Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN DIAGNOSA MEDIS

SIROSIS HEPATIS

S2 SPESIALIS KMB
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA
2021
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Sirosis hepatis merupakan penyakit pada hati yang ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat
disertai nodul. Biasanya dimulai dengan proses peradangan, nekrosis sel hati yang luas, pembentukan
jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul, sehingga menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro sel
hepar tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut (Smeltzer & Bare, 2002).
2. Klasifikasi berdasarkan Etiologi
Sirosis atau pembentukan jaringan parut dalam hati dibedakan menjadi tiga tipe berdasarkan etiologinya,
yaitu sirosis Laennec, sirosis postnekrotik, dan sirosis bilier (Smeltzer & Bare, 2002).
a. Sirosis Laennec disebut juga sirosis alkoholik, merupakan sirosis yang terjadi akibat konsumsi alkohol
yang berlebihan dalam jangka waktu yang lama, yang menimbulkan efek toksik langsung pada hati.
Sirosis jenis ini merupakan 50% atau lebih dari seluruh kasus sirosis. Perubahan pertama pada hati
ditunjukkan dengan adanya akumulasi lemak di dalam sel-sel hati, disebut juga dengan fatty liver.
Akumulasi lemak terjado dikarenakan adanya kemungkinan bahwa individu yang mengkonsumsi
alkohol secara berlebihan, tidak makan secara layak dan gagal mengkonsumsi protein dalam jumlah
cukup (Price & Wilson, 2006). Kompensasi hati terhadap hal tersebut adalah dengan memecah asam-
asam lemak menjadi badan keton. Badan keton ini akan masuk ke dalam aliran darah dan menjadi
sumber energi bagi otot serta jaringan tubuh yang lain. Selain menghasilkan badan keton, asam-asam
lemak tersebut juga digunakan untuk mensintesis kolesterol, lipoprotein, dan bentuk lipid kompleks
lainnya. Pada kondisi itulah lipid tertimbun di dalam hepatosit sehingga lemak terakmulasi di dalam sel-
sel hati (Smeltzer & Bare, 2002).
b. Sirosis Postnekrotik Sirosis postnekrotik merupakan akibat lanjut dari hepatitis virus yang terjadi
sebelumnya, biasanya hepatitis B dan hepatitis C (Black &Hawks, 2009). Sirosis jenis ini memiliki
persentase sebesar 20% dari seluruh kasus sirosis. Pasien dengan hasil HBsAg positif menunjukkan
hepatitis kronik aktif dan mengarah ke sirosis hepatis (Price & Wilson, 2006). Infeksi hepatitis B
merupakan penyakit yang tidak bertahan lama dalam tubuh penderita dan akan sembuh sendiri tanpa
pengobatan khusus. Kondisi ini disebut infeksi hepatitis B akut. Akan tetapi, infeksi hepatitis B juga
dapat menetap dan bertahan dalam tubuh seseorang (menjadi kronis). Infeksi hepatitis B kronis ini dapat
menimbulkan komplikasi yang dapat membahayakan nyawa, yaitu sirosis dan kanker hati. Oleh karena
itu, penderita hepatitis B kronis perlu melakukan kontrol secara berkala ke dokter untuk mendapatkan
penanganan dan deteksi dini bila terjadi komplikasi. Perlu diketahui, hepatitis B dapat dicegah dengan
melakukan vaksinasi hepatitis B (Rajbhandari & Chung, 2016). Gambaran hati berupa nekrosis
berbercak pada jaringan hati, menimbulkan nodul-nodul besar dan kecil yang dikelilingi dan dipisahkan
oleh jaringan parut, berselang-seling dengan jaringan parenkim hati normal.
c. Sirosis Bilier Sirosis bilier merupakan sirosis yang disebabkan oleh obstruksi bilier posthepatik. Stasis
empedu menyebabkan penumpukan empedu di dalam hati, mengakibatkan kerusakan sel-sel hati, dan
terbentuk jaringan parut (fibrosa) di tepi lobulus.
3. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala pada pasien sirosis hepatis adalah sebagai berikut (Price & Wilson, 2006; Smeltzer &
Bare, 2002).
a. Perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan kurang, perasaan perut kembung/begah, dan berat badan
menurun.
b. Bila sudah timbul komplikasi kegagalan hati dapat menyebabkan gangguan tidur, gangguan pembekuan
darah (perdarahan gusi, epistaksis), ikterus dengan urin berwarna pekat seperti teh, hematemesis,
melena, perut membesar dan terjadi asites, kaki bengkak, nyeri pada perut, sampai dengan penurunan
kesadaran.
4. Patofisiologi

