Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

Asuhan Keperawatan Pada An. dengan Sirosis Hepatis


Periode Praktik 06 Februari s.d. 04 Maret

Disusun oleh:
Sherly Widyastuti / Kelompok Martha
NPM : 202291021

Dosen Pembimbing :
Ns.Marnila Yesni .M.Kep
Ns.Dwi Yunita Ramadhani .M.Kep

Program Studi Profesi Ners Jalur Umum/Khusus


Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Baiturrahim Jambi
Februari - Maret 2023
A. Pengertian
Sirosis hati merupakan perubahan jaringan hati yang ditandai dengan regenerasi
nodular yang bersifat difus dan dikelilingi oleh septa-septa fibrosis. Perubahan distorsi
tersebut dapat mengakibatkan peningkatan aliran darah portal, disfungsi sintesis
hepatosit, serta meningkatakan risiko karsinoma hepatoseluler (KHS) (Chritanto,2014).
Sirosis adalah penyakit kronis yang dicirikan dengan penggantian jaringan hati
normal dengan fibrosis yang menyebar, yang mengganggu struktur dan fungsi hati.
(Brunner &Suddarth,2013). Sirosis merupakan kondisi fibrosis dan pembentukan
jaringan parut yang difus di hat. Jaringan hati normal digantikan oleh nodus-nodus
fibrosa serta pita-pitafibrosa yang mengerut dan mengelilingi hepatosit. Arsitektur dan
fungsi hati normal terganggu (Elizabeth J.Corwin,2012).
Sirosis hepatis merupakan penyakit hepatik kronis yang ditandai dengan
kehancuran terdifusi dan regenerasi fibrotik sel hepatik. Saat jaringan nekrotik
menyebabkan fibrosis, sirosis mengubah hati dan vaskuler normal, mengganggu aliran
darah dan limfa dan akhirnya mengakibatkan insufisiensi hepatik (Soleh S. Naga dkk,
2012).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa sirosis hepatis adalah stadium akhir fibrosis
hepatik yang ditandai dengan fibrosis, dengan destorsi arsitektur hati yang normal oleh
lembar-lembar jaringan ikat. Dan menyebabkan hati akan sangat kecil berkisar 700-
800g, dan permukaan nya tidak rata serta noduler.

B. Penyebab dan faktor predisposisi


Penyebab Chirrosis Hepatis Secara morfologis, penyebab sirosis hepatis tidak
dapat dipastikan. Tapi ada dua penyebab yang dianggap paling sering menyebabkan
Chirrosis hepatis adalah :
1. Hepatitis virus
Hepatitis virus terutama tipe B sering disebut sebagai salah satu penyebab
chirrosis hati, apalagi setelah penemuan Australian Antigen oleh Blumberg pada
tahun 1965 dalam darah penderita dengan penyakit hati kronis , maka diduga
mempunyai peranan yang besar untuk terjadinya nekrosa sel hati sehingga
terjadi chirrosisi. Secara klinik telah dikenal bahwa hepatitis virus B lebih
banyak mempunyai kecenderungan untuk lebih menetap dan memberi gejala
sisa serta menunjukan perjalanan yang kronis, bila dibandingkan dengan
hepatitis virus A
2. Zat hepatotoksik atau Alkoholisme.
Beberapa obat-obatan dan bahan kimia dapat menyebabkan terjadinya
kerusakan pada sel hati secara akut dan kronis. Kerusakan hati akut akan
berakibat nekrosis atau degenerasi lemak, sedangkan kerusakan kronis akan
berupa sirosis hati. Zat hepatotoksik yang sering disebut-sebut ialah alcohol.
Sirosis hepatis oleh karena alkoholisme sangat jarang, namun peminum yang
bertahun-tahun mungkin dapat mengarah pada kerusakan parenkim hati.
3. Hemokromatosis
Bentuk chirrosis yang terjadi biasanya tipe portal. Ada dua kemungkinan
timbulnya hemokromatosis, yaitu: a. Sejak dilahirkan si penderita menghalami
kenaikan absorpsi dari Fe. b. Kemungkinan didapat setelah lahir (acquisita),
misalnya dijumpai pada penderita dengan penyakit hati alkoholik.
Bertambahnya absorpsi dari Fe, kemungkinan menyebabkan timbulnya sirosis
hati.
C. Manifestasi klinik (tanda & gejala)
1. Gejala
Gejala chirrosis hati mirip dengan hepatitis, karena terjadi sama-sama di liver
yang mulai rusak fungsinya, yaitu: kelelahan, hilang nafsu makan, mualmual,
badan lemah, kehilangan berat badan, nyeri lambung dan munculnya jaringan
darah mirip laba-laba di kulit (spider angiomas). Pada chirrosis terjadi
kerusakan hati yang terus menerus dan terjadi regenerasi noduler serta
ploriferasi jaringan ikat yang difus.

