Anda di halaman 1dari 22

SIROSIS HATI

DEFINISI
Perubahan arsitektur jaringan hati yang ditandai dengan regenerasi nodular yang bersifat
difus dan dikelilingi oleh septa-septa fibrosis. Perubahan (distorsi) tersebut dapat mengakibatkan
peningkatan aliran darah portal, disfungsi sintesis hepatosit, serta meningkatkan risiko karsinoma
hepatoseluler (KHS) (Tsochatzis, 2014).

EPIDEMIOLOGI
Prevalensi sirosis hati sulit untuk dinilai karena pada stadium awal bersifat asimtomatis.
Namun, sirosis hati tercatat sebagai penyakit kematian ke-14 tersering pada dewasa di dunia,
dengan angka kematian sekitar 1.04 juta jiwa pertahun. Sirosis juga menjadi indikasi utama
untuk 500 kasus transplantasi hepar per tahun di negara maju (Tsochatzis, 2014).

ETIOLOGI
 Virus hepatitis B, C, dan D.
 Alkohol.
 Obat-obatan atau toksin.
 Kelainan metabolik : hemokromatosis, penyakit Wilson, defisiensi α1-antitripsin, diabetes
melitus, glikogenosis tipe IV, galaktosemia, tirosinemia, fruktosa intoleran.
 Kolestasis intra dan ekstra hepatik.
 Gagal jantung dan obstruksi aliran vena hepatika.
 Gangguan imunitas.
 Sirosis biliaris primer dan sekunder.
 Idiopatik atau kriptogenik.

FAKTOR RESIKO
Penyebab pasti dari sirosis hati sampai sekarang belum jelas, tetapi sering disebutkan
antara lain (Hikmah, 2014) :
a. Faktor Kekurangan Nutrisi
Kekurangan protein menjadi penyebab sirosis hepatis. Hal ini dikarenakan beberapa
asam amino seperti metionin yang berperan dalam metabolisme gugus metil untuk
mencegah perlemakan hati dan sirosis hepatis berkurang jumlahnya dalam tubuh.
b. Hepatitis Virus
Hepatitis virus terutama tipe B sering disebut sebagai salah satu penyebab sirosis hati.
Penyakit hati kronis diduga mempunyai peranan yang besar untuk terjadinya nekrosa sel
hati sehingga terjadi sirosis. Secara klinik telah dikenal bahwa hepatitis virus B lebih
banyak mempunyai kecenderungan untuk lebih menetap dan memberi gejala sisa serta
menunjukan perjalanan yang kronis, bila dibandingkan dengan hepatitis virus A.
c. Zat Hepatotoksik
Beberapa obat-obatan dan bahan kimia dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada
sel hati secara akut dan kronis. Kerusakan hati akut akan berakibat nekrosis atau degenerasi
lemak, sedangkan kerusakan kronis akan berupa sirosis hati. Zat hepatotoksik yang sering
disebut-sebut ialah alkohol.
d. Penyakit Wilson
Suatu penyakit yang jarang ditemukan, biasanya terdapat pada orang-orang muda
dengan ditandai sirosis hati, degenerasi basal ganglia dari otak, dan terdapatnya cincin pada
kornea yang berwarna coklat kehijauan disebut Kayser Fleischer Ring. Penyakit ini diduga
disebabkan defesiensi bawaan dari seruloplasmin. Penyebabnya belum diketahui dengan
pasti, mungkin ada hubungannya dengan penimbunan tembaga dalam jaringan hati.
e. Hemokromatosis
Bentuk sirosis yang terjadi biasanya tipe portal. Ada dua kemungkinan timbulnya
hemokromatosis, yaitu sejak dilahirkan si penderita menghalami kenaikan absorpsi dari Fe.
Kemungkinan didapat setelah lahir, misalnya dijumpai pada penderita dengan penyakit hati
alkoholik. Bertambahnya absorpsi dari Fe, kemungkinan menyebabkan timbulnya sirosis
hati.
f. Penyebab lain
1. Kelemahan jantung yang lama dapat menyebabkan timbulnya sirosis kardiak. Perubahan
fibrotik dalam hati terjadi sekunder terhadap reaksi dan nekrosis sentrilobuler.
2. Obstruksi yang lama pada saluran empedu akan dapat menimbulkan sirosis biliaris
primer. Penyakit ini lebih banyak dijumpai pada kaum wanita.
3. Penyebab sirosis hati yang tidak diketahui dan digolongkan dalam sirosis kriptogenik.
Penyakit ini banyak ditemukan di Inggris.
Dari data yang ada di Indonesia Virus Hepatitis B menyebabkan sirosis 40-50% kasus,
sedangkan hepatitis C dalam 30-40%. Sejumlah 10-20% penyebabnya tidak diketahui dan
termasuk disini kelompok virus yang bukan B atau C.

PATOGENESIS
Sirosis hati dikenal sebagai proses yang dinamis dan pada kondisi tertentu bersifat
reversible. Transisi dari penyakit hati kronis menjadi sirosis melibatkan proses yang kompleks
antara reaksi inflamasi, aktivasi sel Stelata (penghasil kolagen), angiogenesis, dan oklusi
pembuluh darah yang berdampak pada perluasan lesi parenkim hati (Longo, dkk, 2013).
Patogenesis utama dari proses fibrosis dan sirosis hati ialah aktivasi sel Stelata.
Normalnya sel Stelata “diam” dan berperan menyimpan retinoid (vitamin A). Adanya stimulus
jejas dan reaksi inflamasi akam mengaktivasi sel Stelata sehingga sel tersebut berproliferasi,
memproduksi matriks ekstraseluler (kolagen tipe II dan III, proteoglikan sulfat, dan
glikoprotein), serta menjadi sel miofibroblas yang mampu berkontraksi (Cormick, 2011).