Sirosis yang disebabkan oleh virus hepatitis B dan C ditandai dengan adanya fibrosis portal
dengan bridging fibrosis dan pembentukan nodul. Pembentukan fibrin yang terus menerus menutup portal
sehingga pertukaran oksigen antara sinusoid hepatis dan hepatosit terganggu. Hal ini menyebabkan fungsi
hepar terganggu. Pembentukan fibrin yang menyebabkan fibrosis disebabkan oleh aktivasi sel stelata yang
diinduksi oleh paparan oleh virus hepatitis. Selain itu, angiogenesis dan kapilarisasi berlangsung terus
menerus sehingga menyebabkan gagal hepar dan meningkatkan tekanan portal. (Longo, 2012).

Hipertensi portal menyebabkan pembentukan varises pada esofagus dan gaster. Hal ini sangat
berbahaya mengingat varises mudah untuk pecah dan terjadi perdarahan. Selain itu, vasodilasi splanknik
juga meningkatkan aliran ke portal yang memperparah tekanan portal dan juga menyebabkan sirkulasi
hiperdinamik. Hal ini berujung pada asites dan sindrom hepatorenal yang ditandai dengan adanya retensi
natrium, vasodilasi perifer, dan aktivasi faktor vasoaktif (Tsochatzis et all, 2014).

Berbeda dengan sirosis yang disebabkan oleh virus, pada sirosis yang disebabkan oleh alkohol, alkohol
awalnya diserap di usus halus. Tubuh memiliki gastric alcohol dehydrogenase (ADH), microsomal ethanol
oxidizing system (MEOS), dan peroxisomal catalase untuk memetabolisme alkohol yang yang masuk dalam
tubuh. Etanol yang telah dimetabolisme akan membentuk asetaldehida yang nantinya akan termetabolisme
menjadi asetat. Konsumsi alkohol dapat meningkatkan akumulasi trigliserida dengan meningkatkan asupan
asam lemak dan mengurangi oksidasi asam lemak seta sekresi lipoprotein. Selain itu, pembentukan spesies
oksigen reaktif meningkatkan kerusakan membran hepatosit. Asetaldehida dapat bergabung dengan protein
untuk membentuk protein-acetaldehyde adduct yang dapat mengganggu proses bentukan formasi
mikrotubular dan pertukaran protein hepatis. Akibatnya, terjadilah aktivasi sel stelata yang menginduksi
produksi kolagen berlebih dan matriks ekstraseluler. Jaringan ikat terbentuk dan mengikat portal triad. Vena
sentral membentuk nodul regeneratif. Proses fibrosis pada sirosis yang disebabkan virus dan konsumsi
alkohol terjadi secara kronis sehingga hepar kontraksi dan mengecil. Walau demikian, seiring perkembangan
fibrosis menjadi sirosis, ukuran hepar akan kembali membesar (Longo et all, 2012).
Terbentuknya fibrosis pada sel hepar menyebabkan adanya kerusakan fungsi sintesis, fungsi metabolik,
serta drainase bilier pada hepar. Drainase bilier yang terganggu menyebabkan empedu tidak dapat keluar ke
sistem pencernaan. Hal ini menyebabkan penumpukan empedu dan terganggunya ekskresi bilirubin
terkonjugasi sehingga menyebabkan jaundice dan ikterik, serta feses seperti dempul. Selain itu, penumpukan
empedu dapat terjadi di kulit sehingga menyebabkan pruritus. Sintesis faktor pembekuan darah yang
terganggu karena kerusakan sel hepar menyebabkan mudah terjadinya perdarahan, yang memperparah
varises yang terjadi. Fungsi metabolisme yang terganggu menyebabkan ditemukannya hiperkolesterolemia
pada pasien dengan sirosis hepatis (Tsochatzis et all, 2014).
5. WOC

6. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada pasien sirosis adalah sebagai berikut (Smeltzer & Bare, 2002).
a. Pemeriksaan laboratorium fungsi hati, yang biasanya ditemukan adalah kadar albumin serum yang
cenderung menurun, kadar serum glutamik oksaloaseik transaminase (SGOT) dan serum glutamik
piruvik transaminase (SGPT) yang meningkat, dan kadar bilirubin yang cenderung meningkat pula.
b. USG abdomen untuk melihat densitas sel-sel parenkim hati dan jaringan parut
c. MRI dan CT scan abdomen untuk mengetahui besar hati dan aliran darah hepatik, serta adanya
obstruksi pada aliran tersebut.
7. Penatalaksanaan
Penatalaksaan sirosis disesuaikan dengan tanda dan gejala yang ada. Penatalaksanaan yang dilakukan
adalah (Smeltzer & Bare, 2002) sebagai berikut.
a. Pemberian antasida untuk mengurangi distres lambung dan meminimalkan kemungkinan perdarahan.
b. Vitamin dan suplemen nutrisi untuk memperbaiki status nutrisi pasien
c. Pemberian preparat diuretik (furosemide dan spironolactone) untuk mengurangi asites.
d. Asupan kalori dan protein yang adekuat
e. Pungsi asites bila asites menyebabkan gangguan pernapasan ataupun pasien tidak berespon dengan
pemberian diuretik. Tindakan ini juga untuk tujuan diagnostik.
f. Pengobatan berdasarkan etiologi, misalnya sirosis hepatis akibat infeksi virus hepatitis C/B diberikan
terapi kombinasi interferon dan ribavirin, terapi induksi interferon, atau terapi dosis interferon setiap hari.
Dasar pemberian interferon 3 juta sampai 5 juta unit tiap hari sampai HCV- RNA/HBV DNA negatif di
serum dan jaringan hati. (Sudoyo, 2009; Sutadi, 2003).
8. Komplikasi
Komplikasi sirosis hati menurut Tarigan (2001) antara lain :
1. Hipertensi portal merupakan peningkatan hepatic venous pressure gradient (HVPG) lebih dari 5 mmHg.
Hipertensi portal merupakam sindroma klinis yang sering terjadi. Bila gradient tekanan portal (perbedaan
tekana antara vena portal dan vena cava inferior) diatas 10-20 mmHg, komplikasi hipertensi portal dapat
terjadi.
2. Asites. Penyebab asites yang paling banyak pada sirosis hepatis adala hipertensi portal, disamping
adanya hipoalbumin(penurunan fungsi sintesis pada hati ) dan disfungsi ginjal yang akan mengakibatkan
akumulasi cairan dalam peritoneum
3. Varises gastroesofagus merupakan kolateral portosistemik yang paling sering. Pecahnya Varises
oesofagus (VE) mengakibatkan perdarahan varieses yang berakibat fatal.
4. Peritonitis Bakterial Spontan merupakan komplikasi berat dan sering terjadi pada asites yang ditandai
dengan infeksi spontan cairan asites tanpa adanya focus infeksi intraabdominalis
5. Enselopati Hepatikum. Mekanisme terjadinya Enselopati Hepatikum (EH) adalah akibat hiperamonia,
terjadi penurunan hepatic uptake sebagai akibat dari intrahepatic portalsystemic shunts dan/atau penurunan
sintesis urea dan glutamik
6. Sindroma Hepatorenal Merupakan gangguan fungsi ginjal tanpa kelainan organic ginjal, yang ditemukan
pada sirosis hepatis lanjut. Sindroma ini dapat ditemukan pada penderita sirosis hepatis dengan asites
refrakter. Sindroma Hepatorenal tipe 1 ditandai dengan gangguan progresif fungsi ginjal dan penurunan
klirens kreatinin secara bermakna dalam 1- 2 minggu. Tipe 2 ditandai dengan penurunan filtrasi glomerulus
dengan peningkatan serum kreatinin.
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Identitas pasien
Meliputi nama, tempat tanggal lahir, jenis kelamin, status kawin, agama, pendidikan,pekerjaan, alamat,
nomor RM,dan Diagnosa medis
B. Riwayat kesehatan
a) Keluhan utama : nyeri pada abdomen dan sesak napas

b) Riwayat kesehatan sekarang : Biasanya pasien datang dengan mengeluh lemah/ letih, otot lemah,
anoreksia (susah makan ), nausea, kembung,pasien merasa perut tidak enak , berat badan menurun,
mengeluh perut semakin membesar, perdarahan pada gusi, juga sesak napas
c) Riwayat kesehatan dahulu : Pasien dengan sirosis hepatis memiliki riwayat penggunaan alkohol dalam
jangka waktu yang lama, sebelumnya ada riwayat hepatitis kronis, riwayat gagal jantung, riwayat
pemakaian obat-obatan, dan merokok
d) Riwayat kesehatan keluarga : Adanya keluarga yang menderita penyakit hepatitis atau sirosis hepatis
C. Pemeriksaan Fisik pasien dengan sirosis hepatis ( Lynn S Bickley, 2012)

a) Wajah : Tampak ikterik, lembab,


b) Mata : Konjungtiva tampak anemis/ pucat, sclera ikterik
c) Mulut : Bau napas khas disebabkan karena peningkatan konsentrasi dimetil sulfide akibat pintasan porto
sistemik yang berat. Membran mukosa kering dan ikterik . Bibir tampak pucat
d) Hidung : Terdapat pernapasan cuping hidung
e) Thorax
Jantung
Inpeksi : biasanya pergerakan apeks kordis tak terlihat
Paslpasi : biasanya apeks kordis tak teraba
Perkusi : biasanya tidak terdapat pembesaran jantung
Auskultasi : biasanya normal, tidak ada bunyi suara jantung ketiga

Paru-paru
Inspeksi : biasanya pasien menggunakan otot bantu
Palpasi : biasanya vocal fremitus kiri dan kanan sama
Perkusi : biasanya resonance, bila terdapat efusi pleura bunyinya redup
Auskultsi : biasanya vesikuler
f) Abdomen
Inpeksi : umbilicus menonjol, asites
Palpasi : sebagian besar penderita hati muda teraba dan terasa keras. Nyeri tumpul atau berasaan berat
pada epigrastrium atau kuadran kanan atas.
Perkusi : dulness
Auskultasi : Biasanya bising usus cepat
g) Ekstremitas
Pada ektermitas atas telapak tangan menjadi hiperemesis (erithema palmare). Pada ektremitas bawah
ditemukan edema, capillary refill time > 2 detik
h) Kulit
Fungsi hati yang terganggu mengakibatkan bilirubin tidak terkonjugasi sehingga kulit tampak ikterik.
Turgaor kulit jelek, ada luka akibat edema.

D. Pemeriksaan penunjang

1. Uji faal Hepar


a. Bilirubin meningkat (> 1.3 mg/dL)
b. SGOT meningkat (> 3-45 u/L)
c. SGPT meningkat (> 0-35 u/L)
d. Protein total menurun (< 6.1- 8.2 gr %)
e. Albumin menurun (< 3.5-5.2 mg/L)
2. USG
Gambaran USG tergantung pada tingkat berat ringannya penyakit. Pada tingkat permulaan sirosis akan
tampak hati membesar, permulaan irregular tepi hati tumpul. Pada fase lanjut terlihat perubahan gambar
USG, yaout tempak penebalan permukaan hati yang irregular. Sebagian hati tampak membesar dan sebagian
lagi dalam batas normal.
3. CT (chomputed tomography) dan MRI
Memberikan informasi tentang pembesaran hati dan aliran darah hepatic serta obstruksi aliran tersebut.
4. Analisa Gas Darah
Analisa gas darah arterial dapat mengungkapkan gangguan keseimbangan ventilasi-perfusi dan Hipoksia
E. Diagnosa Keperawatan
1. Pola nafas tidak efektif b.d posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru d.d dyspnea
2. Hipovolemia b.d kehilangan cairan aktif d.d merasa lemah
3. Hipervolemia b.d gangguan mekanisme regulasi d.d edema anasarka dan edema perifer
4. Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis d.d mengeluh nyeri
5. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan d.d mengeluh lelah

F. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Keperawatan SLKI SDKI


1 Pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan Pemantauan respirasi
b.d posisi tubuh yang intervensi keperawatan Observasi
menghambat ekspansi 3x 24 jam pola nafas 1. Monitor frekuwensi, irama,
paru d.d dyspnea membaik, dengan kedalaman dan upaya napas
kriteria hasil : 2. Monitor pola nafas
- Dyspnea menurun 3. Monitor adanya produksi
- Penggunaan otot sputum’monitor adanya
bantu nafas menurun sumbatan jalan nafas
- Pemanjangan fase 4. Palpasi kesimetrisan ekspansi
ekspirasi menurun paru
- PCH menurun 5. Auskultasi bunyi nafas
- Frekuensi nafas 6. Monitor saturasi oksigen
membaik 7. Monitor hasil x-ray foto thorax
- Kedalaman nafas Teraupetik
membaik 1. Atur interval pemantauan
respirasi sesuai kondisi pasien
2. Dokumentasikan hasil
pemantauan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
2. Informasikan hasil pemantauan,
bila perlu
2 Hipovolemia b.d Setelah dilakukan Maajemen hypovolemia
kehilangan cairan aktif tindakan keperawatan Observasi
d.d merasa lemah 3x24 jam status cairan 1. Periksa tanda-tanda
membaik dengan kriteria hypovolemia
hasil : 2. Monitor intake output cairan
- Output urine Teraupetik
meningkat 1. Hitung kebutuhan cairan
- Membrsn mukosa Edukasi
membaik 1. Anjurkan menghindari
- Kadar Hb membaik perubahan posisi mendadak
- Kadar Ht membaik Kolaborasi
- Perasaan lemah 1. Kolaborasi pemberian cairan IV
menurun isotonis
- Intake cairan 2. Kolaborasi pemberian cairan IV
membaik hipotonis
3. Kolaborasi pemberian cairan IV
koloid
4. Kolaborasi pemberian produk
darah
3 Hypervolemia b.d Setelah dilakukan Manajemen hypervolemia
gangguan mekanisme intervensi keperawatan Observasi
regulasi d.d edema 3x24 jam keseimbangan 1. Periksa tanda gejala
anasarka dan edema cairan meningkat, hypervolemia
perifer dengan kriteria hasil : 2. Identifikasi penyebab
- Asupan cairan hypervolemia
meningkat 3. Monitor status hemodinamik,
- Haluaran urin jika tersedia
meningkat 4. Monitor intake dan output
- Kelembapan cairan
membrane mukosa 5. Monitor tanda hemokonsentrasi
meningkat 6. Monitor kecepatan infus secara
- Edema menurun ketat
- Asites menurun 7. Monitor efek samping diuretic
- Tekanan darah Teraupetik
membaik 1. Batasi asupan cairan dan garam
- Denyut nadi radial 2. Tinggikan kepala tempat tidur
membaik 30-40o
- Turgor kulit Edukasi
membaik 1. Anjurkan melapor jika haluaran
urin <0,5 ml/kgBB/jam dalam 8
jam
2. Ajarkan cara mengukur dan
mencatat asupan dan haluaran
cairan
3. Ajarkan cara membatasi cariran
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian diuretic
2. Kolaborasi penggantian
kehilangan kalium akibat
diuretik
3 Nyeri akut b.d agen Setelah dilakukan Manajemen Nyeri
pencedera fisiologis d.d intervensi keperawatan 3 Observasi
mengeluh nyeri x 24 jam tingkat nyeri 1. Identifikasi lokasi, karakteristik,
menurun, dengan kriteria durasi, frekuensi, kualitas,
hasil : intensitas nyeri
- Keluhan nyeri 2. Identifikasi skala nyeri
menurun 3. Identifikasi respon nyeri
- Meringis menurun nonverbal
- Frekuensi nadi 4. Identifikasi faktor yang
membaik memperberat dan memperingan
- Pola nafas membaik nyeri
- Tekanan darah 5. Identifikasi pengaruh nyeri
membaik terhadap kualitas hidup
Teraupetik
1. Berikan teknik nonfarmakologis
untuk menguragi rasa nyeri
2. Kotrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
3. Fasilitasi tidur dan istirahat
Edukasi
1. Anjurkan memonitor nyeri
secara mandiri
2. Ajarkan tehnik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
analgetik, bila perlu
4 Intoleransi aktivitas b.d Setelah dilakukan Manajemen Energi
kelemahan d.d tindakan keperawatan Observasi
mengeluh lelah 3x24 jam toleransi 1. Identifikasi gangguan fungsi
aktifitas meningkat tubuh yang mengakibatkan
dengan kriteria hasil : kelelahan
- Keluhan lelah 2. Monitor kelelahan fisik
menurun 3. Monitor pola jam tidur
- Dyspnea saat Teraupetik
aktifitas menurun 1. Sediakan lingkungan yang
- Perasaan lemah nyaman dan rendah stimulus
menurun 2. Lakukan latihan rentang gerak
- Saturasi oksigen pasif atau aktif
meningkat 3. Berikan aktifitas distraksi yang
menenangkan
Edukasi
1. Ajarkan tirah baring
2. Ajarkan melakukan aktivitas
secara bertahap
3. Anjurkan menghubungi perawat
jika tanda dan gejalakelelahan
tidak berkurang
Kolaborasi
1. Kolaborasi dengan ahli gizi
tentang cara meningkatkan
asupan makanan
DAFTAR PUSTAKA
1. Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal
Medicine 18th Ed EB. McGraw Hill Professional; 2012 Nov 8. 
2. Price, S.A. & Wilson, L.M. (2006). Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit. (Edisi 6). Jakarta:
EGC.
3. Rajbhandari, R. & Chung, R.T. (2016). Treatment of Hepatitis B: A Concise Review, 7(9), pp. e190. US :
US International Library of Medicine
4. Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. (2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah: Brunner & SUDART. (Edisi
8). Jakarta: EGC
5. Tarigan, P. 2001. Buku Ajar Penyakit Dalam jilid 1 Ed. 3 Sirosis Hati. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
6. Tsochatzis EA, Bosch J, Burroughs AK. Liver Cirrhosis. The Lancet. 2014 May 17;383(9930):1749-61

Anda mungkin juga menyukai