Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA SIROSIS HEPATIS


BAB I
TINJAUAN TEORI

A. Definisi
Sirosis Hepatis (Sirosis Hati) adalah penyakit hati kronis yang tidak diketahui
penyebabnya dengan pasti. Telah diketahui bahwa penyakit ini merupakan
stadium terakhir dari penyakit hati kronis dan terjadinya pengerasan dari hati
(Sujono H, 2015).

Sirosis Hepatis (Sirosis Hati) adalah penyakit hati menahun yang difus
ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya
dimulai dengan adanya proses peradangan nekrosis sel hati yang luas,
pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati
akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak
teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut (Suzanne C.
Smeltzer dan Brenda G. Bare, 2015). Sirosis Hepatis (Sirosis Hati) adalah
penyakit hati menahun yang difus, ditandai dengan adanya pembentukan
jaringan disertai nodul. Dimulai dengan proses peradangan, nekrosis sel hati
yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. (Iin Inayah,
2015).

B. Etiologi
Penyebab Chirrosis Hepatis :
Secara morfologis, penyebab sirosis hepatis tidak dapat dipastikan. Tapi ada
dua penyebab yang dianggap paling sering menyebabkan Chirrosis hepatis
adalah:
1. Hepatitis virus
Hepatitis virus terutama tipe B sering disebut sebagai salah satu penyebab
chirrosis hati, apalagi setelah penemuan Australian Antigen oleh Blumberg
pada tahun 1965 dalam darah penderita dengan penyakit hati kronis , maka
diduga mempunyai peranan yang besar untuk terjadinya nekrosa sel hati
sehingga terjadi chirrosisi. Secara klinik telah dikenal bahwa hepatitis

1
2

virus B lebih banyak mempunyai kecenderungan untuk lebih menetap dan


memberi gejala sisa serta menunjukan perjalanan yang kronis, bila
dibandingkan dengan hepatitis virus A
2. Zat hepatotoksik atau Alkoholisme.
Beberapa obat-obatan dan bahan kimia dapat menyebabkan terjadinya
kerusakan pada sel hati secara akut dan kronis. Kerusakan hati akut akan
berakibat nekrosis atau degenerasi lemak, sedangkan kerusakan kronis
akan berupa sirosis hati. Zat hepatotoksik yang sering disebut-sebut ialah
alcohol. Sirosis hepatis oleh karena alkoholisme sangat jarang, namun
peminum yang bertahun-tahun mungkin dapat mengarah pada kerusakan
parenkim hati.
3. Hemokromatosis
Bentuk chirrosis yang terjadi biasanya tipe portal. Ada dua kemungkinan
timbulnya hemokromatosis, yaitu:
1. Sejak dilahirkan si penderita menghalami kenaikan absorpsi dari Fe.
2. Kemungkinan didapat setelah lahir (acquisita), misalnya dijumpai
pada penderita dengan penyakit hati alkoholik. Bertambahnya
absorpsi dari Fe, kemungkinan menyebabkan timbulnya sirosis hati.

C. Patofisiologi dan Pathway


1. Patofisiologi
Infeksi hepatitis viral tipe B/C menimbulkan peradangan sel hati.
Peradangan ini menyebabkan nekrosis meliputi daerah yang luas
(hepatoseluler), terjadi kolaps lobulus hati dan ini memacu timbulnya
jaringan parut disertai terbentuknya septa fibrosa difus dan nodul sel
hati, walaupun etiologinya berbeda, gambaran histologi sirosis hati sama
atau hampir sama, septa bisa dibentuk dari sel retikulum penyangga yang
kolaps dan berubah jadi parut. Jaringan parut ini dapat menghubungkan
daerah porta dengan sentral. Beberapa sel tumbuh kembali dan
membentuk nodul dengan berbagai macam ukuran dan ini menyebabkan
distorsi percabangan pembuluh hepatik dan gangguan aliran darah porta,
dan menimbulkan hipertensi portal. Hal demikian dapat pula terjadi pada
3