GEJALA DAN TANDA KLINIS


 Gejala
Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada waktu pasien
melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau karena kelainan penyakit lain. Bila sirosis hati
sudah lanjut, gejala-gejala lebih menonjol terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati
dan hipertensi porta, meliputi hilangnya rambut badan, gangguan tidur, dan demam tak
begitu tinggi. Mungkin disertai adanya gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi,
epistaksis, gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih berwarna seperti teh pekat,
muntah darah dan/atau melena, serta perubahan mental, meliputi mudah lupa, sukar
konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma (Rockey, dkk, 2012).
 Tanda Klinis
Tanda-tanda klinik yang dapat terjadi yaitu (Longo, dkk, 2013):
a. Adanya ikterus (penguningan) pada penderita sirosis.
Timbulnya ikterus (penguningan ) pada seseorang merupakan tanda bahwa ia sedang
menderita penyakit hati. Penguningan pada kulit dan mata terjadi ketika liver sakit dan
tidak bisa menyerap bilirubin. Ikterus dapat menjadi penunjuk beratnya kerusakan sel
hati. Ikterus terjadi sedikitnya pada 60% penderita selama perjalanan penyakit.
b. Timbulnya ascites dan edema pada penderita sirosis
Ketika liver kehilangan kemampuannya membuat protein albumin, air menumpuk pada
kaki (edema) dan abdomen (ascites). Faktor utama asites adalah peningkatan tekanan
hidrostatik pada kapiler usus . Edema umumnya timbul setelah timbulnya asites sebagai
akibat dari hipoalbuminemia dan resistensi garam dan air.
c. Tanda-tanda ganguan endokrin
Spider angioma, eritema pamaris, ginekomastia, alopesia dada dan aksila,
hiperpigmentasi kulit, dan atrofi testis.
d. Kuku Muchrche
Terdapat gambaran pita putih horizontal yang memisahkan kulit normal.
e. Kontraktur Dupuytren
Penebalan fasia pada palmar (terutama pada sirosis alkoholik.
f. Ptekie dan ekimosis bila terjadi trombositopenia
g. Atrofi otot
h. Hepatomegali
Palpasi hati sangat bevariasi, mulai dari tidak ditemukan pembesaran hati, lobus kiri hati
yang dapat teraba lunak (khas sirosis), atau teraba nodul dengan konsistensi keras.
i. Splenomegali

KOMPLIKASI
1. Perdarahan varises esofagus
Perdarahan varises esofagus merupakan komplikasi serius yang sering terjadi akibat
hipertensi portal. Dua puluh sampai 40% pasien sirosis dengan varises esofagus pecah yang
menimbulkan perdarahan. Angka kematiannya sangat tinggi, sebanyak dua pertiganya akan
meninggal dalam waktu satu tahun walaupun dilakukan tindakan untuk menanggulangi
varises ini dengan beberapa cara. Risiko kematian akibat perdarahan varises esofagus
tergantung pada tingkat keparahan dari kondisi hati dilihat dari ukuran varises, adanya
tanda bahaya dari varises dan keparahan penyakit hati. Penyebab lain perdarahan pada
penderita sirosis hati adalah tukak lambung dan tukak duodeni.
2. Ensefalopati hepatikum
Disebut juga koma hepatikum. Merupakan kelainan neuropsikiatrik akibat disfungsi
hati. Mula-mula ada gangguan tidur (insomnia dan hipersomnia), selanjutnya dapat timbul
gangguan kesadaran yang berlanjut sampai koma. Timbulnya koma hepatikum akibat dari
faal hati yang sudah sangat rusak, sehingga hati tidak dapat melakukan fungsinya sama
sekali. Koma hepatikum dibagi menjadi dua, yaitu: Pertama koma hepatikum primer, yaitu
disebabkan oleh nekrosis hati yang meluas dan fungsi vital terganggu seluruhnya, maka
metabolism tidak dapat berjalan dengan sempurna. Kedua koma hepatikum sekunder, yaitu
koma hepatikum yang timbul bukan karena kerusakan hati secara langsung, tetapi oleh
sebab lain, antara lain karena perdarahan, akibat terapi terhadap asites, karena obat-obatan
dan pengaruh substansia nitrogen

3. Peritonitis bakterialis spontan


Peritonitis bakterialis spontan yaitu infeksi cairan asites oleh satu jenis bakteri tanpa
ada bukti infeksi sekunder intra abdominal. Biasanya pasien ini tanpa gejala, namun dapat
timbul demam dan nyeri abdomen.
4. Sindroma hepatorenal
Keadaan ini terjadi pada penderita penyakit hati kronik lanjut, ditandai oleh
kerusakan fungsi ginjal dan abnormalitas sirkulasi arteri menyebabkan vasokonstriksi
ginjal yang nyata dan penurunan GFR. Dan dapat terjadi gangguan fungsi ginjal akut
berupa oliguri, peningkatan ureum, kreatinin tanpa adanya kelainan organik ginjal.
5. Karsinoma hepatoseluler
Karsinoma hepatoseluler berhubungan erat dengan 3 faktor yang dianggap
merupakan faktor predisposisinya yaitu infeksi virus hepatitis B kronik, sirosis hati dan
hepatokarsinogen dalam makanan. Meskipun prevalensi dan etiologi dari sirosis berbeda-
beda di seluruh dunia, namun jelas bahwa di seluruh negara, karsinoma hepatoseluler
sering ditemukan bersama sirosis, terutama tipe makronoduler.
6. Ascites
Penderita sirosis hati disertai hipertensi portal memiliki sistem pengaturan volume
cairan ekstraseluler yang tidak normal sehingga terjadi retensi air dan natrium. Ascites
dapat bersifat ringan, sedang dan berat. Ascites berat dengan jumlah cairan banyak
menyebabkan rasa tidak nyaman pada abdomen sehingga dapat mengganggu aktivitas
sehari-hari.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Parameter hematologi: hemoglobin, leukosit, trombosit, waktu protrombin.
b. Biokimia serum: bilirubin, transaminase (ALT dan AST), alkalin fosfatase, γ-glutamyl
transpeptidase, albumin dan globulin, immunoglobulin, ferritin serum dan saturasi
transferrin
c. Jika terdapat ascites: elektrolit, ureum, kreatinin, serta urinalisis
d. Deteksi etiologi: penanda serologi hepatitis B dan C, profil lipid dan glukosa, penanda
autoimun, dan sebagainya.
2. Biopsy hati pemeriksaan histopatologis
3. Pemeriksaan radiologis: USG hati, CT-Scan/MRI, MR elastrografi
4. Pemeriksaan esofago-gastroduodenoskopi (EGD)
5. Prediktor sirosis