2. Tanda Klinis
Tanda-tanda klinik yang dapat terjadi yaitu :
a. Adanya ikterus (penguningan) pada penderita chrirosis. Timbulnya ikterus
(penguningan ) pada seseorang merupakan tanda bahwa ia sedang
menderita penyakit hati. Penguningan pada kulit dan mata terjadi ketika
liver sakit dan tidak bisa menyerap bilirubin. Ikterus dapat menjadi
penunjuk beratnya kerusakan sel hati. Ikterus terjadi sedikitnya pada 60 %
penderita selama perjalanan penyakit
b. Timbulnya asites dan edema pada penderita chirrosis Ketika liver
kehilangan kemampuannya membuat protein albumin, air menumpuk pada
kaki (edema) dan abdomen (ascites). Faktor utama asites adalah
peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler usus . Edema umumnya
timbul setelah timbulnya asites sebagai akibat dari hipoalbuminemia dan
resistensi garam dan air.
c. Hati yang membesar Pembesaran hati dapat ke atas mendesak diafragma
dan ke bawah. Hati membesar sekitar 2-3 cm, dengan konsistensi lembek
dan menimbulkan rasa nyeri bila ditekan.
d. Hipertensi portal Hipertensi portal adalah peningkatan tekanan darah vena
portal yang memetap di atas nilai normal. Penyebab hipertensi portal adalah
peningkatan resistensi terhadap aliran darah melalui hati.

D. Patofisiologi
Infeksi hepatitis viral tipe B/C menimbulkan peradangan sel hati. Peradangan
ini menyebabkan nekrosis meliputi daerah yang luas (hepatoseluler), terjadi kolaps
lobulus hati dan ini memacu timbulnya jaringan parut disertai terbentuknya septa
fibrosa difus dan nodul sel hati, walaupun etiologinya berbeda, gambaran histologi
sirosis hati sama atau hampir sama, septa bisa dibentuk dari sel retikulum penyangga
yang kolaps dan berubah jadi parut. Jaringan parut ini dapat menghubungkan daerah
porta dengan sentral. Beberapa sel tumbuh kembali dan membentuk nodul dengan
berbagai macam ukuran dan ini menyebabkan distorsi percabangan pembuluh hepatik
dan gangguan aliran darah porta, dan menimbulkan hipertensi portal. Hal demikian
dapat pula terjadi pada sirosis alkoholik tapi prosesnya lebih lama. Tahap berikutnya
terjadi peradangan pada nekrosis pada sel duktules, sinusoid, retikulo endotel, terjadi
fibrinogenesis dan septa aktif. Jaringan kolagen berubah dari reversible menjadi
ireversibel bila telah terbentuk septa permanen yang aseluler pada daerah porta dan
parenkim hati. Gambaran septa ini bergantung pada etiologi sirosis. Pada sirosis dengan
etiologi hemokromatosis, besi mengakibatkan fibrosis daerah periportal, pada sirosis
alkoholik timbul fibrosis daerah sentral. Sel limposit T dan makrofag menghasilkan
limfokin dan monokin, mungkin sebagai mediator timbulnya fibrinogen. Mediator ini
tidak memerlukan peradangan dan nekrosis aktif. Septal aktif ini berasal dari daerah
porta menyebar ke parenkim hati.
E. Pathway keperawatan