sirosis alkoholik tapi prosesnya lebih lama. Tahap berikutnya terjadi


peradangan pada nekrosis pada sel duktules, sinusoid, retikulo endotel,
terjadi fibrinogenesis dan septa aktif. Jaringan kolagen berubah dari
reversible menjadi ireversibel bila telah terbentuk septa permanen yang
aseluler pada daerah porta dan parenkim hati. Gambaran septa ini
bergantung pada etiologi sirosis. Pada sirosis dengan etiologi
hemokromatosis, besi mengakibatkan fibrosis daerah periportal, pada
sirosis alkoholik timbul fibrosis daerah sentral. Sel limposit T dan
makrofag menghasilkan limfokin dan monokin, mungkin sebagai
mediator timbulnya fibrinogen. Mediator ini tidak memerlukan
peradangan dan nekrosis aktif. Septal aktif ini berasal dari daerah porta
menyebar ke parenkim hati.

2. Pathway
4

D. Manifestasi Klinis
1. Pembesaran Hati ( hepatomegali ):
Pada awal perjalanan sirosis, hati cenderung membesar dan sel-selnya
dipenuhi oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi tajam
yang dapat diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi
sebagai akibat dari pembesaran hati yang cepat sehingga mengakibatkan
regangan pada selubung fibrosa hati (kaosukalisoni). Pada perjalanan
penyakit yang lebih lanjut, ukuran hati akan berkurang setelah jaringan
parut sehingga menyebabkan pengerutan jaringan hati.
2. Obstruksi Portal dan Asites:
Manifestasi lanjut sebagian disebabkan oleh kegagalan fungsi hati yang
kronis dan sebagian lagi oleh obstruksi sirkulasi portal. Semua darah dari
organ-organ digestif akan berkumpul dalam vena portal dan dibawa ke
hati. Cairan yang kaya protein dan menumpuk di rongga peritoneal akan
menyebabkan asites. Hal ini ditujukan melalui perfusi akan adanya
shifting dullness atau gelombang cairan. Jarring-jaring telangiektasis atau
dilatasi arteri superfisial menyebabkan jarring berwarna biru kemerahan,
yang sering dapat dilihat melalui inspeksi terhadap wajah dan seluruh
tubuh.
3. Varises Gastroinstestinal:
Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan fibrotik
yang mengakibatkan pembentukan pembuluh darah kolateral dalam
sistem gastrolintestinal dan pemintasan (shunting) darah dari pembuluh
portal ke dalam pembulu darah dengan tekanan yang lebih rendah.
4. Edema:
Gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh gagal hati
yang kronis. Konsentrasi albumin plasma menurun sehingga menjadi
predisposisi untuk terjadinya edema. Produksi aldosteron yang
berlebihan akan menyebabkan retensi natrium serta air dan ekskresi
kalium.
5. Defisiensi Vitamin dan Anemia:
5

Kerena pembentukan, penggunaan, dan penyimpanan vitamin tertentu


yang tidak memadai (terutama vitamin A, C, dan K), maka tanda-tanda
defisiensi vitamin tersebut sering dijumpai khususnya sebagai fenomena
hemoragi yang berkaitan dengan defisiensi vitamin K. Gastritis kronis
dan gangguan fungsi gastrointestinal bersama-sama asupan diet yang
tidak adekuat dan gangguan fungsi hati akan menimbulkan anemia yang
sering menyertai sirosis hepatis. Gejala anemia dan status nutrisi serta
kesehatan pasien yang buruk akan mengakibatkan kelelahan hebat yang
mengganggu kemampuan untuk melakukan aktivitas rutin sehari-hari.
6. Kemunduran mental:
Manifestasi klinik lainnya adalah kemunduran fungsi mental dengan
ensefalopati. Karena itu, pemeriksaan neurologi perlu dilakukan pada
sirosis hepatis yang mencakup perilaku umum pasien, kemampuan
kognitif, orientasi terhadap waktu serta tempat, dan pola bicara.