DIAGNOSIS
Diagnosis tepat penilaian derajat sirosis hati adalah biopsi hati dengan pemeriksaan
histopatologis. Deteksi sirosis harus dipertimbangkan untuk setiap etiologi penyakit hati kronis.
Diagnosis juga harus menyertakan etiologi penyakit, dan grading/staging histopatologis untuk
menilai derajat nekro-inflamasi dan fibrosis dengan skor METAVIR (Tabel 1). Secara klinis,
sirosis dapat dibedakan menjadi beberapa derajat kategori berdasarkan kriteria Child-Turcotte-
Pugh (Gambar 1) bertujuan untuk menilai prognosis pasien sirosis hati (Liou, 2014).
Tabel 1. skor METAVIR
Skor Fibrosis Skor Aktivitas
F0 = Tidak ada fibrosis A0 = Tidak ada aktivitas
F1 = Fibrosis porta tanpa septa A1 = Aktivitas ringan
F2 = Fibrosis porta dengan septa A2 = Aktivitas sedang
F3 = Banyak septa, namun belum A3 = Aktivitas berat
terjadi sirosis
F4 = Sirosis

Gambar 1. Kriteria Child-Turcotte-Pugh

Child-Turcotte-Pugh A : 5-6 (prognosis baik)


Child-Turcotte-Pugh B : 7-9 (prognosis sedang)
Child-Turcotte-Pugh C : 10-15 (prognosis buruk)
TATA LAKSANA
 Sirosis Kompensata : Terapi ditujukan untuk mencegah perkembangan menjadi sirosis
dekompensata dan mengatasi kausa spesifik (Gracia, dkk, 2010).
1. Terapi medikamentosa
a. Terapi sesuai etiologi; hepatitis B kronis, hepatitis C, NASH, sirosis alkoholik,
autoimun, dan sebagainya.
b. Terapi defisiensi Besi (bila perlu), dapat diberikan tambahan Zink Sulfat 2x200 mg
PO untuk memperbaiki nafsu makan dan keram otot.
c. Antiprutitus (bila perlu), kolestiramin, antihistamin, atau agen topikal.
d. Sulplementasi vitamin D pada pasien beresiko tinggi osteoporosis.
2. Terapi non-medikamentosa
a. Diet seimbang 35-40 kkal/kgBB ideal dengan protein 1,2-1,5 g/KgBB/hari;
b. Aktivitas fisik untuk mencegah inaktivasi dan atrofi otot,sesuaikan dengan toleransi
pasien;
c. Stop konsumsi alcohol dan merokok;
d. Pembatasan obat-obatan hepatotoksik dan nefrotoksik: OAINS, isoniazid, asam
valproate, eritromisin, amoksisilin/klavulanat, golongan aminoglikosida (bersifat
nefrotoksis pada sirosis), ketokonazol, klorpromazin, dan ezetimibe.
3. Surveilans komplikasi sirosis
a. Monitor kadar albumin, bilirubin, INR, serta penilaian fungsi kardiovaskular dan
ginjal.
b. Deteksi varises dengan esofago-gastroduodenoskopi (EGD)
 Bila tidak ditemukan varises: ulangi EGD setiap 2 tahun;
 Bila ditemukan varises kecil: ulangi EGD setiap 1 tahun;
 Bila ditemukan varises besar: penyekat β nonselektif (propranolol), prosedur
ligase varises (pada kasus intoleran).
c. Deteksi retensi cairan dan pemantauan fungsi ginjal.
d. Deteksi ensefalopati atau ensefalopati minimal/subsklinis: tes psikometri dan
neropsikologis terhadap atensi dan fungsi psikomotrik setiap 6 bulan.
e. Deteksi karsinoma hepatoseluler: pemeriksaan α-fetoprotein dan USG hati setiap 6
bulan.
f. Vaksinasi hepatitis B dan hepatitis A, bila perlu.
 Sirosis Dekompensata : Terapi ditujukan untuk mengatasi kegawatdaruratan dan
mengendalikan ke kondisi kompensata (Gracia, dkk, 2010).
1. Tata laksana spesifik sesuai komplikasi yang ditemukan.
a. Hipertensi porta dan varises esofagus: somatostatin (analognya), terapi endoskopik,
pemasangan TIPS, maupun prosedur bedah;
b. Ascites: restriksi garam, pemberian spironolakton dan furosemide, parasentesis jika
volume besar;
c. Sindrom hepatorenal: penggunaan agen vasopressor dan albumin, tata laksana
gangguan elektrolit dan asam basa (bila ada);
d. Peritonitis bakterial spontan: kultur dan pemberian antibiotik spektrum luas;
e. Ensefalopati hepatikum: minimalisasi faktor pencetus, pemberian laktulosa
dengan/tanpa rifaksimin, suplementasi asam amino rantai bercabang dan diet rendah
asam amino lisin, metionin, dan triptofan;
f. Koagulopati dan gangguan hematologi: pertimbangkan transfusi pada kondisi
gawatdarurat.
2. Pada kebanyakan kasus, dekompensasi terjadi akibat adanya faktor pencetus, seperti
sepsis, hipotensi, atau penggunaan obat-obatan tertentu. Identifikasi dan tata laksana
factor pencetus dapat membantu mengembalikan ke kondisi kompensata.
3. Pertimbangkan tranplantasi hati. Indikasinya ialah sirosis dekompensata atau karsinoma
hepatoseluler pada sirosis hati. Namun transplantasi dikontraindikasikan pada kondisi:
a. Aktif menggunakan obat-obatan terlarang, misalnya metadon;
b. AIDS, Infeksi HIV saja bukan kontraindikasi;
c. Keganasan ekstrahepatik;
d. Sepsis tidak terkendali;
e. Gagal organ ekstrahepatik (jantung, paru);
f. Thrombosis splanikum yang meluar ke vena mesenterika superior.