F. Penatalaksanaan
1. Istirahat di tempat tidur sampai terdapat perbaikan ikterus, asites, dan demam.
2. Diet rendah protein (diet hati III protein 1gr/kg BB, 55 gr protein, 2.000 kalori).
3. Bila ada asites diberikan diet rendah garam II (600-800 mg) atau III (1.000-
2000 mg). Bila proses tidak aktif diperlukan diet tinggi kalori (2.000-3000
kalori) dan tinggi protein (80-125 gr/hari).
4. Bila ada tanda-tanda prekoma atau koma hepatikum, jumlah protein dalam
makanan dihentikan (diet hati II) untuk kemudian diberikan kembali sedikit
demi sedikit sesuai toleransi dan kebutuhan tubuh. Pemberian protein yang
melebihi kemampuan pasien atau meningginya hasil metabolisme protein,
dalam darah viseral dapat mengakibatkan timbulnya koma hepatikum. Diet yang
baik dengan protein yang cukup perlu diperhatikan.
5. Mengatasi infeksi dengan antibiotik diusahakan memakai obat-obatan yang jelas
tidak hepatotoksik.
6. Mempebaiki keadaan gizi bila perlu dengan pemberian asam amino esensial
berantai cabang dengan glukosa. Roboransia. Vitamin B compleks. Dilarang
makan dan minum bahan yang mengandung alkohol.

Penatalaksanaan asitesis dan edema adalah :


1. Istirahat dan diet rendah garam. Dengan istirahat dan diet rendah garam (200-
500 mg perhari), kadang-kadang asitesis dan edema telah dapat diatasi.
Adakalanya harus dibantu dengan membatasi jumlah pemasukan cairan selama
24 jam, hanya sampai 1 liter atau kurang.
2. Bila dengan istirahat dan diet tidak dapat diatasi, diberikan pengobatan diuretik
berupa spironolakton 50-100 mg/hari (awal) dan dapat ditingkatkan sampai 300
mg/hari bila setelah 3 – 4 hari tidak terdapat perubahan.
3. Bila terjadi asites refrakter (asites yang tidak dapat dikendalikan dengan terapi
medikamentosa yang intensif), dilakukan terapi parasentesis. Walupun
merupakan cara pengobatan asites yang tergolong kuno dan sempat ditinggalkan
karena berbagai komplikasinya, parasentesis banyak kembali dicoba untuk
digunakan. Pada umunya parasentesis aman apabila disertai dengan infus
albumin sebanyak 6 – 8 gr untuk setiap liter cairan asites. Selain albumin dapat
pula digunakan dekstran 70 % Walaupun demikian untuk mencegah
pembentukan asites setelah parasentesis, pengaturan diet rendah garam dan
diuretik biasanya tetap diperlukan.
4. Pengendalian cairan asites. Diharapkan terjadi penurunan berat badan 1 kg/hari.
Hati-hati bila cairan terlalu banyak dikeluarkan dalam suatu saat, dapat
mencetuskan ensefalopati hepatik.

G. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Urine
Dalam urine terdapat urobilnogen juga terdapat bilirubin bila penderita ada
ikterus. Pada penderita dengan asites , maka ekskresi Na dalam urine
berkurang ( urine kurang dari 4 meq/l) menunjukkan kemungkinan telah
terjadi syndrome hepatorenal.
b. Tinja
Terdapat kenaikan kadar sterkobilinogen. Pada penderita dengan ikterus,
ekskresi pigmen empedu rendah. Sterkobilinogen yang tidak terserap oleh
darah, di dalam usus akan diubah menjadi sterkobilin yaitu suatu pigmen
yang menyebabkan tinja berwarna cokelat atau kehitaman.
c. Darah
Biasanya dijumpai normostik normokronik anemia yang ringan, kadang –
kadang dalam bentuk makrositer yang disebabkan kekurangan asam folik
dan vitamin B12 atau karena splenomegali. Bilamana penderita pernah
mengalami perdarahan gastrointestinal maka baru akan terjadi hipokromik
anemi. Juga dijumpai likopeni bersamaan dengan adanya trombositopeni.
d. Tes Faal Hati
Penderita sirosis banyak mengalami gangguan tes faal hati, lebih lagi
penderita yang sudah disertai tanda-tanda hipertensi portal. Pada sirosis
globulin menaik, sedangkan albumin menurun. Pada orang normal tiap hari
akan diproduksi 10-16 gr albumin, pada orang dengan sirosis hanya dapat
disintesa antara 3,5-5,9 gr per hari.9 Kadar normal albumin dalam darah
3,5- 5,0 g/dL38. Jumlah albumin dan globulin yang masing-masing diukur
melalui proses yang disebut elektroforesis protein serum. Perbandingan
normal albumin : globulin adalah 2:1 atau lebih. 39 Selain itu, kadar asam
empedu juga termasuk salah satu tes faal hati yang peka untuk mendeteksi
kelainan hati secara dini.
2. Sarana Penunjang Diagnostik
a. Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang sering dimanfaatkan ialah,: pemeriksaan
fototoraks, splenoportografi, Percutaneus Transhepatic Porthography (PTP)
b. Ultrasonografi
Ultrasonografi (USG) banyak dimanfaatkan untuk mendeteksi kelaianan di
hati, termasuk sirosi hati. Gambaran USG tergantung pada tingkat berat
ringannya penyakit. Pada tingkat permulaan sirosis akan tampak hati
membesar, permulaan irregular, tepi hati tumpul, . Pada fase lanjut terlihat
perubahan gambar USG, yaitu tampak penebalan permukaan hati yang
irregular. Sebagian hati tampak membesar dan sebagian lagi dalam batas
nomal.
c. Peritoneoskopi (laparoskopi)
Secara laparoskopi akan tampak jelas kelainan hati. Pada sirosis hati akan
jelas kelihatan permukaan yang berbenjol-benjol berbentuk nodul yang
besar atau kecil dan terdapatnya gambaran fibrosis hati, tepi biasanya
tumpul. Seringkali didapatkan pembesaran limpa.