E. Pengkajian Fokus
1. Identitas Klien
2. Riwayat Sakit dan Kesehatan
3. Riwayat Kesehatan Sekarang
Mengapa pasien masuk Rumah Sakit dan apa keluahan utama pasien,
sehingga dapat ditegakkan prioritas masalah keperawatan yang dapat
muncul.
4. Riwayat Kesehatan Sebelumnya:
Apakah pasien pernah dirawat dengan penyakit yang sama atau penyakit
lain yang berhubungan dengan penyakit hati, sehingga menyebabkan
penyakit Sirosis hepatis. Apakah pernah sebagai pengguna alkohol dalam
jangka waktu yang lama disamping asupan makanan dan perubahan
dalam status jasmani serta rohani pasien. Selain itu apakah pasien
memiliki penyakit hepatitis, obstruksi empedu, atau bahkan pernah
mengalami gagal jantung kanan.
5. Riwayat Kesehatan Keluarga:
6

Adakah penyakit-penyakit yang dalam keluarga sehingga membawa


dampak berat pada keadaan atau yang menyebabkan Sirosis hepatis,
seperti keadaan sakit DM, hipertensi,ginjal yang ada dalam keluarga. Hal
ini penting dilakukan bila ada gejala-gejala yang memang bawaan dari
keluarga pasien.
6. Riwayat Sosial Ekonomi:
Apakah pasien suka berkumpul dengan orang-orang sekitar yang pernah
mengalami penyakit hepatitis, berkumpul dengan orang-orang yang
dampaknya mempengaruhi perilaku pasien yaitu peminum alcohol,
karena keadaan lingkungan sekitar yang tidak
7. Pemeriksaan Fisik
Tanda – tanda vital dan pemeriksaan fisik Kepala – kakiTD, Nadi,
Respirasi, Temperatur yang merupakan tolak ukur dari keadaan
umumpasien / kondisi pasien dan termasuk pemeriksaan dari kepala
sampai kaki dan lebihfocus pada pemeriksaan organ seperti hati,
abdomen, limpa dengan menggunakan prinsip-prinsip inspeksi,
auskultasi, palpasi, perkusi), disamping itu juga penimbangan BB dan
pengukuran tinggi badan dan LLA untuk mengetahui adanya penambahan
BB karena retreksi cairan dalam tubuh disamping juga untuk menentukan
tingakat gangguan nutrisi yang terjadi, sehingga dapat dihitung kebutuhan
Nutrisi yang dibutuhkan.
a. Hati : perkiraan besar hati, bila ditemukan hati membesar tanda awal
adanya cirosis hepatis, tapi bila hati mengecil prognosis kurang baik,
konsistensi biasanya kenyal / firm, pinggir hati tumpul dan ada nyeri
tekan padaperabaan hati.
b. Limpa: ada pembesaran limpa, dapat diukur dengan 2 cara :-
Schuffner, hati membesar ke medial dan ke bawah menuju umbilicus
(S-I-IV) dan dari umbilicus ke SIAS kanan (S V-VIII)-Hacket, bila
limpa membesar ke arah bawah saja.
c. Pada abdomen dan ekstra abdomen dapat diperhatikan adanya vena
kolateral dan acites, manifestasi diluar perut: perhatikan adanya
spinder nevi pada tubuh bagian atas, bahu, leher, dada, pinggang,
7

caput medussae dan tubuh bagian bawah, perlunya diperhatikan


adanya eritema palmaris, ginekomastiadan atropi testis pada pria,
bias juga ditemukan hemoroid
d. Pemeriksaan Fisik ( ROS : Review of System )
1) B1 (Breathing): sesak, keterbatasan ekspansi dada karena
hidrotoraks dan asites.
2) B2 (Blood): pendarahan, anemia, menstruari menghilang.
Obstruksi pengeluaran empedu mengakibatkan absorpsi lemak
menurun, sehingga absorpsi vitamin K menurun. Akibatnya,
factor-faktor pembekuan darah menurun dan menimbulkan
pendarahan. Produksi pembekuan darah menurun yang
mengakibatkan gangguan pembekuan darah, selanjutnya
cenderung mengalami pendarahan dan mengakibatkan anemia.
produksi albumin menurun mengakibatkan penurunan tekanan
osmotic koloid, yang akhirnya menimbulkan edema dan asites.
Gangguan system imun: sistesis protein secara umum menurun,
sehingga menggangu system imun, akhirnya penyembuhan
melambat.
3) B3 (Brain): Kesadaran dan keadaan umum pasien Perlu dikaji
tingkat kesadaran pasien dari sadar – tidak sadar
(composmentis – coma) untuk mengetahui berat ringannya
prognosis penyakit pasien, kekacuan fungsi dari hepar salah
satunya membawa dampak yang tidak langsung terhadap
penurunan kesadaran, salah satunya dengan adanya anemia
menyebabkan pasokanO2 ke jaringan kurang termasuk pada
otak.
4) B4 (Bladder): urine berwarna kuning tua dan berbuih. Bilirubin
tak-terkonjugasi meningkat bilirubin dalam urine dan ikterik
serta pruritus
5) B5 (Bowel): anoreksia, mual, muntah, nyeri abdomen. Vena-
vena gastrointestinal menyempit, terjadi inflamasi hepar, fungsi
gastrointestinal terganggu. Sintetisb asam lemak dan
8