PROGNOSIS
Prognosis sangat bergantung pada kondisi klinis pasien yang dapat diprediksi dengan
hasil skor CTP (Gambar 1). Umumnya, mortalitas hanya terjadi pada fase dekompensasi (Tabel
2). Sirosis kompensata angka kesintasan selama 10 tahun diperkirakan 90%, namun terjadinya
dekompensata dan 10 tahun tersebut meningkat 50%. Sementara itu angka kejadian KHS
dilaporkan konstan 3% per tahun dan berkolerasi dengan prognosis yang buruk pada setiap
stadium KHS (Liou, 2014).
Tabel 2. Prognosis Sirosis Hati Berdasarkan Kondisi Klinis
Mortalitas 1
Stadium Kompensasi
Tahun
Stadium 1 Terkompensasi, tanpa varises esophagus 1% per tahun
Stadium 2 Kompensasi, dengan varises 3-4%
Stadium 3 Dekompensasi dengan asites 20%
Dekompensasi dengan perdarahan
Stadium 4 57%
gastrointestinal
Stadium 5 Infeksi dan gagal ginjal 67%
A. Pendahuluan
Hepatitis virus akut merupakan infeksi sistemik yang dominan menyerang hati. Hampir
semua kasus hepatitis akut disebabkan oleh salah satu dari lima jenis virus meliputi virus hepatitis A
(HAV), virus hepatitis B (HBV), virus hepatitis C (HCV), virus hepatitis D (HDV) dan virus hepatitis E
(HEV). Semua virus tersebut merupakan virus RNA kecuali virus hepatitis B. Hepatitis viral akut
merupakan urutan pertama dari berbagai penyakit hati di seluruh dunia. Penyakit tersebut atau
gejala sisanya bertanggung jawab atas 1-2 juta kematian setiap tahunnya. Di Indonesia, prevalensi
anti-HCV pada donor darah di beberapa tempat di Indonesia menunjukkan angka diantara 0,5%-
3,37%. Sedangkan prevalensi anti-HCV pada hepatitis virus akut menunjukkan bahwa hepatitis C
(15,5%-46,4%) menempati urutan kedua setelah hepatitis A (39,8%-68,3%) sedangkan urutan ketiga
ditempati oleh hepatitis B (6,4%-25,9%).

Infeksi VHC didapatkan di seluruh dunia, dilaporkan sekitar 170 juta orang telah terinfeksi
virus ini. Di Indonesia belum terdapat laporan resmi mengenai infeksi VHC, namun menurut laporan
lembaga tranfusi darah didapatkan sekitar 2% positif terinfeksi. Pada studi populasi umum di Jakarta
prevalensi VHC sekitar 4%. Pada umumnya transmisi terbanyak adalah berhubungan dengan tranfusi
darah terutama yang dilakukan sebelum penapisan donor darah untuk VHC oleh PMI. Infeksi VHC
juga dihubungkan dengan status ekonomi yang rendah, pendidikan kurang dan perilaku seksual yang
berisiko tinggi. Infeksid ari ibu ke anak juga dilaporkan sangat jarang terjadi, biasanya dihubungkan
dengan ibu yang menderita HIV karena jumlah VHC dikalangan ibu yang menderita HIV tinggi.

Beberapa laporan juga menyebutkan bahwa dapat terjadi infeksi VHC melalui tindakan-
tindakan medic seperti endoskopi, perawatan gigi, dialysis maupun operasi. Selain itu, VHC juga
dapat ditransmisikan melalui luka tusukan jarum. Pada umumnya, genotip yang didapatkan di
Indonesia adalah genotip 1 (sekitar 60-70%) diikuti oleh genotype 2 dan 3. Prevalensi yang tinggi
didapatkan pada pasien pengguna narkotika suntik (>80%) dan pasien dialysis (70%). Pada saliva
juga didapatkan VHC akan tetapi infeksi VHC melalui saliva dan kontak-kontak lain dalam rumah
tangga diketahui sangat tidak efisien untuk terjadinya infeksi dan transmisi VHC.

B. Virus Hepatitis C
Virus hepatitis C temasuk kelas Flaviviridae genus hepacivirus yang memiliki selubung
glikoprotein dengan RNA rantai tunggal

Target VHC adalah sel-sel hati dan mungkin juga limfosit B melalui reseptor yang mungkin
sekali serupa dengan CD81 yang terdapat di sel hati maupun limfosit B atau reseptor LDL. Setelah
berada dalam sitoplasma hati, VHC akan melepaskan selubung virusnya dan RNA virus siap untuk
melakukan translasi protein dan kemudian replica RNA. Struktur gen VHC adalah sebuah RNA rantai
tunggal, sepanjang kira-kira 10.000 pasang basa dengan daerah open reading frame (ORF) diapit
susunan nukleotida yang tidak ditranslasikan. Kedua ujung VHC ini sangat terpelihara sehingga saat
ini dipakai untuk identifikasi adanya infeksi VHC. Transalasi protein VHC dilakukan oleh ribosom sel
hati yang akan membaca RNA VHC dari satu bagian spesifik tersebut.

C. Patogenesis
Studi mengenai mekanisme kerusakan sel hati karena VHC masih sulit dilakukan karena
terbatasnya kultur sel untuk VHC dan tidak adanya hewan model kecuali simpanse yang dilindungi.
Kerusakan sel hati akibat VHC atau partikel virus secara langsung masih belumjelas. Namun
beberapa bukti menunjukan adanya mekanisme imunologis yang menyebabkan kerusakan sel sel
hati. Protein core misalnya ditenggarai dapat menimbulkan reaksi pelepasan radikal oksigen pada
mitokondria. Selain itu, protein ini diketahui pula mempengaruhi proses signaling dalam inti sel
terutama berkaitan dengan penekanan regulasi imunologik dan apoptosis, adanya bukti bukti ini
menyebabkan kontroversi apakah VHC bersifat sitotoksik atau tidak, terus berlangsung
Reaksi cytokine T cell (CTL) spesifik yang kuat diperlukan untuk terjadinya eliminasi
menyeluruh VHC pada infeksi akut. Pada infeksi kronik, reaksi CTL yang relative lemah masih mampu
merusak sel sel hati dan melibatkan proses inflamasi di hati tetapi tidak bias menghilangkan virus
maupun menekan evolusi genetic VHC sehingga kerusakan sel hati berjalan terus menerus.
Kemampuan CTL tersebut dihubungkan dengan aktivasi limfosit sel T helper (TH) spesifik VHC.
Adanya pergeseran dominasi aktivitas Th1 menjadi Th2 berakibat pada reaksi toleransi dan
melemahnya respon CTL.