H. Pengkajian focus
1. Identitas Klien
2. Riwayat Sakit dan Kesehatan
3. Riwayat Kesehatan Sekarang
Mengapa pasien masuk Rumah Sakit dan apa keluahan utama pasien, sehingga
dapat ditegakkan prioritas masalah keperawatan yang dapat muncul.
4. Riwayat Kesehatan Sebelumnya
Apakah pasien pernah dirawat dengan penyakit yang sama atau penyakit lain
yang berhubungan dengan penyakit hati, sehingga menyebabkan penyakit
Sirosis hepatis. Apakah pernah sebagai pengguna alkohol dalam jangka waktu
yang lama disamping asupan makanan dan perubahan dalam status jasmani serta
rohani pasien. Selain itu apakah pasien memiliki penyakit hepatitis, obstruksi
empedu, atau bahkan pernah mengalami gagal jantung kanan.
5. Riwayat Kesehatan Keluarga
Adakah penyakit-penyakit yang dalam keluarga sehingga membawa dampak
berat pada keadaan atau yang menyebabkan Sirosis hepatis, seperti keadaan
sakit DM, hipertensi,ginjal yang ada dalam keluarga. Hal ini penting dilakukan
bila ada gejala-gejala yang memang bawaan dari keluarga pasien.
6. Riwayat Sosial Ekonomi
Apakah pasien suka berkumpul dengan orang-orang sekitar yang pernah
mengalami penyakit hepatitis, berkumpul dengan orang-orang yang dampaknya
mempengaruhi perilaku pasien yaitu peminum alcohol, karena keadaan
lingkungan sekitar yang tidak 7.
7. Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda vital dan pemeriksaan fisik kepala – kaki, TD, Nadi, Respirasi,
Temperatur yang merupakan tolak ukur dari keadaan umumpasien / kondisi
pasien dan termasuk pemeriksaan dari kepala sampai kaki dan lebih fokus pada
pemeriksaan organ seperti hati, abdomen, limpa dengan menggunakan prinsip-
prinsip inspeksi, auskultasi, palpasi, perkusi), disamping itu juga penimbangan
BB dan pengukuran tinggi badan dan LLA untuk mengetahui adanya
penambahan BB karena retreksi cairan dalam tubuh disamping juga untuk
menentukan tingakat gangguan nutrisi yang terjadi, sehingga dapat dihitung
kebutuhan Nutrisi yang dibutuhkan.
a. Hati Perkiraan besar hati, bila ditemukan hati membesar tanda awal
adanya cirosis hepatis, tapi bila hati mengecil prognosis kurang baik,
konsistensi biasanya kenyal / firm, pinggir hati tumpul dan ada nyeri
tekan padaperabaan hati.
b. Limpa Ada pembesaran limpa, dapat diukur dengan 2 cara :-Schuffner,
hati membesar ke medial dan ke bawah menuju umbilicus (S-I-IV) dan
dari umbilicus ke SIAS kanan (S V-VIII)-Hacket, bila limpa membesar
ke arah bawah saja.
c. Pada abdomen dan ekstra abdomen dapat diperhatikan adanya vena
kolateral dan acites, manifestasi diluar perut: perhatikan adanya spinder
nevi pada tubuh bagian atas, bahu, leher, dada, pinggang, caput
medussae dan tubuh bagian bawah, perlunya diperhatikan adanya
eritema palmaris, ginekomastiadan atropi testis pada pria, bias juga
ditemukan hemoroid
d. Pemeriksaan Fisik (ROS : Review of System)
1) B1 (Breathing)
Sesak, keterbatasan ekspansi dada karena hidrotoraks dan asites.
2) B2 (Blood)
Pendarahan, anemia, menstruari menghilang. Obstruksi
pengeluaran empedu mengakibatkan absorpsi lemak menurun,
sehingga absorpsi vitamin K menurun. Akibatnya, factor-faktor
pembekuan darah menurun dan menimbulkan pendarahan.
Produksi pembekuan darah menurun yang mengakibatkan
gangguan pembekuan darah, selanjutnya cenderung mengalami
pendarahan dan mengakibatkan anemia. produksi albumin
menurun mengakibatkan penurunan tekanan osmotic koloid,
yang akhirnya menimbulkan edema dan asites. Gangguan system
imun : sistesis protein secara umum menurun, sehingga
menggangu system imun, akhirnya penyembuhan melambat.
3) B3 (Brain)
Kesadaran dan keadaan umum pasien Perlu dikaji tingkat
kesadaran pasien dari sadar – tidak sadar (composmentis – coma)
untuk mengetahui berat ringannya prognosis penyakit pasien,
kekacuan fungsi dari hepar salah satunya membawa dampak yang
tidak langsung terhadap penurunan kesadaran, salah satunya
dengan adanya anemia menyebabkan pasokanO2 ke jaringan
kurang termasuk pada otak.
4) B4 (Bladder)
Urine berwarna kuning tua dan berbuih. Bilirubin tak-
terkonjugasi
5) B5 (Bowel)
Anoreksia, mual, muntah, nyeri abdomen. Vena-vena
gastrointestinal menyempit, terjadi inflamasi hepar, fungsi
gastrointestinal terganggu. Sintetisb asam lemak dan trigliserida
meningkat yang mengakibatkan hepar berlemak, akhirnya
menjadi hepatomegali : oksidasi asam lemak menurun yang
menyebabkan penurunan produksi tenaga. Akibatnya, berat
badan menurun.
6) B6 (Bone)
Keletihan, metabolism tubuh meningkat produksi energy kurang.
Glikogenesis meningkat, glikogenolisis dan glikoneogenesis
meningkat yang menyebabkan gangguan metabolisme glukosa.
Akibatnya terjadi penurunan tenaga. Hal yang perlu dikaji pada
klien degan chirrosis hepatis :
1. Aktivitas dan istirahat : kelemahan, kelelahan, terlalu
lelah, letargi, penurunan massa otot/tonus.
2. Sirkulasi Riwayat Gagal jantung koroner kronis,
perikarditis, penyakit jantung, reumatik, kanker
(malfungsi hati menimbulkan gagal hati), Distrimia,
bunyi jantung ekstra (S3, S4).
3. Eliminasi Flatus, Distensi abdomen (hepatomegali,
splenomegali, asites), penurunan atau tidak ada bising
usus, Feces warna tanah liat, melena, urin gelap, pekat.
4. Nutrisi Anoreksia, tidak toleran terhadap makanan/tidak
dapat menerima, Mual, muntah, Penurunan berat badan
atau peningkatan cairan penggunaan jaringan, Edema
umum pada jaringan, Kulit kering,Turgor buruk, Ikterik,
angioma spider, Nafas berbau/fetor hepatikus,
perdarahan gusi.
5. Neurosensori Orang terdekat dapat melaporkan
perubahan keperibadian, penurunan mental, perubahan
mental, bingung halusinasi, koma bicara lambat/tak
jelas.
6. Nyeri Nyeri tekan abdomen/nyeri kuadran atas, Pruritus,
Neuritis Perifer, Perilaku berhati-hati/distraksi, Fokus
pada diri sendiri.
7. Respirasi Dispnea Takipnea, pernapasan dangkal, bunyi
napas tambahan, Ekspansi paru terbatas (asites),
Hipoksia
8. Keamanan Pruritus, Demam (lebih umum pada sirosis
alkoholik), Ikterik, ekimosis, petekia. Angioma
spider/teleangiektasis, eritema palmar.
9. Seksualitas Gangguan menstruasi/impoten, Atrofi testis,
ginekomastia, kehilangan rambut (dada, bawah lengan,
pubis).

I. Diagnosa keperawatan
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan deformitas dinding dada,
Imaturitas neurologis, Penurunan energi, Obesitas, Posisi tubuh yang menghambat
ekspansi paru, Kecemasan dibuktikan dengan sesak napas, penggunaan otot bantu
pernapasan, fase ekspirasi memanjang, takipnea.
2. Hipertermia berhubungan dengan Proses penyakit infeksi, peningkatan laju
metabolisme dibuktikan dengan Suhu tubuh diatas nilai normal.
3. Nyeri kronis berhubungan dengan penekanan saraf, Infiltrasi tumor,
Ketidakseimbangan neurotransmiter, neuromodulator, dan reseptor, Gangguan
fungsi metabolic, Peningkatan indeks massa tubuh dibuktikan dengan mengeluh
nyeri, merasa tertekan, tampak meringis, gelisah, tidak mampu menuntaskan
aktivitas.
4. Hipervolemia b.d gangguan aliran balik vena, Gangguan mekanisme regulasi
Kelebihan asupan cairan, Kelebihan asupan natrium d.d ortopnea, Dispnea,
Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND), edema perifer, JVP meningkat, Berat badan
meningkat dalam waktu singkat, Refleks hepatojugular positif
5. Intoleransi aktivitas b.d Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen, Tirah baring, Kelemahan, Imobilitas d.d mengeluh lelah, frekuensi
jantung meningkat > 20% dari kondisi istirahat.
J. Perencanaan keperawatan
N DIAGNOSA TUJUAN DAN KRITERIA HASIL INTERVENSI
O KEPERAWATAN
1 Pola napas tidak efektif Setelah dilakukan intervensi Manajemen Jalan Napas (I.01011)
berhubungan dengan keperawatan selama 3 x 24 jam, Observasi
deformitas dinding dada, maka pola napas membaik, dengan 1. Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
Imaturitas neurologis, kriteria hasil: 2. Monitor bunyi napas tambahan (misalnya: gurgling, mengi,
Penurunan energi, Obesitas, 1. Dispnea menurun wheezing, ronchi kering)
Posisi tubuh yang 2. Penggunaan otot bantu napas 3. Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
menghambat ekspansi paru, menurun
Kecemasan dibuktikan dengan 3. Pemanjangan fase ekspirasi Terapeutik
sesak napas, penggunaan otot menurun 1. Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan chin-lift
bantu pernapasan, fase 4. Frekuensi napas membaik (jaw thrust jika curiga trauma fraktur servikal)
ekspirasi memanjang, 5. Kedalaman napas membaik 2. Posisikan semi-fowler atau fowler
takipnea. 3. Berikan minum hangat
4. Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
5. Lakukan penghisapan lender kurang dari 15 detik
6. Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal
7. Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep McGill
8. Berikan oksigen, jika perlu