trigliserida meningkat yang mengakibatkan hepar berlemak,


akhirnya menjadi hepatomegali : oksidasi asam lemak menurun
yang menyebabkan penurunan produksi tenaga. Akibatnya,
berat badan menurun.
6) B6 (Bone): keletihan, metabolism tubuh meningkat produksi
energy kurang. Glikogenesis meningkat, glikogenolisis dan
glikoneogenesis meningkat yang menyebabkan gangguan
metabolisme glukosa. Akibatnya terjadi penurunan tenaga.

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
a). Urine
Dalam urine terdapat urobilnogen juga terdapat bilirubin bila
penderita ada ikterus. Pada penderita dengan asites , maka ekskresi
Na dalam urine berkurang ( urine kurang dari 4 meq/l)
menunjukkan kemungkinan telah terjadi syndrome hepatorenal.
b). Tinja
Terdapat kenaikan kadar sterkobilinogen. Pada penderita dengan
ikterus, ekskresi pigmen empedu rendah. Sterkobilinogen yang
tidak terserap oleh darah, di dalam usus akan diubah menjadi
sterkobilin yaitu suatu pigmen yang menyebabkan tinja berwarna
cokelat atau kehitaman.
c). Darah
Biasanya dijumpai normostik normokronik anemia yang ringan,
kadang –kadang dalam bentuk makrositer yang disebabkan
kekurangan asam folik dan vitamin B12 atau karena splenomegali.
Bilamana penderita pernah mengalami perdarahan gastrointestinal
maka baru akan terjadi hipokromik anemi. Juga dijumpai likopeni
bersamaan dengan adanya trombositopeni.
d). Tes Faal Hati
Penderita sirosis banyak mengalami gangguan tes faal hati, lebih
lagi penderita yang sudah disertai tanda-tanda hipertensi portal.
9

Pada sirosis globulin menaik, sedangkan albumin menurun. Pada


orang normal tiap hari akan diproduksi 10-16 gr albumin, pada
orang dengan sirosis hanya dapat disintesa antara 3,5-5,9 gr per
hari. Kadar normal albumin dalam darah 3,5-5,0 g/dL. Jumlah
albumin dan globulin yang masing-masing diukur melalui proses
yang disebut elektroforesis protein serum. Perbandingan normal
albumin : globulin adalah 2:1 atau lebih. Selain itu, kadar asam
empedu juga termasuk salah satu tes faal hati yang peka untuk
mendeteksi kelainan hati secara dini.

2. Sarana Penunjang Diagnostik


a). Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang sering dimanfaatkan ialah,:
pemeriksaan fototoraks, splenoportografi, Percutaneus
Transhepatic Porthography (PTP)
b). Ultrasonografi
Ultrasonografi (USG) banyak dimanfaatkan untuk mendeteksi
kelaianan di hati, termasuk sirosi hati. Gambaran USG tergantung
pada tingkat berat ringannya penyakit. Pada tingkat permulaan
sirosis akan tampak hati membesar, permulaan irregular, tepi hati
tumpul, . Pada fase lanjut terlihat perubahan gambar USG, yaitu
tampak penebalan permukaan hati yang irregular. Sebagian hati
tampak membesar dan sebagian lagi dalam batas nomal.
c). Peritoneoskopi (laparoskopi)
Secara laparoskopi akan tampak jelas kelainan hati. Pada sirosis
hati akan jelas kelihatan permukaan yang berbenjol-benjol
berbentuk nodul yang besar atau kecil dan terdapatnya gambaran
fibrosis hati, tepi biasanya tumpul. Seringkali didapatkan
pembesaran limpa.
10

G. Farmakologi
Penatalaksaan pasien sirosis biasanya didasarkan pada gejala yang ada.
Sebagai contoh, antasid diberikan untuk mengurangi distress lambung dan
meminimalkan kemungkinan perdarahan gastrointestinal. Vitamin dan
suplemen nutrisi akan meningkatkan proses kesembuhan pada sel-sel hati
yang rusak dan memperbaiki status gizi pasien. Pemberian preparat diuretik
yang mempertahankan kalium (spironolakton) mungkin diperlukan untuk
mengurangi asites dan meminimalkan perubahan cairan serta elektrolit yang
umum terjadi pada penggunaan jenis diuretik lainnya (Sjaifoellah, 2000).
1. Penatalaksaan lainnya pada sirosis hepatis, yaitu:
a. Istirahat yang cukup sampai terdapat perbaikan ikterus, asites, dan
demam.
b. Diet rendah protein (diet hati III: protein 1 g/kg BB, 55 g protein,
2.000 kalori). Bila ada ascites diberikan diet rendah garam II (600-
800 mg) atau III (1.000-2.000 mg). Bila proses tidak aktif,
diperlukan diet tinggi kalori (2.000-3.000 kalori) dan tinggi protein
(80-125 g/hari).
2. Penatalaksanaan pada asites dan edema, yaitu:
a. Istirahat dan diet rendah garam.
b. Bila istirahat dan diet rendah garam tidak dapat mengatasi, diberikan
pengobatan diuretik berupa spironolakton 50-100 mg/hari (awal) dan
dapat ditingkatkan sampai 300 mg/hari bila setelah 3-4 hari tidak
terdapat perubahan.
c. Bila terjadi asites refrakter (asites yang tidak dapat dikendalikan
dengan terapi medikamentosa yang intensif) lakukan terapi
parasentesis.
d. Pengendalian cairan asites. Diharapkan terjadi penurunan berat
badan 1kg/2 hari atau keseimbangan cairan negative 600-800
ml/hari. Hati-hati bila cairan terlalu banyak dikeluarkan dalam satu
saat, dapat mencetus ensefalopati hepatic.
11

H. Diagnosa Keperawatan yang muncul (Diagnose keperawatan SDKI)


1. Intoleransi aktivitas b.d kelemaha (D.0056)
2. Hipertermia b.d proses penyakit (D.0130)
3. Gangguan integritas kulit b,d perubahan status nutrisi (D.0129).
4. Defisit nutrisi b.d ketidak mampuan menelan makanan (D.0019).
5. Nyeri kronis b.d Ketidakseimbangan neurotransmiter, neuromodulator,
dan reseptor (D.0078)

I. Analisa Data

Data Fokus Etiologi Masalah Keperawatan


Subyektif dan Obyektif
DS: Intoleransi aktivitas kelemahan
 Mengeluh lelah

DO:
 Frekuensi jantung
meningkat > 20% dari
kondisi istirahat
DS: Hipertermia proses penyakit
 Mengeluh demam

DS:
 Kulit merah
 Kejang
 Takikardi
 Takipnea
 Kulit terasa hangat
 Suhu > 37
DS: Gangguan integritas perubahan status nutrisi
-
kulit
DO:
 Kerusakan jaringan
dan/atau lapisan kulit
 Nyeri
 Perdarahan
 Kemerahan
 Hermatoma
DS: Defisit nutrisi ketidak mampuan menelan
 Cepat kenyang setelah makanan
makan
 Kram/nyeri abdomen
 Nafsu makan menurun
DO:
12

 Berat badan menurun


minimal 10% di bawah
rentang ideal .
 Bising usus hiperaktif
 Otot pengunyah lemah
 Otot menelan lemah
 Membran mukosa pucat
 Sariawan
 Serum albumin turun
 Rambut rontok berlebihan
 Diare
DS: Nyeri kronis Ketidakseimbangan
 Mengeluh nyeri neurotransmiter,
 Merasa depresi (tertekan) neuromodulator, dan
 Merasa takut mengalami reseptor
cedera berulang
DO:
 Tampak meringis
 Gelisah
 Tidak mampu
menuntaskan aktivitas
 Bersikap protektif (mis.
posisi menghindari nyeri)
 Waspada
 Pola tidur berubah
 Anoreksia
 Fokus menyempit
 Berfokus pada disi sendiri

J. Rencana Asuhan Keperawatan

Diagnosa Keperawatan Luaran Keperawatan SIKI


(SIDI) (SLKI)
Kode Tujuan dan Kriteria Standar Intervensi
Diagnosa hasil Keperawatan
Intoleransi aktivitas b.d Setelah dilakukan asuhan Terapi aktivitas (I.05186)
keperawatan selama 3×24 Observasi
kelemaha (D.0056)
jam, diharapkan harapan  Identifikasi deficit
toleran aktivitas tingkat aktivitas
meningkat kriteria hasil:  Identifikasi
Kemudahan dalam kemampuan
melakukan aktvitas sehari berpartisipasi dalam
hari (5) aktivias tertentu
Kekuatan tubuh bagian  Identifikasi sumber
atas dan bawah daya untuk aktivitas
meningkat (5) yang diinginkan
Keluhan lelah menurun  Identifikasi strategi
13

(5) meningkatkan
Dispneu saat aktivitas partisipasi dalam
menurun (5) aktivitas
 Identifikasi makna
L.05047 aktivitas rutin (mis.
bekerja) dan waktu
luang
 Monitor respon
emosional, fisik, social,
dan spiritual terhadap
aktivitas

Terapeutik
 Fasilitasi focus pada
kemampuan, bukan
deficit yang dialami
 Sepakati komitmen
untuk meningkatkan
frekuensi dan rentang
aktivitas
 Fasilitasi memilih
aktivitas dan tetapkan
tujuan aktivitas yang
konsisten sesuai
kemampuan fisik,
psikologis, dan social
 Koordinasikan
pemilihan aktivitas
sesuai usia
 Fasilitasi transportasi
untuk menghadiri
aktivitas, jika sesuai
 Fasilitasi aktivitas fisik
rutin (mis. ambulansi,
mobilisasi, dan
perawatan diri), sesuai
kebutuhan
 Fasilitasi aktivitas
motorik untuk
merelaksasi otot
 Libatkan kelarga dalam
aktivitas, jika perlu
 Fasilitasi pasien dan
keluarga memantau
kemajuannya sendiri
untuk mencapai tujuan
 Jadwalkan aktivitas
dalam rutinitas sehari-
14

hari

Edukasi
 Jelaskan metode
aktivitas fisik sehari-
hari, jika perlu
 Ajarkan cara
melakukan aktivitas
yang dipilih
 Anjurkan melakukan
aktivitas fisik, social,
spiritual, dan kognitif,
dalam menjaga fungsi
dan kesehatan
 Anjurka terlibat dalam
aktivitas kelompok atau
terapi, jika sesuai
 Anjurkan keluarga
untuk member
penguatan positif atas
partisipasi dalam
aktivitas

Kolaborasi
 Kolaborasi dengan
terapi okupasi dalam
merencanakan dan
memonitor program
aktivitas, jika sesuai
 Rujuk pada pusat atau
program aktivitas
komunitas, jika perlu
Hipertermia b.d proses Setelah dilakukan asuhan Manajemen hipertermia
keperawatan selama 3×24 (I.15506)
penyakit (D.0130)
jam, diharapkan harapan Observasi
termoregulasi membaik  Identifkasi penyebab
dengan kriteria hasil: hipertermi (mis.
Suhu tubuh 36 dehidrasi terpapar
lingkungan panas
L.14134 penggunaan incubator)
 Monitor suhu tubuh
 Monitor kadar elektrolit
 Monitor haluaran urine

Terapeutik
 Sediakan lingkungan
yang dingin
 Longgarkan atau
15

lepaskan pakaian
 Basahi dan kipasi
permukaan tubuh
 Berikan cairan oral
 Ganti linen setiap hari
atau lebih sering jika
mengalami
hiperhidrosis (keringat
berlebih)
 Lakukan pendinginan
eksternal (mis. selimut
hipotermia atau
kompres dingin pada
dahi, leher, dada,
abdomen,aksila)
 Hindari pemberian
antipiretik atau aspirin
 Batasi oksigen, jika
perlu

Edukasi
 Anjurkan tirah baring

Kolaborasi
 Kolaborasi cairan dan
elektrolit intravena,
jika perlu
Gangguan integritas kulit b,d Setelah dilakukan Perawatan integritas kulit
Tindakan keperawatan (I.11353)
perubahan status nutrisi
selama 3x 24 jam, Observasi
(D.0129). diharapkan integritas  Identifikasi penyebab
kulit/jaringan meningkat gangguan integritas
dengan kriteria hasil: kulit (mis. Perubahan
- Kerusakan jaringan sirkulasi, perubahan
menurun status nutrisi,
- Kerusakan lapisan kulit peneurunan
menurun kelembaban, suhu
- Nyeri menurun dengan lingkungan ekstrem,
- Pendarahan menurun penurunan mobilitas)
- Kemerahan menurun
- Hematoma menurun Terapeutik
 Ubah posisi setiap 2
jam jika tirah baring
L.14125  Lakukan pemijatan
pada area penonjolan
tulang, jika perlu
 Bersihkan perineal
dengan air hangat,
16

terutama selama
periode diare
 Gunakan produk
berbahan petrolium
atau minyak pada kulit
kering
 Gunakan produk
berbahan ringan/alami
dan hipoalergik pada
kulit sensitif
 Hindari produk
berbahan dasar
alkohol pada kulit
kering

Edukasi
 Anjurkan
menggunakan
pelembab (mis. Lotin,
serum)
 Anjurkan minum air
yang cukup
 Anjurkan
meningkatkan asupan
nutrisi
 Anjurkan meningkat
asupan buah dan saur
 Anjurkan menghindari
terpapar suhu ektrime
 Anjurkan
menggunakan tabir
surya SPF minimal 30
saat berada diluar
rumah

Perawatan luka( I.14564 )


Observasi
 Monitor karakteristik
luka (mis:
drainase,warna,ukuran
,bau
 Monitor tanda –tanda
inveksi

Terapiutik
 lepaskan balutan dan
plester secara perlahan
 Cukur rambut di
17

sekitar daerah luka,


jika perlu
 Bersihkan dengan
cairan NACL atau
pembersih non
toksik,sesuai
kebutuhan
 Bersihkan jaringan
nekrotik
 Berika salep yang
sesuai di kulit /lesi,
jika perlu
 Pasang balutan sesuai
jenis luka
 Pertahan kan teknik
seteril saaat perawatan
luka
 Ganti balutan sesuai
jumlah eksudat dan
drainase
 Jadwalkan perubahan
posisi setiap dua jam
atau sesuai kondisi
pasien
 Berika diet dengan
kalori 30-35
kkal/kgBB/hari dan
protein1,25-1,5
g/kgBB/hari
 Berikan suplemen
vitamin dan mineral
(mis vitamin
A,vitamin
C,Zinc,Asam
amino),sesuai indikasi
 Berikan terapi
TENS(Stimulasi
syaraf
transkutaneous), jika
perlu

Edukasi
 Jelaskan tandan dan
gejala infeksi
 Anjurkan
mengonsumsi makan
tinggi kalium dan
protein
18

 Ajarkan prosedur
perawatan luka secara
mandiri

Kolaborasi
 Kolaborasi prosedur
debridement(mis:
enzimatik biologis
mekanis,autolotik),
jika perlu
 Kolaborasi pemberian
antibiotik, jika perlu
Defisit nutrisi b.d ketidak Setelah dilakukan asuhan Manajemen nutrisi (I.
keperawatan selama 3×24 03119)
mampuan menelan makanan
jam, diharapkan status Observasi
(D.0019). nutrisi membaik dengan  Identifikasi status
kriteria hasil: nutrisi
Porsi makanan yang  Identifikasi alergi dan
dihabiskan, kekuatan otot intoleransi makanan
pengunyah, kekuatan otot  Identifikasi makanan
menelan meningkat yang disukai
 Identifikasi kebutuhan
L.03030 kalori dan jenis nutrient
 Identifikasi perlunya
penggunaan selang
nasogastrik
 Monitor asupan
makanan
 Monitor berat badan
 Monitor hasil
pemeriksaan
laboratorium

Terapeutik
 Lakukan oral hygiene
sebelum makan, jika
perlu
 Fasilitasi menentukan
pedoman diet (mis.
Piramida makanan)
 Sajikan makanan secara
menarik dan suhu yang
sesuai
 Berikan makan tinggi
serat untuk mencegah
konstipasi
 Berikan makanan tinggi
kalori dan tinggi
19

protein
 Berikan suplemen
makanan, jika perlu
 Hentikan pemberian
makan melalui selang
nasigastrik jika asupan
oral dapat ditoleransi

Edukasi
 Anjurkan posisi duduk,
jika mampu
 Ajarkan diet yang
diprogramkan

Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
medikasi sebelum
makan (mis. Pereda
nyeri, antiemetik), jika
perlu
 Kolaborasi dengan ahli
gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis
nutrient yang
dibutuhkan, jika perlU

Nyeri kronis b.d Setelah dilakukan Manajemen nyeri (I.


Ketidakseimbangan Tindakan keperawatan 08238)
neurotransmiter, selama 3 X 24 jam Observasi
neuromodulator, dan reseptor diharapkan tingkat nyeri  Identifikasi lokasi,
(D.0078) menurun dengan kriteria karakteristik, frekuensi,
hasil: intensitas nyeri
Keluhan nyeri menurun  Identifikasi skala nyeri
dalam rentang nyeri 1-3  Identifikasi factor
Sikap protektif menurun penyebab nyeri
Kemampuan mengenali  Monitor efek samping
penyebab nyeri penggunaan analgetik
meningkat
Kemampuan mengontrol Terapeutik
nyeri meningkat  Berikan teknik
Kemampuan nonfarmakologis
menggunakan teknik untuk mengurangi rasa
nonfarmakologi nyeri (mis. TENS,
meningkat. hypnosis, akupresur,
Gelisah menurun terapi musik,
Keluhan sulit tidur biofeedback, terapi
menurun pijat, aroma terapi,
teknik imajinasi
20

L.08066 terbimbing, kompres


hangat/dingin, terapi
bermain)
 Control lingkungan
yang memperberat
rasa nyeri (mis. Suhu
ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
 Fasilitasi istirahat dan
tidur

Edukasi
 Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri
 Jelaskan strategi
meredakan nyeri
 Anjurkan memonitor
nyri secara mandiri
 Ajarkan teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa
nyeri

Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu

K. Daftar Pustaka

SDKI. (2017). Jakarta: Dewan Pengurus PPNI.

Baradero, mary. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Hati. Penerbit


buku kedocteran egc. Jakarta.

Black & Hawks. 2005. Medical surgical nursing : Clinical management for
positive outcome. St.Louis : Elvier Saunders

Brunner & Suddarth. 2008. Textbook of medical surgical nursing, eleventh


edition. Philadelpia: Lippincott William & Wilkins
21

Doenges, Marilynn E, Mary Frances Moorhouse dan Alice C. Geisser. (1999).


Rencana asuhankeperawatan : pedoman untuk perencanaan dan
pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: PenerbitBuku
Kedokteran (EGC)

Elizabeth J. Corwin. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : Penerbit Buku


Kedokteran EGC

Johnson, M. et.al. 2000. Nursing Outcome Classification (NOC) 2nd ed. USA:
Mosby

McCloskey, J. C. & Bulechek, G. M. 1996. Nursing Interventions


Classification (NIC). USA: Mosby Guyton &Hall. 2000. Fisiologi
Kedokteran. Jakarta : EGC

Keyman, Withfield. 2006. Dietary proteins intake in patients with hepatic


encephalopahaty and chirrosis : current practice in NSW and ACT.
Diakses pada tanggal 3 OKTOBER 2011 dari
:http://www.healthsystem.virginia.edu/internet/digestive-

Krenitsky. 2002. Nutrition for patient with hepatic failure. Diakses tanggal 3
Oktober 2011.
Dari:http://www.mja.com.au/public/issues/185_10_201106/hey10248_fm.pdf
Maryani, Sutadi. 2003. Sirosis hepatic. Medan : Bagian ilmu penyakit dalam
USU

Anda mungkin juga menyukai