Reaksi yang dilibatkan melaluai sitokin sitokin pro-inflamasi seperti TNF-α, TGF-β1, akan
menyebabkan reksutmen sel sel inflamasi lainnya dan menyebabkan aktivitas sel sel Stelata diruang
disse hati. Sel-sel yang khas ini yang sebelumnya dalam keadaan “tenang” (quicent) kemudian
berpoliferasi dan menjadi aktif menjadi sel-sel miofibroblast, yang dapat menghasilkan matriks
kolagen sehingga terjadi fibrosis dan berperan aktif dalam menghasilkan sitokin-sitokin pro-
inflamasi. Mekanisme ini dapat timbul terus menerus karena reaksi inflamasi yang terjadi tidak
berhenti sehingga fibrosis semakin lama semakin banyak dan sel sel yang ada semakin sedikit.
Proses ini dapat menimbulkan kerusakan hati lanjut dan sirosi hati

Pada gambaran histopatologis hepatitis kronik dapat ditemukan proses inflamasi berupa
neksosis gergit, maupun lobular, disertai dengan fibrosis di daerah portal yang lebih lanjut dapat
masuk ke lobules hati (fibrosis septal) dan kemudian dapat menyebabkan nekrosis dan fibrosis
jembatan (bridging fibrosis/nekrosis) gambaran yang khas untuk infeksi VHC adalah agregat limfosit
di lobules hati namun tidak didapatkan pada semua kasus inflamasi akibat VHC

Gambaran histopatologis pada infeksi kronik VHC sangat berperan dalam proses
keberhasilan terapi dan prognosis. Secara histopatologis dapat dilakukan scoring untuk inflamasi
dan fibrosis dihati sehingga memudahkan untuk keputusan terapi, evaluasi pasien maupun
komunikasi antara ahli patologi. Saat ini sistem scoring yang mempunyai variasi intra dan
interoobserver yang baik diantaranya adalah METAVIR dan ISHAK.

Sistem skoring Metavir digunakan untuk menilai pasien dengan hepatitis C. Tingkatan
tersebut berdasarkan derajat inflamasi yang terjadi pada hepar antara lain:

0 : yaitu tidak ada luka


1 : luka yang minimal
2 : luka yang terjadi dan meluas ke area dari hepar termasuk pembuluh darah
3 : fibrosis sudah mulai menyebar dan menghubungkan dengan area lain
4 : sirosis dengan luka tingkat lanjut

D. Gambaran Klinis
Gambaran klinis hepatitis virus sangat bervariasi yang dibagi dalam empat tahap yaitu:

1. Fase Inkubasi
Fase inkubasi merupakan waktu diantara masuknya virus dan saat timbulnya gejala atau
ikterus. Fase ini berbeda-beda lamanya tiap hepatitis virus tergantung pada dosis inokulan yang
ditularkan dan jalur penularan. Makin besar dosis inokulan makin pendek fase inkubasinya.

2. Fase Prodormal (Pre Ikterik)


Fase diantara timbulnya keluhan pertama dan gejala timbulnya ikterus. Biasanya ditandai
dengan malaise umum, mialgia, atralgia, mudah lelah, gejala saluran napas atas dana anoreksia.
Mual, muntah dan anoreksia berhubungan dengan perubahan penghidu dan rasa kecap. Diare
atau konstipasi dapat terjadi. Nyeri abdomen biasanya ringan dan menetap di kuadran kanan
atas atau epigastrium yang kadang diperberat dengan aktivitas.

3. Fase Ikterus
Ikterus muncul setelah 5-10 hari timbunya gejala atau dapat bersamaan dengan munculnya
gejala. Pada banyak kasus fase ini tidak terdeteksi. Setelah timbulnya ikterus jarang terjadi
perburukan gejala prodormal dan justru akan terjadi perbaikan klinis yang nyata.

4. Fase Konvalesen
Fase yang diawali dengan menghilangnya gejala dan ikterus, tetapi hepatomegali dan
abnormalitas fungsi hati tetap ada. Keadaan akut biasanya akan membaik dalam 2-3 minggu.
Pada 5%-10% kasus perjalanan klinisnya mungkin lebih sulit ditanganim hanya kurang dari 1%
yang menjadi fulminan.

Pada umumnya infeksi akut VHC tidak memberikan gejala atau bergejala minimal. Hanya 20-
30% yang menunjukkan tanda-tanda hepatitis akut 7-8 minggu setelah terjadinya paparan.
Walaupun demikian, infeksi akut sangat sukar dikenali karena pada umumnya tidak terdapat gejala
sehingga sulit pula menentukan perjalanan penyakit akibat infeksi HCV.
Beberapa laporan menyatakan bahwa pada infeksi hepatitis C akut didapatkan adanya
gejala malaise, mual dan ikterus seperti halnya hepatitis akut karena virus lain. Hepatitis fulminan
sangat jarang terjadi. ALT meningkat sampai beberapa kali di atas batas normal tetapi umumnya
tidak melebihi 1000U/ liter.

Sekitar 70-80% orang yang terinfeksi HCV menjadi carrier kronis dengan morbiditas dan
mortalitas yang signifikan serta merupakan penyebab utama sirosis hati, penyakit hati stadium akhir
dan kanker hati. Sering kali proses ini tidak menimbulkan gejala apapun walaupun proses kerusakan
hati berjalan terus. Hilangya VHC setelah hepatitis kronis sangat jarang terjadi. Diperlukan waktu
sekitar 20-30 tahun untuk terjadi sirosis hati yang akan terjadi pada 15-20% pasien hepatitis C
kronis. Sekitar 15-25% dari orang yang terinfeksi dapat sembuh tanpa pengobatan dengan alasan
yang tidak diketahui. (CDC)

Kerusakan hati akibat infeksi kronik tidak dapat tergambar pada pemeriksaan fisik maupun
labaratorik kecuali bila sudah terjadi sirosis hati. Pada pasien dimana ALT selalu normal, 18-20%
sudah terdapat kerusakan hati bermakna, sedangkan diantara pasien dengan peningkatan ALT,
hamper semua sudah mengalami kerusakan hati sedang sampai berat. Progesivitas hepatitis kronis
menjadi sirosis tergantung beberapa faktor antara lain asupan alcohol, koinfeksi dengan hepatitis B
atau HIV, jenis kelamin laki-laki dan usia tua saat terjadinya infeksi. Setelah terjadi sirosis hati, maka
dapat timbul kanker hati dengan frekuensi 1-4% tiap tahunnya. Kanker hati dapat terjadi tanpa
melalui sirosis hati walaupun kondisi seperti ini jarang terjadi.

Koinfeksi HCV dengan HIV diketahui menjadi masalah karena dapat memperburuk
perjalanan penyakit hati yang kronik, mempercepat terjadinya sirosis hati dan mungkin pula
mempercepat penurunan sistem kekebalan tubuh. Adanya koinfeksi tersebut juga mempersulit
pengobatan dengan antiretrovirus karena memperbesar porsi pasien yang menderita gangguan
fungsi hati dibandingkan dengan pasien tanpa koinfeksi HIV. Di Indonesia, kasus ini sering terjadi
pada pengguna jarum suntik yang menggunakan alat suntik bergantian.

Selain gejala-gejala gangguan hati, dapat pula timbul manifestasi ekstra hepatic antara lain
crioglobunemia dengan komplikasi-komplikasinya (glomerulopati, kelemahan, vaskulitis, purpura
dan atralgia), sicca syndrome, lichen planus dan porphyria cutanea tarda. Patofisiologi manifestasi
gejala ekstra hepatic belum diketahui dengan jelas namun dihubungkan dengan kemampuan VHC
untuk menginfeksi sel-sel limfoid sehingga mengganggu respon sistem imunologis. Sel-sel limfoid
yang terinfeksi dapat berubah sifatnya menjadi ganas karena dilaporkan tingginya kejadian limfoma
non Hodgin pada pasien dengan infeksi HCV.

E. Diagnostik
Infeksi oleh VHC dapat diidentifikasikan dengan memeriksa antibodi yang dibentuk tubuh
terhadap VHC bila virus menginfeksi pasien. Antibodi ini akan bertahan lama setelah infeksi terjadi
dan tidak mempunyai arti protektif. Walaupun pasien dapat menghilangkan infeksi VHC pada infeksi
akut, namun antibodi terhadap VHC masih terus bertahan bertahun tahun (18-20 tahun). Deteksi
antibodi terhadap VHC dilakukan umumnya dengan teknik enzyme immune assay (EIA). Antigen
yang digunakan untuk deteksi dengan cara ini adalah antigen C-100 dan beberapa antigen non-
struktural (ns 3,4 dan 5) sehingga tes ini menggunakan poliantigen dari VHC. Dikenal beberapa
generasi pemeriksaan antibodi VHC ini dimana antigen yang digunakan semakin banyak sehingga
saat ini generasi III mempunyai sensitivitas dan spesivitas yang sangat tinggi antibodi terhadap VHC
dapat dideteksi pada minggu ke 4-10 dengan sensivitas mencapai 99% dan spesivitas 90%. Negatif
palsu dapat terjadi terrhadap pasien dengan difesiensi sistem kekebalan tubuh seperti pada pasien
HIV, gagal ginjal. Immunobolt assay dulu digunakan untuk tes konfirmasi pada meraka dengan anti
HCV positif dengan EIA. Saat ini dengan tingkat spesifitas dan sensivitas EIA yang sudah sedemikian
tinggi, tes konfirmasi ini tidak diragukan lagi.

Deteksi RNA VHC digunakan untuk mengetahui adanya virus ini dalam tubuh pasien
terutama dalam serum sehingga memberikan gambaran infeksi sebenarnya. Jumlah VHC dalam
serum maupun dalam hati relative sangat kecilsehingga diperlukan teknik amplifikasi agar
terdeteksi. Teknik polymerase chain reaction (PHC) dimana gen VHC digandakan oleh enzyme
polymerase digunakan sejak ditemukan virus ini dan sat ini umumnya digunakan untuk menentukan
adanya VHC (secara kualitatif) maupun untuk mengetahui jumlah virus VHC (secara kuantitatif).
Teknik ini juga dipakai dalam menentukan genotip VHC.teknik lain adalah dengan menggadakan
signal yang didapat dari gen VHC yang terikat pada probe RNA sehingga dapat dihitung jumlah
kuantitativ VHC . hasil kedua pemeriksaan ini sulit dibandingkan satu dengan yang lainnya walupun
saat ini ada standarisasi dalam satuan pemeriksaan sehingga dimasa datang diharapkan satu
pemeriksaan dapat diikuti atau dilakukan pemeriksaan ulang dengan pemeriksaan lain dengan hasil
yang dapat dibandingkan. Untuk menentukan genotip VHC selain dengan teknik VCR, juga digunakan
teknik hibridasi atau dengan melakukan sequencing gen VHC.
Selain untuk pemeriksaan pada pasien, penentuan adanya infeksi VHC dilakukan pada
penapisan darah untuk tranfusi darah. Umumnya unit transfusi darah menggunakan deteksi anti
VHC dengan EIA maupun dengan cara imunokomotrografi, namun hasil terdapat kasus kasus pasien
yang terinfeksi oleh VHC maupun deteksi VHC sudah dinyatakan negatif. Teknik deteksi nukleotida
lebih sensitif daripada deteksi anti VHC karna itu di dunia saat ini telah dikembangkan teknik
menggunakan real time PCR yang dapat mendeteksi RNA VHC dalam jumlah yang sangat kecil
(kurang dari 50 kopi/ml). selain itu, tekhnologi menggunakan teknik transcripted mediated
amplification (TMA) juga telah dikembangkan untuk meningkatkan sensitivitas deteksi VHC. Teknik
yang sangat sensitif ini berguna untuk mendeteksi infeksi VHC dikalangan pasien maupun dikalangan
masyarakat umum untuk tranfusi darah

F. Hepatitis Kronis
Hepatitis kronis merupakan suatu sindrom klinis dan patologis yang disebabkan oleh bermacam-
macam etiologi ditandai oleh berbagai tingkat peradangan dan nekrosis pada hati yang berlangsung
terus menerus tanpa penyembuhan paling sedikit enam bulan. Sirosis hati merupakan stadium akhir
hepatitis kronis dann ireversibel yang ditandai oleh fibrosis yang luas dan menyeluruh pada jaringan
hati disertai dengan pembentukan nodulus.

Klasifikasi secara histopatologis membedakan hepatitis kronis menjadi tiga macam antara lain:

1) Hepatitis Kronik Persisten


Hepatitis kronik persisten ditandai dengan serbukan sel radang bulat pada daerah portal.
Arsitektur lobular tetap normal dan tidak ada fibrosis kalaupun ada hanya sedikit. Limiting plate
pada hepatosit antara daerah portal dan kolom hepatosit tetap utuh. Tidak terjadi piece meal
necrosis. Pada jenis ini biasanya tidak berkembang ke arah sirosis hepatis.

2) Hepatitis Kronik Lobular


Hepatitis kronis lobular sering pula disebut sebagai hepatitis akut berkepanjangan karena
perjalanan penyakit lebih dari tiga bulan. Pada tipe ini ditemukan adanya tanda peradangan dan
daerah nekrosis pada lobules hati. Hepatitis kronis lobular dapat mengalami perkembangan ke
arah sirosis hepatis akan tetapi prosesnya lambat.

3) Hepatitis Kronik Aktif


Hepatitis kronis aktif ditandai dengan serbukan sel radang bulat terutama limfosit dan sel
plasma di daerah portal yang menyebar dan mengadakan infiltrasi ke dalam lobules hati
sehingga menyebabkan erosi limiting plate dan menimbulkan piece meal necrosis. Terdapat dua
tipe hepatitis kronis aktif yaitu:

a) Tipe berat yaitu ditemukan septa jaringan ikat menyebar ke kolom-kolom hepatosit
sehingga menyebabkan kelompokan hepatosit yang terisolasi dan menimbulkan gambaran
rosette. Tampak pula intra hepatic bridging antara portal sentral atau portal dengan portal.
Pada jenis ini dapat berkembang ke sirosis hepatis dalam waktu yang relative cepat.
b) Tipe ringan ditandai dengan erosi ringan pada limiting plate dan juga piece meal necrosis
yang ringan saja tanpa adanya pembentukan rosette ataupun bridging.

G. Penatalaksanaan
Indikasi terapi pada hepatitis C kronik apabila didapatkan peningkatan nilai ALT lebih dari
batas atas nilai normal. Menurut panduan penatalaksanaan, nilai ALT lebih dari 2 kali batas atas nilai
normal. Hal ini mungin tidak berlaku mutlak karena berapapun nilai ALT di atas batas nilai normal
biasanya sudah menunjukan adanya fibrosis yang nyata bila dilakukan biopsi hati. Bila nilai ALT
normal, harus diketahui terlebih dahulu apakah nilai normal ini menetap (persisten) atau
berfluktuasi dengan memonitor nilai ALT setiap bulan untuk 4 – 5 kali pemeriksaan. Nilai ALT yang
berfluktuasi merupakan indikasi untuk, melakukan terapi namun bila nilai ALT tetap normal, biopsi
hati perlu dilakukan agar dapat lebih jelas diketahui fibrosis yang sudah terjadi.

Pada pasien yang tidak terjadi fibrosis hati (F0) atau hanya merupakan fibrosis hati ringan
(F1), mungkin terapi tidak perlu dilakukan karena mereka biasanya tidak berkembang menjadi sirosis
hati setelah 20 tahun menderita infeksi HCV. Niali fibrosis hati pada tingkat menengah atau tinggi,
sudah merupakan indikasi untuk terapi sedangkan apabila sudah terdapat sirosis hati, maka
pemberian interferon harus berhati-hati karena dapat menimbulkan penurunan fungsi hati secara
bermakna. Pengobatan hepatitis C kronik adalah dengan menggunakan interferon alfa dan ribavirin.
Umumnya disepakati bila genotype HCV adalah genotype 1 dna 4, maka terapi perlu diberikan
selama 48 minggu dan bila genotype 2 dan 3, terpai cukup diberikan selama 24 minggu.

Kontra indikasi terapi adalah berkaitan dengan penggunaan interferon dan ribavirin
tersebut. Pasien yang berumur lebih dari 60 tahun, Hb <10 g/dL, lekousit darah <2500/uL, trombosit
<100.000/uL, adanya gangguan jiwa yang berat, dan adanya hipertiroid tidak diindikasikan untuk
terapi dengan interferon dan ribavirin. Pasien dengan gangguan ginjaljuga tidak diindikasikan
menggunakan ribavirin karena dapat memperberat gangguan ginjal yang terjadi.Untuk interferon
alfa yang konvensional, diberikan setiap 2 hari atau 3 kali seminggu dengan dosis 3 juta unit
subkutan setiap kali pemberian. Interferon yang telah diikat dengan poly-ethylen glycol (PEG) atau
dikenal dengan Peg-Interferon, diberikan setiap minggu dengan dosis 1,5 ug/kg BB/kali (untuk Peg-
Interferon 12 KD) atau 180 ug (untuk Peg-Interferon 40 KD). Pemberian interferon diikuti dengan
pemberian ribavirin dnegan dosis pada pasien dengan berat badan <50 kg 800 mg setiap hari, 50-
70kg 1000 mg setiap hari, dan >70kg 1200mg setiap hari dibagi dalam 2 kali pemberian.

Pada akhir terapi dengan interferon dan ribavirin, perlu dilakukan pemeriksaan RNA HCV
secara kualitatif untuk mengetahui apakah HCV resisten terhadap pengobatan dengan interferon
dan tidak memerlukan pemeriksaan RNA HCV 6 bulan kemudian. Keberhasilan terapi dinilai 6 bulan
setelah pengobatan dihentikan dengan memeriksa RNA HCV kualitatif. Bila RNA HCV tetap negatif,
maka pasien dianggap mempunyai respons virologik yang menetap (sustained virological response
atau SVR) dan RNA HCV kembali positif, pasien dianggap kambuh (relapser). Mereka yang tergolong
kambuh ini dapat kembali diberikan Interferon dan ribavirin nantinya dengan dosis yang lebih besar
atau bila sebelumnya menggunakan Interferon konvensional, Peg Interferon mungkin akan
bermanfaat. Beberapa peneliti menganjurkan pemeriksaan RNA HCV kuantitatif 12 minggu setelah
terapi dimulai untuk menentukan prognosis keberhasilan terapi dimana prognosis dikatakan baik
bila RNA HCV turun >2 log.

