bila hati mengecil prognosis kurang baik, konsistensi biasanya
kenyal / firm, pinggir hati tumpul dan ada nyeri tekan padaperabaan hati.
b. Limpa
Ada pembesaran limpa, dapat diukur dengan 2 cara :-Schuffner, hati membesar
ke medial dan ke bawah menuju umbilicus (S-I-IV) dan dari umbilicus ke SIAS
kanan (S V-VIII)-Hacket, bila limpa membesar ke arah bawah saja.
c. Pada abdomen dan ekstra abdomen dapat diperhatikan adanya vena kolateral
dan acites, manifestasi diluar perut: perhatikan adanya spinder nevi pada tubuh
bagian atas, bahu, leher, dada, pinggang, caput medussae dan tubuh bagian
bawah, perlunya diperhatikan adanya eritema palmaris, ginekomastiadan atropi
testis pada pria, bias juga ditemukan hemoroid
d. Pemeriksaan Fisik (ROS : Review of System)
a) B1 (Breathing)
Sesak, keterbatasan ekspansi dada karena hidrotoraks dan asites.
b) B2 (Blood)
Pendarahan, anemia, menstruari menghilang. Obstruksi pengeluaran empedu
mengakibatkan absorpsi lemak menurun, sehingga absorpsi vitamin K
menurun. Akibatnya, factor-faktor pembekuan darah menurun dan
menimbulkan pendarahan. Produksi pembekuan darah menurun yang
mengakibatkan gangguan pembekuan darah, selanjutnya cenderung
mengalami pendarahan dan mengakibatkan anemia. produksi albumin
menurun mengakibatkan penurunan tekanan osmotic koloid, yang akhirnya
menimbulkan edema dan asites. Gangguan system imun : sistesis protein
secara umum menurun, sehingga menggangu system imun, akhirnya
penyembuhan melambat.
c) B3 (Brain)
Kesadaran dan keadaan umum pasien Perlu dikaji tingkat kesadaran pasien
dari sadar – tidak sadar (composmentis – coma) untuk mengetahui berat
ringannya prognosis penyakit pasien, kekacuan fungsi dari hepar salah
satunya membawa dampak yang tidak langsung terhadap penurunan
kesadaran, salah satunya dengan adanya anemia menyebabkan pasokanO2 ke
jaringan kurang termasuk pada otak.
d) B4 (Bladder)
Urine berwarna kuning tua dan berbuih. Bilirubin tak-terkonjugasi meningkat
bilirubin dalam urine dan ikterik serta pruritus
e) B5 (Bowel)
Anoreksia, mual, muntah, nyeri abdomen. Vena-vena gastrointestinal
menyempit, terjadi inflamasi hepar, fungsi gastrointestinal terganggu.
Sintetisb asam lemak dan trigliserida meningkat yang mengakibatkan hepar
berlemak, akhirnya menjadi hepatomegali : oksidasi asam lemak menurun
yang menyebabkan penurunan produksi tenaga. Akibatnya, berat badan
menurun.
f) B6 (Bone)
Keletihan, metabolism tubuh meningkat produksi energy kurang.
Glikogenesis meningkat, glikogenolisis dan glikoneogenesis meningkat yang
menyebabkan gangguan metabolisme glukosa. Akibatnya terjadi penurunan
tenaga.

11.2 Diagnosa Keperawatan


1. Nyeri akut

Batasan Karakteristik

 Perilaku distraksi

 Perilaku ekspresif

 Ekspresi wajah nyeri

 Sikap melindungi tubuh

 Laporan tentang perilaku nyeri/perubahan aktivitas

 Keluhan tentang karakteristik nyeri dengan menggunakan standar instrument


nyeri
Faktor yang berhububgan

 Agens cedera biologis

 Agens cedera kimiawi

 Agens cedera fisik

2. Intoleransi aktivitas

Batasan Karakteristik

 Respon tekanan darah abnormal terhadap aktivitas

 Respon frekuesni jantung abnormal terhadap aktivitas

 Ketidaknyamanan setelah beraktivitas

 Dipsnea setelah beraktivitas

 Keletihan

 Kelemahan umum

Faktor yang berhubungan

 Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen

 Imobilitas

 Fisik tidak bugar

3. Mual

Batasan karakteristik

 Keengganan terhadap makanan

 Sensasi muntah

 Rasa asam di dalam mulut

Faktor yang berhubungan

 Terpajan toksik
 Ansietas

 Rasa makanan/minuman yang tidak enak

Kondisi terkait

 Penyakit esophagus

 Distensi lambung

 Iritasi gastrointestinal

4. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh

Batasan karakteristik

 Nyeri abdomen

 Diare

 Gangguan sensasi rasa

 Enggan makan

Faktor yang berhubungan

 Asupan diet kurang

5. Risiko ketidakseimbangan volume cairan

Kondisi terkait

 Asites

 Obstruksi intestinal

 Sepsis

 Trauma
10.3 Intervensi

NOC NIC

Tujuan: Manajemen Nyeri (1400)


1. Kaji tingkat nyeri,meliputi : lokasi,
Setelah dilakukan asuhan keperawatan
karakteristik, dan onset, durasi, frekuensi,
selama 3 x 24 jam nyeri akut teratasi.
kualitas, intensitas/beratnya nyeri, faktor-
Kriteria Hasil: faktor presipitasi.
Tingkat Nyeri (2102) 2. Berikan informasi tentang nyeri
3. Ajarkan teknik relaksasi
Kode Indikator S.A ST
4. Tingkatkan tidur/istirahat yang cukup
210201 Nyeri yang 3 5 5. Turunkan dan hilangkan faktor yang dapat
dilaporkan meningkatkan nyeri
210206 Ekspresi Nyeri 3 5 6. Kendalikan faktor lingkungan yang dpat
wajah
memperparah nyeri pasien
210215 Kehilangan nafsu 3 5 7. Gali dengan pasien dan keluarga untuk
makan
mengetahui faktor yang memperberat nyeri
Keterangan:
8. Mengajarkan prisip managemen nyeri
1 = Berat 9. Kolaborasi dengan dokter tentang
2 = Cukup berat pemberian analgesik