Edukasi
1. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak ada
kontraindikasi
2. Ajarkan Teknik batuk efektif

Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik,
jika perlu
2 Hipertermia berhubungan Setelah dilakukan intervensi Manajemen Hipertermia (I.15506)
dengan Proses penyakit keperawatan selama 1 x 24 jam, Observasi
infeksi, peningkatan laju maka termoregulasi membaik, 1. Identifikasi penyebab hipertermia (mis: dehidrasi, terpapar
metabolisme dibuktikan dengan kriteria hasil : lingkungan panas, penggunaan inkubator)
dengan Suhu tubuh diatas 1. Suhu tubuh membaik 2. Monitor suhu tubuh
nilai normal. 2. Suhu tubuh membaik 3. Monitor kadar elektrolit
3. Suhu kulit membaik 4. Monitor haluaran urin
5. Monitor komplikasi akibat hipertermia

Terapeutik
1. Sediakan lingkungan yang dingin
2. Longgarkan atau lepaskan pakaian
3. Basahi dan kipasi permukaan tubuh
4. Berikan cairan oral
5. Ganti linen setiap hari atau lebih sering jika mengalami
hyperhidrosis (keringat berlebih)
6. Lakukan pendinginan eksternal (mis: selimut hipotermia atau
kompres dingin pada dahi, leher, dada, abdomen, aksila)
7. Hindari pemberian antipiretik atau aspirin
8. Berikan oksigen, jika perlu

Edukasi
1. Anjurkan tirah baring

Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit intravena, jika perlu
3 Nyeri kronis berhubungan Setelah dilakukan intervensi Manajemen Nyeri (I.08238)
dengan penekanan saraf, keperawatan selama 3 x 24 jam, Observasi
Infiltrasi tumor, maka tingkat nyeri menurun, dengan 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
Ketidakseimbangan kriteria hasil : intensitas nyeri
neurotransmiter, 1. Keluhan nyeri menurun 2. Identifikasi skala nyeri
neuromodulator, dan reseptor, 2. Perasaan depresi menurun 3. Idenfitikasi respon nyeri non verbal
Gangguan fungsi metabolic, 3. Meringis menurun 4. Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
Peningkatan indeks massa 4. Gelisah menurun 5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
tubuh dibuktikan dengan 5. Kemampuan menuntaskan 6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
mengeluh nyeri, merasa aktivitas meningka 7. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
tertekan, tampak meringis, 8. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah
gelisah, tidak mampu diberikan
menuntaskan aktivitas 9. Monitor efek samping penggunaan analgetik

Terapeutik
1. Berikan Teknik nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri (mis:
TENS, hypnosis, akupresur, terapi music, biofeedback, terapi
pijat, aromaterapi, Teknik imajinasi terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi bermain)
2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis: suhu
ruangan, pencahayaan, kebisingan)
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri

Edukasi
1. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
4. Anjurkan menggunakan analgesik secara tepat
5. Ajarkan Teknik farmakologis untuk mengurangi nyeri

Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
4 Hipervolemia b.d gangguan Setelah dilakukan intervensi Manajemen Hipervolemia (I.03114)
aliran balik vena, Gangguan keperawatan selama 3 x 24 jam, Observasi
mekanisme regulasi maka status cairan membaik, dengan 1. Periksa tanda dan gejala hypervolemia (mis: ortopnea, dispnea,
Kelebihan asupan cairan, kriteria hasil : edema, JVP/CVP meningkat, refleks hepatojugular positif, suara
Kelebihan asupan natrium d.d 1. Ortopnea menurun napas tambahan)
ortopnea, Dispnea, 2. Edema perifer menurun 2. Identifikasi penyebab hypervolemia
Paroxysmal nocturnal dyspnea 3. JVP meningkat membaik 3. Monitor status hemodinamik (mis: frekuensi jantung, tekanan
(PND), edema perifer, JVP 4. Dispnea menurun darah, MAP, CVP, PAP, PCWP, CO, CI) jika tersedia
meningkat, Berat badan 5. Paroxysmal nocturnal 4. Monitor intake dan output cairan
meningkat dalam waktu dyspnea (PND) menurun 5. Monitor tanda hemokonsentrasi (mis: kadar natrium, BUN,
singkat, Refleks hepatojugular 6. Edema anasarka menurun hematokrit, berat jenis urine)
positif 7. Frekuensi nadi membaik 6. Monitor tanda peningkatan tekanan onkotik plasma (mis: kadar
8. Tekanan darah membaik protein dan albumin meningkat)
9. Turgor kulit membaik 7. Monitor kecepatan infus secara ketat
10. Hemoglobin membaik 8. Monitor efek samping diuretic (mis: hipotensi ortostatik,
11. Hematokrit membaik hypovolemia, hipokalemia, hiponatremia)

Terapeutik
1. Timbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama
2. Batasi asupan cairan dan garam
3. Tinggikan kepala tempat tidur 30 – 40 derajat

Edukasi
1. Anjurkan melapor jika haluaran urin < 0,5 mL/kg/jam dalam 6
jam
2. Anjurkan melapor jika BB bertambah > 1 kg dalam sehari
3. Ajarkan cara membatasi cairan

Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian diuretic
2. Kolaborasi penggantian kehilangan kalium akibat diuretic
3. Kolaborasi pemberian continuous renal replacement therapy
(CRRT) jika perlu
5 Intoleransi aktivitas b.d Setelah dilakukan intervensi Manajemen Energi (I.05178)
Ketidakseimbangan antara keperawatan selama 3 x 24 jam, Observasi
suplai dan kebutuhan oksigen, maka toleransi aktivitas meningkat, 1. Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan
Tirah baring, Kelemahan, dengan kriteria hasil : kelelahan
Imobilitas d.d mengeluh lelah, 1. Keluhan Lelah menurun 2. Monitor kelelahan fisik dan emosional
frekuensi jantung meningkat > 2. Frekuensi nadi membaik 3. Monitor pola dan jam tidur
20% dari kondisi istirahat. 3. Dispnea saat aktivitas 4. Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan
menurun aktivitas
4. Dispnea setelah aktivitas
menurun Terapeutik
1. Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus (mis: cahaya,
suara, kunjungan)
2. Lakukan latihan rentang gerak pasif dan/atau aktif
3. Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan
4. Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur, jika tidak dapat berpindah
atau berjalan

Edukasi
1. Anjurkan tirah baring
2. Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
3. Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan gejala kelelahan
tidak berkurang
4. Ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan

Kolaborasi
1. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan
makanan
DAFTAR PUSTAKA

Joane C. Mc. Closkey, Gloria M. Bulechek, 2006, Nursing Interventions Classification (NIC),
Mosby Year-Book, St. Louis

Kuncara, H.Y, dkk, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth,
EGC, Jakarta

Marion Johnson, dkk, 2000, Nursing Outcome Classifications (NOC), Mosby Year-Book, St.
Louis

Marjory Gordon, dkk, 2001, Nursing Diagnoses: Definition & Classification 2001- 2002,
NANDA

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. (2001). Keperawatan medikal bedah 2. (Ed 8).
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).

Soeparman. (2004). Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit FKUI, Jakarta

http://lpkeperawatan.blogspot.com/2013/12/laporan-pendahuluan-
sirosishepatis_4798.html#.VGlL-NKUdiI

PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:Definisi dan Indikator Diagnostik,


Edisi 1 Cetakan III (Revisi). Jakarta: PPNI.

PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1 Cetakan II. Jakarta: PPNI.

PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan


Keperawatan, Edisi 1 Cetakan II. Jakarta: PPNI.

Anda mungkin juga menyukai