Efek samping penggunaan interferon adalah demam dan gejala-gejala menyerupai flu (nyeri
otot, malaise, tidak nafsu makan, dan sejenisnya), depresi dan gangguan emosi, kerontokan rambut
lebih dari normal, depresi sumsum tulang, hiperurisemia, kadang-kadang timbul tiroiditis. Ribavirin
dapat menyebabkan penurunan Hb. Untuk mengantisipasi timbulnya efek asmping tersebut,
pemantauan pasien mutlak dilakukan. Pada awal pemberian interferon dan ribavirin dilakukan
pemantauan klinis, laboratories (Hb, lekousit, trombosit, asam urat dan ALT) setiap 2 minggu yang
kemudian dapat dilakukan setiap bulan. Terapi tidak boleh dilanjutkan bila Hb<8 gr/dL, lekousit
<1500/uL atau kadar neutrofil <500/uL, trombosit <50.000/uL, depresi berat yang tidak teratasi
dengan pengobatan anti depresi, atau timbul gejala-gejala tiroiditis yang tidak teratasi.

Keberhasilan terapi dengan interferon dan ribavirin untuk eradikasi HCV lebih kurang 60%.
Tingkat keberhasilan terapi tergantung pada beberapa hal. Pada pasien dengan genotype 1 hanya
40% pasien yang berhail dieradikasi sedangkan untuk genotype lain, tingkat keberhasilan terapi
dapat mencapai lebih dari 70%. Peg Interferon dilaporkan mempunyai tingkat keberhasilan terapi
yang lebih baik daripada interferon konvensional. Hal lain yang juga berpengaruh dalam kurangnya
keberhasilan respons terapi dengan interferon adalah semakin tua umur, semakin lama infeksi
terjadi, jenis kelamin laki-laki, berat badan berlebih (obesitas), dan tingkat fibrosis hati yang berat.

Pada hepatitis C akut, keberhasilan terapi dengan interferon lebih baik daripada pasien
pasien hepatitis C kronik hingga mencapai 100%. Pada kelompok pasien ini interferon dapat
digunakan secara monoterapi tanpa ribavirin dan lama terapi pada satu laporan hanya 3 bulan.
Namun sulit untuk menentukan infeksi akut HCV karena tidak adanya gejala akibat infeksi virus ini
sehingga umunya tidak diketahui waktu yang pasti adanya infeksi. Apabila jelas infeksi akut enjadi
tersebut terjadi misalnya pada tenaga medis yang secara rutin dilakukan anti HCV dengan hasil
negatif dan kemudian setelah tertusuk jarum anti-HCV menjadi positif maka monoterapi dengan
interferon dapat diberikan.

Pada ko-infeksi HCV-HIV, terapi dengan interferon dan ribavirin dapat diberikan bila jumlah
CD4 pasien ini <200 sel/mL. bila CD4 kurang dari nilai tersebut, respons terapi sangat tidak
memuaskan. Untuk pasien dengan ko-infeksi HCV-HBV, dosis pemberian interferon untuk HCV
sudah sekaligus mencukupi untuk terapi HBV sehingga kedua virus dapat diterpai bersama-sama
sehingga tidak diperlukan nukleosida analog yang khusus untuk HBV.
Daftar Pustaka

Rino A Gani.2005.Pengobatan Terkini Hepatitis Kronis B dan C. Divisi Hepatologi Bagian Penyakit Dalam
FKUI RSUPN Cipto Mangunkusumo. Dapat diakses di http://pdpersi.co.id

Rino A Gani.2006.Hepatitis C. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV.Jakarta: FKUI. Hal 441-
4

Andri Sanityoso.2006. Hepatitis Viral Akut. Dalam: Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: FKUI.
Hal 429-31

Pangestu Adi. 2006.Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas.Dalam:Buku Ajar Penyakit Dalam
Jilid I Edis IV.Jakarta:FKUI. Hal 291-4

Abdurachman SA. 2004.Hepatitis Virus Kronis. Dalam:Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I Edisi
Ketiga.Jakarta: FKUI. Hal 262-3

Alan Franciscus.2007.HCV Diagnostic Tools: Grading and Staging Liver Biopsy.Hepatitis C Support
Project.

Jake Liang et al.2000.Phatogenesis, Natural History, Treatment and Prevention of Hepatitis C.Ann Intern
Med 132:296-305.

Win Kuang Shen et al. 1999.Utility of a single-stage isoproterenol tilt table test in adults a
randomized comparison with passive head-up tilt. J Am Coll Cardiol, 33:985-990. Dapat
diakses di http://content.onlinejacc.org/cgi/content/full/33/4/985#FIG1

Prostate-Specific Antigen (PSA) Test. Dapat diakses di


http://www.cancer.gov/cancertopics/factsheet/detection/PSA
http://en.wikipedia.org/wiki/Tilt_table_test

Gracia, et al, 2009. ‘Management and Treatment of Patients With Cirrhosis and Portal
Hypertension: Recommendations From the Department of Veterans Affairs Hepatitis C
Resource Center Program and the National Hepatitis C Program’, The American Journal of
Gastroenterology, diakses July 2009, www.amjgastro.com

Liou IW. Management of end-stage liver disease. Med Clin North Am, 2014;98(1):119-52.

Longo DL, Fauci AS, penyunting. Chronic hepatitis. Dalam: Harrison’s gastroenterology and
hepatology. Edisi ke-2. Philadelphia: McGraw-Hill; 2013.

McCormick PA. Hepatic cirrhosis. Dalam: Dooley JS, lok AS, Burroughs AK, Heathcote EJ.
Sherloc’k disease of the liver and biliray system. Edisi ke-12. Oxford: Wiley-Black-well;
2011.

Nettina, S.M. 2005. Pedoman Praktik Keperawatan. EGC: Jakarta

Rockey DC, Friedman SL. Hepatic fibrosis and cirrhosis. Dalam: Boyer TD, Manns MP, sanyal
AJ. Zakim & Boyer’s hepatology: a textbook of liver disease. Edisi ke-6. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2012.

Saskara PM, dan Suryadarma IGA, 2013. Sirosis Hepatis. Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana. Bali.

Tsochatzis EA, Bosch J, Burroughs AK. Liver cirrhosis. Lancet. 2014;383(9930):1749-61.

Anda mungkin juga menyukai