3 = Sedang
4 = Ringan
5 = Tidak ada

Tujuan: Managemen Energi (0180)

Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1. Tentukan penyebab keletihan: nyeri,


selama 3 x 24 jam intoleransi aktivitas aktifitas, perawatan , pengobatan
teratasi. 2. Kaji respon emosi, sosial dan spiritual
terhadap aktifitas.
3. Evaluasi motivasi dan keinginan klien
Kriteria Hasil: untuk meningkatkan aktifitas.
4. Monitor respon kardiorespirasi terhadap
Daya Tahan (0001)
aktifitas : takikardi, disritmia, dispnea,
Kode Indikator S.A S.T diaforesis, pucat.

000102 Aktivitas fisik 2 5 5. Monitor asupan nutrisi untuk memastikan


ke adekuatan sumber energi.
000106 Daya tahan otot 3 5
6. Monitor respon terhadap pemberian
000111 Letargi 3 5 oksigen : nadi, irama jantung, frekuensi
Respirasi terhadap aktifitas perawatan diri.
Keterangan:
7. Letakkan benda-benda yang sering
1= Sangat terganggu digunakan pada tempat yang mudah

2= Banyak terganggu dijangkau


8. Kaji pola istirahat klien dan adanya faktor
3= Cukup terganggu
yang menyebabkan kelelahan.
4= Sedang terganggu

5= Tidak terganggu

Tujuan: Manajemen Mual (1450)

Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1. Monitor efek dari manajemen mual secara
selama 2 x 24 jam mual teratasi. keseluruhan

Kriteria Hasil: 2. Dorong pasien untuk memantau pengalaman


diri terhadap mual
Kontrol Mual & Muntah (1618)
3. Identifikasi faktor-faktor yang yang dapat
Kode Indikator S.A ST
menyebabkan atau berkontribusi terhadap
161801 Mengenali onset 3 5 mual
mual
4. Ajari teksnik nonfarmakologi (biofeedback,
161802 Mendeskripsikan 3 5
faktor-faktor hypnosis, relaksasi, imajinasi terbimbing,
penyebab
distraksi) untuk mengatasi mual
161812 Melaporkan 3 5
mual yang 5. Evaluasi dampak dari pengalaman mual
terkontrol

Keterangan:

1 = Tidak pernah ditunjukkan


2 = Jarang ditunjukkan
3 = Kadang-kadang ditunjukkan
4 = Sering ditunjukkan
5 = Secara konsisten ditunjukkan

Tujuan: Manajemen Nutrisi (1100)

Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1. Monitor kalori dan asupan makanan


selama 3 x 24 jam ketidakseimbangan
2. Identifikasi adanya alergi atau intoleransi
nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
makanan yang dimiliki pasien
teratasi.
3. Anjurkan pasien untuk memantau kalori dan
Kriteria Hasil:
intake makanan
Status Nutrisi (1004)
4. Anjurkan keluarga untuk membawa
Kode Indikator S.A ST makanan favorit pasien.

100401 Asupan gizi 3 5 5. Beri obat-obatan sebelum makan

100402 Asupan makanan 3 5

100408 Asupan cairan 3 5

Keterangan:

1 = Sangat menyimpang dari rentang normal


2= Banyak menyimpang dari rentang normal
3 = Cukup menyimpang dari rentang normal
4 = Sedikit menyimpang dari rentang normal
5 = Tidak menyimpang dari rentang normal

Tujuan: Monitor Cairan (4130)

Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1. Monitor asupan dan pengeluaran


selama 3 x 24 jam risiko
2. Monitor nilai kadar serum dan elektrolit urin
ketidakseimbangan volume cairan
teratasi. 3. Periksa turgor kulit pasien

Kriteria Hasil: 4. Catat dengan akurat asupan dan pengeluaran


pasien
Keseimbangan Cairan (0601)
5. Konsultasikan ke dokter jika pengeluaran
Kode Indikator S.A ST
urin kurang dari 0,5ml/kg/jam atau asupan
060107 Keseimbangan 3 5 cairan orang dewasa kurang dari 2000cc
intake dan output dalam 24 jam.
dalam 24 jam

060109 Berat badan 3 5


stabil

060116 Turgor kulit 3 5

Keterangan:

1 = Sangat terganggu
2 = Banyak terganggu
3 = Cukup terganggu
4 = Sedikit terganggu
5 = Tidak terganggu
DAFTAR PUSTAKA

Baradero, Mary. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Hati. Jakarta: Penerbit
buku kedokteran EGC
Brunner & Suddarth. 2008. Textbook of medical surgical nursing, eleventh edition.
Philadelpia: Lippincott William & Wilkins
Handaya, Yuda A. 2017. Deteksi Dini dan Atasi 31 Penyakit bedah Saluran Cerna
(Digestip). Yogyakarta: Andi Offset
Herdman dan Kamitsuru. 2018. NANDA International: Diagnosis Keperawatan
Definisi dan Klasifikasi 2018-2020. Jakarta: EGC
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta : Salemba Medika NIC (Nursing Intervention
Classification) edisi ketujuh 2018
NIC (Nursing Intervention Classification) edisi ketujuh 2018
NOC (Nursing Outcomes Classification) edisi keenam 2018
Sujono, Hadi. 2015. Patofisiologi Konsep Kllinis Proses-proses Penyakit. Edisi 4.
Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai